Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang amat sering, anemia terutama anemia ringan sering kali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. (1) Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan atau berkurangnya jumlah eritrosit di bawah nilai normal sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara prakis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Dengan demikian, anemia bukanlah 1
39

refrat anemia.doc

Apr 06, 2016

Download

Documents

ibun_dr
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: refrat anemia.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di

seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama

di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap

kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya

yang amat sering, anemia terutama anemia ringan sering kali tidak mendapat

perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu

kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai

macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis

anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat

ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut.(1)

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan atau

berkurangnya jumlah eritrosit di bawah nilai normal sehingga tidak dapat

memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke

jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara prakis anemia

ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.

Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.

Dengan demikian, anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu cerminan

perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang

seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. Harus diingat bahwa

terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan

dengan massa eritrosit, seperti pada keadaan dehidrasi, perdarahan akut dan

kehamilan. (1,2,3,4,5,6)

Anemia merupakan penyakit dengan prevalensi yang sangat besar,

diperkirakan lebih dari 30 % penduduk di dunia menderita anemia dengan

sebagian besar tinggal di daerah tropik. Beberapa peneliti dan laporan menyatakan

bahwa anemia defisiensi besi merupakan prevalensi yang paling tinggi dari

berbagai anemia gizi, dan hampir separuh dari semua wanita di negara

berkembang menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia saat ini masih

1

Page 2: refrat anemia.doc

cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau

vitamin B12, hal ini dikarenakan masyarakat indonesia masih belum sepenuhnya

menyadari pentingnya zat gizi. (1,7)

Pada negara-negara berkembang insiden anemia masih sangat bervariasi.

Survei berbagai negara menunjukkan prevalensi anemia berkisar 32% - 55%. Di

Cina didapatkan prevalensi anemia pada wanita sebesar 61,8%, di Taiwan

prevalensi anemia pada usia belasan tahun sebesar 9,38%-26,4%, India prevalensi

sebesar 25%. Sedangkan di Indonesia, tingginya angka anemia dapat dilihat dari

Survei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia pada tahun 2001. Dalam survei ini

terungkap prevalensi anemia defisiensi besi sekitar 40-58% dari total populasi

penduduk Indonesia. Prevalensi pada usia sekolah dan remaja (15-19 tahun)

mencapai 26,5%, wanita usia subur, baik yang menikah maupun tidak menikah

sebesar 51,4% dan wanita hamil 40 %. (7,8)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun 2007, di 440

kota/kabupaten dalam 33 provinsi indonesia yang dilakukan oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan mengungkap

bahwa 20 provinsi memiliki prevalensi anemia lebih besar dari nasional,

prevalensi anemia di perkotaan paling tinggi terjadi pada kelompok anak usia

balita, yaitu 27,7%, diikuti dengan kelompok usia lanjut (75 tahun ke atas) sebesar

17,7%.(9)

Suatu riset metaanalisis yang dilakukan oleh Sheng-Wen membuktikan

bahwa beratnya anemia sangat berhubungan erat dengan tingkat mortalitas dan

perawatan di rumah sakit pada pasien gagal jantung. Anemia merupakan faktor

resiko independen yang merugikan pada pasien dengan CHF. (10)

BAB II

2

Page 3: refrat anemia.doc

SISTEM ERITROPOESIS

Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang

kira-kira berdiameter 8µm, tebal bagian tepi 2µm dan ketebalannya berkurang di

bagian tengah menjadi 1µm atau kurang. Volume rata-rata sel darah merah adalah

90 sampai 95 mikrometer kubik. Komponen utama sel darah merah adalah

hemoglobin protein, yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian

kecil fraksi karbondioksida, dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian

dapar intraseluler. Contohnya sel tersebut mengandung sejumlah besar karbonik

anhidrase, suatu enzim yang mengkatalisis reaksi reversibel antara karbon

dioksida dan air untuk membentuk asam karbonat (H2CO3), yang dapat

meningkatkan kecepatan reaksi ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini

membuat air dalam darah dapat mengangkut sejumlah besar CO2 dalam bentuk

ion bikarbonat (HCO3-) dari jaringan ke paru-paru. Di paru, ion tersebut diubah

kembali menjadi CO2 dan dikeluarkan ke dalam atmosfer sebagai produk limbah

tubuh. (2,11)

