Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan eklampsia adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO, 2011). Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria, merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang. Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 15% dari total kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh eklampsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari preeklampsia (Turner, 2010). Eklampsia menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati, 2011). Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami dengan jelas sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit tersebut. Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan komplikasinya difokuskan pada deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat. Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan pelayanan obstetri emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat (antikonvulsan), dan
35

Preeklamsia & Eklamsia

Nov 21, 2015

Download

Documents

Preeklamsia & Eklamsia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait

    preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan

    eklampsia adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol

    sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO,

    2011). Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria,

    merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20

    minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang.

    Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 15% dari total kematian

    ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh

    eklampsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari

    preeklampsia (Turner, 2010). Eklampsia menduduki urutan kedua setelah

    perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010

    (Hernawati, 2011).

    Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami

    dengan jelas sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit tersebut.

    Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan komplikasinya difokuskan pada

    deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat. Tatalaksana terapi

    preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan pelayanan obstetri

    emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat (antikonvulsan), dan

  • 2

    fasilitas yang diperlukan untuk persalinan (Hezelgrave dkk., 2012). Pengontrolan

    tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting untuk menurunkan insidensi

    perdarahan serebral dan mencegah terjadinya stroke maupun komplikasi

    serebrovaskular lain akibat preeklampsia dan eklampsia (Sidani dan Siddik-

    Sayyid, 2011). Antikonvulsan diberikan untuk mencegah terjadinya kejang pada

    preeklampsia dan mengatasi kejang pada eklampsia (Duley dkk., 2010).

    Kejang yang tidak ditangani dengan antikonvulsan secara tepat menjadi

    masalah utama pada kasus kematian akibat eklampsia (Duley dkk., 2010). Terapi

    antihipertensi yang inadekuat dalam perawatan klinis juga menjadi masalah serius

    yang menyebabkan perdarahan intrakranial pada sebagian besar kasus kematian.

    Laporan terakhir menunjukkan bahwa guideline-guideline hipertensi dalam

    kehamilan harus dapat mengidentifikasi batas tekanan darah yang memerlukan

    terapi antihipertensi dan pemilihan antihipertensi yang efektif serta aman

    digunakan pada masa kehamilan (Lewis, 2007).

    Obat harus aman, efektif, dan digunakan secara rasional untuk

    menghasilkan efek yang diinginkan. Terapi dengan obat pada masa kehamilan

    memerlukan perhatian khusus karena ancaman efek teratogenik obat dan

    perubahan fisiologis pada ibu sebagai respon terhadap kehamilan. Obat dapat

    menembus sawar plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin (Sharma

    dkk., 2006; Schellack dan Schellack, 2011). Pemilihan obat-obatan selama

    kehamilan harus mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko bagi ibu maupun

    janin untuk menghasilkan terapi yang aman dan rasional (Schellack dan

    Schellack, 2011).

  • 3

    Fakta berupa tingginya morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dalam

    kehamilan mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang evaluasi

    penggunaan obat pada terapi preeklampsia dan eklampsia. Penelitian ini penting

    untuk menilai kesesuaian terapi dilihat dari pemilihan obat yang efektif dan

    keamanan penggunannya pada masa kehamilan sehingga dapat dilakukan tindak

    lanjut untuk mengoptimalkan pemakaian obat pada pasien preeklampsia dan

    eklampsia. Optimalisasi pelayanan kesehatan dalam memberikan terapi pada

    wanita hamil dengan gangguan hipertensi merupakan langkah yang diperlukan

    untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO, 2011).

    Panggabean (2008) pernah melakukan penelitian tentang kesesuaian

    pemberian antihipertensi dengan kriteria tepat indikasi dan tepat dosis pada pasien

    preeklampsia dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah

    Yogyakarta periode Januari 2004 Mei 2006. Penelitian yang sekarang juga

    dilakukan di rumah sakit yang sama namun berbeda dengan penelitian

    sebelumnya di mana penelitian ini dilakukan pada pasien preeklampsia berat dan

    eklampsia periode waktu setelahnya yaitu tahun 2011 2012. Macam obat yang

    akan dievaluasi pada penelitian ini tidak hanya antihipertensi seperti pada

    penelitian sebelumnya, namun juga dilakukan terhadap antikonvulsan karena

    kedua macam obat tersebut menjadi bagian yang penting dalam terapi

    preeklampsia berat dan eklampsia. Penelitian sebelumnya melakukan evaluasi

    penggunaan obat dengan kriteria tepat indikasi dan tepat pasien saja, sementara

    pada penelitian ini juga dilakukan penilaian ketepatan dosis. Evaluasi penggunaan

    obat merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara terus-menerus untuk

  • 4

    memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, efektif, dan aman di

    lingkungan pelayanan kesehatan.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana karakteristik pasien preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi

    Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011

    2012?

    2. Bagaimana pola penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan pada pasien

    preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011 2012?

    3. Bagaimana kesesuaian penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan pada

    pasien preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011 2012 dengan Guideline

    SOGC tahun 2008, Standar Pelayanan Medis RS PKU Muhammadiyah

    Yogyakarta tahun 2005, dan Pedoman POGI tahun 2006?

    4. Bagaimana gambaran kondisi pasien setelah menjalani terapi?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui karakteristik pasien preeklampsia berat dan eklampsia di

    Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun

    2011 2012.

  • 5

    2. Untuk mengetahui pola penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan pada

    pasien preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011 2012.

    3. Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan

    pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS

    PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011 2012 dengan

    Guideline SOGC tahun 2008, Standar Pelayanan Medis RS PKU

    Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2005, dan Pedoman POGI tahun 2006.

    4. Untuk mengetahui gambaran kondisi pasien setelah menjalani terapi.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Memberikan informasi mengenai penggunaan antihipertensi dan

    antikonvulsan pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia di Instalasi

    Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011 2012.

    2. Menjadi bahan evaluasi bagi rumah sakit terhadap terapi preeklampsia berat

    dan eklampsia di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

    periode tahun 2011 2012.

    3. Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan serta

    pengobatan preeklampsia berat dan eklampsia.

