Jurnal Agro 5(1), 2018
ISSN : 2407-7933 13
Cyte this as: Firmansyah, E. (2018). Perubahan morfologis dan anatomis kelapa sawit pada rezim air dan salinitas berbeda. Jurnal Agro, 5(1), 13-29 https://doi.org/10.15575/1963
PERUBAHAN MORFOLOGIS DAN ANATOMIS KELAPA SAWIT PADA REZIM AIR DAN SALINITAS BERBEDA
PALM OIL MORPHOLOGICAL AND ANATOMICAL CHANGES UNDER DIFFERENT WATER
REGIME AND SALINITY LEVEL
Erick Firmansyah
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Stiper Yogyakarta
Korespondensi: [email protected]
Diterima 15 Januari 2018 / Disetujui 21 Juni 2018
ABSTRAK
Salinitas tinggi dan genangan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang sama; meskipun demikian pemahaman terhadap pengaruh kedua kondisi tersebut terhadap pertumbuhan, respon morfologis, dan anatomis kelapa sawit masih sedikit. Telah dilakukan penelitian dengan mengkombinasikan 2 aras salinitas (non salin dan salin) dan tiga taraf genangan (tanpa genangan, interval genangan 2 minggu, dan interval genangan 4 minggu). Penelitian dilakukan dalam pot selama 4 bulan dengan bahan tanam kelapa sawit berumur 4 bulan. Parameter pertumbuhan dianalisis dengan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada jenjang nyata 5%. Pengamatan visual secara langsung dan pembuatan preparat melintang akar dilakukan untuk mengetahui perubahan morfologi dan anatomi tanaman. Hasil analisis menunjukkan salinitas tinggi dan genangan konsisten menurunkan parameter pertumbuhan kelapa sawit. Salinitas tinggi dan genangan tidak secara konsisten mengubah rasio luas masing-masing jaringan penyusun akar primer, sekunder, dan tersier. Kelapa sawit membentuk pneumatophore dan saluran aerenkima pada kondisi genangan, baik non salin maupun salin. Mekanisme adaptasi terhadap genangan tersebut dapat menurunkan pengaruh negatif cekaman salinitas tinggi. Kata kunci: Abiotik, Cekaman, Genangan, Kelapa Sawit, Salin.
ABSTRACT
High salinity and waterlogging can occur at the same place and time; however, the effects of these two conditions on growth, morphological, and anatomical responses of oil palm was not fully understood. A research had been done by combining two levels of salinity (non saline and saline) and three levels of waterlogging (without waterlogging, two-week waterlogging intervals, and four-week waterlogging intervals). The study was conducted in pots for 4 months used 4 months old oil palm planting material. The growth parameters were analyzed by analysis variance continued by Duncan multiple-range test at 5% level of convidence. The morphological and anatomical changes of plants were observed trought direct observation and root cross section. The results showed that high salinity and waterlogging consistently decreased the oil palm growth parameter. High salinity and waterlogging did not consistently
http://u.lipi.go.id/1420007824
Jurnal Agro 5(1), 2018
14
change the ratio of the area of each primary, secondary, and tertiary root tissue. Palm oil formed pneumatophores and aerenchyma under both non saline and saline waterlogging. Adaptation mechanisms to these waterlogging could reduce the negative effects of high salinity stress. Key words : Abiotic, Oil Palm, Saline, Stress, Waterlogging.
PENDAHULUAN
Perubahan iklim, lingkungan budidaya
yang tidak sesuai, dan praktek pertanian
yang salah dapat menyebabkan kelapa
sawit menghadapi berbagai macam kondisi
lingkungan yang tidak ideal. Salinitas tinggi
dan genangan merupakan dua dari sekian
banyak kondisi lingkungan yang semakin
sering dialami oleh kelapa sawit.
Genangan pada zona perakaran
merupakan salah satu cekaman lingkungan
utama yang dihadapi oleh kelapa sawit di
lahan budidaya (Koon & Kun, 2006). Air
yang menggenangi perakaran memiliki
salinitas beragam, bahkan pada beberapa
kondisi memiliki salinitas tinggi, terutama
lahan yang masih dipengaruhi pasang surut
air laut melalui badan – badan air / sungai.
Salinitas tinggi juga dapat terjadi akibat
pelarutan deposit garam di tanah, antara
lain Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan Cl– (Kim et al.,
2016; Machado & Serralheiro, 2017).
Salinitas tanah, khususnya yang
disebabkan oleh NaCl merupakan salah satu
cekaman abiotik terkait tanah yang paling
luas di dunia (Golldack et al., 2014; Lauchli
& Grattan, 2007; Negrao et al., 2017).
Beberapa efek negatif dari salinitas antara
lain penurunan pertumbuhan (Batool et al.,
2014; Machado & Serralheiro, 2017; Hanin
et al., 2016), menekan perluasan daun yang
kemudian akan menurunkan laju
fotosintesis dan produksi biomassa
tanaman (Magdy & Mansour, 2016).
Tumbuhan yang toleran terhadap kadar
NaCl menerapkan serangkaian adaptasi
untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas
tinggi, termasuk perubahan morfologis,
fisiologis dan biokimia (Acosta-Motos et al.,
2017). Efek berbahaya dari salinitas dapat
bervariasi tergantung pada kondisi iklim,
intensitas cahaya, spesies tanaman ataupun
kondisi tanah (Tang et al., 2015).
Genangan adalah kondisi ketika tanah
mengalami saturasi dan terdapat lapisan air
di permukaan tanah (El-Nashar, 2013).
Secara alami, genangan dapat terjadi
bersamaan atau setelah banjir, namun pada
berbagai area terjadinya genangan tidak
berhubungan langsung dengan banjir.
Genangan dapat terjadi melalui naiknya
permukaan air tanah akibat intrusi dari
badan – badan air di sekitarnya seperti
sungai, danau, dan laut. Berbeda dengan
banjir, air pada kondisi genangan relatif
tenang dan tidak bergerak secara
horizontal. Tanah dikatakan mengalami
genangan bila
Jurnal Agro 5(1), 2018
15
berupa gas (etilen) juga mengalami
akumulasi di perakaran tanaman karena
tidak dapat dilepaskan ke rizosfer (Salazar et
al., 2015; Voesenek & Bailey-Serres, 2015).
Kondisi hipoksia pada rizosfer tidak hanya
menyebabkan cekaman pada sistem
perakaran karena hilangnya kemampuan
untuk menyerap O2, air, dan nutrisi, namun
juga dapat menarik O2 keluar dari jaringan
akar akibat perbedaan konsentrasi (Kim et
al., 2016). Efek negatif yang disebabkan
oleh genangan tergantung dari beberapa
faktor, antara lain suhu, bahan organik,
salinitas, keasaman tanah, dan fase
pertumbuhan tanaman (Lauchli & Grattan,
2007; Negrao et al., 2017).
