Top Banner
REFERAT SINDROM NEFROTIK Pembimbing Dr. Riza Mansyoer, Sp. A Penyusun Nurul Hidayah Binti Hamarudin 030.05.275
53

Referat-Sindroma Nefrotik

Jul 26, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat-Sindroma Nefrotik

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing

Dr. Riza Mansyoer, Sp. A

Penyusun

Nurul Hidayah Binti Hamarudin

030.05.275

Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan Anak RSUD Koja

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode 13 Juli – 19 September 2009

Page 2: Referat-Sindroma Nefrotik

SINDROMA NEFROTIK

Definisi

Sindrom nefrotik, adalah penyakit atau sindrom yang mengenai gromerulus yang

ditandai proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dengan atau tanpa disertai

hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia.2,3,6 Yang dimaksud proteinuria masif adalah

apabila didapatkan protenuria sebesar ≥ + 2 pada uji DIPSTICK atau protein >

40mg/m2/jam atau > 2g/hr sedangkan yang dimaksudkan sebagai hipoalbumin adalah

apabila didapatkan albumin dalam darah < 2,5 g/dl.3 Pada sindrom nefrotik primer,

penyakit ini terbatas pada ginjal sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi selama

perjalanan penyakit sistemik.

Epidemiologi

Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik, merupakan sindrom nefrotik

idiopatik yang terdiri dari tiga tipe secara histologis yaitu lesi minimal ditemukan pada

sekitar 85%, proliferasi mesangium (glomerulonephritis proliferatif) pada 5%, dan

sklerosis setempat (glomerulosklerosis fokal segmental) 10%. Pada 10% anak sindroma

nefrotik yang lain biasanya diperantai oleh glomerulonefritis, dan tersering adalah tipe

membranosa dan membranoproliferatif.1

Klasifikasi sindrom nefrotik

Berdasarkan etiologi

1. Sindrom Nefrotik Primer

i. Sindrom Nefrotik Bawaan

Sindrom nefrotik yang diturunkan sebagai resesif autosom atau karena

reaksi fetomaternal2

ii. Sindrom Nefrotik Idiopatik

Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebab terjadinya gangguan

pada glomerulus sehingga menunjukkan manifestasi yang sama

dengan sindrom nefrotik.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder6

1

Page 3: Referat-Sindroma Nefrotik

Sindrom nefrotik bisa sekunder dari penyakit infeksi, keganasan, penyakit

sistemik, penyakit autoimun, penyakit metabolik, toksisitas dan alergi.

Berdasarkan histopatologi

Berdasarkan histopatologi, sindrom nefrotik terbagi atas perubahan minimal dan

perubahan non minimal.

Berdasarkan respons terhadap pengobatan steroid

Sindrom nefrotik bisa berespons terhadap pengobatan steroid dan bisa juga tidak.

Oleh yang demikian, sindroma nefrotik bisa dibagi menjadi sindrom nefrotik yang

berespons terhadap steroid dan sindrom nefrotik yang tidak berespons terhadap

steroid.

Etiologi sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik primer pada anak umumnya idopatik dan diduga ada hubungan

dengan genetik, imunologi dan alergi.3 Sindroma nefrotik pada anak-anak juga diduga

adalah sindrom nefrotik dengan perubahan minimal, sindrom nefrotik kongenital,

sindrom nefrotik dengan proliferasi mesangial difus, glomerulosklerosis fokal dan

segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, dan glomerulonefritis kresentrik.4

Sindroma nefrotik sekunder dapat pula disebabkan oleh 2,3,6:

i. Penyakit infeksi: - HIV

- Hepatitis virus B dan C

- Sifilis

- Malaria

- Skistosoma

- Tuberkulosis

- Lepra

- Post Streptokok

ii. Penyakit keganasan: - Adenokarsinoma paru, payudara, kolon,

- Limfoma Hodgkin

2

Page 4: Referat-Sindroma Nefrotik

- Mieloma multipel

- Karsinoma ginjal

iii. Penyakit sistemik dan penyakit immune mediated :

- Lupus Eritematosus Sistemik*

- Henoch Scholein Purpura*

- Sindrom Vaskulitis

- Trombosis vena renalis

- Artritis Reumatoid

- MCTD (mixed connective tissue disease)

- Poliartritis

- Sarcoid

- Dematitis Hepertiformis

iv. Penyakit keturunan dan metabolic

- Mellitus Diabetes

- Amilodoisis

- Sindrom Alport

- Myxedema

- Pre-eklamsia

v. Akibat toksin dan alergi

- Keracunan logam berat (Au, Hg)

- Keracuan probenicid, trimetadion, paradion atau

penisilamin

- Gigitan serangga dan bisa ular

* Sindrom nefrotik sekuder pada anak sering sekunder dari vaskulitis

seperti Lupus Eritematosus Sistemik, Henoch Scholein Purpura, Limfoma

Maligna seperti penyakit Hodgkin, malaria kuatarna, infeksi virus hepatitis

B atau infeksi HIV .3,4

Anatomi Dasar Saluran Kemih

Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urine, dan

berbagai saluran dan reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urine ke luar tubuh.

3

Page 5: Referat-Sindroma Nefrotik

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna

vetebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke

bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga kesebelas.

Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci (25

hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai sampai vesika urinaria. Fungsi satu-satunya

adalah menyalurkan urine ke vesika urinaria.

Vesika uinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis, terletak di

belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara: dua dari ureter dan satu

menuju uretra. Dua fungsi vesika urinaria adalah: (1) sebagai tempat penyimpanan urin

sebalum meninggalkan tubuh dan (2) berfungsi mendorong urine keluar tubuh (dibantu

uretra).

Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria

sampai keluar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan pada laki-laki

sekitar 8 inchi (20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius.

Hubungan Anatomis Ginjal

Ginjal terletak di belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, dibelakang dua

iga terakhir , dan tiga otot besar (tranversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas

mayor). Ginjal dipertahanankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal.

Kelenjar adrenal terletak di atas kutub masing-masing ginjal.