  • 6

    E. Tinjauan Pustaka

    1. Preeklampsia dan Eklampsia

    Preeklampsia dan eklampsia merupakan bagian dari hipertensi dalam

    kehamilan. Terminologi hipertensi dalam kehamilan mempunyai jangkauan

    lebih luas. The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP)

    mengklasifikasikan hipertensi dalam kehamilan sebagai berikut:

    a. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20

    minggu atau hipertensi yang pertama kali terdiagnosis setelah usia

    kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap hingga setelah 12 minggu

    postpartum (setelah melahirkan).

    b. Preeklampsia yaitu sindrom spesifik kehamilan yang timbul setelah usia

    kehamilan 20 minggu, dikarakterisir dengan hipertensi disertai proteinuria.

    Sindrom ini dapat terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu pada penyakit

    trofoblas seperti mola hidatidosa (hamil anggur) atau hydrops (akumulasi

    cairan dalam kompartemen janin).

    c. Eklampsia yaitu preeklampsia disertai dengan kejang tanpa disebabkan

    kondisi neurologis lain yang jelas.

    d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia yaitu hipertensi

    kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai

    proteinuria.

    e. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) yaitu hipertensi

    yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan tekanan darah

    kembali normal setelah 12 minggu postpartum (NHBPEP, 2000).

  • 7

    2. Diagnosis

    Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah terjadinya

    hipertensi dan proteinuria, edema sudah tidak lagi digunakan sebagai kriteria

    diagnostik karena edema juga banyak terjadi pada wanita dengan kehamilan

    normal (Cunningham dkk., 2010). Faktor risiko timbulnya hipertensi dalam

    kehamilan jika didapatkan edema generalisata atau kenaikan berat badan

    lebih dari 0,57 kg/minggu perlu dipertimbangkan (Angsar, 2010). Kriteria

    diagnostik preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat pada Tabel I.

    Tabel I. Kriteria Diagnostik Preeklampsia dan Eklampsia (Cunningham dkk., 2010;

    Angsar, 2010; Norwitz dan Schorge, 2006) A. Preeklampsia ringan

    1. Tekanan darah > 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu 2. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ pada dipstik 3. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali

    edema pada lengan, muka dan perut, serta edema generalisata

    B. Preeklampsia berat, bila ditemukan salah satu atau lebih gejala berikut: 1. Tekanan darah > 160/110 mmHg 2. Proteinuria 2 g/24 jam atau > 2+ pada dipstik 3. Oliguria, yaitu produksi urin < 500 ml/24 jam 4. Kenaikan kadar kreatinin plasma 5. Gangguan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, atau gangguan

    penglihatan

    6. Edema paru 7. Gangguan fungsi hepar: peningkatan kadar AST (SGOT) atau ALT (SGPT) > 2

    kali batas atas nilai normal

    8. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen 9. Trombositopenia berat: jumlah trombosit < 100.000 sel/l 10. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat 11. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low platelet count)

    C. Eklampsia Timbulnya kejang menyeluruh atau koma pada penderita preeklampsia

    Keterangan:

    AST: Aspartate aminotransferase; SGOT: Serum glutamic-oxalate transferase; ALT:

    Alanine aminotransferase; SGPT: Serum glutamic-pyruvate transferase

    a. Hipertensi

    Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan jika tekanan

    darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah

    diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg (SOGC, 2008).

  • 8

    Pengukuran tekanan darah dilakukan dua kali selang 4 jam setelah

    penderita beristirahat (POGI, 2006). Peningkatan tekanan darah sistolik

    30 mmHg atau diastolik 15 mmHg sebagai kriteria diagnostik meskipun

    nilai absolut masih di bawah 140/90 mmHg pernah digunakan, namun

    kriteria ini tidak dianjurkan lagi. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa

    wanita dalam kelompok ini kecil kemungkinannya mengalami gangguan

    pada janin mereka, meskipun demikian wanita yang mengalami

    peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg

    perlu diawasi secara ketat (Cunningham dkk., 2010).

    b. Proteinuria

    Proteinuria merupakan adanya protein 300 mg dari jumlah urin

    24 jam (diukur dengan metode Esbach) atau kadar protein dalam urin

    30 mg/dl (1+ pada dipstik) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan

    tanda-tanda infeksi saluran kemih (SOGC, 2008; POGI, 2006).

    Kesetaraan pengukuran proteinuria dengan dipstik yaitu 1+ dengan kadar

    0,3 0,45 g/l, 2+ dengan kadar 0,45 1 g/l, 3+ dengan kadar 1 3 g/l,

    dan 4+ dengan kadar > 3 g/l (POGI, 2006).

    c. Kejang

    Kejang pada eklampsia selalu didahului dengan preeklampsia.

    Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik yang berlangsung 15 30

    detik. Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Diafragma

    terfiksir (tidak dapat digerakkan) pada waktu kejang sehingga pernafasan

    tertahan. Kejang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit, setelah itu

  • 9

    berangsur-angsur kejang melemah dan akhirnya penderita diam tidak

    bergerak (Angsar, 2010).

    Kejang yang terjadi pada eklampsia harus dipertimbangkan adanya

    kemungkinan kejang akibat penyakit lain. Diagnosis banding eklampsia

    menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak, hipertensi, lesi otak,

    meningitis, dan epilepsi iatrogenik (disebabkan tindakan medis). Kejang

    pada eklampsia ditandai dengan kejang tonik dan klonik, selain itu

    disertai dengan peningkatan tekanan darah yang cepat, peningkatan suhu

    badan, inkontinensia (ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin),

    dan kadang-kadang penderita mengalami muntah (Angsar, 2010).

    3. Epidemiologi

    Insidensi preeklampsia sangat bervariasi di seluruh dunia. Insidensi

    preeklampsia diperkirakan oleh WHO tujuh kali lebih tinggi di negara

    berkembang (2,8% dari kelahiran hidup) daripada di negara maju (0,4% dari

    kelahiran hidup). Insidensi eklampsia di negara berkembang juga bervariasi,

    mulai dari 1 kasus per 100 kehamilan hingga 1 kasus per 1.700 kehamilan

    (Osungbade dan Ige, 2011). Prevalensi eklampsia di Indonesia pada tahun

    2010 sebesar 3,9% dari seluruh kehamilan dengan angka kematian sebesar

    0,7% dari seluruh kehamilan (Hernawati, 2011).

