BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama
di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap
kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya
yang amat sering, anemia terutama anemia ringan sering kali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu
kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat
ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut.(1)
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan atau
berkurangnya jumlah eritrosit di bawah nilai normal sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara prakis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.
Dengan demikian, anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. Harus diingat bahwa
terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada keadaan dehidrasi, perdarahan akut dan
kehamilan. (1,2,3,4,5,6)
Anemia merupakan penyakit dengan prevalensi yang sangat besar,
diperkirakan lebih dari 30 % penduduk di dunia menderita anemia dengan
sebagian besar tinggal di daerah tropik. Beberapa peneliti dan laporan menyatakan
bahwa anemia defisiensi besi merupakan prevalensi yang paling tinggi dari
berbagai anemia gizi, dan hampir separuh dari semua wanita di negara
berkembang menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia saat ini masih
1
cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau
vitamin B12, hal ini dikarenakan masyarakat indonesia masih belum sepenuhnya
menyadari pentingnya zat gizi. (1,7)
Pada negara-negara berkembang insiden anemia masih sangat bervariasi.
Survei berbagai negara menunjukkan prevalensi anemia berkisar 32% - 55%. Di
Cina didapatkan prevalensi anemia pada wanita sebesar 61,8%, di Taiwan
prevalensi anemia pada usia belasan tahun sebesar 9,38%-26,4%, India prevalensi
sebesar 25%. Sedangkan di Indonesia, tingginya angka anemia dapat dilihat dari
Survei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia pada tahun 2001. Dalam survei ini
terungkap prevalensi anemia defisiensi besi sekitar 40-58% dari total populasi
penduduk Indonesia. Prevalensi pada usia sekolah dan remaja (15-19 tahun)
mencapai 26,5%, wanita usia subur, baik yang menikah maupun tidak menikah
sebesar 51,4% dan wanita hamil 40 %. (7,8)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun 2007, di 440
kota/kabupaten dalam 33 provinsi indonesia yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan mengungkap
bahwa 20 provinsi memiliki prevalensi anemia lebih besar dari nasional,
prevalensi anemia di perkotaan paling tinggi terjadi pada kelompok anak usia
balita, yaitu 27,7%, diikuti dengan kelompok usia lanjut (75 tahun ke atas) sebesar
17,7%.(9)
Suatu riset metaanalisis yang dilakukan oleh Sheng-Wen membuktikan
bahwa beratnya anemia sangat berhubungan erat dengan tingkat mortalitas dan
perawatan di rumah sakit pada pasien gagal jantung. Anemia merupakan faktor
resiko independen yang merugikan pada pasien dengan CHF. (10)
BAB II
2
SISTEM ERITROPOESIS
Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang
kira-kira berdiameter 8µm, tebal bagian tepi 2µm dan ketebalannya berkurang di
bagian tengah menjadi 1µm atau kurang. Volume rata-rata sel darah merah adalah
90 sampai 95 mikrometer kubik. Komponen utama sel darah merah adalah
hemoglobin protein, yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian
kecil fraksi karbondioksida, dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian
dapar intraseluler. Contohnya sel tersebut mengandung sejumlah besar karbonik
anhidrase, suatu enzim yang mengkatalisis reaksi reversibel antara karbon
dioksida dan air untuk membentuk asam karbonat (H2CO3), yang dapat
meningkatkan kecepatan reaksi ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini
membuat air dalam darah dapat mengangkut sejumlah besar CO2 dalam bentuk
ion bikarbonat (HCO3-) dari jaringan ke paru-paru. Di paru, ion tersebut diubah
kembali menjadi CO2 dan dikeluarkan ke dalam atmosfer sebagai produk limbah
tubuh. (2,11)
Konsentrasi sel-sel darah merah dalam darah pada pria normal
permilimeter kubik adalah 5.200.000 (± 300.000); pada wanita normal adalah
4.700.000 (± 300.000). orang yang tinggal di dataran tinggi mempunyai sel darah
merah yang lebih besar (2)
2.1. PRODUKSI SEL DARAH MERAH
Darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe sel
yang disebut sel stem hematopoetik pluripoten, yang merupakan asal dari semua
sel dalam darah sirkulasi. Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari
rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai,
sejumlah besar sel ini dibentuk dari sel-sel stem CFU-E. Begitu proeritroblas ini
terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali, sampai akhirnya membentuk
banyak sel darah merah yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil
eritroblas sebab dapat dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap
ini mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya sel sudah
dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34 %, nukleus memadat
3
menjadi kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar sel. Pada saat
yang sama retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut
retikulosit karena masih mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri
dari sisa-sisa aparatus golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya.