Konsentrasi sel-sel darah merah dalam darah pada pria normal

permilimeter kubik adalah 5.200.000 (± 300.000); pada wanita normal adalah

4.700.000 (± 300.000). orang yang tinggal di dataran tinggi mempunyai sel darah

merah yang lebih besar (2)

2.1. PRODUKSI SEL DARAH MERAH

Darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe sel

yang disebut sel stem hematopoetik pluripoten, yang merupakan asal dari semua

sel dalam darah sirkulasi. Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari

rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai,

sejumlah besar sel ini dibentuk dari sel-sel stem CFU-E. Begitu proeritroblas ini

terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali, sampai akhirnya membentuk

banyak sel darah merah yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil

eritroblas sebab dapat dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap

ini mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya sel sudah

dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34 %, nukleus memadat

3

Page 4: refrat anemia.doc

menjadi kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar sel. Pada saat

yang sama retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut

retikulosit karena masih mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri

dari sisa-sisa aparatus golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya.

Selama tahap retikulosit ini, sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk k dalam

kapiler darah dengan cara diapedesis (terperas melalui poro-pori membran

kapiler). Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan

menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit

matur. Karena waktu hidup retikulosit ini pendek, maka konsentrasinya diantara

semua sel darah merah normalnya sedikit kurang dari 1 %. (1,2,3,4,11)

Gambar 1. Skema Pembentukan Eritrosit

2.2 PENGATURAN PRODUKSI SEL DARAH MERAH

Rata-rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta

per milimeter kubik, masing-masing sel darah merah memiliki siklus sekitar 120

hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dengan penggantian

normal sel darah sehari-hari. Produksi sel darah merah dirangsang oleh hormon

glikoprotein, eritroprotein, yang terutama berasal dari ginjal, dengan 10%

diketahui terutama berasal dari hepar. Produksi eritropoetin dirangsang oleh

hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan-perubahan tekanan O2

atmosfer, penurunan kandungan O2 darah arteri, dan penurunan konsentrasi

4

Page 5: refrat anemia.doc

hemoglobin. Eritropoetin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan

maturasi sel-sel darah merah.(2,11)

Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan

penggunaannya yang sesuai. Banyak substansi esensial untuk pembentukan

eritrosit dan hemoglobin. Diantaranya adalah asam amino, besi, tembaga,

piridoksin, kobalt, vitamin B12 dan asam folat. Besi esensial untuk produksi

heme, dan kira-kira 65% dari besi tubuh ada dalam hemoglobin. Vitamin B12

(sianokobalamin) esensial untuk sintesis molekul asam deoksiribonukleat (DNA)

dalam pembentukan eritrosit. Molekul besar ini tidak dengan mudah menembus

mukosa saluran gastrointestinal, tetapi harus terikat pada glikoprotein yang

diketahui sebagai faktor intrinsik untuk absorbsinya. Faktor intrinsik ini disekresi

oleh sel parietal dari mukosa lambung dan berikatan dengan vitamin B12 untuk

melindunginya dari enzim pencernaan. Setelah absorbsi dari saluran

gastrointestinal, vitamin B12 disimpan dalam hati dan tersedia untuk produksi

eritrosit baru. Asam folat juga perlu untuk sintesis DNA dan meningkatkan

pematangan eritrosit.(2,6,11)

5

Page 6: refrat anemia.doc

BAB III

KRITERIA DAN KLASIFIKASI ANEMIA

3.1 KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan

massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung

eritrosit. Perlu ditentukan batasan yang dianggap sudah terjadinya anemia yang

sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan ketinggian tempat tinggal. Di

negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 gr/dL dan

12 g/dL untuk perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi

angka berbeda yaitu 12 gr/dL (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11

g/dL (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dL untuk laki-laki

dewasa. WHO telah menetapkan batasan cut off point anemia untuk keperluan

penelitian lapangan yaitu (1,7)

Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (7)

Kelompok umur Kriteria anemia

Laki-laki (umur > 15 tahun)

Wanita tidak hamil (>15 tahun)

Wanita hamil

Anak (umur 12-14,99 tahun)

Anak (umur 5-11,99 tahun)

Anak (umur 5 bulan- 4,99 tahun)

< 13 g/dL

<12 g/dL

<11 g/dL

<12 g/dL

< 11,5 g/dL

< 11 g/dL

Kriteria anemia di klinik (rumah sakit atau praktek klinik) untuk indonesia

pada umumnya adalah hemoglobin < 10 gr/dL, hematokrit < 30 %, dan eritrosit <

2,8 juta/ mm3. Sedangkan klasifikasi derajat anemia yang sering dipakai adalah

ringan, sedang, dan berat (4).

