32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Warna Ekstrak Bit Merah 10%
Pengamatan karakteristik warna pada ekstrak bit merah 10% dilakukan
secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan warna ekstrak bit
merah yang telah mengalami pengenceran 10% sesuai dengan perlakuan pada
penelitian ini. Warna ekstrak bit merah pada berbagai pelarut polar ditampilkan
pada Gambar 7.
Keterangan: A= Akuades, B= Etanol, C= Akuades + Asam Sitrat 0,2%, dan D= Etanol + Asam
Sitrat 0,2%
Gambar 7. Karakteristik Warna Ekstrak Bit Merah 10% Pada Berbagai
Pelarut Polar
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat ekstrak bit merah menggunakan
pelarut etanol memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan pelarut
akuades. Berbedanya kecerahan warna yang dihasilkan dari proses ekstraksi bit
merah dengan menggunakan berbagai pelarut polar terjadi karena kemampuan dan
sifat pelarut dalam melarutkan betasianin berbeda, dimana semakin dekat tingkat
33
kepolaran pelarut yang digunakan untuk mengekstrak senyawa organik yang ada
dalam tumbuhan maka semakin mudah senyawa tersebut larut dalam pelarut,
sehingga konsentrasi dari filtrat semakin besar (Faridah, 2016). Perbedaan
kecerahan warna juga dipengaruhi dari keadaan asam yang diakibatkan dari
adanya penambahan asam organik ke dalam pelarut saat ekstraksi. Keadaan yang
semakin asam akan menyebabkan semakin banyaknya pigmen betasianin dalam
bentuk betasianin yang berwarna merah ungu (Fennema, 1996). Menurut Faridah
(2016) keadaan yang semakin asam menyebabkan semakin banyak dinding sel
vakuola yang pecah, sehingga pigmen betasianin semakin banyak yang terekstrak.
5.2 Uji Nilai pH
Pengujian nilai pH terhadap aktivitas antimikroba dilakukan sebagai
karakterisasi bahan dan bertujuan untuk mengetahui kondisi keasaman ekstrak bit
merah setelah dilakukan pengenceran pada konsentrasi 10%. Nilai pH ekstrak bit
merah dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai pH Ekstrak Bit Merah dengan Pelarut Polar
6,28
5,75
2,92 3,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
A (Akuades) B (Etanol) C (Aquades + Asam
Sitrat 0,2%)
D (Etanol + Asam
Sitrat 0,2%)
pH
Perlakuan
34
Berdasarkan hasil pengujian pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa ekstrak
bit merah tanpa penambahan asam sitrat memiliki nilai pH yang tinggi yaitu 6,28
(akuades) dan 5,75 (etanol), sedangkan ekstrak bit merah dengan penambahan
asam sitrat 0,2% memiliki nilai pH yang rendah yaitu 2,92 (akuades + asam sitrat
0,2%) dan 3,00 (etanol + asam sitrat 0,2%).
Sifat senyawa betalain pada bit merah dipengaruhi oleh pH dimana kondisi
optimal berkisar pada pH 4 – 6 (Stinzing dan Carle, 2007). Sedangkan menurut
Anam et al (2013), senyawa betalain memiliki stabilitas yang baik pada pH 5 – 7
dan lebih stabil pada pH 5,6. Penambahan asam sitrat 0,2% pada ekstrak bit merah
dengan pelarut tertentu dapat mengakibatkan kondisi asam karena terjadi
peningkatan konsentrasi ion H+ pada pelarut.
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2, ekstrak bit merah tanpa
penambahan asam sitrat diketahui memiliki pH yang stabil terhadap senyawa
betalain, sedangkan ekstrak bit merah dengan penambahan asam sitrat 0,2%
memiliki pH yang rendah dari kondisi optimal senyawa betalain. Menurut
Perdana (2018), penambahan asam sitrat 2% terhadap pelarut dapat menyebabkan
kondisi ekstrak bit merah memiliki kondisi pH yang sangat rendah. Oleh karena
itu, diperlukan optimasi konsentrasi asam yang ditambahkan pada pelarut agar
senyawa betalain yang diekstraksi dari bit merah dapat mencapai kondisi pH yang
optimal.
