BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Partus Lama
2.1.1. Definisi
Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau
lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di
kanan garis waspada pada partograf. Partus lama disebut juga distosia,
didefinisikan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya
dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu kelainan his, kelainan janin dan
kelainan jalan lahir.1
WHO secara spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor) sebagai
proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses
persalinan yang dimaksud adalah penambahan waktu antara kala I dan kala II
persalinan.6
2.1.2. Klasifikasi
Persalinan lama (distosia) dapat dibagi berdasarkan kelainan pola persalinannya.
Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelainan pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada
kala I fase aktif, dan kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. Secara
lebih rinci, kelainan pada kala I fase aktif terbagi lagi menjadi protraction
disorder dan arrest disorder.
Selain klasifikasi berdasarkan fase persalinan yang mengalami pemanjangan,
beberapa literatur juga mengelompokkan persalinan lama menjadi dua kelompok
utama, yaitu disproporsi sefalopelfik (cephalopelvic disproportion/CPD) dan
kelompok lainnya adalah failure to progress. Kelompok pertama memaksudkan
lamanya persalinan yang memanjang disebabkan oleh faktor pelvis ataupun faktor
janin. Sementara pada kelompok kedua disebabkan secara murni oleh gangguan
kekuatan persalinan.
3
4
2.1.3. Etiologi
Penyebab distosia secara ringkas dapat dinyatakan sebagai kelainan yang
disebabkan oleh 3 faktor yang disebut 3 P, yaitu powers, passengger dan passage.
Powers – mewakili kondisi gangguan kontraktilitas uterus, bisa saja kontraksi
yang kurang kuat atau kontraksi yang tak terkoordinasi dengan baik sehingga
tidak mampu menyebabkan pelebaran bukaan serviks, termasuk juga lemahnya
dorongan volunter ibu saat kala II. Passengger – mewakili kondisi adanya
kelainan dalam presentasi, posisi atau perkembangan janin. Passage – mewakili
kelainan pada panggul ibu atau penyempitan pelvis.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya partus lama, dapat diterangkan dengan memahami proses
yang terjadi pada jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan.
Dengan memahaminya, kita dapat mengetahui dan memperkirakan faktor apa saja
yang menyebabkan terhambatnya persalinan. Pada akhir kehamilan, kepala janin
akan melewati jalan lahir, segmen bawah rahim yang cukup tebal dan serviks yang
belum membuka. Jaringan otot di fundus masih belum berkontraksi dengan kuat.
Setelah pembukaan lengkap, hubungan mekanis antara ukuran kepala janin, posisi
dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi fetopelvik (fetopelvic proportion)
menjadi semakin nyata hingga janin turun. Penyebab persalinan lama dibagi
menjadi dua kelompok utama, yaitu disfungsi uterus murni dan diproporsi
fetopelvis. Namun pembagian ini terkadang tidak dapat digunakan karena kedua
kelainan tersebut terkadang terjadi bersamaan.
2.1.5. Manifestasi Klinik 1
Gambaran klinik dari persalinan lama dapat dijelaskan berdasarkan fase persalinan
yang mengalami pemanjangan.
Gambar 1. Perjalanan persalinan normal
5
a. Kelainan Kala Satu
1) Fase Laten Memanjang
Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan, yaitu
tahap persiapan (preaptory division), tahap pembukaan (dilatational division), dan
tahap panggul (pelvic division). Walaupun pada tahap persiapan (preaptory
division) hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang
terjadi pada komponen jaringan ikat serviks. Tahap pembukaan/dilatasi
(dilatational division) adalah saat pembukaan paling cepat berlangsung. Tahap
panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi pembukaan serviks.
Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan dasar janin pada
presentasi kepala seperti masuknya janin ke panggul, fleksi, putaran paksi dalam,
ekstensi dan putaran paksi luar terutama berlangsung dalam tahap panggul.
Namun dalam praktik, awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jelas.
Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan
normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase laten yang
sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai dengan tahap
pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng
(kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.