Tabel 2. Kriteria derajat anemia (4)

Derajat anemia Hemoglobin

Ringan

sedang

berat

8gr/dL - 9,9g/dL

6 gr/dL – 7,9 g/dL

< 6 gr/dL

6

Page 7: refrat anemia.doc

3.2 KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Klasifikasi anemia

yang paling sering dipakai adalah klasifikasi berdasarkan gambaran morfologi

eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi. Dalam klasifikasi anemia ini dibagi

menjadi 3 golongan, yaitu(1,2,3,4,5,6):

1. anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl, dan MCH < 27 pg

2. anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95fl, dan MCH 27-34 pg

3. anemia makrositer bila MCV > 95fl

Klasifikasi ini dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi(1,2,3,4,5,6)

Klasifikasi berdasarkan morfologi dan etiologi

anemia hipokrom mikrositer

anemia defisiensi besi

thalassemia

anemia akibat penyakit kronik

anemia sideroblastik

anemia normokromik normositer

anemia pasca perdarahan akut

anemia aplastik

anemia hemolitik didapat

anemia akibat penyakit kronik

anemia mieloplastik

anemia pada gagal ginjal kronik

anemia pada mielofibrosis

anemia pada sindrom mielodisplastik

anemia pada leukemia akut

anemia makrositer

megaloblastik

anemia defisiensi folat

anemia defisiensi vitamin B12

nonmegaloblastik

7

Page 8: refrat anemia.doc

anemia pada penyakit hati kronik

anemia pada hipotiroid

anemia pada sindroma mieloblastik

Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis, yaitu klasifikasi berdasarkan

etiologi dan patogenesis terjadinya anemia. Anemia berdasarkan etiopatogenesis

ini dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:

• Berkurangnya produksi eritrosit dalam sumsum tulang.

• Meningkatnya destruksi eritrosit.

• Kehilangan eritrosit dari tubuh.

Tabel 4. Klasifikasi etiopatogenesis (1,2,3,4,5).

Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1 Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B12

2 Gangguan penggunaan besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

b. Anemia sideroblastik

3 Kerusakan jaringan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

b. Anemia mieloptisik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoetik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

4 Anemia karena kekurangan eritropoetin

a. Anemia pada gagal ginjal kronik

b. Hipopituitari, hipotiroidism

c. Malnutrisi

d. Inflamasi kronik

B. Anemia karena kehilangan eritrosit dari tubuh

1. Anemia pasca perdarahan akut

8

Page 9: refrat anemia.doc

2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. anemia karena penghancuran eritrosit dari dalam tubuh (hemolisis)

1) faktor ekstrakorpuscular

i) anemia hemolitik autoimun

ii) anemia hemolitik mikroangiopati

iii) lain-lain

2) faktor intrakorpuskular

i) gangguan membran eritrosit (membranopati)

ii) gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat def G6PD

iii) gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia, hemoglobinopati

struktural(HbS, HbF, dll

D. anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

9

Page 10: refrat anemia.doc

BAB IV

PATOGENESIS DAN MANIFESTASI KLINIS ANEMIA

4.1 PATOGENESIS ANEMIA

Anemia timbul apabila pemecahan/ pengeluaran eritrosit lebih besar

daripada pembentukan atau pembentukannya sendiri yang menurun. Oleh karena

itu, anemia dapat terjadi melalui mekanisme perdarahan (pengeluaran eritrosit

yang berlebihan), pemecahan eritrosit yang berlebihan (hemolisis), dan

pembentukan eritrosit yang berkurang.3

4.1.1 Perdarahan

Pada penderita yang mengalami perdarahan baik yang akut maupun kronis

walaupun pembentukan eritrosit dalam batas normal, namun oleh karena

pengeluaran eritrosit yang berlebihan, maka jumlah eritrosit yang beredar dalam

pembuluh darah juga berkurang sehingga terjadilah anemia. 3

Jika kehilangan darah terjadi akut, darah perifer tidak memperlihatkan

penurunan nyata volume sel darah merah karena massa sel darah merah dan

volume plasma sama-sama mengecil. Sering terjadi leukositosis sedang dan

keadaan pergeseran ke kiri dalam hitung sel darah. Trombositosis dapat

ditemukan pada kehilangan darah yang akut dan menahun. Selama beberapa hari

pertama setelah perdarahan aku biasanya terjadi peningkatan retikulosit. Kadang-

kadang terdapat sel darah merah berinti pada sel darah perifer. Pada pasien yang

kehilangan darah melalui saluran makan akan sering mengalami peningkatan urea

nitrogen darah akibat terganggunya aliran darah renal dan kemungkinan akibat

absorbsi protein darah yang dicerna. (6,12)

