BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Partus Lama 2.1.1. Definisi Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di kanan garis waspada pada partograf. Partus lama disebut juga distosia, didefinisikan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu kelainan his, kelainan janin dan kelainan jalan lahir. 1 WHO secara spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor) sebagai proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses persalinan yang dimaksud adalah penambahan waktu antara kala I dan kala II persalinan. 6 2.1.2. Klasifikasi Persalinan lama (distosia) dapat dibagi berdasarkan kelainan pola persalinannya. Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelainan pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada kala I fase aktif, dan kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. 3
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Partus Lama
2.1.1. Definisi
Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau
lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di
kanan garis waspada pada partograf. Partus lama disebut juga distosia,
didefinisikan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya
dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu kelainan his, kelainan janin dan
kelainan jalan lahir.1
WHO secara spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor) sebagai
proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses
persalinan yang dimaksud adalah penambahan waktu antara kala I dan kala II
persalinan.6
2.1.2. Klasifikasi
Persalinan lama (distosia) dapat dibagi berdasarkan kelainan pola persalinannya.
Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelainan pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada
kala I fase aktif, dan kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. Secara
lebih rinci, kelainan pada kala I fase aktif terbagi lagi menjadi protraction
disorder dan arrest disorder.
Selain klasifikasi berdasarkan fase persalinan yang mengalami pemanjangan,
beberapa literatur juga mengelompokkan persalinan lama menjadi dua kelompok
utama, yaitu disproporsi sefalopelfik (cephalopelvic disproportion/CPD) dan
kelompok lainnya adalah failure to progress. Kelompok pertama memaksudkan
lamanya persalinan yang memanjang disebabkan oleh faktor pelvis ataupun faktor
janin. Sementara pada kelompok kedua disebabkan secara murni oleh gangguan
kekuatan persalinan.
3
4
2.1.3. Etiologi
Penyebab distosia secara ringkas dapat dinyatakan sebagai kelainan yang
disebabkan oleh 3 faktor yang disebut 3 P, yaitu powers, passengger dan passage.
Powers – mewakili kondisi gangguan kontraktilitas uterus, bisa saja kontraksi
yang kurang kuat atau kontraksi yang tak terkoordinasi dengan baik sehingga
tidak mampu menyebabkan pelebaran bukaan serviks, termasuk juga lemahnya
dorongan volunter ibu saat kala II. Passengger – mewakili kondisi adanya
kelainan dalam presentasi, posisi atau perkembangan janin. Passage – mewakili
kelainan pada panggul ibu atau penyempitan pelvis.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya partus lama, dapat diterangkan dengan memahami proses
yang terjadi pada jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan.
Dengan memahaminya, kita dapat mengetahui dan memperkirakan faktor apa saja
yang menyebabkan terhambatnya persalinan. Pada akhir kehamilan, kepala janin
akan melewati jalan lahir, segmen bawah rahim yang cukup tebal dan serviks yang
belum membuka. Jaringan otot di fundus masih belum berkontraksi dengan kuat.
Setelah pembukaan lengkap, hubungan mekanis antara ukuran kepala janin, posisi
dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi fetopelvik (fetopelvic proportion)
menjadi semakin nyata hingga janin turun. Penyebab persalinan lama dibagi
menjadi dua kelompok utama, yaitu disfungsi uterus murni dan diproporsi
fetopelvis. Namun pembagian ini terkadang tidak dapat digunakan karena kedua
kelainan tersebut terkadang terjadi bersamaan.
2.1.5. Manifestasi Klinik 1
Gambaran klinik dari persalinan lama dapat dijelaskan berdasarkan fase persalinan
yang mengalami pemanjangan.
Gambar 1. Perjalanan persalinan normal
5
a. Kelainan Kala Satu
1) Fase Laten Memanjang
Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan, yaitu
tahap persiapan (preaptory division), tahap pembukaan (dilatational division), dan
tahap panggul (pelvic division). Walaupun pada tahap persiapan (preaptory
division) hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang
terjadi pada komponen jaringan ikat serviks. Tahap pembukaan/dilatasi
(dilatational division) adalah saat pembukaan paling cepat berlangsung. Tahap
panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi pembukaan serviks.
Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan dasar janin pada
presentasi kepala seperti masuknya janin ke panggul, fleksi, putaran paksi dalam,
ekstensi dan putaran paksi luar terutama berlangsung dalam tahap panggul.
