Top Banner
HUBUNGAN ANTARA PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN ASFIKSIA PERINATAL DI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA OKTAVIANA HERIYANTI G0005148 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2009
49
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • HUBUNGAN ANTARA PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN ASFIKSIA PERINATAL DI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

    OKTAVIANA HERIYANTI

    G0005148

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    Surakarta

    2009

  • HUBUNGAN ANTARA PREEKLAMPSIA BERAT DENGAN ASFIKSIA PERINATAL DI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

    THE RELATION BETWEEN SEVERE PREECLAMPSIA WITH PERINATAL ASPHYXIA IN RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA

    Oktaviana Heriyanti*), Sri Sulistyowati*), Endang Dewi Lestari*), Hermawan Udiyanto*), Eriana Melinawati*)

    Abstract: Severe preeclampsia is one of risk factor of the happening perinatal asphyxia. Perinatal asphyxia is one of cause of height of mortality of perinatal and neonatal. Preeclampsia happened by the hypertension and vasoconstriction vein causing degradation of uteroplacenta perfusion. That causes the reduce of oxygen to baby so become hypoxia and then asphyxia. The frequency of severe preeclampsia in Indonesia is high enough. This matter push the researcher to find out whether there is relation between severe preeclampsia and perinatal asphyxia in RSUD Dr Moewardi Surakarta.

    The type of this research is analytic observational with the approach of cross sectional, executed in RSUD Dr Moewardi Surakarta and subject research aterm pregnant woman with severe preeclampsia and without severe preeclampsia from August October 2008. Sample is taken by purposive sampling, then data obtained to be analysed with the chi-square test (X2) at level of significant 5%.

    From the result of the research is known that X2 = 3,373 and p = 0,066. Therefore, H0 is accepted because X2 count (3,373) is smaller than X2 table (3,841) and p > 0,05. The conclusion of this research is there is no meaningful relation between severe preeclampsia and perinatal asphyxia in RSUD Dr Moewardi Surakarta.

    Key word :preeclampsia, perinatal asphyxia, medical research

    *) Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah :

    Kematian bayi merupakan salah satu indikator dari derajat kesehatan

    masyarakat. Angka kematian bayi sangat dipengaruhi oleh angka kematian

    perinatal. Di Kabupaten Kulon Progo angka kematian perinatal mengalami

    peningkatan yang cukup tajam yaitu sebesar 8,98 per 1000 kelahiran hidup pada

    tahun 2001 menjadi 19,17 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2002 (Suparjono,

    2003).

    Dengan angka kematian bayi sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup dan angka

    kematian balita sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup, Indonesia berada di jalur

    yang baik dalam upaya mencapai sasaran. Tujuan Pembangunan Milenium untuk

    mengurangi angka kematian bayi dan balita. Meskipun demikian, angka kematian

    antar provinsi bisa sangat berbeda satu sama lain. Demikian juga halnya dengan

    wilayah perkotaan dan pedesaan, 76% kematian anak balita terjadi pada usia

    dibawah 12 bulan, dan sebanyak 45% kematian bayi terjadi pada usia dibawah 28

    hari (neonatal). Tiga penyebab utama kematian bayi adalah komplikasi perinatal

    (dibawah usia 7 hari), infeksi pernapasan akut, dan diare. Sekitar sepertiga

    kematian balita dan separuh kematian bayi terjadi pada masa perinatal (dibawah

  • usia 7 hari), yang berkaitan dengan layanan penting selama kehamilan dan

    persalinan (Unicef, 2006).

    Penyebab kematian bayi dapat bermula dari masa kehamilan 28 minggu

    sampai hari ke-7 setelah persalinan (masa perinatal). Penyebab kematian bayi

    yang terbanyak adalah karena pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi

    pada janin, kelahiran premature, dan berat bayi lahir rendah yaitu sebesar 40,68%.

    Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kurangnya

    oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan

    dan teratur pada beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 25,13%. Hal ini

    dapat diartikan bahwa 65,8% kematian bayi pada masa perinatal dipengaruhi pada

    kondisi ibu saat melahirkan (Depkes, 2005).

    Menurut penelitian terdahulu di Rumah Sakit Dokter Moewardi Surakarta

    didapatkan angka kejadian preeklampsia adalah 6,7% sedangkan jumlah kelahiran

    hidup dan yang terjadi asfiksia sekitar 11,72%. Apabila terdapat hubungan yang

    bermakna antara preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal maka dapat

    dilakukan usaha koreksi untuk dapat mencegah ataupun melakukan koreksi

    terhadap preeklampsia berat maupun terhadap asfiksia perinatal yang terjadi

    (RofiI, 1999).

  • B. Perumusan Masalah :

    Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka

    timbul rumusan masalah apakah ada hubungan antara preeklampsia berat

    dengan asfiksia perinatal?

    C. Tujuan Penelitian :

    Untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal

    di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

    D. Manfaat Penelitian :

    1. Manfaat Teoritik

    Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara preeklampsia

    berat dengan asfiksia perinatal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

    2. Manfaat Aplikatif

    a. Melatih peneliti untuk melakukan penelitian sesuai prosedur.

    b. Sebagai data rumah sakit untuk lebih memperhatikan pelayanan terhadap

    ibu hamil yang menderita preeklampsia berat.

    c. Dengan mengetahui hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia

    perinatal dapat diupayakan suatu tindakan preventif untuk mengatasi

    preeklampsia berat pada ibu hamil dengan antenatal care secara teratur.

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Preeklampsia

    a. Pengertian

    Preeklampsia merupakan suatu kelainan multiorgan spesifik

    pada kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hipertensi dan

    proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia

    merupakan salah satu dari bentuk kelainan hipertensi dalam

    kehamilan, yang menyumbangkan morbiditas dan mortalitas maternal

    terbesar bersama perdarahan dan infeksi (Cunningham et al, 2005).

    Preeklampsia adalah sindroma yang spesifik dalam kehamilan

    yang menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya

    vasospasmus dan menurunnya fungsi sel endotel. Proteinuria

    merupakan tanda yang penting dari preeklampsia, tanpa proteinuria

    bukan preeklampsia. Disebut proteinuria jika dalam 24 jam ditemukan

    300 mg atau lebih protein dalam urine, atau menetap 30 mg atau 1+

    dengan dipstick pada contoh urine yang diambil secara acak (Duley,

    2006).

