Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Partus Lama 2.1.1. Definisi Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di kanan garis waspada pada partograf. Partus lama disebut juga distosia, didefinisikan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu kelainan his, kelainan janin dan kelainan jalan lahir. 1 WHO secara spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor) sebagai proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses persalinan yang dimaksud adalah penambahan waktu antara kala I dan kala II persalinan. 6 2.1.2. Klasifikasi Persalinan lama (distosia) dapat dibagi berdasarkan kelainan pola persalinannya. Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelainan pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada kala I fase aktif, dan kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. 3
44

BAB II

Jul 13, 2016

Download

Documents

Ika Krastanaya

tinjauan pustaka
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Partus Lama

2.1.1. Definisi

Persalinan atau partus lama adalah persalinan yang telah berlangsung 12 jam atau

lebih tanpa kelahiran bayi dimana fase laten lebih dari 8 jam dan dilatasi serviks di

kanan garis waspada pada partograf. Partus lama disebut juga distosia,

didefinisikan sebagai persalinan yang abnormal atau sulit. Sebab-sebabnya

dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu kelainan his, kelainan janin dan

kelainan jalan lahir.1

WHO secara spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor) sebagai

proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses

persalinan yang dimaksud adalah penambahan waktu antara kala I dan kala II

persalinan.6

2.1.2. Klasifikasi

Persalinan lama (distosia) dapat dibagi berdasarkan kelainan pola persalinannya.

Kelainan dalam pola persalinan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu

kelainan pada kala I fase laten yang disebut fase laten memanjang, kelainan pada

kala I fase aktif, dan kelainan pada kala II yang disebut kala II memanjang. Secara

lebih rinci, kelainan pada kala I fase aktif terbagi lagi menjadi protraction

disorder dan arrest disorder.

Selain klasifikasi berdasarkan fase persalinan yang mengalami pemanjangan,

beberapa literatur juga mengelompokkan persalinan lama menjadi dua kelompok

utama, yaitu disproporsi sefalopelfik (cephalopelvic disproportion/CPD) dan

kelompok lainnya adalah failure to progress. Kelompok pertama memaksudkan

lamanya persalinan yang memanjang disebabkan oleh faktor pelvis ataupun faktor

janin. Sementara pada kelompok kedua disebabkan secara murni oleh gangguan

kekuatan persalinan.

3

Page 2: BAB II

4

2.1.3. Etiologi

Penyebab distosia secara ringkas dapat dinyatakan sebagai kelainan yang

disebabkan oleh 3 faktor yang disebut 3 P, yaitu powers, passengger dan passage.

Powers – mewakili kondisi gangguan kontraktilitas uterus, bisa saja kontraksi

yang kurang kuat atau kontraksi yang tak terkoordinasi dengan baik sehingga

tidak mampu menyebabkan pelebaran bukaan serviks, termasuk juga lemahnya

dorongan volunter ibu saat kala II. Passengger – mewakili kondisi adanya

kelainan dalam presentasi, posisi atau perkembangan janin. Passage – mewakili

kelainan pada panggul ibu atau penyempitan pelvis.

2.1.4. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya partus lama, dapat diterangkan dengan memahami proses

yang terjadi pada jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan.

Dengan memahaminya, kita dapat mengetahui dan memperkirakan faktor apa saja

yang menyebabkan terhambatnya persalinan. Pada akhir kehamilan, kepala janin

akan melewati jalan lahir, segmen bawah rahim yang cukup tebal dan serviks yang

belum membuka. Jaringan otot di fundus masih belum berkontraksi dengan kuat.

Setelah pembukaan lengkap, hubungan mekanis antara ukuran kepala janin, posisi

dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi fetopelvik (fetopelvic proportion)

menjadi semakin nyata hingga janin turun. Penyebab persalinan lama dibagi

menjadi dua kelompok utama, yaitu disfungsi uterus murni dan diproporsi

fetopelvis. Namun pembagian ini terkadang tidak dapat digunakan karena kedua

kelainan tersebut terkadang terjadi bersamaan.

2.1.5. Manifestasi Klinik 1

Gambaran klinik dari persalinan lama dapat dijelaskan berdasarkan fase persalinan

yang mengalami pemanjangan.