Salinitas tinggi dan genangan pada lahan
kelapa sawit dapat terjadi pada tempat dan
waktu yang sama. Sumber genangan yang
berasal dari intrusi air laut atau pelarutan
deposit garam pada tanah merupakan
sumber salinisasi genangan. Interaksi antara
salinitas tinggi dan genangan terhadap
pertumbuhan kelapa sawit belum banyak
diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui interaksi antara salinitas tinggi
dan genangan terhadap pertumbuhan,
perubahan morfologis, dan anatomis kelapa
sawit.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret – September 2017 di dalam rumah
kawat yang beratap plastik yang berlokasi di
Kebun Penelitian dan Percobaan (KP2)
Institut Pertanian Stiper Yogyakarta pada
ketinggian 118 m di atas permukaan laut
(dpl), dengan suhu rata-rata 31oC dan
kelembapan nisbi (Relative Humidity, RH)
70%.
Kecambah kelapa sawit DxP Simalungun
yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS) Medan ditanam di polybag
selama 4 bulan. Kelapa sawit berumur 4
bulan yang memiliki performa visual
pertumbuhan yang seragam digunakan
sebagai bahan penelitian.
Penelitian ini menggunakan rancangan
acak lengkap faktorial. Faktor pertama
adalah tingkat salinitas, terdiri dari 2 aras;
non salin (0,3 dS m-1) dan salin (4,9 dS m-1).
Faktor kedua adalah genangan terdiri dari
tiga aras; tanpa genangan, interval
genangan 2 minggu (berselang seling 2
minggu tergenang dan 2 minggu tidak
tergenang), dan interval genangan 4 minggu
(berselang seling 4 minggu tergenang dan 2
minggu tidak tergenang). Masing-masing
kombinasi dari kedua faktor tersebut
diulang lima kali sehingga diperoleh 30
satuan percobaan. Penelitian diakhiri
setelah tanaman mengalami perlakuan
selama 4 bulan (tanaman berumur 8 bulan).
Bibit berumur 4 bulan di pembibitan
awal (pre nursery) yang memiliki
keseragaman performa visual (jumlah daun
11+1 helai tinggi tanaman 55+4 cm)
dipindahkan ke media tanam baru pada
polybag kapasitas 0,075 m3. Tanah yang
digunakan sebagai media tanam adalah
Regosol. Hasil analisis terhadap sifat fisika,
kimia, dan biologi media tanam disajikan
pada Tabel 1.
Perlakuan dimulai 2 minggu sejak pindah
tanam selama 4 bulan. Pelaksanaan masing
– masing faktor adalah sebagai berikut:
- Non salin: daya hantar listrik (electric
conductivity, EC) larutan dijaga pada nilai
0,3+0,2 dS m-1.
- Salin: media tanam disiram dengan
larutan NaCl yang memiliki daya hantar
listrik 4,9+0,2 dS m-1.
Jurnal Agro 5(1), 2018
16
- Tanpa genangan: kandungan air media
tanam dijaga pada kapasitas lapang (field
capacity).
- Genangan: polybag diletakkan pada
ember dan digenangi air sesuai tingkat
salinitas yang diujikan hingga ketinggian
10 cm di atas permukaan media tanam
(Gambar 1)
Tabel 1 Sifat fisika dan kimia Regosol yang digunakan sebagai media tanam
Parameter Nilai Deskripsi
Sifat fisika
- Tekstur (Lempung berpasir) Pasir (%) Debu (%) Lempung (%)
- Porositas (%) - Kandungan air (%)
Asli Diameter 0,5 mm diameter 2 mm
61,10 23,23 15,67 37,91
15,37
0,61 0,84
Sifat kimia
KPK (me 100 g-1) Bahan organik (%) C-Organik (%) pH H2O N-tersedia (ppm) EC larutan (dS m-1)
6,34 1,74 0,97 6,59 80,9
0,26
Rendah Rendah Rendah Netral Sangat rendah Rendah
Pertumbuhan vegetatif diukur dengan
melakukan pengamatan pada berat segar
akar dan tajuk; berat kering akar dan tajuk;
luas daun; luas, volume, dan panjang total
akar. Analisis anatomi dilakukan dengan
membuat potongan melintang pada akar
primer, sekunder, dan tersier menggunakan
mikrotom YD-202A (Karya Mitra Mulia,
Indonesia) dengan ketebalan 10 µm.
Preparat diamati menggunakan
mikroskop perbesaran 100 dan 400 kali,
kemudian gambar ditangkap menggunakan
OptiLab Advance (Optilab LLC., Phoenix).
Dilakukan pengamatan terhadap luas
jaringan epidermis, korteks, endodermis,
dan stele akar primer, sekunder, dan tersier
menggunakan perangkat lunak Digam ver.
1.0 dan Micam ver. 2.0.
Gambar 1. Perlakuan genangan pada media
tanam
Berat segar masing-masing bagian
tanaman diukur menggunakan neraca
analitik pada tingkat ketelitian 1 mg. Berat
kering diukur dengan terlebih dahulu
mengeringkan bagian tanaman
menggunakan oven pada suhu 70 oC hingga
mencapai berat konstan. Luas daun dan
akar dan panjang total akar diukur
menggunakan area meter sebelum
dikeringkan. Volume akar diukur dengan
mencelupkan akar dalam gelas ukur dan
menghitung selisih ketinggian airnya.
Data pengamatan dianalisis sidik ragam
(analysis of variance, Anova) dan uji jarak
berganda Duncan (Duncan’s Multiple range
test, DMRT) pada jenjang nyata 5 %
(P≤0,05) menggunakan perangkat lunak
statistik IBM® SPSS® Statistic v. 23 (IBM
Corporation, Chicago, IL).
Jurnal Agro 5(1), 2018
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan vegetatif
Salinitas tinggi menurunkan semua
parameter pertumbuhan kelapa sawit yang
diamati, baik pertumbuhan tajuk (Tabel 2)
maupun akar (Tabel 3). Genangan 2 minggu
memberikan pengaruh negatif terendah,
diikuti genangan 4 minggu dan tanpa
genangan. Genangan non salin 2 minggu
tidak berpengaruh nyata terhadap berat
segar akar, panjang akar, dan luas daun,
sementara durasi genangan 4 minggu
menurunkan semua parameter
pertumbuhan tajuk dan pertumbuhan akar
tanaman yang diamati. Akumulasi fotosintat
yang ditunjukkan melalui pengamatan
terhadap berat kering total (akar + tajuk)
pada kondisi genangan non salin 2 minggu,
4 minggu, salinitas tinggi tanpa genangan,
genangan salin 2 minggu, dan genangan
salin 4 minggu mengalami penurunan
masing – masing sebesar 19%, 65%, 137%,
146%, dan 130% dibandingkan perlakuan
non salin tanpa genangan.
