1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….. HALAMAN MOTTO………………………………………………………... HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………… ABSTRAK…………………………………………………………………….. KATA PENGANTAR ………………………………………………………... DAFTAR ISI…………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………….. 3 1.2 Identifikasi Masalah……………………………………………………...….. 9 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………. 9 1.4 Kegunaan Penelitia………………………………………………………….. 9 1.5 Kerangka Pemikiran…………………………………………………….……10 1.6 Metode Penelitian…………………………………………………………… 12 1.7 Sumber Data………………………………………………………………… 14 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Budaya dan Kebudayaan……………………………………………………. 15 2.1.1 Wujud Budaya……………………………………………………….. 18 2.1.2 Akulturasi……………………………………………………………. 21 2.2 Konsep Hijab………………………….…………………………………….. 25 2.2.1 Konsep Hijab dalam Konteks Budaya…………………………..….. 26 2.2.2 Konsep Hijab dalam Konteks Agama Islam………………………… 27
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………..
HALAMAN MOTTO………………………………………………………...
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………
ABSTRAK……………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...
DAFTAR ISI……………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………….. 3
هن� ؤأب�� خ�� Iو أ �هن� أ ن% عؤل� ي��“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah merekamenampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, danjanganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka,atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka…..”
Dalil ini menjadi alasan kuat bagi mayoritas
wanita muslimah di Indonesia untuk menggunakan hijab
dengan berupa jilbab/kerudung. Wanita muslimah di
Indonesia lebih umum menggunakan kata hijab dengan
maksud jilbab sebagai kerudung yang hanya menutupi
8
rambut sampai dada, walaupun kata hijab dalam al-qur’an
memiliki makna yang berbeda dari makna yang umumnya
saat ini dipahami oleh kalangan muslimah.
Munculnya tren fashion hijab baik melalui media
sosial dunia maya maupun melalui fenomena suatu
kelompok masyarakat tertentu menjadi latar belakang
atau faktor yang cukup kuat bagi wanita di Indonesia
untuk segera menggunakan hijab. Melalui keberadaan
strata sosial stylish,fashionable dan high class yang tercap
pada hijabers community yang telah ada ini menjadi sebuah
pencapaian tersendiri bagi wanita Indonesia yang tidak
mempedulikan tren fashion. Selain motif penggunaan hijab
karena tuntutan agama Islam dan mengikuti tren fashion,
masyarakat Indonesia juga dikenal dengan budaya
konsumtif dan budaya yang kental dengan menganut orang
tua/ menganut tradisi, sehingga ketika terdapat orang
tua atau sebuah keluarga yang mayoritasnya menggunakan
hijab, maka anaknya-pun akan menggunakan hijab dengan
sendirinya atas alasan mengikuti orang tua ataupun
hanya sekedar menuruti perintah orang tua.
9
Sumber penyebar tren fashion hijab ini adalah wanita-
wanita di Indonesia yang menggunakan hijab dengan gaya
fashionable. Mereka membentuk komunitas-komunitas yang
umumnya dinamakan Hijabers Community. Saat ini hijabers
community sudah terbentuk di 3 kota besar Indonesia
yaitu Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Dalam penelitian
ini tentunya akan menjadikan Hijabers Community Bandung
sebagai salah satu sumber data primer, dimana komunitas
ini menampilkan fenomena wanita Indonesia berdomisili
di Bandung yang menggunakan hijab fashionable dengan
sekaligus menjadi trend satter bagi muslimah di Bandung
khususnya. Muslimah dalam komunitas ini menjadikan
hijab sebagai gaya hidup sosial mereka, dengan tentunya
juga menyebarluaskan tren berbusana muslim dan
berjilbab.
Kebebasan berekspresi dalam berhijab ini
diaktualisasikan oleh para hijabers dengan kreasi-
kreasi model hijab yang sangat bervarian, baik dari
motif, bahan, style/gaya bahkan cara menggunakan kerudung
itu sendiri. Setiap Negara islam memiliki gaya dan cara
10
menggunakan kerudung masing-masing yang pengaruhnya
tidak terlepas dari kondisi sosial budaya di Negaranya
masing-masing. Dengan semakin pesatnya pengaruh
globalisasi saat ini, maka terlahirlah akulturasi pada
tiap produk budaya di Indonesia termasuk pada motif dan
gaya berhijab.
Akulturasi pada wujud budaya berupa kreasi
berhijab di Indonesia melahirkan keindahan-keindahan
dan nilai estetika pada busana muslim di Indonesia.
Selain menjadi ‘simbol’ agama islam, hijab dapat
menjadi objek kreatifitas masyarakat Indonesia dalam
penyebarluasannya tentunya tanpa keluar dari nilai-
nilai prinsip agama islam mengenai penggunan hijab itu
sendiri.
Saat ini dengan sudah canggihnya konektivitas
manusia dengan dunia maya internet, kita dapat menemukan
banyak video-video tutorial cara berhijab agar terlihat
lebih stylish dan bermotif. Selain itu juga kita dapat
memilah-milih berbagai macam motif dan bahan kerudung
11
yang gambarnya akan banyak kita temukan di online shop-
online shop.