    4. Faktor Risiko

    Terdapat beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia dan

    eklampsia yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • 10

    a. Faktor kehamilan

    1) Nullipara

    Nullipara yaitu wanita yang belum pernah melahirkan bayi

    yang mampu hidup di luar rahim. Kejadian preeklampsia meningkat

    pada nullipara karena ibu berada pada masa awal terpapar trofoblas

    yang berasal dari janin (Luealon dan Phupong, 2010).

    2) Kehamilan kembar

    Wanita dengan kehamilan kembar lebih berisiko terkena

    preeklampsia dengan insidensi antara wanita hamil kembar dan

    wanita hamil tunggal yaitu 13% versus 5% (dari seluruh kehamilan)

    (Cunningham dkk., 2010).

    3) Mola hidatidosa

    Mola hidatidosa merupakan penyimpangan pertumbuhan dan

    perkembangan kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili

    korialis mengalami perubahan hidrofik (Manuaba, 1998). Mola

    hidatidosa menyebabkan gangguan invasi sel trofoblas ke dalam

    arteri spiralis sehingga dapat terjadi preeklampsia dengan onset lebih

    cepat yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu (Turner, 2010;

    Nugroho, 2010).

    b. Faktor sosiodemografi:

    1) Usia kurang dari (< 20) tahun atau lebih dari (> 35) tahun

    Usia < 20 tahun berhubungan dengan usia kehamilan yang

    terlalu muda dan keterkaitan dengan status nullipara. Usia > 35 tahun

  • 11

    meningkatkan risiko preeklampsia berkaitan dengan terjadinya

    kerusakan endotel pembuluh darah yang progresif seiring dengan

    penuaan ibu dan obstruksi lumen arteri spiralis ibu oleh aterosis

    (Luealon dan Phupong, 2010).

    2) Ras Afrika dan Amerika

    Preeklampsia pada wanita ras Afrika dan Amerika terjadi

    dengan onset yang lebih cepat dan efek yang lebih parah

    dibandingkan wanita ras lainnya tanpa sebab yang jelas (Burke-

    Galloway, 2013).

    c. Faktor genetik:

    1) Riwayat preeklampsia dalam keluarga

    Preeklampsia dapat diturunkan kepada anak perempuan

    dengan sifat bawaan yang resesif (Manuaba dkk., 2007).

    d. Faktor gaya hidup maternal:

    1) Obesitas

    Kejadian preeklampsia meningkat dari 4,3% (dari seluruh

    kehamilan) untuk wanita dengan indeks massa tubuh < 20 kg/m2

    menjadi 13,3% (dari seluruh kehamilan) untuk mereka dengan

    indeks massa tubuh > 35 kg/m2 (Cunningham dkk., 2010).

    e. Riwayat penyakit sebelumnya:

    1) Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

    Wanita dengan preeklampsia pada kehamilan pertama berisiko

    tujuh kali lipat mengalami preeklampsia pada kehamilan selanjutnya.

  • 12

    2) Hipertensi kronik

    Wanita dengan hipertensi kronik berisiko mengalami

    preeklampsia dengan insidensi dibandingkan wanita normotensi

    yaitu 12,1% versus 0,3% (dari seluruh kehamilan).

    3) Diabetes mellitus

    Wanita dengan diabetes mellitus sebelum hamil berisiko empat

    kali lipat mengalami preeklampsia pada kehamilannya (Duckitt dan

    Harrington, 2005).

    5. Etiologi dan Patogenesis

    Preeklampsia dan eklampsia dianggap sebagai maladaptation syndrome

    (sindrom yang muncul karena kegagalan adaptasi) akibat vasopasme

    menyeluruh dengan segala akibatnya (Nugroho, 2010). Berbagai teori telah

    diajukan untuk memahami mekanisme pasti penyebab perubahan patologis

    pada preeklampsia dan eklampsia seperti berikut:

    a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

    Teori penyebab preeklampsia yang pertama kali dikemukakan

    adalah teori kelainan vaskularisasi plasenta yang menunjukkan kegagalan

    remodelling arteri spiralis. Invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri

    spiralis tidak terjadi pada preeklampsia sehingga arteri spiralis gagal

    bervasodilatasi. Vasodilatasi arteri spiralis ini terjadi pada kehamilan

    normal dan penting untuk menjaga aliran darah ke janin sehingga dapat

    meningkatkan perfusi jaringan dan menjamin pertumbuhan janin dengan

    baik (Angsar, 2010).

  • 13

    Kegagalan remodelling arteri spiralis terjadi pada preeklampsia,

    pembuluh darah tetap kaku sehingga menyebabkan hipoperfusi dan

    iskemia plasenta. Kondisi iskemia akan memicu plasenta menghasilkan

    oksidan (radikal bebas) yang dapat mengakibatkan kerusakan sel endotel.

    Iskemia juga dapat berkembang menjadi aterosis, nekrosis fibrin,

    trombosis, penyempitan arteriola, dan infark plasenta (Angsar, 2010;

    Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).

    b. Teori kerusakan sel endotel

    Salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostasiklin yang

    merupakan vasodilator kuat. Kerusakan sel endotel menyebabkan

    agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang rusak untuk menutup

    kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (suatu

    vasokonstriktor kuat). Kadar prostasiklin dalam keadaan normal lebih

    tinggi daripada tromboksan, namun pada preeklampsia kadar prostasiklin

    lebih rendah daripada tromboksan sehingga terjadi kenaikan tekanan

    darah (Angsar, 2010).

    c. Teori imunologis

    Respon imun ibu pada kehamilan normal tidak menolak adanya

    hasil konsepsi karena sel-sel trofoblas plasenta mengekspresikan human

    leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang melindungi trofoblas janin

    dari lisis oleh sel Natural Killer ibu. Human leukocyte antigen protein G

    juga merupakan prakondisi terjadinya invasi trofoblas ke jaringan

    desidua. Penurunan ekspresi HLA-G terjadi pada preeklampsia sehingga

  • 14

    menghambat invasi trofoblas ke jaringan desidua, menyebabkan

    implantasi yang abnormal, dan mengubah respon kekebalan ibu terhadap

    antigen janin (Angsar, 2010; Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).

    d. Teori genetik

    Teori genetik diajukan setelah melalui berbagai pengamatan.