Page 3: BAB II

Gambar 1. Perjalanan persalinan normal

5

a. Kelainan Kala Satu

1) Fase Laten Memanjang

Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan, yaitu

tahap persiapan (preaptory division), tahap pembukaan (dilatational division), dan

tahap panggul (pelvic division). Walaupun pada tahap persiapan (preaptory

division) hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang

terjadi pada komponen jaringan ikat serviks. Tahap pembukaan/dilatasi

(dilatational division) adalah saat pembukaan paling cepat berlangsung. Tahap

panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi pembukaan serviks.

Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakan-gerakan dasar janin pada

presentasi kepala seperti masuknya janin ke panggul, fleksi, putaran paksi dalam,

ekstensi dan putaran paksi luar terutama berlangsung dalam tahap panggul.

Namun dalam praktik, awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jelas.

Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan

normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase laten yang

sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai dengan tahap

pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng

(kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.

Page 4: BAB II

6

Awitan persalinan laten didefinisikan ketika ibu mulai merasakan kontraksi

yang teratur. Selama fase ini, orientasi kontraksi uterus berlangsung

bersamaan dengan pendataran dan pelunakan serviks. Kriteria minimum

Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah kecepatan pembukaan

serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam bagi multipara. Kecepatan

pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Friedman dan

Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan apabila lama fase ini

lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada multipara

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah

anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk

(misalnya serviks yang tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak

membuka) dan persalinan palsu (false labor). Friedman mengklaim bahwa

istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam

memperbaiki fase laten memanjang.1

2) Fase Aktif Memanjang

Kemajuan persalinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva

memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara

3-4 cm. Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepatan pembukaan

Gambar 2. Urutan rata-rata kurva pembukaan serviks pada persalinan nulipara

Page 5: BAB II

7

serviks tertinggi. Secara konsistensi berawal dari saat pembukaan serviks 3-4

cm atau lebih, disertai kontraksi uterus, dapat secara meyakinkan digunakan

sebagai batas awal persalinan aktif.

Kecepatan pembukaan yang dianggap normal untuk persalinan pada nulipara

adalah 1,2 cm/jam, maka kecepatan normal minimum adalah 1,5 cm/jam.

Secara spesifik, ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3 –

4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8-10 cm dalam waktu 3 sampai 4

jam.

Friedman membagi kelainan fase aktif menjadi gangguan protraksi

(berkepanjangan) dan arrest (macet/tidak maju). Ia mendefinisikan protraksi

sebagai kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat dimana untuk

nulipara adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm/jam atau penurunan

kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai

kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm/jam atau penurunan kurang dari 2

cm per jam. Sementara itu, ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya

secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan didefinisikan

sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam dan kemacetan

penurunan sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam.

Prognosis kelainan berkepanjangan dan macet ini cukup berbeda dimana

disproporsi sepalopelvik terdiagnosis pada 30% dari ibu dengan kelainan

protraksi. Sedangkan disproporsi sefalopelfik terdiagnosis pada 45% ibu

dengan persalinan macet. Faktor lain yang berperan dalam persalinan yang

berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesi regional, dan

malposisi janin. Pada persalinan yang berkepanjangan dan macet, Friedman

menganjurkan pemeriksaan fetopelvik untuk mendiagnosis disproporsi

sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berkepanjangan

adalah penatalaksanaan menunggu, sedangkan oksitosin dianjurkan untuk

persalinan yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik.1

Untuk membantu mempermudah diagnosis kedua kelainan ini, WHO

mengajukan penggunaan partograf dalam tatalaksana persalinan. Berdasarkan

partograf ini, partus lama dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari

Page 6: BAB II

8

1cm/jam selama minimal 4 jam. Sementara itu, American College of

Obstetrician and Gynecologists memiliki kriteria diagnosis yang berbeda,.

Kriteria diagnosis tersebut ditampilkan pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Kelainan Persalinan

Pola Persalinan Nulipara Multipara

Kelainan Protraksi

Pembukaan < 1,2 cm/jam <1,5 cm/ jam

Penurunan < 1,0 cm/jam < 2,0 cm/jam

Persalinan Macet

Tidak ada pembukaan > 2 jam > 2 jam

Tidak ada penurunan > 1 jam > 1 jam

b. Kala Dua Memanjang

Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan

keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20

menit untuk multipara. Pada ibu dengan paritas tinggi yang vagina dan

perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha mengejan setelah

pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin, sebaliknya

pada seorang ibu dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan

kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia regional atau sedasi yang berat, maka

kala dua dapat memanjang. Kala II pada persalinan nulipara dibatasi 2 jam dan

diperpanjang sampai 3 jam apabila menggunakan anestesi regional. Untuk

multipara 1 jam diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan anestesia

regional.