Dalam pembuatan desain dan motif hijab, para
desainer memadu-padankan warna-warna cerah, gelap dan
soft dalam karya hijabnya. Pemaduan warna-warna ini
dapat memberikan kesan yang menggambarkan karakteristik
desainer tersebut maupun pengguna dari hijab tersebut.
Warna merupakan salah satu dari bentuk simbol pada
desain busana yang dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai karakter dari pengguna busana
tersebut.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal
yang melatarbelakangi penyusunan skripsi ini :
- Hijab pada era tahun 2000an ini telah menjadi
bagian dari trend fashion muslim di Indonesia dan
menjadi trend satter muslimah di dunia.
- Hijab yang umumnya diartikan sebagai benda berupa
kerudung/jilbab di Indonesia menjadi suatu
produk/karya buatan manusia yang dikreasikan
dengan berbagai macam bentuk dan selera yang tidak
12
terlepas dari pengaruh budaya sosial manusia
tersebut.
- Setiap Negara Islam memiliki motif, gaya dan cara
mengenakan kerudung masing-masing. Sehingga efek
dari globalisasi berupa akulturasi budaya
berpengaruh pada karya-karya yang dihasilkan tiap
Negara.
- Terjadi akulturasi pada motif dan gaya berkerudung
di Indonesia yang melahirkan nilai-nilai estetika
pada macam-macam kerudung saat ini.
- Gaya warna dan motif pada hijab yang berupa
kerudung menjadi sebuah simbol karakter yang
melekat pada desainer dan pengguna hijab tersebut.
Oleh karena itu, bentuk akulturasi dari hijab yang
digunakan oleh para hijabers saat ini perlu diteliti
dan diungkapkan agar karakteristik nilai estetik dan
simbolik dari hijab di Indonesia ini juga dapat
diketahui oleh masyarakat luas. Dengan harapan wanita
di Indonesia yang menggunakan hijab dapat mengetahui
seberapa besar pengaruh budaya luar terhadap konsep
13
hijab yang mereka kenakan selama ini, juga dengan
harapan muslimah di Indonesia mengetahui akan adanya
keterkaitan diri mereka sendiri terhadap pakaian hijab
yang mereka kenakan, maka penulis menyusun penelitian
ini dengan judul Akulturasi pada Motif dan Gaya Hijab di
Kalangan ‘Hijabers’ Indonesia, (Studi Kasus Analisis Estetik Simbolik
Hijabers Community Bandung)
2. Identifikasi Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membatasi
dan merangkum permasalahan yang akan penulis teliti,
yaitu berupa :
1. Apa latar belakang pemakaian hijab pada muslimah
saat ini di Indonesia ?
2. Bagaimana karakteristik motif dan gaya hijab
muslimah di Indonesia ?
3. Bagaimana bentuk akulturasi hijab dalam tinjauan
estetik dan simbolik ?
3. Tujuan Penelitian
14
Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk
terungkapnya hal-hal yang teridentifikasi, yaitu :
1. Latar belakang pemakaian hijab pada muslimah di
Indonesia.
2. Karakteristik motif dan gaya hijab muslimah di
Indonesia.
3. Bentuk akulturasi pada hijab di Indonesia dalam
tinjauan estetik dan simbolik.
4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat
memiliki kegunaan baik secara teoritis maupun praktis,
terutama bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Dalam
hal ini, kegunaan tersebut berupa :
1. Kegunaan teoritis yaitu sebagai penunjang
penelitian sebuah karya seni dan budaya. Penulis
berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
referensi pengetahuan desain busana muslim dan
sebagai referensi perihal wujud budaya bagi
15
masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi
penulis.
2. Kegunaan praktis yang dapat digunakan langsung
oleh pembaca dari hasil penelitian ini, berupa :
a. Pembaca dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai bahan rujukan dalam penelitian-
penelitian selanjutnya berupa desain busana
muslim.
b. Pembaca dapat mengetahui dan juga mengkreasikan
cara berhijab sesuai dengan pengetahuan ciri
khas hijab dari tiap-tiap Negara Islam.
c. Dengan adanya penelitian ini, penulis dan
pembaca dapat merasa bangga dan mengetahui
hasil karya original motif dan gaya berhijab dari
Negara Indonesia.
d. Pembaca dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai salah satu referensi mengreasikan gaya
berhijab.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber motivasi bagi pembaca khususnya wanita
muslimah yang belum menggunakan hijab ntuk
16
dapat menggunakannya di kehidupan sehari-
harinya.
5. Kerangka Pemikiran
Suciati menyimpulkan dalam makalahnya : Gaya Busana
Unisex “Perintah penggunaan jilbab merupakan perintah
yang terikat oleh situasi tertentu sehingga tujuan
terhadap pemberlakuan hijab khususnya penggunaan jilbab
karakteristik hijab di setiap Negara islam termasuk
Indonesia.
2. Observasi lapangan, dimana penulis akan mengamati
dan menyelidiki secara sistematis menggunakan
indera. Dalam tahap ini observasi dilakukan dengan
cara mencatat secara sistematis gejala-gejala yang
diselidiki. Bentuk observasi ini survei lapangan
atau pengamatan langsung pada objek yang hendak di
teliti (Suwardi Endraswara, 2006: 208).
21
3. Wawancara, penulis akan menyempurnakan data dengan
mewawancarai objek penelitian untuk menghasilkan
data primer skripsi ini.
4. Metode Dokumentasi, yang dapat diartikan sebagai
suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang
tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip,
buku, arsip, foto dan lain sebagainya. Tekhnik
dokumentasi yang digunakan peneliti adalah
dokumentasi primer dan sekunder. Primer berupa
dokumentasi pengambilan foto secara langsung oleh
peneliti. Sekunder berupa pengambilan beberapa
informasi dari media internet.
5. Interpretasi dan menyimpulkan data dimana penulis
disini akan berpedoman pada konsep estetika gaya
dan desain busana muslim.
7. Sumber Data
22
Sumber data dalam sebuah penelitian umumnya
bersumber pada dua jenis data, yaitu data primer dan
data sekunder. Dalam hal ini digunakan :
- Terdapat dua data primer berupa literatur mengenai
desain, motif dan hijab style karya hijabers dan
desainer Indonesia, selain itu juga data berupa
hasil analisis dan wawancara terhadap Komunitas
Hijabers Bandung atau yang biasa disebut dengan
Hijabers Community Bandung.
- Data sekunder dalam hal ini yaitu segala literatur
baik tulisan, buku, artikel, dokumen yang
merupakan hipotesis yang berhubungan dengan data
primer.
23
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Budaya dan Kebudayaan
‘’Budaya’’ dalam kamus Indonesia – Arab (Asad M.
Alkalali, 1997: 77) diterjemahkan dengan kata ة% �UUUUUUUUاف ق% X�ي dan‘‘kebudayaan’’ dengan kata ة% �UUUUاف ق% Xأل�ب. Sedangkan dari sudutbahasa Indonesia sesuai (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1995: 149), budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansakerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang
berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
bermasyarakat bagaikan dua sisi mata uang. Kebudayaan
ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah
kepada perbuatan dan karya manusia.
30
Melalui teori ini, pakaian dalam hal ini hijab
dapat dikategorikan sebagai wujud budaya yang merupakan
buah hasil dari karya manusia yang terikat dengan latar
belakang budaya maupun latar belakang tuntutan sosial
dan prinsip manusia tersebut. Hijab disini dapat
diartikan sebagai manifestasi budaya yang senantiasa
berkembang sesuai dengan konsep budaya yang dimiliki
oleh tiap-tiap manusia dimana konsep budaya tiap
masyarakat di tiap Negara memiliki karakteristik
masing-masing.
Tidak berbeda jauh dengan teori yang dihasilkan
oleh Koentjaraningrat, Menurut J.J. Hoenigman (dalam
Koentjaraningrat, 1986), wujud kebudayaan dibedakan
menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan
adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai , norma-norma, peraturan, dan
sebagainya yang sifatnya abstrak ; tidak dapat diraba
atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat .
Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
31
dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal
itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya
para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (tindakan) Aktivitas adalah wujud
kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut
dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi ,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya
menurut pola-pola tertentu yang ber- dasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret , terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3. Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan
fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara
ketiga wujud kebudayaan.
Pada kenyataannya, kehidupan bermasyarakat, antara
wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari
wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
32
kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat
digolongkan atas dua komponen utama, yaitu kebudayaan
material dan kebudayaan non- material. Kebudayaan
material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang
nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini
adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan,
senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga
mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat
terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar
langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah
ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi
ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat,
dan lagu atau tarian tradisional.
Pakaian sebagai bentuk wujud kebudayaan material
disini dapat menjadi identitas budaya yang memiliki
karakteristik dan simbol tersendiri di setiap
masyarakat yang menggunakannya, terutama bagi wanita.
Oleh karena itu, dalam hal ini hijab sebagai pakaian
33
dapat menjadi objek penelitian kebudayaan yang akan
mengungkapkan banyak nilai yang terkandung di dalamnya.
2.1.2 Akulturasi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa
akulturasi diartikan percampuran dua kebudayaan atau
lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi
(KUBI, 2001: 24). Suyono (1985:15), menyatakan bahwa
akulturasi merupakan pengembilan atau penerimaan satu
atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari
pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling
berhubungan atau bertemu. Sedangkan (Lauer, 1993:403)
memberi pengertian akulturasi adalah meliputi fenomena
yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu yang
berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung,
yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah
satu atau kedua kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1958: 449-450), bahwa
untuk mengkaji proses akulturasi dapat menggunakan
pendekatan lima prinsip, yaitu: (1) Principle of
34
integration atau prinsip integrasi yaitu suatu
proses dimana unsur-unsur yang saling berbeda dari
kebudayaan mencapai keselarasan dalam kehidupan
masyarakat; (2) Principle of function atau prinsip fungsi,
yaitu unsur-unsur yang tidak akan mudah hilang, apabila
unsur-unsur itu mempunyai fungsi yang penting dalam
masyarakat; (3) Principle of early learning, sebagai prinsip
yang terpenting dalam proses akulturasi, yang
menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari
paling dahulu, pada saat si individu pendukung
kebudayaan masih kecil, akan paling sukar diganti oleh
unsur kebudayaan asing; (4) Principle of utility, yaitu suatu
unsur baru yang mudah diterima, bila unsur itu
mempunyai guna yang besar bagi masyarakat; (5) Principle of
concretness atau prinsip sifat konkrit yaitu unsur-unsur
konkrit lebih mudah hilang diganti dengan unsur-unsur
asing, terutama unsur-unsur kebudayaan jasmani, benda,
alat-alat dan sebagainya.
Dalam hal ini hijab sebagai pakaian merupakan
wujud kebudayaan berupa alat-alat yang digunakan oleh
35
manusia sebagai pembentuk identitas manusia tersebut,
dan dalam alat tersebut mengalami sebuah percampuran
budaya atau akulturasi sehingga menghasilkan karya
hijab yang bervariatif dalam hal motif dan gaya.
Akulturasi pada hijab sebagai wujud budaya ini dapat
digolongkan sesuai dengan teori Principle of concretness
milik Koerntjaraningrat.
Purwanto (2000: 109-110) menyatakan bahwa ruang
lingkup perubahan kebudayaan yang dapat dikatakan
sebagai suatu akulturasi, harus ditandai oleh
keterkaitan dari two or more autonomous cultural system.
Perubahan yang bersifat akulturasi, dapat disebabkan
sebagai akibat direct cultural transmissions, dan mungkin juga
dapat disebabkan oleh kasus-kasus nono kultural seperti
ekologis, demografis, modifikasi sebagai akibat
pergeseran kebudayaan, juga karena keterlambatan
kebudayaan, seperti yang kemudian dilanjutkan
dengan internal adjustment setelah traits atau pola-pola
suatu kebudayaan asing yang diterima. Selain
itu, suatu akulturasi dapat pula disebabkan oleh suatu
36
reaksi adaptasi bentuk bentuk kehidupan yang
tradisional. Semuanya itu dapat dilihat sebagai
dinamika dalam rangka adaptasi yang selektif terhadap
sistem nilai, suatu proses integrasi dan differensiasi;
yaitu sebagai akibat perkembangan generasi, dan faktor
bekerjanya peranan dari determinan dan suatu
kepribadian tertentu.
Dalam budaya dikenal istilah cultural lag yaitu
penggambaran keadaan masyarakat yang dengan mudah nya
menyerap budaya yang bersifat materil tetapi belum
mampu menyerap yang bersifat non materil. Berikut ini
merupakan bentuk-bentuk perubahan kebudayaan antara
lain:
• Evolusi: perubahan kebudayaan yang terjadi
secara lambat namun arah perubahannya akan mencapai
bentuk yang lebih sempurna.
• Revolusi: proses perubahan yang sangat cepat
sehingga dirasakan oleh masyarakat.
37
• Inovasi: proses perubahan yang berasal dari diri
masyarakat itu sendiri.
• Difusi :perubahan budaya yang disebabkan oleh
factor-faktor dari luar masyarakat seperti masuknya
unsur-unsur budaya lain. (Sir James George Frazer, 1944
: 211-216)
Perubahan disebabkan karena pewarisan budaya dari
generasi ke generasi berikutnya. Hal ini terjadi proses
pada individu, proses itu antara lain:
• Internalisasi, proses dari berbagai pengetahuan
yang berada diluar diri individu masuk menjadi bagian
dari individu.
• Sosialisasi: proses penyesuaian diri seseorang
ke dalam kehidupan kelompok dimana individu tersebut
berada, sehingga kehadirannya dapat di terima oleh
anggota kelompok lain,
• Enkulturasi: proses ketika individu memilih
nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas dalam
38
masyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai pedoman
untuk bertindak.
Ketiga proses ini dapat bervariasi antara individu
satu dengan yang lain.Variasi budaya ini sering disebut
dengan istilah Subculture (L.Dyson,1992 : 37).
Dalam hal ini hijab sebagai bagian dari pakaian di
Indonesia memiliki karakteristik motif yang erat dengan
kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri. Konkretnya
hijab di Indonesia memiliki motif kental dengan
memadukan batik sebagai karakter budaya Indonesia.
Dengan terjadinya proses kebudayaan dan perkembangan
budaya, melalui teori difusi inilah hijab menjadi
berkembang di kalangan wanita Indonesia dan juga
melalui teori internalisasi hijab di Indonesia
mengalami akulturasi pada motif dan gaya hijab itu
sendiri.
Ralph Linton dikutip dari Koentjaraningrat,
mengemukakan dalam bukunya the Studi of Man (1936) suatu
konsep yaitu, perbedaan antara bagian inti dari suatu
kebudayaa (covert culture), dan bagian perwujudan lahirnya
39
(overt culture), bagian intinya adalah misalnya: system
nilai-nilai budaya, keyakinan-keyakinan yang dianggap
keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat
dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat
dan beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring
luas dalam masyarakat. Sebaliknya, bagian lahir dari
suatu kebudayaan adalah misanya kebudayaan fisik,
seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, tetapi
juga ilmu pengetahua, tata cara, gaya hidup, daan
rekreasi yang berguna dan member kenyamanan. Adapun
bagian dari suatu kebudayaan yang lambat berubahnya dan
sulit diganti dengan unsur-unsur asing, adalah bagian
dari covert culture tadi (Koentjaraningrat, 1990: 97).
Bentuk akulturasi pada wujud budaya berupa hijab
di Indonesia juga dapat terlihat dari motif, corak dan
gaya berhijab yang saat ini popular di Indonesia.
Selain dari muslimah di Indonesia sendiri yang juga
menjadi inspirator-inspirator desain busana muslim,
muslimah Indonesia-pun secara tidak langsung mengadopsi
dan mendapatkan inspirasi dari bentuk-bentuk dan
40
karakteristik hijab dari luar negeri, khususnya dari
Negara Timur Tengah sendiri yang mayoritasnya lebih
banyak menggunakan hijab. Inilah yang dikatakan
merupakan bentuk dari akulturasi.
2.2 Konsep Hijab
Hijab menurut Yantirtobisono dalam (Kamus 3
Bahasa, 1995: 156) memiliki arti “veil” – “penutup” dan
menurut Fadwa El Guindi dalam bukunya Jilbab Antara
Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan mengartikan istilah veil
(sebagaimana varian Eropa lainnya, misalnya voile dalam
bahasa Prancis) biasa dipakai untuk merujuk pada
penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau
mulut), atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia
Selatan. Sebagai kata benda, veil berasal dari kata
Latin vela, bentuk jamak dari velum. Makna leksikal yang
dikandung kata ini adalah “penutup”, dalam arti
“menutupi” atau “menyembunyikan atau menyamarkan”.
Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat
ungkapan: (1) kain panjang yang dipakai untuk menutup
kepala, bahu, dan kadang-kadang muka; (2) rajutan
panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala
41
wanita, yang dipakai untuk memperindah atau melindungi
kepala dan wajah; (3) a. bagian tutup kepala biarawati
yang melingkari wajah terus ke bawah sampai menutup
bahu, b. kehidupan atau sumpah biarawati; dan (4)
secara tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan
atau menyembunyikan sesuatu yang ada dibaliknya; sebuah
gorden (Fadwa El Guindi, 2003: 29-30)
Sebenarnya Fadwa El Guindi juga mengutip
literature lain yang menyatakan bahwa dalam bahasa Arab
kata veil tidak ada padanannya yang tepat. Banyak sekali
istilah Arab digunakan untuk merujuk perangkat pakaian
wanita yang bervariasi tergantung dari bagian tubuh,
wilayah, dialek lokal, dan momen historisnya (Fernea
dan Fernea, 1979; 68-77). Menurutnya The Encylopedia of
Islam menyebutkan ratusan istilah untuk menunjukkan
bagian-bagian pakaian, yang kebanyakan digunakan untuk
padanan kata veiling.
2.2.1 Konsep Hijab dalam Konteks Budaya
42
Fadwa El Guindi dalam bukunya (2003: 101)
mengutip bahwa pada tahun 1377 seorang sarjana Arab
bernama Ibn Khaldun mengembangkan “ilmu pengetahuan
budaya”, memasukkan pakaian dalam formulasinya. Dengan
berbasiskan pada sejarah sosial budaya Islam Magribi,
ia mengembangkan sebuah teori tentang perubahan budaya
dan elemen transformative dalam transisi antara ‘umran
badawi (budaya elementer) dan ‘umran hadhari (budaya yang
beradab). Ia mengemukakan pakaian sebagai bagian dari
kebutuhan dasar yang menjadi semakin rumit dan kaya
ketika masyarakat semakin menetap, lingkungannya
berubah menjadi kota, dan semakin mengutamakan
kesenangan. Ia menulis bahwa “para penduduk padang
pasir membatasi diri mereka sendiri dalam halkebutuhan
mereka akan makanan, pakaian, dan cara hidup di tempat
itu”.
Dalam Fesyen dan Identitas karya menyatakan teori
Fesyen dari Fred Davis (1992) mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara fesyen, budaya, dan
identitas (Dewi Meyrasyawati, 2013: 101)
43
Menurut Dewi Meyrasyawati dalam makalahnya Fesyen
dan Identitas (2013: 101) ia mengutip “Apabila kita
melihat busana sebagai fenomena kultural, maka busana
pun tidak lain dan tidak bukan adalah suatu praktek
pemaknaan yang berlangsung di dalam kehidupan sehari-
hari, yang turut membentuk kebudayaan sebagai suatu
sistem pemaknaan general. Oleh karena itu, busana
merupakan salah satu wadah bagi manusia untuk
mengkomunikasikan, mengalami, mengeksplorasi, dan
memproduksi tatanan sosial” (Barthes, 1983: 3-5).