5.3 Uji Kadar Alkohol
Pengujian kadar alkohol secara kualitatif merupakan reaksi oksidasi
reduksi dimana alkohol dioksidasi menjadi aldehid dan dengan pemanasan
terbentuk asam karboksilat, dimana K2Cr2O7 sebagai oksidator mengalami reduksi
35
dari Cr6+ menjadi Cr3
+ yang ditandai adanya perubahan warna dari bening menjadi
kuning kehijauan dan dengan pemanasan terbentuk larutan biru (Fauziah, 2017).
Hasil pengujian kadar alkohol ekstrak bit merah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengujian Kualitatif Kadar Alkohol pada Ekstrak Bit Merah
Perlakuan Hasil Pengujian
A = Ekstrak Bit Merah (Akuades) -
B = Ekstrak Bit Merah (Etanol) -
C = Ekstrak Bit Merah (Akuades + As. Sitrat 0,2%) -
D = Ekstrak Bit Merah (Etanol + As. Sitrat 0,2%) - Keterangan: (+) mengandung residu alkohol, (-) tidak mengandung residu alkohol
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ekstrak bit
merah dengan semua perlakuan pelarut polar tidak mengandung residu alkohol.
Hal ini disebabkan pada saat pemekatan ekstrak dengan rotary evaporator, etanol
teruapkan dengan baik sehingga tidak terdapat residu alkohol di dalam ekstrak bit
merah. Sementara itu, batas maksimum kandungan alkohol dalam minuman
(bahan pangan) tidak lebih dari 0,01% v/v (dihitung terhadap volume produk)
(BPOM, 2016). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kadar alkohol dengan
metode kuantitatif agar diketahui total kandungan residu alkohol yang tertinggal
pada sampel ekstrak sehingga ekstrak yang digunakan untuk antimikroba dapat
digunakan terhadap produk pangan.
5.4 Uji Kandungan Fitokimia
Pengujian kandungan fitokimia secara kualitatif (skrining) bertujuan untuk
mengetahui dan memastikan senyawa kimia yang terkandung di dalam ekstrak bit
merah melalui adanya perubahan warna ataupun terbentuknya buih saat sampel
direaksikan dengan bahan kimia tertentu. Hasil pengujian fitokimia secara
kualitatif dapat dilihat pada Tabel 3.
36
Tabel 3. Hasil Pengujian Kualitatif Komponen Fitokimia pada Ekstrak Bit
Merah
Perlakuan Hasil Pengujian
Flavonoid Saponin Tanin
A = Ekstrak Bit Merah
(Akuades) + + +
B = Ekstrak Bit Merah
(Etanol) + + +
C = Ekstrak Bit Merah
(Akuades + As. Sitrat 0,2%) + + +
D = Ekstrak Bit Merah
(Etanol + As. Sitrat 0,2%) + + +
Keterangan: (+) mengandung senyawa yang diuji, (-) tidak mengandung senyawa yang diuji
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pengujian
kualitatif komponen fitokimia hanya dilakukan tiga analisis senyawa bioaktif, hal
ini dilakukan karena bit merah diketahui mengandung komponen bioaktif
flavonoid, saponin, dan tanin yang dapat berfungsi sebagai zat antimikroba
(Widawati dan Prasetyowati, 2013). Hasil pengujian menunjukkan ekstrak bit
merah mengandung komponen fitokimia flavonoid, saponin, dan tanin. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Widawati dan Prasetyowati (2013) dimana ekstrak bit
merah mengandung flavonoid, saponin, dan tanin.
Pengujian flavonoid pada penellitian ini menggunakan penambahan
H2SO4 pekat dan menunjukkan hasil positif pada ekstrak bit merah dengan
berbagai pelarut polar dimana terbentuk warna merah, jingga, atau kuning.
Menurut Harborne (1987), senyawa flavonoid dapat diidentifikasi dalam suasana
asam atau basa. Asam kuat (H2SO4) pekat pada pengujian ini berfungsi untuk
mereduksi inti benzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga
terbentuk perubahan warna menjadi merah atau jingga (Kumar, et al., 2011).