  • b. Etiologi

    Saat ini ada 4 hipotesis etiologi preeklampsia, yaitu: 1) Placental

    ischemic, peningkatan deportasi trofoblast. Sebagai akibat dari

    vasospasmus mengakibatkan iskemia sel endotel. 2) Very Low Density

    Lipoprotein vs toxicity preventing activity sebagai kompensasi

    meningkatkan kebutuhan energi selama hamil dengan memobilisir asam

    lemak nonester. Pada wanita dengan kadar albumin rendah, transport asam

    lemak nonester tambahan dari depot lemak ke hati untuk mengurangi

    antitoxic-toxicity dari albumin ke VLDL toxicity. 3) Immune

    maladaptation menyebabkan dangkalnya invasive a.spiralis oleh sel

    endovaskuler sitotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh

    peningkatan pelepasan cytokine decidual, proteolitic enzyme dan radikal

    bebas. 4) Genetic imprinting: timbulnya preeklampsia-eklampsia berdasar

    pada single recessive gene atau gene dominant dengan incomplete

    penetrance. Penetrasi mungkin tergantung pada genotype janin (Dekker

    dan Sibai, 1998).

    c. Frekuensi

    Frekuensi preeklampsia bervariasi diantara 2% - 7% pada wanita

    nullipara (Vatten et al, 2004). Preeklampsia terjadi pada 3 hingga 7 persen

  • kehamilan, dengan insiden di Amerika Serikat mencapai 23,6 kasus per

    1000 kelahiran (Wagner, 2004).

    Selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000 di RSU

    Tarakan Kalimantan Timur didapatkan 1431 persalinan, baik fisiologis

    maupun patologis. Dengan kasus preeklampsia-eklampsia didapatkan 74

    kasus, 61 kasus preeklampsia (4,2%) dan 13 kasus eklampsia (0,9%)

    (Sudinaya, 2003).

    Angka kejadian preeklampsia-eklampsia dipengaruhi oleh faktor

    paritas, suku/etnik, genetic. Faktor lain yang juga mempengaruhi angka

    kejadian preeklampsia adalah : keadaan sosioekonomi dan perbedaan

    kriteria dalam penentuan diagnosa (Wibowo dan Rachimhadi, 2007).

    d. Klasifikasi

    Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

    1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut;

    a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada

    posisi berbaring terlentang; atau kenaikan tekanan diastolik 15

    mmHg atau lebih; atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg

    atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali

    pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.

  • b) Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat

    badan 1 kg atau lebih per minggu.

    c) Proteinuria kwantitatif 0,3 gram atau lebih per liter; kwalitatif

    +1 atau +2 pada urin kateter atau midstream.

    2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

    a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

    b) Proteinuria 5 gram atau lebih per liter.

    c) Oligouria yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.

    d) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di

    epigastrium.

    e) Terdapat edema paru dan sianosis

    (Mochtar, 1998).

    e. Patofisiologi

    Stres oksidatif meningkat pada preeklampsia dan terlibat dalam

    patogenesis disfungsi endotel. Plasenta abnormal dan penurunan perfusi

    plasenta merupakan hal yang penting pada awal patogenesis preeklampsia.

    Namun demikian plasenta abnormal dan penurunan perfusi plasenta tidak

    selalu menyebabkan preeklampsia tetapi pasti menyebabkan insufisiensi

  • plasenta dan retardasi pertumbuhan janin intrauterine. Studi saat ini

    menunjukkan bahwa serum penanda endotel seperti fibronektin selular,

    soluble Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (sVCAM-1) meningkat

    konsentrasinya pada preeklampsia (Herrmann et al, 2004).

    Penurunan nitric oxide (NO) menyebabkan rusaknya fungsi

    vasodilator endotel sehingga endotel mengalami disfungsi. Kunci sistem

    regulator endotel yang normal adalah Nitric Oxide Syntase (NOS) yang

    menghasilkan NO. NO berperan sebagai relaxing factor otot polos,

    sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. NO akan menginduksi

    vasodilatasi dan mengatur tahanan vascular. Terganggunya fungsi endotel

    sebagai vasodilator berperan dalam patofisiologi hipertensi yang

    merupakan salah satu dari gejala pada preeklampsia (Schlondorff, 2005).

    Adanya perubahan respon imun ibu terhadap akibat dari perubahan

    polymorphism HLA-G (Human Leucosyt Antigen-G) terhadap trofoblas,

    menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan

    terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses

    imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi

    terjadinya kerusakan sel endotel (Churchill D,1999).

    Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan

    keseimbangan ratio TXA2 dan PgI2, penurunan produksi dari nitric oxide

  • akan merangsang terjadinya agregasi trombosit yang selanjutnya

    mengakibatkan vasospasme (Lockwood et al, 2000).

    Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya

    tahanan vascular, meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya

    aktivitas radikal bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan

    ratio TXA2 dan PgI2 sehingga TXA2 menjadi lebih dominan (Dekker et

    al, 1998).

    Anion peroksida juga menambah agregasi trombosit serta

    menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membrane fosfolipid mengalami

    konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini menyebabkan

    kerusakan sel endotel lebih lanjut (Dekker et al, 1998).

    Salah satu marker dari stress oxidative pada preeklampsia adalah

    peningkatan lipid peroksida yang bisa diukur dari kadar Malondialdehyde

    (MDA) (Hung, 2001).

    Spesies oksigen reaktif menyebabkan penurunan antioksidan dalam

    sel. Pada kehamilan dengan komplikasi preeklampsia berat kadar

    antioksidan glutathione (GSH) menurun. Stress oksidative bisa mengubah

    perbandingan GSH terhadap GSSG yang menyebabkan terjadinya

    pergeseran buffer reduksi oksidasi GSSG terhadap GSH. Pada

  • preeklampsia berat terjadi penurunan ratio GSH/GSSG yang digunakan

    untuk menetralisir kadar MDA yang meningkat (Candra, 2007).

    Kerusakan integritas endotel diikuti dengan hilangnya kapasitas

    vasodilator yang dapat dinilai dengan meningkatnya respon terhadap

    angiotensin II dan noradrenalin. Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis

    mengakibatkan hipoksia dan seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis

    akut ditandai dengan adanya diskontinuitas dari sel endotel, gangguan

    fokal pada membrane basalis, deposisi trombosit, terbentuknya mural

    thrombus dan akhirnya terjadi nekrosis fibrinoid (Lockwood et al, 2000).

