BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Infeksi dengue merupakan infeksi sistemik dan dinamis. Infeksi dengue memiliki
spektrum klinis yang luas yang meliputi manifestasi klinis berat dan tidak berat. Demam
berdarah dengue disebabkan virus dengue termasuk group B Arthropod borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviridae, yang
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4[1,2].
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
mempunyai diameter envelope 40-60 nm, mengandung RNA untai tunggal (ssRNA), positif-
sense. Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di dalam cisternae retikulum
endoplasma. Tergolong virus RNA, genus flavivirus, famili flaviviridae. Terdapat 4 serotipe
yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4 serta genotipe berbeda-beda. Penularan melalui
arthropoda yang menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus[2,7].
Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungsi utama
adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain.
Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus[2].
1
Epidemiologi
Gambar 1. Penyebaran Demam Dengue tahun 2009 (Buletin Jendela Epidemiologi, 2010)
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD
setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi
di Asia Tenggara[3].
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382
(77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus
DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009[3,8].
Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka
kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke seluruh kabupaten di wilayah Republik
Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Timor Timor. Kasus yang
pertama kali dilaporkan dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Kejadian Luar Biasa
(KLB) DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR 2%.
Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Provinsi Sumatera Utara jumlah kasus
DBD tahun 2008 sebanyak 4.454 kasus dengan jumlah kasus meninggal 49 kasus (CFR
1,10%) (IR 34,49) dan jumlah kasus DBD pada tahun 2009 sebanyak 4.534 kasus dengan
jumlah kasus yang meninggal 57 kasus (CFR 1,26%) (IR 34,46). Sumatera Utara merupakan
2
1 dari 6 propinsi yang mengalami peningkatan kasus DBD pada tahun 2009 dibandingkan
tahun 2008.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue
yaitu[8]:
1. Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu : terdapat penderita di lingkungan/ keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia, jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
Patogenesis
Patogenesis DBD dan sindronma syok dengue (SSD) masih merupakan masalah yang
kontroversial karena sejauh ini belum ada teori yang dapat menjelaskan secara tuntas
patogenesis DBD, namun sesuai perubahan, patofisiologi utama yang terjadi yaitu
peningkatan permeabilitas vaskuler dan homeostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskular
yang meningkat menimbulkan hilangnya cairan plasma dari kompartemen vaskular. Hal ini
menyebabkan hemokonsentrasi, rendahnya tekanan nadi, dan tanda-tanda syok lainnya.
Kebocoran plasma dapat menyebabkan asites. Patofisologi kedua adalah gangguan
hemostasis yang melibatkan perubahan vaskular, trombositopenia, dan koagulopati, sehingga
memunculkan manifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis, perdarahan gusi, epistaksis,
hematemesis dan melena. Aktivasi sistem komplemen yang menyebabkan menurunnya kadar
C3 dan C5. Mediator inflamasi meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. terjadinya
trombositopenia dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif, dimana menurunnya jumlah
trombosit pada fase akut mungkin disebabkan oleh trombosit yang tidak mampu berfungsi
normal. Oleh karena itu, terkadang pasien dengan jumlah trombosit diatas 100.000 per mm3
juga dapat mengalami perdarahan berkepanjangan[4,5].
Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan SSD yaitu teori infeksi primer/teori virulensi dan teori infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau teori infection enhancing antibody.
3
Teori pertama mengatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasai virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah.
Teori tersebut dibuktikan oleh para peneliti di bidang virus yang mencoba memeriksa
sekuens protein virus. Penelitian secara molekular biologi ini mendapatkan hal yang menarik.
Pada saat sebelum KLB (kejadian luar biasa), selama KLB dan setelah reda KLB ternyata
sekuens protein tersebut berbeda.
Teori kedua menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer
dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi jenis virus tersebut
untuk jangka waktu yang lama tetapi jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan
jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Hipotesis yang banyak dianut adalah infeksi sekunder virus dengue heterolog (the
secondary heterologous infection) dan setelahnya virulensi virus. Infeksi sekunder virus
dengue heterolog dimaksud diperkirakan jika terjadi dalam rentang waktu 5 atau 6 bulan
hingga 5 tahun sejak infeksi primer.
Bukti – bukti yang mendukung hipotesis ini antara lain, menghilangnya virus dengue
dengan cepat baik dari darah maupun jaringan tubuh, kadar IgG yang tinggi sejak permulaan
sakit, serta penurunan komplemen serum selama fase renjatan.
Pada infeksi sekunder heterolog, virus berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh manosit atau makrofag, membentuk Ab non-netralising serotipe yang berperan
cross-reaktif serta kompleks Ag-Ab yang mengaktifkan sistem komplemen (terutama C3a
dan C5a) dan histamine.