Pasien dengan perdarahan akut dikategorikan dalam 4 kelompok, yakni

(untuk pasien dengan berat badan 70 kg):

Perdarahan kelas I: kehilangan darah s/d 750 ml = s/d 15 % volume

cairan tubuh

10

Page 11: refrat anemia.doc

Perdarahan kelas 2: kehilangan darah 750-1500 ml = 15-30 % volume

cairan tubuh

Perdarahan kelas 3: kehilangan darah s/d 1500-200 ml= 30-40%

volume cairan tubuh

Perdarahan kelas 4: kehilangan darah > 2000 ml = > 40 % volume

cairan tubuh (13)

Kehilangan darah menahun biasanya disebabkan oleh lesi pada saluran

makan atau uterus. Uji contoh feses untuk darah tersamar mutlak dilakukan

sebagai bagian evaluasi anemia, walaupun sering terabaikan. Kehilangan darah

kronik dapat menyebabkan anemia hanya bila kehilangan darah melebihi

kapasitas regenerasi sumsum tulang atau bila cadangan besi habis dan timbul

gejala anemia defiensi (6,13)

4.1.2 Pemecahan eritrosit yang berlebihan

Anemia ini lebih dikenal sebagai anemia hemolitik. Anemia hemolitik

merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa hidup sel darah

merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah merah 110-

120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi

kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang

berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari. Faktor yang

dapat menyebabkan anemia hemolitik adalah faktor yang berasal dari luar

eritrosit, yaitu reaksi antigen-antibodi, obat-obatan, dan bahan kimia, rudapaksa

pada eritrosit, hipersplenisme serta keracunan logam dan juga faktor yang berasal

dari eritrosit itu sendiri yaitu bawaan dan didapat. (3,11)

Sejumlah uji laboratorium digunakan untuk mengetahui cepatnya

pemecahan eritrosit. Jumlah retikulosit merupakan satu-satunya uji yang paling

bermanfaat. Pasien hemolisis hampir selalu mengalami jumlah retikulosit yang

meningkat

4.1.3 Pembentukan eritrosit yang berkurang

Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih

rendah dari destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:(11)

11

Page 12: refrat anemia.doc

1. Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan

diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defisiensi

Fe)

2. Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,

mielodisplasia, infilitrasi tumor)

3. Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)

4. Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah (eritro-

poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen

[hipogonadisme])

5. Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik

berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya

absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari

makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya

masa hidup erirosit.

4.2. MANIFESTASI KLINIS ANEMIA

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya

anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia

yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik

untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.

Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor:

Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan

Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan

masif ).

Gambar 2. Skema patofisiologi gejala anemia 4

12

Eritrosit/hemoglobin menurun

Kapasitas angkut oksigen menurun

Gejala anemia

Mekanisme kompensasi tubuhAnoksia organ target

Page 13: refrat anemia.doc

Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan

mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah

jantung pada kadar Hb mencapai 7 g% (Ht 21%). Gejala timbul bila kadar Hb

turun di bawah 7 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika

terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang

mendasarinya. Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat

istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat,

jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat

timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung,

angina, aritmia dan/atau infark miokard). Anemia yang disebabkan perdarahan

akut berhubungan dengan komplikasi berkurangnya volume intraseluler dan

ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala mudah lelah, lassitude (tidak

bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut menjadi postural dizzines,

letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi persisten, syok, dan

kematian. (1,2,3,4,5,11)

Selain gejala-gejala umum diatas, juga dijumpai gejala-gejala khas

masing-masing dari anemia dimana gejala ini spesifik, sebagai contoh :

Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan

kuku sendok (koilonychia)

Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin

B12

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali

Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi. (1,4,6)

13

Page 14: refrat anemia.doc

BAB V

PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA

Sesuatu yang harus diingat dari anemia adalah bahwa anemia merupakan

suatu simptom dan bukan suatu kesatuan penyakit yang dapat disebabkan oleh

berbagai penyakit dasar (underlying disease). Sehingga kita tidak cukup hanya

sampai kepada diagnosis anemia tetapi juga harus mencari apa penyebab utama

terjadinya anemia tersebut. Hal ini penting diperhatikan sehingga diperlukan

pendekatan terhadap diagnosis anemia. Pendekatan tersebut antara lain adalah

pendekatan klinik, laboratorium dan epidemiologik. 1

5.1 PENDEKATAN KLINIK

Dalam pendekatan klinis bergantung pada anamnesa dan pemeriksaan

fisik yang baik untuk mengetahui sindrom anemia, gejala yang menonjol dari

anemia, tanda-tanda khas masing-masing anemia.