    Vasospasme merupakan dasar dari proses penyakit ini. Pada

    preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi

    garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola

    glomerulus. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka

    tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan

    perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.

    Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh

    penimbunan air yang berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui

    sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat

    disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada

    glomerulus (Mochtar, 1998).

  • Dengan demikian disfungsi endotel menonjol pada penderita

    preeklampsia danmerupakan patogenesa yang berperan penting pada

    preeklampsia (Mellembakken et al, 2001).

    f. Faktor Risiko

    Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia :

    1) Nullipara, primigravida

    2) Riwayat keluarga (ibu hamil atau suaminya lahir dari ibu yang

    mengalami preeklampsia)

    3) Riwayat sebelumnya pernah mengalami preeklampsia

    4) Ibu hamil menderita hipertensi kronis atau penyakit ginjal

    5) Obesitas, hiperhomosisteinemia

    6) Interval yang pendek dengan kehamilan sebelumnya

    7) Kehamilan ganda

    (Brooks, 2005).

  • g. Perubahan pada organ-organ

    1) Perubahan pada plasenta dan uterus

    Preeklampsia menyebabkan terjadinya hipoperfusi kronis pada

    unit uteroplasenter. Sehingga menurunnya aliran darah ke plasenta

    mengakibatkan gangguan perfusi plasenta. Kejadian solutio plasenta

    pada preeklampsia sekitar 4-7%. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan

    tanpa perangsangan sering didapatkan pada preeklampsia dan

    eklampsia sehingga mudah terjadi partus prematurus. Kadang-kadang

    persalinan preterm tidak dapat dihindari atas indikasi ibu. Pada

    preeklampsia tidak ada percepatan maturasi janin sebagai mekanisme

    kompensasi hipoperfusi kronis pada unit uteroplasenter.

    1) Perubahan pada ginjal

    Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam

    ginjal menurun, sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang.

    2) Perubahan pada paru-paru

    Edema pada paru-paru merupakan penyebab utama kematian

    maternal pada preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh dekompensasi

    cordis kiri.

  • 3) Perubahan pada retina

    Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat

    atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri ; jarang terlihat

    perdarahan atau eksudat.

    (Wibowo, 2007).

    h. Gejala dan Tanda

    1) Hipertensi dan proteinuri

    2) Menetapnya sakit kepala

    3) Nyeri epigastrik

    4) Gangguan penglihatan (skotoma, diplopia)

    5) Mual, muntah

    6) Hiperrefleksia, dengan refleks tendon yang cepat

    7) Edema pada tangan, muka, atau kaki

    8) Meningkatnya konsentrasi kreatinin serum

    9) Meningkatnya aktivitas enzim hepar

    (Duley, 2006).

    Preeklampsia dianggap berat bila terdapat gejala berikut:

    1) Tensi lebih dari atau sama dengan 160/110 mmHg.

    2) Proteinuria lebih dari atau sama dengan 2 gram/24 jam;

    sedangkan pada dipstick +2 atau lebih

  • 3) Meningkatnya enzim hepar.

    4) Menetapnya sakit kepala atau nyeri epigastrik.

    (Zhang et al, 2008).

    i. Diagnosis

    Bila pasien mengalami kenaikan berat badan, tekanan darah,

    dan pada pemeriksaan urin terlihat normal sampai kehamilan 24 minggu

    kemudian terjadi edema, hipertensi, dan proteinuria setelah usia

    kehamilan tersebut maka dikatakan menderita preeklampsia.

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

    1) Gejala subjektif: sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrium,

    Gambaran klinik: pertambahan berat badan yang berlebihan,

    edema, hipertensi, dan timbul proteinuria.

    Gejala gangguan visus seperti penglihatan kabur, skotoma, diplopia,

    mual dan muntah.

    Gangguan cerebral lainnya: refleks meningkat dan tidak tenang.

    2) Pemeriksaan: tekanan darah tinggi, refleks meningkat, dan proteinuria

    pada pemeriksaan laboratorium (Mochtar, 1998).

    Pemeriksaan homosistein pada awal kehamilan dapat memperkirakan

    risiko perkembangan preeklampsia. Peningkatan konsentrasi

  • homosistein dapat digunakan untuk memantau progresi pasien

    preeklampsia ke arah yang lebih berat, namun tidak digunakan untuk

    memperkirakan terjadinya eclamptic seizure (Cotter et al, 2001).

    j. Penatalaksanaan

    1) Pencegahan

    a) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti,

    mengenali tanda-tanda sedini mungkin (preeklampsia ringan), lalu

    diberikan pengobatan yang cukup agar penyakit tidak menjadi

    lebih berat.

    b) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya

    preeklampsia jika ada faktor-faktor predisposisi.

    c) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur,

    ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak,

    karbohidrat , dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat

    badan jangan berlebihan.

    2) Penanganan

    Tujuan utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya

    kejang, memulihkan organ vital pada keadaan normal dan

    melahirkan bayi dengan trauma yang sekecil-kecilnya pada ibu dan

    bayi.

  • a) Preeklampsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.

    (1) Jika janin belum menunjukkan tanda-tanda maturitas paru-paru

    dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah

    sebagai berikut:

    (a) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gram

    intramuskuler, kemudian disusul dengan injeksi tambahan

    4 gram intramuskuler setiap 4 jam ( selama tidak ada

    kontra indikasi).

    (b) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas

    magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai

    dicapai kriteria preeklampsia ringan (kecuali ada kontra

    indikasi).

    (c) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin

    dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada

    preeklampsia ringan, sambil mengawasi timbulnya gejala.

    (d) Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan

    terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan

    lain tergantung keadaan.

    (2) Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan

    paru-paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada

    kehamilan diatas 37 minggu.

    b) Preeklampsia berat pada kehamilan diatas 37 minggu

  • (1) Penderita dirawat inap.

    (a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar khusus

    (b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein

    (c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskuler, 4

    gr di bokong kanan dan 4 gr di bokong kiri

    (d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam

    (e) Syarat pemberian MgSO4 adalah: refleks patella positif,

    diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir, respirasi 16 kali per

    menit, dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium

    glukonas 10% dalam ampul 10 cc.

    (f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.