    Wanita nullipara dengan riwayat preeklampsia dalam keluarga memiliki

    risiko dua hingga lima kali lipat mengalami preeklampsia. Beberapa gen

    termasuk angiotensinogen gene variant (T235), endothelial nitric oxide

    synthase (eNOS), dan gen penyebab trombofilia diduga berkaitan dengan

    preeklampsia (Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).

    6. Manifestasi Klinis

    Tanda dan gejala yang merupakan manifestasi klinis dari preeklampsia

    dan eklampsia:

    a. Sistem syaraf pusat: nyeri kepala, gangguan penglihatan, kesadaran

    menurun, dan dapat terjadi koma disertai kejang (eklampsia) jika pusat

    motorik terganggu.

    b. Sistem kardiovaskular: hipertensi dengan derajat bervariasi, resistensi

    vaskular yang tinggi, dan gagal jantung.

    c. Sistem respirasi: peningkatan risiko edema paru.

    d. Sistem hematologi: hiperkoagulasi trombosit dan aktivasi sistem

    fibrinolisis.

    e. Ginjal: penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan proteinuria,

    peningkatan kreatinin, dan oliguria.

  • 15

    f. Hepar: peningkatan enzim hepar, nyeri pada kuadran kanan atas

    abdomen, dan pecahnya kapsula Glisson dengan perdarahan hepar.

    g. Sistem endokrin: ketidakseimbangan prostasiklin relatif terhadap

    tromboksan.

    h. Uteroplasenta: penurunan aliran darah rahim, pertumbuhan janin

    terhambat, dan oligohidramnion (Turner, 2010; Manuaba dkk., 2007).

    7. Komplikasi

    Komplikasi yang terjadi pada preeklampsia dan eklampsia terutama

    diakibatkan oleh vasospasme yang bersifat menyeluruh. Preeklampsia dan

    eklampsia dapat menyebabkan berbagai komplikasi berikut:

    a. Perdarahan serebral

    Komplikasi paling umum sebagai akibat dari vasospasme dan

    tingginya tekanan darah pada preeklampsia dan eklampsia adalah

    perdarahan serebral (Lewis, 2007).

    b. Gangguan visus (penglihatan)

    Gangguan visus pada preeklampsia dan eklampsia dihubungkan

    dengan terjadinya vasospasme arteri retina (Cunningham dkk., 2001).

    c. Koma

    Pasien eklampsia akan mengalami perubahan kesadaran hingga

    koma akibat edema otak yang luas (Cunningham dkk., 2001). Derajat

    hilangnya kesadaran dapat dinilai dengan Glasgow Coma Scale (Angsar,

    2010).

  • 16

    d. Edema paru

    Penderita preeklampsia mempunyai risiko lebih besar terjadinya

    edema paru disebabkan payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada

    pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis (Angsar, 2010).

    e. Asites

    Asites (akumulasi cairan dalam rongga perut) yang menyertai

    preeklampsia dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas

    kapiler yang menyeluruh (Wirawan dan Prasmusinto, 2011).

    f. Oliguria

    Oliguria (produksi urin < 500 ml selama 24 jam) pada

    preeklampsia terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal

    menurun yang menyebabkan penurunan produksi urin (Angsar, 2010).

    g. Tromboemboli

    Tromboemboli adalah penyumbatan beberapa bagian sistem

    kardiovaskular oleh massa bekuan darah yang tidak terkendali.

    Preeklampsia berkaitan dengan penyempitan arteri spiralis pada plasenta

    yang dapat menyebabkan kondisi iskemia dan tromboemboli (van

    Walraven dkk., 2003; Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).

    h. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low

    platelet count)

    Sindrom HELLP adalah gangguan terkait kehamilan yang

    dikarakterisir oleh timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar

    (disfungsi hepar), dan trombositopenia (Turner, 2010). Keluarnya enzim

  • 17

    hepar terutama AST disebabkan oleh kerusakan dan perdarahan pada

    hepar. Pada sindrom HELLP terjadi lisis trombosit berkelanjutan yang

    menyebabkan turunnya trombosit sampai di bawah 100.000 sel/l

    (Manuaba dkk., 2007).

    i. Intrauterine growth restriction (IUGR)

    IUGR atau pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin

    kurang dari 10% dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan

    tertentu. Penurunan aliran darah uteroplasenta menyebabkan janin

    kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga timbul

    pertumbuhan janin terhambat, ditandai dengan lingkar perut yang jauh

    lebih kecil daripada lingkar kepala (Wiknjosastro, 2010).

    j. Intrauterine fetal death (IUFD)

    Peningkatan terjadinya kematian janin intrauterin pada

    preeklampsia dan eklampsia secara tidak langsung merupakan akibat dari

    pertumbuhan janin terhambat (Angsar, 2010).

    k. Prematuritas (kelahiran preterm)

    Preeklampsia secara signifikan meningkatkan risiko kelahiran

    preterm (persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu)

    yang iatrogenik atas indikasi maternal karena memburuknya penyakit ibu

    mengharuskan terminasi kehamilan (pengakhiran kehamilan) lebih awal

    (Fleischman dkk., 2010; Xiong dkk., 2002).

  • 18

    l. Asfiksia

    Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan bayi bernafas secara

    spontan dan teratur segera setelah lahir. Penurunan aliran darah melalui

    plasenta pada preeklampsia dapat mengurangi aliran oksigen ke janin

    sehingga menimbulkan gawat janin yang berlanjut sebagai asfiksia pada

    bayi baru lahir (Depkes RI, 2007).