Selama tahap retikulosit ini, sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk k dalam
kapiler darah dengan cara diapedesis (terperas melalui poro-pori membran
kapiler). Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan
menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit
matur. Karena waktu hidup retikulosit ini pendek, maka konsentrasinya diantara
semua sel darah merah normalnya sedikit kurang dari 1 %. (1,2,3,4,11)
Gambar 1. Skema Pembentukan Eritrosit
2.2 PENGATURAN PRODUKSI SEL DARAH MERAH
Rata-rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta
per milimeter kubik, masing-masing sel darah merah memiliki siklus sekitar 120
hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dengan penggantian
normal sel darah sehari-hari. Produksi sel darah merah dirangsang oleh hormon
glikoprotein, eritroprotein, yang terutama berasal dari ginjal, dengan 10%
diketahui terutama berasal dari hepar. Produksi eritropoetin dirangsang oleh
hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan-perubahan tekanan O2
atmosfer, penurunan kandungan O2 darah arteri, dan penurunan konsentrasi
4
hemoglobin. Eritropoetin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan
maturasi sel-sel darah merah.(2,11)
Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan
penggunaannya yang sesuai. Banyak substansi esensial untuk pembentukan
eritrosit dan hemoglobin. Diantaranya adalah asam amino, besi, tembaga,
piridoksin, kobalt, vitamin B12 dan asam folat. Besi esensial untuk produksi
heme, dan kira-kira 65% dari besi tubuh ada dalam hemoglobin. Vitamin B12
(sianokobalamin) esensial untuk sintesis molekul asam deoksiribonukleat (DNA)
dalam pembentukan eritrosit. Molekul besar ini tidak dengan mudah menembus
mukosa saluran gastrointestinal, tetapi harus terikat pada glikoprotein yang
diketahui sebagai faktor intrinsik untuk absorbsinya. Faktor intrinsik ini disekresi
oleh sel parietal dari mukosa lambung dan berikatan dengan vitamin B12 untuk
melindunginya dari enzim pencernaan. Setelah absorbsi dari saluran
gastrointestinal, vitamin B12 disimpan dalam hati dan tersedia untuk produksi
eritrosit baru. Asam folat juga perlu untuk sintesis DNA dan meningkatkan
pematangan eritrosit.(2,6,11)
5
BAB III
KRITERIA DAN KLASIFIKASI ANEMIA
3.1 KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Perlu ditentukan batasan yang dianggap sudah terjadinya anemia yang
sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan ketinggian tempat tinggal. Di
negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 gr/dL dan
12 g/dL untuk perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi
angka berbeda yaitu 12 gr/dL (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11
g/dL (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dL untuk laki-laki
dewasa. WHO telah menetapkan batasan cut off point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan yaitu (1,7)
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (7)
Kelompok umur Kriteria anemia
Laki-laki (umur > 15 tahun)
Wanita tidak hamil (>15 tahun)
Wanita hamil
Anak (umur 12-14,99 tahun)
Anak (umur 5-11,99 tahun)
Anak (umur 5 bulan- 4,99 tahun)
< 13 g/dL
<12 g/dL
<11 g/dL
<12 g/dL
< 11,5 g/dL
< 11 g/dL
Kriteria anemia di klinik (rumah sakit atau praktek klinik) untuk indonesia
pada umumnya adalah hemoglobin < 10 gr/dL, hematokrit < 30 %, dan eritrosit <
2,8 juta/ mm3. Sedangkan klasifikasi derajat anemia yang sering dipakai adalah
ringan, sedang, dan berat (4).