Page 7: BAB II

9

2.1.6. Diagnosis

Adapun kriteria diagnosis dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang

disarankan ditampilkan pada tabel 2 dibawah ini.

Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat membantu

dalam mempermudah diagnosis persalinan lama. Alat bantu tersebut adalah

partograf. Partograf terutama membantu dalam pengawasan fase aktif

persalinan. Kedua jenis gangguan dalam fase aktif dapat didagnosis dengan

melihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction disorder pada fase

aktif dapat didagnosis bila pembukaan serviks kurang dari 1 cm/ jam selama

minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosis bila

tidak terjadi penambahan pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam

maupun penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam.

Tabel 2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya5

Page 8: BAB II

10

2.1.7. Penatalaksanaan

Prinsip utama dalam penatalaksanaan pasien dengan persalinan lama adalah

mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah

sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi

patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode

yang tepat dalam mengakhiri persalinan, apakah persalinan tetap dilakukan

pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.

Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu

disproporsi sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya

disproporsi sefalopelvik pada pasien dengan persalinan lama merupakan indikasi

untuk dilakukannya seksio sesarea. Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari

pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor risiko panggul sempit (misal:

tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau janin diperkirakan

berukuran besar (TBBJ > 4000 gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat berat

badan bayi sebelumnya yang > 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi

sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan.

Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalah menunggu.

Hal ini dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosis sebagai fase laten

berkepanjangan. Kesalahan diagnosis ini dapat menyebabkan induksi atau

percepatan persalinan yang tidak perlu yang mungkin gagal sehingga dapat

menyebabkan seksio sesaria yang tidak perlu. Dianjurkan dilakukan observasi

selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan mengalami persalinan semu,

bila his menjadi teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4 cm maka pasien

dikatakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila

terjadi peerubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka

pecahkan ketuban dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak

memasuki fase aktif setelah delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar

janin dilahirkan secara seksio sesarea.

Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan

yang dialami pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama)

atau arrest disorder (partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak

Page 9: BAB II

11

maju, maka besar kemungkinan ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar

dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi adalah partus lama, maka dilakukan

penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih dari 3 kali dalam 10 menit

dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya obstruksi,

malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya

kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tata laksana yang

dianjurkan adalah induksi persalinan dengan oksitosin.

Pada kondisi kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin.

Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat

meningkatkan risiko berkurangnya aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali

harus diyakini pada kondisi kala II memanjang adalah tidak terjadi malpresentasi

dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ditemukan, maka dapat

dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan

oksitosin tidak mempengaruhi penurunan janin, maka dilakukan upaya pelahiran

janin. Jenis upaya pelahiran tersebut tergantung pada posisi kepala janin. Bila

kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan

kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan

ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5

diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara

station) dan station-2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan

simfisiotomi. Namun jika kepala janin teraba lebih dari 3/5 diatas simfisis pubis

atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diatas station-2, maka janin

dilahirkan secara seksio sesaria.

2.1.8. Komplikasi1

Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi bik bagi ibu maupun bagi anak

yang dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama

antara lain :

a. Infeksi intrapartum

Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada persalinan

lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairan amnion

Page 10: BAB II

12

menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga

terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat

aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya.

Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke

dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila

terjadi persalinan lama.

b. Ruptura uteri

Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama

persalinan lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka

dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan

panggul semakin besar sehingga kepala tidak engaged dan tidak terjadi

penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregang kemudian

beresiko terjadinya ruptur uterus. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin

retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik

yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila

dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.

Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu

pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul

akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan berlebihan

segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini, cincin dapat terlihat jelas

sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan rupturnya seegmen bawah

uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesi

umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang

seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih

baik.

c. Pembentukan fistula

Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapi

persalinan tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang

terletak diantaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang

berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas

dalam beberapa hari setelah persalinan dengan timbulnya fistula vesikovaginal,

Page 11: BAB II

13

vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi

pada persalinan kala dua yang berkepanjangan.

d. Cedera otot dasar panggul

Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot dasar

panggul atau persarafan atau fasi penghubungnya merupakan konsekuensi yang

tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya

sulit saat kelahiran bayi. Dasar panggul mendapatkan tekanan langsung dari

kepala janin dan tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini

meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan

anatomis dan fungsional otot, saraf, dan jaringan ikat panggul.

e. Kaput suksedaneum

Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum

yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup

besar dan menyebabkan kesalahan diagnosis yang serius.

f. Molase kepala janin

Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling

bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang

disebut molase (molding, moulage). Perubahan ini biasanya tidak menimbulkan

kerugian yang nyata. Namun, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase

dapat menyebabkan ribekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin dan

perdarahan intrakranial pada janin.

2.2. Induksi Persalinan 2.2.1. Definisi

Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai

terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah

meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.4

2.2.2. Indikasi Induksi Persalinan

Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau

kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin

Page 12: BAB II

14

diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang

potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau

karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.7

Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan

lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi

akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin

terhambat (PJT), I,,nsufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical

abnormal arteri doppler.8

2.2.3. Kontra Indikasi

Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk

menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi

sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio

caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa,

hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.5

2.2.4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan

Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun

setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,

hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta,

hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,

kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar

pada induksi elektif.5

2.2.5. Persyaratan

Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa

Page 13: BAB II

15

kondisi/persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)

b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar

dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika

kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan

serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode

mekanis.

c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.

d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke rongga panggul 9

Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin

tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat

dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:

a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya

berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.

b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks

terlebih dahulu sebelum melakukan induksi.5

Tabel. 3. Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop

NilaiFaktor

0 1 2 3Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6

Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%

Penurunan

Konsistensi

-3

Kuat

-2

Sedang

-1 / 0

Lunak

+1 / +2

Posisi Posterior Pertengahan Anterior

Page 14: BAB II

16

2.2.6. Proses Induksi

Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia

dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk

mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim

berkontraksi.

a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis

1). Prostaglandin E2 (PGE2)

PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan

intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan

secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan

peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak

jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga

mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk

mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan

digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya

antara 5 - 7.7

2). Prostaglandin

Misoprostol adalah prostaglandin E1 sintetik. Obat ini digunakan ”off-label”

( di luar indikasi resmi) untuk pematangan serviks prainduksi dan induksi

persalinan. Tablet misoprostol yang dimasukkan ke dalam vagina setara dan

mungkin lebih baik dibandingkan dengan golongan prostaglandin E2.

Dianjurkan dosis intravagina 25µg. Hiperstimulasi uterus disertai perubahan

denyut jantung janin perlu diperhatikan pada pemakaian obat ini. Dosis

misoprostol intravagina yang lebih tinggi (50µg atau lebih) menyebabkan

peningkatan bermakna takisistol uterus, pengeluaran dan aspirasi mekonium,

dan sesar atas indikasi hiperstimulasi uterus. Laporan rupture uterus pada

wanita dengan riwayat pembedahan menyebabkan misoprostol tidak boleh

dilakukakn pada para wanita tersebut.5

Page 15: BAB II

17

3) Pemberian oksitosin intravena

Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus yang

cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah

regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American

College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan

menggunakan protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 –

40) mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di

Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis

tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan

augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi

yang lain untuk memperpendek waktu persalinan.5

Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari

hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada

multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang

mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus

oksitosin untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 4. Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi

Regimen

Dosis awal(mU/menit)

Penaikan dosis(mU

/menit)

Interval(menit)

Rendah

0,5 – 1,5 1 15 – 40

2 4,8,12,16,20,25,30 15

Tinggi

4 4 15

4,5 4,5 15 – 30

6 6 20 – 40

Page 16: BAB II

18

Manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang

lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan

regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah

dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama

memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan

setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun

regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktifitas uterus,

kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam

infuse.5

Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus oksitosin untuk

induksi persalinan:

Tabel 5. Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan

Page 17: BAB II

19

Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas tetap belum terbentuk pola

kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang tinggi maka pada

multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar. Pada

primigravida dapat diberikan infuse oksitosin konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml)

sesuai dengan protocol.

Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkanlah janin

melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama pemberian ada beberapa

hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:

a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.

b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan

kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.

c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri

d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada

multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.

e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola

kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.4

b. Secara mekanis atau tindakan

1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)

2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)

3). Stripping membrane

4). Induksi Amniotomi

5). Stimulasi putting susu

6). Hubungan seksual

7). Minyak castor

Page 18: BAB II

20

2.3. Asma Pada Kehamilan

2.3.1. Definisi

Meskipun sindrom klinis khas asma yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan

dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat

timbul dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan

pada dada, atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Banyak definisi asma yang

diterima secara luas, salah satunya menurut American Thoracic Society (1987)10

2.3.2. Prevalensi

Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5-6% dari populasi. Prevalensi asma dalam

kehamilan sekitar 3,7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu

permasalahan yang biasa diemukan dalam kehamilan.1

Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330 wanita

penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan 33%

tidak berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari

penelitian-penelitian ini memberikan kesimpulan10

1. Secara umum asma berkurang frekuensi dan keparahannya menjelang 4

minggu terakhir kehamilan dibandingkan periode lain dari kehamilan.

2. Ketika asma meningkat selama kehamilan, dimana peningkatan terjadi

secara gradual sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan.

3. Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 29-

36 minggu.

4. Kejadian asma selama kehamilan yang berturut-turut cenderung sama

5. Persalinan tidak berhubungan dengan perburukan asma.

2.3.3. Diagnosis

Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan

diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan.

Diagnosis asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan

fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat pada adanya obstruksi jalan

nafas episodik dan reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari

Page 19: BAB II

21

peningkatan 15% FEV1 atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-

adrenergik. Jika pemerikasaan spirometri memperlihatkan hasil yang normal,

diagnosis dapat dibuat berdasarkan peningkatan respon saluran napas terhadap

tantangan dengan histamine, methacholine atau isocapnic hiperventilasi udara

dingin.

Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,

wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak

khas seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang

timbul karena aktivitas10.

Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi, ekspirasi

memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.

Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi. Tes fungsi paru

dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada spirometri.

Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan

diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat

menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin

menunjukkan peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring

timbulnya gejala-gejala. Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya

hiperreaktivitas jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita

hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik.

Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat

diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk

mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-

macam allergen. Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah

dan sputum dan juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak

hanya terjadi pada asma. 10

Page 20: BAB II

22

2.3.4. Efek Asma Terhadap Kehamilan

Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada

kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi

mengatakan bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti

dengan peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan

preeklamsi, gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada

urine ibu dan sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan

mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua

koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi. Komplikasi yang

dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax, pnemomediatinum, akut cor

pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan respiratory arest11

2.3.5. Efek Kehamilan Terhadap Asma

Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat

diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-

70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma(1). Wanita

yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami

asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka

yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan

mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya5.

Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan

memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan

kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.

Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada

saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor

hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai

faktor yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko

timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika

persalinan berlangsung pervaginam5.

Page 21: BAB II

23

2.3.6. Tatalaksana Asma

Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman terapi

umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan penyakit

yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada setiap wanita

dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau selama

kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan sesuai

keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi strategi

penatalaksanaan nonfarmakologis.

Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan untuk

mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan

bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai

keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk

mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini.

Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang tersedia

untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini juga

memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk mengontrol

gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung pada berat dan

durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri.

Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya, riwayat

alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada seorang pasien

tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen tunggal tidak

selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang tepat untuk

tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saaat itu(9).

a. Penanganan asma akut

Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama

dengan asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah.

Page 22: BAB II

24

Secara umum, dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemasangan

sungkup oksigen dengan target PO2 > 60 mmHg dan pemasangan pulse oximetry

dengan target saturasi O2 > 95%. Kemudian dilakukan pemeriksaan analisa gas

darah (AGDA), pengukuran FEV1 serta PEFR, dan dilakukan pemantauan janin.5

Obat lini pertama adalah agonis β-adrenegik (subkutan, peroral, inhalasi) dengan

loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan maintenance dose 0,8-1

mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dengan kadar plasma sebesar 10-

