Transcript
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit trombosis
Hemostasis merupakan peristiwa penghentian pendarahan akibat putusnya
atau robeknya pembuluh darah. Sedangkan trombosis merupakan peristiwa yang
terjadi ketika endotelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau robek.
Peristiwa trombosis ini mencakup proses pembekuan darah (koagulasi) yang
melibatkan pembuluh darah, trombosit, dan protein plasma penyebab pembekuan
darah maupun pelarutan bekuan darah. Hemostasis dan trombosis memiliki tiga
fase yang sama, yaitu (1) pengaktifan trombosit oleh trombin membentuk agregrat
trombosit sementara yang dalam hemostatis disebut sumbat hemostatik dan dalam
trombosis dikenal sebagai thrombus, (2) pembentukan jaring fibrin yang terikat
dengan agregat trombosit sehingga terbentuk sumbat hemostatis atau thrombus
yang lebih stabil, dan (3) pelarutan sebagian atau keseluruhan agregrat hemostatik
atau trombus oleh plasmin (Murray et al., 2003).
Penyakit trombosis berlangsung ketika tubuh mengalami
ketidakseimbangan proses pembekuan darah dan pencairannya kembali. Penyakit
trombosis yang banyak dikenal di antaranya adalah cerebral stroke, myocardial
infarction, venous thromboembolism, dan hemofilia. Stroke merupakan salah satu
penyakit trombosis akibat pendarahan di otak. Pendarahan ini menyebabkan
pecahnya pembuluh darah di otak yang mengakifkan trombin untuk mengubah
fibrinogen menjadi benang-benang fibrin. Benang-benang fibrin ini
mengakibatkan pembekuan darah di pembuluh darah yang rusak. Pada penderita
penyakit stroke, tubuh tidak dapat mencairkan gumpalan darah yang sudah terjadi
sehingga aliran darah dan nutrisi pada otak terhenti. Terapi untuk penderita
trombosis di antaranya dengan operasi yang bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan atau dengan obat-obat trombolitik yang bekerja dengan cara
mendegradasi gumpalan darah (Prasad et al., 2007).
2.1.1 Mekanisme pembekuan darah
Dalam keadaan normal darah senantiasa berada di dalam pembuluh darah
dan berbentuk cair. Terdapat dua faktor yang menyebabkan pembekuan darah
yaitu faktor instrinsik dan ekstrinsik. Proses yang mengawali pembentukan
bekuan fibrin sebagai respon terhadap luka jaringan dilaksanakan oleh lintasan
ekstrinsik. Sedangkan lintasan instrinsik terjadi karena pengaruh dari protein
kolagen dan kalikrein di dalam tubuh (Bhagavan, 2002). Lintasan ekstrinsik dan
instrinsik menyatu dalam lintasan akhir yang sama yaitu pengaktifan protrombin
menjadi trombin (Gambar 2.1). Sedangkan faktor-faktor pembekuan darah bisa
dilihat pada Tabel 2.1.
Gambar 2.1 Proses pembekuan darah
Tabel 2.1 Faktor pembekuan darah, nama umum, dan fungsi (Murray et al., 2003)Kategori dan Faktor Zymogen Protease Serin
Nama Umum Fungsi
Faktor XII Faktor Hageman Terikat dengan permukaan negative pada tempat pembuluh darah yang mengalami sedera, diaktifkan oleh kinogen dan kalikrein
Faktor XI Plasma Thromboplastin Antecedent (PTA)
Diaktifkan oleh faktor XIIa
Faktor X Faktor Stuart-power Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif oleh kompleks tenase (Ca2+, faktor VIIa dan IXa) dan oleh faktor VIIa dengan adanya faktor jaringan dan Ca2+
Faktor IX Faktor antihemofilia B, Christmas, komponen tromboplastin plasma (PTC)
Diaktifkan oleh faktor XIa dengan adanya Ca2+
Faktor VII Prokonventin, unsur akselerator konversi protrombin serum (SPCA), kotromboplastin
Diaktifkan oleh trombin dengan adanya Ca2+
Faktor II Protrombin Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif oleh kompleks protrombinase
KofaktorFaktor VIII Antihemofilia A, globulin
antihemofilia (AHG)Diaktifkan oleh trombin, factor VIIIa merupakan kofaktor dalam aktivasi faktor X oleh faktor Ixa
Faktor VI Proacelerin, factor labil, unsur globulin akselerator atau (Ac-)
Diaktifkan oleh trombin, factor VIIIa merupakan kofaktor dalam aktivasi protrombin oleh faktor Xa
Faktor III Faktor jaringan, Ca2+ faktor-faktor ini biasanya tidak disebut sebagai faktor pembekuan
Glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan sel endotel yang cedera atau distimulasi untuk bekerja sebagai kofaktor bagi faktor VIIa
Faktor I Fibrinogen Dipecahkan oleh thrombin untuk membentuk bekuan fibrin
Transglutaminase yang bergantung-tiolFaktor XIII Faktor penstabil fibrin
(FSF), FibrinoligaseDiaktifkan oleh thrombin dengan adanya Ca2+, menstabilkan bekuan fibrin melalui ikatan silang kovalen
Protein pengatur dan protein lainProtein C Diaktifkan menjadi protein Ca dengan
pengikatan thrombin menjadi trombomodulin, kemudian memecahkan factor VIIIa dan Va
Protein S Bekerja sebagai kofaktor protein C, baik protein yang mengandung residu Gla (ɣ-karboksiglutamat)
Trombomodulin Protein pada permukan sel endotel mengikat trombin yang kemudian mengaktifkan protein C
Proses pembekuan darah merupakan mekanisme bertingkat yang
melibatkan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya. Pada tahap terakhir
trombin akan mengubah fibrinogen menjadi serat fibrin yang dapat menjaring
platelet trombosit, sel darah merah, dan plasma sehingga terbentuk bekuan darah.
Fibrinogen (340 kDa) merupakan glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut,
terdiri atas tiga pasang rantai polipeptida nonidentik, pada kedua rantainya
terdapat fibrinopeptida yang mengandung muatan negatif berlebihan yang turut
memberikan sifat dapat larut. Benang fibrin merupakan produk degradasi
fibrinogen oleh trombin, yang masih memiliki 98% residu yang terdapat dalam
fibrinogen. Trombin menghidrolisis empat ikatan Arg-Gli di antara molekul-
molekul fibrinopeptida sehingga memungkinkan monomer fibrin mengadakan
agregrasi spontan dengan susunan bergiliran sehingga terbentuk bekuan fibrin
yang tidak larut. Polimerisasi fibrin terjadi akibat adanya ikatan hidrogen yang
distabilkan oleh ikatan kovalen (Murray et al., 2003).
2.2 Enzim fibrinolitik
Enzim fibrinolitik merupakan kelompok enzim protease yang mampu
mendegradasi fibrin atau fibrinogen. Dalam tubuh, enzim fibrinolitik atau plasmin
diproduksi oleh sel endotel dalam saluran pankreas. Seiring dengan bertambahnya
usia dan juga pola konsumsi pangan yang tidak seimbang, maka produksi plasmin
alami oleh tubuh akan semakin berkurang sehingga kerja sistem fibrinolitik dalam
tubuh akan terganggu. Bila hal ini berlangsung terus secara berkala maka akan
memicu timbulnya penyakit trombosis yang akhirnya mengarah pada berbagai
penyakit degeneratif, seperti stroke, aterosklorosis, hipertensi, dan diabetes
(Suhartono, 1992).
Enzim fibrinolitik dapat diaplikasikan pada penderita trombosis karena
enzim ini dapat menghancurkan fibrin dalam bekuan darah menjadi produk
degradasinya yang lebih larut dalam darah. Enzim fibrinolitik yang saat ini
tersedia untuk pengobatan sebagian besar adalah streptokinase, urokinase, dan t-
PA. Streptokinase adalah protein ekstraseluler yang disintesis oleh Streptococcus
β-hemoliticus yang bergabung dengan plasminogen proaktivator sehingga
membentuk kompleks dengan afinitas tinggi yang mampu mengaktifkan molekul
plasminogen lain menjadi plasmin. Urokinase adalah enzim yang disintesis di
ginjal manusia, sedangkan t-PA adalah enzim yang disintesis oleh sel endotelium
pembuluh darah. Aksi terapetik urokinase dan t-PA dengan mengaktifkan
plasminogen secara langsung (Banarjee, 2003).
Mekanisme kerja agen fibrinolitik mirip plasmin yaitu menghidrolisis
fibrin menjadi produk terlarut dalam sistem fibrinolisis yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2. Selain itu, titik kerja dari obat-obatan trombolitik secara umum
dengan cara mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin, mendegradasi
fibrinogen, dan mendegradasi fibrin. Streptokinase, t-PA, UK, dan mengaktifkan
sistem fibrinolisis. Sedangkan aminocaproic acid secara klinis adalah inhibitor
fibrinolisis.
Gambar 2.2 Mekanisme kerja agen fibrinolitik dalam sistem fibrinolisis
(Katzung, 2006)
2.3. Bakteri sebagai Sumber Penghasil Agen Fibrinolitik
Mikroorganisme khususnya bakteri merupakan salah satu sumber agen
trombolitik. Agen trombolitik yang telah diketahui efektif untuk terapi trombolitik
adalah streptokinase dari Streptococcus hemolyticus dan staphylokinase dari
Staphylococcus aureus (Collen dan Lijnen, 1994). Dalam perkembangannya, agen
fibrinolitik memiliki efek samping lebih rendah dibandingkan agen trombolitik
dan banyak digunakan di bidang kesehatan. Berbagai mikroba yang mampu
menghasilkan enzim fibrinolitik, yaitu Bacillus subtilis BK-17 (Jeong et al.,
2001), B. subtilis AI (Jeong et al., 2004), B. subtilis 168 (Kho et al., 2005), B. sp
B1 (Sanusi dan Jamaluddin, 2012), B. amyloliquefaciens CH51 (Kim et al., 2009),
B. subtilis Natto B-12 (Wang et al., 2009), Streptomyces megasporus SD5 (Chite
dan Dey, 2000), S. lividens (Pimienta et al., 2007), dan S. sp. CS684 (Simkhada et
al., 2010).
2.4. Identifikasi Bakteri Berdasarkan Sekuen Pengkode 16S rRNA
Identifikasi bakteri dapat dilakukan menggunakan analisis fenotipik
dengan mempelajari sifat fisiologis atau biokimianya maupun analisis genotipik
secara molekuler. Identifikasi fenotipik didasarkan pada hasil pengamatan
morfologi koloni bakteri, pengamatan mikroskopis (pewarnaan
bakteri/mikroorganisme), uji fisilogis, dan biokimia. Identifikasi genotipik
dilakukan dengan menggunakan metode molekular yaitu dengan melihat
informasi genetik bakteri tersebut. Seringkali hasil uji biokimia atau fisiologi
tersebut berbeda karena perbedaan ekspresi gen. Untuk karakterisasi galur-galur
dalam satu spesies perlu dilihat sifat yang paling mendasar dan relatif stabil yaitu
analitik genotipik (Singleton, 1995).
Metode molekuler terutama klasifikasi dan identifikasi berbasis
filogenetik, menggunakan parameter yang tidak bergantung pada kondisi
pertumbuhan dan media yang digunakan. Pendekatan yang umum dipakai saat ini
adalah analisis sekuen gen 16S-rRNA (Case et al., 2007). Ribosomal RNA (r-
RNA) merupakan salah satu makromolekul paling menarik karena molekul ini
merupakan kerangka dari ribosom yang sangat berperan dalam mekanisme
translasi. Semua rRNA identik secara fungsional yakni terlibat dalam produksi
protein. Meski demikian, sekuen di bagian-bagian tertentu terus berevolusi dan
mengalami perubahan pada level struktur primer sambil tetap mempertahankan
struktur sekunder dan tersier yang homologus (Schluenzen et al., 2000).
Ribosom merupakan partikel ribonukleoprotein yang terdiri dua subunit
yaitu subunit besar dengan koefisien sedimentasi 50S dan subunit kecil dengan
koefisien sedimentsi 30S. Subunit 50S mengandung dua molekul rRNA (5S rRNA
dan 23S rRNA) dan 34 protein. Subunit 30S mengandung satu molekul rRNA
(16S rRNA) dan 21 macam protein (Barciszewski et al., 2001). Dari ketiga
ribosomal RNA tersebut, 16S rRNA merupakan rRNA yang paling sering
digunakan untuk mengidentifikasi bakteri. Hal ini karena molekul 16S rRNA
memiliki panjang basa yang ideal yaitu 1.540 nukleotida (Stackebrandt & Goebel,
1995). Selain itu molekul 16S rNA bersifat ubikuitus (terdapat pada semua
mahluk hidup) sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk
seluruh kelompok bakteri, sekuen basa-basanya bersifat konservatif, jumlahnya
melimpah dalam sel, dan tersedianya informasi (bank data/database di GenBank)
(Madigan et al., 1997). Sedangkan molekul 5S rRNA memiliki urutan basa yang
terlalu pendek yaitu sekitar 120 nukleotida sehingga tidak ideal dari segi analisis
statistik, sedangkan molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier
yang cukup panjang yaitu sekitar 3.000 nukleotida sehingga sulit untuk dianalisis
(Pangastuti, 2006).
Proses amplifikasi gen 16S-rRNA dapat dilakukan melalui teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction). Kemudian gen 16S rRNA hasil amplifikasi
disekuensing untuk mengetahui urutan basa nukleotidanya dengan menggunakan
mesin sequencer. Pita yang terbentuk dideteksi dengan detektor dan dianalisis
dengan komputer (Madigan et al., 2000).
2.5. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR (polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan
(amplifikasi) potongan DNA in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua
buah primer oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah
yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan
DNA template. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer
forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse (Muladno,
2002).
Komponen-komponen yang dibutuhkan dalam PCR antara lain DNA
template, primer, buffer, MgCl2, Taq polymerase, ddNTPs, ddH2O. DNA template
merupakan supernatan hasil lisis sel yang berisi DNA yang ingin diamplifikasi.
Primer disusun dari sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32 bp dan mampu
mengenali urutan yang akan diamplifikasi. Standar sepasang primer untuk
amplifikasi mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada
tiap primernya. Kandungan basa guanin dan sitosin berada di antara 45-60%
(Fatchiyah, 2006).
Penggunaan dNTP sebagai building blocks berfungsi untuk menyediakan
sumber basa nukleotida yang akan digunakan pada polimerisasi. Ada 4 macam
dNTP dimana sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan
dTTP. Buffer PCR terdiri atas Tris-HCl, KCl dan Triton X-100 berfungsi untuk
mengkondisikan reaksi PCR agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA
polimerase. Ion logam yang digunakan berfungsi sebagai kofaktor enzim
polimerase sehingga dapat bekerja optimal.
Pada prinsipnya, reaksi PCR membutuhkan tiga tahap, yaitu pemisahan
rantai DNA target (denaturasi), penempelan primer pada DNA target (annealing),
dan pemanjangan primer (extention) atau reaksi polimerisasi yang dikaalisis oleh
DNA polymerase (Gambar 2.3). Tiga tahap pada siklus PCR adalah sebagai
berikut:
1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, dua untai ganda DNA akan membuka
menjadi satu untai ganda DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi
yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen di antara basa nitrogen
yang komplemen. Tahap ini berlangsung sekitar 1 hingga 2 menit. Seluruh
reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang
sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.
2. Penempelan primer (annealing). Pada tahap ini, primer akan menuju daerah
yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Ikatan hidrogen akan
terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada template selama 1-2
menit. Proses ini iasanya dilakukan pada suhu 50 oC – 60 oC. Selanjutnya,
DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan
menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi
polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72 oC.
3. Reaksi polimerisasi (extension). Reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai
terjadi pada suhu 72 oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami
perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen
dengan template oleh DNA polimerase. Durasi tahap ini biasanya 1 menit
(Garibyan & Nidhi, 2013).
Gambar 2.3. Tahapan proses PCR (Garibyan & Nidhi, 2013)
Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus
amplifikasi. Pada siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan disalin
menjadi 2 DNA untai ganda. Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan untai ganda
masing-masing akan bertindak sebagai cetakan sehingga pada siklus kedua
dihasilkan jumlah 4 DNA untai ganda. Pada siklus berikutnya akan dihasilkan
jumlah DNA secara eksponensial, dimana pada siklus ketiga DNA akan disalin
menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi 1.024 kali, siklus 30 menjadi 1.073.741.824
dan seterusnya. Pada akhir siklus, DNA cetakan akan digandakan secara
eksponensial sehingga dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda hanya
dalam waktu yang relatif singkat sekitar 3-4 jam (Gaffar, 2007). Siklus
amplifikasi DNA target dalam PCR dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Siklus amplifikasi DNA target dalam PCR (Vierstraete, 1999)
Hasil amplifikasi disekuensing untuk mengetahui urutan basa
nukleotidanya dengan menggunakan mesin sequencer. Pita yang terbentuk
dideteksi dengan detektor dan dianalisis dengan komputer (Madigan et al., 2000).
2.6. Sekuensing
Sekuensing DNA merupakan metode yang digunakan untuk menentukan
urutan basa nukleotida yang tepat pada suatu molekul DNA yang memungkinkan
kita mengetahui kode genetik dari molekul DNA. Urutan tersebut dikenal
sebagai sekuen DNA, yang merupakan informasi paling mendasar
suatu gen atau genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk
pembentukan tubuh makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk
menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara
membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui.
