Top Banner
STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama : An. S Umur : 18 bulan Alamat : Berbek, Kayangan, Kab. Nganjuk Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Tgl MRS : 05/01/2016 II. ANAMNESA Keluhan Utama : bengkak RPS : Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada tgl 05/01/2016 dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan kedua tungkai. Awalnya timbul panas sejak 2 hari, disertai hanya bengkak pada wajah selama 2 hari. Dibawa berobat ke bidan diberi obat dan bengkak diwajah mulai berkurang. Kemudian kedua tangan dan kaki menjadi bengkak. Nafsu makan menurun selama 2 hari, BAK dan BAB dalam batas normal, mual (-) muntah (-). Saat di IGD pasien sempat sesak. RPD : Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit seperti ini. RPK : (-) Riwayat Kehamilan : Ibu pasien mengaku tidak pernah sakit selama kehamilan. Riwayat Persalinan : Ibu Pasien mengaku melahirkan di usia kandungan 38 minggu, dan melahirkan di bidan secara normal. 1
42

LAPSUS Sindroma Nefrotik

Apr 14, 2016

Download

Documents

lapsus sindroma nefrotik pada anak
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPSUS Sindroma Nefrotik

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. S

Umur : 18 bulan

Alamat : Berbek, Kayangan, Kab. Nganjuk

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Tgl MRS : 05/01/2016

II. ANAMNESA

Keluhan Utama : bengkak

RPS : Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada tgl

05/01/2016 dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan kedua

tungkai. Awalnya timbul panas sejak 2 hari, disertai hanya bengkak pada

wajah selama 2 hari. Dibawa berobat ke bidan diberi obat dan bengkak

diwajah mulai berkurang. Kemudian kedua tangan dan kaki menjadi

bengkak. Nafsu makan menurun selama 2 hari, BAK dan BAB dalam batas

normal, mual (-) muntah (-). Saat di IGD pasien sempat sesak.

RPD : Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit

seperti ini.

RPK : (-)

Riwayat Kehamilan : Ibu pasien mengaku tidak pernah sakit selama

kehamilan.

Riwayat Persalinan : Ibu Pasien mengaku melahirkan di usia kandungan 38

minggu, dan melahirkan di bidan secara normal.

Riwayat tumbuh kembang : Ibu pasien mengatakan pasien selalu kontrol

rutin untuk pemeriksaan.

Riwayat Makanan : Pada saat lahir pasien sudah diberi ASI

Riwayat Imunisasi : Ibu pasien mengaku anaknya sudah mendapatkan

imunisasi lengkap sesuai dengan waktunya.

1

Page 2: LAPSUS Sindroma Nefrotik

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : composmentis, GCS: 4-5-6

TD : 110/70mmHg

Nadi : 124 x/menit

Respirasi : 22 x/m

Suhu : 36 C

BB : 18 kg

Lingkar Kepala : 45 cm

A. Kepala Leher

Mata : Konjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Icterus (-)

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Nafas cuping hidung (-)

Mulut : Cyanosis (-)

Leher : JVP meningkat (-)

B. Thoraks

Pulmo :

‒ Inspeksi : gerak dada simetris

‒ Palpasi : fremitus raba simetris, fremitus suara simetris

‒ Perkusi : sonor

‒ Auskultasi : vesikuler +/+ rhonki -/-, whezzing -/-, S1/S2 tunggal, gallop (-),

murmur (-)

C. Abdomen

Inspeksi : flat (+), jejas (-) vena kolateral (-), caput medusae (-)

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : - Soefl, nyeri tekan (-)

- Hepar & Lien: tidak teraba.

Perkusi : Timpani

D. Ekstremitas

Akral hangat, Oedem (+) pada kedua kaki

2

Page 3: LAPSUS Sindroma Nefrotik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap, urin lengkap, kimia serum, elektrolit, foto thorak.

