Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat
ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi
DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan
jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit
ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). Berbagai
faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran
kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2.
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak
efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan4. Peningkatan sarana transportasi.Upaya pengendalian terhadap
faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus
terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada
penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian
akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang
spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi
suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami
patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara
efektif dan efisien.DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah
penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta
memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue.Gambar 1. Spektrum klinis
infeksi virus Dengue
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai
berikut (gambar 1):1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue
(dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala,
nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang
sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan
waktu yang sama.3. DBD (dengan atau tanpa renjatan) PatogenesisDua
teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory) dan hipotesis immune enhancement.
Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunderMenurut hipotesis infeksi
sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon
antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi
dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa.Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara
tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus
lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai
tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1. Demam atau riwayat demam
akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.2. Terdapat minimal 1
manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.3. Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan
standar sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20%
setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi
pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.Terdapat 4 derajat
spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:Derajat 1: Demam disertai
gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasiperdarahan adalah uji
torniquet.Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan
di kulit dan perdaran lain.Derajat 3: Didapatkan kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit
dingin dan lembab, tampak gelisah.Derajat 4: Syok berat, nadi tidak
dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Keempat derajat
tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)
Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar
hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya
dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.Pada DBD yang disertai
manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk
membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai
baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini
membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih
dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan
reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih
cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini
juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini
banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode pemeriksaan terbaru
yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
Dengue, yaitu antigennonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih
terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada
infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder
Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan
100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan
pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan
lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya
efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan
perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
USG.PenatalaksanaanPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat
suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian
terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara
hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut
secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan
gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat ataubumbu yang
mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat
diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada
protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai
berikut:1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).2.
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
5).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
(gambar 6).4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa5.
Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat===================================================================Gambar
6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit
>20%===================================================================
Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada
dewasa===================================================================
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama
adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya
baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai
cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang
ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.Secara umum, penggunaan
kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek
samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di
dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg
BB) akan menyebabkan efekpenambahan volume vaskular hanya dalam
waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen
interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga
dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat
beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah
tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.Dibandingkan cairan kristaloid,
cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah
volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan
koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik
terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan
dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan
biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada
sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan
hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain
yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah
selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti
cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan
pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang
lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi
seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik
yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal
yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan
lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas
hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah
hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi
hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan
7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.KesimpulanDemam berdarah dengue
tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan
mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera
ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai
infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue,
sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk
diagnosis yang lebih dini.Terapi cairan pada DBD diberikan dengan
tujuan substitusi kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam
terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis
cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis
maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.
PendahuluanInfeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam
akut yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus, Family
Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, DEN-3
merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus
berat, diikuti serotipe DEN-2. Setiap serotipe cukup berbeda
sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang disebabkan
beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Virus dengue
menyebabkan spektrum penyakit yang bervariasi dari infeksi yang
tidak menimbulkan gejala sampai demam ringan dan dapat menyebabkan
gejala yang lebih berat seperti demam berdarah dengue (DBD) dan
dengue syok sindrom (DSS).Viremia atau adanya virus dalam aliran
darah akan berlangsung selama 1 minggu. Pada awal penyakit akan
dibentuk imunoglobulin M (IgM) anti dengue, tetapi hanya dalam
waktu singkat. Selanjutnya akan dibentuk imunoglobulin G
(IgG).Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis,
timbul sepanjang tahun dengan ledakan epidemi hebat setiap 5 tahun.
Angka kejadian penyakit DBD masih cenderung meningkat dari tahun ke
tahun sebaliknya angka kematian telah menurun sejak tahun delapan
puluhan, akan tetapi angka kematian DBD berat/DSS masih tetap
tinggi. Meskipun penyakit DBD bersifat self limitting disease, akan
tetapi perjalanan penyakitnya sukar diramalkan sehingga pengamatan
klinik yang jeli mutlak diperlukan untuk mengenal secara dini
penyakit ini. Penderita yang diduga demam dengue atau DBD biasanya
dianjurkan melakukan pemeriksaan hematologi secara serial untuk
mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya renjatan atau
perdarahan yang lebih lanjut.Di Indonesia penderita DBD terbanyak
adalah anak berumur 5-14 tahun.DefinisiDemam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi
perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan rejatan yang dapat
menyebabkan kematian.Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam
berdarah mendadak 2-7 hari disertai dengan keluhan seperti
anoreksia, sakit kepala, nyeri otot tulng atau sendi, mual dan
muntah.Gambar 1. Perjalanan Penyakit DBDDBD pada umumnya menyerang
anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya
kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok umur
dewasa.Penegakkan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan
kriteria WHO, sekurang-kurangnya memerlukan pemeriksaan
laboratorium, yaitu pemeriksaan trombosit dan hematokrit secara
berkala. Sedangkan untuk penegakkan diagnosis laboratoris DBD
diperlukan pemeriksaan serologis (uji HI [haemaglutination
inhibition test]) atau ELISA (IgM/IgG) yang pada saat ini telah
tersedia dalam bentuk dengue rapid test (misalnya dengue rapid
strip test), PCR (polymerase chain reaction) atau isolasi
virus.
