BED SIDE TEACHING
PEMBAHASAN
I. PENDAHULUANDemam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai
saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi
DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan
jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit
ini, dengancase fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5Berbagai
faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran
kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2.
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,3. Tidak
efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan4. Peningkatan sarana transportasi.4Upaya pengendalian terhadap
faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus
terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada
penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian
akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang
spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi
suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami
patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.
Infeksi dengue merupakan penyakit yang muncul kembali, cepat
menyebar, ditularkan oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti1.
Dalam 50 tahun terakhir ini insidensinya telah meningkat 30 kali
lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke negara-negara baru
terutama di negra sub tropis. Diperkirakan ada 50 juta orang
terinfeksi dengue setiap tahunnya. Terdapat 2.5 milyar orang yang
tinggal di daerah endemis dengue2.Sejak tahun 1968 penyakit ini
telah ditemukan di Surabaya dan Jakarta. Seiring dengan berjalannya
waktu penyakit ini tersebar ke seluruh wilayah Republik Indonesia,
dan seiring menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka
kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat. Menurut Depkes RI insidensi DBD mulai dari 0,05 insiden
per 100.000 penduduk di tahun 1968, menjadi 35.19 insidensi per
100.000 penduduk di tahun 1998, dan menjadi 41.48 insiden per
100.000 penduduk di tahun 2010.Virus Dengue menyebabkan infeksi
yang bersifat simptomatik maupun asimtomatik. Infeksi dengue
simtomatik merupakan infeksi sistemik dalam perjalanan penyakit
yang sangat dinamis3, sulit diramalkan, dengan spectrum penyakit
yang luas dan bermanifestasi klinis mulai dari gejala yang ringan
sampai berat.Meskipun manifestasi infeksi cukup kompleks tetapi
secara umum tatalaksananya relatif simple, tidak mahal, dan sangat
efektif dalam menyelematkan hidup penderita, sepanjang penanganan
diambil pada waktu yang tepat. Kunci keberhasilan penanganan adalah
dengan memahami dan waspada terhadap problem klinis selama
fase-fase yang berbeda sepanjang perjalanan penyakit, sehingga
tatalaksana yang dilakukan sesuai dengan pendekatan yang
rational2.Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau terapi
antivirus untuk infeksi dengue dan tatalaksana yang tepat sangat
membantu penyembuhan4. Pengenalan tanda awal kegawatan infeksi
dengue sangat diperlukan oleh para dokter yag menangani pasien
infeksi sejak awal penyakit, karena hal ini sangat menentukan
luarannya.
II. DEFINISIDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam
akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO
untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari
infeksi virus dengue.
Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8Manifestasi
simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar
1):51. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau
tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2
atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue
positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita
demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.3. DBD (dengan
atau tanpa renjatan)
III. ETIOLOGIVirus dengue termasuk familia Flaviridae, dari
genus Flavivirus. Atas dasar ekologinya Flavivirus disebut
Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan bahwa virus
ini ditransmisikan oleh serangga6. Semua Flavivirus memiliki
kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan terjadinya
cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4
serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Infeksi salah satu serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi
protektif untuk serotipe tersebut pada waktu yang lama, tetapi
tidak ada cross protection (perlindungan silang) terhadap serotipe
virus Den yang lain6. IV. EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUESecara
epidemiologi dikenal 2 bentuk dengue yaitu:a. Bentuk klasik, dengan
gejala panas 5 hari, disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan
tulang. Penurunan jumlah thrombosit dan ruam-ruam banyak dijumpai
kasusnya di negara-negara kawasan Asia tenggara (Indonesia,
Filipina, Malaysia, Vietnam), secara endemik.b. Bentuk epidemik,
dikenal dengan nama Dengue hemorrhagic fever (DHF). Di Indonesia
penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan gejala demam dengue disertai dengan pembesaran hati
dan tanda-tanda perdarahan. Epidemik DBD dapat terjadi secara
berulang-ulang. Sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya
pada tahun 1968 (epidemi terjadi pertama kali di Batavia 1779),
jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Angka insiden DBD di
Indonesia terus meningkat setiap 5-10 tahun (Farouk, 2004). Menurut
World Health Organization (2005) demam berdarah dengue dapat
dilihat berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain:a.
