BAB I PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang amat sering, anemia terutama anemia ringan sering kali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. (1) Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan atau berkurangnya jumlah eritrosit di bawah nilai normal sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara prakis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Dengan demikian, anemia bukanlah 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai di klinik di
seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama
di negara berkembang. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap
kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya
yang amat sering, anemia terutama anemia ringan sering kali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. Anemia bukanlah suatu
kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis
anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat
ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut.(1)
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan atau
berkurangnya jumlah eritrosit di bawah nilai normal sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara prakis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.
Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.
Dengan demikian, anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. Harus diingat bahwa
terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa eritrosit, seperti pada keadaan dehidrasi, perdarahan akut dan
kehamilan. (1,2,3,4,5,6)
Anemia merupakan penyakit dengan prevalensi yang sangat besar,
diperkirakan lebih dari 30 % penduduk di dunia menderita anemia dengan
sebagian besar tinggal di daerah tropik. Beberapa peneliti dan laporan menyatakan
bahwa anemia defisiensi besi merupakan prevalensi yang paling tinggi dari
berbagai anemia gizi, dan hampir separuh dari semua wanita di negara
berkembang menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia saat ini masih
1
cukup tinggi, terutama anemia defisiensi nutrisi seperti besi, asam folat, atau
vitamin B12, hal ini dikarenakan masyarakat indonesia masih belum sepenuhnya
menyadari pentingnya zat gizi. (1,7)
Pada negara-negara berkembang insiden anemia masih sangat bervariasi.
Survei berbagai negara menunjukkan prevalensi anemia berkisar 32% - 55%. Di
Cina didapatkan prevalensi anemia pada wanita sebesar 61,8%, di Taiwan
prevalensi anemia pada usia belasan tahun sebesar 9,38%-26,4%, India prevalensi
sebesar 25%. Sedangkan di Indonesia, tingginya angka anemia dapat dilihat dari
Survei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia pada tahun 2001. Dalam survei ini
terungkap prevalensi anemia defisiensi besi sekitar 40-58% dari total populasi
penduduk Indonesia. Prevalensi pada usia sekolah dan remaja (15-19 tahun)
mencapai 26,5%, wanita usia subur, baik yang menikah maupun tidak menikah
sebesar 51,4% dan wanita hamil 40 %. (7,8)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun 2007, di 440
kota/kabupaten dalam 33 provinsi indonesia yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan mengungkap
bahwa 20 provinsi memiliki prevalensi anemia lebih besar dari nasional,
prevalensi anemia di perkotaan paling tinggi terjadi pada kelompok anak usia
balita, yaitu 27,7%, diikuti dengan kelompok usia lanjut (75 tahun ke atas) sebesar
17,7%.(9)
Suatu riset metaanalisis yang dilakukan oleh Sheng-Wen membuktikan
bahwa beratnya anemia sangat berhubungan erat dengan tingkat mortalitas dan
perawatan di rumah sakit pada pasien gagal jantung. Anemia merupakan faktor
resiko independen yang merugikan pada pasien dengan CHF. (10)
BAB II
2
SISTEM ERITROPOESIS
Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang
kira-kira berdiameter 8µm, tebal bagian tepi 2µm dan ketebalannya berkurang di
bagian tengah menjadi 1µm atau kurang. Volume rata-rata sel darah merah adalah
90 sampai 95 mikrometer kubik. Komponen utama sel darah merah adalah
hemoglobin protein, yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian
kecil fraksi karbondioksida, dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian
dapar intraseluler. Contohnya sel tersebut mengandung sejumlah besar karbonik
anhidrase, suatu enzim yang mengkatalisis reaksi reversibel antara karbon
dioksida dan air untuk membentuk asam karbonat (H2CO3), yang dapat
meningkatkan kecepatan reaksi ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini
membuat air dalam darah dapat mengangkut sejumlah besar CO2 dalam bentuk
ion bikarbonat (HCO3-) dari jaringan ke paru-paru. Di paru, ion tersebut diubah
kembali menjadi CO2 dan dikeluarkan ke dalam atmosfer sebagai produk limbah
tubuh. (2,11)
Konsentrasi sel-sel darah merah dalam darah pada pria normal
permilimeter kubik adalah 5.200.000 (± 300.000); pada wanita normal adalah
4.700.000 (± 300.000). orang yang tinggal di dataran tinggi mempunyai sel darah
merah yang lebih besar (2)
2.1. PRODUKSI SEL DARAH MERAH
Darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe sel
yang disebut sel stem hematopoetik pluripoten, yang merupakan asal dari semua
sel dalam darah sirkulasi. Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari
rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai,
sejumlah besar sel ini dibentuk dari sel-sel stem CFU-E. Begitu proeritroblas ini
terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali, sampai akhirnya membentuk
banyak sel darah merah yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil
eritroblas sebab dapat dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap
ini mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya sel sudah
dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34 %, nukleus memadat
3
menjadi kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar sel. Pada saat
yang sama retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut
retikulosit karena masih mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri
dari sisa-sisa aparatus golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya.