37
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa
fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur
(Harborne, 1987). Nurachman (2002) menjelaskan bahwa senyawa-senyawa
flavonoid umumnya bersifat antioksidan dan banyak digunakan sebagai salah satu
komponen bahan baku obat-obatan. Senyawa flavonoid dan turunannya memiliki
dua fungsi tertentu, yaitu sebagai antimikroba dan antivirus bagi tanaman. Rauha
et al (2000) menambahkan bahwa pertumbuhan bakteri S. aureus dapat dihambat
secara efektif oleh senyawa flavonoid dan turunannya, seperti flavon, flavonol,
dan naringenin.
Pengujian saponin pada penelitian ini menggunakan Uji Forth pada
ekstrak bit merah dengan berbagai pelarut polar menunjukkan hasil positif dengan
terbentuknya busa yang bertahan selama 30 menit. Hal ini seusai dengan hasil
penelitian Widawati dan Prasetyowati (2013) yang menyatakan ekstrak bit merah
mengandung senyawa saponin.
Menurut Hastuti (2010), saponin merupakan senyawa yang mampu
berperan sebagai antimikroba, antibakteri, dan antiseptik. Beberapa saponin
berfungsi dalam pertahanan tanaman terhadap serangan mikroba atau fungi dan
melawan virus serta memiliki sifat hemolitik dan beberapa sifat sitotoksik
(Bruneton, 1999).
Pengujian tanin pada penelitian ini menggunakan pereaksi besi (III)
klorida (FeCl3) 1%. Hasil yang diperoleh pada ekstrak bit merah dengan berbagai
pelarut polar adalah positif mengandung tanin dimana terbentuk warna hijau
kehitaman pada ekstrak bit merah dengan pelarut akuades, etanol, akuades
ditambah asam sitrat 0,2%, dan etanol ditambah asam sitrat 0,2%.
38
Penambahan pereaksi FeCl3 1% dalam air menimbulkan warna hijau tua,
merah, ungu, atau hitam yang kuat dimana terbentuknya warna hijau kehitaman
pada ekstrak setelah ditambahkan FeCl3 1% karena tanin akan bereaksi dengan ion
Fe+ membentuk senyawa kompleks (Harborne, 1987). Adila et al (2013)
menambahkan bahwa tanin mampu merusak membran sel mikroba. Sehingga
senyawa tanin yang terdapat dalam ekstrak bit merah dapat berperan sebagai zat
antimikroba.
5.5 Uji Aktivitas Antimikroba Bit Merah
Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak bit merah pada berbagai pelarut
polar ditentukan dengan menggunakan metode difusi sumuran. Aktivitas
antimikroba ditandai dengan terbentuknya areal bening atau zona hambat di
sekitar sumuran yang berisi ekstrak bit merah. Zona hambat yang terbentuk pada
pengujian aktivitas antimikroba dengan metode difusi sumuran dinyatakan dalam
satuan milimeter (mm). Semakin besar diameter zona hambat yang terbentuk
maka semakin tinggi aktivitas antimikroba dari ekstrak bit merah pada pelarut
tertentu.
Berbagai pelarut yang digunakan untuk ekstrak bit merah yang diujikan
memberikan hasil yang berbeda terhadap diameter zona hambat yang dihasilkan
pada pertumbuhan bakteri E. coli. Rata-rata diameter zona hambat dari ekstrak bit
merah terhadap bakteri E.coli pada berbagai pelarut polar dapat dilihat pada
Gambar 9.
39
Gambar 9. Rata-Rata Diameter Zona Hambat dari Ekstrak Bit Merah
terhadap Bakteri E. coli pada Berbagai Pelarut Polar
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran zona hambat
terhadap bakteri E. coli menunjukkan perbedaan pada rata-rata diameter zona
hambat yang dipengaruhi oleh perbedaan pelarut polar. Ekstrak bit merah dengan
pelarut akuades ditambah asam sitrat 0,2% menghasilkan aktivitas antimikroba
paling tinggi dengan diameter zona hambat sebesar 14,9 ± 1,9 mm terhadap
bakteri patogen E. coli.
Selanjutnya, berbagai pelarut yang digunakan untuk ekstrak bit merah
yang diujikan memberikan hasil yang berbeda terhadap diameter zona hambat
yang dihasilkan pada pertumbuhan bakteri S. aureus. Rata-rata diameter zona
hambat dari ekstrak bit merah terhadap bakteri S. aureus pada berbagai pelarut
polar dapat dilihat pada Gambar 10.
