Page 1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Umur : 18 bulan
Alamat : Berbek, Kayangan, Kab. Nganjuk
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tgl MRS : 05/01/2016
II. ANAMNESA
Keluhan Utama : bengkak
RPS : Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada tgl
05/01/2016 dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan kedua
tungkai. Awalnya timbul panas sejak 2 hari, disertai hanya bengkak pada
wajah selama 2 hari. Dibawa berobat ke bidan diberi obat dan bengkak
diwajah mulai berkurang. Kemudian kedua tangan dan kaki menjadi
bengkak. Nafsu makan menurun selama 2 hari, BAK dan BAB dalam batas
normal, mual (-) muntah (-). Saat di IGD pasien sempat sesak.
RPD : Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit
seperti ini.
RPK : (-)
Riwayat Kehamilan : Ibu pasien mengaku tidak pernah sakit selama
kehamilan.
Riwayat Persalinan : Ibu Pasien mengaku melahirkan di usia kandungan 38
minggu, dan melahirkan di bidan secara normal.
Riwayat tumbuh kembang : Ibu pasien mengatakan pasien selalu kontrol
rutin untuk pemeriksaan.
Riwayat Makanan : Pada saat lahir pasien sudah diberi ASI
Riwayat Imunisasi : Ibu pasien mengaku anaknya sudah mendapatkan
imunisasi lengkap sesuai dengan waktunya.
1
Page 2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : composmentis, GCS: 4-5-6
TD : 110/70mmHg
Nadi : 124 x/menit
Respirasi : 22 x/m
Suhu : 36 C
BB : 18 kg
Lingkar Kepala : 45 cm
A. Kepala Leher
Mata : Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Icterus (-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Cyanosis (-)
Leher : JVP meningkat (-)
B. Thoraks
Pulmo :
‒ Inspeksi : gerak dada simetris
‒ Palpasi : fremitus raba simetris, fremitus suara simetris
‒ Perkusi : sonor
‒ Auskultasi : vesikuler +/+ rhonki -/-, whezzing -/-, S1/S2 tunggal, gallop (-),
murmur (-)
C. Abdomen
Inspeksi : flat (+), jejas (-) vena kolateral (-), caput medusae (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : - Soefl, nyeri tekan (-)
- Hepar & Lien: tidak teraba.
Perkusi : Timpani
D. Ekstremitas
Akral hangat, Oedem (+) pada kedua kaki
2
Page 3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap, urin lengkap, kimia serum, elektrolit, foto thorak.
Pemeriksaan serum tanggal 05 Januari 2016
SGOT 365.6 ↑ <= 31.0
SGPT 82.0 ↑ <= 34.0
PROTEIN TOTAL 4.42 ↓ 6.60-8.80
ALBUMIN 1.26 ↓ 3.50-5.20
GLOBULIN 3.16 2.00-3.50
CHOLESTEROL 496 ↑ <=200
UREUM 38.4 15.0-40.0
CREATINE 0.35 0.60-1.10
Pemeriksaan serum urine tanggal 05 Januari 2016
3
Page 4
Urin lengkap autoanalyzer
Makroskopis
Warna kuning muda kuning
Kejernihan jernih jernih
Kimia
Berat jenis 1.030
pH 6.0
Leukosit negative
Nitrit negative
Protein (+) 3
Glukosa negative
Keton negative
Urobilinogen negative
Bilirubin negative
Eritrosit (+) 2
Sediment Flowcymetry
Eritrosit 335.1 H
Leukosit 64.8 H
Epitel 92.3 H
Silinder 21.22 H
Bakteri 212.4 H
Lain-lain negatif
4
Page 5
