BAB 1
PENDAHULUAN
Dengue haemorrhagic fever (DHF) atau yang lebih dikenal sebagai
Demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit
akibat infeksi virus dengue pada manusia, sedangkan manifestasi klinis dari
infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue.
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga
tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia
sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam
Berdarah Dengue masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia selama 41 tahun terakhir.1
Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32
kabupaten dan 382 kota pada tahun 2009. Selain itu jumlah kasus DBD masih
cukup tinggi, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun
2009, 156.086 kasus pada tahun 2010 dan 49.486 kasus dengan kematian 403
orang pada tahun 2011. Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan
provinsi dengan angka inseden DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk),
dan dalam lima tahun terakhir (tahun 2005-2009) Provinsi DKI termasuk 5
provinsi dengan angka inseden tertinggi di atas Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi
Utara dan Kepulauan Riau. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut
kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim (menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,
kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan
serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan
vektor penyakit seperti nyamuk Aedes), perubahan kepadatan dan distribusi
penduduk serta faktor epidemiologi lainnya.1
1
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada
musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili
Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4. Vektor DBD yang utama adalah nyamuk Aedes aegypti. DBD merupakan
bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan demam akut,
trombositopenia, netropenia, perdarahan dan permeabilitas vaskular meningkat
yang ditandai dengan kebocoran plasma ke jaringan interstitial yang dapat
mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia dan hiponatremia
yang dapat menyebabkan syok hipovolemik. Menegakkan diagnosis DBD pada
stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik
yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu
memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis, dan pemeriksaan
laboratorium agar penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisen.1,3,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue
haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik
(predisposisi untuk mengalami perdarahan dan gangguan hemostasis). Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.3
II.2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat,
dan Karibia. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan
sebaran di seluruh wilayah tanah air. Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Sejak tahun 1968 telah
terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis
DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 kabupaten dan 382 kota pada tahun
2009. Selain itu jumlah kasus DBD masih cukup tinggi, pada tahun 1968 hanya
58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009, 156.086 kasus pada tahun 2010
dan 49.486 kasus dengan kematian 403 orang pada tahun 2011.1
Pada tahun 2009 tampak provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan
angka inseden DBD tertinggi (313 kasus per 100.000 penduduk), dan dalam lima
tahun terakhir (tahun 2005-2009) Provinsi DKI termasuk 5 provinsi dengan angka
inseden tertinggi di atas Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Utara dan Kepulauan
Riau. Dahulu panyakit ini lebih sering mengenai anak berusia kurang dari 15
3
tahun namun beberapa tahun terakhir kencendrungan ini bergeser menjadi lebih
sering terjadi pada orang dewasa dan tidak ada perbedaan signifikan angka
kejadian antar jenis kelamin.1
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
biakan virus dengue yaitu 1). Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke
tempat lain; 2). Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan atau kelurga,
mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3). Lingkungan :
curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. 3
II.3. Etiologi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau dengue
haemorrhagic fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue yang merupakan
anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus
dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, keempat serotipe tersebut
ditemukan di Indonesia dengan serotipe DEN-3 merupakan serotipe terbanyak
dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Virus
dengue mempunyai diameter envelope 40-60 nm, mengandung RNA untai
tunggal (ssRNA), positif sense dengan ukuran genom 10,7 kb (10.700 basa). 3,4,7
Pada virus dengue terdapat 10.700 basa dan di dalam genomnya terdapat
sebuah single – open reading frame (SORF) yang mengkode 2 macam protein
yaitu protein struktural dan protein nonstruktural. Protein struktural terdiri atas
protein C (core), M (membrane), E (envelope). Sedangkan protein nonstruktural
terdiri atas 7 macam yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5.
Struktur protein virus dengue mempunyai beberapa fungsi penting. Fungi
utamanya adalah mempermudah perpindahan asam nukleat virus dari satu sel host
ke sel host yang lain. Protein ini juga berperan melindungi gen virus terhadap
inaktivasi oleh nukleus, selain itu berperan melengkapi partikel virus untuk
mengintervensi sel yang rentan serta menyokong struktur tangkup partikel virus.
Protein virus juga menentukan antigenik virus. Respon imunitas host secara
langsung akan melawan faktor antigen protein atau glikoprotein virus yang tidak
terlindungi di permukaan partikel virus.3,4,7
4
Gambar 1. Struktur virus dengue
Gambar 2. Arsitektur genom virus dengue
II.4. Vektor
Penularan virus dengue terjadi melaului vektor nyamuk genus Aedes
(terutama Aedes aegypti). Morfologi dan daur hidup nyamuk vektor demam
berdarah dengue yaitu :6
1. Nyamuk dewasa : ukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik
putih pada bagian badan, kaki dan sayap.