Tabel 2. Pertumbuhan tajuk kelapa sawit
Perlakuan
Parameter pertumbuhan
Luas daun (cm2) Berat segar
tajuk (g) Berat kering
tajuk (g)
Non salin Tidak tergenang 6,533 a 155 a 34 a
Genangan 2 minggu 6,093 a 123 b 27 b
Genangan 4 minggu 5,095 b 96 c 15 c
Salin Tidak tergenang 2,851 d 43 e 10 c
Genangan 2 minggu 4,447 bc 70 d 15 c
Genangan 4 minggu 3,851 c 58 de 10 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Kelapa sawit mampu beradaptasi pada
kondisi muka air tanah yang tinggi, namun tidak toleran terhadap genangan terus menerus (Rivera-Mendes et al., 2016). Kelapa sawit memiliki toleransi lebih lama ketika berada pada genangan air yang mengalir dibandingkan air yang stagnan (Koon & Kun, 2006). Genangan non salin selama dua minggu diduga masih berada pada kisaran toleransi kelapa sawit, dibuktikan dengan tidak berubahnya beberapa parameter pertumbuhan penting secara signifikan, seperti luas daun dan panjang akar. Nisbah akar tajuk juga tidak mengalami perubahan signifikan pada genangan dua minggu. Penurunan yang signifikan pada seluruh parameter pertumbuhan terjadi pada durasi genangan empat minggu (Tabel 2).
Perbedaan salinitas memberikan selisih
pertumbuhan vegetatif lebih besar
dibandingkan durasi genangan. Penurunan
pertumbuhan tertinggi yang ditunjukkan
oleh akumulasi berat kering akar dan tajuk
terjadi pada perlakuan salin tanpa genangan
yaitu 59,73%, diikuti genangan salin 4
minggu (48,94%), genangan salin 2 minggu
(40,25%), genangan non salin 4 minggu
(34,38%), dan genangan non salin 2 minggu
(14,36%) dibandingkan kontrol (non salin
tanpa genangan).
Penurunan pertumbuhan yang
dicerminkan melalui rendahnya akumulasi
biomassa pada kondisi salin di semua rezim
air dibandingkan kontrol (non salin tanpa
genangan) menunjukkan bahwa tanaman
Jurnal Agro 5(1), 2018
18
mengalami cekaman (Tabel 2 dan Tabel 3).
Masuknya ion natrium dan klorida ke tubuh
tanaman melalui mekanisme pasif (aliran
massa) dan aktif (pompa ion Na+/K+)
(Fakhrfeshani et al., 2015). Endodermis
berperang penting dalam mengatur
transpor ion secara radial dari larutan tanah
menuju xilem akar, hal ini karena pita
caspari bersifat impermeable sehingga
mencegah terjadinya pergerakan larutan
secara apoplastik (Chen et al., 2011).
Daun adalah organ fotosintesis utama
pada sebagian besar tanaman, termasuk
kelapa sawit. Karbohidrat yang dibentuk
selama fotosintesis merupakan sumber
energi utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Genangan non
salin selama 2 minggu tidak berpengaruh
nyata terhadap luas daun (Tabel 2). Luas
daun pada seluruh kombinasi salinitas dan
genangan mengalami penurunan dibanding
kontrol (non salin tanpa genangan).
Pengaruh kerusakan daun, kegagalan
penyerapan air dan nutrisi yang cukup,
serta penutupan stomata berkontribusi
langsung terhadap rendahnya akumulasi
fotosintat pada kondisi salin (Firmansyah et
al., 2016; 2017). Secara visual, kerusakan ini
umumnya ditandai dengan terbakarnya
ujung dan tepi daun, klorosis (daun
menguning), nekrosis, dan kerontokan dini
daun (Jaleel et al., 2009). Tingkat keparahan
yang ditimbulkan oleh salinitas tinggi
berbeda pada berbagai rezim air.
Salinitas tinggi tanpa genangan
mengalami penurunan luas daun terbesar
yaitu 56,4%, diikuti genangan salin 4 minggu
(41,0%), genangan salin 2 minggu (31,9%),
genangan non salin 4 minggu (22,0%), dan
genangan non salin 2 minggu (6,7%).
Penurunan akumulasi biomassa yang
merupakan produk dari fotosintesis yang
digambarkan dengan berat kering akar dan
tajuk sangat dipengaruhi oleh luas daun,
masing – masing sebesar 76,7% dan 70,4%.
Salinitas tinggi menyebabkan kerusakan
pigmen fotosintesis pada daun, ditunjukkan
warna daun berubah dari hijau menjadi
hitam dan rapuh (Jaleel et al., 2009).
Pengaruh toksin dari sodium dan klorida
merupakan penyebab kerusakan daun,
dimana kedua unsur tersebut menyebabkan
disintegrasi membran sel (Lauchli &
Grattan, 2007; Jamil et al., 2012; Negrao et
al., 2017).
Tabel 3. Pertumbuhan akar kelapa sawit
Perlakuan
Parameter pertumbuhan
Berat segar akar (g)
Berat kering
akar (g)
Luas akar (cm2)
Volume akar (cm3)
Panjang total akar (cm)
Non salin Tidak tergenang 65 a 21 a 11,564 a 77 a 2,932 a
Genangan 2 minggu 56 a 18 b 10,324 b 63 b 2,642 a
Genangan 4 minggu 44 b 11 cd 9,154 c 48 cd 2,326 ab
Salin Tidak tergenang 18 d 9 e 6,921 e 38 d 1,220 c
Genangan 2 minggu 34 bc 12 c 8,668 cd 54 bc 1,939 b
Genangan 4 minggu 27 cd 10 de 7,987de 52 bc 1,669 bc
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Jurnal Agro 5(1), 2018
19
Salinitas tinggi menurunkan penyerapan
air dan nutrisi, antara lain kalsium dan
kalium. Salah satu fungsi kalsium adalah
mempertahankan integritas membran
(Jamil et al., 2012). Penurunan serapan
kalsium disebabkan meningkatnya rasio
Na+/Ca2+, yang juga berkontribusi
menurunkan pertumbuhan akar (Munns,
2002; Firmansyah et al., 2016; Machado &
Serralheiro, 2017). Konsentrasi K+ pada
jaringan tanaman terbukti mengalami
penurunan ketika terpapar oleh cekaman
salin (Morales et al., 2012). Rendahnya K+
merupakan akibat dari hambatan
penyerapannya oleh tingginya Na+ (Gupta &
Huang, 2014; Fakhrfeshani et al., 2015).