5.1.1 ANAMNESIS

Anamnesis pada anemia harus ditujukan untuk mengeksplorasi riwayat

penyaki sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat gizi, anamnesis mengenai

lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik, riwayat pemakaian obat dan

riwayat keluarga (1,2,6)

Riwayat penyakit sekarang

Pasien anemia biasanya datang keluhan: kelelahan, lemah, pucat,

kurang bergairah, sakit kepala, dan mudah marah, tidak mampu

berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi, Sakit kepala, pusing,

kelemahan, tinitus(telinga berdengung), gangguan haid, demam, urin

seperti teh pekat, dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat

lelah waktu melakukan aktivitas jasmani.

Sebaiknya ditanyakan awitan anemia, awitan dapat menentukan

jenis anemia:

14

Page 15: refrat anemia.doc

Anemia yang timbul cepat biasanya disebabkan oleh: perdarahan akut,

anemia hemolitik, anemia yang timbul akibat leukemia akut, krisis

aplastik pada anemia hemolitik kronik.

Anemia yang timbul pelan-pelan- pelan biasanya disebabkan oleh

anemia defisiensi besi,anemia akibat penyakit kronik,anemia hemolitik

kronik yang bersifat kongenital, anemia defisiensi folat atau vitamin

B12.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia seperti ,

melena, artritis reumatoid, penyakit ginjal, hati, tiroid, malaria,

diare. Diare yang lama bisa menyebabkan anemia makrositik

karena terjadinya malabsorbsi asam folat dan vitamin B12 oleh usus

halus.

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit hematologi pada keluarga banyak yang

diturunkan seperti hemoglobinopati dan defisiensi enzim.

Riwayat gizi, lingkungan pemakaian obat

Asupan makan sangat mempengaruhi eritropoisis seperti besi, B12,

asam folat, dan kebiasaan makan yang aneh.Obat-obatan harus

harus dievaluasi dengan rinci pada pasien anemia, karena beberapa

obat bisa meransang antibody untuk menghancurkan sel darah

merah dalam sirkulasi, seperti antibiotik golongan penisilin,sulfa,

neuroleptik, termasuk antidepresan tricyclic dan phenotiazine,

diuretic thiazid, metildopa, sulfenil urea. Pada pasien dengan

defisiensi G6PD, infeksi, dan memakan obat antimalaria

primaquin, kloroquin dan sulfanamid dapat memicu terjadinya

anamia hemolitik akut.

5.1.2. PEMERIKSAAN FISIK

Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat

menimbulkan manifestasi klinis yang luas. Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah

15

Page 16: refrat anemia.doc

menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk menilai beratnya

kondisi penderita. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan: (1,2,3,5,12,14)

Pucat terjadi akibat kombinasi dari menurunnya konsentrasi Hb dalam

darah dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Pucat terutama pada

kojungtiva, wajah, kuku, dan telapak tangan.

Ikterik dan adanya menunjukan kemungkinan proses hemolitik pada

penyakit hati kronis dan anemia hemolitik.

Atrofi papil lidah, disfagia dan stomatitis angularis petanda anemia

defisiensi besi. Lidah merah (buffy tounge) petanda anemia defisiensi asam

folat.

Limphadenopati, ekimosis dan splenomegali merupakan tanda

hematologic malignancy.

Ptekie dan ekimosis tanda anemia aplastik.

Penonjolan frontoparietal, maksila (facies rodent) pada thalasemia mayor.

Pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami

pada anemia defisiensi besi karena cacing tambang.

Pada anemia berat bisa menyebabkan peningkatan cardiac out put dan

peningkatan beban jantung, bisa juga terjadi murmur sistolik dan angina

pectoris. (10)

5.2. PENDEKATAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium hematologik dilakukan secara bertahap.

Pendekatan laboratorium pasien anemia bisa dilihat pada gambar 2.