Pemeriksaan serum tanggal 05 Januari 2016

SGOT 365.6 ↑ <= 31.0

SGPT 82.0 ↑ <= 34.0

PROTEIN TOTAL 4.42 ↓ 6.60-8.80

ALBUMIN 1.26 ↓ 3.50-5.20

GLOBULIN 3.16 2.00-3.50

CHOLESTEROL 496 ↑ <=200

UREUM 38.4 15.0-40.0

CREATINE 0.35 0.60-1.10

Pemeriksaan serum urine tanggal 05 Januari 2016

3

Page 4: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Urin lengkap autoanalyzer

Makroskopis

Warna kuning muda kuning

Kejernihan jernih jernih

Kimia

Berat jenis 1.030

pH 6.0

Leukosit negative

Nitrit negative

Protein (+) 3

Glukosa negative

Keton negative

Urobilinogen negative

Bilirubin negative

Eritrosit (+) 2

Sediment Flowcymetry

Eritrosit 335.1 H

Leukosit 64.8 H

Epitel 92.3 H

Silinder 21.22 H

Bakteri 212.4 H

Lain-lain negatif

4

Page 5: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Pemeriksaan serum kimia darah 05 Januari 2016

KIMIA DARAH

Na, K, Ca

Natrium darah 109 L (132-145)

Kalium darah 4.5 L (3.1-5.1)

Calcium ion 0.97 L (1.20-1.38)

Pemeriksaan kimia darah 07 Januari 2016

PROTEIN TOTAL 3.59 ↓ (6.60-8.80)

ALBUMIN 1.78 ↓ (3.50-5.20)

Globulin 1.81 ↓ (2.00-3.50)

Pemeriksaan hematologi 11 Januari 2016

Darah Rutin

Leukosit 17.45 H (5.00-15.00)

Jumlah Eritrosit 4.38 (3.00-6.00)

Hemoglobin 11.3 (10.0-15.0)

Hematokrit 33.7 (30.0-45.0)

MCV 76.9 (70.0-110.0)

MCH 25.8 (21.0-36.0)

MCHC 33.5 (28.0-36.0)

Trombosit 768 H (150-400)

RDW-SD 38.1 (37-54)

RDW-CV 13.9 (11.0-15.0)

PDW 11.0

MPV 10.0

P-LCR 24.2

5

Page 6: LAPSUS Sindroma Nefrotik

PCT 0.28

Pemeriksaan urinalisa 12 Januari 2016

Urin lengkap autoanalyzer

Makroskopis

Warna kuning muda kuning

Kejernihan keruh jernih

Kimia

Berat jenis 1.050

pH 8.0

Leukosit negative

Nitrit negative

Protein negative

Glukosa negative

Keton negative

Urobilinogen negative

Bilirubin negative

Eritrosit negative

Sediment Flowcymetry

Eritrosit 5.6 H

Leukosit 5.6

Epitel 19.5 H

Silinder 0.39

6

Page 7: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Bakteri 68.0

Lain-lain negative

Sediment Flowcymetry

Eritrosit 5.6 H <=5

Leukosit 5.6 <=10

Epitel 19.5 H <=12.9

Silinder 0.39 <=0.94

Bakteri 68.0 <=130.7

Lain-lain negatif

Pemeriksaan hematologi 13 Januari 2016

Darah Rutin

Leukosit 14.21 (5.00-15.00)

Jumlah Eritrosit 4.38 (3.00-6.00)

Hemoglobin 11.3 (10.0-15.0)

Hematokrit 33.7 (30.0-45.0)

MCV 76.9 (70.0-110.0)

MCH 25.8 (21.0-36.0)

MCHC 33.5 (28.0-36.0)

Trombosit 799 H (150-400)

RDW-SD 38.1 (37-54)

RDW-CV 13.9 (11.0-15.0)

PDW 11.0

MPV 10.0

P-LCR 24.2

PCT 0.28

Hasil pemeriksaan foto thorak 07 Januari 2016

7

Page 8: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Cor : ukuran normal

Pulmo : tampak perselubungan di paracardial kanan dan perihiler kanan, sinus costphrenicus

kanan kiri tajam

Diafragma normal

Kesimpulan: pneumonia

V. RESUME

8

Page 9: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Pasien anak perempuan usia 18 bulan dengan ibunya datang ke IGD RSUD

Nganjuk pada tgl 05/01/2016 dengan keluhan bengkak pada wajah, kedua tangan, dan

kedua tungkai. Awalnya timbul panas sejak 2 hari, disertai hanya bengkak pada wajah

selama 2 hari. Dibawa berobat ke bidan diberi obat dan bengkak diwajah mulai

berkurang. Kemudian kedua tangan dan kaki menjai bengkak. Nafsu makan menurun

selama 2 hari, BAK dan BAB dalam batas normal, mual (-) muntah (-). Saat di IGD

pasien sempat sesak.

