BAB I TINJAUAN PUSTAKA Definisi Infeksi dengue merupakan infeksi sistemik dan dinamis. Infeksi dengue memiliki spektrum klinis yang luas yang meliputi manifestasi klinis berat dan tidak berat. Demam berdarah dengue disebabkan virus dengue termasuk group B Arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4 [1,2] . Etiologi Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, mempunyai diameter envelope 40-60 nm, mengandung RNA untai tunggal (ssRNA), positif-sense. Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di dalam cisternae retikulum endoplasma. Tergolong virus RNA, genus flavivirus, famili flaviviridae. Terdapat 4 serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4 serta genotipe berbeda-beda. Penularan melalui arthropoda yang menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus [2,7] . Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungsi utama adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain. Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus [2] . 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Infeksi dengue merupakan infeksi sistemik dan dinamis. Infeksi dengue memiliki
spektrum klinis yang luas yang meliputi manifestasi klinis berat dan tidak berat. Demam
berdarah dengue disebabkan virus dengue termasuk group B Arthropod borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviridae, yang
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4[1,2].
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
mempunyai diameter envelope 40-60 nm, mengandung RNA untai tunggal (ssRNA), positif-
sense. Ukuran genom 10,7 kb. Virion matur mengumpul di dalam cisternae retikulum
endoplasma. Tergolong virus RNA, genus flavivirus, famili flaviviridae. Terdapat 4 serotipe
yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4 serta genotipe berbeda-beda. Penularan melalui
arthropoda yang menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus[2,7].
Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungsi utama
adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain.
Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus[2].
1
Epidemiologi
Gambar 1. Penyebaran Demam Dengue tahun 2009 (Buletin Jendela Epidemiologi, 2010)
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD
setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health
Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi
di Asia Tenggara[3].
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun
terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382
(77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus
DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009[3,8].
Sejak ditemukan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka
kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke seluruh kabupaten di wilayah Republik
Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Timor Timor. Kasus yang
pertama kali dilaporkan dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Kejadian Luar Biasa
(KLB) DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR 2%.
Epidemi demam berdarah dengue dilaporkan di Provinsi Sumatera Utara jumlah kasus
DBD tahun 2008 sebanyak 4.454 kasus dengan jumlah kasus meninggal 49 kasus (CFR
1,10%) (IR 34,49) dan jumlah kasus DBD pada tahun 2009 sebanyak 4.534 kasus dengan
jumlah kasus yang meninggal 57 kasus (CFR 1,26%) (IR 34,46). Sumatera Utara merupakan
2
1 dari 6 propinsi yang mengalami peningkatan kasus DBD pada tahun 2009 dibandingkan
tahun 2008.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue
d. Derajat IV: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diperiksa.
Untuk diagnosis pasti DBD dapat ditegakkan bila ditemukannya virus dengue didalam
darah. Metode isolasi virus merupakan gold standard pemeriksaan virus dengue.
Pengambilan darah idealnya harus diambil selama periode demam dan lebih baik
sebelum hari kelima sakit. Setelah spesimen diambil selanjutnya dilakukan kultur sel dan
akhirnya dapat diidentifikasi setelah 2-3 minggu. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya
peralatan dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil, sehingga isolasi virus
hanya dilakukan untuk penelitian[5].
Diagnosis Banding
Diagnosis banding demam berdarah dengue adalah :
1. Chikungunya
2. Campak
3. Malaria
4. ITP
Penatalaksanaan
Pengobatan simptomatik dan suporif merupakan terapi efektif pada penderita DBD.
Terapi simptomatik yakni pemberian analgetik (parasetamol), kompres hangat. Terapi
suportif antara lain penggantian (replacement) cairan, pemberian oksigen dan jika diperlukan
dapat dilakukan transfusi darah. Pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi),
hematokrit, trombosit, elektrolit, kecukupan cairan, urine output, tingkat kesadaran, dan
manifestasi perdarahan berguna untuk mengetahui perkembangan penyakit[10].
Berdasarkan gejala klinisnya, pasien dapat melakukan rawat jalan, dirujuk ke rumah
sakit terdekat, atau dilakukan pertolongan segera[1].
14
Penatalaksanaan berdasarkan protokol PAPDI:
1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
15
4. Penatalaksaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
16
Kriteria diagnosis DBD WHO pada tahun 1997 tidak digunakan lagi karena dianggap
tidak mewakili semua kasus di belahan bagian dunia lain karena penyusunannya didasarkan
pada benyak kasus infeksi dengue di thailand.