Tabel 2. Kriteria derajat anemia (4)
Derajat anemia Hemoglobin
Ringan
sedang
berat
8gr/dL - 9,9g/dL
6 gr/dL – 7,9 g/dL
< 6 gr/dL
6
3.2 KLASIFIKASI ANEMIA
Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Klasifikasi anemia
yang paling sering dipakai adalah klasifikasi berdasarkan gambaran morfologi
eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi. Dalam klasifikasi anemia ini dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu(1,2,3,4,5,6):
1. anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl, dan MCH < 27 pg
2. anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95fl, dan MCH 27-34 pg
3. anemia makrositer bila MCV > 95fl
Klasifikasi ini dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi(1,2,3,4,5,6)
Klasifikasi berdasarkan morfologi dan etiologi
anemia hipokrom mikrositer
anemia defisiensi besi
thalassemia
anemia akibat penyakit kronik
anemia sideroblastik
anemia normokromik normositer
anemia pasca perdarahan akut
anemia aplastik
anemia hemolitik didapat
anemia akibat penyakit kronik
anemia mieloplastik
anemia pada gagal ginjal kronik
anemia pada mielofibrosis
anemia pada sindrom mielodisplastik
anemia pada leukemia akut
anemia makrositer
megaloblastik
anemia defisiensi folat
anemia defisiensi vitamin B12
nonmegaloblastik
7
anemia pada penyakit hati kronik
anemia pada hipotiroid
anemia pada sindroma mieloblastik
Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis, yaitu klasifikasi berdasarkan
etiologi dan patogenesis terjadinya anemia. Anemia berdasarkan etiopatogenesis
ini dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
• Berkurangnya produksi eritrosit dalam sumsum tulang.
• Meningkatnya destruksi eritrosit.
• Kehilangan eritrosit dari tubuh.
Tabel 4. Klasifikasi etiopatogenesis (1,2,3,4,5).
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1 Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2 Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3 Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoetik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
4 Anemia karena kekurangan eritropoetin
a. Anemia pada gagal ginjal kronik
b. Hipopituitari, hipotiroidism
c. Malnutrisi
d. Inflamasi kronik
B. Anemia karena kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca perdarahan akut
8
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. anemia karena penghancuran eritrosit dari dalam tubuh (hemolisis)
1) faktor ekstrakorpuscular
i) anemia hemolitik autoimun
ii) anemia hemolitik mikroangiopati
iii) lain-lain
2) faktor intrakorpuskular
i) gangguan membran eritrosit (membranopati)
ii) gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat def G6PD
iii) gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia, hemoglobinopati
struktural(HbS, HbF, dll
D. anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
9
BAB IV
PATOGENESIS DAN MANIFESTASI KLINIS ANEMIA
4.1 PATOGENESIS ANEMIA
Anemia timbul apabila pemecahan/ pengeluaran eritrosit lebih besar
daripada pembentukan atau pembentukannya sendiri yang menurun. Oleh karena
itu, anemia dapat terjadi melalui mekanisme perdarahan (pengeluaran eritrosit
yang berlebihan), pemecahan eritrosit yang berlebihan (hemolisis), dan
pembentukan eritrosit yang berkurang.3
4.1.1 Perdarahan
Pada penderita yang mengalami perdarahan baik yang akut maupun kronis
walaupun pembentukan eritrosit dalam batas normal, namun oleh karena
pengeluaran eritrosit yang berlebihan, maka jumlah eritrosit yang beredar dalam
pembuluh darah juga berkurang sehingga terjadilah anemia. 3
Jika kehilangan darah terjadi akut, darah perifer tidak memperlihatkan
penurunan nyata volume sel darah merah karena massa sel darah merah dan
volume plasma sama-sama mengecil. Sering terjadi leukositosis sedang dan
keadaan pergeseran ke kiri dalam hitung sel darah. Trombositosis dapat
ditemukan pada kehilangan darah yang akut dan menahun. Selama beberapa hari
pertama setelah perdarahan aku biasanya terjadi peningkatan retikulosit. Kadang-
kadang terdapat sel darah merah berinti pada sel darah perifer. Pada pasien yang
kehilangan darah melalui saluran makan akan sering mengalami peningkatan urea
nitrogen darah akibat terganggunya aliran darah renal dan kemungkinan akibat
absorbsi protein darah yang dicerna. (6,12)
Pasien dengan perdarahan akut dikategorikan dalam 4 kelompok, yakni
(untuk pasien dengan berat badan 70 kg):
Perdarahan kelas I: kehilangan darah s/d 750 ml = s/d 15 % volume
cairan tubuh
10
Perdarahan kelas 2: kehilangan darah 750-1500 ml = 15-30 % volume
cairan tubuh