Pada pemeriksaan fisik, TTV dalam batas normal, suara rhonki didapatkan

pada kedua basal paru, ekstremitas bawah terutama kaki tampak odema.

Pada pemeriksaan penunjang, pada darah lengkap ditemukan peningkatan

leukosti dan peningkatan trombosit, pada pemeriksaan urine lengkap ditemukan protein

(+)3, dan eritrosit (+)2, pada pemeriksaan kimia serum, didapatkan penurunan kadar

albumin, penurunan protein total, peningkatan SGOT dan SGPT, dan peningkatan

kadar kolesterol. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan penurunan natrium, kalium,

dan kalsium ion. Dari hasil foto thorak didapatkan pneumonia.

VI. DIAGNOSIS

- Sindroma nefrotik

- Pneumonia

VII . PENATALAKSANAAN

Inf. D5 225 700cc/24 jam

Inj. Furosemide 1 x 80mg

Inj. Ampicillin 3 x 300mg

Inj. Amikacin 2 x 75mg

Inf. Albumin 20% 20cc

Tabl. Prednisone 2mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis

9

Page 10: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak

VIII. PROGNOSA

Dubia ad sanam bonam

Dubia ad vitam bonam

Follow up

05/01/2016 S : panas, muntah, sesak

O : T: 37 C, N: 100x/m, RR: 24x/m, GDA: 109

k/u lemah

Inf d5 500cc/24jam

Ampicillin 3 x 300

Glibotic 2 x 75

Cek lab DL, GDA, SGOT,

SGPT

Nebul tiap 8 jam

10

Page 11: LAPSUS Sindroma Nefrotik

06/01/2016 Albumin 20% 50cc

Ampicillin 3 x 300

Glibotic 2 x 75

Prednisone 1-1-1

Lasix 1 x 8

D5 25 700cc/24 jam

Luminal 3 x 40 IV

07/01/2016 S: bengkak kaki berkurang, BAK (+)

O: k/u lemah, TD: 100/70 mmHg

k/l : a/i/c/d -/-/-/-

pulmo : ves/ves, rh -/-, wh -/-

abd : soepel

ext: akral hangat, odema kaki (+)

Cek ALB

Inf. D5 225 700cc/24 jam

Inj. Ampicillin 3 x 300

Inj glybotic 2 x 75

Inj Lasix 1 x 8

Inj luminal 3 x 40

Prednisone 1-1-1

08/01/2016 S: sesak (+)

O: k/u lemah

Suhu: 36,6 C N: 112x/m RR: 28x/m

Prednisone 1-1-1

Lasix 1 x 8

Inf D5 700cc/24 jam

Ampicillin 3 x 300

Glibotic 2 x 75

Albumin 20% 50cc

11

Page 12: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Luminal 3 x 40

09/01/2016 S: bengkak sudah berkurang, panas naik turun,

O: S: 38,1 N: 112x/m, RR: 24x/m

Cek lab

Inf. D5 225 700cc/24 jam

Inj ampicillin 3 x 300

Inj glybotic 2 x 75

Inj norages 100mg bila

panas

Tx oral: prednisone 1-1-1

10/01/2016 S: bengkak menurun,

O: k/u cukup

Suhu: 37C, N: 110x/m, RR: 24x/m

Inf. D5 225 700cc/24 jam

Inj ampicillin 3 x 300

Inj glybotic 2 x 75

Inj norages 100mg bila

panas

Tx oral: prednisone 1-1-1

11/01/2016 S: bengkak berkurang

O: k/u lemah

Suhu: 36C, N: 110x/m, RR: 24x/m

Inf D5 225 700cc/24jam

Ampicillin 3 x 300

Prednisone 1-1-1

12/01/2016 S: kembung, makan/minum (+)

O: k/u cukup

k/l: a/i/c/d -/-/-/-

suhu: 37,6C N: 122x/m RR: 24x/m

Inf D5 225 700cc/24jam

Ampicillin 3 x 300

Prednisone 1-1-1

12

Page 13: LAPSUS Sindroma Nefrotik

cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)

pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-

abd: BU(+) soepel

extremitas: akral hangat, odema (-)