Namun dalam praktik, awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jelas.
Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan
normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase laten yang
sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai dengan tahap
pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng
(kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.
6
Awitan persalinan laten didefinisikan ketika ibu mulai merasakan kontraksi
yang teratur. Selama fase ini, orientasi kontraksi uterus berlangsung
bersamaan dengan pendataran dan pelunakan serviks. Kriteria minimum
Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah kecepatan pembukaan
serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam bagi multipara. Kecepatan
pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Friedman dan
Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan apabila lama fase ini
lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah
anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk
(misalnya serviks yang tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak
membuka) dan persalinan palsu (false labor). Friedman mengklaim bahwa
istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam
memperbaiki fase laten memanjang.1
2) Fase Aktif Memanjang
Kemajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva
memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara
3-4 cm. Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepatan pembukaan
Gambar 2. Urutan rata-rata kurva pembukaan serviks pada persalinan nulipara
7
serviks tertinggi. Secara konsistensi berawal dari saat pembukaan serviks 3-4
cm atau lebih, disertai kontraksi uterus, dapat secara meyakinkan digunakan
sebagai batas awal persalinan aktif.
Kecepatan pembukaan yang dianggap normal untuk persalinan pada nulipara
adalah 1,2 cm/jam, maka kecepatan normal minimum adalah 1,5 cm/jam.
Secara spesifik, ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3 –
4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8-10 cm dalam waktu 3 sampai 4
jam.
Friedman membagi kelainan fase aktif menjadi gangguan protraksi
(berkepanjangan) dan arrest (macet/tidak maju). Ia mendefinisikan protraksi
sebagai kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat dimana untuk
nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm/jam atau penurunan
kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai
kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm/jam atau penurunan kurang dari 2
cm per jam. Sementara itu, ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya
secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan didefinisikan
sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam dan kemacetan
penurunan sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam.
Prognosis kelainan berkepanjangan dan macet ini cukup berbeda dimana
disproporsi sepalopelvik terdiagnosis pada 30% dari ibu dengan kelainan
protraksi. Sedangkan disproporsi sefalopelfik terdiagnosis pada 45% ibu
dengan persalinan macet. Faktor lain yang berperan dalam persalinan yang
berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesi regional, dan
malposisi janin. Pada persalinan yang berkepanjangan dan macet, Friedman
menganjurkan pemeriksaan fetopelvik untuk mendiagnosis disproporsi
sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berkepanjangan
adalah penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitosin dianjurkan untuk
persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik.1
Untuk membantu mempermudah diagnosis kedua kelainan ini, WHO
mengajukan penggunaan partograf dalam tatalaksana persalinan. Berdasarkan
partograf ini, partus lama dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari
8
1cm/jam selama minimal 4 jam. Sementara itu, American College of
Obstetrician and Gynecologists memiliki kriteria diagnosis yang berbeda,.
Kriteria diagnosis tersebut ditampilkan pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Kelainan Persalinan
Pola Persalinan Nulipara Multipara
Kelainan Protraksi
Pembukaan < 1,2 cm/jam <1,5 cm/ jam
Penurunan < 1,0 cm/jam < 2,0 cm/jam
Persalinan Macet
Tidak ada pembukaan > 2 jam > 2 jam
Tidak ada penurunan > 1 jam > 1 jam
b. Kala Dua Memanjang
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan
keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20
menit untuk multipara. Pada ibu dengan paritas tinggi yang vagina dan
perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha mengejan setelah
pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin, sebaliknya
pada seorang ibu dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan
kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia regional atau sedasi yang berat, maka
kala dua dapat memanjang. Kala II pada persalinan nulipara dibatasi 2 jam dan
diperpanjang sampai 3 jam apabila menggunakan anestesi regional. Untuk
multipara 1 jam diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan anestesia
regional.
9
2.1.6. Diagnosis
Adapun kriteria diagnosis dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang
disarankan ditampilkan pada tabel 2 dibawah ini.
Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat membantu
dalam mempermudah diagnosis persalinan lama. Alat bantu tersebut adalah
partograf. Partograf terutama membantu dalam pengawasan fase aktif
persalinan. Kedua jenis gangguan dalam fase aktif dapat didagnosis dengan
melihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction disorder pada fase
aktif dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari 1 cm/ jam selama
minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosis bila
tidak terjadi penambahan pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam
maupun penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam.