Ginjal terlindung dengan baik dari trauma lansung karena disebelah posterior

dilindungi oleh iga, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Bila

ginjal mengalami cedera, maka hampir selalu terjadi akibat kekuatan yang mengenai iga

kedua belas, yang berputar ke dalam dan menjepit ginjal di antara iga itu sendiri dengan

korpus vetebra lumbalis. Perlindungan yang sempurna terhadap cedera lansung ini

menyebabkan ginjal dengan sendirinya sukar untuk diraba dan sulit dicapai sewaktu

pembedahan. Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak teraba pada pemeriksaan

fisik karena dua pertiga permukaan anterior ginjal tertutup oleh limpa. Namun, kutub

bawah ginjal kanan berukuran normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua ginjal yang

membesar secara mencolok atau tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi,

walaupun hal ini lebih mudah dilakukan di sebelah kanan.

4

Page 6: Referat-Sindroma Nefrotik

Struktur Makroskopik Ginjal

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1

inci), lebarnya 6cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram.

Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan pajang dari kutub

ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6

inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagaian besar

manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur.

Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal

bebentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa strukur yang masuk atau keluar dari

ginjal melalui hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.

Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan

jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.

Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda – korteks

di bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-bagi menjadi baji segitiga

yang disebut pyramid. Pyramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang

disebut kolumna Bertini. Pyramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersususn

dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap

pyramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian

terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu

perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor.

Beberapa kaliks minor bersatu berbentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu

sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoir utama system

pengumpulan ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.

Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami

pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut selama

bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus pengumpul.

Urine yang terbentuk kemudian mengalir ke dalam duktus Belini, masuk kaliks minor,

kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya meninggalkan ginjal melalui ureter menuju

vesika urinaria. Dinding kaliks, pelvis dan ureter mengandung otot polos yang dapat

5

Page 7: Referat-Sindroma Nefrotik

berkonsentrasi secara berirama dan membantu mendorong urine melalui saluran kemih

dengan gerakan peristaltik.

Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal

Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vetebra lumbalis

II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis kanan lebih panjang

dari renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.

Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava

inferior yang terletak disebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya vena renalis kiri kira-

kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Gambaran anatomis ini menyebabkan

ahli bedah transplantasi biasanya lebih suka memilih ginjal kiri donor yang kemudian

diputar dan ditempatkan pada pelvis kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria

renalis pendek dan beranastomosis dengan arteria iliaka interna (hipogastrika). Namun,

vena renalis harus lebih panjang, karena ditanamkan lansung ke dalam vena iliaka

eksterna.

Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi

arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk percabangan

arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut.

Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interloburalis yang tersusun

paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen.

Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai kapiler yang

disebut glomerulus ( = gromeruli ). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arteriol aferen

yang kemudian bercabang-bercabang membentuk sistem jaringan portal yang

mengelilingi tubulus dan kadang-kadang disebut kapiler peritubular. Sirkulasi ginjal

tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua bantalan kapiler yang terpisah tapi bantalan

glomerulus dan bantalan kapiler peritubular terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua

darah ginjal melewati keduanya. Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat

terjadi filtrasi) adalah lebih tinggi (40 hingga 50 mmHg), sedangkan tekanan dalam

kapiler peritubular (tempat reabsorbsi tubular kembali ke sirkulasi) adalah rendah (5

hingga 10 mmHg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang

6

Page 8: Referat-Sindroma Nefrotik

melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena interlobular, arkuata, interlobar

dan vena ginjal untuk mencapai vena kava inferior.

Gambaran Khusus Aliran Darah Ginjal

Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah permenit – suatu volume yang sama

dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan ini memang

sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua ginjal kurang dari 1%

dari berat seluruh tubuh.

Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks, sedangkan

sisanya didistribusikan ke medulla. Sifat khusus aliran ginjal yang lain adalah

autoregulasi aliran darah melalui ginjal. Arteriol aferen mempunyai kapasitas intrinsik

yang dapat mengubah resistensinya sebagai respons terhadap perubahan tekanan darah

arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus

tetap konstan. Fungsi ini efektif pada tekanan arteria antara 80 sampai 180 mmHg.

Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar dalam ekskresi zat terlarut dan

air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu autoregulasi ini dapat ditaklukkan, meskipun

tekanan arteria masih dalam batas autoregulasi. Saraf-saraf renal dapat menyebabkan

vasokonstriksi pada keadaan darurat dan mengalihkan darah dari ginjal ke jantung otak,

atau otot rangka dengan mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi

aliran darah intrarenal mungkin penting dalam patogenesis gagal ginjal oliguria akut.

Variasi Suplai Vaskular Ginjal

Ginjal mendapatkan darah dari banyak arteria atau vena. Anomali arteria renalis

jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya, sekitar 25% dari

populasi atau lebih memiliki lebih dari satu arteria renalis yang menyuplai ginjal. Arteria-

arteria tambahan ini biasanya berasal dari percabangan kecil-kecil dari aorta dan

menyuplai kutub-kutub ginjal. Arteriogram suplai darah ginjal penting dilakukan pada

donor sebelum perlaksanaan transplantasi ginjal, karena variasi seperti ini secara teknis

dapat menyulitkan ahli bedah.

Struktur Mikrokospik Ginjal

7

Page 9: Referat-Sindroma Nefrotik

Nefron

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat

sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Dengan

demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai total dari fungsi semua nefron yang

mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan

tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yang

normal masih dapat bertahan (walaupuun dengan susah payah) dengan jumlah nefron

kurang dari 20.000 atau 1 % dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin

untuk menyumbangkan satu ginjal untuk transplantasi tanpa membahyakan kehidupan.

Korpuskulus Ginjal

Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler glomerulus.

Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan korperkulus ginjal,

walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan rumbai kapiler.

Kapsula Bowman merupakan suatu investigasi dari tubulus proksimal. Terdapat

ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula Bowman, dan ruang

yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang Bowman atau ruang kapsular.

Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk

gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel viseralis jauh lebih besar

dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler.

Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit,

yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat

daerah-daerah yang bebas dari kontak sel antara sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat

di antara podosit biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 Angstrom.

Membran basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara sel-

sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membran basalis kapiler

menjadi membran basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen.

Pada membran basalis tidak tampak adanya pori-pori, kendatipun bersifat seakan-akan

memiliki poli berdiameter sekitar 70 sampai 100 Angstrom.

Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak seperti sel-

sel epitel, sel endotel lansung berkontak dengan membran basalis. Namun terdapat

beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama fenestrasi) yang berdiameter

8

Page 10: Referat-Sindroma Nefrotik

sekitar 600 Angstrom. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi arteriola

aferen dan eferen.

Sel-sel endotel, membrane basalis dan sel-sel epitel viseralis merupakan tiga

lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membrane filtrasi glomerulus

memungkinkan ultrfiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul-

molekul protein besar dari bagian plasma lainnya, dan mengalirkan bagian plasma

tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari kapsula Bowman. Sifat diskriminatif

ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan struktur yang unik dan komposisi kimia dari

sawar ultrafiltrasi. Membrane filtrasi glomerulus tampaknya merupakan struktur yang

membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran

molekul. Di samping itu sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh

kumpulan makromolekul kaya anion pada membrane basalis dan melapisi batas sel epitel

dan endotel. Muatan negative inilah yang menjadi alasan mengapa secara normal albumin

anionic (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada ukuran pori yang terkecil) tidak

mampu masuk ke ruang urine. Molekul-molekul protein yang besar serta sel-sel darah

dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam filtrate maupun urine.

Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari

sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut

antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan

penyokong. Sel mesangial bukan merupakan bagian dan membrane filtrasi namun

mensekresi matriks mesangial. Sel mesangial memiliki aktivitas fagositik dan mensekresi

prostaglandin. Sel mesangial mungkin berperan dalam mempengaruhi kecepatan filtrasi

glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial memiliki

kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan kapiler glomerulus. Sel

mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular dekat dengan kutub vascular

glomerulus (antara arteriola aferen dan eferen) disebut sel lacis.

Aparatus Jukstaglomerulus

Apparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang

letaknya dengan letak kutub vascular masing-masing glomeruus yang berperan penting

dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraseluler (ECF) dan

tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel : (1) sel jukstaglomerulus (JG) atau sel

9

Page 11: Referat-Sindroma Nefrotik

granular (yang memproduksi dan menyimpan rennin) pada dinding arteriol aferen, (2)

makula densa tubulus distal, dan (3) mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula

densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan

khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang

mensekresi rennin.

Secara umum sekresi rennin dikontrol oleh faktor ekstrarenal. Dua mekanisme

penting untuk mengontrol seleksi rennin adalah sel JG dan makula densa. Setiap

penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula

densa dan tubulus distal akan meransang sel JG untuk melepaskan rennin dari granula

tempat rennin tersebut disimpan di dalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelnya secara

khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindak sebagai tranduser tekanan miniatur, yaitu

merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang

sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan

sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan rennin ke dalam

sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron. ECV

bukan suatu kompartmen cairan tubuh tersendiri dan tidak dapat diukur; namun berkaitan

erat dengan perfusi jaringan yang adekuat, yaitu, terhadap isi dan tekanan komponen:

volume intravascular absolute, curah jantung, dan resistensi pembuluh darah sistemik.

Perubahan pada salah satu dari ketiga parameter ini tanpa perubahan kompensasi

ditempat lain akan berakibat pada isi sirkulasi dan kemudian ECV. Secara normal, ECF

dan ECV sebenarnya adalah sama, tetapi dalam beberapa keadaan patologis (misalnya,

gagal jantung kongestif) ECV dapat menurun sebelum volume ECF dapat meningkat di

atas normal.

Mekanisme kontrol kedua untuk perlepasan berpusat di dalam sel makula densa

yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada

tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan

ke tubulus distal (karena banyak yang diabsorbsi dalam tubulus proksimal); kemudian

timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan perlepasan

rennin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi rennin ini

belum diketahui secara pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan

peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal

10

Page 12: Referat-Sindroma Nefrotik

memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF

– yaitu menekan sekresi rennin.

Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang

meransang pelepasan rennin melalui reseptor beta-adrenergik dalam JGA, dan

angiotensin II yang menghambat pelepasan rennin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga

mengubah sekresi rennin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrium) dan berbagai

hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamine, hormone antidiuretik (ADH),

hormone adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor

relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF]), dan prostaglandin. Hal ini terjadi

mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu

mencerminkan interaksi dari semua faktor.

Fisiologi Dasar Ginjal

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam

batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi

glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus seperti yang akan dibahas dalam bagian

selanjutnya. Secara ringkasnya fungsi ginjal dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Fungsi ekskresi

Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan

mengubah-ubah ekskresi air.

Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah

ekskresi Na+

Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu

dalam rentang normal

Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan

H+ dan membentuk kembali HCO3-

Mensekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama

urea, asam urat dan kreatinin)

11

Page 13: Referat-Sindroma Nefrotik

Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

2. Fungsi nonekskresi

Mensintesis dan mengaktifkan hormone

- Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah

- Eritropoetin : meransang produksi sel darah merah oleh sumsum

tulang

- 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi

batuk yang paling kuat

- Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilatator, bekerja

secara lokal, dan melindugi dari kerusakan iskemik ginjal

- Degradasi hormon peptide

- Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,

ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal

vasoaktif [VIP])

Ultrafiltrasi Glomerulus

Pembentukan urin dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma. Aliran darah

ginjal (RBF) setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1.200 ml/menit. Bila

hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660

ml/menit (0,55x1.200 + 600). Sekitar seperlima dari plasma atau 125 ml/menit dialirkan

melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal dengan isilah laju filtrasi glomerulus

(GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat

primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali protein. Sel-sel darah dan

molekul-molekul protein yang besar atau protein bermuatan negatif (seperti albumin)

secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas

dari sawar membran filtrasi glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecl

atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah lansung

tersaring. Perhitungan menunjukan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui

12

Page 14: Referat-Sindroma Nefrotik

glomerulus dalam waktu sehari – suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang berat

totalnya hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau

diambil berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang

diekskresi sebagai urine.

Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus yang cepat

ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi metabolik untuk filtrasi

tersebut. Tekanan filtasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler

glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus

mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam

kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula Bowman

pada hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada protein.

Walaupun pada manusia tidak pernah diukur, tekanan kapiler glomerulus seperti yang

diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50 mmHg, dan tekanan intrakapsular sekitar

10 mmHg. Perkiraan ini didasarkan pada pengukuran yang dilakukan pada tikus.