Proses ini merupakan tahapan akhir penentukan urutan nukleotida fragmen hasil
amplifikasi. Terdapat dua macam metode dasar yang digunakan untuk sekuensing
DNA yaitu metode Maxam-Gilbert yang dikenal dengan metode degradasi kimia
Gen target
DNA template
dan metode Sanger yang dikenal dengan metode terminasi rantai (Old &
Primrose, 2003).
Metode degradasi kimia ditemukan oleh A. Maxam dan W. Gilbert
didasarkan pada pembelahan nukleotida oleh bahan kimia yang spesifik. Metode
ini memerlukan DNA untai ganda sehingga tidak memerlukan primer untuk
mensintesis untai baru kembali. Pemotongan DNA terjadi secara kimia sehingga
reagen kimia tertentu harus ditambahkan ke dalam sistem reaksi. Reagen ini
bersifat sangat toksik karena selain memotong DNA dalam tabung juga dapat
memotong DNA dalam tubuh kita. Sekuensing dilakukan melalui pelabelan DNA
template dengan gugus fosfat pada ujung 5’. Selanjutnya ditambahkan DMSO dan
dipanaskan pada suhu 90°C. Langkah selanjutnya adalah pemisahan untai berat
dan ringan, dan pemotongan untai serta autoradiografi untuk membaca urutan
DNA hasil sekuens (Gumilar, 2008).
Metode pengakhiran dikemukakan oleh F. Sanger dan A. R. Coulson
sehingga disebut juga sebagai dideoksi Sanger-Coulson atau dideoksi Sanger.
Metode Sanger lebih sering digunakan daripada metode Maxam-Gilbert. Hal ini
disebabkan metode Sanger telah terbukti secara teknis lebih mudah untuk
diterapkan dan dapat digunakan untuk DNA untai panjang. Selain itu, metode
Sanger tidak menggunakan reagen toksik sehingga lebih aman. Prinsip dasar dari
metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai nukleotida sebagai
akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP). Metode ini memerlukan DNA untai
tunggal. Reaksi sekuensing dengan metode Sanger memerlukan primer, dNTP,
ddNTP, enzim polimerase (Gumilar, 2008).
ddNTP tidak mempunyai gugus 3’-OH (hidroksil). ddNTP dapat
digabungkan oleh enzim Taq polymerase pada untai DNA yang sedang disintesis
melalui gugus 5’ trifosfat. Namun, tidak adanya gugus 3’-OH mencegah
terbentuknya ikatan fosfodiester dengan dNTP berikutnya. Sintesis DNA tidak
mungkin dilanjutkan dan berhenti pada posisi ddNTP. Dengan demikian, jika satu
jenis ddNTP (misalnya ddATP) dicampur dengan dNTP dalam satu larutan reaksi,
terjadi kompetisi antara dNTP yang memperpanjang molekul DNA dan ddNTP
yang memberhentikan proses pemanjangan tersebut. Hasil akhir dari reaksi
tersebut adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi (bervariasi
satu basa saja) dan basa terakhirnya sama bergantung dari ddNTP yang digunakan
(Muladno, 2002).
Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut
dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi
perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing. Pembacaan hasil
elektroforesis dapat dilakukan bila fragmen-fragmen DNA yang terbentuk
terlabeli. Pada awal perkembangan teknik DNA sekuensing, pelabelan fragmen
DNA dilakukan dengan menggunakan radioisotop. Pelabelan dapat dilakukan
terhadap primer maupun pada ddNTP. Pelabelan yang dilakukan pada ddNTP (dye
terminator labeling) memberikan kemudahan karena reaksi sekuensing dilakukan
hanya dalam satu tabung. Lain halnya Jika pewarnaan fluoresen dilakukan pada
primer, reaksi pembentukan fragmen DNA harus dilakukan dalam empat tabung
terpisah. Fragmen-Fragmen yang berfluoresen terbentuk karena inkorporasi
ddNTP yang terlabel oleh pewarna. Masing-masing ddNTP yang berbeda (dATP,
dCTP, dGTP, dTTP) akan membawa sebuah warna yang berbeda. Dengan
demikian semua fragmen yang diterminasi oleh metode Sanger (yang berujung
pada ddNTP) mengandung sebuah dye pada ujung 3’nya (Gaffar, 2007).