2. Telur : berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti
5
gambaran kain kassa.
3. Jentik : ukuran 0,5-1 cm, dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya
berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada
waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.
4. Mengalami metamorfosis sempurna.
Gambar 3. Daur hidup nyamuk vektor demam berdarah dengue
Sedangkan sifat nyamuk Aedes aegypti adalah :6
1. Menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang
secara bergantian dalam waktu singkat dan mempermudah pemindahan
virus.
2. Aktivitas menggigit pagi sampai dengan petang dengan puncak aktivitas
09.00-10.00 dan 16.00-17.00.
3. Kemampuan terbang nyamuk betina 40-100 meter. Namun karena angin
atau terbawa kendaraan, nyamuk ini bisa berpindah lebih jauh.
4. Kebiasaan istirahat serta menggigit dalam rumah (indoor). Tempat
hinggap dalam rumah adalah barang-barang bergantungan seperti baju,
gorden, kabel, peci dan lain-lain.
5. Nyamuk ini lebih senang warna gelap daripada terang.
6
Gambar 4. Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada
di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.6
II.5. Patognenis dan Patofisiologi
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection). Hipotesis ini menyatakan secara
tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan
serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisir oleh tubuh, sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag.4
7
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi anti bodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi degan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah banyak hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien yang dengan syok berat
voleme plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama
24-48 jam. Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan asidosis
dan anoksia, yang dapat berakhir fatal.4
Sebagai tanggapan terhadap virus dengue, komplek antibodi antigen selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata).
Ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.4
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagamen
sehingga tejadi aktivasi sistem kinin yang memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
8
Gambar 5. Patofisiologi perdarahan pada DBD
II.6. Gambaran Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan
demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-
macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat
yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).3
9
Gambar 6. Manifestasi klinis infeksi virus dengue
II.7. Perjalanan Penyakit
WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit
demam dengue menjadi 3 fase setelah masa inkubasi : 1.Fase Demam, 2.Fase
Kritis, 3.Fase Recovery (penyembuhan).5
Fase Demam
Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah,
kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan nyeri kepala. Beberapa
pasien juga mengeluhkan gejala nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva
hiperemis. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase awal
demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami
infeksi virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya
(warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis,
(warning sign) meliputi :
Klinis : nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, pembesaran hati > 2 cm
Laboratorium : peningkatan Ht dengan penurunan trombosit
Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa
(seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Petechie dapat muncul pada
hari-hari pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke 3 hingga hari
ke 5. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan
perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat
membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari
pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang
dapat meningkatkan kecurigaan terjangkit virus dengue.5
Fase kritis
10
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD yaitu pada saat
temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5-38oC yang terjadi pada hari ke 3-7,
meningkatnya permeabilitas kapiler berbanding lurus dengan meningkatnya kadar
hematokrit dapat terjadi. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis
biasanya terjadi selama 24-48 jam. Leukopenia yang progresif diikuti dengan
menurunnya jumlah trombosit mengindikasikan kebocoran plasma.5
Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran
plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen
dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Shok dapat terjadi
didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat
subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ
yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan diseminated
intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis,
miokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi.5
Fase penyembuhan
Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari
kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik,
kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik
stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase
ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang
diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. 5
11
Gambar 7. Perjalanan penyakit DBD
II.8. Diagnosis
II.8.1. Demam dengue
Ditandai dengan demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut :
Nyeri kepala
Nyri retro orbital
Mialgia atau atralgia
Ruam kulit
Menifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positf)
Leukopenia
Dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD/DBD
yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.3
12
II.8.2. Demam berdarah dengue
Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO
tahun 1997. WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis
DBD :
A. Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2 – 7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
Uji torniquet positip Petekie, ekimosis, purpura.
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain
Hematemesis dan atau melena. 3
B. Kriteria laboratorium :
3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
4. Terdapat minimal 1 tanda-tanda kebocoran plasma (plasma leakage)
karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi :
peningkatan hematokrit ≥ 20 % dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
penurunan hematokrit ≤ 20 % setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau
hipoproteinemia.3
II.8.3. Sindrom syok dengue (SSD)
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan sembab serta
gelisah.3
Terdapat klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari
demam dengue dan DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat ( pada setiap
derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi ) menurut
kriteria WHO 1997:
13
Demam Dengue Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala,
nyeri retro orbital, mialgia, artralgia
DBD Derajat I Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-
satunya manifestasi perdarahan ialah uji Tourniquet.