Perdarahan kelas 3: kehilangan darah s/d 1500-200 ml= 30-40%
volume cairan tubuh
Perdarahan kelas 4: kehilangan darah > 2000 ml = > 40 % volume
cairan tubuh (13)
Kehilangan darah menahun biasanya disebabkan oleh lesi pada saluran
makan atau uterus. Uji contoh feses untuk darah tersamar mutlak dilakukan
sebagai bagian evaluasi anemia, walaupun sering terabaikan. Kehilangan darah
kronik dapat menyebabkan anemia hanya bila kehilangan darah melebihi
kapasitas regenerasi sumsum tulang atau bila cadangan besi habis dan timbul
gejala anemia defiensi (6,13)
4.1.2 Pemecahan eritrosit yang berlebihan
Anemia ini lebih dikenal sebagai anemia hemolitik. Anemia hemolitik
merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa hidup sel darah
merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah merah 110-
120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi
kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari. Faktor yang
dapat menyebabkan anemia hemolitik adalah faktor yang berasal dari luar
eritrosit, yaitu reaksi antigen-antibodi, obat-obatan, dan bahan kimia, rudapaksa
pada eritrosit, hipersplenisme serta keracunan logam dan juga faktor yang berasal
dari eritrosit itu sendiri yaitu bawaan dan didapat. (3,11)
Sejumlah uji laboratorium digunakan untuk mengetahui cepatnya
pemecahan eritrosit. Jumlah retikulosit merupakan satu-satunya uji yang paling
bermanfaat. Pasien hemolisis hampir selalu mengalami jumlah retikulosit yang
meningkat
4.1.3 Pembentukan eritrosit yang berkurang
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih
rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:(11)
11
1. Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan
diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defisiensi
Fe)
2. Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, infilitrasi tumor)
3. Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
4. Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah (eritro-
poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
5. Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya
absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari
makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya
masa hidup erirosit.
4.2. MANIFESTASI KLINIS ANEMIA
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor:
Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan
masif ).
Gambar 2. Skema patofisiologi gejala anemia 4
12
Eritrosit/hemoglobin menurun
Kapasitas angkut oksigen menurun
Gejala anemia
Mekanisme kompensasi tubuhAnoksia organ target
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan
mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah
jantung pada kadar Hb mencapai 7 g% (Ht 21%). Gejala timbul bila kadar Hb
turun di bawah 7 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika
terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang
mendasarinya. Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat,
jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat
timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung,
angina, aritmia dan/atau infark miokard). Anemia yang disebabkan perdarahan
akut berhubungan dengan komplikasi berkurangnya volume intraseluler dan
ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala mudah lelah, lassitude (tidak
bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut menjadi postural dizzines,
letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi persisten, syok, dan
kematian. (1,2,3,4,5,11)
Selain gejala-gejala umum diatas, juga dijumpai gejala-gejala khas
masing-masing dari anemia dimana gejala ini spesifik, sebagai contoh :
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychia)
Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi. (1,4,6)
13
BAB V
PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA
Sesuatu yang harus diingat dari anemia adalah bahwa anemia merupakan
suatu simptom dan bukan suatu kesatuan penyakit yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit dasar (underlying disease). Sehingga kita tidak cukup hanya
sampai kepada diagnosis anemia tetapi juga harus mencari apa penyebab utama
terjadinya anemia tersebut. Hal ini penting diperhatikan sehingga diperlukan
pendekatan terhadap diagnosis anemia. Pendekatan tersebut antara lain adalah
pendekatan klinik, laboratorium dan epidemiologik. 1
5.1 PENDEKATAN KLINIK
Dalam pendekatan klinis bergantung pada anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang baik untuk mengetahui sindrom anemia, gejala yang menonjol dari
anemia, tanda-tanda khas masing-masing anemia.