25,1 25,1 25,1 25,1
0,0 0,0 0,0 0,0
7,0 7,7
14,9
12,8
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
A (Akuades) B (Etanol) C (Akuades + Asam
Sitrat 0,2%)
D (Etanol + Asam
Sitrat 0,2%)
Dia
met
er Z
ona
Ham
bat
(m
m)
Perlakuan
Kontrol Positif (mm) Kontrol Negatif (mm) Rata-Rata Diameter Zona Hambat (mm)
40
Gambar 10. Rata-Rata Diameter Zona Hambat dari Ekstrak Bit Merah
terhadap Bakteri S. aureus pada Berbagai Pelarut Polar
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran zona
hambat terhadap bakteri S. aureus menunjukkan perbedaan pada rata-rata
diameter zona hambat yang dipengaruhi oleh perbedaan pelarut polar. Ekstrak bit
merah dengan pelarut akuades ditambah asam sitrat 0,2% menghasilkan aktivitas
antimikroba paling tinggi dengan diameter zona hambat sebesar 13,9 ± 1,8 mm
terhadap bakteri patogen S. aureus.
Perbedaan pelarut dan penambahan asam dapat memengaruhi rendah atau
tingginya suatu aktivitas antimikroba. Adanya penambahan asam pada pelarut
yang digunakan untuk mengekstrak bit merah dapat meningkatkan aktivitas
antimikroba. Penambahan asam ke dalam pelarut bertujuan untuk mendapatkan
kondisi optimal bagi senyawa betalain yang merupakan pigmen sekaligus
senyawa antimikroba pada bit merah (Stinzing dan Carle, 2007). Oleh karena itu,
penambahan asam sitrat 0,2% pada pelarut diharapkan dapat mempertahankan
kestabilan betalain yang terkandung pada bit merah agar dapat bekerja optimal
sebagai senyawa antimikroba.
25,5 25,5 25,5 25,5
0,0 0,0 0,0 0,0
7,07,4
13,9 12,9
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
A (Akuades) B (Etanol) C (Akuades + Asam
Sitrat 0,2%)
D (Etanol + Asam
Sitrat 0,2%)
Dia
met
er Z
ona
Ham
bat
(m
m)
Perlakuan
Kontrol Positif (mm) Kontrol Negatif (mm) Rata-Rata Diameter Zona Hambat (mm)
41
Berdasarkan Gambar 9 dan 10, pengukuran diameter zona hambat pada
kontrol positif (antibiotik sintetis chloramphenicol) terhadap bakteri E. coli dan S.
aureus menunjukkan antibiotik chloramphenicol memiliki kemampuan ± dua kali
lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak bit merah menggunakan berbagai pelarut
polar yang diasamkan. Sehingga dapat dikatakan ekstrak bit merah pada
penelitian ini memiliki kemampuan antimikroba yang lebih rendah dibandingkan
dengan antibiotik sintetis chloramphenicol.
Pengukuran diameter zona hambat pada kontrol negatif terhadap bakteri E.
coli dan S. aureus menunjukkan hasil negatif. Hal ini disebabkan karena pelarut
yang digunakan saat ekstraksi tidak berpengaruh dalam aktivitas antimikroba,
sehingga adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak bit merah yang diuji
sepenuhnya berasal dari senyawa antimikroba yang terkandung dalam ekstrak bit
merah dan tidak terpengaruh oleh komponen yang terkandung pada pelarut.
Hasil rata-rata zona hambat pada ekstrak bit merah menunjukkan bahwa
penambahan asam pada pelarut sudah mencapai efektivitas antimikroba dengan
kategori yang kuat. Berdasarkan hasil pengujian pada Gambar 9 dan 10, ekstrak
bit merah dengan pelarut akuades ditambah asam sitrat 0,2% menghasilkan
aktivitas antimikroba paling tinggi terhadap bakteri E. coli dan S. aureus yaitu
14,9 ± 1,9 mm dan 13,9 ± 1,8 mm yang artinya dapat dikategorikan kuat karena
memiliki efektivitas antimikroba dengan diameter zona hambat >12 mm. Zona
hambat pada ekstrak bit merah dengan pelarut akuades ditambah asam sitrat 0,2%
dapat dilihat pada Gambar 11.