    (2) Berikan obat anti hipertensi: injeksi catapres 1 ampul

    intramuskuler dan selanjutnya dapat diberikan tablet catapres 3

    kali setengah tablet atau 2 kali setengah tablet sehari.

    (3) Diuretika tidak diberikan, kecuali bila terdapat edema umum,

    edema paru, dan gagal jantung kongestif. Untuk itu dapat

    disuntikkan 1 ampul intravena diuretika.

  • (4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan

    induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi

    dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam

    infuse tetes.

    (5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau

    forseps, jadi ibu dilarang mengedan.

    (6) Jangan berikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi

    perdarahan yang disebabkan atonia uteri.

    (7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontra indikasi

    lalu diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam

    postpartum.

    (8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesaria.

    (Mochtar, 1998).

  • 2. Asfiksia Perinatal

    a. Definisi

    Asfiksia adalah perubahan patologis yang disebabkan oleh kurangnya

    oksigen dalam udara pernapasan, yang mengakibatkan hipoksia dan

    hiperkapnia (Dorland, 1998). Sedangkan asfiksia menurut Sherwood (2001)

    adalah jaringan kekurangan O2 disebabkan oleh tidak adanya O2 dalam udara

    pernapasan, atau ketidakmampuan jaringan menggunakan O2.

    Asfiksia perinatal adalah suatu keadaan dimana janin atau bayi baru

    lahir mengalami kekurangan oksigen (hypoxia) dan penurunan perfusi

    (iskemia) terhadap berbagai organ. Hal ini bisa menyebabkan asidosis laktat

    pada jaringan. Jika disertai dengan hipoventilasi maka bisa menyebabkan

    hiperkapnea ( Pignotti, 2005).

    Akibat jangka panjang asfiksia perinatal ini dapat diperbaiki secara

    bermakna bila hal ini diketahui sebelum kelahiran (misalnya pada keadaan

    gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi atau

    oksigenasi janin intra uterin atau segera melahirkan janin untuk

    mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi.

    Pada keadaan asfiksia/ hipoksemia yang terjadi ditemukan sebelum

    kelahiran gejala yang dapat dideteksi dari luar umumnya berupa fetal

  • bradikardi. Jika dilanjutkan dengan pemeriksaan darah misalnya melalui darah

    tali pusat maka dapat ditemukan asidosis.

    b. Etiologi

    Asfiksia disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan

    berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan,

    atau segera setelah bayi lahir Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia

    perinatal terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke

    janin terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan pengeluaran CO2. Asfiksia

    yang timbul dalam masa kehamilan dapat dibatasi atau dicegah dengan

    melakukan pengawasan antenatal yang adekuat dan melakukan koreksi sedini

    mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi (Aminullah, 2007).

    Faktor-faktor penyebab asfiksia pada bayi baru lahir dapat

    dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu:

    1. Pada saat kehamilan

    a) Sebab-sebab maternal

    b) Sebab-sebab pada plasenta

    c) Sebab-sebab pada funiculus umbilicalis

    d) Sebab-sebab pada fetal

  • 2. Persalinan dan kelahiran

    a) Hipoksia akibat kontraksi uterus yang terlalu kuat

    b) Narkosis karena pemberian analgetik dan anesthesia

    c) Hipotensi maternal

    d) Obstruksi saluran nafas akibat aspirasi

    e) Partus lama

    f) Kelahiran yang sulit atau distokia

    Penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari:

    1. Faktor ibu: hipoksia ibu, gangguan kontraksi uterus misalnya :

    hipotoni dan tetani, hipotensi mendadak pada ibu misalnya karena

    perdarahan mendadak pada plasenta previa, dan hipertensi pada

    preeklampsia.

    2. Faktor plasenta: pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh

    luas dan kondisi pada plasenta, asfiksia janin dapat terjadi bila terdapat

    gangguan mendadak pada plasenta seperti solutio plasenta.

    3. Faktor fetus: asfiksia bila terdapat gangguan aliran darah antara ibu

    dan janin. Hal ini bisa ditemukan pada tali pusat menumbung, tali

    pusat melilit leher, serta kompresi tali pusat pada jalan lahir.

  • 4. Faktor neonatus: depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat

    terjadi karena pemakaian obat, anestesi yang berlebihan selama

    persalinan, trauma yang terjadi selama persalinan misalnya:

    perdarahan intrakranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya:

    hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan dan

    hipoplasia paru.

    Pernafasan spontan pada bayi baru lahir tergantung pada

    kondisi janin pada masa kehamilan dan selama persalinan. Proses

    kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat

    sementara pada bayi. Proses ini dianggap perlu untuk merangsang

    kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi refleks bernafas yang

    kemudian akan berlanjut dengan pernafasan spontan dan teratur

    (Rofii, 1999).

  • c. Diagnosis

    Jika terjadi asfiksia pada bayi baru lahir tingkatannya perlu dikenal

    untuk dapat mengadakan resusitasi yang sempurna. Untuk hal ini diperlukan

    penilaian menurut skor APGAR. Yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah

    frekuensi denyut jantung, usaha untuk bernafas, tonus otot, warna kulit dan

    reaksi terhadap rangsangan. Setiap penilaian diberi skor 0, 1, dan 2. Skor

    APGAR ini biasanya dinilai satu menit setelah bayi lahir lengkap yaitu setelah

    bayi diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir.

    Skor APGAR satu menit ini menunjukkan beratnya asfiksia yang

    diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi.

    Skor APGAR perlu juga dinilai setelah lima menit setelah bayi lahir karena

    hal ini mempunyai kaitan yang erat dengan morbiditas dan mortalitas neonatal

    (RofiI, 1999).

  • Skor APGAR

    Tanda 0 1 2

    A Appearance

    (Warna Kulit)

    Biru pucat Tubuh

    kemerahan,

    ekstermitas biru

    Tubuh dan

    ekstremitas

    kemerahan

    P Pulse (Frekuensi

    denyut jantung)

    Tidak ada Kurang dari 100

    kali per menit

    Lebih dari

    100 kali per

    menit

    G Grimace (Refleks) Tidak ada

    respons

    Sedikit gerakan

    mimik

    Menangis

    A Activity

    (Tonus Otot)

    Lumpuh Ekstremitas

    fleksi

    Gerakan

    aktif

    R Respiration

    (Usaha bernafas)

    Tidak ada Lambat, tidak

    teratur

    Menangis

    kuat

    Dari hasil penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

    Bayi normal : Skor APGAR 7-10

    Asfiksia ringan sedang : Skor APGAR 4-6

    Asfiksia berat : Skor APGAR 0-3

    (Mochtar, 1998).

  • d. Penatalaksanaan

    Prinsip resusitasi yang perlu dilakukan pada bayi baru lahir yaitu perhatikan

    temperature terlebih dahulu, setelah itu perhatikan airway, breathing, circulation,

    dan disability.

    Semua bayi baru lahir dalam keadaan apapun mempunyai kesulitan untuk

    beradaptasi pada suhu lingkungan yang dingin. Neonatus yang mengalami

    asfiksia khususnya, mempunyai system pengaturan suhu yang lebih tidak stabil.

    Hipotermia yang terjadi ini dapat memperlambat pemulihan keadaan asidosis

    yang terjadi. Namun perlu diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang

    berlebihan pada tubuh bayi.

    Pada bayi dengan nilai Apgar 7-10 : biasanya bayi hanya memerlukan

    tindakan pertolongan berupa penghisapan lendir/cairan dari orofaring dengan

    menggunakan suction unit tekanan rendah. Hati-hati pengisapan yang terlalu kuat

    atau traumatik dapat menyebabkan stimulasi vagal dan bradikardia bahkan bisa

    sampai henti jantung.

    Selanjutnya pada bayi dengan nilai Apgar 4-6 : hendaknya orofaring cepat

    diisap dan diberikan O2. Frekuensi jantung dan respirasi harus terus dipantau

    ketat. Bila frekuensi jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus

    diberikan ventilasi tekanan positif.

  • Sedangkan pada bayi dengan nilai Apgar 3 atau kurang : berarti bayi

    mengalami depresi pernapasan yang berat dan orofaring harus segera diisap.

    Ventilasi tekanan positif dengan O2 juga harus segera dilakukan. Kecukupan

    ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi

    bunyi napas.

    e. Profilaksis

    Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin persalinan adalah

    penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

    Yang harus diperhatikan :

    1. Hindari forseps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta

    pemberian pituitarin dalam dosis tinggi.

    2. Bila ibu anemia, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan O2

    dan darah segar.

    3. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan

    menunggu terlalu lama pada kala II.

    (Mochtar, 1998).

  • 3. Preeklampsia dalam hubungannya dengan asfiksia perinatal

    Meningkatnya thromboxane (TxA2) pada preeklampsia sebagian besar berasal

    dari trombosit. Meningkatnya produksi TxA2plasenta dan menurunnya produksi

    prostacyclin oleh plasenta, maka rasio antara TxA2/Prostacyclin meningkat akan

    menyebabkan vasokonstriksi, kerusakan trombosit dan menurunnya aliran darah

    ke unit uteroplasenta (Dekker et al, 2000).

    Remodelling arteri spiralis yang tidak lengkap pada preeklampsia

    menyebabkan sirkulasi uteroplasenter tahanan tinggi, perfusi ke plasenta

    berkurang menyebabkan stress oksidatif, terjadi peningkatan kadar peroksida lipid

    dan isoprostane pada plasenta dan desidua. Sedangkan kadar antioksidan

    superoksida dismutase, beta karoten, alfa tokoferol dan glutation pada plasenta

    mengalami penurunan (Candra, 2007).

    Kelainan iskemia-reperfusi merupakan penyebab malperfusi dari beberapa

    sistem organ. Pada preeklampsia terdapat spasme arteriola spiralis decidua

    sehingga terdapat penurunan aliran darah ke plasenta. Menurunnya aliran darah

    ke plasenta mengakibatkan gangguan perfusi plasenta. Sehingga dengan

    menurunnya perfusi darah melalui plasenta ke janin, maka terjadi hipoksia janin

    yang mengakibatkan terjadinya asfiksia pada bayi ketika setelah dilahirkan

    (Mellembakken et al, 2001).

  • B. Kerangka Pemikiran

    C. Hipotesis :

    Ada hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal di RSUD

    Dr Moewardi Surakarta.

    Gangguan Sirkulasi Utero Plasenta

    Faktor Tali Pusat Tali pusat melilit leher Kompresi tali pusat pusat pada jalan lahir

    Faktor plasenta Plasenta previa Solusio plasenta

    Preeklampsia

    Spasme Arteri Spiralis

    Hipoksia Janin

    Asfiksia Perinatal

    Faktor Ibu Anemia Ketuban pecah dini Partus lama Kehamilan preterm, postterm dengan insufisiensi plasenta

    Faktor Neonatus Kelainan kongenital (penyakit paru, jantung, tumor pada thorax) Pemberian anestesi berlebihan selama persalinan

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan

    pendekatan cross sectional , yaitu variabel bebas dan variabel tergantung

    diobservasi hanya sekali pada saat yang sama.(Taufiqurrahman, 2004).

    B. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di rumah sakit umum daerah Dr. Moewardi

    Surakarta dan dari bulan Agustus Oktober 2008.

    C. Subjek penelitian

    1. Populasi Penelitian

    Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang melahirkan di

    RSUD Dr Moewardi Surakarta.

    2. Sampel Penelitian

    Sampel dalam penelitian ini adalah subjek dalam populasi penelitian

    yang memenuhi kriteria inklusi dan sudah disingkirkan dengan kriteria

    eksklusi sebagai berikut:

  • a. Kriteria inklusi:

    1) Usia kehamilan aterm

    2) Ibu hamil dengan preeklampsia berat

    b. Kriteria eksklusi

    1) Kelainan plasenta (solusio plasenta, plasenta previa)

    2) Janin dengan kelainan kongenital (penyakit paru, jantung, tumor

    pada thorax)

    3) Ibu dengan anemia

    4) Ibu dengan ketuban pecah dini

    5) Partus lama

    D. Teknik Sampling

    Sampel yang diambil sebagai subjek adalah yang memenuhi kriteria

    di atas, dalam hal ini sampel dipilih dengan cara non probability sampling

    yakni purposive sampling, di mana setiap yang memenuhi kriteria penelitian

    dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu.

  • E. Rancangan Penelitian

    Tabel 2x2

    Uji Chi-Square

    Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

    Ibu hamil yang melahirkan di RSUD Dr Moewardi dari bulan Agustus Oktober 2008

    Normal Preeklampsia Berat

    Tidak Asfiksia Asfiksia Tidak Asfiksia Asfiksia

  • F. Instumen Penelitian

    Catatan medis pasien yang masuk bagian obstetrik dan ginekologi RSUD

    Dr Moewardi Surakarta dari bulan Agustus Oktober 2008.