    8. Pencegahan

    Maksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah preeklampsia pada

    wanita hamil yang mempunyai faktor risiko terjadinya preeklampsia (POGI,

    2006). Strategi-strategi yang dapat dilakukan:

    a. Antenatal care (ANC)

    Tujuan pelayanan ANC yaitu untuk deteksi dini pada wanita yang

    berisiko tinggi, screening untuk mengidentifikasi faktor risiko, intervensi

    dalam upaya mencegah penyakit yang timbul, dan upaya pengobatan

    untuk mencegah komplikasi dari penyakit yang diderita (Djannah dan

    Arianti, 2010). Pelayanan ANC yang kurang memadai merupakan

    penghalang utama dalam deteksi dini preeklampsia (Hezelgrave dkk.,

    2012).

    b. Kalsium

    Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki

    insidensi preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen kalsium

    selama kehamilan direkomendasikan untuk mencegah preeklampsia

  • 19

    terutama pada daerah dengan tingkat konsumsi kalsium yang rendah

    (WHO, 2011).

    c. Antitrombotik

    Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi

    platelet oleh tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang

    sedikit namun aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia

    terutama pada wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami

    preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik,

    terdapat penyakit ginjal atau autoimun (WHO, 2011). Berbagai studi

    menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah

    preeklampsia tidak menyebabkan toksisitas pada janin dan neonatal,

    namun penggunaan aspirin dosis rendah pada kehamilan harus dibatasi

    karena masih diperlukan studi lebih lanjut tentang rasio manfaat dan

    risikonya (Briggs dkk., 2010).

    d. Tirah baring

    Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi.

    Tirah baring dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim

    pada pembuluh vena cava superior sehingga akan meningkatkan aliran

    darah balik, menambah curah jantung, dan memperbaiki kondisi janin

    dalam rahim (Angsar, 2010). Tirah baring masih diperlukan di Indonesia

    meskipun tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan

    persalinan preterm (POGI, 2006).

  • 20

    9. Tatalaksana Terapi Preeklampsia Berat

    Tujuan utama tatalaksana preeklampsia berat adalah mencegah kejang,

    perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan

    melahirkan bayi sehat (Angsar dkk., 2010). Tatalaksana preeklampsia berat

    dibagi menjadi perawatan aktif dan perawatan konservatif ditinjau dari usia

    kehamilan dan perkembangan gejala-gejala selama perawatan (Nugroho,

    2010). Perawatan aktif berarti kehamilan harus segera diterminasi atau

    diakhiri bersamaan dengan terapi medisinal, sedangkan perawatan konservatif

    adalah tetap mempertahankan kehamilan bersamaan dengan terapi medisinal

    (POGI, 2006).

    a. Tatalaksana terapi medisinal:

    1) Hospitalisasi

    Pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap dan

    dianjurkan berbaring miring ke satu sisi (kiri). Monitoring tekanan

    darah dan tanda-tanda vital lainnya dilakukan setiap 30 menit dan

    refleks patella setiap jam (Nugroho, 2010).

    2) Manajemen diet

    Pasien dianjurkan untuk diet cukup protein, rendah

    karbohidrat, lemak, dan garam.

    3) Manajemen cairan

    Pasien diberikan infus dekstrosa 5% yang setiap 1 liternya

    diselingi dengan infus Ringer Laktat 500 ml (Angsar, 2010).

  • 21

    4) Pemberian antikonvulsan

    Pasien preeklampsia berat diberikan magnesium sulfat untuk

    mencegah kejang (SOGC, 2008). Magnesium sulfat bekerja sebagai

    antagonis reseptor glutamat seperti reseptor NMDA sehingga

    mencegah kejang pada preeklampsia (Euser dan Cipolla, 2009).

    Magnesium sulfat diberikan pada pasien preeklampsia berat terutama

    jika terdapat tanda atau gejala impending eclampsia (tanda atau

    gejala yang mengarah pada terjadinya eklampsia) seperti berikut:

    a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah

    diastolik > 110 mmHg

    b) Proteinuria > 2+

    c) Gangguan visus

    d) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen

    e) Muntah-muntah

    f) Sindrom HELLP

    g) Jumlah trombosit < 100.000 sel/l

    h) Kenaikan AST > 2 kali batas atas nilai normal

    i) Nyeri kepala yang persisten

    j) Kadar kreatinin serum > 1,2 mg/dl (NICE, 2011; Cunningham

    dkk., 2010).

    Magnesium sulfat aman digunakan pada wanita hamil.

    Magnesium sulfat dapat diberikan secara intravena atau

    intramuskular dengan efektifitas yang sama (SOMANZ, 2008).

  • 22

    Dosis magnesium sulfat untuk terapi preeklampsia dan eklampsia

    dapat dilihat pada Tabel II. Magnesium sulfat yang diberikan secara

    parenteral diekskresikan hampir seluruhnya melalui ginjal.

    Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan

    bahwa terdapat refleks patella, tidak terdapat depresi pernafasan, dan

    pengeluaran urin memadai (Cunningham dkk., 2001). Syarat-syarat

    pemberian magnesium sulfat antara lain:

    a) Refleks patella normal.

    b) Respirasi > 16 kali/menit.

    c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 ml.

    d) Tersedia antidotum kalsium glukonat 10% dalam 10 ml (POGI,

    2006).

    Tabel II. Dosis Magnesium Sulfat untuk Preeklampsia Berat dan Eklampsia

    (SOGC, 2008; IDI, 1998)

    Regimen Loading dose Maintenance

    dose

    Dosis tambahan

    (jika terjadi

    kejang ulangan)

    Intravena bolus 2-4 g drip 1-2 g/jam bolus 2-4 g

    Intramuskular bolus 2 g (intravena)*

    diikuti 4 g bolus kanan

    dan 4 g bolus kiri

    4 g/6 jam -

    Keterangan:

    *: jika pemberian secara intravena tidak memungkinkan, loading dose cukup

    diberikan secara intramuskular

    Diazepam atau fenitoin dapat diberikan sebagai alternatif

    apabila terjadi refrakter (kegagalan terapi) atau kontraindikasi

    terhadap magnesium sulfat (SOGC, 2008). Magnesium sulfat

    dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam

    pascapersalinan, atau 24 jam setelah kejang terakhir (Angsar, 2010).