Analisis hasil sekuensing dilakukan melalui program BLAST dengan
membandingkan urutan basa nukleotida hasil sekuensing dengan sekuen DNA
berdasarkan gen penyandi 16S rRNA yang ada di Gen Bank. Hal ini bertujuan
untuk menentukan tingkat kekerabatan bakteri yang diteliti dengan bakteri yang
telah diidentifikasi sebelumnya (Leblond-Bourget et al., 1996). Spesies bakteri
dikatakan sama apabila derajat kesamaan sekitar 99-100%, 97-98%
mengindikasikan spesies yang berbeda tetapi dalam satu genus, di bawah 97%
mengindikasikan spesies baru (Huard, 2007). Prinsip sekuensing dengan metode
Sanger dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Prinsip sekuensing (Sanger) dengan pewarnaan flouresen pada ddNTP (appliedbiosystems.com)
2.7. Penentuan Filogeni menggunakan Basis 16S rRNA
Analisis sistematika dilakukan melalui konstruksi sejarah evolusi dan
hubungan evolusi antara keturunan dengan nenek moyangnya berdasarkan pada
kemiripan karakter sebagai dasar dari perbandingan. Jenis analisis ini dikenal
dengan analisis filogenetika atau biasa disebut cladistics yang berarti clade atau
kelompok keturunan dari satu nenek moyang yang sama. Analisis filogenetik
biasanya diartikan sebagai sistem percabangan, seperti diagram pohon yang
dikenal sebagai pohon filogenetika (Campbell, 2008).
Taksonomi filogenetik merupakan pengelompokan spesies atau jenis baru
dengan cara analisis molekuler dan morfologi. Klasifikasi sistem filogenetik
disusun berdasarkan persamaan fenotip yang mengacu pada sifat-sifat bentuk luar,
faal, tingkah laku yang dapat diamati, dan pewarisan keturunan yang mengacu
pada hubungan evolusioner jenis nenek moyang hingga cabang-cabang
keturunannya (Swofford et al., 1996).
DENATURASi PENEMPELAN POLIMERISASI HASIL
Konsep tentang urutan nukleotida atau asam amino yang digunakan untuk
menghubungkan organisme-organisme dalam bentuk pohon filogenetik
dijelaskan oleh Carl Woese dengan membandingkan urutan nukleotida RNA
ribosom. Berdasarkan hasil analisisnya terhadap urutan nukleotida gen 16S rRNA
dari berbagai organisme, pada tahun 1977 Carl Woese menyatakan bahwa archaea
berbeda dengan bakteria dan dengan eukariota. Sehingga organisme-organisme
dapat dikelompokkan dalam tiga domain yaitu Bacteria, Archaea dan Eukaryota
(Olsen and Woese, 1993). Pohon filogenetik yang menunjukkan tiga domain
kehidupan ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Pohon filogenetik yang menunjukkan tiga domain kehidupan (Olsen and Woese, 1993)
Pada saat ini analisis urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan untuk
mengidentifikasi spesies bakteri dan mempelajari taksonomi. Carl Woese telah
memberikan terobosan dengan membuat pohon filogenetik berdasarkan urutan
16S rRNA. Ribosomal RNA merupakan molekul purba dan tepat dijadikan
sebagai kronometer evolusi karena memiliki peran penting dalam proses sintesis
protein. Molekul ini mempunyai fungsi tetap, terdistribusi secara universal,
bersifat sangat lestari dan perubahan yang relatif lambat. Selain itu, belum ada
bukti yang menunjukkan adanya pertukaran gen secara lateral pada gen rRNA
antar spesies yang berbeda. Dengan demikian gen-gen dari ribosomal RNA dapat
memberikan informasi yang benar untuk menjelaskan hubungan evolusi
(Gonzales & Saiz, 2005).
Pohon filogenetik dapat disusun berdasarkan data urutan DNA, RNA dan
protein, namun urutan 16S rRNA cenderung lebih disukai. Perbandingan urutan
gen 16S rRNA lebih berkembang. Sebab keberadaannya sangat luas pada genom
dan memiliki peran penting dalam proses penurunan informasi selular. Lebih dari
itu, gen-gen rRNA sangat lestari, perubahan relatif lambat, dan diduga resisten
terhadap pertukaran gen secara lateral (Stackebrandt & Goebel, 1995).
Hasil analisis perbandingan urutan nukleotida dari gen-gen pengkode 16S
rRNA atau beberapa protein digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik
dan dianggap sebagai dasar pengklasifikasian seluruh makhluk hidup secara
hirarki (Frankham, 2002).
top related