Tekanan onkotik darah besarnya 30 mmHg. Dengan demikian, tekanan filtrasi bersih dari

glomerulus besarnya sekitar 10mmHg. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh

tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas membrane filtrasi (K f). Kf

adalah hasil dari permeabilitas instrinsik kapiler glomerular dan daerah permukaan

glomerulus untuk filtrasi. Laju filtrasi lebih tinggi dalam kapiler glomerulus daripada

kapiler tubuh lainnya, karena Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-

kira 2 L/hari). Keseimbangan dari tekanan-tekanan yang berperan dalam proses

ultrafiltrasi glomerulus dapat diringkas sebagai berikut :

GFR = Kf x (Tekanan hidrostatik intrakapiler – [tekanan hidrostatik intrakapsular +

tekanan onkotik ] )

Tekanan filtrasi bersih = 50 – (10 + 30)

= 10 mm

Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan menggunakan suatu

zat seperti inulin, yang difiltrasi secara bebas pada glomerulus dan tidak disekresi

maupun direabsorbsi oleh tubulus. Bersihan suatu zat adalah besarnya volume plasma

dari zat yang dibersihkan secara total oleh ginjal persatuan waktu. Laju bersihan inulin

sama dengan GFR, yang diukur dengan pemberian inulin dengan kecepatan tetesan

13(Uin ) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit

(Pin )25 mg/dl

Page 15: Referat-Sindroma Nefrotik

intravena (i.v) yang konstan untuk menjamin tingkat konsentrasi plasma yang konstan.

Hasil pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam mg/dl, dalam urine (Uin)

dalam mg/dl, serta volume urin (V) dalam ml/menit, memungkinkan perhitungan

bersihan inulin (Cin) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi terhadap luas permukaan

tubuh – diperkirakan dengan menggunakan nomogram yang menghubungkan tinggi dan

berat badan terhadap luas permukaan tubuh. Misalnya, bila seseorang mengeluarkan

urine dengan kecepatan 4,2 ml/menit, specimen Uin sebesar 600 mg/dl, dan Pin sebesar 25

mg/100ml, maka

GFR = Cin =

= 100 ml/menit

GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan

mengoreksinya terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73 m2. Koreksi

ini memungkinkan kita membandingkan fungsi pada orang-orang yang berbeda keadaan

fisiknya. GFR laki-laki normal muda berkisar 125 ± 15 ml/ menit/1,73 m2, sedangkam

GFR perempuan muda normal adalah 110 ± 15 ml / menit / 1,73 m2.

Autoregulasi Aliran Plasma Ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus

GFR tidak sepenuhnya bergantung kepada kekuatan fisik yang bekerja di

membrane glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan RPF dan

GFR pada tingkat relatif konstan walaupun terdapat fluktuasi harian normal dalam

tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal. Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam

ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit

adalah untuk mencegah fluktuasi yang tidak sesuai bagi natrium dan ekskresi air.

Autoregulasi lebih efektif bila kisaran tekanan darah arteri sekitar 80 hingga 180 mmHg

namun dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran tersebut berada dalam keadaan

patologis tertentu.

Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi RPF dan GFR: (1)

reseptor regangan miogenik dan otot polos vascular arteriol aferen dan (2) timbal balik

14

(Uin) 600mg/dl x (V) 4,2 ml/menit

(Pin) 25 mg/dl

Page 16: Referat-Sindroma Nefrotik

tubuloglomerular (TGF). Selain itu noerepinefrin, angiotensin II dan hormon lain juga

dapat mempengaruhi autoregulasi. Kapiler glomerular berbeda dari bantalan kapiler lain

dalam menempatkan diri di antara dua arteriol (aferen dan eferen). Sebagai akibatnya,

tekanan hidrostatik intrakapiler (Pgc) ditentukan oleh tiga faktor: (1) tekanan darah

sistemik dan (2) resistensi pada arteriol aferen dan eferen. Pengaturan ini mengikuti

regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi dalam arteriol aferen dan eferen. Sebagai

contoh, kenaikan tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal data diharapkan untuk

meningkatkan Pgc. Dan kemudian meningkatkan laju RPF dan GFR. Namun, peningkatan

tekanan perfusi ginjal dapat dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arteriol

aferen. Tapi, arteriol aferen tidak merespons secara lansung perubahan dalam regangan

sehingga tidak memperbesar respons miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen

tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR, sehingga mengimbangi peningkatan yang

besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan menigkatkan tekanan perfusi ginjal.

Di lain pihak, jika terdapat hipotensi sistemik, sistem rennin-angiotensin

diaktifkan dengan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan

vasokonstriksi arteriol aferen dan vasokonstriksi areteriol aferen dan vasokonstriksi

arteriol eferen namun pada derajat yang lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi tekanan

pefusi ginjal serta RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan Pgc

(karena peningkatan resistensi arteriol eferen). Akibat yang menguntungkan adalah

bahwa angiotensin II meniadakan efek regulasi GFR: penurunan RPF cenderung akan

meningatkan GFR. Norepinefrin (dilepaskan dari saraf simpatik ginjal atau dari korteks

adrenal) menigkatkan efek vasokonstriksi dari angiotensin II. Angiotensin II juga

meransang pelepasan prostaglandin vasodilatator (misalnya PGI, PGE) dari glomerulus

yang meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi

sistemik.

Mekanise kedua yang bertanggungjawab terhadap autoregulasi GFR (yaitu TGF)

mengacu kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di

tubulus distal. TGF diperantai oleh sel macula densa dalam tubulus distal (bersebelahan

dengan kutub glomerulus), yang sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus.

Angka NaCl yang tinggi dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen

15

Page 17: Referat-Sindroma Nefrotik

sehingga mengurangi GFR dalam nefron tersebut. Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu

sendiri benar-benar suatu lengkung timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan

peningkatan hantaran NaCl ke nefron distal dan oleh sebab itu akan meningkatkan

pemindahan natrium melewati sel makula densa. Kemudian akan diikuti oleh reduksi

GFR. Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia untuk berpindah

melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR akan meningkat.

Reabsorbsi dan Sekresi Tubulus

Tiga kelas zat yang difltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit, dan air.