Natrium menyebabkan penurunan jumlah
pigmen fotosintesis akibat rendahnya
pembentukan dan kerusakan klorofil.
Kandungan klorofil pada tanaman yang
mengalami cekaman salin merupakan fungsi
dari kandungan natrium daun. Penurunan
kandungan klorofil disebabkan oleh
peningkatan aktivitas enzim chlorophyllase
(Jaleel et al., 2009).
Tantangan yang dihadapi tanaman pada
kondisi salin adalah tanaman harus tetap
menyerap nutrisi dan mencegah masuknya
ion toksin, sementara potensial air lebih
rendah dari kondisi non salin (Li et al., 2015;
Duarte & Souza, 2016; Foster & Miklavcic,
2017). Efek cekaman yang ditimbulkan oleh
salinitas tinggi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu efek jangka pendek dan jangka
panjang (Jouyban, 2012). Efek jangka
pendek melibatkan penurunan
pertumbuhan tajuk (Tabel 2), diduga akibat
respon akar terhadap defisit air. Efek jangka
panjang terjadi dalam hitungan beberapa
minggu paparan yang menyebabkan
penyerapan dan penumpukan ion garam
pada organ tanaman terutama pada akar
dan daun.
Durasi genangan non salin yang berbeda
tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pemanjangan akar, namun kondisi
salin menyebabkan penurunan panjang
akar, terutama pada perlakuan tanpa
genangan. Hasil ini tidak berkorelasi positif
dengan luas akar dan volume akar, dimana
genangan non salin menyebabkan
penurunan yang signifikan terhadap kedua
parameter tersebut meskipun genangan
salin selama 2 dan 4 minggu tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata.
Pada kondisi non salin, genangan dua
minggu tidak memberikan pengaruh negatif
yang berarti terhadap panjang akar (Tabel
2) dan luas daun (Tabel 3), namun telah
menyebabkan penurunan akumulasi
fotosintat. Kelapa sawit memiliki toleransi
terhadap genangan dalam jangka waktu
terbatas (Rivera-Mendes et al., 2016).
Genangan yang lebih lama dari toleransi
menyebabkan cekaman terhadap kelapa
sawit. Gejala pertama muncul pada daun,
antara lain busuk disepanjang tulang daun
dan pembusukan di pangkal pelepah.
Adapun pada kondisi salin, genangan
konsisten menurunkan semua parameter
pertumbuhan.
Genangan merupakan kondisi dimana
jumlah air berlebih pada zona perakaran
menyebabkan hambatan pertukaran gas
dengan atmosfer (Jamil et al., 2012) . Secara
umum difusi gas pada kondisi tergenang
10.000 kali lebih lambat dibandingkan di
udara (Rivera-Mendes et al., 2016).
Genangan menyebabkan berbagai pengaruh
sekunder seperti perubahan elektrokimia,
akumulasi pemecahan produk dari bahan
organik sebagaimana telah dibahas oleh
Ponnamperuma (1972).
Rendahnya kandungan O2 memicu efek
negatif dari genangan terhadap
pertumbuhan tanaman. Genangan dengan
Jurnal Agro 5(1), 2018
20
tingkat salinitas berbeda memiliki tingkat
pertumbuhan yang berbeda. Peningkatan
salinitas di semua rezim air diikuti
penurunan semua parameter pertumbuhan.
Durasi genangan yang sama pada kondisi
salin memberikan pertumbuhan yang lebih
rendah dibandingkan non salin. Genangan
mengurangi penyerapan nutrisi yang
berujung pada perbedaan konsentrasi
nutrisi di bagian tanaman yang berbeda
(Jamil et al., 2012). Defisiensi oksigen
menyebabkan penurunan selektivitas
penyerapan Na+/K+ yang menekan transport
K+ menuju tajuk (Fakhrfeshani et al., 2015).
Meskipun demikian, menurut beberapa
literatur (Koon & Kun, 2006; Henson et al.,
2008; Jamil et al., 2012; Rivera-Mendes et
al., 2016) pengaruh negatif genangan yang
terkait nutrisi bukan merupakan akibat
toksisitas ion Na+, tetapi akibat dari
menurunnya konsentrasi N, P, K, Ca, dan
Mg.
Perubahan morfologis dan anatomis akar
Perbedaan pengurangan pertumbuhan
tanaman pada tingkat salinitas dan rezim air
yang berbeda merupakan dampak beberapa
penyesuaian morfologis dan anatomis.
Analisis terhadap parameter pertumbuhan
kelapa sawit menunjukkan adanya
hubungan sinergis kompensatif antara
salinitas tinggi dan genangan pada durasi
tertentu. Salinitas tinggi yang diikuti dengan
genangan terbukti menurunkan efek negatif
yang disebabkan oleh Na+ dan Cl–.
Pada kondisi salin, genangan empat
minggu memberikan pertumbuhan yang
tidak berbeda nyata dengan genangan dua
minggu, ditunjukkan dengan berat kering
tajuk (Tabel 2) dan berat kering akar (Tabel
3). Dapat diduga bahwa genangan dua dan
empat minggu secara langsung atau tidak
langsung menekan pengaruh negatif
salinitas tinggi. Hal ini berbeda dengan
temuan Parent et al. (2008) yang
menyatakan bahwa genangan
meningkatkan penyerapan garam pada
kondisi salin. Meskipun demikian, Shannon
(1997) menyatakan bahwa tanggapan
tanaman terhadap kondisi salin dapat
berbeda pada rezim air yang berbeda.
Morfologis akar
Perubahan jumlah dan tingkat salinitas
air dalam media tanam memberikan
pengaruh yang besar terhadap fisiologis,
morfologis, dan anatomis akar kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan tanaman yang
memiliki toleransi terhadap genangan pada
jangka waktu tertentu (Corley & Tinker,
2015). Kelapa sawit mengembangkan
perakaran epigeal yang tumbuh melawan
gravitasi (negative geotropism), disebut
pneumatophore. Akar ini tumbuh
memanjang hingga mencapai permukaan
air dan pertumbuhannya terhenti ketika
telah mencapai ketinggian +1 cm dari
permukaan air (Gambar 2).
Pneumatophore terbentuk pada
tanaman yang mengalami genangan lebih
dari 10 hari. Perubahan morfologis akar ini
merupakan mekanisme adaptasi terhadap
kondisi hipoksia pada perakaran (Corley &
Tinker, 2015), Genangan non salin yang
hanya menghadapi cekaman tunggal
mampu mengembangkan pneumatophore
lebih dahulu dibandingkan genangan salin,
yang menghadapi cekaman ganda.
Kompleksitas cekaman yang dihadapi suatu
tanaman mempengaruhi alokasi energi yang
digunakannya untuk menghadapi cekaman
tersebut (Jenks & Hasegawa, 2007).