Gambar 3. Algoritma pendekatan diagnosis anemia (1,4,13)

16

Anemia

Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Anemia normokromik normositerAnemia hipokromik mikrositer

Anemia makrositer

Lihat gambar 4 Lihat gambar 5 Lihat gambar 6

Page 17: refrat anemia.doc

Dari gambar diatas, terlihat kita harus menentukan dulu apakah pasien

menderita anemia, kemudian ditentukan jenis anemia berdasarkan morfologi

menurut indeks eritrosit apakah hipokrom mikrositer (gambar 4) normokromik

normositer (gambar 5) atau makrositer (gambar 6).

Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer (1,4,13)

Gambar 4 menerangkan pendekatan pasien dengan anemia hipokromik

mikrositer . mikrositik berarti ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal,

hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari

normal (MCV rendah; MCHC rendah). Hal ini umumnya menggambarkan

insufisiensi sintesis heme (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, kehilangan

darah kronik, gangguan sintesis globin, dan keadaan sideroblastik, seperti pada

17

Anemia hipokromik mikrositer

Besi serum

Menurun

TIBC Feritin

Besi sumsum tulang negatif

Anemia defisiensi besi

TIBC Feritin

Besi sumsum tulang positif

Anemia akibat peny kronik

Normal

Feritin normal

Elektroforesis Hb Ring sideroblaast dlm sumsum tulang

HbA2 HbF

Thalasemia beta Anemia sideroblastik

Page 18: refrat anemia.doc

talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital). Untuk itu diperlukan

pemeriksaan lebih lanjut: besi serum, TBC, feritin, sumsum tulang dan

elektroforesi Hb.

Gambar 5. Algoritma diagnosis anemia normokromik mormositer (1,4,13)

18

Anemia normokromik normositer

Retikulosit

Meningkat

Tanda hemolisis positif

Riwayat pendarahan akut

Tes coomb

Negatif

Riwayat keluarga positif

Enzimopati membranopati

hemoglobinopati

Positif

A.Mikroangiopati obat / parasit

AIHA

Anemia pasca pendarahan akut

Normal/menurun

Sumsum tulang

Hipoplastik Displastik Infiltrasi Normal

Tumor ganas

hematologi (leukemia, mielonia)

Anemia pada

leukemia akut/mielom

a

Anemia aplastik

Anemia pada sindrom

mielodisplastik

Limfoma kanker

Anemia mieloptisik

Faal hati faal ginjal faal tiroid

peny kronik

Anemia pd GGK peny hati kronik hipotiroid peny

kronik

Page 19: refrat anemia.doc

Anemia normokromik normositer (gambar 5), dimana ukuran dan bentuk

sel –sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah normal

(MCV dan MCH normal atau rendah) tetapi individu menderita anemia. Penyebab

anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik

termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang.

Bila ditemukan anemia normokromik normositer, dilakukan pemeriksaan

retikulosit, coomb’s tes, dan sumsum tulang.

Gambar 6. Algoritma pendekatan diagnostik anemia makrositer (1,4,14)

Anemia makrositer berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari

normal tetapi normokrom karena kosentrasi hemoglobinnya normal (MCV

meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya

sintesis asam nukleat DNA seperti ditemukan pada defisiensi asam folat dan

19

Anemia makrositer

Retikulosit

Meningkat

Riwayat pendarahan akut

An deff B.12

/as.folat dlm

terapi

Anemia pasca pendarahan

akut

Normal / menurun

Sumsum tulang

megaloblastik Non megaloblastik

B12 serum rendah

An. Deff B12

As folat rendah

An deff asam folat

Faal tiroid Diplastik

Anemia pd hipotiroid

Anemia pd peny hati

kronik

Sindroma mielodispla

stik

Faal hati

Page 20: refrat anemia.doc

defisiensi B12. Dilakukan pemeriksaan retikulosit, asam folat dan B12 serum,

sumsum tulang, serta faal tiroid dan faal hati.

5.2.1. TES PENYARING

Complete blood count (CBC)

CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit,

ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium,

pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam

permintaan pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood

counter, didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel (5,14)

Luas distribusi sel darah merah (RDW) adalah rasio lebar kurva distribusi

(histogram) terhadap volume sel darah merah rerata. RDW juga dihitung dari

coulter counter dan merupakan indeks variasi ukuran sel darah merah. Dalam

keadaan normal, nilai RDW berkisar dari 11,6 sampai 14,6. Inspeksi terhadap

kurva distribusi ukuran yang dihasilkan oleh penghitung otomatis mungkin

mengungkapkan adanya populasi sel darah merah tertentu yang volume selnya

berlainan. (14,15)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang

masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk

membuat klasifikasi anemia. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi

hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,

jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya

RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai

dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik (14).