Beberapa elektrolit yang paling penting adalah matrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca+

+), magnesium (Mg++), birkabonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat (HPO4

+). Nonelektrlit

yang penting adalah glukosa, asam amino, dan metabolit yang merupakan produk akhir

dari proses metabolisme protein: urea, asam uran, dan kreatinin.

Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah reabsobsi

selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorbsi

melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga akhirnya zat-zat tersebut

kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus. Disamping itu

beberapa zat disekresi pula dari pembuluh darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.

Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlansung melalui mekanisme transport aktif

dan pasif. Suatu mekanisme tersebut aktif bila zat berpindah melawan perbedaan

elektrokimia (yaitu, melawan perbedaan potensial listrik, potensi kimia atau keduanya).

Kerja lansung ditujukan pada zat direabsorbsi atau disekresi oleh selsel tubulus tersebut,

dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP) (misalnya,

3Na+/2K+ATPase). Mekanisme transport tersebut pasif bila zat yang direabsorbsi atau

disekresi bergerak mengikuti perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses

perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi.

Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal

melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorbsi secara aktif

dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya dua pertiga dari jumlah

natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses

reabsorbsi natrium berlanjut dalam lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul,

16

Page 18: Referat-Sindroma Nefrotik

sehingga kurang dari 1% beban yang difiltrasi diekskresikan dalam urine sebagian besar

Ca2+ dan HPO4+ direabsorbsi dalam tubulus proksimal dengan cara transport aktif. Air,

klorida, dan urea direabsorsi dalam tubulus proksimal melalui transport pasif. Dengan

berpindahnya sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen, maka ion

klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi listrik yang

netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal

menyebabkan cairan mengalami pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar

tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif mengikuti

perbedaan konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorbsi air. Ion hidrogen (H+), asam

organik seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa

organic) semuanya secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal.sekitar 90% dari

birkabonat direabsorbsi secara tak lansung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+

- H+. H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan

dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat

(H2CO3). H2CO3 akan berdisiosalisasi menjadi air dan karbondioksida (CO2). CO2

maupun H2O akan berdifusi keluar lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel

tubulus tersebut sekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2 dengan H2O

untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosialisasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+.

H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan

Na+.

Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian asenden dan

diikuti secara pasif oleh Na+. NaCL selanjutnya akan berdifusi secara pasif masuk bagian

lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan urine.

Proses sekresi dan reabsorbsi selektif diselesaikan dalam tubulus distal dan duktus

pengumpul. Dua fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan tahap akhir dari

keseimbangan air dan asam-basa. Pada fungsi sel normal, pH ECF harus dapat

dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45. Sejumlah mekanisme biologis

bersama-sama membantu mempertahankan pH dalam batas normal. Dapar darah yang

paling utama adalah sistem asam birkabonat-karbonat yang dinyatakan dalam persamaan

sebagai berikut:

CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-

17

Karbonik anhidrase

Page 19: Referat-Sindroma Nefrotik

pH darah dinyatakan dalam persamaan Hendersn – Hasselbalch :

pH = pK + log

pK adalah konstanta disoisasi H2CO3. Paru membuang CO2 yang terbentuk bila

H+ didapar oleh HCO3- (reaksi di atas bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan

penting dalam proses menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan

keseimbangan asam basa adalah reabsorbsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Dalam

mempertimbangkan gangguan keseimbangan asam basa, seringkali perlu diingat bahwa

pH serum sesungguhnya banyak bergantung pada rasio HCO3-/H2CO3, dan faktor

pembilang terutama diatur oleh mekanisme ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur

penyebut (melalui pengaturan pembuangan CO2). Perubahan faktor pembilang atau

penyebut akan diikuti oleh perubahan faktor lainnya kearah yang sama. Perubahan ini

dikenal sebagai kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan pH.

Selain reabsorbsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang

H+ yang berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80 mEq asam yang bukan

H2CO3. Asam-asam ini tidak dapat dibuang melalui paru sehingga disebut asam tetap.

Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH

sampai serendah 4,5 (perbedaan ion hydrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan

ion hydrogen dalam plasma). Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan

tubulus. H+ dieksresikan dalam bentuk kombinasi dengan HPO4+ berbasa dua yang

terfiltrasi atau dengan ammonia (NH3). Dengan demikian H+ diekskresi sebagai garam

asam berbasa satu yang dapat ditiltrasi (NaH2PO4+) atau sebagai ion amnium (NH4

+). NH3

berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila telah berikatan dengan H+

membentuk partikel NH4 bermuatan; tidak lagi dapat berdifusi kembali ke dalam sel

tubulus. Karena pH urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5, maka jumlah H+ bebas

yang dapat diekskresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme ammonium (dan

mekanisme fosfat) berperan penting dalam pembuangan beban asam, karena NH4+ tak

mempengaruhi pH urine. Pendapatan H+ oleh NH3 atau HPO4+ juga berefek pada

penambahan HCO3- baru ke dalam plasma untuk setiap ion H+ yang diekskresi ke dalam

urine. H+yang diekskresi berasal dalam H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga

18

[HCO3-] (ginjal)

[H2CO3] (paru)

Page 20: Referat-Sindroma Nefrotik

meninggalkan HCO3- dalam sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya,

bilamana HCO3- direabsorbsi dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah

dijelaskan sebelumnya, maka HCO3- sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+

akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap H+ yang diekskresi ke dalam cairan

tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu sintesis dedenovo) melalui mekanisme

dapat sangat penting dalam mencegah asidosis.

Asam urat dan kalium diekskresi ke dalam tubulus distal seperti yang telah

disebutkan sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi

diekskresikan dalam urine. Reabsorbsi air juga diselesaikan dalam tubulus distal dan

duktus pengumpul.

Beberapa hormone mengatur proses reabsorbsi tubulus san sekresi zat terlarut dan

air.reabsorbsi bergantung pada adnya hormone antidiuretik (ADH). Aldosteron

memengaruhi reabsorbsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan aldosteron menyebabkan

peningkatan reabsorbsi Na+ dan peningkatan sekresi K+. Penurunan aldosteron

mempunyai pengaruh sebaliknya. Peptide natiuretik atrium (ANP), yaitu satu hormon

yang dihasilkan dan disimpan dalam miosit atrium jantung, memiliki efek yang

berlawanan dengan reabsorbsi Na+ terhadap aldosteron, ANP dilepaskan jika atrium

teregang (yaitu, ekspansi darivolume sirkulasi efektif [ECV]) dan meningkatkan ekskresi

Na+ dan air dalam duktus pengumpul. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorbsi Ca+

+ dan HPO4+ disepanjang tubulus. Peningkatan PTH menyebabkan peningkatan reabsorpsi

Ca++ dan ekskresi HPO4+. Penurunan PTH mempunyai pengaruh sebaliknya.