Pemeriksaan serum kimia darah 05 Januari 2016
KIMIA DARAH
Na, K, Ca
Natrium darah 109 L (132-145)
Kalium darah 4.5 L (3.1-5.1)
Calcium ion 0.97 L (1.20-1.38)
Pemeriksaan kimia darah 07 Januari 2016
PROTEIN TOTAL 3.59 ↓ (6.60-8.80)
ALBUMIN 1.78 ↓ (3.50-5.20)
Globulin 1.81 ↓ (2.00-3.50)
Pemeriksaan hematologi 11 Januari 2016
Darah Rutin
Leukosit 17.45 H (5.00-15.00)
Jumlah Eritrosit 4.38 (3.00-6.00)
Hemoglobin 11.3 (10.0-15.0)
Hematokrit 33.7 (30.0-45.0)
MCV 76.9 (70.0-110.0)
MCH 25.8 (21.0-36.0)
MCHC 33.5 (28.0-36.0)
Trombosit 768 H (150-400)
RDW-SD 38.1 (37-54)
RDW-CV 13.9 (11.0-15.0)
PDW 11.0
MPV 10.0
P-LCR 24.2
5
Page 6
PCT 0.28
Pemeriksaan urinalisa 12 Januari 2016
Urin lengkap autoanalyzer
Makroskopis
Warna kuning muda kuning
Kejernihan keruh jernih
Kimia
Berat jenis 1.050
pH 8.0
Leukosit negative
Nitrit negative
Protein negative
Glukosa negative
Keton negative
Urobilinogen negative
Bilirubin negative
Eritrosit negative
Sediment Flowcymetry
Eritrosit 5.6 H
Leukosit 5.6
Epitel 19.5 H
Silinder 0.39
6
Page 7
Bakteri 68.0
Lain-lain negative
Sediment Flowcymetry
Eritrosit 5.6 H <=5
Leukosit 5.6 <=10
Epitel 19.5 H <=12.9
Silinder 0.39 <=0.94
Bakteri 68.0 <=130.7
Lain-lain negatif
Pemeriksaan hematologi 13 Januari 2016
Darah Rutin
Leukosit 14.21 (5.00-15.00)
Jumlah Eritrosit 4.38 (3.00-6.00)
Hemoglobin 11.3 (10.0-15.0)
Hematokrit 33.7 (30.0-45.0)
MCV 76.9 (70.0-110.0)
MCH 25.8 (21.0-36.0)
MCHC 33.5 (28.0-36.0)
Trombosit 799 H (150-400)
RDW-SD 38.1 (37-54)
RDW-CV 13.9 (11.0-15.0)
PDW 11.0
MPV 10.0
P-LCR 24.2
PCT 0.28
Hasil pemeriksaan foto thorak 07 Januari 2016
7
Page 8
Cor : ukuran normal
Pulmo : tampak perselubungan di paracardial kanan dan perihiler kanan, sinus costphrenicus
kanan kiri tajam
Diafragma normal
Kesimpulan: pneumonia
V. RESUME
8
Page 9
Pasien anak perempuan usia 18 bulan dengan ibunya datang ke IGD RSUD
Nganjuk pada tgl 05/01/2016 dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan
kedua tungkai. Awalnya timbul panas sejak 2 hari, disertai hanya bengkak pada wajah
selama 2 hari. Dibawa berobat ke bidan diberi obat dan bengkak diwajah mulai
berkurang. Kemudian kedua tangan dan kaki menjai bengkak. Nafsu makan menurun
selama 2 hari, BAK dan BAB dalam batas normal, mual (-) muntah (-). Saat di IGD
pasien sempat sesak.
Pada pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, suara rhonki didapatkan
pada kedua basal paru, ekstremitas bawah terutama kaki tampak odema.
Pada pemeriksaan penunjang, pada darah lengkap ditemukan peningkatan
leukosti dan peningkatan trombosit, pada pemeriksaan urine lengkap ditemukan protein
(+)3, dan eritrosit (+)2, pada pemeriksaan kimia serum, didapatkan penurunan kadar
albumin, penurunan protein total, peningkatan SGOT dan SGPT, dan peningkatan
kadar kolesterol. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan penurunan natrium, kalium,
dan kalsium ion. Dari hasil foto thorak didapatkan pneumonia.