4
Reaksi sekunder setelah peningkatan replikasi virus intra sel adalah aktivasi sistem
komplemen (C3 dan C5), degranulasi sel mast dan aktivasi sistem kinin.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seseorang
pasien, respons limfosit T memori akan mengakibatkan proliferasi dan diferensiasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi dapat
juga terjadi dalam plasmosit. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-
antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen yang dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma keluar.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan
hematokrit dan penurunan natrium. Akibat pindahnya plasma ke rongga tubuh seperti pleura
dan cavum abdominal dapat menimbulkan efusi pleura dan asites. Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. Kedua
hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah, akhirnya dapat
mengakibatkan perdarahan. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endhothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan penglepasan platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (KID), sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrin degradation
product). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman akibatnya terjadi aktivasi faktor
Hageman akibatnya terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercapat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat shock yang terjadi[5].
5
Gambar 2. Hipotesis Secondary heterorolous infection ((Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Mekanisme yang mungkin berperan terhadap terjadinya demam berdarah dengue
adalah peningkatan replikasi virus di dalam makrofag oleh anibodi heterotypic. Terjadinya
infeksi sekunder dengue dengan virus dari serotipe yang berbeda dapat menyebabkan
gagalnya antobodi untuk menetralkan virus yang masuk sehingga meningkatkan jumlah
monosit yang terinfeksi dengue. Hal ini menyebabkan aktivasi dari CD41 dan CD81 limfosit
sitotoksik. Pelepasan sitokin menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi
pada demam berdarah dengue[4].
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
(SSD)[5].
6
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis
selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
risiko untuk terjadinya renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat[5].
Gambar 3. Klasifikasi Gejala Klinis pada Dengue[6] (WHO, 2005)
Gambar 4. Perjalanan Penyakit Dengue (WHO, 2009)
Pertanda penting yang perlu dikenali adalah munculnya demam dan perdarahan-
perdarahan[2].
Demam, penyakit infeksi pada umumnya menunjukkan gejala demam. Gejala demam
pada DBD adalah khas yaitu sifat demamnya tinggi lebih dari 38,5oC, berlangsung 2-7 hari,
tipe demam menyerupai punggung pelana kuda[2].
7
Gejala penyerta selain demam adalah nyeri kepala, pusing, kelemahan umum, rasa
mual, muntah, nyeri otot dan sendi[2].
Perdarahan, petanda penting lain adalah perdarahan-perdarahan mulai yang sangat
ringan yaitu baru positif muncul tanda perdarahan bila dilakukan uji bendungan, bintik-bintik
dan bintul-bintul perdarahan spontan pada kulit, biru-biru bekas tusukan jarum, mimisan, gusi
berdarah, sampai perdarahan nyata spontan dan berat muntah darah, BAB darah[2].
Pasien tetap sakit meskipun suhu turun, dan kondisi klinisnya menyimpang dengan
terjadinya kulit lembab, ekstremitas dingin dan berkeringat, mengantuk atau gelisah[2].
Kematian dengan penyebab tidak jelas karena syok, dengan atau tanpa perdarahan,
terjadi dalam satu minggu setelah awitan penyakit demam akut[2].
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih menifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbita
Mialgia/atralgia
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
Leukopenia[5]
Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD sudah
dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari perdarahan berikut:
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, atau purpura
8
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
Terdapat minimal satu dari tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin
Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia[5]
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah
ditemukan kebocoran plasma pada DBD.
Tabel 1. Derajat dengue dan demam berdarah dengue (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau
lebih tanda: sakit
kepala, nyeri retro-
orbital, mialgia,
artralgia
- Leukopenia
- Trombositopenia, tidak
ditemukan bukti
kebocoran plasma
Serologi
Dengue
Positif
DBD I Gejala diatas ditambah
uji bendung positif
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
DBD II Gejala diatas ditambah
perdarahan spontan
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
9
DBD III Gejala diatas ditambah
kegagalan sirkulasi
(kulit dingin dan
lembab serta gelisah)
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
DBD IV Syok berat disertai
dengan tekanan darah
dan nadi tidak terukur
Trombositopenia
(<100.000/ul), bukti ada
kebocoran plasma
*DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
Selain itu terdapat pula pembesaran hepar (hepatomegali). Hepar biasanya dapat di
palpasi pertama kali pada fase demam dan ukurannya bermacam-macam yaitu 2-4 cm
dibawah batas kosta. Walaupun ukuran hepar tidak berkorelasi dengan berat penyakit,
pembesaran hepar ditemukan lebih sering pada kasus syok dari pada non syok.
Limfadenopati pada DBD bersifat generalisata[8].