19

Page 21: Referat-Sindroma Nefrotik

Patofisiologi Sindroma Nefrotik

Kelainan patogenetik yang mendasari sindroma nefrotik adalah proteinuria yang

berakibat daripada kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus akibat dari

kerusakan glomerulus.1,6 Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG)

mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme

penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua

berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindroma nefrotik, kedua mekanisme

penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul protein juga

menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. 6

Secara ringkasnya tiga macam mekanisme yang mendasari proteinuria adalah ; (1)

hilangnya muatan polianion pada dinding kapiler glomerulus ; (2) perubahan pori-pori

dinding kapiler glomerulus ; dan (3) perubahan hemodinamik yang mengatur aliran

kapiler.3

Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif berdasarkan ukuran

molekul protein yang keluar terdiri dari molekul protein yang keluar melalui urin.

Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya

albumin sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar

seperti immunoglobulin.6

Selektivitas proteinuria ditemukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada sindroma

nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan proteinuria

selektif. Pemeriksaan mikroskop electron dari glomerulonefritis lesi minimal

memperlihatkan fusi dari foot pocessus sel epitel visceral glomerulus dan terlepasnya sel

dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan pada

glomerulonefritis lesi minimal menyababkan muatan negative MBG menurun dan

albumin dapat lolos ke dalam urin.6

Pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulosklerosis fokal segmental,

peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi.

Faktor tersebut menyebabkan sel epitel visceral glomerulus terlepas dari MBG sehingga

permeabilitasnya meningkat. 6

Dan pada sindroma nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis membranosa,

kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek

20

Page 22: Referat-Sindroma Nefrotik

C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa akan meningkatkan

permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.6

Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5 g/dl (25

g/L). Mekanisme pembentukan edema pada sindroma nefrotik tidak dimengerti

sepenuhnya.1 Edema pada sindroma nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan

overfill.6 Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci

terjadinya edema pada sindroma nefrotik.6 Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler

ke ruang intertisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal

sehingga mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang meransang reabsorbsi

natrium di tubulus distal. Akibat dari penurunan volume intravaskuler (hipovolemia),

ginjal melakukan kompensasi yaitu meningkatkan retensi natrium dan air dengan

meransang pelepasan hormon antidiuretik yang mempertinggi reabsorbsi air dalam

duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah

direabsorbsi masuk ke ruang interstisial sehingga edema dapat memperberat edema yang

muncul.1

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.

Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi

edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah

terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara

bersamaan pada pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik

atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan

dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih

berperan.6 Adanya factor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan

edema dapat ditunjukan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindroma nefrotik

mempunyai volume intravaskuler yang normal atau menurun.

Pada status sindroma nefrotik, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid)

dan lipoprotein serum meningkat. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan

trigliserid bervariasi dari normal hingga sedikit meninggi. Sekurang-kurangnya ada dua

faktor yang memberikan sebagian penjelasan; (1) hipoproteinemia meransang sintesis

protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak

21

Page 23: Referat-Sindroma Nefrotik

menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, yaitu sistem enzim utama

yang mengambil lemak dari plasma.1

Peningkatan kadar kolesterol secara umumnya disebabkan oleh meningkatnya

LDL karena LDL adalah lipoprotein utama yang mengangkut kolesterol. Kadar trigliserid

yang tinggi pula dikaitkan dengan peningkatan IDL dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan

HDL (high density lipoprotein) pada sindroma nefrotik cenderung normal atau rendah.

Mekanisme hiperlipidemia pada sindroma nefrotik dihubungkan dengan peningkatan

sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Semula diduga

hiperlipidmia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati.

Oleh karena sintesis protein tidak berkolerasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa

hiperlipidemia tidaklansung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat

ditemukan pada sindroma nefrotik dengan kadar albumin mendekati normal dan

sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.

Tingginya kadar VLDL pada sindroma nefrotik disebabkan peningkatan sintesis

hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL

dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pasa sindroma nefrotik.

Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab

berkurangnya katabolisme VLDL pada sindroma nefrotik. Peningkatan sintesis

lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang

menurun.penurunan kadar HDL pada sindroma nefrotik diduga akibat berkurangnya

aktivitas enzim LCAT (lechitin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi

pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju

hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tesebut diduga terkait dengan

hipoalbuminemia yang terjadi pada sindroma nefrotik. Lipiduria sering ditemukan pada

sindroma nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti

badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan

dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

Patologi sindoma nefrotik idiopatik

22

Page 24: Referat-Sindroma Nefrotik

Sindroma nefrotik idiopatik terjadi pada tiga pola morfologi.

1. Pada lesi minimal (85%)

Pada lesi minimal, glomerulus tanpak normal pada sel mesangium dan matriks.

Temuan-temuan mikroskopi imunofluoresens khas negatif. Mikroskopi electron

menampakka retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak dengan

penyakit lesi minimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.

2. Pada proliferatif mesangium (5%)

Pada proliferatif mesangium ditandai dengan peningkatan difus sel mesangium

dan matiks. Dengan imunofloresensi, frekuensi endapan mesangium yang

mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada

penyakit lesi minimal. Sekitar 50-60% penderita lesi histologis ini akan berespons

terhadap terapi kortikosteroid.

3. Pada lesi sclerosis setempat (10%)

Pada sebagian besar penderita dengan lesi sclerosis setempat tampak normal atau

menunjukan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama glomerulus yang dekat

dengan medulla (jukstamedulare), menunjukan jaringan parut segmental pada satu

atau lebih lobulus. Penyakitnya seringkali progresif, akhirya melibatkan semua

glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan

penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau

terapi sitostatik ataupun keduanya.penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang

ditransplantasikan.