    G. Identifikasi Variabel Penelitian

    1. Variabel bebas : preeklampsia berat

    2. Variabel tergantung : asfiksia perinatal

    H. Operasional Variabel Penelitian :

    1. Preeklampsia adalah sindroma spesifik pada kehamilan yang ditandai

    dengan peningkatan tekanan darah dan adanya proteinuri setelah

    kehamilan 20 minggu (Many, 2000). Preeklampsia berat bila disertai

    keadaan sebagai berikut :

    a. Tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih dari

    110 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan selang enam jam.

    b. Proteinuria lebih dari 2 gram dalam 24 jam atau 2-4 (+) pada test

    dipstick.

    c. Peningkatan serum kreatinin (lebih dari 1,2 mg/dL).

    d. Oligouria kurang dari atau sama dengan 500 mL/24 jam.

    e. Peningkatan enzim hati (SGPT >40 IU/L ; SGOT >37 IU/L).

  • f. Trombositopenia (platelet count kurang dari 100.000/mm3).

    (Reynolds, 2003).

    2. Asfiksia perinatal merupakan suatu keadaan dimana janin atau bayi baru

    lahir mengalami kekurangan oksigen (hypoxia) dan penurunan perfusi

    (iskemia) terhadap berbagai organ (Pignotti, 2005).

    Diklasifikasikan berdasarkan tidak asfiksia dan asfiksia pada ibu yang

    menderita preeklampsia berat dan tidak preeklampsia berat.

    Untuk mengetahui adanya asfiksia atau tidak, maka digunakan skor

    APGAR, dimana nilai APGAR bayi kurang dari atau sama dengan 6 maka

    dinyatakan menderita asfiksia.

    3. Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada

    korpus uteri sebelum janin lahir (Sumapraja dan Rachimhadi, 2007).

    4. Plasenta previa adalah tertanamnya bagian plasenta dalam segmen bawah

    uterus (Taber, 1994).

    5. Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari

    10 gr% (Mochtar, 1998).

    6. Kehamilan preterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada seorang

    wanita dengan usia kehamilan antara 20 minggu sampai 37 minggu

    (Budjang, 2007).

  • 7. Kehamilan postterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada seorang

    wanita dengan usia kehamilan 42 minggu (Budjang, 2007).

    8. Ketuban pecah dini adalah bocornya cairan amnion sebelum mulainya

    persalinan (Taber, 1994).

    9. Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada

    primi, dan lebih dari 18 jam pada multi (Mochtar, 1998).

  • X2 =

    I. Teknik Analisis Data

    Data diolah dengan metode statistik uji Chi-Square dengan taraf

    signifikansi 0,05. Dari data yang diperoleh dimasukan dalam table 2x2

    sebagai berikut :

    Untuk mengetahui ada/tidaknya hubungan, maka digunakan rumus :

    Keterangan:

    X2 : Chi-Square

    N : Jumlah sample

    a, b, c, d : Frekuensi dari masing masing variabel

    Asfiksia Tidak Asfiksia

    Total

    Preeklampsia Berat a b a+b

    Normal c d c+d

    Total a+c b+d N

    N(ad-bc)2

    (a+b)(c+d)(a+c)(b+d)

  • Setelah X2 diketahui, kemudian dibandingkan dengan X2 tabel sehingga:

    1. X2 hitung > X2 tabel (P < 0,05) terdapat hubungan yang sangat bermakna.

    2. X2 hitung = X2 tabel (P < 0,05) terdapat hubungan yang bermakna.

    3. X2 hitung < X2 tabel (P > 0,05) tidak ada hubungan yang bermakna.

    Cara pengambilan simpulan analisis data:

    H0 diterima dan H1 ditolak bila X2 hitung < X2 tabel (p > 0,05).

    H1 diterima dan H0 ditolak bila X2 hitung > X2 tabel (p < 0,05).

    Dimana H0 : Tidak ada hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal

    H1 : Ada hubungan antara preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal

  • BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    Dari penelitian yang telah dilakukan di bagian obstetrik dan ginekologi RSUD

    Dr. Moewardi Surakarta diperoleh data persalinan mulai bulan Agustus sampai

    dengan Oktober 2008 sebanyak 378 orang dengan kasus preeklampsia berat sebanyak

    39 orang (10,32%) dan yang normal sebanyak 44 orang (11,64%).

    Tabel 1. Distribusi Pasien Preeklampsia Berat Menurut Umur Ibu

    Umur Ibu (Tahun) Jumlah Pasien (Orang) %

    15 - 24 6 15,38

    25 34 24 61,54

    35 44 9 23,08

    Jumlah 39 100

    Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa kelompok pasien preeklampsia terbanyak

    didapatkan pada umur ibu antara 25 34 tahun yaitu sebanyak 24 orang atau sebesar

    61,54%, sedangkan kelompok pasien terkecil didapatkan pada umur 15 24 tahun

    yaitu sebanyak 6 orang atau sebesar 15,38%.

  • Tabel 2. Distribusi Preeklampsia Berat dengan Asfiksia Perinatal

    Asfiksia Tidak

    Asfiksia

    Total Hasil Uji

    Statistik

    Preeklampsia Berat 8 31 39

    Normal 3 41 44

    Total 11 72 83

    X2 = 3,373

    p = 0,066

    = 0,05

    db = 1

    OR = 3,527

    Setelah dilakukan analisis statistik dengan uji chi square , nilai X2 yang

    didapat sebesar 3,373 lebih kecil dari X2 tabel sebesar 3,841 (p > 0,05) pada taraf

    signifikansi =0,05 dengan db=1. Dengan demikian nilai X2 yang didapat

    menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara preeklampsia berat dengan

    asfiksia perinatal secara statistik. Sedangkan nilai odds ratio (OR) yang didapat

    sebesar 3,527 yang berarti ibu yang menderita preeklampsia berat mempunyai risiko

    3,5 kali pada bayinya untuk menderita asfiksia. Uji statistik dan hasilnya dapat dilihat

    pada lampiran.