Tahap kritis dari rangkaian penyakit didapatkan pada akhir fase demam. Setelah 2-7
hari demam, penurunan cepat suhu sering diikuti tanda-tanda gangguan sirkulasi. Pasien
tampak berkeringat, menjadi gelisah, ekstremitasnya dingin, dan menunjukkan perubahan
pada frekuensi denyut nadi dan tekanan darah. Pada kasus yang kurang berat, perubahan ini
minimal dan sementara. Sebagian pasien sembuh spontan, atau setelah periode singkat terapi
cairan dan elektrolit. Pada kasus lebih berat, ketika kehilangan banyak melampaui batas kritis
maka syok pun terjadi dan berkembang kearah kematian bila tidak ditangani dengan cepat[8].
Sindroma syok dengue didiagnosa bila memenuhi semua dari empat kriteria untuk
DBD ditambah bukti kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lemah dan cepat dan tekanan
darah menurun menjadi <20mmHg, hipotensi, kulit lembab dan dingin, gelisah serta
perubahan status mental[8].
Diagnosis
Anamnesis
Hal yang perlu ditanyakan ketika anamnesis:
10
- Onset demam
- Intake minuman
- Ada atau tidaknya diare
- Mengidentifikasi tanda-tanda bahaya pada dengue
- Perubahan status mental
- Pengeluaran urin (frekuensi dan volume)
- Faktor-faktor penting lainnya, seperti: kehamilan, obesitas, diabetes melitus, hipertensi)[1].
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada dengue:
- Pemeriksaan status mental
- Pemeriksaan status hidrasi
- Pemeriksaan status hemodinamik
- Pemeriksaan ada atau tidaknya asidosis, takipneu, efusi pleura
- Pemeriksaan ada atau tidaknya asites, nyeri perut, dan hepatomegali
- Pemeriksaan ada atau tidaknya perdarahan
- Tes tourniquet (Tes Rumple Leede)[1]
Pedoman yang dipakai dalam menegakkan diagnosis DBD ialah kriteria yang disusun
oleh WHO (1999). Kriteria tersebut terdiri atas kriteria klinis dan laboratoris (WHO, 2009): [9]
Kriteria Klinis terdiri atas:
1. Demam tinggi mendadak (38,2°C-40°C) dan terus menerus selama 2-7
hari tanpa sebab yang jelas. Demam pada penderita DBD disertai batuk,
11
faringitis, nyeri kepala, anoreksia, nausea, vomitus, nyeri abdomen, selama
2-4 hari, juga mialgia (jarang), atralgia, nyeri tulang dan lekopenia.
2. Manifestasi perdarahan, biasanya pada hari kedua demam, termasuk
setidak-tidaknya uji bendung (uji Rumple Leede/Tourniquette) positif dan
salah satu bentuk lain perdarahan antara lain purpura, ekimosis,
hemastoma, epistaksis, perdarahan gusi dan konjuntiva. Perdarahan
saluran cerna (hematemesis, melena, atau hematochezia), mikroskopik
hematuria atau menorraghia
3. Hepatomegali, mulai dapat terdeteksi pada permulaan demam.
4. Manifestasi kebocoran plasma (hemokonsetrasi), mulai dari yang ringan
seperti kenaikan hematokrit >20% dibandingkan sebelumnya, sampai yang
berat yaitu syok (nadi cepat, lemah, kaki/tangan dingin, lembab, gelisah,
sianosis dan kencing berkurang).
Laboratorium
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
- Leukosit
- Trombosit
- Hematokrit
- Hemostasis
- Protein/albumin
- SGOT/SGPT
- Ureum
- Elektrolit
- Golongan darah dan cross match
- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue
- Uji HI
12
- NS 1[5]
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
1. Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfasitosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15 % dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
meningkat.
2. Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
3. Hematokrit : Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke 3 demam.
4. Hemostasis : Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
5. Protein/albumin : Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
6. SGOT/SGPT : dapat meningkat
7. Ureum, Kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
8. Elektrolit : Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
9. Golongan darah : bila akan dilakukan transfuse
Imunoserologi dilakukan untuk pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue[5].
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitorax kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitorax[5].
Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria klinis dan 2 kriteria
laboratoris (WHO, 1999).
Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan yaitu (WHO, 2009):
a. Derajat I: demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu – satunya tanda
perdarahan adalah tes torniquet positif atau mudah memar.
b. Derajat II: gejala derajat I ditambah dengan perdarahan spontan di kulit
atau di tempat lain.
13
c. Derajat III: ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi cepat,
lemah, hipotensi, kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, gelisah)
d. Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diperiksa.
Untuk diagnosis pasti DBD dapat ditegakkan bila ditemukannya virus dengue didalam
darah. Metode isolasi virus merupakan gold standard pemeriksaan virus dengue.