Pasien Yang Mungkin Dirawat Di Rumah
Pasien yang memiliki intake baik dan pengeluaran urin yang baik setidaknya sekali
dalam enam jam dan tidak memiliki tanda-tanda bahaya, terutama saat demam reda
diperbolehkan untuk pulang. Pasien rawat jalan harus ditinjau setiap hari untuk
perkembangan penyakit (penurunan sel darah putih, penurunan suhu badan, tanda
perdarahan) sampai keluar dari periode kritis dengue. Pasien dengan kadar hematokrit stabil
dapat dikirim pulang setelah disarankan untuk kembali ke rumah sakit jika terdapat tanda-
tanda perdarahan[1]. Pasien dengan intake baik dianjurkan untuk meminum jus, cairan yang
mengandung elektrolit untuk mengganti kehilangan cairan karena demam dan muntah[1].
17
Paracetamol dianjurkan untuk pasien dengan demam tinggi. Pemberian asam
asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen atau OAINS tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
gastritis atau perdarahan[1].
Keluarga terdekat perlu diedukasi untuk segera membawa pasien ke rumah sakit jika
terdapat tanda-tanda: tidak ada perbaikan klinis, muntah persisten, nyeri perut berat, akral
dingin, letargi, dan perdarahan (BAB hitam atau muntah butiran kopi), dan tidak adanya
pengeluaran urin selama 4-6 jam[1].
Pasien yang Sebaiknya Dirujuk untuk Penanganan Rumah Sakit
Beberapa pasien membutuhkan observasi lebih dekat berdasarkan manifestasi
klinisnya, diantaranya pasien dengan tanda-tanda bahaya, pasien dengan risiko komplikasi
(pasien dengan kehamilan, geriatri, diabetes melitus, gagal ginjal, dan penyakit hemolitik
kronik)[1].
Tabel 2. Kriteria Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit pada Dengue (WHO, 2009)
18
Tabel 3. Tanda Bahaya pada Pasien Dengue (WHO, 2009)
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Jika pasien memiliki tanda-tanda bahaya, tatalaksana yang dilakukan adalah:
Cek nilai hematokrit sebelum memulai terapi cairan. Pasien dapat diberi cairan
isotonik seperti saline 0.9%, Ringer’s Lactate, cairan Hartmann’s. Dimulai dengan
pemberian 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian dikurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam
selama 2-4 jam, dan kemudian diturunkan menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang
berdasarkan respon klinis.
Nilai ulang status klinis dan nilai hematokrit. Jika hematokrit cenderung menetap atau
sedikit meningkat, maka terapi cairan tetap dilanjutkan (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4
jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat tajam, tingkatkan cairan
menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai ulang status klinis, ulangi pengecekan
hematokrit dan nilai ulang pemberian cairan.
Berikan volume cairan intravena minimal yang dibutuhkan untuk menjaga perfusi
yang baik dan pengeluaran urin sebanyak 0,5 ml/kg/jam. Pemeberian cairan intravena
biasanya berkisar antara 24-48 jam. Tueunkan pemberian cairan jika tanda-tanda
kebocoran plasma menurun. Hal ini ditandai dengan cukupnya pengeluaran urin,
intake makanan yang baik, atau penurunan kadar hematokrit di bawah rata-rata pada
pasien yang stabil.
Pada pasien dengan tanda-tanda bahaya, tanda vital dan perfusi perifer penting untuk
diperhatikan (1-4 jam sampai tanda-tanda kritis terlewati), pengeluaran urin(4-6 jam),
hematokrit (6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ lain (profil ginjal, profil
hepar, profil koagulasi, jika ada indikasi)[1].
Jika pasien tidak ada tanda-tanda bahaya, beberapa hal yang perlu dilakukan:
19
Pasien dengan intake baik dianjurkan untuk minum. Jika intake buruk maka
pemberian cairan intravena 0.9% saline atau Ringer’s Lactate dianjurkan dengan atau
tanpa dekstrosa untuk maintenance. Beberapa pasien akan memulai intake secara oral
setelah beberapa jam terapi cairan intravena. Pemberian volume minimum diperlukan
untuk menjaga perfusi yang baik dan pengeluaran urin. Cairan intravena dibutuhkan
selama 24-48 jam.
Temperatur tubuh pasien penting untuk diperhatikan, termasuk input dan output
cairan, pengeluaran urin (volume dan frekuensi), tanda-tanda bahaya, hematokrit,
leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fungsi ginjal dan hati
dapat dilakukan bergantung pada fasilitas rumah sakit setempat[1].