Pneumatophore mulai muncul setelah
tanaman mengalami rendaman selama 10-
15 hari. Waktu munculnya pneumatophore
berbeda antara perlakuan genangan non
Jurnal Agro 5(1), 2018
21
salin dan salin. Genangan salin
menyebabkan tanaman membentuk
pneumatophore 3-4 hari lebih cepat
dibandingkan dengan genangan non salin.
Pada akhir penelitian diketahui bahwa
tanaman yang mengalami durasi genangan
dan tingkat salinitas berbeda membentuk
pneumatophore dengan jumlah yang tidak
sama. Kelapa sawit yang berada pada
kondisi tergenang membentuk 14 – 60
pneumatophore. Tanaman yang mengalami
genangan 4 minggu memiliki
pneumatophore yang lebih banyak
dibandingkan tanaman yang mengalami
genangan 2 minggu. Pneumatophore pada
tanaman yang mengalami genangan salin
lebih sedikit dibandingkan genangan non
salin. Jumlah Pneumatophore yang paling
sedikit terbentuk pada genangan salin 2
minggu, sementara yang terbanyak pada
genangan non salin selama 4 minggu.
Genangan salin menyebabkan
pneumatophore yang sedang tumbuh
mengalami pencoklatan (browning) yang
diikuti oleh kerusakan atau kematian akar.
Pneumatophore yang terpapar udara bebas
ketika dilakukan pengatusan air
menunjukkan perubahan warna dari putih
menjadi kuning kecoklatan. Pneumatophore
ini bertahan hingga tanaman mengalami
genangan pada interval berikutnya, namun
warnanya tidak kembali menjadi putih
sebagaimana pada genangan interval
sebelumnya.
Pneumatophore yang mampu mencapai
permukaan air memiliki panjang bervariasi
antara 1 – 12 cm, bergantung pada letak
tumbuhnya. Struktur akar yang khas ini
muncul dari akar primer pada jarak < 0,1 –
15 cm dari pangkal batang, sehingga dapat
disebut sebagai modifikasi akar sekunder.
Gambar 2. Kemunculan pneumatophore kelapa sawit yang tumbuh pada kondisi tergenang; a.
kemunculan awal pneumatophore pada hari ke-10 pasca genangan diawali dari pangkal batang; b. Pneumatophore yang tumbuh pada kondisi genangan salin menunjukkan terjadinya pencoklatan (browning); c. pengatusan air genangan menunjukkan arah pertumbuhan pneumatophore yang geotropism negatif.
Secara visual pneumatophore berada
pada jarak kurang dari 15 cm dari batang
kelapa sawit. Pneumatophore kelapa sawit
memiliki percabangan (akar tersier) yang
dominan berada pada bagian pangkal akar
(
Jurnal Agro 5(1), 2018
22
akar primer (Gambar 3). Pneumatophore
membentuk struktur aerenkima yang
merupakan modifikasi korteks akar.
Laju difusi oksigen di air lebih rendah 10-5
kali dibandingkan di udara (Wegner, 2010).
Rendahnya konsentrasi oksigen ini
menyebabkan kerusakan pada ujung akar
yang telah berkembang sebelum terjadinya
genangan, dan menekan pertumbuhan akar
baru. Dampak kondisi ini adalah
terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan. Pada tanaman yang tidak
toleran, jika kondisi tersebut berlanjut
dalam durasi lama maka akan menyebabkan
kematian.
Terbentuknya pneumatophore pada
kondisi genangan memungkinkan kelapa
sawit memperoleh pasokan oksigen tidak
hanya melalui stomata yang ada pada daun
dan pelepah namun juga melalui lentisel
(Jackson & Colmer, 2005). Lentisel
pneumatophore terletak pada ujung akar
yang muncul di permukaan air, dimana
pada bagian ini dinding sel akar mempunyai
lapisan suberin dan terus menyebar ke arah
pangkal pneumatophore yang memiliki lebih
sedikit lapisan suberin (Rivera-Mendes et
al., 2016).
Berbeda dengan stomata yang memiliki
mekanisme buka-tutup menyesuaikan
dengan status air internal tananam, lentisel
bersifat pasif dan selalu dapat dilalui oleh
O2. Masuknya oksigen melalui lentisel
dikendalikan oleh gradien konsentrasi O2
internal dan eksternal tanaman (Wegner,
2010). Oksigen yang masuk melalui lentisel
diduga dapat mengkompensasi penurunan
suplai oksigen melalui stomata. Suplai
oksigen melalui pneumatophore dapat
segera terdistribusi menuju seluruh bagian
tanaman terutama akar karena jaraknya
yang dekat dengan akar utama sawit
mengingat pneumatophore tumbuh pada
lokasi sebagaimana akar sekunder.
Anatomis Akar
Pengukuran terhadap luas jaringan
epidermis, korteks, endodermis, dan stele
terhadap akar primer (Tabel 4), sekunder
(Tabel 5), dan tersier (Tabel 6) menunjukkan
adanya perubahan struktur dan luas
masing-masing jaringan tersebut pada rezim
air dan salinitas yang berbeda. Luas jaringan
korteks, endodermis, dan stele mengalami
tekanan terbesar pada perlakuan salinitas
tinggi tanpa genangan, sementara luas
jaringan epidermis mengalami tekanan
terbesar pada genangan non salin 4 minggu.
Pada durasi genangan 2 dan 4 minggu,
kondisi salin menyebabkan kelapa sawit
memiliki epidermis akar primer, sekunder,
dan tersier yang lebih luas masing-masing
2%, 18%, dan 13% dibandingkan non salin.
Salinitas tinggi pada genangan 2 dan 4
minggu juga menyebabkan penurunan luas
korteks, endodermis, dan stele pada semua
tipe akar antara 14,5 – 49,6%. Stele
mengalami penurunan terbesar, diikuti
endodermis dan korteks dibandingkan non
salin, kecuali luas stele akar tersier.
Genangan pada semua tingkat salinitas
menyebabkan penurunan luas epidermis
pada semua tipe akar, baik pada rendaman
2 minggu maupun 4 minggu dibandingkan
tanpa genangan. Luas epidermis akar
primer, sekunder, dan tersier masing –
masing mengalami penurunan 7,75%,
14,70%, dan 6,83% pada durasi genangan 2
minggu dibandingkan tanpa genangan.
Genangan 4 minggu menurunkan luas
epidermis akar primer, sekunder, dan
tersier masing – masing 12,36%, 21,52%,
dan 19,63% dibandingkan tanpa genangan.
Genangan 2 minggu meningkatkan luas
korteks, endodermis, dan stele akar primer
Jurnal Agro 5(1), 2018
23
dan sekunder antara 0,4 – 12,6%. Genangan
4 minggu menurunkan luas korteks,
endodermis, dan stele seluruh tipe akar
dengan besar penurunan antara 1,47 –
31,88% dibandingkan tanpa genangan.