Manifestasi Klinik Sindroma Nefrotik Idiopatik

23

Page 25: Referat-Sindroma Nefrotik

Sindroma nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada pada

wanita (2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah

dilaporkan pada setengah tahun terakhir pada usia satu tahun terakhir dari usia satu tahun

dan lazim pada orang dewasa. Episode awal dan kekambuhan beikutnya dapat terjadi

pasca infeksi virus saluran pernapasan yang nyata seperti virus influenza. Juga kadang

dumulai dengan episode awal lain seperti bengkak periorbital dan oliguria.1,2 Penyakit ini

biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan disekitar mata dan pada

tungkai bawah, di mana edemanya bersifat “pitting”. Semakin lama, edema menjadi

menyeluruh dan mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi

pleura, penurunan curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dan

dari hari ke hari dapat berpindah dari muka dan punggung ke perut, perineum dan kaki.

Anoreksia, nyeri perut dan diare lazim terjadi sedangkan hipertensi sebaliknya.1 dalam

beberapa hari,edema semakin jelas dan menjadi anasarka. Dengan perpindahan volume

plasma ke rongga ketiga dapat terjadi syok. Bila edema berat, dapat timbul dispnu akibat

efusi pleura.2

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah seperti pemeriksaan urin yang

meliputi pemeriksaan protein kualitatif/kuantitatif, kreatinin dan uji selektivitas protein

(PST) untuk menunjang bentuk lesi. Selain pemeriksaan urin diperlukan juga

pemeriksaan darah yang meliputi albumin darah, protein total dan kolesterol.3 Dari

pemeriksaan penunjang ini didapatkan proteinuria yang masif dan ditemukan pada

sediment urin nilai yang normal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB)

dicurigai adanya lesi glomerular (misalnya sclerosis glomerulus fokal). Albumin plasma

rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat, sedangkan IgG turun. Komplemen

serum normal dan tidak ada krioglobulin.2

Kriteria diagnosis 1,2,3

1. Edema

24

Page 26: Referat-Sindroma Nefrotik

2. Proteinuria massif

Urin : BANG atau DIPSTIX ≥ + 3 atau + 4 (kualitatif)

Protein > 40 mg/m3/jam, atau > 2 g/hr (kuantitatif)

Rasio protein : Kreatinin > 2,5 (Penilaian fungsi ginjal bisa normal atau

menurun. Keratin clearance ini bisa turun karenaterjadi penurunan perfusi

ginjal akibat penyusutan volume intravaskuler dan akan kembali ke

normal bila volume intravascular membaik)

Sediment urin biasanya normal

Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya

lesi glomerular (misalnya : sclerosis glomerulus fokal)

3. Hipoalbuminemia

Albumin darah < 2 g/dl (20 g/L)

4. Dengan atau tanpa hiperlipidemia/hiperkolesterolemia

5. IgM dapat meningkat sedangkan IgG turun

6. Komplimen serum normal dan tidak ada krioglobulin

7. Kadar kalsium serum total menurun (karena penurunan fraksi terikat albumin)

8. Kadar C3 normal

Penatalaksanaan 1

25

Page 27: Referat-Sindroma Nefrotik

Pada episode pertama nefrosis, anak dapat dirawat-inap di rumah sakit untuk

tujuan diagnostic, pendidikan dan teraputik. Pengecualian ini bisa terjadi pada anak

dengan klinis yang baik, tidak hipovolemik dan tinggal tidak jauh dari rumah sakit.

Pasien anak ini bisa datur untuk pemeriksaan rutin ke rumah sakit, dengan syarat

orangtua pasien sudah dididik bagaimana untuk mengenal pasti gejala dari komplikasi

sindroma nefrotik seperti infeksi dan hipovolemi. Pasien tidak dipaksakan untuk tirah

baring dan dibebaskan untuk beraktivitas. Bila timbul edema, masukan natrium dikurangi

dengan memulai “diet tidak ditambah garam”. Batasan asupan natrium sampai ± 1

gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan

sedangkan diet protein tidak perlu dirubah.7 Apabila dirawat jalan, ibunya dinasehati

unuk memasak tanpa garam, menyembunyikan garam meja, dan menghindari menyajikan

makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan bila edemanya

membaik. Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak dibatasi namun tidak perlu

didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah

seperti yang dapat ditoleransi. Bila edema tidak berkurang dengan perbatasan garam,

dapat digunakan diuretik biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya

edema dan respons pengobatan.2 Bila edema refrakter atau edema ringan sampai sedang

dapat dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi.

Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkolosis

metabolic, atau kehilangan cairan intravasklar berat.2 Bila terjadi hipokalemia, dapat

ditambahkan kalium klorida atau spironolakton (3-5 mg/kg/24 jam dibagi menjadi empat

dosis).

Jika edema menjadi berat, mengakibatkan kegawatan pernapasan yaitu sesak

akibat efusi pleura yang massif dan asites atau pada edema skrotum/labia yang berat, atau

dengan gejala hipotensi postural (sakit perut,mual dam muntah) anak harus dirawat inap

di rumah sakit. Perbatasan natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang

lebih lanjut jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak

dinaikan dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan gravitasi. Di

masa lampau, edema yang berat diobati dengan pemberian albumin intravena dan pada

beberapa penderita disertai dengan pemberian furosemid intravena. Albumin diberikan

adalah dengan dosis human albumin 25% : 0,5 -1 g/kgBB/i.v dalam 2-4 jam, diikuti

26

Page 28: Referat-Sindroma Nefrotik

pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB/i.v dapat diulang tiap 4-6 jam bila diperlukan. Tetapi

sekarang terapi tipe ini telah diganti dengan pemberian furosemid oral (1-2 mg/kg setiap

4 jam) bersama dengan metolazon (0,2 – 0,4 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi) ;

metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal. Bila menggunakan kombinasi

yang kuat ini, kadar elektrolit dan fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Pada

beberapa keadaan edema berat, pemberian albumin manusia 25% (1 g/kg/ 24jam)

intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara dan harus dihindari

terjadinya kelebihan beban volume dengan hipertensi dan gagal jantung.