Tabel 2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya5
10
2.1.7. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam penatalaksanaan pasien dengan persalinan lama adalah
mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah
sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi
patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode
yang tepat dalam mengakhiri persalinan, apakah persalinan tetap dilakukan
pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.
Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu
disproporsi sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya
disproporsi sefalopelvik pada pasien dengan persalinan lama merupakan indikasi
untuk dilakukannya seksio sesarea. Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari
pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor risiko panggul sempit (misal:
tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau janin diperkirakan
berukuran besar (TBBJ > 4000 gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat berat
badan bayi sebelumnya yang > 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi
sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan.
Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalah menunggu.
Hal ini dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosis sebagai fase laten
berkepanjangan. Kesalahan diagnosis ini dapat menyebabkan induksi atau
percepatan persalinan yang tidak perlu yang mungkin gagal sehingga dapat
menyebabkan seksio sesaria yang tidak perlu. Dianjurkan dilakukan observasi
selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan mengalami persalinan semu,
bila his menjadi teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4 cm maka pasien
dikatakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila
terjadi peerubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka
pecahkan ketuban dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak
memasuki fase aktif setelah delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar
janin dilahirkan secara seksio sesarea.
Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan
yang dialami pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama)
atau arrest disorder (partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak
11
maju, maka besar kemungkinan ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar
dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi adalah partus lama, maka dilakukan
penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih dari 3 kali dalam 10 menit
dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya obstruksi,
malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya
kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tata laksana yang
dianjurkan adalah induksi persalinan dengan oksitosin.
Pada kondisi kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin.
Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat
meningkatkan risiko berkurangnya aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali
harus diyakini pada kondisi kala II memanjang adalah tidak terjadi malpresentasi
dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ditemukan, maka dapat
dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan
oksitosin tidak mempengaruhi penurunan janin, maka dilakukan upaya pelahiran
janin. Jenis upaya pelahiran tersebut tergantung pada posisi kepala janin. Bila
kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan
kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan
ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5
diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara
station) dan station-2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan
simfisiotomi. Namun jika kepala janin teraba lebih dari 3/5 diatas simfisis pubis
atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diatas station-2, maka janin
dilahirkan secara seksio sesaria.
2.1.8. Komplikasi1
Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi bik bagi ibu maupun bagi anak
yang dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama
antara lain :
a. Infeksi intrapartum
Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada persalinan
lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairan amnion
12
menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga
terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke
dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila
terjadi persalinan lama.
b. Ruptura uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama
persalinan lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan
panggul semakin besar sehingga kepala tidak engaged dan tidak terjadi
penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregang kemudian
beresiko terjadinya ruptur uterus. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin
retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik
yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila
dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.
Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu
pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul
akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan berlebihan
segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini, cincin dapat terlihat jelas
sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan rupturnya seegmen bawah
uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi
umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang
seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih
baik.
c. Pembentukan fistula
Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapi
persalinan tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang
terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang
berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas
dalam beberapa hari setelah persalinan dengan timbulnya fistula vesikovaginal,
13
vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi
pada persalinan kala dua yang berkepanjangan.
d. Cedera otot dasar panggul
Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot dasar
panggul atau persarafan atau fasi penghubungnya merupakan konsekuensi yang
tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya
sulit saat kelahiran bayi. Dasar panggul mendapatkan tekanan langsung dari
kepala janin dan tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini
meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan
anatomis dan fungsional otot, saraf, dan jaringan ikat panggul.
e. Kaput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum
yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup
besar dan menyebabkan kesalahan diagnosis yang serius.
f. Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang
disebut molase (molding, moulage). Perubahan ini biasanya tidak menimbulkan
kerugian yang nyata. Namun, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase
dapat menyebabkan ribekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin dan
perdarahan intrakranial pada janin.
2.2. Induksi Persalinan 2.2.1. Definisi
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah
meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.4
2.2.2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
14
diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang
potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau
karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.7
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan
lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi
akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin
terhambat (PJT), I,,nsufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical
abnormal arteri doppler.8
2.2.3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi