Top Banner
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit trombosis Hemostasis merupakan peristiwa penghentian pendarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah. Sedangkan trombosis merupakan peristiwa yang terjadi ketika endotelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau robek. Peristiwa trombosis ini mencakup proses pembekuan darah (koagulasi) yang melibatkan pembuluh darah, trombosit, dan protein plasma penyebab pembekuan darah maupun pelarutan bekuan darah. Hemostasis dan trombosis memiliki tiga fase yang sama, yaitu (1) pengaktifan trombosit oleh trombin membentuk agregrat trombosit sementara yang dalam hemostatis disebut sumbat hemostatik dan dalam trombosis dikenal sebagai thrombus, (2) pembentukan jaring fibrin yang terikat dengan agregat trombosit sehingga terbentuk sumbat hemostatis atau thrombus yang lebih stabil, dan (3) pelarutan sebagian atau keseluruhan agregrat hemostatik atau trombus oleh plasmin (Murray et al., 2003). Penyakit trombosis berlangsung ketika tubuh mengalami ketidakseimbangan proses pembekuan darah dan pencairannya kembali. Penyakit trombosis yang banyak dikenal di antaranya adalah cerebral stroke, myocardial infarction, venous thromboembolism, dan hemofilia. Stroke
23

BAB_2 new.doc

Dec 19, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB_2 new.doc

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit trombosis

Hemostasis merupakan peristiwa penghentian pendarahan akibat putusnya

atau robeknya pembuluh darah. Sedangkan trombosis merupakan peristiwa yang

terjadi ketika endotelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau robek.

Peristiwa trombosis ini mencakup proses pembekuan darah (koagulasi) yang

melibatkan pembuluh darah, trombosit, dan protein plasma penyebab pembekuan

darah maupun pelarutan bekuan darah. Hemostasis dan trombosis memiliki tiga

fase yang sama, yaitu (1) pengaktifan trombosit oleh trombin membentuk agregrat

trombosit sementara yang dalam hemostatis disebut sumbat hemostatik dan dalam

trombosis dikenal sebagai thrombus, (2) pembentukan jaring fibrin yang terikat

dengan agregat trombosit sehingga terbentuk sumbat hemostatis atau thrombus

yang lebih stabil, dan (3) pelarutan sebagian atau keseluruhan agregrat hemostatik

atau trombus oleh plasmin (Murray et al., 2003).

Penyakit trombosis berlangsung ketika tubuh mengalami

ketidakseimbangan proses pembekuan darah dan pencairannya kembali. Penyakit

trombosis yang banyak dikenal di antaranya adalah cerebral stroke, myocardial

infarction, venous thromboembolism, dan hemofilia. Stroke merupakan salah satu

penyakit trombosis akibat pendarahan di otak. Pendarahan ini menyebabkan

pecahnya pembuluh darah di otak yang mengakifkan trombin untuk mengubah

fibrinogen menjadi benang-benang fibrin. Benang-benang fibrin ini

mengakibatkan pembekuan darah di pembuluh darah yang rusak. Pada penderita

penyakit stroke, tubuh tidak dapat mencairkan gumpalan darah yang sudah terjadi

sehingga aliran darah dan nutrisi pada otak terhenti. Terapi untuk penderita

trombosis di antaranya dengan operasi yang bertujuan untuk menghilangkan

sumbatan atau dengan obat-obat trombolitik yang bekerja dengan cara

mendegradasi gumpalan darah (Prasad et al., 2007).

Page 2: BAB_2 new.doc

2.1.1 Mekanisme pembekuan darah

Dalam keadaan normal darah senantiasa berada di dalam pembuluh darah

dan berbentuk cair. Terdapat dua faktor yang menyebabkan pembekuan darah

yaitu faktor instrinsik dan ekstrinsik. Proses yang mengawali pembentukan

bekuan fibrin sebagai respon terhadap luka jaringan dilaksanakan oleh lintasan

ekstrinsik. Sedangkan lintasan instrinsik terjadi karena pengaruh dari protein

kolagen dan kalikrein di dalam tubuh (Bhagavan, 2002). Lintasan ekstrinsik dan

instrinsik menyatu dalam lintasan akhir yang sama yaitu pengaktifan protrombin

menjadi trombin (Gambar 2.1). Sedangkan faktor-faktor pembekuan darah bisa

dilihat pada Tabel 2.1.

Gambar 2.1 Proses pembekuan darah

Page 3: BAB_2 new.doc

Tabel 2.1 Faktor pembekuan darah, nama umum, dan fungsi (Murray et al., 2003)Kategori dan Faktor Zymogen Protease Serin

Nama Umum Fungsi

Faktor XII Faktor Hageman Terikat dengan permukaan negative pada tempat pembuluh darah yang mengalami sedera, diaktifkan oleh kinogen dan kalikrein

Faktor XI Plasma Thromboplastin Antecedent (PTA)

Diaktifkan oleh faktor XIIa

Faktor X Faktor Stuart-power Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif oleh kompleks tenase (Ca2+, faktor VIIa dan IXa) dan oleh faktor VIIa dengan adanya faktor jaringan dan Ca2+

Faktor IX Faktor antihemofilia B, Christmas, komponen tromboplastin plasma (PTC)

Diaktifkan oleh faktor XIa dengan adanya Ca2+

Faktor VII Prokonventin, unsur akselerator konversi protrombin serum (SPCA), kotromboplastin

Diaktifkan oleh trombin dengan adanya Ca2+

Faktor II Protrombin Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif oleh kompleks protrombinase

KofaktorFaktor VIII Antihemofilia A, globulin

antihemofilia (AHG)Diaktifkan oleh trombin, factor VIIIa merupakan kofaktor dalam aktivasi faktor X oleh faktor Ixa

Faktor VI Proacelerin, factor labil, unsur globulin akselerator atau (Ac-)

Diaktifkan oleh trombin, factor VIIIa merupakan kofaktor dalam aktivasi protrombin oleh faktor Xa

Faktor III Faktor jaringan, Ca2+ faktor-faktor ini biasanya tidak disebut sebagai faktor pembekuan

Glikoprotein yang diekspresikan pada permukaan sel endotel yang cedera atau distimulasi untuk bekerja sebagai kofaktor bagi faktor VIIa

Faktor I Fibrinogen Dipecahkan oleh thrombin untuk membentuk bekuan fibrin

Transglutaminase yang bergantung-tiolFaktor XIII Faktor penstabil fibrin

(FSF), FibrinoligaseDiaktifkan oleh thrombin dengan adanya Ca2+, menstabilkan bekuan fibrin melalui ikatan silang kovalen

Protein pengatur dan protein lainProtein C Diaktifkan menjadi protein Ca dengan

pengikatan thrombin menjadi trombomodulin, kemudian memecahkan factor VIIIa dan Va

Protein S Bekerja sebagai kofaktor protein C, baik protein yang mengandung residu Gla (ɣ-karboksiglutamat)

Trombomodulin Protein pada permukan sel endotel mengikat trombin yang kemudian mengaktifkan protein C

Page 4: BAB_2 new.doc

Proses pembekuan darah merupakan mekanisme bertingkat yang

melibatkan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya. Pada tahap terakhir

trombin akan mengubah fibrinogen menjadi serat fibrin yang dapat menjaring

platelet trombosit, sel darah merah, dan plasma sehingga terbentuk bekuan darah.

Fibrinogen (340 kDa) merupakan glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut,

terdiri atas tiga pasang rantai polipeptida nonidentik, pada kedua rantainya

terdapat fibrinopeptida yang mengandung muatan negatif berlebihan yang turut

memberikan sifat dapat larut. Benang fibrin merupakan produk degradasi

fibrinogen oleh trombin, yang masih memiliki 98% residu yang terdapat dalam

fibrinogen. Trombin menghidrolisis empat ikatan Arg-Gli di antara molekul-

molekul fibrinopeptida sehingga memungkinkan monomer fibrin mengadakan

agregrasi spontan dengan susunan bergiliran sehingga terbentuk bekuan fibrin

yang tidak larut. Polimerisasi fibrin terjadi akibat adanya ikatan hidrogen yang

distabilkan oleh ikatan kovalen (Murray et al., 2003).

2.2 Enzim fibrinolitik

Enzim fibrinolitik merupakan kelompok enzim protease yang mampu

mendegradasi fibrin atau fibrinogen. Dalam tubuh, enzim fibrinolitik atau plasmin

diproduksi oleh sel endotel dalam saluran pankreas. Seiring dengan bertambahnya

usia dan juga pola konsumsi pangan yang tidak seimbang, maka produksi plasmin

alami oleh tubuh akan semakin berkurang sehingga kerja sistem fibrinolitik dalam

tubuh akan terganggu. Bila hal ini berlangsung terus secara berkala maka akan

memicu timbulnya penyakit trombosis yang akhirnya mengarah pada berbagai

penyakit degeneratif, seperti stroke, aterosklorosis, hipertensi, dan diabetes

(Suhartono, 1992).

Enzim fibrinolitik dapat diaplikasikan pada penderita trombosis karena

enzim ini dapat menghancurkan fibrin dalam bekuan darah menjadi produk

degradasinya yang lebih larut dalam darah. Enzim fibrinolitik yang saat ini

tersedia untuk pengobatan sebagian besar adalah streptokinase, urokinase, dan t-

PA. Streptokinase adalah protein ekstraseluler yang disintesis oleh Streptococcus

β-hemoliticus yang bergabung dengan plasminogen proaktivator sehingga

Page 5: BAB_2 new.doc

membentuk kompleks dengan afinitas tinggi yang mampu mengaktifkan molekul

plasminogen lain menjadi plasmin. Urokinase adalah enzim yang disintesis di

ginjal manusia, sedangkan t-PA adalah enzim yang disintesis oleh sel endotelium

pembuluh darah. Aksi terapetik urokinase dan t-PA dengan mengaktifkan

plasminogen secara langsung (Banarjee, 2003).

Mekanisme kerja agen fibrinolitik mirip plasmin yaitu menghidrolisis

fibrin menjadi produk terlarut dalam sistem fibrinolisis yang ditunjukkan pada

Gambar 2.2. Selain itu, titik kerja dari obat-obatan trombolitik secara umum

dengan cara mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin, mendegradasi

fibrinogen, dan mendegradasi fibrin. Streptokinase, t-PA, UK, dan mengaktifkan

sistem fibrinolisis. Sedangkan aminocaproic acid secara klinis adalah inhibitor

fibrinolisis.

Gambar 2.2 Mekanisme kerja agen fibrinolitik dalam sistem fibrinolisis

(Katzung, 2006)

2.3. Bakteri sebagai Sumber Penghasil Agen Fibrinolitik

Mikroorganisme khususnya bakteri merupakan salah satu sumber agen

trombolitik. Agen trombolitik yang telah diketahui efektif untuk terapi trombolitik

adalah streptokinase dari Streptococcus hemolyticus dan staphylokinase dari

Staphylococcus aureus (Collen dan Lijnen, 1994). Dalam perkembangannya, agen

fibrinolitik memiliki efek samping lebih rendah dibandingkan agen trombolitik

Page 6: BAB_2 new.doc

dan banyak digunakan di bidang kesehatan. Berbagai mikroba yang mampu

menghasilkan enzim fibrinolitik, yaitu Bacillus subtilis BK-17 (Jeong et al.,

2001), B. subtilis AI (Jeong et al., 2004), B. subtilis 168 (Kho et al., 2005), B. sp

B1 (Sanusi dan Jamaluddin, 2012), B. amyloliquefaciens CH51 (Kim et al., 2009),

B. subtilis Natto B-12 (Wang et al., 2009), Streptomyces megasporus SD5 (Chite

dan Dey, 2000), S. lividens (Pimienta et al., 2007), dan S. sp. CS684 (Simkhada et

al., 2010).

2.4. Identifikasi Bakteri Berdasarkan Sekuen Pengkode 16S rRNA

Identifikasi bakteri dapat dilakukan menggunakan analisis fenotipik

dengan mempelajari sifat fisiologis atau biokimianya maupun analisis genotipik

secara molekuler. Identifikasi fenotipik didasarkan pada hasil pengamatan

morfologi koloni bakteri, pengamatan mikroskopis (pewarnaan

bakteri/mikroorganisme), uji fisilogis, dan biokimia. Identifikasi genotipik

dilakukan dengan menggunakan metode molekular yaitu dengan melihat

informasi genetik bakteri tersebut. Seringkali hasil uji biokimia atau fisiologi

tersebut berbeda karena perbedaan ekspresi gen. Untuk karakterisasi galur-galur

dalam satu spesies perlu dilihat sifat yang paling mendasar dan relatif stabil yaitu

analitik genotipik (Singleton, 1995).

Metode molekuler terutama klasifikasi dan identifikasi berbasis

filogenetik, menggunakan parameter yang tidak bergantung pada kondisi

pertumbuhan dan media yang digunakan. Pendekatan yang umum dipakai saat ini

adalah analisis sekuen gen 16S-rRNA (Case et al., 2007). Ribosomal RNA (r-

RNA) merupakan salah satu makromolekul paling menarik karena molekul ini

merupakan kerangka dari ribosom yang sangat berperan dalam mekanisme

translasi. Semua rRNA identik secara fungsional yakni terlibat dalam produksi

protein. Meski demikian, sekuen di bagian-bagian tertentu terus berevolusi dan

mengalami perubahan pada level struktur primer sambil tetap mempertahankan

struktur sekunder dan tersier yang homologus (Schluenzen et al., 2000).

Ribosom merupakan partikel ribonukleoprotein yang terdiri dua subunit

yaitu subunit besar dengan koefisien sedimentasi 50S dan subunit kecil dengan

Page 7: BAB_2 new.doc

koefisien sedimentsi 30S. Subunit 50S mengandung dua molekul rRNA (5S rRNA

dan 23S rRNA) dan 34 protein. Subunit 30S mengandung satu molekul rRNA

(16S rRNA) dan 21 macam protein (Barciszewski et al., 2001). Dari ketiga

ribosomal RNA tersebut, 16S rRNA merupakan rRNA yang paling sering

digunakan untuk mengidentifikasi bakteri. Hal ini karena molekul 16S rRNA

memiliki panjang basa yang ideal yaitu 1.540 nukleotida (Stackebrandt & Goebel,

1995). Selain itu molekul 16S rNA bersifat ubikuitus (terdapat pada semua

mahluk hidup) sehingga dapat dirancang suatu primer yang universal untuk

seluruh kelompok bakteri, sekuen basa-basanya bersifat konservatif, jumlahnya

melimpah dalam sel, dan tersedianya informasi (bank data/database di GenBank)

(Madigan et al., 1997). Sedangkan molekul 5S rRNA memiliki urutan basa yang

terlalu pendek yaitu sekitar 120 nukleotida sehingga tidak ideal dari segi analisis

statistik, sedangkan molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier

yang cukup panjang yaitu sekitar 3.000 nukleotida sehingga sulit untuk dianalisis

(Pangastuti, 2006).

Proses amplifikasi gen 16S-rRNA dapat dilakukan melalui teknik PCR

(Polymerase Chain Reaction). Kemudian gen 16S rRNA hasil amplifikasi

disekuensing untuk mengetahui urutan basa nukleotidanya dengan menggunakan

mesin sequencer. Pita yang terbentuk dideteksi dengan detektor dan dianalisis

dengan komputer (Madigan et al., 2000).

2.5. Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR (polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik perbanyakan

(amplifikasi) potongan DNA in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua

buah primer oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah

yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan

DNA template. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai primer

forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse (Muladno,

2002).

Komponen-komponen yang dibutuhkan dalam PCR antara lain DNA

template, primer, buffer, MgCl2, Taq polymerase, ddNTPs, ddH2O. DNA template

Page 8: BAB_2 new.doc

merupakan supernatan hasil lisis sel yang berisi DNA yang ingin diamplifikasi.

Primer disusun dari sintesis oligonukleotida sepanjang 15-32 bp dan mampu

mengenali urutan yang akan diamplifikasi. Standar sepasang primer untuk

amplifikasi mempunyai kisaran pasangan basa sekitar 20 basa panjangnya pada

tiap primernya. Kandungan basa guanin dan sitosin berada di antara 45-60%

(Fatchiyah, 2006).

Penggunaan dNTP sebagai building blocks berfungsi untuk menyediakan

sumber basa nukleotida yang akan digunakan pada polimerisasi. Ada 4 macam

dNTP dimana sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan

dTTP. Buffer PCR terdiri atas Tris-HCl, KCl dan Triton X-100 berfungsi untuk

mengkondisikan reaksi PCR agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA

polimerase. Ion logam yang digunakan berfungsi sebagai kofaktor enzim

polimerase sehingga dapat bekerja optimal.

Pada prinsipnya, reaksi PCR membutuhkan tiga tahap, yaitu pemisahan

rantai DNA target (denaturasi), penempelan primer pada DNA target (annealing),

dan pemanjangan primer (extention) atau reaksi polimerisasi yang dikaalisis oleh

DNA polymerase (Gambar 2.3). Tiga tahap pada siklus PCR adalah sebagai

berikut:

1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, dua untai ganda DNA akan membuka

menjadi satu untai ganda DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi

yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen di antara basa nitrogen

yang komplemen. Tahap ini berlangsung sekitar 1 hingga 2 menit. Seluruh

reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang

sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.

2. Penempelan primer (annealing). Pada tahap ini, primer akan menuju daerah

yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Ikatan hidrogen akan

terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada template selama 1-2

menit. Proses ini iasanya dilakukan pada suhu 50 oC – 60 oC. Selanjutnya,

DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan

menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi

polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72 oC.

Page 9: BAB_2 new.doc

3. Reaksi polimerisasi (extension). Reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai

terjadi pada suhu 72 oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami

perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen

dengan template oleh DNA polimerase. Durasi tahap ini biasanya 1 menit

(Garibyan & Nidhi, 2013).

Gambar 2.3. Tahapan proses PCR (Garibyan & Nidhi, 2013)

Ketiga tahap siklus tersebut diulang sesuai dengan jumlah siklus

amplifikasi. Pada siklus pertama dua untai tunggal DNA cetakan akan disalin

menjadi 2 DNA untai ganda. Pada siklus kedua, 2 DNA cetakan untai ganda

masing-masing akan bertindak sebagai cetakan sehingga pada siklus kedua

dihasilkan jumlah 4 DNA untai ganda. Pada siklus berikutnya akan dihasilkan

jumlah DNA secara eksponensial, dimana pada siklus ketiga DNA akan disalin

menjadi 8 kali, siklus ke 10 menjadi 1.024 kali, siklus 30 menjadi 1.073.741.824

dan seterusnya. Pada akhir siklus, DNA cetakan akan digandakan secara

eksponensial sehingga dihasilkan DNA dalam jumlah yang berlipat ganda hanya

dalam waktu yang relatif singkat sekitar 3-4 jam (Gaffar, 2007). Siklus

amplifikasi DNA target dalam PCR dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Page 10: BAB_2 new.doc

Gambar 2.4. Siklus amplifikasi DNA target dalam PCR (Vierstraete, 1999)

Hasil amplifikasi disekuensing untuk mengetahui urutan basa

nukleotidanya dengan menggunakan mesin sequencer. Pita yang terbentuk

dideteksi dengan detektor dan dianalisis dengan komputer (Madigan et al., 2000).

2.6. Sekuensing

Sekuensing DNA merupakan metode yang digunakan untuk menentukan

urutan basa nukleotida yang tepat pada suatu molekul DNA yang memungkinkan

kita mengetahui kode genetik dari molekul DNA. Urutan tersebut dikenal

sebagai sekuen DNA, yang merupakan informasi paling mendasar

suatu gen atau genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk

pembentukan tubuh makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk

menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara

membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui.

Proses ini merupakan tahapan akhir penentukan urutan nukleotida fragmen hasil

amplifikasi. Terdapat dua macam metode dasar yang digunakan untuk sekuensing

DNA yaitu metode Maxam-Gilbert yang dikenal dengan metode degradasi kimia

Gen target

DNA template

Page 11: BAB_2 new.doc

dan metode Sanger yang dikenal dengan metode terminasi rantai (Old &

Primrose, 2003).

Metode degradasi kimia ditemukan oleh A. Maxam dan W. Gilbert

didasarkan pada pembelahan nukleotida oleh bahan kimia yang spesifik. Metode

ini memerlukan DNA untai ganda sehingga tidak memerlukan primer untuk

mensintesis untai baru kembali. Pemotongan DNA terjadi secara kimia sehingga

reagen kimia tertentu harus ditambahkan ke dalam sistem reaksi. Reagen ini

bersifat sangat toksik karena selain memotong DNA dalam tabung juga dapat

memotong DNA dalam tubuh kita. Sekuensing dilakukan melalui pelabelan DNA

template dengan gugus fosfat pada ujung 5’. Selanjutnya ditambahkan DMSO dan

dipanaskan pada suhu 90°C. Langkah selanjutnya adalah pemisahan untai berat

dan ringan, dan pemotongan untai serta autoradiografi untuk membaca urutan

DNA hasil sekuens (Gumilar, 2008).

Metode pengakhiran dikemukakan oleh F. Sanger dan A. R. Coulson

sehingga disebut juga sebagai dideoksi Sanger-Coulson atau dideoksi Sanger.

Metode Sanger lebih sering digunakan daripada metode Maxam-Gilbert. Hal ini

disebabkan metode Sanger telah terbukti secara teknis lebih mudah untuk

diterapkan dan dapat digunakan untuk DNA untai panjang. Selain itu, metode

Sanger tidak menggunakan reagen toksik sehingga lebih aman. Prinsip dasar dari

metode dideoksi Sanger adalah terjadinya terminasi rantai nukleotida sebagai

akibat adanya nukleotida dideoksi (ddNTP). Metode ini memerlukan DNA untai

tunggal. Reaksi sekuensing dengan metode Sanger memerlukan primer, dNTP,

ddNTP, enzim polimerase (Gumilar, 2008).

ddNTP tidak mempunyai gugus 3’-OH (hidroksil). ddNTP dapat

digabungkan oleh enzim Taq polymerase pada untai DNA yang sedang disintesis

melalui gugus 5’ trifosfat. Namun, tidak adanya gugus 3’-OH mencegah

terbentuknya ikatan fosfodiester dengan dNTP berikutnya. Sintesis DNA tidak

mungkin dilanjutkan dan berhenti pada posisi ddNTP. Dengan demikian, jika satu

jenis ddNTP (misalnya ddATP) dicampur dengan dNTP dalam satu larutan reaksi,

terjadi kompetisi antara dNTP yang memperpanjang molekul DNA dan ddNTP

yang memberhentikan proses pemanjangan tersebut. Hasil akhir dari reaksi

Page 12: BAB_2 new.doc

tersebut adalah sejumlah potongan DNA yang panjangnya bervariasi (bervariasi

satu basa saja) dan basa terakhirnya sama bergantung dari ddNTP yang digunakan

(Muladno, 2002).

Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut

dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi

perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing. Pembacaan hasil

elektroforesis dapat dilakukan bila fragmen-fragmen DNA yang terbentuk

terlabeli. Pada awal perkembangan teknik DNA sekuensing, pelabelan fragmen

DNA dilakukan dengan menggunakan radioisotop. Pelabelan dapat dilakukan

terhadap primer maupun pada ddNTP. Pelabelan yang dilakukan pada ddNTP (dye

terminator labeling) memberikan kemudahan karena reaksi sekuensing dilakukan

hanya dalam satu tabung. Lain halnya Jika pewarnaan fluoresen dilakukan pada

primer, reaksi pembentukan fragmen DNA harus dilakukan dalam empat tabung

terpisah. Fragmen-Fragmen yang berfluoresen terbentuk karena inkorporasi

ddNTP yang terlabel oleh pewarna. Masing-masing ddNTP yang berbeda (dATP,

dCTP, dGTP, dTTP) akan membawa sebuah warna yang berbeda. Dengan

demikian semua fragmen yang diterminasi oleh metode Sanger (yang berujung

pada ddNTP) mengandung sebuah dye pada ujung 3’nya (Gaffar, 2007).

Analisis hasil sekuensing dilakukan melalui program BLAST dengan

membandingkan urutan basa nukleotida hasil sekuensing dengan sekuen DNA

berdasarkan gen penyandi 16S rRNA yang ada di Gen Bank. Hal ini bertujuan

untuk menentukan tingkat kekerabatan bakteri yang diteliti dengan bakteri yang

telah diidentifikasi sebelumnya (Leblond-Bourget et al., 1996). Spesies bakteri

dikatakan sama apabila derajat kesamaan sekitar 99-100%, 97-98%

mengindikasikan spesies yang berbeda tetapi dalam satu genus, di bawah 97%

mengindikasikan spesies baru (Huard, 2007). Prinsip sekuensing dengan metode

Sanger dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Page 13: BAB_2 new.doc

Gambar 2.5. Prinsip sekuensing (Sanger) dengan pewarnaan flouresen pada ddNTP (appliedbiosystems.com)

2.7. Penentuan Filogeni menggunakan Basis 16S rRNA

Analisis sistematika dilakukan melalui konstruksi sejarah evolusi dan

hubungan evolusi antara keturunan dengan nenek moyangnya berdasarkan pada

kemiripan karakter sebagai dasar dari perbandingan. Jenis analisis ini dikenal

dengan analisis filogenetika atau biasa disebut cladistics yang berarti clade atau

kelompok keturunan dari satu nenek moyang yang sama. Analisis filogenetik

biasanya diartikan sebagai sistem percabangan, seperti diagram pohon yang

dikenal sebagai pohon filogenetika (Campbell, 2008).

Taksonomi filogenetik merupakan  pengelompokan spesies atau jenis baru

dengan cara analisis molekuler dan morfologi. Klasifikasi sistem filogenetik

disusun berdasarkan persamaan fenotip yang mengacu pada sifat-sifat bentuk luar,

faal, tingkah laku yang dapat diamati, dan pewarisan keturunan yang mengacu

pada hubungan evolusioner jenis nenek moyang hingga cabang-cabang

keturunannya (Swofford et al., 1996).

DENATURASi PENEMPELAN POLIMERISASI HASIL

Page 14: BAB_2 new.doc

Konsep tentang urutan nukleotida atau asam amino yang digunakan untuk

menghubungkan organisme-organisme dalam bentuk pohon filogenetik

dijelaskan oleh Carl Woese dengan membandingkan urutan nukleotida RNA

ribosom. Berdasarkan hasil analisisnya terhadap urutan nukleotida gen 16S rRNA

dari berbagai organisme, pada tahun 1977 Carl Woese menyatakan bahwa archaea

berbeda dengan bakteria dan dengan eukariota. Sehingga organisme-organisme

dapat dikelompokkan dalam tiga domain yaitu Bacteria, Archaea dan Eukaryota

(Olsen and Woese, 1993). Pohon filogenetik yang menunjukkan tiga domain

kehidupan ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Pohon filogenetik yang menunjukkan tiga domain kehidupan (Olsen and Woese, 1993)

Pada saat ini analisis urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan untuk

mengidentifikasi spesies bakteri dan mempelajari taksonomi. Carl Woese telah

memberikan terobosan dengan membuat pohon filogenetik berdasarkan urutan

16S rRNA. Ribosomal RNA merupakan molekul purba dan tepat dijadikan

sebagai kronometer evolusi karena memiliki peran penting dalam proses sintesis

protein. Molekul ini mempunyai fungsi tetap, terdistribusi secara universal,

bersifat sangat lestari dan perubahan yang relatif lambat. Selain itu, belum ada

bukti yang menunjukkan adanya pertukaran gen secara lateral pada gen rRNA

antar spesies yang berbeda. Dengan demikian gen-gen dari ribosomal RNA dapat

Page 15: BAB_2 new.doc

memberikan informasi yang benar untuk menjelaskan hubungan evolusi

(Gonzales & Saiz, 2005).

Pohon filogenetik dapat disusun berdasarkan data urutan DNA, RNA dan

protein, namun urutan 16S rRNA cenderung lebih disukai. Perbandingan urutan

gen 16S rRNA lebih berkembang. Sebab keberadaannya sangat luas pada genom

dan memiliki peran penting dalam proses penurunan informasi selular. Lebih dari

itu, gen-gen rRNA sangat lestari, perubahan relatif lambat, dan diduga resisten

terhadap pertukaran gen secara lateral (Stackebrandt & Goebel, 1995).

Hasil analisis perbandingan urutan nukleotida dari gen-gen pengkode 16S

rRNA atau beberapa protein digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenetik

dan dianggap sebagai dasar pengklasifikasian seluruh makhluk hidup secara

hirarki (Frankham, 2002).