5.1.1 ANAMNESIS
Anamnesis pada anemia harus ditujukan untuk mengeksplorasi riwayat
penyaki sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat gizi, anamnesis mengenai
lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik, riwayat pemakaian obat dan
riwayat keluarga (1,2,6)
Riwayat penyakit sekarang
Pasien anemia biasanya datang keluhan: kelelahan, lemah, pucat,
kurang bergairah, sakit kepala, dan mudah marah, tidak mampu
berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi, Sakit kepala, pusing,
kelemahan, tinitus(telinga berdengung), gangguan haid, demam, urin
seperti teh pekat, dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat
lelah waktu melakukan aktivitas jasmani.
Sebaiknya ditanyakan awitan anemia, awitan dapat menentukan
jenis anemia:
14
Anemia yang timbul cepat biasanya disebabkan oleh: perdarahan akut,
anemia hemolitik, anemia yang timbul akibat leukemia akut, krisis
aplastik pada anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan-pelan- pelan biasanya disebabkan oleh
anemia defisiensi besi,anemia akibat penyakit kronik,anemia hemolitik
kronik yang bersifat kongenital, anemia defisiensi folat atau vitamin
B12.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia seperti ,
melena, artritis reumatoid, penyakit ginjal, hati, tiroid, malaria,
diare. Diare yang lama bisa menyebabkan anemia makrositik
karena terjadinya malabsorbsi asam folat dan vitamin B12 oleh usus
halus.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit hematologi pada keluarga banyak yang
diturunkan seperti hemoglobinopati dan defisiensi enzim.
Riwayat gizi, lingkungan pemakaian obat
Asupan makan sangat mempengaruhi eritropoisis seperti besi, B12,
asam folat, dan kebiasaan makan yang aneh.Obat-obatan harus
harus dievaluasi dengan rinci pada pasien anemia, karena beberapa
obat bisa meransang antibody untuk menghancurkan sel darah
merah dalam sirkulasi, seperti antibiotik golongan penisilin,sulfa,
neuroleptik, termasuk antidepresan tricyclic dan phenotiazine,
diuretic thiazid, metildopa, sulfenil urea. Pada pasien dengan
defisiensi G6PD, infeksi, dan memakan obat antimalaria
primaquin, kloroquin dan sulfanamid dapat memicu terjadinya
anamia hemolitik akut.
5.1.2. PEMERIKSAAN FISIK
Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas. Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah
15
menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk menilai beratnya
kondisi penderita. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan: (1,2,3,5,12,14)
Pucat terjadi akibat kombinasi dari menurunnya konsentrasi Hb dalam
darah dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Pucat terutama pada
kojungtiva, wajah, kuku, dan telapak tangan.
Ikterik dan adanya menunjukan kemungkinan proses hemolitik pada
penyakit hati kronis dan anemia hemolitik.
Atrofi papil lidah, disfagia dan stomatitis angularis petanda anemia
defisiensi besi. Lidah merah (buffy tounge) petanda anemia defisiensi asam
folat.
Limphadenopati, ekimosis dan splenomegali merupakan tanda
hematologic malignancy.
Ptekie dan ekimosis tanda anemia aplastik.
Penonjolan frontoparietal, maksila (facies rodent) pada thalasemia mayor.
Pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami
pada anemia defisiensi besi karena cacing tambang.
Pada anemia berat bisa menyebabkan peningkatan cardiac out put dan
peningkatan beban jantung, bisa juga terjadi murmur sistolik dan angina
pectoris. (10)
5.2. PENDEKATAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap.
Pendekatan laboratorium pasien anemia bisa dilihat pada gambar 2.
Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnosis anemia (1,4,13)
16
Anemia
Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Anemia normokromik normositerAnemia hipokromik mikrositer
Anemia makrositer
Lihat gambar 4 Lihat gambar 5 Lihat gambar 6
Dari gambar diatas, terlihat kita harus menentukan dulu apakah pasien
menderita anemia, kemudian ditentukan jenis anemia berdasarkan morfologi
menurut indeks eritrosit apakah hipokrom mikrositer (gambar 4) normokromik
normositer (gambar 5) atau makrositer (gambar 6).
Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer (1,4,13)
Gambar 4 menerangkan pendekatan pasien dengan anemia hipokromik
mikrositer . mikrositik berarti ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal,
hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari
normal (MCV rendah; MCHC rendah). Hal ini umumnya menggambarkan
insufisiensi sintesis heme (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, kehilangan
darah kronik, gangguan sintesis globin, dan keadaan sideroblastik, seperti pada
17
Anemia hipokromik mikrositer
Besi serum
Menurun
TIBC Feritin
Besi sumsum tulang negatif
Anemia defisiensi besi
TIBC Feritin
Besi sumsum tulang positif
Anemia akibat peny kronik
Normal
Feritin normal
Elektroforesis Hb Ring sideroblaast dlm sumsum tulang
HbA2 HbF
Thalasemia beta Anemia sideroblastik
talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital). Untuk itu diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut: besi serum, TBC, feritin, sumsum tulang dan
elektroforesi Hb.
Gambar 5. Algoritma diagnosis anemia normokromik mormositer (1,4,13)
18
Anemia normokromik normositer
Retikulosit
Meningkat
Tanda hemolisis positif
Riwayat pendarahan akut
Tes coomb
Negatif
Riwayat keluarga positif
Enzimopati membranopati
hemoglobinopati
Positif
A.Mikroangiopati obat / parasit
AIHA
Anemia pasca pendarahan akut
Normal/menurun
Sumsum tulang
Hipoplastik Displastik Infiltrasi Normal
Tumor ganas
hematologi (leukemia, mielonia)
Anemia pada
leukemia akut/mielom
a
Anemia aplastik
Anemia pada sindrom
mielodisplastik
Limfoma kanker
Anemia mieloptisik
Faal hati faal ginjal faal tiroid
peny kronik
Anemia pd GGK peny hati kronik hipotiroid peny
kronik
Anemia normokromik normositer (gambar 5), dimana ukuran dan bentuk
sel –sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah normal
(MCV dan MCH normal atau rendah) tetapi individu menderita anemia. Penyebab
anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik
termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang.
Bila ditemukan anemia normokromik normositer, dilakukan pemeriksaan
retikulosit, coomb’s tes, dan sumsum tulang.
Gambar 6. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositer (1,4,14)
Anemia makrositer berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari
normal tetapi normokrom karena kosentrasi hemoglobinnya normal (MCV
meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya
sintesis asam nukleat DNA seperti ditemukan pada defisiensi asam folat dan
19
Anemia makrositer
Retikulosit
Meningkat
Riwayat pendarahan akut
An deff B.12
/as.folat dlm
terapi
Anemia pasca pendarahan
akut
Normal / menurun
Sumsum tulang
megaloblastik Non megaloblastik
B12 serum rendah
An. Deff B12
As folat rendah
An deff asam folat
Faal tiroid Diplastik
Anemia pd hipotiroid
Anemia pd peny hati
kronik
Sindroma mielodispla
stik
Faal hati
defisiensi B12. Dilakukan pemeriksaan retikulosit, asam folat dan B12 serum,
sumsum tulang, serta faal tiroid dan faal hati.
5.2.1. TES PENYARING
Complete blood count (CBC)
CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit,
ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium,
pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam
permintaan pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood
counter, didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel (5,14)
Luas distribusi sel darah merah (RDW) adalah rasio lebar kurva distribusi
(histogram) terhadap volume sel darah merah rerata. RDW juga dihitung dari
coulter counter dan merupakan indeks variasi ukuran sel darah merah. Dalam
keadaan normal, nilai RDW berkisar dari 11,6 sampai 14,6. Inspeksi terhadap
kurva distribusi ukuran yang dihasilkan oleh penghitung otomatis mungkin
mengungkapkan adanya populasi sel darah merah tertentu yang volume selnya
berlainan. (14,15)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya
RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai
dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik (14).