Pasien dengan Dengue Berat yang Memerlukan Penanganan Darurat
Pasien memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak ketika mereka berada di
kritis
fase kritis penyakit, yaitu:
Kebocoran plasma yang parah menyebabkan syok dengue dan / atau akumulasi cairan
dengan gangguan pernapasan
Perdarahan hebat
Gangguan organ (kerusakan hati, gangguan ginjal, kardiomiopati, encephalopathy
atau ensefalitis)[1].
Resusitasi cairan perlu dilakukan, dengan cairan kristaloid yang bersifat isotonik dan
volumenya harus cukup untuk memelihara sirkulasi yang efektif selama periode kebocoran
plasma. Pada kebocoran plasma, cairan yang hilang perlu digantikan dengan cairan kristaloid
isotonik. Pada kasus, syok hipotensif, cairan yang digunakan adalah cairan koloid[1].
Tabel 4. Kandungan Cairan Kristaloid dengan Koloid (WHO, 2009)
20
Jika memungkinkan, pemeriksaan hematokrit dilakukan sebelum dan sesudah
pemberian cairan. Pemberian cairan dilanjutkan untuk mengganti hilangnya cairan plasma
untuk menjaga sirkulasi efektif selama 24-48 jam[1].
Pemberian cairan resusitasi perlu dipisahkan dengan pemberian cairan biasa, hal ini
perlu dilakukan untuk mengetahui respon pasien terhadap terapi serta mencegah terjadinya
edema paru. Tujuan dari resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki sirkulasi sentral dan
perifer (menurunkan takikardi, memperbaiki tekanan darah, dan memperbaiki capillary refill
time) dan menjaga tingkat kesadaran pasien agar stabil, meningkatkan output urin ≥ 0.5
ml/kg/jam, menurunkan asidosis metabolik[1].
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa
21
Tabel 5. Penilaian perubahan hemodinamik (WHO, 2009)
Pemeriksaan tanda vital dan perfusi perifer dilakukan setiap 15-30 menit sampai
pasien tidak syok. Jika syok teratasi pemeriksaan dapat dilakukan setiap 1-2 jam. Pengeluaran
urin juga perlu di cek setiap 1-2 jam. Target pengeluaran urin adalah 0.5 ml/kg/jam.
Pemeriksaan hematokrit dilakukan sebelum dan sesudah tatalaksana cairan dengan bolus,
kemudian setelah stabil dapat dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan tambahan yang dapat
dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan analisa gas darah, gula darah, fungsi ginjal, fungsi
hati, pofil koagulasi atas indikasi[1].
Perubahan pada kadar hematokrit penting dalam tatalaksana demam berdarah dengue.
Perubahan kadar hematokrit harus diimbangi dengan perubahan hemmodinamik, respon
klinis pada terapi cairan dan keseimbangan asam basa. Sebagai contoh, peningkatan
hematokrit disertai tanda vital yang tidak stabil mengindikasikan adanya perdarahan hebat
dan membutuhkan transfusi segera. Jika penurunan hematokrit disertai dengan perubahan
22
tanda vital yang stabil mengindikasikan perubahan hemodinamik yang lebih baik, oleh karena
itu cairan dihentikan untuk mencegah adanya edema paru[1].
Tatalaksana pada Komplikasi Perdarahan
Perdarahan mukosa pada pasien dengan dengue, tetapi jika kondisi pasien cenderung
stabil dengen resusitasi cairan maka perdarahan dianggap sebagai kondisi minor. Jika
perdarahan hebat muncul, biasanya hal itu berasal dari perdarahan gastrointestinal atau
vagina pada wanita dewasa. Perdarahan internal tidak akan tampak selama beberapa jam
sampai dengan adanya tanda BAB hitam pada pasien[1].
Tanda pasien dengan risiko perdarahan hebat:
Syok berkepanjangan
Syok hipotensi dan adanya gagal ginjal atau penyakit hati kronik dan adanya asidosis
metabolik persisten
Pasien dengan terapi OAINS
Riwayat penyakit ulkus peptikum
Pasien dalam terapi anti-koagulan
Riwayat trauma, termasuk riwayat suntik intramuskular[1]
Pasien dengan kondisi hemolitik memiliki risiko hemolisis akut dengan hemoglobinuria
dan membutuhkan transfusi darah[1].
Perdarahan hebat ditandai dengan:
Status hemodinamik yang tidak stabil jika dilihat dari kadar hematokritnya
Penurunan kadar hematokrit setelah resusitasi cairan dengan kondisi hemodinamik
yang tidak stabil
Syok refrakter yang gagal merespon terhadap resusitasi cairan 40-60 ml/kg
Syok hipotensi dengan kadar hematokrit normal atau rendah setelah resusitasi
Asidosis metabolik persisten atau memburuk pada tekanan darah sistolik yang
terkendali, terutama pada pasien dengan nyeri perut dan distensi perut[1]
23
Transfusi darah dibutuhkan dan harus segera diberikan ketika tanda-tanda perdarahan
hebat muncul. Tetapi pemberiannya harus bersifat hati-hati untuk mencegah overload
cairan[1].