Selama tahap retikulosit ini, sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk k dalam
kapiler darah dengan cara diapedesis (terperas melalui poro-pori membran
kapiler). Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan
menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit
matur. Karena waktu hidup retikulosit ini pendek, maka konsentrasinya diantara
semua sel darah merah normalnya sedikit kurang dari 1 %. (1,2,3,4,11)
Gambar 1. Skema Pembentukan Eritrosit
2.2 PENGATURAN PRODUKSI SEL DARAH MERAH
Rata-rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta
per milimeter kubik, masing-masing sel darah merah memiliki siklus sekitar 120
hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dengan penggantian
normal sel darah sehari-hari. Produksi sel darah merah dirangsang oleh hormon
glikoprotein, eritroprotein, yang terutama berasal dari ginjal, dengan 10%
diketahui terutama berasal dari hepar. Produksi eritropoetin dirangsang oleh
hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan-perubahan tekanan O2
atmosfer, penurunan kandungan O2 darah arteri, dan penurunan konsentrasi
4
hemoglobin. Eritropoetin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan
maturasi sel-sel darah merah.(2,11)
Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan
penggunaannya yang sesuai. Banyak substansi esensial untuk pembentukan
eritrosit dan hemoglobin. Diantaranya adalah asam amino, besi, tembaga,
piridoksin, kobalt, vitamin B12 dan asam folat. Besi esensial untuk produksi
heme, dan kira-kira 65% dari besi tubuh ada dalam hemoglobin. Vitamin B12
(sianokobalamin) esensial untuk sintesis molekul asam deoksiribonukleat (DNA)
dalam pembentukan eritrosit. Molekul besar ini tidak dengan mudah menembus
mukosa saluran gastrointestinal, tetapi harus terikat pada glikoprotein yang
diketahui sebagai faktor intrinsik untuk absorbsinya. Faktor intrinsik ini disekresi
oleh sel parietal dari mukosa lambung dan berikatan dengan vitamin B12 untuk
melindunginya dari enzim pencernaan. Setelah absorbsi dari saluran
gastrointestinal, vitamin B12 disimpan dalam hati dan tersedia untuk produksi
eritrosit baru. Asam folat juga perlu untuk sintesis DNA dan meningkatkan
pematangan eritrosit.(2,6,11)
5
BAB III
KRITERIA DAN KLASIFIKASI ANEMIA
3.1 KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Perlu ditentukan batasan yang dianggap sudah terjadinya anemia yang
sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan ketinggian tempat tinggal. Di
negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 gr/dL dan
12 g/dL untuk perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi
angka berbeda yaitu 12 gr/dL (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11
g/dL (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dL untuk laki-laki
dewasa. WHO telah menetapkan batasan cut off point anemia untuk keperluan
penelitian lapangan yaitu (1,7)
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (7)
Kelompok umur Kriteria anemia
Laki-laki (umur > 15 tahun)
Wanita tidak hamil (>15 tahun)
Wanita hamil
Anak (umur 12-14,99 tahun)
Anak (umur 5-11,99 tahun)
Anak (umur 5 bulan- 4,99 tahun)
< 13 g/dL
<12 g/dL
<11 g/dL
<12 g/dL
< 11,5 g/dL
< 11 g/dL
Kriteria anemia di klinik (rumah sakit atau praktek klinik) untuk indonesia
pada umumnya adalah hemoglobin < 10 gr/dL, hematokrit < 30 %, dan eritrosit <
2,8 juta/ mm3. Sedangkan klasifikasi derajat anemia yang sering dipakai adalah
ringan, sedang, dan berat (4).