VI. DIAGNOSIS
- Sindroma nefrotik
- Pneumonia
VII . PENATALAKSANAAN
Inf. D5 225 700cc/24 jam
Inj. Furosemide 1 x 80mg
Inj. Ampicillin 3 x 300mg
Inj. Amikacin 2 x 75mg
Inf. Albumin 20% 20cc
Tabl. Prednisone 2mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis
9
Page 10
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak
VIII. PROGNOSA
Dubia ad sanam bonam
Dubia ad vitam bonam
Follow up
05/01/2016 S : panas, muntah, sesak
O : T: 37 C, N: 100x/m, RR: 24x/m, GDA: 109
k/u lemah
Inf d5 500cc/24jam
Ampicillin 3 x 300
Glibotic 2 x 75
Cek lab DL, GDA, SGOT,
SGPT
Nebul tiap 8 jam
10
Page 11
06/01/2016 Albumin 20% 50cc
Ampicillin 3 x 300
Glibotic 2 x 75
Prednisone 1-1-1
Lasix 1 x 8
D5 25 700cc/24 jam
Luminal 3 x 40 IV
07/01/2016 S: bengkak kaki berkurang, BAK (+)
O: k/u lemah, TD: 100/70 mmHg
k/l : a/i/c/d -/-/-/-
pulmo : ves/ves, rh -/-, wh -/-
abd : soepel
ext: akral hangat, odema kaki (+)
Cek ALB
Inf. D5 225 700cc/24 jam
Inj. Ampicillin 3 x 300
Inj glybotic 2 x 75
Inj Lasix 1 x 8
Inj luminal 3 x 40
Prednisone 1-1-1
08/01/2016 S: sesak (+)
O: k/u lemah
Suhu: 36,6 C N: 112x/m RR: 28x/m
Prednisone 1-1-1
Lasix 1 x 8
Inf D5 700cc/24 jam
Ampicillin 3 x 300
Glibotic 2 x 75
Albumin 20% 50cc
11
Page 12
Luminal 3 x 40
09/01/2016 S: bengkak sudah berkurang, panas naik turun,
O: S: 38,1 N: 112x/m, RR: 24x/m
Cek lab
Inf. D5 225 700cc/24 jam
Inj ampicillin 3 x 300
Inj glybotic 2 x 75
Inj norages 100mg bila
panas
Tx oral: prednisone 1-1-1
10/01/2016 S: bengkak menurun,
O: k/u cukup
Suhu: 37C, N: 110x/m, RR: 24x/m
Inf. D5 225 700cc/24 jam
Inj ampicillin 3 x 300
Inj glybotic 2 x 75
Inj norages 100mg bila
panas
Tx oral: prednisone 1-1-1
11/01/2016 S: bengkak berkurang
O: k/u lemah
Suhu: 36C, N: 110x/m, RR: 24x/m
Inf D5 225 700cc/24jam
Ampicillin 3 x 300
Prednisone 1-1-1
12/01/2016 S: kembung, makan/minum (+)
O: k/u cukup
k/l: a/i/c/d -/-/-/-
suhu: 37,6C N: 122x/m RR: 24x/m
Inf D5 225 700cc/24jam
Ampicillin 3 x 300
Prednisone 1-1-1
12
Page 13
cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)
pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-
abd: BU(+) soepel
extremitas: akral hangat, odema (-)
13/01/2016 S: kembung menurun,
O: k/u cukup
k/l: a/i/c/d -/-/-/-
suhu: 36C N: 120x/m RR: 24x/m
cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)
pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-
abd: BU(+) soepel
extremitas: akral hangat, odema (-)
Tx oral
Prednisone 1-1-1
Kalk 1 x 1
DL ulang
14/01/2016 S: kembung menurun,
O: k/u cukup
k/l: a/i/c/d -/-/-/-
suhu: 36,1C N: 122x/m RR: 20x/m
cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)
pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-
abd: BU(+) soepel
extremitas: akral hangat, odema (-)
Tx oral
Prednisone 1-1-1
Kalk 1 x 1
KRS
13
Page 14
SINDROMA NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan
ekstrarenal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun
kerusakan primer pada ginjal, yang meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia,
edema anasarka, serta hiperlipidemia dan lipiduria.
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio
14
Page 15
protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25
g /l), hiperkolesterolemia(total kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis
edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1
pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya
dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik,
obat-obatan, dan lain-lain.1,2
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat
yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga
berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi
pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.
Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik
terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2, 3
II. ETIOLOGI
Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh
penyakit ginjal primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) merupakan jenis yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh
kasus SN primer (idiopatik).3
Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui
terjadi pada usia remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada
sekitar 25% kasus SN idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis
membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit
15
Page 16
ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab terbanyak dari kasus SN sekunder
yakni diabetes mellitus.3
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom
nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila
berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi1,3-5 :
1. GN lesi minimal (GNLM);
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3. GN membranosa (GNMN);
4. GN Membranoproliferatif (GNMP);
5 GN proliferatif lain.1,3-5
b. Penyebab Sekunder
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV,
sifilis, TB, lepra, skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma
(paru, payudara, kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal
3. Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE),
Reumatoid artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami,
probenesid, kaptopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid
(sindrom nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang
lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsi), dan
resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan
minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16
tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per
100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak
16
Page 17
perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur < 10
tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun.2
IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya
molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus
(proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin),
tetapi mungkin normal atau menurun.1
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik
plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan
menigkatkan edema.1,5
c. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang sering
menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang mengalami
peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density
lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL (high density
lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis
lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5
d. Edema
17
Page 18
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma, terjadi
hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi
natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga
akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu menjaga cairan
intravaskuler.1,5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal
utama.Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan terus
mengaktivasi system retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga edema semakin
berlanjut.1,5
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria
massif >3-3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni
edema pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat
disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun efusi
perikard.3
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
1. Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot
>300-350 mg/mmol.
2. Serum albumin <2,5 gr/dl.
3. Manifestasi klinis edema perifer.
4. Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai.1
18
Page 19
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut: 4
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar
3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam
sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,
yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,
torak hialin, dan torak eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan
kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsi
mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan
19
Page 20
glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang
lebih baik terhadap steroid.
f) Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal
VIII. PENATALAKSANAAN
Nutrisi dan Cairan
Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari,
dan mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3
Diuretik
Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti
tentang rekomendasi pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan
pendapat yang disepakati saat ini, diuresis ditargetkan pada penurunan berat
badan 0,5-1 kg per hari untuk menghindari gagal ginjal akut atau gangguan
keseimbangan elektrolit. Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid
(Lasix) atau bumetanide saat ini paling banyak digunakan. Dosis besar (80-
120 mg furosemid) seringkali dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal
harus diberikan secara intravena karena daya absorpsi yang kurang secara
oral terhadap obat-obatan tersebut dapat menyebabkan edema intestinum.
Kadar albumin serum yang rendah juga membatasi efektivitas obat-obat
diuretic dan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Diuretik thiazid,
potassium-sparing diuretic, atau metolazone (Zaroxolyn) dapat berguna
sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik.3
ACE Inhibitors
20
Page 21
Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui
dapat menurunkan proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang
mengarah ke penyakit ginjal pada pasien dengan sindrom nefrotik. Suatu
penelitian menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon ketika terapi
kortikosteroid dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang
direkomendasikan pun masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec)
2,5-20 mg per hari banyak digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom
nefrotik sebaiknya diterapi dengan ACE inhibitiors untuk mengurangi
proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi tekanan darah.3
Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis
yang terjadi karena edema dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia.
Namun, tidak ada bukti penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari
terapi dengan albumin, dan pada keadaan yang tidak diharapkan seperti
hipertensi dan edema pulmonum, jelas membatasi terapi albumin.3
Kortikosteroid
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam
manajemen sindrom nefrotik pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki
keuntungan, namun direkomendasikan pada beberapa pasien yang tidak
berespon terhadap terapi konservatif. Terapi pada anak dengan sindrom
nefrotik berbeda, dan hal tersebut lebih memperlihatkan bahwa anak
berespon baik terhadap terapi kortikosteroid. Secara klasik, penyakit
kelainan minimal berespon lebih baik terhadap kortikosteroid dibanding
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan hal ini ditemukan pada
anak dengan sindrom nefrotik primer.3
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua
kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.
Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan
pengobatan relaps.3,5
21
Page 22
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-
macam, di antaranya pada orang dewasa adalah
prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8
minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu,
tapering di 4 bulan berikutnya. Sekitar 90% pasien akan remisi bila terapi
diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami
kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi
remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap
jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl,
kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi
parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol
serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan
resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.3,5
Lipid-lowering treatment
Beberapa bukti penelitian memperlihatkan peningkatan risiko
aterosklerosis atau infark miokard pada pasien SN, yang mungkin
berhubungan dengan peningkatan kadar lipid serum. Namun, peranan terapi
pada peningkatan lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk
memulai terapi dengan penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika
tidak menimbulkan kerugian.3
IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering
ialah selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi
adalah infeksi gram negatif.5
22
Page 23
2. Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15%
kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.5
3. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian
diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan
sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi,
takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam
urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.
Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma
sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan. 5
4. Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena
keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume
intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh
peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta
fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III
yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat
pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar
antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan
komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis
rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi
tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100
U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol,
trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan
meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat.
Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin
serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh
23
Page 24
karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria
merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di
samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada
SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada
keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit
lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat
kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.
Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat
asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih
diperdebatkan. 5
X. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun
memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih
memiliki risiko gagal ginjal.
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi
3. Disertai hematuria
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
5. Gamabaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pada umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi
respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
(50%) diantaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi
respon lagi dengan pengobatan steroid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 2008;336:1185-9.
24
Page 25
2. Handayani I., Rusli B., Hardjoeno, Profile of cholesterol and albumin concentration and
urine sediment based on nephritic syndrome children. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, 2007;13(2):49-52.
3. Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. American Family
Physician, 2009;80(10):1129-1134.
4. Davin JC.,Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to treatment.
International Journal of Nephrology, 2011;1-6.
5. Prodjosudjadi W., SindromNefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed VI. 2006;999-
1003
PNEUMONIA
I. LATAR BELAKANG
25
Page 26
Pneumonia dan infeksi saluran pernapasan bawah lainnya adalah
penyebab utama kematian di seluruh dunia. Karena pneumonia adalah umum dan
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan, baik
mendiagnosis pneumonia, benar mengenali komplikasi atau kondisi yang
mendasari, dan penting mengobati pasien dengan tepat. Meskipun di negara maju
diagnosis biasanya dibuat atas dasar temuan radiografi, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) telah mendefinisikan pneumonia semata-mata atas dasar temuan
klinis yang diperoleh dengan inspeksi visual dan pada waktu tingkat pernapasan.
(Lihat Presentasi Klinis)1.
Pneumonia dapat berasal paru atau mungkin komplikasi fokus dari
proses peradangan berdekatan atau sistemik. Kelainan patensi jalan napas serta
ventilasi alveolar dan perfusi sering terjadi karena berbagai mekanisme.
Derangements ini sering secara signifikan mengubah pertukaran gas dan
metabolisme sel tergantung pada banyak jaringan dan organ yang menentukan
kelangsungan hidup dan memberikan kontribusi untuk kualitas hidup. Pengakuan,
pencegahan, dan pengobatan masalah ini adalah faktor utama dalam perawatan
anak-anak dengan pneumonia. (Lihat Patofisiologi.) Salah satu bentuk khusus dari
pneumonia hadir dalam populasi anak, pneumonia kongenital, terlihat dalam 24
jam pertama setelah lahir1.
II. PATOFISIOLOGY
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi
partikel di hidung, pencegahan aspirasi ddengan reflex epiglottis, ekspulsi benda
asing melalui reflex batuk, pembersihan kea rah kranial oleh mukosilier,
fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun
local dan drainasi melalui system limfatik. Factor prediposisi pneumonia :
aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertussis, penyakit
jantung bawaan, gangguan neuromuscular, kontaminasi perinatal dan gangguan
klirens mucus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, benda asing atau disfungsi silier.
Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda
asing, transplasental atau selama persalinan pada neonates. Umumnya pneumonia
terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui
26
Page 27
aliran darah. Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus.
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil.
Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan pertambahan umur. Pada
pneumonia berat bias terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik,
asidosis metabolic dan gagal nafas1,2.
III. KLASIFIKASI3
a. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur < 2 bulan
i. Pneumonia berat, adanya nafas cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60
kali per menit atau lebih.
ii. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa.
b. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur 2 bulan – < 5 tahun
i. Pneumonia berat, adanya nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah.
ii. Pneumonia, bila disertai nafas cepat, usia 2 bulan – <1 tahun 50 kali per menit,
untuk usia 1 tahun - <5 tahun 40 kali per menit.
iii. Bukan pneumonia, batuk pilek biasa tidak ada tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
IV. DIAGNOSIS4
Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, penentuan klasifikasi pneumonia
berat dan pneumonia adalah sekaligus merupakan penegakan diagnosis, sedangkan
penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap sebagai penegakan
diagnosis. Jika keadaan penyakit seorang balita termasuk dalam klasifikasi bukan
pneumonia maka diagnosis penyakitnya kemungkinan adalah batuk pilek biasa,
faringitis, tonsillitis, otitis atau penyakit ISPA non-pneumonia lainnya.