Tidak hanya untuk menilai manifestasi kekurangan zat besi, banyak

penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara luas distribusi sel

darah merah dengan manifestasi penyakit lain. Penelitian yang dilakukan oleh

Mustafa Cetin dkk tahun 2012 mengungkapkan bahwa RDW berkaitan erat

dengan kejadian coronary atherosclerosis disease (CAD) dari inflamasi

nonspesifik dan sel-sel inflamasi.(15)

20

Page 21: refrat anemia.doc

Penelitian yang lain dilakukan oleh Colette E. Jackson dkk tahun 2009

mengungkapkan bahwa pemeriksaan RDW menjadi nilai prognostik tambahan

pada pasien dengan gagal jantung akut. (16)

Sel darah merah berinti (normoblas)

Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi.

Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis

(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian

dari gambaran leukoeritroblastik pada penderita dengan bone marrow

replacement. Pada penderita tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya

normoblas dapat menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti

sepsis atau gagal jantung berat.

Hitung retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa

persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit

absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah

efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan

jumlah yang diproduksi pada penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit

terkoreksi adalah:

Faktor lain yang mempengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah

adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia.

Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa

RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari

sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal

ini terutama terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan

eritropoiesis. Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit

imatur disebut reticulocyte production index (RPI)(14,17).

21

Page 22: refrat anemia.doc

Tabel 5. Faktor koreksi hitung RPI

Hematokrit penderita (%) Faktor koreksi

40 – 45

35 – 39

25 – 34

15 – 24

< 15

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang

dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih

merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang

adekuat terhadap anemia.

Jumlah leukosit dan hitung jenis

Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau

infiltrasi sumsum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat.

Adanya leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inflamasi atau keganasan

hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat memberikan

petunjuk ke arah penyakit tertentu: (17)

1 Peningkatan hitung neutrofil absolut pada infeksi

2 Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia

3 Peningkatan eosinofil absolut pada infeksi tertentu

4 Penurunan nilai neutrofil absolut setelah kemoterapi

5 Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian

kortikosteroid

6 Jumlah trombosit Abnormalitas memberikan informasi penting untuk

diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang

berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan

keganasan pada sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik

atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12. Peningkatan jumlah

trombosit dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif, defisiensi Fe,

inflamasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit

22

Page 23: refrat anemia.doc

(trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit

mieloproliferatif atau mielodisplasia.

Pansitopenia

Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan

netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi

folat, vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia

ringan dapat ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic trapping

sel-sel hematologis. Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat

membantu diagnostik. Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g%

menjadi 10 g% dalam 7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung

retikulosit = 0) dan bila destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per

hari), Hb akan turun 7% dalam 7 hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% =

1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat

diasumsikan supresi sumsum tulang saja bukan merupakan penyebab anemia dan

menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah.(14,17,18)

Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi

Apusan darah tepi pada semua kasus anemia sangat penting dilakukan.

Morfologi eritrosit abnormal atau inklusi eritrosit dapat mengarah pada diagnosis

tertentu. Bila penyebab mikrositosis dan makrositosis dapat bersamaan, misalnya

pada defisiensi asam folat atau B12 campuran, indeks eritrosit mungkin normal,

tetapi apusan darah tepi menunjukkan gambaran dimorfik (dua populasi sel

eritrosit besar dengan hemoglobin cukup dan sel kecil yang hipokrom). Apusan

darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak dapat

dideteksi dengan automated blood counter. Berikut adalah tabel sel eritrosit pada

apusan darah tepi (5,14, 19,20)

23

Page 24: refrat anemia.doc

Tabel 6. Sel-sel eritrosit patologis pada apusan darah tepi (5,19)

5.2.2. PEMERIKSAAN SUMSUM TULANG

Tujuan pemeriksaan sumsum tulang memungkinkan penilaian

selularitas,pematangan, komposisi elemen hematopoetik dalam sumsum tulang

serta evaluasi dari cadangan besi. Lokasi paling umum untuk prosedur adalah

24

Page 25: refrat anemia.doc

krista iliaka posterior dan anterior dan tulang dada. Pada pemeriksaan sumsum

tulang banyak informasi morfologi dapat diperoleh. Rincian sel yang sedang

berkembang dapat diperiksa (misal normoblas atau megaloblastik), proporsi

berbagai jalur sel dapat dinilai. (5,20)