  • 23

    5) Pemberian antihipertensi

    Penentuan ambang batas tekanan darah (TD) untuk pemberian

    antihipertensi dan target TD pada pengobatan wanita hamil sangat

    bervariasi pada beberapa guideline internasional, namun semuanya

    menggunakan nilai yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan Joint

    National Committee (JNC) untuk terapi non obstetrik (Podymow dan

    August, 2008). Terapi antihipertensi direkomendasikan di Canada

    pada TD > 160/110 mmHg dan obat dapat digunakan hingga TD

    130/90 mmHg (SOGC, 2008). Pemberian antihipertensi di Inggris

    dimulai pada TD > 150/100 mmHg dengan target tekanan darah

    diastolik 80 100 mmHg (NICE, 2011). Pemberian antihipertensi di

    Australia dimulai pada TD > 160/100 mmHg tanpa target terapi yang

    jelas (SOMANZ, 2008). Terdapat konsensus bahwa TD 160/110

    mmHg mulai membutuhkan perawatan karena wanita berada pada

    peningkatan risiko perdarahan intraserebral dan pengobatan dapat

    menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal (Podymow dan

    August, 2008; SOGC, 2008).

    Manajemen hipertensi ringan hingga moderat (TD 140

    159/90 109 mmHg) dengan antihipertensi masih diperdebatkan.

    Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan antihipertensi pada

    TD 140 159/90 109 mmHg tidak memberikan perbedaan

    outcome pada ibu maupun bayi dibandingkan dengan plasebo atau

    tanpa terapi (SOGC, 2008). Alasan yang rasional untuk memberikan

  • 24

    terapi pada pasien dengan hipertensi ringan hingga moderat adalah

    untuk mencegah terjadinya episode hipertensi berat (SOMANZ,

    2008). Penggunaan antihipertensi pada pasien preeklampsia dengan

    TD 140 159/90 109 mmHg dapat dipertimbangkan terutama jika

    terdapat nyeri kepala yang parah atau kondisi komorbid seperti

    diabetes mellitus dan kerusakan ginjal (SOGC, 2008).

    Target terapi pada wanita hamil ditekankan hingga tekanan

    darah diastolik (TDD) mencapai 90 mmHg karena TDD < 90 mmHg

    dapat mengurangi perfusi uteroplasenta (SOGC, 2008). TD pada

    wanita hamil diturunkan secara perlahan-lahan sampai < 160/110

    mmHg selama beberapa jam. Hal yang perlu diperhatikan dalam

    pengobatan hipertensi adalah mencegah hipotensi karena penurunan

    TD yang agresif dapat menyebabkan penurunan aliran darah plasenta

    dan gawat janin (Podymow dan August, 2008).

    Antihipertensi mulai diberikan dalam dosis terendah untuk

    mencegah deplesi volume intravaskular dan risiko hipotensi

    (Podymow dan August, 2008). Pemilihan antihipertensi, dosis, dan

    rute pemberian obat pada preeklampsia dan eklampsia harus

    didasarkan pada peresepan klinisi yang telah berpengalaman dalam

    memberikan obat tertentu, harga obat, dan ketersediaan jenis obat

    (WHO, 2011). Metildopa merupakan antihipertensi yang lebih

    disukai karena keamanan penggunaannya dalam kehamilan, namun

    labetalol, nifedipin, dan hidralazin lebih menguntungkan dalam

  • 25

    mengatasi hipertensi berat pada preeklampsia karena onset kerjanya

    yang lebih cepat (Podymow dan August, 2008; ACOG, 2011). Tabel

    III menunjukkan rekomendasi pemberian antihipertensi menurut

    beberapa guideline. Antihipertensi yang dapat digunakan dalam

    kehamilan antara lain:

    a) Metildopa

    Metildopa merupakan antihipertensi yang bekerja dengan

    menstimulasi reseptor 2 adrenergik. Terapi dengan metildopa

    dilaporkan dapat mencegah progresifitas keparahan hipertensi

    pada wanita hamil dan tidak menimbulkan efek yang merugikan

    pada perkembangan janin, uteroplasenta, dan hemodinamika

    janin (Podymow dan August, 2008).

    b) Nifedipin

    Nifedipin merupakan antagonis kalsium yang bekerja

    dengan menghambat influks kalsium ke dalam sel otot polos

    arteri (Katzung, 2007). Nifedipin yang diberikan pada wanita

    hamil tidak menyebabkan penurunan aliran darah dalam rahim

    (Podymow dan August, 2008). Nifedipin aman digunakan

    bersama magnesium sulfat tanpa peningkatan efek samping

    yang serius seperti kelemahan otot (Sidani dan Siddik-Sayyid,

    2011).

  • 26

    Tabel III. Rekomendasi Pemberian Antihipertensi untuk Pasien Preeklampsia Berat dan Eklampsia

    Selama Kehamilan

    Kriteria Indonesia

    (POGI, 2006)

    Canada

    (SOGC, 2008)

    Australia

    (SOMANZ, 2008)

    UK

    (NICE, 2010)

    Harus

    diberikan

    antihipertensi

    TD > 180/110

    mmHg atau MAP >

    126 mmHg

    Hipertensi berat:

    TD > 160/110 mmHg

    Hipertensi berat:

    TD > 170/110 mmHg

    Atau:

    TD > 160/100 mmHg

    Hipertensi berat:

    TD > 160/110 mmHg

    Hipertensi moderat:

    TD > 150/100 mmHg

    Obat pilihan:

    Nifedipin: 10-20

    mg po, dapat

    diulangi setelah 30

    menit, maksimum

    120 mg/24 jam

    Nikardipin: 10 mg

    iv selama 5 menit, 1

    jam kemudian

    gagal: berikan 12,5

    mg selama 5 menit,

    1 jam kemudian

    gagal lagi: berikan

    15 mg selama 5

    menit

    Obat pilihan:

    Labetalol: mulai

    dengan 20 mg iv,

    ulangi 20-80 mg iv

    setelah 30 menit, atau

    1-2 mg/menit,

    maksimum 300 mg

    Nifedipin: kapsul 5-

    10 mg po, dapat

    diulangi setelah 30

    menit; atau tablet PA

    10 mg po, dapat

    diulangi setelah 45

    menit, maksimum 80

    mg/hari

    Hidralazin: mulai

    dengan 5 mg iv,

    ulangi 5-10 mg iv

    setelah 30 menit, atau

    0,5-10 mg/jam iv,

    maksimum 20 mg iv

    (atau 30 mg im)