Pengambilan darah idealnya harus diambil selama periode demam dan lebih baik
sebelum hari kelima sakit. Setelah spesimen diambil selanjutnya dilakukan kultur sel dan
akhirnya dapat diidentifikasi setelah 2-3 minggu. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya
peralatan dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil, sehingga isolasi virus
hanya dilakukan untuk penelitian[5].
Diagnosis Banding
Diagnosis banding demam berdarah dengue adalah :
1. Chikungunya
2. Campak
3. Malaria
4. ITP
Penatalaksanaan
Pengobatan simptomatik dan suporif merupakan terapi efektif pada penderita DBD.
Terapi simptomatik yakni pemberian analgetik (parasetamol), kompres hangat. Terapi
suportif antara lain penggantian (replacement) cairan, pemberian oksigen dan jika diperlukan
dapat dilakukan transfusi darah. Pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi),
hematokrit, trombosit, elektrolit, kecukupan cairan, urine output, tingkat kesadaran, dan
manifestasi perdarahan berguna untuk mengetahui perkembangan penyakit[10].
Berdasarkan gejala klinisnya, pasien dapat melakukan rawat jalan, dirujuk ke rumah
sakit terdekat, atau dilakukan pertolongan segera[1].
14
Penatalaksanaan berdasarkan protokol PAPDI:
1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
15
4. Penatalaksaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
16
Kriteria diagnosis DBD WHO pada tahun 1997 tidak digunakan lagi karena dianggap
tidak mewakili semua kasus di belahan bagian dunia lain karena penyusunannya didasarkan
pada benyak kasus infeksi dengue di thailand.
Pasien Yang Mungkin Dirawat Di Rumah
Pasien yang memiliki intake baik dan pengeluaran urin yang baik setidaknya sekali
dalam enam jam dan tidak memiliki tanda-tanda bahaya, terutama saat demam reda
diperbolehkan untuk pulang. Pasien rawat jalan harus ditinjau setiap hari untuk
perkembangan penyakit (penurunan sel darah putih, penurunan suhu badan, tanda
perdarahan) sampai keluar dari periode kritis dengue. Pasien dengan kadar hematokrit stabil
dapat dikirim pulang setelah disarankan untuk kembali ke rumah sakit jika terdapat tanda-
tanda perdarahan[1]. Pasien dengan intake baik dianjurkan untuk meminum jus, cairan yang
mengandung elektrolit untuk mengganti kehilangan cairan karena demam dan muntah[1].
17
Paracetamol dianjurkan untuk pasien dengan demam tinggi. Pemberian asam
asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen atau OAINS tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
gastritis atau perdarahan[1].
Keluarga terdekat perlu diedukasi untuk segera membawa pasien ke rumah sakit jika
terdapat tanda-tanda: tidak ada perbaikan klinis, muntah persisten, nyeri perut berat, akral
dingin, letargi, dan perdarahan (BAB hitam atau muntah butiran kopi), dan tidak adanya
pengeluaran urin selama 4-6 jam[1].
Pasien yang Sebaiknya Dirujuk untuk Penanganan Rumah Sakit
Beberapa pasien membutuhkan observasi lebih dekat berdasarkan manifestasi
klinisnya, diantaranya pasien dengan tanda-tanda bahaya, pasien dengan risiko komplikasi
(pasien dengan kehamilan, geriatri, diabetes melitus, gagal ginjal, dan penyakit hemolitik
kronik)[1].
Tabel 2. Kriteria Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit pada Dengue (WHO, 2009)
18
Tabel 3. Tanda Bahaya pada Pasien Dengue (WHO, 2009)
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Jika pasien memiliki tanda-tanda bahaya, tatalaksana yang dilakukan adalah:
Cek nilai hematokrit sebelum memulai terapi cairan. Pasien dapat diberi cairan
isotonik seperti saline 0.9%, Ringer’s Lactate, cairan Hartmann’s. Dimulai dengan
pemberian 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian dikurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam
selama 2-4 jam, dan kemudian diturunkan menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang
berdasarkan respon klinis.
Nilai ulang status klinis dan nilai hematokrit. Jika hematokrit cenderung menetap atau
sedikit meningkat, maka terapi cairan tetap dilanjutkan (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4
jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat tajam, tingkatkan cairan
menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai ulang status klinis, ulangi pengecekan
hematokrit dan nilai ulang pemberian cairan.
Berikan volume cairan intravena minimal yang dibutuhkan untuk menjaga perfusi
yang baik dan pengeluaran urin sebanyak 0,5 ml/kg/jam. Pemeberian cairan intravena
biasanya berkisar antara 24-48 jam. Tueunkan pemberian cairan jika tanda-tanda
kebocoran plasma menurun. Hal ini ditandai dengan cukupnya pengeluaran urin,
intake makanan yang baik, atau penurunan kadar hematokrit di bawah rata-rata pada
pasien yang stabil.