13/01/2016 S: kembung menurun,

O: k/u cukup

k/l: a/i/c/d -/-/-/-

suhu: 36C N: 120x/m RR: 24x/m

cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)

pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-

abd: BU(+) soepel

extremitas: akral hangat, odema (-)

Tx oral

Prednisone 1-1-1

Kalk 1 x 1

DL ulang

14/01/2016 S: kembung menurun,

O: k/u cukup

k/l: a/i/c/d -/-/-/-

suhu: 36,1C N: 122x/m RR: 20x/m

cor: S1/S2 tunggal, gallop (-) murmur (-)

pulmo: ves/ves, rh-/-, wh -/-

abd: BU(+) soepel

extremitas: akral hangat, odema (-)

Tx oral

Prednisone 1-1-1

Kalk 1 x 1

KRS

13

Page 14: LAPSUS Sindroma Nefrotik

SINDROMA NEFROTIK

I. PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan

ekstrarenal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun

kerusakan primer pada ginjal, yang meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia,

edema anasarka, serta hiperlipidemia dan lipiduria.

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik

glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio

14

Page 15: LAPSUS Sindroma Nefrotik

protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25

g /l), hiperkolesterolemia(total kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis

edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak

semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2

SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1

pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya

dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik,

obat-obatan, dan lain-lain.1,2

Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat

yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga

berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi

pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan

nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta

hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal

kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.

Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik

terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2, 3

II.       ETIOLOGI

Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh

penyakit ginjal primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal

segmental (FSGS) merupakan jenis yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh

kasus SN primer (idiopatik).3

Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui

terjadi pada usia remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada

sekitar 25% kasus SN idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis

membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit

15

Page 16: LAPSUS Sindroma Nefrotik

ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab terbanyak dari kasus SN sekunder

yakni diabetes mellitus.3

a.   Penyebab Primer

Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom

nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila

berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi1,3-5 :

1.  GN lesi minimal (GNLM);

2.  Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);

3.  GN membranosa (GNMN);

4.  GN Membranoproliferatif (GNMP);

5   GN proliferatif lain.1,3-5

b. Penyebab Sekunder

1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV,

sifilis, TB, lepra, skistosoma

2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma

(paru, payudara, kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal

3. Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE),

Reumatoid artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)

4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis

5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami,

probenesid, kaptopril, heroin

6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid

(sindrom nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang

lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsi), dan

resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan

minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5

III.    EPIDEMIOLOGI

Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16

tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per

100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak

16

Page 17: LAPSUS Sindroma Nefrotik

perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur < 10

tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun.2

IV.    PATOFISIOLOGI

a.      Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya

molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus

(proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus

(proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus

(proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan

protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5

b.      Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan

peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya

meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin),

tetapi mungkin normal atau menurun.1

Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan

hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik

plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan

menigkatkan edema.1,5

c.       Hiperlipidemia

Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang sering

menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid

bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang mengalami

peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density

lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL (high density

lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis

lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5

d.      Edema

17

Page 18: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori

underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya

edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma

sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi

edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma, terjadi

hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi

natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga

akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu menjaga cairan

intravaskuler.1,5

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal

utama.Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga

terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan terus

mengaktivasi system retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga edema semakin

berlanjut.1,5

V.       TANDA DAN GEJALA

Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria

massif >3-3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni

edema pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat

disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun efusi

perikard.3

VI.    DIAGNOSIS

Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1

1.      Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot

>300-350 mg/mmol.

2.      Serum albumin <2,5 gr/dl.

3.      Manifestasi klinis edema perifer.

4.      Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai.1

18

Page 19: LAPSUS Sindroma Nefrotik

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan

penunjang berikut: 4

a)      Urinalisis

Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar

3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam

sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,

yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.

b)     Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel

yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,

torak hialin, dan torak eritrosit.

c)      Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot

collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari

jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total

protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.

Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan

kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.

d)     USG renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

e)      Biopsi ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8

tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat

manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsi

mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting

dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang

berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan

19

Page 20: LAPSUS Sindroma Nefrotik

glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang

lebih baik terhadap steroid.

f)       Darah:

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)

- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)

- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal

VIII.       PENATALAKSANAAN

Nutrisi dan Cairan

            Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari,

dan mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3

Diuretik

 Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti

tentang rekomendasi pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan

pendapat yang disepakati saat ini, diuresis ditargetkan pada penurunan berat

badan 0,5-1 kg per hari untuk menghindari gagal ginjal akut atau gangguan

keseimbangan elektrolit. Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid

(Lasix) atau bumetanide saat ini paling banyak digunakan. Dosis besar (80-

120 mg furosemid) seringkali dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal

harus diberikan secara intravena karena daya absorpsi yang kurang secara

oral terhadap obat-obatan tersebut dapat menyebabkan edema intestinum.

Kadar albumin serum yang rendah juga membatasi efektivitas obat-obat

diuretic dan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Diuretik thiazid,

potassium-sparing diuretic, atau metolazone (Zaroxolyn) dapat berguna

sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik.3

ACE Inhibitors                                                                

20

Page 21: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui

dapat menurunkan proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang

mengarah ke penyakit ginjal pada pasien dengan sindrom nefrotik. Suatu

penelitian menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon ketika terapi

kortikosteroid dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang

direkomendasikan pun masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec)

2,5-20 mg per hari banyak digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom

nefrotik sebaiknya diterapi dengan ACE inhibitiors untuk mengurangi

proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi tekanan darah.3

Albumin

Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis

yang terjadi karena edema dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia.

Namun, tidak ada bukti penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari

terapi dengan albumin, dan pada keadaan yang tidak diharapkan seperti

hipertensi dan edema pulmonum, jelas membatasi terapi albumin.3

Kortikosteroid

         Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam

manajemen sindrom nefrotik pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki

keuntungan, namun direkomendasikan pada beberapa pasien yang tidak

berespon terhadap terapi konservatif. Terapi pada anak dengan sindrom

nefrotik berbeda, dan hal tersebut lebih memperlihatkan bahwa anak

berespon baik terhadap terapi kortikosteroid. Secara klasik, penyakit

kelainan minimal berespon lebih baik terhadap kortikosteroid dibanding

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan hal ini ditemukan pada

anak dengan sindrom nefrotik primer.3

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua

kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.

Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan

pengobatan relaps.3,5

21

Page 22: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-

macam, di antaranya pada orang dewasa adalah

prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8

minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu,

tapering di 4 bulan berikutnya. Sekitar 90% pasien akan remisi bila terapi

diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami

kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi

remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap

jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl,

kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi

parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol

serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan

resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau

perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.3,5

Lipid-lowering treatment

Beberapa bukti penelitian memperlihatkan peningkatan risiko

aterosklerosis atau infark miokard pada pasien SN, yang mungkin

berhubungan dengan peningkatan kadar lipid serum. Namun, peranan terapi

pada peningkatan lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk

memulai terapi dengan penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika

tidak menimbulkan kerugian.3

IX. KOMPLIKASI

1.      Infeksi

Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering

ialah selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi

adalah infeksi gram negatif.5

22

Page 23: LAPSUS Sindroma Nefrotik

2.      Hipertensi

Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15%

kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.5

3.      Hipovolemia

Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian

diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan

sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi,

takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam

urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.

Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma

sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan. 5

4.      Tromboemboli

Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena

keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume

intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh

peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta

fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III

yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat

pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar

antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan

komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis

rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi

tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100

U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5

5.      Hiperlipidemia

Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol,

trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan

meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat.

Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin

serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh

23

Page 24: LAPSUS Sindroma Nefrotik

karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria

merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di

samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada

SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada

keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit

lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat

kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.

Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat

asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih

diperdebatkan. 5

X.    PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara

umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada

anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun

memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih

memiliki risiko gagal ginjal.

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di

atas 6 tahun.

2. Disertai oleh hipertensi

3. Disertai hematuria

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder

5. Gamabaran histopatologik bukan kelainan minimal

Pada umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi

respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira

(50%) diantaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi

respon lagi dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 2008;336:1185-9.

24

Page 25: LAPSUS Sindroma Nefrotik

2. Handayani I., Rusli B., Hardjoeno, Profile of cholesterol and albumin concentration and

urine sediment based on nephritic syndrome children. Indonesian Journal of Clinical

Pathology and Medical Laboratory, 2007;13(2):49-52.

3. Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. American Family

Physician, 2009;80(10):1129-1134.

4. Davin JC.,Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to treatment.

International Journal of Nephrology, 2011;1-6.

5. Prodjosudjadi W., SindromNefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed VI. 2006;999-

1003

PNEUMONIA

I. LATAR BELAKANG

25

Page 26: LAPSUS Sindroma Nefrotik

Pneumonia dan infeksi saluran pernapasan bawah lainnya adalah

penyebab utama kematian di seluruh dunia. Karena pneumonia adalah umum dan

berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan, baik

mendiagnosis pneumonia, benar mengenali komplikasi atau kondisi yang

mendasari, dan penting mengobati pasien dengan tepat. Meskipun di negara maju

diagnosis biasanya dibuat atas dasar temuan radiografi, Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) telah mendefinisikan pneumonia semata-mata atas dasar temuan

klinis yang diperoleh dengan inspeksi visual dan pada waktu tingkat pernapasan.

(Lihat Presentasi Klinis)1.

Pneumonia dapat berasal paru atau mungkin komplikasi fokus dari

proses peradangan berdekatan atau sistemik. Kelainan patensi jalan napas serta

ventilasi alveolar dan perfusi sering terjadi karena berbagai mekanisme.

Derangements ini sering secara signifikan mengubah pertukaran gas dan

metabolisme sel tergantung pada banyak jaringan dan organ yang menentukan

kelangsungan hidup dan memberikan kontribusi untuk kualitas hidup. Pengakuan,

pencegahan, dan pengobatan masalah ini adalah faktor utama dalam perawatan

anak-anak dengan pneumonia. (Lihat Patofisiologi.) Salah satu bentuk khusus dari

pneumonia hadir dalam populasi anak, pneumonia kongenital, terlihat dalam 24

jam pertama setelah lahir1.

II. PATOFISIOLOGY

Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi

partikel di hidung, pencegahan aspirasi ddengan reflex epiglottis, ekspulsi benda

asing melalui reflex batuk, pembersihan kea rah kranial oleh mukosilier,

fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun

local dan drainasi melalui system limfatik. Factor prediposisi pneumonia :

aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertussis, penyakit

jantung bawaan, gangguan neuromuscular, kontaminasi perinatal dan gangguan

klirens mucus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, benda asing atau disfungsi silier.

Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda

asing, transplasental atau selama persalinan pada neonates. Umumnya pneumonia

terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui

26

Page 27: LAPSUS Sindroma Nefrotik

aliran darah. Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus.

Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil.

Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan pertambahan umur. Pada

pneumonia berat bias terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik,

asidosis metabolic dan gagal nafas1,2.

III. KLASIFIKASI3

a. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur < 2 bulan

i. Pneumonia berat, adanya nafas cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60

kali per menit atau lebih.

ii. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa.

b. Klasifikasi Pneumonia untuk golongan umur 2 bulan – < 5 tahun

i. Pneumonia berat, adanya nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah.

ii. Pneumonia, bila disertai nafas cepat, usia 2 bulan – <1 tahun 50 kali per menit,

untuk usia 1 tahun - <5 tahun 40 kali per menit.

iii. Bukan pneumonia, batuk pilek biasa tidak ada tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.

IV. DIAGNOSIS4

Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, penentuan klasifikasi pneumonia

berat dan pneumonia adalah sekaligus merupakan penegakan diagnosis, sedangkan

penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak dianggap sebagai penegakan

diagnosis. Jika keadaan penyakit seorang balita termasuk dalam klasifikasi bukan

pneumonia maka diagnosis penyakitnya kemungkinan adalah batuk pilek biasa,

faringitis, tonsillitis, otitis atau penyakit ISPA non-pneumonia lainnya.

a. Pemeriksaan Fisik2

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang digunakan oleh

program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya

27

Page 28: LAPSUS Sindroma Nefrotik

batuk atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)

sesuai umur. Adanya nafas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung

frekuensi pernafasan. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50

kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan - <1 tahun dan 40 kali per menit

atau lebih pada anak usia 1- <5 tahun. Diagnosis pneumonia berat didasarkan

pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan

dinding dada sebelah bawah ke dalam pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Untuk

kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya

nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit, atau adanya

penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.

b. Laboratorium3

kultur darah seringkali positif terutama pada pneumonia pneumococcus

dan merupakan cara yang lebih pasti untuk mengidentifikasi organisme

dibandingkan dengan kultur yang potensial terkontaminasi.

c. Radiologis3,4

Gambaran radiologis pada foto toraks PA yang khas ialah terdapat

konsolidasi pada lobus, lobulus atau segmen dari satu atau lebih lobus paru.