Indikasi pemeriksaan sumsum tulang pada penderita anemia:

1. Abnormalitas hitung sel darah dan/atau morfologi darah tepi

Sitopenia dengan penyebab tidak diketahui

Leukositosis dengan penyebab tidak diketahui atau disertai leukosit

abnormal

Sel teardrops atau leukoeritroblastosis

Rouleaux

Tidak ada atau rendahnya respons retikulosit terhadap anemia

2. Evaluasi penyakit sistemik

Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati yang tidak diketahui

penyebabnya

Staging tumor: limfoma, tumor solid

Pemantauan efek kemoterapi (14,17,18,20)

25

Page 26: refrat anemia.doc

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity),

tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying

disease)

2. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang

patogenesis dan patofisiologi anemia, serta keterampilan dalam

memilih, menganalisa serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

3. Untuk mendiagnosis anemia diperlukan bukti adanya anemia, jenis

anemia dan penyebab anemia

4. Algoritma anemia sangat penting dalam mendiagnosis penyakit

anemia

6.2 SARAN

Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan

laboratorium untuk dapat menentukan jenis dan penyebab anemia

sehingga terapi yang diberikan dapat tepat sasaran

26

Page 27: refrat anemia.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta I Made, Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI; 2006: 632-636

2. Price Sylvia A, dkk, dalam buku Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC

3. Boediwarsono, Soebandiri, Soegiarito, Ashariati A, Sedana MP,

Ugroseno, Anemia, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam, Surabaya: FK

UNAIR; 2007: 139-142

4. Bakta IM, Hematologi Klinik Ringkas, Jakarta: EGC; 2007 : 1-19

5. Perkins MD, Diagnosis of Anemia, downloaded from

http://www.ascp.org/pdf/SneekPeekPracDiagofHemDisorders.aspx

6. Robbins and Cottrans, Pathologic Basis of The Disease: Saunders

Elsevier; eight edition, 2010: 639-667

7. Bruno de Benoist DB, McLean E, Egli I, Cogswell M, World Wide

prevalence of anemia, in WHO Global Database on Anemia, 1993-2005

8. Susenas 2001, Komplemen Pengumpulan Data dalam Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) dalam www.titin.litbang.depkes.go.id

9. Riset Kesehatan Dasar, (RISKESDAS) 2007. Laporan Nasional 2007,

diunduh dari www.litbang.depkes.go.id/laporanRKD

10. Wen S, Wang LX, The Impact of Anemia on the Prognosis of Chronic

heart Failure: A Meta-analysis and Systemic Review; Congest Heart Fail.

2009; 15: 123-130

11. Guyton and Hall, Fisiologi Kedokteran, Penerbit ECG, Jakarta, 2007:439-

449

12. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit ECG, Jakarta,

2007: 360-369

13. Djumhana TB, Rahman A, Transfusi Darah, dalam Buku

Kegawatdaruratan Penyakit Dalam, Jakarta; Interna publishing:2011:146-

149

14. Oehadian A, Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia, dalam Continuing

Medical Education: CDK-194/vol. 39 no. 6 tahun 2012

27

Page 28: refrat anemia.doc

15. Cetin M, et al, Red Blood Cell Distribution Width (RDW) and its association with coronary Atherosclerosis burden in Patients with Stable Angina Pectoris, Eur J Gen Med, 2012;9: 7-13

16. Jackson CE et all, Red Cell Distribution Width has Incremental Prognostic Value to B-Type natriuretic peptide in Acute heart failure, European Journal of Heart Failure: 2009(11): 1152-1154

17. L. Van Hove , et all, Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn Technology Reviewed for the New Millenium: Carden Jennings Publishing Co. 2000, Ltd; Laboratory Hematology 6:93-108

18. Gandasoebrata R, Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta; Dian Rakyat;

2008: 7-49

19. Tefferi A, Anemia in Adult: A Contemporary approach to Diagnosis;

Mayo Clin Proc, 2003; 78: 1274-1280

20. Ford J, Red Blood Cell Morphology, Blackwell Publishing Ltd: int. jnl.

lab. Hem 2013, 35, 351-357.

28