Dalam bahasan tentang fashion desain ini, dapat
dilihat bagaimana fashion system mengkonstruksikan
nilai-nilai budaya. Cultural studies melihat
fenomena fashion sebagai sesuatu yang terkonstruksikan
oleh fashion system. Para remaja mengidentifikasikan
budaya yang mereka anut melalui bagaimana cara mereka
berpakaian. Merujuk kepada teori fashion system dari
Roland Barthes (1990), fashion adalah sebuah sistem
tanda (signs). Cara kita berpakaian merupakan sebuah
tanda untuk menunjukan siapa diri kita dan nilai budaya
apa yang kita anut. Maka cara berpakaian tidak lagi
44
dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang
lumrah.
2.2.2 Konsep Hijab dalam Konteks Agama Islam
Konteks Islam tidak akan terlepas dari Al-Qur’an,
Al-Hadits dan tafsir para ulama. Begitula ketika hijab
masuk dalam konteks islam. Apa yang dikatakan Al-Qur’an
tentang hijab? Dalam Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan
Perlawanan (2003: 245) menyatakan bahwa Al-Qur’an
memiliki sejumlah acuan tentang hijab, yang hanya yang
berkaitan dengan pakaian wanita, yaitu pada Q.S Al-
Ahzab: 53 yang memiliki arti:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah Nabi,kecuali diundang….Dan ketika kamu bertanya sesuatu padaistrinya, tanyalah dari balik hijab. Itulah yang lebih suci untukhatimu dan hati mereka.”
Pemaknaan kata hijab dalam Al-Qur’an lebih umum
diartikan bukan khusus sebagai konteks busana, akan
tetapi bisa masuk dalam berbagai konteks termasuk dalam
konteks menjaga diri untuk memperkuat keimanan dimana
itu bukan hanya dengan pakaian/hijab. Kata hijab
45
sendiri dalam al-qur’an memiliki banyak arti, (Suciati,
2012: 3):
Kata hijab memiliki pengertian umum sebagai segala
sesuatu (termasuk aktivitas) yang membatasi atau
memisahkan dan yang menutupi sehingga terhalang
pandangan dari yang lain untuk menghindarkan diri dari
larangan-larangan agama. Hijab secara harpiah
mengandung arti antara lain sebagai dinding, tabir atau
selubung (veil) serta busana untuk muslimah (Suciati:
2012: 3-4).
Pada perkembangannya, hijab dipakai kaum perempuan
muslim disesuaikan kondisi alam, budaya serta kebiasaan
masyarakatnya. Istilah jilbabpun berbeda-beda di setiap
negara seperti :
Dapat dikatakan jilbab merupakan busana untuk
muslimah yang tidak ketat atau longgar dengan ukuran
besar yang menutup seluruh tubuh perempuan kecuali muka
dan telapak tangan. Pengertian ini sedikit berbeda
dengan arti jilbab yang selama ini dipahami di
Indonesia yang identik dengan penutup kepala atau
46
kerudung saja. Jilbab sebagai busana muslimah berfungsi
sebagai penutup aurat, sebagai perhiasan dan untuk
memenuhi syarat kesehatan, kenyamanan dan menyelamatkan
diri dari ancaman. Jilbab memiliki makna secara
material sebagai cara untuk menutupi tubuh untuk
menjaga kesopanan dan perlindungan diri, serta sebagai
perhiasan untuk tujuan estetika (Suciati, 2012: 6-7)
Prinsip berbusana dengan cara berhijab
(berkerudung) dalam agama islam menurut para ahli fiqih
antara lain merupakan pemakaian busana dengan ketentuan
; (Suciati, 2012: 9)
a. Busana yang meliputi seluruh badan selain yang
dikecualikan.
b. Busana yang tidak merupakan bentuk perhiasan
kecantikan yaitu yang tidak menarik perhatian laki-laki
atau Tabarruj. Tabarruj pada dasarnya menampakkan
keindahan tubuh dan kecantikan wajah.
c. Busana tidak merupakan busana yang tipis. Tidak
tipis artinya bahan busana cukup tebal untuk menutupi
bentuk tubuh dan menyembunyikan warna kulit.
47
d. Busana yang lebar dan tidak sempit sehingga lekuk
tubuh tidak tampak.
e. Busana yang tidak berbau wangi-wangian. Maksudnya
wangi yang dipakai pada busana tidak berlebihan,
menyengat dan mengundang perhatian laki-laki dan
bertujuan untuk menghindari bau badan yang tidak sedap.
f. Busana yang tidak menyerupai busana laki-laki.
g. Busana yang tidak menyerupai busana wanita kafir dan
tidak menyerupai dandanan kaum jahiliyyah dan tidak
menyerupai pakaian pendeta.
h. Busana yang tidak tergolong mencolok atau libas
syuhrah. Busana yang mencolok adalah busana yang
memiliki keistimewaan dalam daya tarik dan mendapat
perhatian khusus baik dari segi harga, mode atau gaya
hiasannya sehingga menimbulkan riyaa’ karena bertujuan
mencari popularitas.