6
Awitan persalinan laten didefinisikan ketika ibu mulai merasakan kontraksi
yang teratur. Selama fase ini, orientasi kontraksi uterus berlangsung
bersamaan dengan pendataran dan pelunakan serviks. Kriteria minimum
Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah kecepatan pembukaan
serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam bagi multipara. Kecepatan
pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Friedman dan
Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan apabila lama fase ini
lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah
anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk
(misalnya serviks yang tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak
membuka) dan persalinan palsu (false labor). Friedman mengklaim bahwa
istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam
memperbaiki fase laten memanjang.1
2) Fase Aktif Memanjang
Kemajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva
memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara
3-4 cm. Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepatan pembukaan
Gambar 2. Urutan rata-rata kurva pembukaan serviks pada persalinan nulipara
7
serviks tertinggi. Secara konsistensi berawal dari saat pembukaan serviks 3-4
cm atau lebih, disertai kontraksi uterus, dapat secara meyakinkan digunakan
sebagai batas awal persalinan aktif.
Kecepatan pembukaan yang dianggap normal untuk persalinan pada nulipara
adalah 1,2 cm/jam, maka kecepatan normal minimum adalah 1,5 cm/jam.
Secara spesifik, ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3 –
4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8-10 cm dalam waktu 3 sampai 4
jam.
Friedman membagi kelainan fase aktif menjadi gangguan protraksi
(berkepanjangan) dan arrest (macet/tidak maju). Ia mendefinisikan protraksi
sebagai kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat dimana untuk
nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm/jam atau penurunan
kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai
kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm/jam atau penurunan kurang dari 2
cm per jam. Sementara itu, ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya
secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan didefinisikan
sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam dan kemacetan
penurunan sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam.
Prognosis kelainan berkepanjangan dan macet ini cukup berbeda dimana
disproporsi sepalopelvik terdiagnosis pada 30% dari ibu dengan kelainan
protraksi. Sedangkan disproporsi sefalopelfik terdiagnosis pada 45% ibu
dengan persalinan macet. Faktor lain yang berperan dalam persalinan yang
berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesi regional, dan
malposisi janin. Pada persalinan yang berkepanjangan dan macet, Friedman
menganjurkan pemeriksaan fetopelvik untuk mendiagnosis disproporsi
sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berkepanjangan
adalah penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitosin dianjurkan untuk
persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik.1
Untuk membantu mempermudah diagnosis kedua kelainan ini, WHO
mengajukan penggunaan partograf dalam tatalaksana persalinan. Berdasarkan
partograf ini, partus lama dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari
8
1cm/jam selama minimal 4 jam. Sementara itu, American College of
Obstetrician and Gynecologists memiliki kriteria diagnosis yang berbeda,.
Kriteria diagnosis tersebut ditampilkan pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Kelainan Persalinan
Pola Persalinan Nulipara Multipara
Kelainan Protraksi
Pembukaan < 1,2 cm/jam <1,5 cm/ jam
Penurunan < 1,0 cm/jam < 2,0 cm/jam
Persalinan Macet
Tidak ada pembukaan > 2 jam > 2 jam
Tidak ada penurunan > 1 jam > 1 jam
b. Kala Dua Memanjang
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan
keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20
menit untuk multipara. Pada ibu dengan paritas tinggi yang vagina dan
perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha mengejan setelah
pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin, sebaliknya
pada seorang ibu dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan
kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia regional atau sedasi yang berat, maka
kala dua dapat memanjang. Kala II pada persalinan nulipara dibatasi 2 jam dan
diperpanjang sampai 3 jam apabila menggunakan anestesi regional. Untuk
multipara 1 jam diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan anestesia
regional.
9
2.1.6. Diagnosis
Adapun kriteria diagnosis dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang
disarankan ditampilkan pada tabel 2 dibawah ini.
Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat membantu
dalam mempermudah diagnosis persalinan lama. Alat bantu tersebut adalah
partograf. Partograf terutama membantu dalam pengawasan fase aktif
persalinan. Kedua jenis gangguan dalam fase aktif dapat didagnosis dengan
melihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction disorder pada fase
aktif dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari 1 cm/ jam selama
minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosis bila
tidak terjadi penambahan pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam
maupun penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam.
Tabel 2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya5
10
2.1.7. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam penatalaksanaan pasien dengan persalinan lama adalah
mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah
sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi
patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode
yang tepat dalam mengakhiri persalinan, apakah persalinan tetap dilakukan
pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.
Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu
disproporsi sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya
disproporsi sefalopelvik pada pasien dengan persalinan lama merupakan indikasi
untuk dilakukannya seksio sesarea. Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari
pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor risiko panggul sempit (misal:
tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau janin diperkirakan
berukuran besar (TBBJ > 4000 gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat berat
badan bayi sebelumnya yang > 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi
sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan.
Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalah menunggu.
Hal ini dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosis sebagai fase laten
berkepanjangan. Kesalahan diagnosis ini dapat menyebabkan induksi atau
percepatan persalinan yang tidak perlu yang mungkin gagal sehingga dapat
menyebabkan seksio sesaria yang tidak perlu. Dianjurkan dilakukan observasi
selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan mengalami persalinan semu,
bila his menjadi teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4 cm maka pasien
dikatakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila
terjadi peerubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka
pecahkan ketuban dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak
memasuki fase aktif setelah delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar
janin dilahirkan secara seksio sesarea.
Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan
yang dialami pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama)
atau arrest disorder (partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak
11
maju, maka besar kemungkinan ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar
dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi adalah partus lama, maka dilakukan
penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih dari 3 kali dalam 10 menit
dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya obstruksi,
malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya
kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tata laksana yang
dianjurkan adalah induksi persalinan dengan oksitosin.
Pada kondisi kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin.
Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat
meningkatkan risiko berkurangnya aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali
harus diyakini pada kondisi kala II memanjang adalah tidak terjadi malpresentasi
dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan
oksitosin tidak mempengaruhi penurunan janin, maka dilakukan upaya pelahiran
janin. Jenis upaya pelahiran tersebut tergantung pada posisi kepala janin. Bila
kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan
kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan
ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5
diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara
station) dan station-2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan
simfisiotomi. Namun jika kepala janin teraba lebih dari 3/5 diatas simfisis pubis
atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diatas station-2, maka janin
dilahirkan secara seksio sesaria.
2.1.8. Komplikasi1
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi bik bagi ibu maupun bagi anak
yang dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama
antara lain :
a. Infeksi intrapartum
Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada persalinan
lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairan amnion
12
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga
terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke
dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila
terjadi persalinan lama.
b. Ruptura uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama
persalinan lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan
panggul semakin besar sehingga kepala tidak engaged dan tidak terjadi
penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregang kemudian
beresiko terjadinya ruptur uterus. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin
retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik
yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila
dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.
Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu
pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul
akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan berlebihan
segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini, cincin dapat terlihat jelas
sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan rupturnya seegmen bawah
uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi
umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang
seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih
baik.
c. Pembentukan fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapi
persalinan tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang
terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang
berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas
dalam beberapa hari setelah persalinan dengan timbulnya fistula vesikovaginal,
13
vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi
pada persalinan kala dua yang berkepanjangan.
d. Cedera otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot dasar
panggul atau persarafan atau fasi penghubungnya merupakan konsekuensi yang
tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya
sulit saat kelahiran bayi. Dasar panggul mendapatkan tekanan langsung dari
kepala janin dan tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini
meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan
anatomis dan fungsional otot, saraf, dan jaringan ikat panggul.
e. Kaput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum
yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup
besar dan menyebabkan kesalahan diagnosis yang serius.
f. Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang
disebut molase (molding, moulage). Perubahan ini biasanya tidak menimbulkan
kerugian yang nyata. Namun, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase
dapat menyebabkan ribekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin dan
perdarahan intrakranial pada janin.
2.2. Induksi Persalinan 2.2.1. Definisi
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah
meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.4
2.2.2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
14
diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang
potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau
karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.7
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan
lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi
akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin
terhambat (PJT), I,,nsufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical
abnormal arteri doppler.8
2.2.3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio
caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa,
hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.5
2.2.4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun
setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,
hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar
pada induksi elektif.5
2.2.5. Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
15
kondisi/persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika
kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan
serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode
mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke rongga panggul 9
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin
tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat
dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya
berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks
terlebih dahulu sebelum melakukan induksi.5
Tabel. 3. Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop
NilaiFaktor
0 1 2 3Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Penurunan
Konsistensi
-3
Kuat
-2
Sedang
-1 / 0
Lunak
+1 / +2
Posisi Posterior Pertengahan Anterior
16
2.2.6. Proses Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia
dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk
mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim
berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1). Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan
intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan
secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan
peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak
jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga
mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk
mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan
digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya
antara 5 - 7.7
2). Prostaglandin
Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik. Obat ini digunakan ”off-label”
( di luar indikasi resmi) untuk pematangan serviks prainduksi dan induksi
persalinan. Tablet misoprostol yang dimasukkan ke dalam vagina setara dan
mungkin lebih baik dibandingkan dengan golongan prostaglandin E2.