Setelah diagnosisnya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat,

patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan keluarganya

untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya. Rennin kemudian

diinduksi dengan pemberian prednisone, dengan dosis 60mg/m2/24 jam (maksimum dosis

60 mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau dapat dosis selama sehari. Berdasarkan

ISKDC (international Study of Kidney Disease in Children), terapi prednisone /

prednisolon diberikan pada dua tahap. Pada tahap pertama prednisone / prednisolon

diberikan dalam dosis 60mg/m2 permukaan tubuh/ 24 jam atau 2 mg/kgBB dalam 3-4

dosis, diteruskan selama 4 minggu (28 hari) dengan maksimal 80 mg/24 jam. Pada tahap

kedua, prednisone / prednisolon diberikan dengan dosis 40 mg/m2 permukaan tubuh / 24

jam atau 1,5 mg/kgBB/24 jam dengan cara alternate (selalang sehari) dosis tunggal

setelah makan pagi, diteruskan selama 4 minggu (28 hari). Waktu yang dibutuhkan untuk

berespons terhadap prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responsnya ditetapkan pada saat

urin menjadi bebas protein. Bila relaps prednisone / prednisolo dapat diberikan dengan

dosis 60mg/m2/24 jam (2mg/kgBB/24 jam) dibagi dalam 3-4 dosis sampai 3 hari

berturut-turut dan selanjutnya menggunaka tahap kedua yang disebutkan sebelum ini.3

Jika anak berlanjut menderita proteinuria (2+ atau lebih) setelah satu bulan mendapatkan

prednisone dosis-terbagi yang terus menerus setiap hari, nefrosis demikian disebut

resisten steroid atau terjadinya relaps yang sering, maka biopsy ginjal terindikasi untuk

menetukan penyebab penyakitnya yang tepat.1,2

Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas

kortikosteroid berat (tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh dan perubahan sikap),

kemudian harus dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang

27

Page 29: Referat-Sindroma Nefrotik

lagi remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya sering

kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leukopenia, infeksi varisela tersebar, sistitis

hemoragika, alopesia, sterilitas) harus dipantau pada keluarga. Dosis siklofosfamid

adalah 3 mg/kg/24 jam sebagai dosis tunggal selama total pemberian 12 minggu. Terapi

prednisone selang sehari sering diteruskan selama pemberian siklofosfamid.selama terapi

dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan

jika jumlah leukosit menurun di bawah 5.000/uL. Penderita yang resisten-steroid

berespons terhadap perpanjangan pemberian siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metal

prednisolon, atau siklosporin.

Transplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena

glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten-steroid. Sindroma nefrotik berulang

terjadi pada 15-55% penderita. Absorbsi proein plasma pada kolom protein basis-A dapat

menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini. Absorbsi protein memindahkan

suatu fraksi (BM <100.000), yang menaikan premeabilitas protein ginjal.

Komplikasi 1

28

Page 30: Referat-Sindroma Nefrotik

Infeksi adalah komplikasi nefrosis utama, komplikasi ini akibat dari

meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Penjelasan yang

diusulkan meliputi penurunan kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan

sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi

imunosupresif, penurunan perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor

komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi bacteria tertentu.

Belum jelas mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering;

sepsis pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kencing juga dapat ditemukan. Organisme

penyebab peritonitis yang paling lazim adalah streptococcus pneumoniae; bakteri gram-

negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada

terapi kortikosteroid. Oleh karenanya yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan

darah dan cairan peritonium), dan memulai terapi awal yang mencakuo organisme grm-

positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit yang

mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang menderita nefrosis

harus mendapat vaksin pneumokokus polivalen.

Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadi trombosis arteri

dan vena (setidaknya-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu

dan inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti-trombin III plasma, dan kenaikan

agregrasi trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan kadar

vitamin D serum. Hiperkoagulabilitas selanjutnya bisa menyebabkan thromboemboli,

syok, dan gagal ginjal akut.

Prognosis 2

29

Page 31: Referat-Sindroma Nefrotik

Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespons terhadap steroid akan

mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara

spontan menjelang usia akhir dekad kedua. Yang penting adalah, menunjukan pada

keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa

penyakitnya biasanya tidak heriditer, dan bahwa anak akan tetap fertile (bila tidak ada

terapi siklosfosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis,

ditekankan bahwa selama masa remisi anak tersebut normal serta tidak perlu perbatasan

diet dan aktivitas. Pada anak yang sedang berada dalam masa remisi, pemeriksaan protein

urin biasanya tidak diperlukan.

RUJUKAN

30

Page 32: Referat-Sindroma Nefrotik

Bergstein JM. Sindrom nefrotik. Dalam : Behrman RE, Kliegma RM, Jenson HB,

penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia : WB Saunders Co;

2004. h 1827-1832

Mansjoer A. dkk, Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid ke-2. Jakarta : Media

Aesculapius 2005. H 488-490

Garna H, Nataprawira HMD, Rahayuningsih SE. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu

kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD, RS Dr.

Hassan Sadikin; 2005 h 538-541

Schwartz MW, dkk. Clinic handbook of pediatrics. USA : Williams & Wilkins; 2004 h

304-313

Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam : Price AS, Wilson

LM. Patofisiologi konsep klinis proses-prpses penyakit. Edisi ke 6. Volume 1. Jakarta :

EGC; 2006 hal 867-891

Sudoyo AW, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006 h 507-560

Haycock G. The child with idiopathic nephritic syndrome. In : Webb N, Postlethwaite R.

Clinical pediatric nephrology. 3rd Edition. New York : Oxford University Press Inc; 2003

pg 341-365

Tryggvason K, Patrakka J, Wartiovaara J. Hereditary Proteinuria Syndromes and

Mechanisms of Proteinuria. N Engl J Med 2006 (cited August 24,2009). Available from:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/354/13/1387

31

Page 33: Referat-Sindroma Nefrotik

Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Long-term, high-

dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood glucocorticoid-sensitive

nephrotic syndrome. N Engl J Med 2004 (cited August 24, 2009). Available from:

http://content.nejm.org/cgi/reprint/351/25/2655.pdf

Ishikura K, et al. Nephrotic state as a risk factor for developing posterior reversible

encephalopathy syndrome in paediatric patients with nephritic syndrome. N Engl J Med

2004 (cited August 24, 2009). Available from:

http://ndt.oxfordjournals.org/cgi/reprint/23/8/2531

32