2.3 Hijab dalam Teori Estetika Desain Busana
48
Akal dan budi sangat berperan dalam usaha
menciptakan kedua jenis kehidupan itu. Untuk memperoleh
kebahagiaan jasmani, manusia dengan akal budinya selalu
berusaha menciptakan benda-benda baru sesuai dengan
yang dikehendakinya. Kebudayaan manusia akan terus-
menerus berkembang secara kompleks, terutama karena
kebudayaan sesamanya yang lebih maju.
Berdasarkan pendapat umum yang banyak diketahui,
estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang
memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah
pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian
yang sempit. Sedangkan estetika dalam pengertian
sebenarnya berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang
berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya
maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera
perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman
Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika
timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan
mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama
dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang
49
utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat.
Dikatakan oleh Hegel, bahwa: ―Filsafat seni membentuk
bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat
hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan
definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Hijab dalam hal ini pakaian memiliki arti
keindahan tersendiri. Sesuai dengan pengertian kostum
yang berarti busana/pakaian menurut Widjiningsih (1982:
2) ialah rancangan busana yang di dalam bentuk dan
fungsinya, memahami dan mengetahui nilai-nilai yang
berkaitan dengan topik seperti nilai filosofi,
historis, etis, estetik busana (kostum)/gerak dan nilai
religi. Untuk membuat busana/pakaian yang baik, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu bentuknya,
sederhana dan indah, disesuaikan dengan proporsinya
baik serta dibuat dari bahan yang sesuai. Jika
menggunakan bahan yang bermotif, sebaiknya dipilih
motif yang sesuai dengan makna yang terkandung dari isi
cerita yang akan dimainkan agar tidak menghilangkan
unsur kebudayaannya.
50
Estetika berbusana dapat diartikan sebagai suatu
bidang pengetahuan yang membicarakan bagaimana
berbusana yang serasi sesuai dengan bentuk tubuh
seseorang serta kepribadiannya. Berbusana yang indah
dan serasi yang menerapkan nilai-nilai estetika berarti
harus dapat memilih model, warna dan corak, tekstur,
yang sesuai dengan pemakai. Tentunya dengan tidak
terlepas dari peran para desainer busana di Indonesia
khususnya yang telah memiliki keahlian khusus terutama
dalam bidang fashion muslim. Ini terbukti dengan semakin
maraknya desainer-desainer muslim yang bermunculan di
tanah air, seperti Dian Pelangi, Jenahara, Ghaida
Tsuraya dll, mereka berani berinovasi dengan desain
hijab mereka dan menyebarluaskan kepada masyarakat
Indonesia dan dunia.
Menurut Sharon Lee Tate (1997) dalam Inside Fashion
Design, dalam seni busana/pakaian, komponen yang
terdapat didalamnya yang dapat memberikan sentuhan
estetis adalah unsure-unsur dasar seni rupa yaitu
garis, bentuk, tekstur, dan warna. Dari beberapa unsur
51
ini menjadi satu aspek yang merupakan factor dalam
busana garis yang kemudian menjadi bentuk diterjemahkan
kedalam motif dan model busana.
2.4Hijab dalam Teori Simbol Desain Busana
Teori Fashion System dari Roland Barthes digunakan
sebagai teori utama dalam penelitian ini. Teori ini
digunakan terkait dengan fesyen sebagai suatu sistem
yang mengandung simbolisasi tertentu dan membentuk
sebuah makna tertentu pula. Barthes membagi pemaknaan
terhadap simbol-simbol dalam fesyen tersebut dalam tiga
tingkat yaitu image, written, dan real clothing (1983).
Pemakaian hijab saat ini bukan merupakan hal yang
tidak diperhatikan lagi oleh dunia mode di dunia
khususnya di Negara-negara muslim termasuk Indonesia.
Selain menjadi bagian dari fashion busana yang sedang
marak-maraknya, hijab juga menjadi gaya hidup bagi para
konsumennya, produsennya dan juga pengamatnya. Dalam
sebuah skripsi karya Lucky Lutvi, (2001: 20-22)
mengutip bahwasanya istilah gaya menurut Meyer Schapiro
didefinisikan sebagai sesuatu yang dilakukan berulang-
52
ulang didalama sebuah individu atau kelompok. Gaya
hidup menurut Toffler berarti dimana setiap individu
mempunyai tanda sebagai identitasnya untuk
membedakannya dengan kelompok lainnya (Walker,
1989:155). Gaya hidup seseorang atau sekelompok
tertentu, salah satunya berkaitan dengan cara seseorang
menjalankan kehidupannya, bagaimana seseorang
memutuskan memilih dan menentukan pilihannya. Pendapat
Toffler ini diperkuat oleh asumsi Chaney bahwa gaya
hidup merupakan gambaran kehidupan modern atau yang
disebut dengan modernitas, yang berarti bahwa mereka
yang hidup didalam masyarakat yang modern akan
menggunakan perangkat gaya hidup untuk
mengidentifikasikan aksi-aksi mereka maupun orang lain.