20 ng/ml. Obat ini akan berikatan dengan reseptor spesifik di permukaan sel dan

mengaktifkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan merelaksasi

otot polos bronkus. Selain itu, diberikan kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg

intravena setiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon

hasil terapi sebelumnya. Bila FEV1 dan PEFR > 70% baseline maka pasien dapat

dipulangkan dan berobat jalan. Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline

setelah 3 kali pemberian agonis β-adrenegik, maka diperlukan masa observasi di

rumah sakit hingga keadaan pasien stabil.5

Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30-60 menit

dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive care

unit (ICU) dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan

kelelahan otot, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas.5

b. Penanganan Asma Kronis

Menurut National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel,

1997, penanganan yang efektif terhadap asma kronis pada kehamilan harus

mencakup hal-hal berikut:

Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin

Menghindari/ menghilangkan faktor presipitasi dari lingkungan

Terapi farmalokogik dan edukasi pasien

Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380-550 L/menit.

Setiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat

disesuaikan.

Page 23: BAB II

25

Tabel 6. Langkah-langkah Terapi Asma Kronik pada Kehamilan

c. Terapi Exacerbasi Akut

Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus secara cepat

dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan perawat diruang unit

perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan janin dalam kandungan.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut5:

1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan pO2 70-

80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.

2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan

penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami kekurangan

cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau normal saline.

3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan

dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma

sebesar 10-20 mikrogram/ml.

4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan dosis

0,25 mg

Page 24: BAB II

26

5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading dose,

tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5

mg/kgBB/jam

6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang

menyertai

7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-kasus

yang mengancam kehidupan.

8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60 menit

dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status asmatikus,

pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit perawatan intensif

Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih awal diperlukan jika

fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun dilakukan penanganan yang

intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

d. Penanganan Asma Dalam Persalinan

Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,

direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal dengan

teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral) selama persalinan

dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau melahirkan dan

kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR diukur setelah pengobatan

asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan disiapkan analgesik yang cukup

untuk membatasi risiko bronkospasme. Pasien yang sudah memerlukan

kortikosteroid sistemik kronis atau beberapa kortikosteroid sistemik jangka

pendek selama kehamilan harus diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai

24 jam postpartum untuk mengobati kemungkinan supresi adrenal.

Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan pemantauan janin

ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak diperlukan pemantauan ini.

Penilaian janin dapat diselesaikan dengan pemantauan elektronik selama 20 menit

yang disebut tes masuk rumah sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan

atau sedang yang terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang

Page 25: BAB II

27

meyakinkan, perlu dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau

pemantauan denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif

direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan asma

tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah sakit yang

meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan

pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau auskultasi intermiten

(setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala 2). Selama persalinan,

pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan pedoman untuk mengambil

keputusan dalam pengelolaan asma dan obstetris yang baik.

Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka

persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani

komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita

memberat gejala asmanya pada waktu persalinan5

Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan,

ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus

hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila

mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan

penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.

Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih. Penggunaan 15-metil

prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan analog prostaglandin F2-

alfa sintetik yang dilaporkan menyebabkan bronkospasme pada pasien asma.

Penggunaan prostaglandin E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme.

Namun, sebuah penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk

abortus terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.

Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk pematangan

serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan menyebabkan bronkospasme.

Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk

penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio

sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada

Page 26: BAB II

28

anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme

yang berat5.

Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus

dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang

mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin sehingga

bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan depresi

pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.

Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan

pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau

forceps akan bermanfaat5.

Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat dapat

memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin merupakan obat

terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat mencegah

bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat memberikan efek

bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen konsentrasi tinggi dan mencegah

kecemasan ibu terhadap pembedahan serta tidak menimbulkan pendarahan pasca

salin. Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang

lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal. Dalam memilih anestesi dalam

persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl

lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamine.

e. Penanganan Asma Post Partum

Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan

dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post

partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan

dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi

jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam

air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison,

Page 27: BAB II

29

keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum

mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.

Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien dengan asma

berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia uteri dapat

memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih untuk pendarahan

pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan, metilergonovin dan ergonovin

harus dihindari karena menyebabkan bronkospasme. Jika penggunaannya tidak

dapat dihindarkan, sangat disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon.

Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan

bronkokonstriktor dan dapat memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan

dengan prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan

bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat, prostaglandin E2 20 mg

supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek washout yang disebabkan

pendarahan vagina terus-menerus.

Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika

lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat

menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat5.