Pada pasien dengan tanda-tanda bahaya, tanda vital dan perfusi perifer penting untuk
diperhatikan (1-4 jam sampai tanda-tanda kritis terlewati), pengeluaran urin(4-6 jam),
hematokrit (6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ lain (profil ginjal, profil
hepar, profil koagulasi, jika ada indikasi)[1].
Jika pasien tidak ada tanda-tanda bahaya, beberapa hal yang perlu dilakukan:
19
Pasien dengan intake baik dianjurkan untuk minum. Jika intake buruk maka
pemberian cairan intravena 0.9% saline atau Ringer’s Lactate dianjurkan dengan atau
tanpa dekstrosa untuk maintenance. Beberapa pasien akan memulai intake secara oral
setelah beberapa jam terapi cairan intravena. Pemberian volume minimum diperlukan
untuk menjaga perfusi yang baik dan pengeluaran urin. Cairan intravena dibutuhkan
selama 24-48 jam.
Temperatur tubuh pasien penting untuk diperhatikan, termasuk input dan output
cairan, pengeluaran urin (volume dan frekuensi), tanda-tanda bahaya, hematokrit,
leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fungsi ginjal dan hati
dapat dilakukan bergantung pada fasilitas rumah sakit setempat[1].
Pasien dengan Dengue Berat yang Memerlukan Penanganan Darurat
Pasien memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak ketika mereka berada di
kritis
fase kritis penyakit, yaitu:
Kebocoran plasma yang parah menyebabkan syok dengue dan / atau akumulasi cairan
dengan gangguan pernapasan
Perdarahan hebat
Gangguan organ (kerusakan hati, gangguan ginjal, kardiomiopati, encephalopathy
atau ensefalitis)[1].
Resusitasi cairan perlu dilakukan, dengan cairan kristaloid yang bersifat isotonik dan
volumenya harus cukup untuk memelihara sirkulasi yang efektif selama periode kebocoran
plasma. Pada kebocoran plasma, cairan yang hilang perlu digantikan dengan cairan kristaloid
isotonik. Pada kasus, syok hipotensif, cairan yang digunakan adalah cairan koloid[1].
Tabel 4. Kandungan Cairan Kristaloid dengan Koloid (WHO, 2009)
20
Jika memungkinkan, pemeriksaan hematokrit dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian cairan. Pemberian cairan dilanjutkan untuk mengganti hilangnya cairan plasma
untuk menjaga sirkulasi efektif selama 24-48 jam[1].
Pemberian cairan resusitasi perlu dipisahkan dengan pemberian cairan biasa, hal ini
perlu dilakukan untuk mengetahui respon pasien terhadap terapi serta mencegah terjadinya
edema paru. Tujuan dari resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki sirkulasi sentral dan
perifer (menurunkan takikardi, memperbaiki tekanan darah, dan memperbaiki capillary refill
time) dan menjaga tingkat kesadaran pasien agar stabil, meningkatkan output urin ≥ 0.5
ml/kg/jam, menurunkan asidosis metabolik[1].
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
21
Tabel 5. Penilaian perubahan hemodinamik (WHO, 2009)
Pemeriksaan tanda vital dan perfusi perifer dilakukan setiap 15-30 menit sampai
pasien tidak syok. Jika syok teratasi pemeriksaan dapat dilakukan setiap 1-2 jam. Pengeluaran
urin juga perlu di cek setiap 1-2 jam. Target pengeluaran urin adalah 0.5 ml/kg/jam.
Pemeriksaan hematokrit dilakukan sebelum dan sesudah tatalaksana cairan dengan bolus,
kemudian setelah stabil dapat dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan tambahan yang dapat
dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan analisa gas darah, gula darah, fungsi ginjal, fungsi
hati, pofil koagulasi atas indikasi[1].
Perubahan pada kadar hematokrit penting dalam tatalaksana demam berdarah dengue.
Perubahan kadar hematokrit harus diimbangi dengan perubahan hemmodinamik, respon
klinis pada terapi cairan dan keseimbangan asam basa. Sebagai contoh, peningkatan
hematokrit disertai tanda vital yang tidak stabil mengindikasikan adanya perdarahan hebat
dan membutuhkan transfusi segera. Jika penurunan hematokrit disertai dengan perubahan
22
tanda vital yang stabil mengindikasikan perubahan hemodinamik yang lebih baik, oleh karena
itu cairan dihentikan untuk mencegah adanya edema paru[1].