Tabel 4. Anatomis akar primer kelapa sawit
Perlakuan Luas (µm)
Epidermis Korteks Endodermis Stele
Non salin Tidak tergenang 2.665 b 11.546 a 5.442 a 9.118 a
Genangan 2 minggu 2.598 b 11.189 ab 5.061 a 9.014 a
Genangan 4 minggu 2.282 d 10.317 bc 4.401 b 5.571 bc
Salin Tidak tergenang 2.772 a 8.235 e 3.208 c 5.297 c
Genangan 2 minggu 2.448 c 9.395 cd 4.389 b 6.170 b
Genangan 4 minggu 2.483 c 8.884 de 3.951 c 5.525 bc
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Tabel 5. Anatomis akar sekunder kelapa sawit
Perlakuan Luas (µm)
Epidermis Korteks Endodermis Stele
Non salin Tidak tergenang 1.975 a 5.032 a 789 a 490 a
Genangan 2 minggu 1.875 a 4.838 a 711 b 470 a
Genangan 4 minggu 1.573 a 4.778 a 658 b 238 c
Salin Tidak tergenang 2.574 a 3.511 a 447 e 222 c
Genangan 2 minggu 2.091 a 3.735 a 588 c 332 b
Genangan 4 minggu 1.997 a 4.010 a 528 d 247 c
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Tabel 6. Anatomis akar tersier kelapa sawit
Perlakuan Luas (µm)
Epidermis Korteks Endodermis Stele
Non salin Tidak tergenang 966 a 2.030 a 79 a 59 a
Genangan 2 minggu 880 a 1.930 ab 76 a 54 a
Genangan 4 minggu 768 a 1.803 bc 65 b 46 a
Salin Tidak tergenang 1.067 a 1.587 e 43 d 84 a
Genangan 2 minggu 1.023 a 1.684 de 57 c 71 a
Genangan 4 minggu 866 a 1.761 c 52 c 61 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada
tingkat kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan
Jurnal Agro 5(1), 2018
24
Pada kondisi tergenang, epidermis
tanaman akan mengalami penebalan
internal sehingga mencegah lepasnya O2 ke
lingkungan rizosfer, lebih lanjut penghalang
ini dapat menghambat masuknya ion dan
gas toksin ke akar (Nishiuchi et al., 2012).
Adanya suberin sebagai penghalang
tambahan di permukaan luar korteks itu
memiliki peran tambahan antara lain bisa
melindungi tanaman dari ion toksin seperti
Na+ dan Cl– serta fitotoksin yang dihasilkan
oleh mikroorganisme di sekitar akar
(Voesenek & Bailey-Serres, 2015).
Pengamatan terhadap potongan
melintang menunjukkan bahwa terjadi
perubahan struktur akar primer, sekunder,
dan tersier kelapa sawit pada kondisi
genangan baik non salin maupun salin
(Gambar 3). Semua tipe akar kelapa sawit
tersusun atas jaringan epidermis, korteks,
endodermis, dan stele.
Jaringan korteks mengalami peluruhan
(lisis) sebagian ketika tanaman mengalami
genangan. Peluruhan korteks menyebabkan
terbentuknya saluran udara dari batang
hingga ke ujung akar. Struktur khas ini
disebut aerenkima. Indikasi terbentuknya
aerenkima juga diketahui dari jarak antar
sel jaringan korteks dan porositas akar.
Genangan 4 minggu menyebabkan tanaman
membentuk aerenkima lebih banyak
dibandingkan genangan 2 minggu (Gambar
3). Pada durasi genangan yang sama,
genangan non salin memberikan aerenkima
lebih banyak dibandingkan salinitas tinggi.
Saat tanaman terpapar pada lingkungan
yang memiliki kandungan air berlebihan
maka cekaman yang dialami adalah
pengurangan konsentrasi dan laju difusi
oksigen pada rizhosfer (Koon & Kun, 2006;
Jamil et al., 2012; Rivera-Mendes et al.,
2016). Salah satu tanggapan pertama
tanaman pada kondisi tersebut adalah
peningkatan resistensi stomata, sehingga
pertukaran gas dan penyerapan air menjadi
terbatas, menyebabkan terjadinya defisit air
internal (Parent et al., 2008). Pada satu sisi
kondisi ini membawa konsekuensi negatif,
dimana penyerapan nutrisi (unsur hara) dan
air menjadi terbatas, sementara keduanya
adalah komponen utama yang berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan tanaman.
Pada sisi yang lain, kondisi ini mampu
mengkompensasi kerusakan lebih berat
yang disebabkan oleh salinitas tinggi akibat
larutan garam berlebih di rhizosfer.
Penurunan konduktansi stomata
mencegah ion garam terutama Na+
memasuki akar, sehingga secara tidak
langsung genangan mengaktifkan
mekanisme ketahanan kelapa sawit
terhadap salinitas tinggi melalui penurunan
serapan ion tersebut (Gupta & Huang,
2014). Beberapa penelitian juga melaporkan
bahwa kondisi hipoksia menyebabkan
penurunan permeabilitas membran akar
terhadap Na+ (Ashraf, 2012; Parent et al.,
2008). Tanaman yang mampu membatasi
penyerapan ion toksin dan menjaga
konsentrasinya tetap rendah dapat memiliki
toleransi yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman yang menyerap ion lebih banyak.
Kelapa sawit merupakan tanaman
mesofit yang hidup pada kondisi perakaran
aerob, kondisi tergenang menginduksi
terbentuknya saluran aerenkima pada
perakarannya. Pembentukan aerenkima
(saluran udara di sepanjang akar)
merupakan mekanisme adaptasi tanaman
yang memungkinkan untuk bertahan
selama genangan (Jackson & Colmer, 2005;
Parent et al., 2008; Jamil et al., 2012).
Peningkatan porositas dengan adanya
aerenkima dapat meningkatkan ventilasi
pada bagian atas tanaman dan
pengudaraan senyawa beracun yang
Jurnal Agro 5(1), 2018
25
diproduksi di akar (misalnya, etanol dan
metana) dan meningkatkan difusi
longitudinal gas pada akar sehingga
meningkatkan aerasi (Visser & Pierik, 2007).
Jaringan ini memfasilitasi difusi internal O2
hingga ke ujung akar (Voesenek & Bailey-
Serres, 2015; Rivera-Mendes et al., 2016).