Tabel 2. Kriteria derajat anemia (4)
Derajat anemia Hemoglobin
Ringan
sedang
berat
8gr/dL - 9,9g/dL
6 gr/dL – 7,9 g/dL
< 6 gr/dL
6
3.2 KLASIFIKASI ANEMIA
Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Klasifikasi anemia
yang paling sering dipakai adalah klasifikasi berdasarkan gambaran morfologi
eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi. Dalam klasifikasi anemia ini dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu(1,2,3,4,5,6):
1. anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl, dan MCH < 27 pg
2. anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95fl, dan MCH 27-34 pg
3. anemia makrositer bila MCV > 95fl
Klasifikasi ini dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi(1,2,3,4,5,6)
Klasifikasi berdasarkan morfologi dan etiologi
anemia hipokrom mikrositer
anemia defisiensi besi
thalassemia
anemia akibat penyakit kronik
anemia sideroblastik
anemia normokromik normositer
anemia pasca perdarahan akut
anemia aplastik
anemia hemolitik didapat
anemia akibat penyakit kronik
anemia mieloplastik
anemia pada gagal ginjal kronik
anemia pada mielofibrosis
anemia pada sindrom mielodisplastik
anemia pada leukemia akut
anemia makrositer
megaloblastik
anemia defisiensi folat
anemia defisiensi vitamin B12
nonmegaloblastik
7
anemia pada penyakit hati kronik
anemia pada hipotiroid
anemia pada sindroma mieloblastik
Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis, yaitu klasifikasi berdasarkan
etiologi dan patogenesis terjadinya anemia. Anemia berdasarkan etiopatogenesis
ini dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
• Berkurangnya produksi eritrosit dalam sumsum tulang.
• Meningkatnya destruksi eritrosit.
• Kehilangan eritrosit dari tubuh.
Tabel 4. Klasifikasi etiopatogenesis (1,2,3,4,5).
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1 Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2 Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3 Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoetik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
4 Anemia karena kekurangan eritropoetin
a. Anemia pada gagal ginjal kronik
b. Hipopituitari, hipotiroidism
c. Malnutrisi
d. Inflamasi kronik
B. Anemia karena kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca perdarahan akut
8
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. anemia karena penghancuran eritrosit dari dalam tubuh (hemolisis)
1) faktor ekstrakorpuscular
i) anemia hemolitik autoimun
ii) anemia hemolitik mikroangiopati
iii) lain-lain
2) faktor intrakorpuskular
i) gangguan membran eritrosit (membranopati)
ii) gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat def G6PD
15. Cetin M, et al, Red Blood Cell Distribution Width (RDW) and its association with coronary Atherosclerosis burden in Patients with Stable Angina Pectoris, Eur J Gen Med, 2012;9: 7-13
16. Jackson CE et all, Red Cell Distribution Width has Incremental Prognostic Value to B-Type natriuretic peptide in Acute heart failure, European Journal of Heart Failure: 2009(11): 1152-1154
17. L. Van Hove , et all, Anemia Diagnosis, Classification, and Monitoring Using Cell-Dyn Technology Reviewed for the New Millenium: Carden Jennings Publishing Co. 2000, Ltd; Laboratory Hematology 6:93-108