Dianjurkan dosis intravagina 25µg. Hiperstimulasi uterus disertai perubahan
denyut jantung janin perlu diperhatikan pada pemakaian obat ini. Dosis
misoprostol intravagina yang lebih tinggi (50µg atau lebih) menyebabkan
peningkatan bermakna takisistol uterus, pengeluaran dan aspirasi mekonium,
dan sesar atas indikasi hiperstimulasi uterus. Laporan rupture uterus pada
wanita dengan riwayat pembedahan menyebabkan misoprostol tidak boleh
dilakukakn pada para wanita tersebut.5
17
3) Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang
cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah
regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan
menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 –
40) mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di
Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis
tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan
augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi
yang lain untuk memperpendek waktu persalinan.5
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang
mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus
oksitosin untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 4. Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi
Regimen
Dosis awal(mU/menit)
Penaikan dosis(mU
/menit)
Interval(menit)
Rendah
0,5 – 1,5 1 15 – 40
2 4,8,12,16,20,25,30 15
Tinggi
4 4 15
4,5 4,5 15 – 30
6 6 20 – 40
18
Manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang
lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan
regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah
dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama
memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan
setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun
regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus,
kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam
infuse.5
Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus oksitosin untuk
induksi persalinan:
Tabel 5. Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan
19
Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas tetap belum terbentuk pola
kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada
multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar. Pada
primigravida dapat diberikan infuse oksitosin konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml)
sesuai dengan protocol.
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin
melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada
multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola
kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.4
b. Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
3). Stripping membrane
4). Induksi Amniotomi
5). Stimulasi putting susu
6). Hubungan seksual
7). Minyak castor
20
2.3. Asma Pada Kehamilan
2.3.1. Definisi
Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan
dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat
timbul dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan
pada dada, atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma yang
diterima secara luas, salah satunya menurut American Thoracic Society (1987)10
2.3.2. Prevalensi
Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5-6% dari populasi. Prevalensi asma dalam
kehamilan sekitar 3,7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu
permasalahan yang biasa diemukan dalam kehamilan.1
Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330 wanita
penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan 33%
tidak berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari
penelitian-penelitian ini memberikan kesimpulan10
1. Secara umum asma berkurang frekuensi dan keparahannya menjelang 4
minggu terakhir kehamilan dibandingkan periode lain dari kehamilan.
2. Ketika asma meningkat selama kehamilan, dimana peningkatan terjadi
secara gradual sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan.
3. Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 29-
36 minggu.
4. Kejadian asma selama kehamilan yang berturut-turut cenderung sama
5. Persalinan tidak berhubungan dengan perburukan asma.
2.3.3. Diagnosis
Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan
diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan.
Diagnosis asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan
fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat pada adanya obstruksi jalan
nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari
21
peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-
adrenergik. Jika pemerikasaan spirometri memperlihatkan hasil yang normal,
diagnosis dapat dibuat berdasarkan peningkatan respon saluran napas terhadap
tantangan dengan histamine, methacholine atau isocapnic hiperventilasi udara
dingin.
Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,
wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak
khas seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang
timbul karena aktivitas10.
Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi, ekspirasi
memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi. Tes fungsi paru
dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada spirometri.
Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan
diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat
menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin
menunjukkan peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring
timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya
hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita
hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik.
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat
diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk
mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-
macam allergen. Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah
dan sputum dan juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak
hanya terjadi pada asma. 10
22
2.3.4. Efek Asma Terhadap Kehamilan
Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada
kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi
mengatakan bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti
dengan peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan
preeklamsi, gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada
urine ibu dan sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan
mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua
koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi. Komplikasi yang
dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax, pnemomediatinum, akut cor
pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan respiratory arest11
2.3.5. Efek Kehamilan Terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat
diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-
70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1). Wanita
yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami
asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka
yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan
mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya5.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan
kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada
saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor
hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai
faktor yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko
timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika
persalinan berlangsung pervaginam5.