Gambar 3. Penampang melintang perakaran kelapa sawit; a. Akar primer pada perlakuan non salin
tanpa genangan (perbesaran 100 kali); b. Akar primer pada perlakuan genangan dua minggu (perbesaran 100 kali); c. Akar primer pada genangan empat minggu (perbesaran 100 kali); d. akar primer pada salinitas tinggi tanpa genangan; e. Akar primer pada salinitas tinggi tanpa genangan (perbesaran 400 kali); f. Pneumatophore; 1. epidermis; 2. korteks; 3. endodermis; 4. stele; 5. aerenkim; 6. percabangan akar sekunder; 7. kerusakan epidermis akar primer pada kondisi salin tanpa genangan; 8. deposisi Na pada jaringan korteks akar (yang menyebabkan kerusakan berupa reaksi pencoklatan); 9. lentisel; 10. struktur filamen / rambut akar yang merupakan modifikasi epidermis pada ujung pneumatophore.
Meskipun seluruh ahli sepakat tentang
adanya jaringan aerenkima, namun berbeda
pendapat tentang kriteria jarak antar sel
untuk disebut sebagai aerenkima (Nishiuchi
et al., 2012). Pengamatan terhadap
anatomis akar menunjukkan terbentuknya
aerenkima pada kondisi genangan tidak
mengubah konfigurasi jaringan penyusun
akar lainnya (epidermis, endodermis, dan
stele). Hal ini menunjukkan bahwa
aerenkima bukan merupakan jaringan baru,
namun merupakan modifikasi dari korteks
yang mengalami peluruhan (lisis).
Pembentukan dan perkembangan
aerenkima, sebagaimana pneumatophore
menggunakan energi dari cadangan
karbohidrat, pati, dan sukrosa melalui
respirasi anaerob (Visser & Pierik, 2007).
Etilen dipercaya berperan dalam
pembentukan aerenkima, kemungkinan
dengan cara memacu kematian sel yang
terprogram di lokasi yang spesifik (korteks)
a b c
d e f
1
2
3
4
5 5
6
7
8
10
9
Jurnal Agro 5(1), 2018
26
(Voesenek & Bailey-Serres, 2015).
Perubahan struktur korteks akar diduga
juga disebabkan oleh meningkatnya
aktivitas enzim pelunak dinding sel dan
dengan deposit suberin pada epidermis.
SIMPULAN
Terjadi interaksi nyata antara tingkat
genangan dan salinitas terhadap
pertumbuhan dan anatomi akar yang
diamati, kecuali pada luas epidermis akar
primer dan sekunder, korteks akar
sekunder, dan stele akar tersier. Salinitas
tinggi dan genangan menyebabkan
penurunan pertumbuhan kelapa sawit.
Penurunan yang disebabkan oleh salinitas
tinggi lebih besar dibandingkan yang
disebabkan oleh genangan. Genangan non
salin maupun salin menginduksi adaptasi
morfologis berupa terbentuknya
pneumatophore dan adaptasi anatomis
berupa terbentuknya saluran aerenkima.
Salinitas tinggi yang diikuti oleh genangan
dapat mengkompensasi pengaruh negatif
dari ion garam (Na+ dan Cl–) melalui
adaptasi morfologis, perubahan laju
serapan ion, dan impermeabilitas membran
akar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti berterima kasih kepada Kebun
Penelitian dan Pendidikan (KP2) Institut
Pertanian Stiper Yogyakarta yang telah
menyediakan lokasi dan bahan tanam untuk
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta-Motos, J. R., Ortuño, M. F., Bernal-Vicente, A. Diaz-Vivancos, P., Sanchez-Blanco, M. J. & Hernandez, J. A. (2017). Plant responses to salt stress: adaptive mechanisms. Agronomy, 7, 18-56. https://doi.org/10.3390/agronomy7010018
Ashraf, M. A. (2012). Waterlogging stress in plants: A review. African Journal of Agricultural Research, 7(13), 1976-1981. DOI: 10.5897/AJARX11.084
Batool, N., Shahzad, A & Ilyas, A. (2014). Plants and salt stress. International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 7(14), 1439-1446. Retrieved from www.ijagcs.com. IJACS/2014/7-14/1439-1446
Chen, T., X. Cai, X. Wu, I. Karahara, L. Schreiber, & J. Lin. (2011). Casparian strip development and its potential function in salt tolerance. Plant Signaling and Behavior, 6(10), 1499–1502. https://doi.org/10.4161/psb.6.10.17054
Corley, R. H. V. dan P. B. Tinker. (2015). The Oil Palm. West Sussex: Blackwell Science.
Duarte, H. H. F. & E. R. de Souza. (2016). Soil water potentials and Capsicum annuum L. under salinity. Revista Brasileira de Ciência do Solo, 40, 1–11. DOI: 10.1590/18069657rbcs20150220
El-Nashar, W. Y. (2013). The combined effect of water-logging and salinity on crops yield. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science, 6(4), 40-49. DOI: 10.9790/2380-0644049
Fakhrfeshani, M., Shahriari-Ahmadi, F., Niazi, A., Moshtaghi, N., Zare-Mehrjerdi, M. (2015). The effect of salinity stress on Na+ , K+ concentration , Na+ / K+ ratio , electrolyte leakage and HKT expression profile in roots of Aeluropus littoralis. Journal of Plant Molecular Breeding, 3(2), 1–10.
Jurnal Agro 5(1), 2018
27
http://dx.doi.org/10.22058/jpmb.2015.15369
Firmansyah, E., Kurniasih, B., & Indradewa, D. (2016). Shoot growth and yield of rice (Oryza sativa var . Indica) in the combined submergence and salinity. International Journal of Science and Research, 5(11), 1880–1884. DOI: 10.21275/ART20163171
Firmansyah, E., Kurniasih, B. dan Indradewa, D. (2017). Respon Varietas Padi Tahan Salin Terhadap Beberapa Durasi Genangan dengan Tingkat Salinitas Berbeda. Agroista, 1(1), 65–74. Retrieved from 36.82.106.238:8885/jurnal/index.php/AGI/article/download/27/26
Foster, K. J. & Miklavcic, S. J. (2017). A comprehensive biophysical model of ion and water transport in plant roots; Clarifying the roles of endodermal barriers in the salt stress response. Frontiers in Plant Science, 8, 1–18. https://doi.org/10.3389/fpls.2017.01326
Golldack, D. C. Li, Mohan, H., & Probst, N. (2014). Tolerance to drought and salt stress in plants: Unraveling the signaling networks. Frontiers in Plant Science, 5(15), 1-10. https://dx.doi.org/10.3389%2Ffpls.2014.00151
Lauchli, A & Grattan, S. R. (2007). Plant growth and development under salinity stress. in Jenks, M.A., Hasegawa, P.M., & Jain, S. M. (Eds.) Advances in molecular breeding toward drought. Switzerland: Springer. pp 1–32.