Tatalaksana pada Komplikasi Perdarahan
Perdarahan mukosa pada pasien dengan dengue, tetapi jika kondisi pasien cenderung
stabil dengen resusitasi cairan maka perdarahan dianggap sebagai kondisi minor. Jika
perdarahan hebat muncul, biasanya hal itu berasal dari perdarahan gastrointestinal atau
vagina pada wanita dewasa. Perdarahan internal tidak akan tampak selama beberapa jam
sampai dengan adanya tanda BAB hitam pada pasien[1].
Tanda pasien dengan risiko perdarahan hebat:
Syok berkepanjangan
Syok hipotensi dan adanya gagal ginjal atau penyakit hati kronik dan adanya asidosis
metabolik persisten
Pasien dengan terapi OAINS
Riwayat penyakit ulkus peptikum
Pasien dalam terapi anti-koagulan
Riwayat trauma, termasuk riwayat suntik intramuskular[1]
Pasien dengan kondisi hemolitik memiliki risiko hemolisis akut dengan hemoglobinuria
dan membutuhkan transfusi darah[1].
Perdarahan hebat ditandai dengan:
Status hemodinamik yang tidak stabil jika dilihat dari kadar hematokritnya
Penurunan kadar hematokrit setelah resusitasi cairan dengan kondisi hemodinamik
yang tidak stabil
Syok refrakter yang gagal merespon terhadap resusitasi cairan 40-60 ml/kg
Syok hipotensi dengan kadar hematokrit normal atau rendah setelah resusitasi
Asidosis metabolik persisten atau memburuk pada tekanan darah sistolik yang
terkendali, terutama pada pasien dengan nyeri perut dan distensi perut[1]
23
Transfusi darah dibutuhkan dan harus segera diberikan ketika tanda-tanda perdarahan
hebat muncul. Tetapi pemberiannya harus bersifat hati-hati untuk mencegah overload
cairan[1].
Tatalaksana pemberian transfusi pada komplikasi perdarahan:
Pemberian 5-10 ml/kg PRC atau 10-20 ml/kg WBC. Pemberian oksigen ke jaringan
optimal dengan kadar 2,3 DPG yang tinggi. Respon klinis yang baik dibuktikan
dengan membaiknya hemodinamik pasien dan keseimbangan asam-basa
Pertimbangkan untuk memberi transfusi berulang jika kehilangan darah lebih lanjut
atau tidak ada peningkatan hematokrit yang optimal setelah transfusi darah
Pada pemasangan NGT harus berhati-hati untuk mencegah perdarahan[1]
Penanganan Syok Terkompensasi
Penanganan Syok Hipotensi
24
Dengan manajemen medis yang tepat dan cepat yaitu memonitoring trombosit dan hematokrit serta terapi cairan yang adekuat maka mortalitasnya dapat diturunkan. DBD dapat terjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini.
BAB II
26
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Usia : 22 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gintung Tengah
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Masuk RS : 31 Agustus 2015
Keluar RS : 2 September 2015
II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun pada hari Senin, 31 Agustus 2015
dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan
mendadak tinggi, sepanjang hari. Selain demam pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah. Muntah berisi makanan, tidak ada darah. Selain itu pasien juga mengeluhkan
nyeri menelan, nyeri sendi dan nyeri ulu hati seperti ditusuk. BAB lancar tidak
berwarna hitam, BAK lancer. Tidak ada riwayat mimisan dan gusi berdarah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dan alergi tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam keluarga
27
Tidak terdapat riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 100 x/ menit
RR : 28 x/ menit
Suhu : 38,2oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Normocephal, rambut hitam, distribusi merata dan tidak rontok.
Mata
Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra
anemis (-/-) pada kedua mata, injeksi siliar -/-, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil
isokhor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)normal, pergerakan bola mata
ke segala arah baik, lapang pandang luas.
Hidung
Normoseptal, mukosa hidung lembab (+/+), hiperemis (-/-), epistaksis (-/-)
Telinga
Normotia, meatus akustikus normal (+/+), lubang telinga cukup bersih, debris
(-/-), serumen (-/-), nyeri tekan proc. Mastoideus (-/-), membran timpani intake.
28
Mulut
Mukosa bibir lembab, lidah deviasi (-), caries dentis (-), pembesaran tonsil (-/-),
gusi berdarah (-), stomatitis (-), atropi papil (-), sianosis (-).