Terlihat patchy infiltrate para parenkim paru dengan gambaran infiltrasi kasar

pada beberapa tempat di paru sehingga menyerupai bronchopneumonia. Pada foto

toraks mungkin disertai gambaran yang menunjukkan ada cairan di pleura atau

fisura interlober

Pneumonia biasanya menyebabkan suatu daerah persebulungan yang

berbatas tegas yang di dalamnya terdapat daerah yang masih terisi udara

dan/atau bronkhi yang berisi udara (air bronchogram). Biasanya pneumonia

menyebabkan adanya opasitas yang tidak jelas dan tersebar pada beberapa

bagian paru. Hilangnya sebagian volume pada lobus yang sakit (seperti yang

ditunjukkan oleh letak fisura, diafragma dan hilus) dan adanya air-bronchogram

merupakan petunjuk adanya obstruksi bronkhus proksimal dari konsolidasi

(oleh tumor atau benda asing)5.

V. PENATALAKSANAAN6,7,8

1. Indikasi MRS:

a. Ada kesukaran nafas

b. Sianosis

28

Page 29: LAPSUS Sindroma Nefrotik

c. Umur kurang 6 bulan

d. Ada penyulit

e. Diduga infeksi oleh Staphylococcus

f. Imunokompromis

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak respon dengan pemberian antibiotic oral

2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker,

monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan

bantuan ventilator mekanik

3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup

4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai dengan diet enteral

bertahap melalui selang nasogastric

5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin

normal

6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi

7. Pemilihan antibiotic berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan

dugaan penyebab. Evaluasi pengobatan dilakukan tiap 48-72 jam.

Bila tidak ada perbaikan klinis dilakukan penggantian antibiotic

sampai anak dinyatakan sembuh lama pemberian antibiotic

tergantung : kemjuan klinis, hasil laboratorium, foto thoraks, dan

jenis kuman penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Douglas D. Twice-Daily Amoxicillin Effective in Children With Pneumonia.

Medscape Medical News. Available at

http://www.medscape.com/viewarticle/823469. Accessed: April 22, 2014.

29

Page 30: LAPSUS Sindroma Nefrotik

2. Vilas-Boas AL, Fontoura MS, Xavier-Souza G, Araújo-Neto CA, Andrade SC, Brim

RV, et al. Comparison of oral amoxicillin given thrice or twice daily to children

between 2 and 59 months old with non-severe pneumonia: a randomized controlled

trial. J Antimicrob Chemother. 2014 Mar 19. [Medline].

3. Boggs W. Point-of-Care Ultrasound Diagnoses Pneumonia in Children. Medscape

Medical News. December 10, 2012. Available at

http://www.medscape.com/viewarticle/775961. Accessed: January 9, 2013.

4. Shah VP, Tunik MG, Tsung JW. Prospective Evaluation of Point-of-Care

Ultrasonography for the Diagnosis of Pneumonia in Children and Young Adults. Arch

Pediatr Adolesc Med. 2012 Dec 10. 1-7. [Medline].

5. Metinko AP. Neonatal pulmonary host defense mechanisms. Polin RA, Fox WW, eds.

Fetal and Neonatal Physiology. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co; 2004.

1620-73.

6. Barnett ED, Klein JO. Bacterial infections of the respiratory tract. Remington JS,

Klein JO, eds. Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant. 6th ed.

Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders Co; 2006. 297-317.

7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis of the

disease process. Chest. 1997 Jul. 112(1):235-43. [Medline].

8. Michelow IC, Olsen K, Lozano J, Rollins NK, Duffy LB, Ziegler T, et al.

Epidemiology and clinical characteristics of community-acquired pneumonia in

hospitalized children. Pediatrics. 2004 Apr.

30