Penyebab Penyakit (agent)Virus dengue merupakan bagian famili
Flaviviridae. Keempat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi
pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas
sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama,
tetapi hanya menjadi pelindung sementara dan parsial terhadap
serotipe yang lain.Virus-virus dengue dapat menunjukkan banyak
karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA
rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukloekapsid ikosahendral dan
terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai
diameter kira-kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai panjang
kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk
mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid atau protein
inti (C), protein yang berkaitan dengan membran (M), dan protein
pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domain-domain
bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan
reseptor virus berhubungan denagn protein pembungkus. b.
VektorAedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling
efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik,
hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue
juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis,
dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies ini
mempunyai distribusi geografisnya masing-masing. Namun, mereka
adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti.
Sementara penularan vertikal (kemungkinan transovarian) virus
dengue telah dibuktikan di laboratorium dan di lapangan,
signifikansi penularan ini untuk pemeliharaan virus belum dapat
ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur
Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi
(pengawetan dan pengeringan), kadang selama lebih dari satu
tahun.c. Penjamu (Host)Pada manusia, masing-masing keempat serotipe
virus dengue mempunyai hubungan dengan demam berdarah dengue. Studi
di Kuba dan Thailand telah menunjukkan bahwa hubungan yang tinggi
secara konsisten antara infeksi DEN-2 dan demam berdarah dengue,
tetapi epidemik pada tahun 1976-1978 Indonesia, 1980-1982 Malaysia,
1989-1990 Tahiti, dan dari tahun 1983 seterusnya di Thailand, DEN-3
adalah serotipe predominan yang ditemukan dari pasien dengan
penyakit berat. Pada wabah tahun 1984 di meksiko, 1986 Puerto Rico,
dan tahun 1989 El Salvador, DEN-4 paling sering diisolasi dari
pasien demam berdarah dengue. Menurut Kardinan (2007) seseorang
yang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes biasanya kebal
terhadap serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu, namun
tidak kebal terhadap serotypes lainnya, bahkan menjadi sensitif
terhadap serangan demam berdarah Dengue Hemorrhagic Fever.Sindrom
syok dengue terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada dua
kelompok yang mempunyai keterbatasan secara imunologis: anak-anak
yang telah mengalami infeksi dengue sebelumnya, dan bayi dengan
penyusutan kadar antibodi dengue maternal. Fase akut infeksi,
diikuti dengan inkubasi 3-13 hari, berlangsung kira-kira 5-7 hari
dan dikuti dengan respon imun. Infeksi pertama menghasilkan
imunitas sepanjang hidup terhadap serotipe penginfeksi tetapi
merupakan perlindungan sementara terhadap ketiga serotipe lainnya,
dan infeksi sekunder atau sekuensial mungkin terjadi setelah waktu
singkat.d. Lingkungan (Environment)Kesehatan lingkungan mempelajari
dan menangani hubungan manusia dengan lingkungan dalam keseimbangan
ekosistem dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimal melalui pencegahan terhadap penyakit dan gangguan
kesehatan dengan mengendalikan faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit. Interaksi lingkungan dengan
pembangunan saat ini maupun yang akan datang saling berpengaruh
(Fathi et al., 2005).1) Kondisi Geografisa) Ketinggian dari
permukaan lautSetiap kenaikan ketinggian 100 meter maka selisih
suhu udara dengan tempat semula adalah 0,5C. Bila perbedaan tempat
cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara cukup banyak dan akan
mempengaruhi faktor-faktor penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan
parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Dit. Jen. PPM
dan PL, 2004)Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian, nyamuk ini tidak ditemukan diatas ketinggian 1000 m
tetapi telah dilaporkan pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200