DBD Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan lain.
DBD Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab serta
gelisah
DBD Derajat IV Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.3
Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
dan/atau darah lengkap dan hematokrit diagnosis DBD ditegakkan dengan melihat
fase penyakit (demam, kritis atau penyembuhan), serta menentukan adanya
warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien serta apakah pasien
memerlukan rawat atau tidak. Ini dapat dilihat pada Gambar 8.5
Gambar 8. Klasifikasi dengue dan derajat keparahan menurut kriteria WHO 2009
14
II.9. Diagnosis laboratoris
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di
laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam
serum atau jaringan tubuh (PCR) dan deteksi antibodi spesifik dalam serum
pasien.4
Uji hemaglutinisasi inhibis (HI)
Uji yang sering di pakai pada pemeriksaan serologis. Kenaikan titer 4x
lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (>1280) dianggap diduga kuat
positif infeksi dengue yang baru terjadi
IgM dan IgG
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5 meningkat sampai minggu ke 3
menghilang setelah 60-90 hari
IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada ke 14, sedangkan
pada infeksi sekunder terdeteksi pada hari ke 2
NS 1
Dapat terdeteksi pada demam hari pertama sampai hari ke 8.
Sensitivitasnya berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas 100% yang sama
tinginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus.
II.10. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk DBD. Prinsip terapi urama adalah terapi
suportif. Pemeliharan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam
penanganan kasis DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral harus
dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur
intravena.8
Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan untuk tirah baring, selama masih demam obat antipiretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu < 39°C
dianjurkan untuk memberikan paracaetamol. Asetosal atau salisilat
15
dikontraindikasikan oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau
asidosis. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, susu
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Suhu, jumlah trombosit serta
kadar hematokrit juga harus dipantau sampai kadarnya kembali normal. Pada
pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan karena
kemungkinan sulit untuk membedakan demam pada fase demam atau pada fase
DBD. Perbedaannya karena pada DBD, pada saat suhu turun terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi sedangkan pada DD merupakan tanda penyembuhan.
Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa diserta gejala syok. Oleh
karena itu orang tua atau pasien diberikan nasehat bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam atau terdapat perdarahan pada kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi apalagi disertai berkeringat dan kulit dingin hal tersebut
merupakan tanda kegawatdaruratan sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit.8
Demam Berdarah Dengue
16
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda atau gejalanya tidak spesifik
oleh karena itu masyarakat atau orang tua diharapkan untuk waspada jika melihan
tanda atau gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD.
Tanda atau gejala awal penyakit DBD adalah demam tinggi mendadak tanpa
sebab yang jelas, terus menerus, badan lemah dan anak tampak lesu. Pertma
ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah,
napas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam maka
tatalaksana disesuaikan dengan keadaan tersebut. Apabila tidak ditemukan adanya
tanda kedaruratan, periksa uji Tourniqet: apabila uji tourniqet positif dilanjutkan
dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosi ≤ 100.000 / ul pasien dirawat
untuk observasi. Apabila uji tourniqet positif dengan trombosit ≥ 100.000 / ul atau
normal atau uji tourniqet negatif maka pasien boleh pulang dengan pesan untuk
datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila
terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Beri
nasihat kepada orang tua, anak dianjurkan untuk minum banyak seperti air teh,
susu, oralit, jus buah serta diberikan antipiretik yaitu paracaetamol. Bila klinis
menunjukkan tanda-tanda syok segera bawa rumah sakit.8
Fase Demam
Tatalaksana DBD pada fase demam tidak berbeda dengan
tatalaksana DD bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan
oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan
oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan maka
cairan intavena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/KgBB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih
minum ASI, tetap harus diberikan ASI disamping larutan oralit. Pasien
17
harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-
5 fase demam. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari
sakit ketiga sampai suhu normal kembali.8
Penggantian volume plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi
pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam
24-48 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit dan jumlah volume urin.
Cairan intravena diperlukan apabila anak terus menerus muntah,
tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadi dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan
NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan total dikeluarkan
dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat
(3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa ditambah ¼ natrium
bikarbonat).
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari
umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai derajat
hemokonsentrasi.
Tabel 1. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per Kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
> 20 1500 + 50 x kg (di atas 20 kg)
Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena
kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembasan terjadi lebih
18
cepat ketika suhu turun) maka volume cairan pengganti harus disesuaikan
dengan kehilangan plasma yang dapat diketahui dengan pemantauan kadar
hematokrit. Perlu diperhatikan bahwa penggantian volume yang
berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma berhenti akan
mengakibatkan distress pernapasan sebagai akibat edema paru.