Tatalaksana pemberian transfusi pada komplikasi perdarahan:
Pemberian 5-10 ml/kg PRC atau 10-20 ml/kg WBC. Pemberian oksigen ke jaringan
optimal dengan kadar 2,3 DPG yang tinggi. Respon klinis yang baik dibuktikan
dengan membaiknya hemodinamik pasien dan keseimbangan asam-basa
Pertimbangkan untuk memberi transfusi berulang jika kehilangan darah lebih lanjut
atau tidak ada peningkatan hematokrit yang optimal setelah transfusi darah
Pada pemasangan NGT harus berhati-hati untuk mencegah perdarahan[1]
Penanganan Syok Terkompensasi
Penanganan Syok Hipotensi
24
Prognosis
25
Dengan manajemen medis yang tepat dan cepat yaitu memonitoring trombosit dan hematokrit serta terapi cairan yang adekuat maka mortalitasnya dapat diturunkan. DBD dapat terjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih dini.
BAB II
26
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Usia : 22 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gintung Tengah
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Masuk RS : 31 Agustus 2015
Keluar RS : 2 September 2015
II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun pada hari Senin, 31 Agustus 2015
dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan
mendadak tinggi, sepanjang hari. Selain demam pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah. Muntah berisi makanan, tidak ada darah. Selain itu pasien juga mengeluhkan
nyeri menelan, nyeri sendi dan nyeri ulu hati seperti ditusuk. BAB lancar tidak
berwarna hitam, BAK lancer. Tidak ada riwayat mimisan dan gusi berdarah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dan alergi tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam keluarga
27
Tidak terdapat riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 100 x/ menit
RR : 28 x/ menit
Suhu : 38,2oC
Keadaan Spesifik
Kepala
Normocephal, rambut hitam, distribusi merata dan tidak rontok.
Mata
Eksopthalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), conjunctiva palpebra
anemis (-/-) pada kedua mata, injeksi siliar -/-, sklera ikterik (-) pada kedua mata, pupil
isokhor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)normal, pergerakan bola mata
- Menghindari rokok, alkohol, dan kafein (stimulan asam lambung)
Farmakologis :
- Ranitidin 2 x 1 amp
- Ondansentron 3 x 1 amp
- Antrain 3 x 1 amp
- Omeprazol 2 x 1 amp
- Antasida 3 x 1
36
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien laki-laki 22 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan mendadak tinggi dan terus menerus. Selain demam pasien
37
juga mengeluhkan nyeri menelan, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Muntah berisi makanan,
tidak ada darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastriumdan tes rumple leede positif.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia (111.000/uL). Berdasarkan
gejala klinis dan hasil lab yang di dapat, pasien termasuk ke dalam kriteria Demam Dengue
karena tidak ditemukan tanda-tanda hemokonsentrasi yaitu peningkatan hematocrit >20% dan
pasien mendapat terapi cairan intravena sebanyak 2200 ml per hari dan terapi simptomatis.
Perhitungan untuk pemberian yang dapat diberikan pada pasien;
IVFD Ringer Laktat
Kebutuhan cairan per hari = 1500 + {20 x (BB dalam Kg – 20)}
= 1500 + {20 x (55 – 20)}
= 2200
Jumlah tetes per menit = Jumlah cairan x 20
Jam Pemberian x 60
= 2 2 00 x 20
24 60
= 30 tpm
Selain itu pasien diberikan obat simptomatik untuk mual, muntah dan nyeri ulu hati yaitu
Ranitidin 2 x 1 amp, Ondansentron 3 x 1 amp, Antrain 3 x 1 amp, Omeprazol 2 x 1 amp.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization.Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. France. 2009. Hal 1-67
2. Nasronudin, et al,. Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi Kini & Mendatang. Airlangga University Press. Surabaya. 2007. Hal: 46-53
38
3. Achmadi UF. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2. Jakarta. Agustus 2010. Hal 1-11
4. World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment, prevention, and control, 2nd ed. Geneva. 1997. Hal: 1-20
5. Suhendro, et al,. 2009. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid III. Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Interna
Publishing. Jakarta. 2009. Hal: 2773-2782
6. World Health Organization. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. USA. 2005. Hal: 1-40