m di Kolombia, dimana suhu rata-rata tahunan adalah 17oC, dan pada
ketinggian 2400 m di Eritea (World Health Organization, 2005). b)
Curah hujanCurah hujan yang lebat menyebabkan nisbi udara dan
menambah jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places). Pengaruh
hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik
daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan banjir dan terlalu
kurang hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan
berpindahnya tempat perkembangbiakan secara temporer (Dit. Jen. PPM
dan PL, 2004).Kenaikan fluktuasi kasus DBD pada bulan
Januari-Februari. Kenaikan ini seiring dengan musim hujan dan
sesuai dengan kepustakaan yang memperlihatkan adanya hubungan turun
hujan dan penularan penyakit DBD. Curah hujan tinggi akan
memberikan kesempatan yang baik bagi nyamuk untuk hidup (Syaroni,
2004).c) SuhuSuhu dapat mempengaruhi ketahanan hidup nyamuk dewasa
yang akan mempengaruhi laju penularan. Nyamuk banyak beristirahat
di dalam rumah. Suhu juga dapat mempengaruhi pola makan dan
reproduksi nyamuk dan meningkatkan kepadatan populasi nyamuk
sebagai vektor (Syaroni, 2004).d) AnginKecepatan dan arah angin
dapat mempengaruhi jarak terbang dan arah terbang nyamuk sebagai
angin. Semakin tinggi kecepatan angin dapat mengurangi penularan
DBD karena nyamuk terbang jauh terbawa angin (World Health
Organization, 2005).e) KelembabanKelembaban yang rendah
memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit.
Tingkat kelembaban 60 persen merupakan batas paling rendah untuk
memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi
nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga
meningkatan penularan demam berdarah (World Health Organization,
2005).2) Kondisi Demografisa) Kepadatan pendudukMenurut Simon et al
(2004) pada negara berkembang khususnya Indonesia, faktor di luar
kesehatan mempunyai pengaruh besar dalam program pencegahan dan
pengendalian DBD. Menurut World Health Organization (2005) pada
area dengan kejenuhan populasi yang tinggi, banyak orang yang
mungkin terpajan, meskipun indeks rumah nyamuk rendah. Jarak antar
rumah dengan begitu dapat menjadi signifikan epidemiologis,
khususnya pada area dengan tempat tinggal beratap tunggal.b)
Mobilitas pendudukKasus pandemi yang terjadi secara global yang
terjadi di Asia Tenggara saat terpecahnya Perang Dunia ke-II selama
dua dekade sampai mempengaruhi berbagai negara kecuali Antartika.
Kondisi seperti ini dapat merespon terjadinya DBD karena adanya
perpindahan penduduk, travel international (mobilitas penduduk),
ketidaksetimbangan infrastruktur. Hal ini sebagai latar belakang
terjadinya penyebaran DBD secara cepat yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat secara global (Simon et al, 2004).c) Sanitasi
lingkunganKondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, terutama apabila terdapat
banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan
terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah
penduduk. Sikap masyarakat terhadap penyakit DBD, yaitu semakin
masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap
penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya
penularan penyakit DBD. Tindakan pembersihan sarang nyamuk meliputi
tindakan: masyarakat menguras air kontainer secara teratur seminggu
sekali, menutup rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer
bekas seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya
yang dapat menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk
(dikenal dengan istilah tindakan 3M) dan tindakan abatisasi atau
menaburkan butiran temephos (abate) ke dalam tempat penampungan air
bersih dengan dosis 1 ppm atau 1 gram temephos SG dalam 1 liter air
yang mempunyai efek residu sampai 3 bulan.d) Sosial ekonomiPerilaku
yang tidak baik karena belum menyadarinya akan pentingnya hygiene
lingkungan dan diri masyarakat itu sendiri, dapat dipengaruhi oleh
tingkat sosial ekonomi. Akibat dari kesulitan ekonomi, masyarakat
cenderung mengobati sendiri penyakit yang di deritanya seperti
demam atau pusing. Akibatnya mereka baru pergi ke dokter ketika
penyakit DBD yang dideritanya sudah parah sehingga menyulitkan
proses penyembuhan (Lestari dan Sungkar, 2005).e) Tingkat
pengetahuan DBDTingkat pengetahuan sangat berhubungan dengan sosial
ekonomi, semakin tinggi tingkat ekonomi semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan (Lestari dan Sungkar, 2005).