Tidak hanya untuk menilai manifestasi kekurangan zat besi, banyak
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara luas distribusi sel
darah merah dengan manifestasi penyakit lain. Penelitian yang dilakukan oleh
Mustafa Cetin dkk tahun 2012 mengungkapkan bahwa RDW berkaitan erat
dengan kejadian coronary atherosclerosis disease (CAD) dari inflamasi
nonspesifik dan sel-sel inflamasi.(15)
20
Penelitian yang lain dilakukan oleh Colette E. Jackson dkk tahun 2009
mengungkapkan bahwa pemeriksaan RDW menjadi nilai prognostik tambahan
pada pasien dengan gagal jantung akut. (16)
Sel darah merah berinti (normoblas)
Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi.
Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis
(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian
dari gambaran leukoeritroblastik pada penderita dengan bone marrow
replacement. Pada penderita tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya
normoblas dapat menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti
sepsis atau gagal jantung berat.
Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit
absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah
efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan
jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit
terkoreksi adalah:
Faktor lain yang mempengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah
adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia.
Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa
RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari
sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal
ini terutama terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan
eritropoiesis. Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit
imatur disebut reticulocyte production index (RPI)(14,17).
21
Tabel 5. Faktor koreksi hitung RPI
Hematokrit penderita (%) Faktor koreksi
40 – 45
35 – 39
25 – 34
15 – 24
< 15
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang
dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih
merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang
adekuat terhadap anemia.
Jumlah leukosit dan hitung jenis
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau
infiltrasi sumsum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat.
Adanya leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inflamasi atau keganasan
hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat memberikan
petunjuk ke arah penyakit tertentu: (17)
1 Peningkatan hitung neutrofil absolut pada infeksi
2 Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
3 Peningkatan eosinofil absolut pada infeksi tertentu
4 Penurunan nilai neutrofil absolut setelah kemoterapi
5 Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian
kortikosteroid
6 Jumlah trombosit Abnormalitas memberikan informasi penting untuk
diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan
keganasan pada sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik
atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12. Peningkatan jumlah
trombosit dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif, defisiensi Fe,
inflamasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit
22
(trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif atau mielodisplasia.
Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi
folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia
ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic trapping
sel-sel hematologis. Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat
membantu diagnostik. Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g%
menjadi 10 g% dalam 7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung
retikulosit = 0) dan bila destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per
hari), Hb akan turun 7% dalam 7 hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% =
1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat
diasumsikan supresi sumsum tulang saja bukan merupakan penyebab anemia dan
menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah.(14,17,18)
Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi
Apusan darah tepi pada semua kasus anemia sangat penting dilakukan.
Morfologi eritrosit abnormal atau inklusi eritrosit dapat mengarah pada diagnosis
tertentu. Bila penyebab mikrositosis dan makrositosis dapat bersamaan, misalnya
pada defisiensi asam folat atau B12 campuran, indeks eritrosit mungkin normal,
tetapi apusan darah tepi menunjukkan gambaran dimorfik (dua populasi sel
eritrosit besar dengan hemoglobin cukup dan sel kecil yang hipokrom). Apusan
darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak dapat
dideteksi dengan automated blood counter. Berikut adalah tabel sel eritrosit pada
apusan darah tepi (5,14, 19,20)
23
Tabel 6. Sel-sel eritrosit patologis pada apusan darah tepi (5,19)
5.2.2. PEMERIKSAAN SUMSUM TULANG
Tujuan pemeriksaan sumsum tulang memungkinkan penilaian
selularitas,pematangan, komposisi elemen hematopoetik dalam sumsum tulang
serta evaluasi dari cadangan besi. Lokasi paling umum untuk prosedur adalah
24
krista iliaka posterior dan anterior dan tulang dada. Pada pemeriksaan sumsum
tulang banyak informasi morfologi dapat diperoleh. Rincian sel yang sedang
berkembang dapat diperiksa (misal normoblas atau megaloblastik), proporsi
berbagai jalur sel dapat dinilai. (5,20)
Indikasi pemeriksaan sumsum tulang pada penderita anemia:
1. Abnormalitas hitung sel darah dan/atau morfologi darah tepi
Sitopenia dengan penyebab tidak diketahui
Leukositosis dengan penyebab tidak diketahui atau disertai leukosit
abnormal
Sel teardrops atau leukoeritroblastosis
Rouleaux
Tidak ada atau rendahnya respons retikulosit terhadap anemia
2. Evaluasi penyakit sistemik
Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati yang tidak diketahui
penyebabnya
Staging tumor: limfoma, tumor solid
Pemantauan efek kemoterapi (14,17,18,20)
25
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
1. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity),
tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying
disease)
2. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta keterampilan dalam
memilih, menganalisa serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Untuk mendiagnosis anemia diperlukan bukti adanya anemia, jenis
anemia dan penyebab anemia
4. Algoritma anemia sangat penting dalam mendiagnosis penyakit
anemia
6.2 SARAN
Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan
laboratorium untuk dapat menentukan jenis dan penyebab anemia
sehingga terapi yang diberikan dapat tepat sasaran
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta I Made, Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI; 2006: 632-636
2. Price Sylvia A, dkk, dalam buku Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC
3. Boediwarsono, Soebandiri, Soegiarito, Ashariati A, Sedana MP,
Ugroseno, Anemia, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam, Surabaya: FK
UNAIR; 2007: 139-142
4. Bakta IM, Hematologi Klinik Ringkas, Jakarta: EGC; 2007 : 1-19
5. Perkins MD, Diagnosis of Anemia, downloaded from
http://www.ascp.org/pdf/SneekPeekPracDiagofHemDisorders.aspx
6. Robbins and Cottrans, Pathologic Basis of The Disease: Saunders
Elsevier; eight edition, 2010: 639-667
7. Bruno de Benoist DB, McLean E, Egli I, Cogswell M, World Wide
prevalence of anemia, in WHO Global Database on Anemia, 1993-2005
8. Susenas 2001, Komplemen Pengumpulan Data dalam Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) dalam www.titin.litbang.depkes.go.id
9. Riset Kesehatan Dasar, (RISKESDAS) 2007. Laporan Nasional 2007,
diunduh dari www.litbang.depkes.go.id/laporanRKD
10. Wen S, Wang LX, The Impact of Anemia on the Prognosis of Chronic
heart Failure: A Meta-analysis and Systemic Review; Congest Heart Fail.
2009; 15: 123-130
11. Guyton and Hall, Fisiologi Kedokteran, Penerbit ECG, Jakarta, 2007:439-
449
12. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit ECG, Jakarta,
2007: 360-369
13. Djumhana TB, Rahman A, Transfusi Darah, dalam Buku
Kegawatdaruratan Penyakit Dalam, Jakarta; Interna publishing:2011:146-
149
14. Oehadian A, Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia, dalam Continuing
Medical Education: CDK-194/vol. 39 no. 6 tahun 2012
27
15. Cetin M, et al, Red Blood Cell Distribution Width (RDW) and its association with coronary Atherosclerosis burden in Patients with Stable Angina Pectoris, Eur J Gen Med, 2012;9: 7-13
16. Jackson CE et all, Red Cell Distribution Width has Incremental Prognostic Value to B-Type natriuretic peptide in Acute heart failure, European Journal of Heart Failure: 2009(11): 1152-1154
17. L. Van Hove , et all, Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn Technology Reviewed for the New Millenium: Carden Jennings Publishing Co. 2000, Ltd; Laboratory Hematology 6:93-108
18. Gandasoebrata R, Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta; Dian Rakyat;
2008: 7-49
19. Tefferi A, Anemia in Adult: A Contemporary approach to Diagnosis;
Mayo Clin Proc, 2003; 78: 1274-1280
20. Ford J, Red Blood Cell Morphology, Blackwell Publishing Ltd: int. jnl.
lab. Hem 2013, 35, 351-357.
28