Gupta, B. & Huang, B. (2014). Mechanism of salinity tolerance in plants: Physiological, biochemical, and molecular characterization. International Journal of Genomics, 2014, 1-18. http://dx.doi.org/10.1155/2014/701596
Hanin, M., Ebel, C., Ngom, M., Laplaze, L., & Masmoudi, K. (2016). New Insights on plant salt tolerance mechanisms and their their potential use for breeding. Frontiers in Plant Science, 7, 1787. https://dx.doi.org/10.3389%2Ffpls.2016.01787
Henson, I. E., Harun, M. H., & Chang, K. C. (2008). Some Observations on the effects of high water tables and flooding on oil palm and a preliminary model of oil palm water balance and use in the presence of a high water table. Oil Palm Bulletin, 56, 14–22. Retrieved from palmoilis.mpob.gov.my/publications/OPB/opb56-henson.pdf
Jackson, M. B. & Colmer, T. D. (2005). Response and adaptation by plants to flooding stress. Annals of Botany, 96(4), 501–505. https://dx.doi.org/10.1093%2Faob%2Fmci205
Jaleel, C. A., Manivannan, P., Wahid, A., Farooq, M., Al-Juburi, H. J., Somasundaram, R. & Panneerselvam, R. (2009). Drought stress in plants : A review on morphological characteristics and pigments composition. International Journal of Agriculture & Biology, 11(1), 100–105. Retrieved from http://www.fspublishers.org/published_papers/84178_..pdf
Jamil, M., Ashraf, M., Rehman, S., Ahmad, M. & Rha, E. S. (2012). Salinity induced changes in cell membrane stability, protein and RNA contents. African Journal of Biotechnology, 11(24), 6476–6483. http://dx.doi.org/10.5897/AJB11.2590
Jenks, M. A. & Hasegawa, P. M. (2014). Plant abiotic stress. Chichester: John Wiley & Sons. DOI:10.1002/9781118764374
Jouyban, Z. (2012). The Effects of salt stress on plant growth. Technical Journal of
Jurnal Agro 5(1), 2018
28
Engineering and Applied Sciences, 2(1), 7–10. Retrieved from www.tjeas.com
Kim, H., H. Jeong, J. Jeon, dan S. Bae. (2016). Effects of irrigation with saline water on crop growth and yield in greenhouse cultivation. Water, 8(4), 127. https://doi.org/10.3390/w8040127
Koon, L. W. & Kun, O. B. (2006). The Unseen Flood : Waterlogging in Large Oil Palm Plantations. Jurutera, Januari 2006, 28–31. Retrieved from dspace.unimap.edu.my/.../1/028_030_031_unseen%20flood
Li, H., J. Yi, J. Zhang, Y. Zhao, B. Si, dan R. L. Hill, L. Cui, & X. Liu. (2015). Modeling of soil water and salt dynamics and its effects on root water uptake in heihe arid wetland, Gansu, China. Water, 7(5), 2382–2401. https://doi.org/10.3390/w7052382
Machado, R. M. A. & Serralheiro, R. P. (2017). Soil salinity : Effect on vegetable crop growth, management practices to prevent and mitigate soil salinization. Horticulturae, 3(2), 30. https://doi.org/10.3390/horticulturae3020030
Magdy, M & Mansour, F. (2016). Protective effect of 24-epibrassinolide against salt-induced destabilization of plasma membrane. International Journal of Advanced Research, 4(5), 488-492. http://dx.doi.org/10.21474/IJAR01/394
Morales, S. G., Trejo-Téllez, L. I., Merino, F. C. G, Caldana, C., Espinosa-Victoria, D. & Cabrera, B. E. H. (2012). Growth, photosynthetic activity, and potassium and sodium concentration in rice plants under salt stress. Acta Scientiarum, 34(3), 317–324. doi: 10.4025/actasciagron.v34i3.13687
Munns, R. (2002). Comparative physiology of salt and water stress. Plant, Cell and Environment, 25(2), 239–250. https://doi.org/10.1046/j.0016-
8025.2001.00808.x
Negrao, S., Schmockel, S. M., & Tester, M. (2017). Evaluating physiological responses of plants to salinity stress. Annals of Botany, 119(1), 1–11. https://dx.doi.org/10.1093%2Faob%2Fmcw191
Nishiuchi, S., Yamauchi, T., Takahashi, H., Kotula, L., & Nakazono, M. (2012). Mechanisms for coping with submergence and waterlogging in rice. Rice, 5(1), 2. https://doi.org/10.1186/1939-8433-5-2
Parent, C., Capelli, N., Berger, A., Crèvecoeur, M., & Dat, J. F. (2008). An overview of plant responses to soil waterlogging. Plant Stress, 2(1), 20–27.
Ponnamperuma, F. N. (1972). The chemistry of submerged soils. Advances in Agronomy, 24, 29-96. Retrieved from www.garfield.library.upenn.edu/.../A1983QQ90500001.pdf
Rivera-Mendes, Y. D., Cuenca, J. C. & H. M. Romero. (2016). Physiological responses of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seedlings under different water soil conditions. Agronomía Colombiana, 34(2), 163–171. Retrieved from http://www.redalyc.org/articulo.oa?id=180348900005
Salazar, C., Hernández, C. & Pino, M.T. (2015). Plant water stress: Associations between ethylene and abscisic acid response. Chilean Journal of Agricultural Research, 75(1), 71-79. http://dx.doi.org/10.4067/S0718-
58392015000300008h
Shannon, M. C. (1997). Adaptation of plants to salinity. Advances in Agronomy, 60, 75–210. Retrieved from http://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=US9742172
Shaw, R. E. (2015). Plant waterlogging: causes, responses, adaptations and
Jurnal Agro 5(1), 2018
29
crop models. Thesis. School of Earth and Environmental Sciences University of Adelaide.
Tang, X., Mu, X., Shao, H., Wang, H.& Brestic, M. (2015). Global plant-responding mechanisms to salt stress:Physiological and molecular levels and implications in biotechnology. Crit. Rev. Biotechnol. 35, 425–437. https://doi.org/10.3109/07388551.2014.889080
Visser, E. J. W. & Pierik, R. (2007). Inhibition of root elongation by ethylene in wetland and non-wetland plant species
and the impact of longitudinal ventilation. Plant, Cell and Environment, 30(1), 31–38. https://doi.org/10.1111/j.1365-3040.2006.01601.x
Voesenek, C. J. & Bailey-Serres, J. (2015). Flood adaptive traits and processes : an overview. New Phytologist, 206(1), 57–73. https://doi.org/10.1111/nph.13209
Wegner, L. H. (2010). Oxygen transport in waterlogged plants dalam Mancuso, S. dan Shabala, S. (ed.) Waterlogging Signalling and Tolerance in Plants. Berlin: Springer-Verlag Berlin, 1–294.