V. PATOGENESISPatogenesis DBD bermacam-macam. Ada yang
menerangkan bahwa virulensi virus yang sangat berperan terhadap
severity of disease. Ada juga teori peranan mediator, apoptosis,
genetik, dan antibody dependent enhancement. Sebagian ahli menganut
antibody dependent enhancement, di mana infeksi virus dengue yang
kedua dengan serotype virus yang berbeda akan memberikan
manifestasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada
akhirnya menjelaskan akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas
kapiler dan kebocoran plasma.Nyamuk membutuhkan darah untuk
mematangkan telurnya, tidak hanya darah manusia, darah sapi juga
bisa. Jadi sapi juga bias mengalami DBD. Virus dengue membutuhkan
waktu kira-kira 10 hari untuk bereproduksi. Kemudian nyamuk yang
mengandung virus menggigit manusia sehat. Virus dengue akan ada
untuk selamanya dalam tubuh virus sampai nyamuk mati.Dua teori yang
banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement.Menurut hipotesis infeksi
sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon
antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi
dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa.9,10
Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai
tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10
VI. PATOFISIOLOGIVirus demam berdarah akan masuk ke dalam
makrofag. Menurut antibody dependent enhancement, antigen infeksi
pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi untuk
memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke
dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan
interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar,
selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang
eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia,
hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral.
Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh
virus dengue itu sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi
kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel
terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi. Adapun
mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan
sebagai berikut :
Bagian 1. Homologous Antibodies Form Non-Infectious Complexes
Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum
antibodi yang dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama
(homolog).
Bagian 2. Heterologous Antibodies Form Infectious Complexes
Dalam infeksi berikutnya, antibodi heterolog yang sudah ada
sebelumnya membentuk kompleks dengan serotipe virus baru yang
menginfeksi, tetapi tidak menetralkan virus baru.
Bagian 3. Heterologous Complexes Enter More Monocytes, Where
Virus Replicates Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana
strain tertentu dari virus dengue, bergabung dengan antibodi
non-penetral, menginisiasi munculnya monosit yang lebih banyak,
sehingga meningkatkan produksi virus.Monosit yang terinfeksi
melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan permeabilitas pembuluh
darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi ciri DBD
dan DSS.
Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam
penyakit DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui
tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit yang dipantau
tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output
dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila tidak terjadi
pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak
mengakibatkan kematian pasien.Adapun tingkat keparahan sindrom
kebocoran kapiler tergantung ukuran celah endotel danlokasi atau
daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kompartemen
perivaskular, dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik
di intra dan ekstravaskular. Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh
tekanan pompa jantung yang mendorong plasma keluar dari
intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik adalah nilai
tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat
osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular.
Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik
maka plasma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan
oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di mikrokapiler tekanan
hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan tubuh
yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan
ke dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah
mengetahui kalau kebocoranplasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik,
penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan osmotik dapat
dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda kebocoran
plasma.Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit
keluar dari intravaskular mengejarmakrofag yang mengandung virus
dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia
padaDBD.Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki
beberapa hipotesa penyebab:1. terjadi destruksi trombosit akibat
interaksi antibody-antigen virus dengue di permukaan trombosit;2.
kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan
interaksi trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah
agregasi dan destruksi trombosit;3. IL-6 menginduksi antibodi IgM
antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombosit;4.
manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan
trombosit. Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu
diberikan infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya
trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi
antitrombosit. Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue
ada dalam tubuh tapi tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase
akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII), dan fase
konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis,
dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase
kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai
turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok,
dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu
mendahului trombositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma
leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari
kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup
di atas batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat
dilakukan dari H-1 sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1
adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu
dengan ELISA dan rapid test. Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat
tetapi membutuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan
dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5 menit.NS1 merupakan non
structure protein yang terdapat pada permukaan virus, merupakan
antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi
dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah
diterangkan sebelumnya.Menurut penemu alat rapid test untuk NS1
ini, hari ketiga merupakan puncak kadar NS1 sehingga paling
memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari
kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terdeteksi.
Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam.Pemeriksaan
NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak
dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita
juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet
merupakan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk DBD.
Perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada
DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue
tidak terjadi.
VII. DIAGNOSISBerdasarkan kriteria WHO 2011, diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9
Terdapat 3 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 2014),
yaitu:2,5,91. Dengue Fever : Demam disertai gejala tidak khas
(wajah memerah dan sakit kepala . Kadang-kadang , menggigil
menemani kenaikan suhu yang mendadak . setelah itu , mungkin ada
nyeri retro - orbital pada gerakan mata atau tekanan mata ,
fotofobia , sakit punggung , dan nyeri pada otot dan sendi /
tulang) dapat ditemui manifestasi perdarahan petekie dan atau uji
torniquet positif .Laboratorium : Leukopenia , trombositopenia
(100.000-150.000), peningkatan hematokrit ringan (10%)2. Dengue
Haemorragic Fever : Seperti DF, uji tourniquet positif (10 spot/
inchi) disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain,
terdapat pembesaran hepar.LABORATORIUM : trombositopenia sedang
hingga berat (50.000-100.000), peningkatan hematokrit 15-20% 3.
Dengue Shock Syndrome: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) dan
peningkatan tekanan diastole contoh : 100/90 atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah,
CRT > 3 menit.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium meliputi
kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). 1. Hitung jenis
sel darah putih ( WBC ) mungkin normal atau dengan neutrofil
dominan di fase awal demam . Setelah itu , ada penurunan jumlah
darah putih sel dan neutrofil , mencapai titik nadir menjelang
akhir fase demam . perubahan total jumlah sel putih ( 5000 sel /
mm3 ) dan rasio neutrofil ke limfosit ( neutrofil < limfosit )
berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma . Temuan ini
mendahului trombositopenia atau peningkatan hematokrit .
Limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit atipikal umumnya
diamati pada akhir fase demam dan dalam pemulihan . Perubahan ini
juga terlihat di DF .2. Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari
ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai
mulai hari ke 3 demam.5 Jumlah trombosit normal selama fase demam
awal . Penurunan ringan bisadiamati sesudahnya . Penurunan
tiba-tiba trombosit di bawah 100 000 terjadi pada akhir dari fase
demam sebelum timbulnya shock atau penurunan demam . Tingkat
trombosit berkorelasi dengan keparahan DBD . Selain itu ada
gangguan fungsi trombosit . Perubahan ini berlangsung singkat dan
kembali normal selama masa pemulihan .3. Hematokrit normal pada
fase demam awal . Peningkatan ringan mungkin karena demam ,
anoreksia dan muntah . Kenaikan mendadak hematokrit diamati secara
bersamaan atau segera setelah penurunan jumlah trombosit .
Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit 20 % dari baseline ,
misalnya dari hematokrit 35 % untuk 42 % merupakan bukti obyektif
dari kebocoran plasma .4. Temuan umum lainnya adalah
hypoproteinemia / albuminaemia ( sebagai konsekuensi dari kebocoran
plasma) , hiponatremia , dan tingkat serum aspartat
aminotransferase sedikit meningkat ( 200U / L ) dengan rasio AST :
ALT > 2
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan
hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan
lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji
diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi
atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang
dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang
lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh
karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode
diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif
dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi
pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11
Gambar 3. Peningkatan kadar IgM & IgG anti Dengue
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang
adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen
nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di
permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat
perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1
dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak
hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue
atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan
antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh
karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan
primer.11Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral
dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi
pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan
plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.Asites
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9
IX. PENATALAKSANAANA. Tatalaksana Rawat Jalan Pasien a.
Istirahat tirah baring yang cukup di rumah b. Minum yang cukup,
tidak harus air putih boleh seperti susu , jus buah , elektrolit
isotonik so , solusi rehidrasi oral ( oralit ) dan barley / air
beras . Waspadai overhydration pada bayi dan anak-anakc. Menjaga
suhu tubuh di bawah 39 C . Jika suhu melampaui 39 C , berikan
parasetamol . Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan
harus diberikan dalam frekuensi tidak kurang dari enam jam . Dosis
maksimum untuk orang dewasa adalah 4 gram / hari . Hindari
menggunakan terlalu banyak parasetamol , dan aspirin ,NSAID tidak
dianjurkan .d. Kompres hangat dahi , ketiak dan kaki . Mandi hangat
atau mandi direkomendasikan untuk orang dewasa. e. Segera bawa ke
rumah sakit bila terdapat tanda bahaya.