Leher
Pembesaran KGB (-)
Dada
Paru-paru
Inspeksi: statis & dinamis simetris kanan dan kiri
Palpasi: fremitus taktil dan vocal sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) kanan kiri, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 LMCS
Perkusi : Batas atas jantung atas ICS 3 LPS, batas kanan ICS 5 LS Dextra,
batas kiri ICS 5 LMC sinistra
Auskultasi : HR 80 x/menit, Bunyi Jantung reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tampak datar
Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrium, massa (-), hepar, lien tidak
teraba, ballotement (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising Usus (+) 8 kali/menit
Genital : Tidak diperiksa
29
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat (+/+) , Petekie (-/-), nyeri sendi (-), edema(-), jaringan
parut (-), turgor kembali lambat (-).
Ekstremitas bawah :akral hangat (+/+), Petekie (-/-), nyeri sendi (-), edema(-), jaringan
parut (-), turgor kembali lambat (-).
Tes rumple leede (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Senin, 31 Agustus 2015 pukul 19.09
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL
WBC 6,80 103/Ul 5.2-12.4
RBC 5,60 106/Ul 4,2-6,1
HGB 15,0 g/dL 14-18
HCT 42,4 % 37-52
MCV 75,70 Fl 80-99
MCH 26,8 Pg 27-31
MCHC 35,4 g/dL 33-37
RDW 14,9 % 11,5-14,5
PLT 111 L 103/ul 150-450
Limfosit 0,9 103/ul 1,0-3,0
Monosit 0,5 103/ul 0,2-1,0
Granulosit 6,5 103/ul 2,0-7,0
%Limfosit 13,5 % 25,0-40,0
%Monosit 7,1 % 2,0-8,0
%Granulosit 79,4 % 50,0-70,0
MPV 8,7 µm3 7,0-11,0
PCT 0,097 L % 0,200-0,500
RDW 15,0 % 10,0-18,0
30
KGDS : 94 mg/dl
V. RESUME
Pasien laki-laki 22 tahun dengan keluhan utama demam mendadak tinggi terus
menerus, mual, muntah berisi makanan, nyeri tenggorokan, nyeri ulu hati dan nyeri
menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium dan tes rumple
leede positif. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia
(111.000/uL).
VI. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA
Demam Dengue
DIAGNOSIS BANDING
Demam Berdarah Dengue
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
VII. PENATALAKSAAN
Non Medikamentosa:
- Tirah baring
Medikamentosa
IVFD RL 30tpm
Ranitidin 2 x 1 amp
Ondansentron 3 x 1 amp
Antrain 3 x 1 amp
Omeprazol 2 x 1 amp
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
31
Darah lengkap/24 jam
IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
X. FOLLOW UP PASIEN SELAMA DIRAWAT
Tanggal 1 September 2015, pukul 07.00 WIB
S : Demam (+), nyeri sendi (+), mual (-), muntah (-), nyeri pada ulu hati (+),nafsu
makan baik, gusi berdarah (-), mimisan (-)
O :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 38,6oC
Kepala : Sklera ikterik -/-
Konjunctiva anemis -/-
Leher: : Tidak teraba KGB
Cor : BJ I-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (+) epigastrium, bising usus (+) 9 kali/menit
Extremitas : Edema extr. superior -/-, petekie -/-, akral hangat +/+
Edema extr. Inferior -/-, petekie -/-, akral hangat +/+
A : Demam Dengue
P :
32
Non-Medikamentosa
Tirah Baring
Medikamentosa
- IVFD RL 30tpm
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Antrain 3 x 1 amp
- Omeprazol 2 x 1 amp
- Ondansentron 3 x 1 amp
- Antrain 3 x 1 amp
- Omeprazol 2 x 1 amp
Tanggal 2 September 2015, pukul 07.00 WIB
S : Demam (+),nyeri sendi (+), mual (-), muntah (-), nyeri pada ulu hati (-),gusi
berdarah (-), mimisan (-), BAB dan BAK lancar.