Gambar 2. Nyamuk Aedes aegyptiTable 1. Kriteria Diagnosis Klinis
DBD WHO 1986.1. KlinisGejala klinis berikut harus ada, yaitu :
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai
dengan : Uji bendung positif Petekie, ekimosis, purpura Perdarahan
mukosa, epistaksis, perdarahan gusi Hematemesis dan/atau melena
Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) Syok,
ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak
terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, Capillary Refill
Time memanjang (> 2 detik) dan pasien tampak gelisah.1.
Laboratorium Trombositopenia (100.000/L atau kurang) Adanya
kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut : Peningkatan hematokrit 20% dari nilai
standar Penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan
Efusi pleura/perikardial, ascites, hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria
laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DBD.
Gambar 3. Salah satu gejala demam berdarah adalah munculnya ruam
pada kulit
Gambar 4. Uji Torniquet PositifPemeriksaan Penunjang1.
Laboratorium Hematologi SerialNilai hematokrit biasanya mulai
meningkat pada hari ketiga dari perjalanan penyakit dan makin
meningkat sesuai dengan proses perjalanan penyakit DBD. Peningkatan
hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi
akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular disertai efusi
cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini
volume plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya
syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi.Hemokonsentrasi dengan
peningkatan hematokrit 20% atau lebih (misalnya dari 35% menjadi
42%) mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan
plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau
perdarahan.
Gambar 5. Limfosit Plasma Biru1. Foto Roentgent
Gambar 6. Foto Toraks Pasien DBD Derajat IIIDerajat
PenyakitDerajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam empat derajat
(pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi). Derajat IDemam disertai gejala tidak khas dan
satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung. Derajat
IISeperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau
perdarahan lain. Derajat IIIDidapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab,
dan anak tampak gelisah. Derajat IVSyok berat (profound shock),
nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Uji
Torniquet dinyatakan positif jika terdapat 10 atau lebih petekie
pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian
depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti).
Diagnosis BandingDemam pada fase akut mencakup spektrum infeksi
bakteri dan virus yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD
sulit dibedakan dari Morbili dan Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3-4,
kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala klinis
lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hepar menjadi
nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada
DBD dengan sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan
hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti
tipe dan lama demam dapat membantu.TatalaksanaPada dasarnya
pengobatan penderita DHF/DSS bersifat simtomatik dan suportif.
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi
secara dini fase kritis, yaitu saat suhu tubuh turun (the time of
defervescene) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak
pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma yang dapat
diketahui dengan dari peningkatan kadar hematokrit dan penurunan
jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari sakit
ke tiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/L atau 1-2
trombosit/LBP terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum
terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% mencerminkan
perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan.
Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat
diberikan larutan garam isotonic atau Ringer Laktat, yang kemudian
dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I
dan II, cairan intravena dapat diberikan selama 12-24 jam.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/L.Secara
umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, Rumah
Sakit tipe D, C dan ruang rawat sehari di Rumah Sakit B dan A.1.
Tatalaksana Kasus Tersangka DBD
Gambar 7. Tatalaksana Kasus Tersangka DBD1. Tatalaksana DBD
tanpa Renjatan
Gambar 8. Tatalaksana Kasus DBD Derajat 1 dan Derajat II
Gambar 9. Tatalaksana Kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hemokonsentrasi 20%2. Tatalaksana DBD dengan Syok Perlakukan hal
ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara
nasal. Berikan 20 mL/kgBB larutan kristaloid seperti Ringer
Laktat/Asetat secepatnya Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis,
ulangi pemberian kristaloid 20 mL/kgBB secepatnya (maksimal 30
menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 mL/kgBB/jam
maksimum 30 mL/kgBB/24 jam. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi
hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya
perdarahan tersembunyi, berikan transfusi darah/komponen. Dalam
banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang
terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.
Gambar 10. Tatalaksana Sindrom Syok DenguePrognosisPenyebab
kematian penderita DBD adalah :1. Overhidrasi2. Perdarahan pada
DBD3. DBD Ensefalopati4. Prolong ShockTable 2. Kriteria Memulangkan
Pasien Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik Nafsu makan
membaik Tampak perbaikan secara klinis Hematokrit stabil Tiga hari
setelah syok teratasi Jumlah trombosit > 50.000/ L Tidak
dijumpai distress pernafasan (akibat efusi pleura atau
asidosis)