Gaya hidup adalah pola-pola aksi yang membedakan
sekelompok orang dengan kelompok lainnya (Chaney, 1996:
4). Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan manusia
sehari-hari, dan fungsinya adalah berinteraksi dengan
berbagai cara, dimana aka nada kemungkinan menjadi
tidak dapat dimengerti atau tidak dapat diterima oleh
mereka yang hidup didalam masyarakat yang modern.
53
Menurut Chaney, polapola kehidupan sosial kadang kala
ditandai oleh adanya kebudayaan. Beberapa pengamat
mendefinisikan kebudayaan sebagai totalitas gaya hidup
dari sebuah masyarakat yang mencangkup tradisi, tingkah
laku dan norma-norma yang menyatukan mereka kedalam
sebuah masyarakat.
Akan halnya, hubungannya dengan fashion atau mode
busana, Walker dalam bukunya Design History of Design tentang
style, styling and lifestyle, pada sub bab style and fashion,
disebutkan bahwa fashion dapat merujuk pada berbagai
sikap manusia, namun lebih tepatnya lagi merujuk pada
antusiasme seseorang pada mode tertentu sebuah busana.
Dalam persoalan busana/pakaian dalam hal ini hijab,
style (gaya) dan mode sangat erat hubungannya dengan
penampilan atau sikap seseorang, yang tentunya
permasalahan ini harus melibatkan pula factor-faktor
pemakaian (consumption), penerimaan (reception) dan selera
(taste). (Walker, 1987: 171), dan busana hijab disini
merupakan petanda yang memberikan identitas seseorang.
Menurut Russel, (1992: 55), salah satu unsur yang
paling serba guna untuk sebuah desain adalah warna.
54
Warna dapat menarik perhatian dan membantu menciptakan
sebuah mood (suasana hati). Bergantung pada daya tarik
suatu karya desain, warna dapat digunakan dengan
beberapa alasan berikut :
1. Warna merupakan sebuah alat untuk mendapat
perhatian.
2. Warna dapat menyoroti unsure-unsur khusus
secara realistis dalam warna.
3. Warna memiliki bahasa psikologis yang menyusun
karya tersebut.
Desain menurut Reswick adalah “keegiatan kreatif
yang membawa pembaharuan”. Selain itu di dalam desain
juga terkandung beberapa hal, antara lain: rasa, instuisi,
kreativitas, selera, harga diri, privasi, nilai-nilai, norma kebanggaan,
kerahasisaan rasa senang dan sebagainya, yang kesemuanya
itu tidak dapat diukur secara matematis.
Dalam desain sendiri diperlukan konsep yang
dikenal dengan konsep desain, yang meliputi filsafat
desain dan pertimbangan yang bertujuan mewujudkan
55
ide/rancangan yaitu realitas. Hal tersebut disebut
dengan konseptual desain, yaitu :
1. Fungsi; fungsional artinya tepat guna, desain yang
fungsional artinya desain yang tepat guna.
2. Aman; aman artinya melindungi manusia dari bahaya,
artinya bahwa desain itu harus tepat membuat
tenang bagi penikmat desain itu sendiri, janan
sampai karena desain itu membuat jadi resah dan
tidak tenang.
3. Terampil; terampil artinya cekatan, tangkas,
gesit, mampu, dan cerdik. Dalam dunia desain
terampil sering juga berpengertian faham
penguasaan teknik.
4. Ekonomis; persyaratan desain, terutama yang
nantinya berhubungan dengan produksi adalah
pertimbangan ekonominya. Ekonomi belum tentu
kaitannya dengan harga, tapi juga merupakan
informasi wujud efisien, efektifitas, dan praktis
bentuk akhir sebuah desain.
56
5. Estetis; estetis merupakan medium pribadi yang
meliputi: watak, karakter, sikap, keyiakinan,
suasana hati, kedalaman, kematangandan
kepribadian. Dalam karya desain, segi-segi estetis
sangat perlu diperhatikan untuk bentuk yang tepat
dan serasi.
6. Sikap (dimensi etis); sikap merupakan bagian dari
kedalaman suatu karya. Sebuah desain yang tidak
mempunyai sikap sama halnya manusia plin plan.
Secara umum Fadwa El Guindi mengutip dalam bukunya
Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan mengenai teori
hasil penelitian Barnes dan Eicher yang menyatakan
bahwa fungsi dari pakaian adalah sebagai tanda yang
dimiliki oleh seseorang dalam kelompok tertentu (1992a:
1).
Karakter busana juga menjadi simbol pencerminan
karakter pribadi, menurut (Amelia Prihanto, 2013: 27)
membentuk karakter riasan sehari-hari sangat ditentukan
oleh karakter busana yang digunakan. Karakter merupakan
cerminan pribadi dari penggunanya. Dan setiap individu
57
memiliki pribadi ‘asli’ di dalam diri mereka yang
menjadi karakter internal berpadu dengan penampilan