23
2.3.6. Tatalaksana Asma
Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman terapi
umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan penyakit
yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap wanita
dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama
kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai
keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi
penatalaksanaan nonfarmakologis.
Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan
bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai
keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk
mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia
untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga
memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol
gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan
durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri.
Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya, riwayat
alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada seorang pasien
tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen tunggal tidak
selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang tepat untuk
tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat itu(9).
a. Penanganan asma akut
Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama
dengan asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah.
24
Secara umum, dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemasangan
sungkup oksigen dengan target PO2 > 60 mmHg dan pemasangan pulse oximetry
dengan target saturasi O2 > 95%. Kemudian dilakukan pemeriksaan analisa gas
darah (AGDA), pengukuran FEV1 serta PEFR, dan dilakukan pemantauan janin.5
Obat lini pertama adalah agonis β-adrenegik (subkutan, peroral, inhalasi) dengan
loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan maintenance dose 0,8-1
mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dengan kadar plasma sebesar 10-
20 ng/ml. Obat ini akan berikatan dengan reseptor spesifik di permukaan sel dan
mengaktifkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan merelaksasi
otot polos bronkus. Selain itu, diberikan kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg
intravena setiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon
hasil terapi sebelumnya. Bila FEV1 dan PEFR > 70% baseline maka pasien dapat
dipulangkan dan berobat jalan. Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline
setelah 3 kali pemberian agonis β-adrenegik, maka diperlukan masa observasi di
rumah sakit hingga keadaan pasien stabil.5
Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30-60 menit
dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive care
unit (ICU) dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan
kelelahan otot, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas.5
b. Penanganan Asma Kronis
Menurut National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel,
1997, penanganan yang efektif terhadap asma kronis pada kehamilan harus
mencakup hal-hal berikut:
Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
Menghindari/ menghilangkan faktor presipitasi dari lingkungan
Terapi farmalokogik dan edukasi pasien
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380-550 L/menit.
Setiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat
disesuaikan.
25
Tabel 6. Langkah-langkah Terapi Asma Kronik pada Kehamilan
c. Terapi Exacerbasi Akut
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat
dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit
perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut5:
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-
80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan
cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma
sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis
0,25 mg
26
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,
tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5
mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang
menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus
yang mengancam kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit
dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,
pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif
Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika
fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang
intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.
d. Penanganan Asma Dalam Persalinan
Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,
direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan
teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan
dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan
kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan
asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup
untuk membatasi risiko bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan
kortikosteroid sistemik kronis atau beberapa kortikosteroid sistemik jangka
pendek selama kehamilan harus diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai
24 jam postpartum untuk mengobati kemungkinan supresi adrenal.
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan janin
ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini.
Penilaian janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit
yang disebut tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan
atau sedang yang terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang
27
meyakinkan, perlu dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau
pemantauan denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif
direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan asma
tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang
meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten
(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,
pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil
keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka
persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani
komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita
memberat gejala asmanya pada waktu persalinan5
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan,
ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus
hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila
mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan
penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-
alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma.
Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme.
Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk
abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.
Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan
serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk
penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio
sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada
28
anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme
yang berat5.
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus
dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang
mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga
bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan depresi
pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau
forceps akan bermanfaat5.
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat
memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat
terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah
bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek
bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah
kecemasan ibu terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca
salin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang
lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal. Dalam memilih anestesi dalam
persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl
lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamine.
e. Penanganan Asma Post Partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan
dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post
partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan
dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi
jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam
air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison,
29
keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum
mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien dengan asma
berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri dapat
memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk pendarahan
pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin dan ergonovin
harus dihindari karena menyebabkan bronkospasme. Jika penggunaannya tidak
dapat dihindarkan, sangat disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon.
Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan
bronkokonstriktor dan dapat memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan
dengan prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan
bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat, prostaglandin E2 20 mg
supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek washout yang disebabkan
pendarahan vagina terus-menerus.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika
lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat
menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat5.