42
(a) (b)
Gambar 11. Zona Hambat Ekstrak Bit Merah terhadap Bakteri (a) E. coli,
(b) S. aureus
Aktivitas antimikroba ekstrak bit merah berasal dari senyawa-senyawa
aktif yang diketahui terkandung di dalam bit merah, salah satu senyawa aktif
yang memiliki kemampuan sebagai zat antimikroba pada bit merah adalah
betalain. Senyawa betalain ini diketahui mampu berperan sebagai zat antimikroba
dengan cara menghambat dinding sel bakteri (Lamothe et al, 2009).
Sementara itu, berdasarkan hasil pengujian nilai pH, hasil yang didapatkan
kurang optimum untuk menstabilkan betalain. Kondisi pH yang terlalu rendah
terjadi akibat dehidrogenasi pada betalain (Reshmi et al, 2012), sehingga senyawa
betalain tidak berada pada kondisi optimum. Akan tetapi, menurut Parhad dan
Rao (1974) serta Valero et al (2009) menyatakan bakwa bakteri E. coli dan S.
aureus masih mampu bertahan dan tumbuh pada kondisi pH rendah yakni hingga
nilai pH 2. Dengan demikian, ekstrak bit merah dengan berbagai pelarut polar
yang diasamkan memiliki kemampuan aktivitas antimikroba yang berasal dari
senyawa-senyawa fitokimia lain yang terkandung pada ekstrak bit merah.
Pengujian aktivitas antimikroba menggunakan pelarut polar memiliki
efektivitas yang lebih tinggi terhadap bakteri E. coli dibandingkan bakteri S.
aureus. Hal ini dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
Ekstrak Bit Merah Ekstrak Bit Merah
Chloramphenicol Chloramphenicol Pelarut Pelarut
43
1) Struktur dinding sel bakteri gram positif (S. aureus) memiliki lapisan tebal
peptidoglikan (90%), sedangkan bakteri gram negatif (E. coli) memiliki
lapisan peptidoglikan yang lebih tipis (10 - 20%) (Fardiaz, 1992). Lapisan
tebal peptidoglikan pada bakteri S. aureus diduga lebih mampu
menghalangi penetrasi senyawa antimikroba dibandingkan bakteri E.coli;
2) Proten porin yang terdapat pada membran luar dinding sel bakteri E. coli
memiliki kemampuan transportasi senyawa antimikroba, sehingga
senyawa antimikroba yang terkandung di dalam ekstrak sampel akan
mudah masuk dan merusak aktivitas enzim sel yang menyebabkan
kerusakan sel E. coli (Sunatmo, 2009);
3) Dinding sel bakteri E. coli memiliki kandungan lemak yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan bakteri tersebut lebih sensitif terhadap
senyawa antimikroba yang terkandung di dalam ekstrak. Senyawa
alkaloid, fenol dan flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri E. coli
dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri
dengan melarutkan lemak yang ada pada dinding sel. Kerusakan pada
membran sel yang mengakibatkan biosintesis enzim spesifik yang
diperlukan dalam metabolisme bakteri menjadi terhambat sehingga
memicu kematian sel bakteri (Naiborhu, 2002).
44
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Ekstrak bit merah dengan pelarut polar menghasilkan aktivitas
antimikroba terhadap bakteri uji E. coli dan S. aureus dimana pelarut akuades
ditambah asam sitrat 0,2% menghasilkan efek penghambatan tertinggi terhadap
bakteri uji E. coli dan S. aureus dengan diameter zona hambat masing-masing,
yaitu 14,9 mm dan 13,9 mm yang termasuk kategori kuat.
6.2 Saran
Perlu dilakukan pengujian kadar alkohol dengan metode kuantitatif agar
terlihat total residu alkohol yang tertinggal supaya ekstrak bit merah aman
digunakan untuk pangan, perlu dilakukan pengujian fitokimia yang lainnya
dengan metode kuantitatif agar terlihat banyaknya kandungan senyawa fitokimia
yang terdapat pada ekstrak bit merah, serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk aplikasi ekstrak bit merah pada pengawetan pangan.