Jenis larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah
larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL), RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl
0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid
adalah dekstran-40 dan plasma darah.8
Gambar 10. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
19
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniqet positif (DBD
derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD
derajat II) dapat dikelola seperti pada gambar 10. Apabila pasien masih dapat
minum, berikan minum banyak 1-2 L/hari atau 1 sdm setiap 5 menit. Jenis
minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu
dan oralit. Obat antipiretik (paracaetamol) diberikan bila suhu > 38,5°C. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien
tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCL
0,9% : dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetes rumatan sesuai berat badan.
Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam.
Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarnya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan
dengan perdarahan saluran cerna.8
20
Gambar 11. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hematokrit ≥
20%
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus
selama ≤ 7 hari tanpa sebab jelas disertai tanda perdarahan spontan (paling
tersering perdarahan kulit dan mukosa yaitu petekie atau mimisan) disertai
penurunan jumlah trombosit ≤ 100.000 / ul dan peningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang diberikan cairan kristaloid ringer laktat /NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9% 6-7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda
vital dan kadar hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-
24 jam.
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup dan kadar Ht cenderung
turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi
menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap
stabil, tetesan dikurangi menjadl 3 ml/KgBB/ jam dan akhirnya cairan dihentikan
pada 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, napas cepat
(distress pernapasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis berkurang, tekanan nadi
< 20 mmHg serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10
ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan
dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam kemudian.
Apabila tampak distress pernapasan menjadi lebih berat dan Ht naik maka berikan
cairan koloid 10-20 ml/KgBB/ham, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB.
Namun bila Ht turun, berikan transfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam.8
21
Gambar 12. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
Sindrom syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, napas cepat,
nadi teraba kecil lembut atau tidak teraba, bibir biru, tangan kaki dingin dan tidak
ada produksi urin. Maka :
1. Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/KgBB
secapatnya (diberikan dalam bolus 30 menit) dan oksigen 2 L/m. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat
22
20 ml/KgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(dekstran-40) sebanyak 10-20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Observasi
keadaan umum, tekanan darah, nadi tiap 15 menit dan periksa hematokrit tiap 4-6
jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar Hb/HT, tekanan nadi > 20
mmHg, nadi kuat maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam.
Volume 10 ml/KgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB
sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap cairan diturunkan
5 ml dan seterusnya 3 ml/KgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi
48 jam setelah syok terarasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
yang dikeluarkan tiap 1 jam,pemeriksaan Ht dan trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum teratasi sedangkan kadar Ht menurun tetapi masih > 40%
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan
masif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan dilanjutkan cairan kristaloid 10
ml/KgBB/jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila kadar Ht telah turun sekitar
40%. Jumlah urin 12 ml/KgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan
sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravascular (ditandai dengan penurunan kadar Ht setelah
pemberian cairan rumatan) maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung.8
II.11. Indikasi Pulang Pasien DBD
Pasien dapat pulang apabila memnuhi syarat-syarat berikut :
Klinis
Bebas demam selama minimal 48 jam
23
Terdapat perbaikan status klinis (keadaan umum baik, nafsu makan
membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak
ada gangguan pernapasan)
Laboratoris
Peningkatan jumlah trombosit
Hematokrit stabil tanpa cairan intravena
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. (2010). Demam Berdarah
Dengue. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI
2. Chein, Khei and Pohan T. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application. Vol 22 Maret-mei
3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (2010). Demam Berdarah Dengue.
Jakarta : Interna Publishing
4. Departemen kesehatan RI. (2004). Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular.
5. WHO. (2009). Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control. WHO and TDR
6. Sutanto, inge; Ismid, Is Suhari; Sjarifuddin, pudji dan Sungkar, Saleh.
2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
7. Jawetz. (2008). Mikrobiologi kedokteran. Jakarta : EGC
8. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. (2012). Ikatan Dokter Anak
Indonesia
9. Osterwell N. Dengue 'Under-recognized' as Source of Febrile Illness in US. Medscape Medical News. Jan 23 2014. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/819656. Accessed January 25, 2014.
10. Sharp TM, Gaul L, Muehlenbachs A, Hunsperger E, Bhatnagar J, Lueptow R, et al. Fatal hemophagocytic lymphohistiocytosis associated with locally acquired dengue virus infection - new Mexico and Texas, 2012.MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jan 24 2014;63(3):49-54. [Medline].
25