  • BAB V

    PEMBAHASAN

    Dari penelitian yang telah dilakukan di bagian obstetrik dan ginekologi RSUD

    Dr. Moewardi Surakarta diperoleh data persalinan mulai bulan Agustus sampai

    dengan Oktober 2008 sebanyak 378 orang dengan kasus preeklampsia berat sebanyak

    39 orang (10,32%). Sedangkan menurut Roeshadi (2004) angka kejadian

    preeklampsia di Indonesia berkisar 3 hingga 10 %. Di Amerika Serikat insiden

    preeklampsia mencapai 23,6 kasus per 1000 kelahiran (Wagner, 2004). Frekuensi

    preeklampsia bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi. Beberapa hal

    yang mempengaruhi tersebut adalah jumlah primigravida, keadaan sosioekonomi, dan

    perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis (Wibowo dan Rachimhadi, 2007).

    Tabel 2 memperlihatkan bahwa dari ibu yang menderita preeklampsia berat

    terdapat bayi yang mengalami asfiksia sebesar 8 orang (20,51%), sedangkan dari ibu

    yang normal juga terdapat bayi yang mengalami asfiksia yaitu sebanyak 3 orang

    (6,82%). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada preeklampsia

    berat terjadi spasme arteri spiralis sehingga terdapat penurunan aliran darah ke

    plasenta yang pada akhirnya janin mengalami hipoksia (Mellembakken, 2001).

    Setelah dianalisis dengan chi-square untuk mengetahui hubungan antara

    preeklampsia berat dengan asfiksia, didapatkan nilai X2 hitung (3,373) lebih kecil

    daripada X2 tabel (3,841). Sehingga didapatkan nilai p = 0,066 (p > 0,05) yang berarti

  • bahwa H0 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

    bermakna secara statistik antara preeklampsia berat dengan asfiksia perinatal di

    RSUD Dr Moewardi Surakarta.

    Walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna

    antara preeklampsia berat dengan asfiksia, tetapi secara klinik didapatkan hasil yang

    bermakna dengan nilai odds ratio (OR) = 3,527 yang berarti ibu penderita

    preeklampsia berat memiliki risiko 3,5 kali pada bayinya untuk mengalami asfiksia.

    Tidak terdapatnya hubungan yang bermakna secara statistik ini bisa

    dikarenakan jumlah sampel yang kurang banyak. Sebab pada penelitian terdahulu

    yang juga dilakukan oleh Heridho (2008) di RSUD Dr Moewardi Surakarta dengan

    jumlah sampel sebesar 256 didapatkan hasil yang bermakna secara statistik.

    Selain itu bisa juga dikarenakan preeklampsia berat pada ibu hamil tersebut

    baru terjadi saat usia kehamilan sudah mendekati masa persalinan, sehingga

    preeklampsia berat yang dialami tidak memberikan dampak asfiksia pada janinnya.

    Pada penelitian ini terdapat kekurangan yang dilakukan oleh peneliti yaitu

    karena tidak dieksklusikannya sampel berdasarkan cara persalinan. Padahal cara

    persalinan bisa mempengaruhi keadaan bayi untuk mengalami asfiksia. Jadi dalam

    penelitian ini perinatal yang menderita asfiksia tidak hanya oleh karena ibunya yang

    menderita preeklampsia berat tetapi juga bisa dikarenakan karena cara persalinan.

  • BAB VI

    SIMPULAN DAN SARAN

    A. Simpulan

    Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan subjek penelitian ibu dengan

    preeklampsia berat yang melahirkan bayinya di RSUD Dr Moewardi Surakarta

    dari bulan Agustus Oktober 2008 diperoleh simpulan secara statistik tidak

    terdapat hubungan yang bermakna antara preeklampsia berat dengan asfiksia

    perinatal (p > 0,05). Akan tetapi secara klinis didapatkan bahwa preeklampsia

    berat meningkatkan risiko asfiksia perinatal sebesar 3,5 kali dibanding kehamilan

    normal.

    B. Saran

    1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar

    dan di pusat - pusat kesehatan yang lain.

    2. Sebaiknya dalam penelitian ini perlu dibedakan cara persalinan sehingga bisa

    diketahui bahwa perinatal yang mengalami asfikisa hanya dikarenakan oleh

    ibu yang menderita preeklampsia berat.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Agudelo A.C., Belizan J.M. 2000. Maternal morbidity and mortality associated

    with interpregnancy interval: cross sectional study. BMJ. 321: 1255-

    1259.

    Aminullah A. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

    Prawirohardjo. Jakarta. p : 709.

    Arias F. 1999. Practical guide to Highrisk Pregnancy and Delivery. Ed.2 St Louis

    : Mosby Year Book, pp: 183-279.

    Brooks. 2005. Pregnancy, preeclampsia.

    http://cpmcnet.columbia.edu/texts/gcps/gcps0047.html.

    (14 September 2008).

    Budiarto, E. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran

    EGC. Jakarta. Pp : 58-66.

    Budjang R.F. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

    Prawirohardjo. Jakarta. p : 771.

    Candra S., Widodo M.A., et al. 2007. Kadar MDA dan ratio GSH/GSSH pada

    kehamilan normal, preeclampsia berat dan eklampsia di Malang. Jurnal

    Kedokteran Brawijaya, Vol XXIII, No. 1.

    Churchill D, Beevers DG. 1999. Hypertension in Pregnancy, London: BMJ

    Books.

  • Cnossen J.S., et al.2008. Accuracy of mean arterial pressure and blood pressure

    measurements in predicting pre-eclampsia: systematic review and meta-

    analysis. BMJ. 336: 1117-1120.

    Cotter A.M., Molloy A.M., Scott J.M., Daly S.F. 2001. Elevated plasma

    homocysteine in early pregnancy: A risk factor for the development of

    severe preeclampsia. Am J Obstet Gynecol. 185(4): 781-5.

    Cunningham, F.G., Gant, N.F., et al., 2005. Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2.

    Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Pp : 1356-8.

    Dekker GA, Sibai BM. 1998. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia ;

    Current Concept. Am J Obstet Gynecol Vol 179 , pp: 1359-75.

    Depkes. 2005. Tabel 3.3 Distribusi Pasien Keluar Mati di Rumah Sakit yang

    Bermula pada Masa Perinatal di Indonesia Tahun 2004.

    http://www.yanmedik-depkes.net. (12 September 2008).

    Dina S. 2003. Luaran ibu dan bayi pada penderita preeclampsia berat dan

    eklampsia dengan atau tanpa sindroma HELLP. Bagian Obstetri dan

    Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

    Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. Penerbit Buku

    Kedokteran EGC, Jakarta. p :113.