a. Pemeriksaan Fisik2
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang digunakan oleh
program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya
27
Page 28
batuk atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
sesuai umur. Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung
frekuensi pernafasan. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50
kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan - <1 tahun dan 40 kali per menit
atau lebih pada anak usia 1- <5 tahun. Diagnosis pneumonia berat didasarkan
pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan
dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Untuk
kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya
nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
b. Laboratorium3
kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia pneumococcus
dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi organisme
dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi.
c. Radiologis3,4
Gambaran radiologis pada foto toraks PA yang khas ialah terdapat
konsolidasi pada lobus, lobulus atau segmen dari satu atau lebih lobus paru.
Terlihat patchy infiltrate para parenkim paru dengan gambaran infiltrasi kasar
pada beberapa tempat di paru sehingga menyerupai bronchopneumonia. Pada foto
toraks mungkin disertai gambaran yang menunjukkan ada cairan di pleura atau
fisura interlober
Pneumonia biasanya menyebabkan suatu daerah persebulungan yang
berbatas tegas yang di dalamnya terdapat daerah yang masih terisi udara
dan/atau bronkhi yang berisi udara (air bronchogram). Biasanya pneumonia
menyebabkan adanya opasitas yang tidak jelas dan tersebar pada beberapa
bagian paru. Hilangnya sebagian volume pada lobus yang sakit (seperti yang
ditunjukkan oleh letak fisura, diafragma dan hilus) dan adanya air-bronchogram
merupakan petunjuk adanya obstruksi bronkhus proksimal dari konsolidasi
(oleh tumor atau benda asing)5.
V. PENATALAKSANAAN6,7,8
1. Indikasi MRS:
a. Ada kesukaran nafas
b. Sianosis
28
Page 29
c. Umur kurang 6 bulan
d. Ada penyulit
e. Diduga infeksi oleh Staphylococcus
f. Imunokompromis
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotic oral
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker,
monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan
bantuan ventilator mekanik
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai dengan diet enteral
bertahap melalui selang nasogastric
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
7. Pemilihan antibiotic berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan
dugaan penyebab. Evaluasi pengobatan dilakukan tiap 48-72 jam.
Bila tidak ada perbaikan klinis dilakukan penggantian antibiotic
sampai anak dinyatakan sembuh lama pemberian antibiotic
tergantung : kemjuan klinis, hasil laboratorium, foto thoraks, dan
jenis kuman penyebab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Douglas D. Twice-Daily Amoxicillin Effective in Children With Pneumonia.
Medscape Medical News. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/823469. Accessed: April 22, 2014.
29
Page 30
2. Vilas-Boas AL, Fontoura MS, Xavier-Souza G, Araújo-Neto CA, Andrade SC, Brim
RV, et al. Comparison of oral amoxicillin given thrice or twice daily to children
between 2 and 59 months old with non-severe pneumonia: a randomized controlled
trial. J Antimicrob Chemother. 2014 Mar 19. [Medline].
3. Boggs W. Point-of-Care Ultrasound Diagnoses Pneumonia in Children. Medscape
Medical News. December 10, 2012. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/775961. Accessed: January 9, 2013.
4. Shah VP, Tunik MG, Tsung JW. Prospective Evaluation of Point-of-Care
Ultrasonography for the Diagnosis of Pneumonia in Children and Young Adults. Arch
Pediatr Adolesc Med. 2012 Dec 10. 1-7. [Medline].
5. Metinko AP. Neonatal pulmonary host defense mechanisms. Polin RA, Fox WW, eds.
Fetal and Neonatal Physiology. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co; 2004.
1620-73.
6. Barnett ED, Klein JO. Bacterial infections of the respiratory tract. Remington JS,
Klein JO, eds. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. 6th ed.
Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders Co; 2006. 297-317.
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis of the
disease process. Chest. 1997 Jul. 112(1):235-43. [Medline].
8. Michelow IC, Olsen K, Lozano J, Rollins NK, Duffy LB, Ziegler T, et al.
Epidemiology and clinical characteristics of community-acquired pneumonia in
hospitalized children. Pediatrics. 2004 Apr.
30