B. Tatalaksana pasien dengan DF/DHF/DSS di Rumah Sakit Protokol
pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:1. Penanganan tersangka
DBD tanpa syok (gambar 4).2. Pemberian cairan pada tersangka DBD
dewasa di ruang rawat (gambar 5).3. Penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).4. Penatalaksanaan
perdarahan spontan pada DBD dewasa 5. Tatalaksana sindroma syok
dengue pada dewasa (gambar 7)
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat5
Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit
>20%5
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama
adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya
baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai
cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang
ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.1-3Secara umum, penggunaan
kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek
samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang
singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus
(20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular
hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh
kompartemen interstisial (ekstravaskular) denganperbandingan 1:3,
sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml
yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya
terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lainmudah
tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.15,16Dibandingkan cairan
kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan
koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik
terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan7
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan
biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid
pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan,
memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan
koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti
cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang
lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi
seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik
yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal
yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan
lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas
hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah
hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi
hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan
7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal. Monitoring pada pasien Rawat
inapKondisi umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda
dan gejala lainnya. perfusi perifer dapat dilakukan sesering
diindikasikan karena merupakan indikator awal shock dan mudah dan
cepat untuk dilakukan .Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi,
frekuensi pernapasan dan tekanan darah harus diperiksa setidaknya
setiap 2-4 jam pada pasien non-shock dan 1-2 jam pada pasien shock.
Serial hematokrit harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam dalam
kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak
stabil atau mereka yang dicurigai perdarahan. Output urine (jumlah
urine) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam di kasus
rumit dan pada setiap jam pada pasien dengan mendalam syok /
berkepanjangan atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama
periode ini jumlah urin harus 0,5ml/kgbb/jam.
Kriteria untuk pemulangan pasien Tidak adanya demam selama
setidaknya 24 jam tanpa penggunaan terapi anti - demam . nafsu
makan baik . perbaikan klinis terlihat . Output urine memuaskan .
Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah pemulihan dari shock. Tidak
ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan ascites sudah tidak
ada . Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3 . Jika tidak ,
pasien dapat dianjurkan untuk menghindari kegiatan traumatis
setidaknya 1-2 minggu untuk jumlah trombosit menjadi normal. dalam
kebanyakan kasus rumit , trombosit meningkat normal dalam 3-5 hari
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-62. World Health Organization. Prevention and control
of dengue and dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines.
New Delhi, 2001.p.5-173. World Health Organization. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic FeverRevised and expanded edition ,20114. Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta, 20075. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan,
2005.p.19-346. Halstead S.B. 2008. Dengue in Tropical Medicine,
Science and Practice. Imperial College Press, London; 5:285-3067.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,
2006.p.1774-98. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan
Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-89. World
Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis,
treatment, prevention and control. Geneva, 199710. Hadinegoro SRH,
et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 200411. Sutaryo.
Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro
SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.p.32-4312. Nainggolan L. Reagen
pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue NS1
Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 200813.
Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New
York:Churchill Livingstone, 2000.p.236-714. Morgan GE, Mikhail MS,
Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:Lange
Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-415. Kaaallen A J and
Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion
status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-9416. Venu
Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock.
Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and
Critical Care 26-3317. Liolios A. Volume resuscitation: the
crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape 2004. Available
from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/48028818. Wills BA,
Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of
three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N
Engl J Med 2005; 353:8778919. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B,
Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock
syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous
fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:2041320.
Pps 2010 Interim Guidelines On Fluid Management Of Dengue Fever And
Dengue Hemorrhagic Fever.
22