O :
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,7oC
Kepala : Sklera ikterik -/-
Konjungtiva anemis -/-
Leher: : Tidak teraba KGB
Cor : BJI-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki basah halus -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) 8 kali/menit
Extremitas : Edema extr. superior -/-, petekie +/+, akral hangat +/+
Edema extr. Inferior -/-, petekie +/+, akral hangat +/+
33
A : Demam Dengue
P : acc pulang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selasa, 1 September 2015 jam 08.16 WIB
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL
WBC 7,30 103/Ul 5.2-12.4
RBC 5,52 106/Ul 4,2-6,1
HGB 15,0 g/dL 14-18
HCT 41,4 % 37-52
MCV 75,0 Fl 80-99
MCH 27,2 Pg 27-31
MCHC 36,2 g/dL 33-37
RDW 15,5 % 11,5-14,5
PLT 109 L 103/ul 150-450
Limfosit 0,9 103/ul 1,0-3,0
Monosit 0,5 103/ul 0,2-1,0
Granulosit 5,8 103/ul 2,0-7,0
%Limfosit 12,6 % 25,0-40,0
%Monosit 7,3 % 2,0-8,0
%Granulosit 80,1 % 50,0-70,0
MPV 8,7 µm3 7,0-11,0
PCT 0,095 L % 0,200-0,500
RDW 15,5 % 10,0-18,0
Rabu, 2 September 2015 pukul 7.00 WIB
34
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMAL
WBC 6,30 103/Ul 5.2-12.4
RBC 5,06 106/Ul 4,2-6,1
HGB 14,1 g/dL 14-18
HCT 37,7 % 37-52
MCV 74,5 Fl 80-99
MCH 27,9 Pg 27-31
MCHC 37,4 g/dL 33-37
RDW 16,0 % 11,5-14,5
PLT 283 L 103/ul 150-450
Limfosit 1,2 103/ul 1,0-3,0
Monosit 0,5 103/ul 0,2-1,0
Granulosit 4,6 103/ul 2,0-7,0
%Limfosit 18,7 % 25,0-40,0
%Monosit 8,7 % 2,0-8,0
%Granulosit 72,6 % 50,0-70,0
MPV 8,2 µm3 7,0-11,0
PCT 0,232 L % 0,200-0,500
PDW 14,4 % 10,0-18,0
DAFTAR MASALAH
- Demam Dengue
- Dispepsia
1. Demam Dengue
35
Atas dasar terdapat demam, nyeri sendi, nyeri menelan, suhu 38,2o C, tes rumple leed + trombosit 111 103 u/L
Assesment : Demam Dengue
Diagnosis Banding : Demam Berdarah Dengue, ITP
Planning : Serologi Dengue Blot
Terapi
Non farmakologis : tirah baring
Farmakologis :
- IVFD RL 30tpm
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Ondansentron 3 x 1 amp
- Antrain 3 x 1 amp
- Omeprazol 2 x 1 amp
2. Dispepsia
Atas dasar terdapat nyeri epigastrium, mual dan muntah.
Assesment : Dispepsia
Diagnosis Banding : GERD, IBS
Planning : Endoskopi
Terapi
Non farmakologis :
- Makan teratur
- Menghindari obat penyebab ulcer (Aspirin, NSAID, dll)
- Menghindari stress
- Menghindari rokok, alkohol, dan kafein (stimulan asam lambung)
Farmakologis :
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Ondansentron 3 x 1 amp
- Antrain 3 x 1 amp
- Omeprazol 2 x 1 amp
- Antasida 3 x 1
36
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien laki-laki 22 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan mendadak tinggi dan terus menerus. Selain demam pasien
37
juga mengeluhkan nyeri menelan, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Muntah berisi makanan,
tidak ada darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastriumdan tes rumple leede positif.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia (111.000/uL). Berdasarkan
gejala klinis dan hasil lab yang di dapat, pasien termasuk ke dalam kriteria Demam Dengue
karena tidak ditemukan tanda-tanda hemokonsentrasi yaitu peningkatan hematocrit >20% dan
pasien mendapat terapi cairan intravena sebanyak 2200 ml per hari dan terapi simptomatis.
Perhitungan untuk pemberian yang dapat diberikan pada pasien;
IVFD Ringer Laktat
Kebutuhan cairan per hari = 1500 + {20 x (BB dalam Kg – 20)}
= 1500 + {20 x (55 – 20)}
= 2200
Jumlah tetes per menit = Jumlah cairan x 20
Jam Pemberian x 60
= 2 2 00 x 20
24 60
= 30 tpm
Selain itu pasien diberikan obat simptomatik untuk mual, muntah dan nyeri ulu hati yaitu
Ranitidin 2 x 1 amp, Ondansentron 3 x 1 amp, Antrain 3 x 1 amp, Omeprazol 2 x 1 amp.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization.Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. France. 2009. Hal 1-67
2. Nasronudin, et al,. Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi Kini & Mendatang. Airlangga University Press. Surabaya. 2007. Hal: 46-53
38
3. Achmadi UF. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2. Jakarta. Agustus 2010. Hal 1-11
4. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment, prevention, and control, 2nd ed. Geneva. 1997. Hal: 1-20
5. Suhendro, et al,. 2009. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid III. Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Interna
Publishing. Jakarta. 2009. Hal: 2773-2782
6. World Health Organization. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. USA. 2005. Hal: 1-40
7. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu I., Setiowulan
Wiwiek. Demam Dengue. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculapius
FKUI. Jakarta. 2004. h: 428-433.
8. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World Health
Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf. Diakses pada
14 September 2015.
9. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
edition.Geneva : World Health Organization. 1997. Diunduh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/
print.html.
10. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. TataLaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta.2004.
39