    Duley L, Meher S, Abalos E. 2006. Management of Preeclampsia. BMJ. 332 :

    463-8.

    Duley L, Henderson-Smart D, Knight M, King J. 2001. Antiplatelet drugs for

    prevention of pre-eclampsia and its consequences: systematic review.

    BMJ. 322: 329-33.

  • Guyton A. C., and Hall J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta

    : EGC, p : 1315.

    Hastami, Y. 2007. Hubungan antara Preeklampsia Berat dengan Kejadian Bayi

    Berat Lahir Rendah di RSUD Dr. Moewardi. Surakarta. Fakultas

    Kedokteran UNS. Skripsi.

    Heridho, K. 2008. Hubungan antara Preeklampsia/Eklampsia dengan Luaran

    Perinatal di RSUD Dr Moewardi. Surakarta. Fakultas Kedokteran UNS.

    Skripsi.

    Herrmann W, Hubner U, Koch I, Obeid R, Retzke U and Geisel J. 2004.

    Alteration of Homocysteine Catabolism in Preeclampsia, HELLP

    Syndrome and Placental Insufficiency. Clinical Chemistry Lab Med;

    42(10): 1109-16.

    Hung H.T., Skepper N.J., Graham J., Burton J.G. 2001. In vitro ischemia-

    reperfusion injury in term human placenta as a mode for oxidative stress

    in pathological pregnancies. Am J Obstet Gynecol. Pathology. 159:

    1031-1043.

    Idris I, Yusuf I, Sinrang W, Batmomolin A. 2006. Incidence of Preeclampsia and

    Low Birth Weight in Sympathetic Hyperactivity Pregnant Women.

    http://med.unhas.ac.id. (12 September 2008)

    James, D. K., Steer P. J., Wiener. C.P., Gonik B. 1996. High Risk Pregnancy

    Management and Option, W.B. Saunder Company LTD Phyladelphya.

    Lintang L.S. 2003. Gambaran fraksi protein darah pada preeclampsia dan hamil

    normotensif. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran

    Universitas Sumatera Utara.

  • Llewellyn-Jones, D. 2001. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.

    Hipokrates, Jakarta. pp : 113-5, 202-4.

    Lockwood CJ, Paidas MJ. 2000. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. IN :

    Cohen WR, Complication in Pregnancy, ED. 5th, Philadelphia :

    Lippicott Williams & Wilkins. Pp : 207-26.

    Lynch A.M., et al. 2008. Alternative complement pathway activation fragment Bb

    in early pregnancy as a predictor of preeclampsia. Am J Obstet Gynecol.

    198(4): 385.e1-385.e9.

    Many A., Hubel A.C., Fisher J.S. et al. 2000. Invasive cytotrophoblast manifest

    evidence of oxidative stress in preeclampsia. Am J Obstet Gynecol.

    Pathology. 158: 321-331.

    Mellembakken R.J., Aukrust P., Ueland T., et al. 2001. Chemokines and leucosite

    activation in the fetal circulation during preeclampsia. Hypertension. 38:

    394.

    Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I:Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.

    Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Pp : 198-203, 427-30,

    255, 384.

    Murti, B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : UGM

    Press, pp : 190-7.

    Parimi N., et al. 2008. Analytical approaches to detect maternal/fetal genotype

    incompatibilities that increase risk of pre-eclampsia. BMC Medical

    Genetics. 9: 60.

    Pignotti M.S., Indolfi G., Ciuti R., Donzelli G. 2005. Perinatal asphyxia and

    inadvertent neonatal intoxication from local anaesthetics given to the

    mother during labour. BMJ. 330: 34-5.

  • Reynolds, C., Mabie, W.C., Sibai, B.M. 2003. Hypertensive States of Pregnancy.

    In:DeCherney, A.H., Nathan, L. Current Obstetric & Gynecologic

    Diagnosis & Treatment. 9th edition. McGraw-Hill Companies, Inc., New

    Delhi. Pp : 338-46.

    Roberts K.B., et al. 2008. Maternal risk factors for abnormal placental growth:

    The national collaborative prenatal project. BMC Pregnancy and

    Childbirth. 8: 44.

    Rofii. 1999. Hubungan antara Derajat Preeklampsia dengan Derajat Asfiksia

    Neonatorum di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Surakarta, Fakultas

    Kedokteran UNS. Skripsi.

    Sastrawinata, S. 1992. Obstetri Patology, Fakultas Kedokteran Universitas

    Padjajaran Bandung.

    Sastroasmoro, S. 2000. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:

    Binarupa Aksara.

    Sibai, BM, Mercer, Schiff, E & Friedman, SA. 1994. Aggressive versus expectant

    management of severe preeclampsia at 28-32 weeks of gestation:A

    randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol Vol 171, p : 818.

    Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Penerbit Buku

    Kedokteran EGC. Jakarta. p :446.

    Sudinaya, I Putu. 2003. Insiden Preeklampsia dan Eklampsia di Rumah Sakit

    Umum Tarakan Kalimantan Timur. Cermin Dunia Kedokteran. 2003;

    139:14.

    Sumapraja S., Rachimhadi T. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina

    Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. p : 376.

  • Suparjono. 2003. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

    Kematian Perinatal di Kabupaten Kulon Progo.

    www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=1&start=1500.

    (11 April 2009).

    Taber, B. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan ginekologi. Penerbit

    Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Pp : 235-41, p : 368.

    Taufiqurrahman, M.A. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.

    Klaten : CSGF.

    Thangaratinam S., et al. 2008. Tests for predicting complications of pre-

    eclampsia: a protocol for systematic reviews. BMC Pregnancy and

    Childbirth. 8: 38.

    Unicef. 2006. Anak-anak yang Terabaikan, Terlupakan, dan Tak Terjangkau.

    www.unicef.org/indonesia/id/SOWCR_2006_bi.pdf. (11 April 2009).

    Vatten L.J., Skjaerven R. 2004. Is preeclampsia more than one disease? Obstet

    Gynecol Surv. 59: 645-6.

    Wibowo B., Rachimhadhi T. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina

    Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. p : 285 - 7.

    Zhang J., et al. 2008. Placental anti-oxidant gene polymorphisms, enzyme

    activity, and oxidative stress in preeclampsia. Placenta. 29(5): 439-443.