    Obat pilihan:

    Labetalol: 20-50 mg iv

    selama 2 menit, dapat

    diulangi setelah 15-30

    menit

    Nifedipin: kapsul 5-10

    mg po, dapat diulangi

    setelah 30 menit; atau

    tablet 10-20 mg, dapat

    diulangi setelah 45

    menit

    Hidralazin: 5-10 mg

    iv, dapat diulangi

    setelah 30 menit

    Diazoxide: 15-45 mg

    iv, dapat diulangi

    setelah 5 menit,

    maksimum 300 mg

    Obat pilihan:

    Labetalol: po atau iv

    Nifedipin: po

    Hidralazin: iv

    Alternatif:

    Metildopa: po

    Target terapi:

    TD < 160/105

    mmHg atau MAP <

    125 mmHg

    Target terapi:

    TD < 160/110 mmHg

    Target terapi:

    TD < 160/100 mmHg

    Target terapi:

    TDS < 150 mmHg

    TDD antara 80-100

    mmHg

    Pertimbangkan

    diberikan

    antihipertensi

    - Hipertensi ringan-

    moderat:

    TDS 140-159 mmHg

    atau TDD 90-105

    mmHg

    Hipertensi ringan-

    moderat:

    TDS 140-160 mmHg

    atau TDD 90-100

    mmHg

    -

    - Obat pilihan:

    Metildopa: 250-500

    mg po, bid-qid,

    maksimum 2 g/hari

    Labetalol: 100-400

    mg po, bid-tid,

    maksimum 1200

    mg/hari

    Nifedipin: tablet PA

    10-20 mg po, bid-tid,

    maksimum 180

    mg/hari; atau tablet

    SR 20-60 mg po,

    maksimum 120

    mg/hari

    Obat pilihan:

    Metildopa: 250-750

    mg po, tid

    Labetalol: 100-400 mg

    po, tid

    Nifedipin: tablet SR

    20-60 mg po, bid

    Klonidin: 75-300 g

    po, tid

    Oxprenolol: 20-160

    mg po, tid

    Prazosin: 0,5-5 mg po,

    tid

    Hidralazin: 25-50 mg,

    tid

    -

  • 27

    Tabel III. Lanjutan ...

    Kriteria Indonesia

    (POGI, 2006)

    Canada

    (SOGC, 2008)

    Australia

    (SOMANZ, 2008)

    UK

    (NICE, 2010)

    - Target terapi:

    Tanpa komorbid:

    TDS 130-155 mmHg

    dan TDD 80-105

    mmHg

    Dengan komorbid:

    TDS 130-139 mmHg

    dan TDD 80-89

    mmHg

    Target terapi: - -

    Keterangan:

    TD: tekanan darah; TDS: tekanan darah sistolik; TDD: tekanan darah diastolik; MAP: mean arterial pressure; po:

    peroral; iv: intravena; im: intramuskular; tablet PA: tablet pelepasan intermediet; tablet SR: tablet pelepasan lambat;

    bid: 2 kali sehari; tid: 3 kali sehari; qid: 4 kali sehari

    c) Hidralazin

    Hidralazin bekerja merelaksasi otot polos arteriol sehingga

    mengurangi tahanan vaskular sistemik (Katzung, 2007).

    Penggunaan hidralazin dalam kehamilan tidak menunjukkan

    teratogenisitas. Hidralazin meningkatkan output jantung,

    memperbaiki perfusi uteroplasenta, dan dapat menimbulkan

    refleks takikardi (Angsar, 2010).

    d) Labetalol

    Labetalol adalah beta bloker non selektif yang bermanfaat

    karena tidak menimbulkan refleks takikardi (Sidani dan Siddik-

    Sayyid, 2011). Pemakaian labetalol dalam kehamilan diterima

    secara luas. Pemberian labetalol secara parenteral pada

    preeklampsia berat menunjukkan insidensi hipotensi maternal

    dan efek samping lain yang lebih rendah sehingga dapat dipakai

    untuk menggantikan hidralazin (Podymow and August, 2008).

  • 28

    6) Pemberian diuretik

    Diuretik tidak boleh diberikan pada pasien preeklampsia

    karena dapat memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik seperti

    furosemid atau sejenisnya hanya boleh dilakukan jika terbukti

    adanya edema paru. Pasien dapat diberikan injeksi furosemid 40 mg

    (SOGC, 2008; Nugroho, 2010).

    7) Pemberian antasida

    Antasida dapat diberikan untuk menetralisir asam lambung

    sehingga bila mendadak kejang dapat menghindari risiko aspirasi

    asam lambung (Angsar, 2010).

    8) Pemberian kortikosteroid

    Kortikosteroid dapat diberikan jika terdapat indikasi darurat

    yang mengharuskan kehamilan diakhiri pada usia 24 34 minggu

    untuk mempercepat pematangan paru janin (Turner, 2010).

    b. Perawatan aktif

    Perawatan aktif berarti kehamilan harus diterminasi (diakhiri). Cara

    terminasi kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetrik, apakah

    sudah inpartu (berada dalam tahap persalinan) atau belum (Angsar,

    2010). Indikasi dilakukan perawatan aktif antara lain:

    1) Usia kehamilan > 37 minggu.

    2) Adanya tanda atau gejala impending eclampsia seperti kenaikan TD

    yang progresif, nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah,

    dan nyeri epigastrium.

  • 29

    3) Kegagalan perawatan konservatif yaitu terjadi kenaikan tekanan

    darah setelah 6 jam terapi medisinal atau tidak ada perbaikan setelah

    24 jam terapi medisinal.

    4) Adanya pertumbuhan janin terhambat.

    5) Adanya sindrom HELLP (Nugroho, 2010).

    c. Perawatan konservatif

    Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm < 37

    minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eclampsia dengan

    keadaan janin baik (Angsar, 2010). Terapi obstetrik dilakukan dengan

    observasi dan evaluasi tanpa terminasi kehamilan. Magnesium sulfat

    dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan

    selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Terapi medisinal dianggap

    gagal dan kehamilan harus diterminasi bila setelah 24 jam tidak ada

    perbaikan. Pasien dapat dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia

    ringan bila selama tiga hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia

    ringan (Nugroho, 2010).

    10. Tatalaksana Terapi Eklampsia

    Tujuan utama tatalaksana terapi eklampsia adalah mencegah dan

    mengatasi kejang, mencegah dan mengatasi penyulit khususnya krisis

    hipertensi, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat

    melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.

    Tatalaksana eklampsia dilakukan dengan terapi suportif, terapi medisinal, dan

    terapi obstetrik terhadap kehamilannya (Angsar, 2010).

  • 30

    Gambar 1. Protokol Tindakan Obstetrik pada Preeklampsia dan Eklampsia (Anonim, 2005)

    Keterangan:

    TD: tekanan darah, IG: indeks gestosis, HPL: human placental lactogen; CTG: cardiotocography; IUGR:

    intrauterine growth restriction

    PREEKLAMPSIA RINGAN

    Syarat

    TD < 140/90

    IG < 6

    Terminasi bila dijumpai

    salah satu keadaan ini

    Terminasi bila dijumpai

    salah satu keadaan ini:

    IG > 6

    HPL/Estriol/CTG

    hasilnya abnormal, IUGR

    Gejala impending eclampsia, 6 jam

    sesudah terapi medisinal tensi naik,

    24 jam sesudah terapi medisinal tak

    ada perbaikan, IUGR,

    HPL/Estriol/CTG abnormal, HELLP

    syndrome

    RAWAT

    Dipertahankan

    BEROBAT JALAN

    MEMBAIK PREEKLAMPSIA

    RINGAN

    TERMINASI

    EKLAMPSIA PREEKLAMPSIA

    BERAT

    < 37 minggu

    Terminasi

    > 37 minggu < 37 minggu

    > 37 minggu

  • 31

    Terapi suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ

    vital dengan memberikan tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis,

    mempertahankan ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah, dan mencegah

    kegagalan jantung. Nursing care sangat penting pada penderita yang

    mengalami kejang dan koma, meliputi cara-cara perawatan penderita dalam

    suatu kamar terisolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus, dan monitoring

    produksi urin (Angsar, 2010).

    Terapi medisinal pada pasien eklampsia sama seperti pada preeklampsia

    berat. Sikap terhadap kehamilan adalah semua kehamilan dengan eklampsia

    harus diterminasi tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.

    Kehamilan diterminasi setelah tercapai stabilisasi kondisi ibu (Angsar, 2010).

    Skema tindakan obstetrik pada pasien preeklampsia dan eklampsia dapat

    dilihat pada Gambar 1.

    11. Guideline SOGC

    The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC)

    merupakan lembaga nasional Canada yang bergerak di bidang pelayanan

    kesehatan reproduksi. SOGC menyediakan berbagai guideline nasional untuk

    publik maupun kepentingan pendidikan yang berfokus pada isu-isu kesehatan

    perempuan. SOGC menerbitkan guideline yang berjudul Diagnosis,

    Evaluation, and Management of The Hypertensive Disorders of Pregnancy

    pada tahun 2008. Guideline ini merangkum berbagai bukti termasuk

    informasi terbaru dari guideline-guideline Amerika dan Australia, serta

  • 32

    memberikan pendekatan yang rasional pada diagnosis, evaluasi, dan terapi

    hipertensi dalam kehamilan (SOGC, 2008).

    12. Penggunaan Obat dalam Kehamilan

    Keputusan untuk memilih obat dalam terapi selama kehamilan harus

    mempunyai tujuan yang realistis dengan mempertimbangkan efek obat yang

    tersedia serta kondisi ibu dan janin (Schellack dan Schellack, 2011). FDA

    menentukan kategori keamanan penggunaan obat selama kehamilan seperti

    berikut:

    a. Kategori A: studi terkontrol pada wanita hamil tidak memperlihatkan

    adanya risiko terhadap janin.

    b. Kategori B: studi pada hewan percobaan tidak menunjukkan bukti bahwa

    obat berbahaya terhadap janin, atau studi pada hewan menunjukkan efek

    yang tidak dikehendaki tetapi studi yang memadai pada wanita hamil

    tidak menunjukkan risiko terhadap janin.

    c. Kategori C: studi pada hewan telah menunjukkan efek yang tidak

    dikehendaki terhadap janin, atau studi pada hewan belum dilakukan dan

    tidak ada studi yang memadai menggunakan pembanding pada wanita

    hamil.

    d. Kategori D: terbukti menimbulkan risiko terhadap janin tetapi manfaat

    penggunaan obat dibandingkan risiko yang ditimbulkan pada wanita

    hamil dapat dipertimbangkan (misalnya pada situasi yang mengancam

    jiwa).

  • 33

    e. Kategori X: obat dikontraindikasikan pada wanita hamil atau yang akan

    hamil (Sharma dkk., 2006).

    Pemilihan jenis antihipertensi untuk wanita hamil agak sedikit

    kompleks karena obat yang telah dievaluasi pemakaiannya dalam kehamilan

    secara adekuat hanya sedikit. Metildopa merupakan antihipertensi dengan

    kategori B pada kehamilan. Data menunjukkan bahwa aliran darah

    uteroplasenta dan hemodinamik fetus stabil dengan metildopa serta dianggap

    aman berdasarkan data follow-up jangka panjang selama 7,5 tahun (Depkes

    RI, 2006). Obat dari golongan ACE-inhibitor dan ARB tidak boleh digunakan

    pada trimester 2 dan 3 kehamilan (kategori D) karena dapat menyebabkan

    disfungsi ginjal janin (Donovan, 2012). Kebanyakan antihipertensi yang

    dapat digunakan dalam kehamilan seperti nifedipin, labetalol, atau hidralazin

    termasuk dalam kategori C. Kategori ini tidak dapat ditafsirkan sebagai tidak

    ada bukti risiko atau menjadi penghalang penggunaan obat dalam praktik,

    namun informasi kategori tersebut berdasarkan studi kasus dan meta analisis

    (Podymow dan August, 2008).

    Antikonvulsan yang aman digunakan untuk mencegah dan mengatasi

    kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat dibandingkan antikonvulsan

    konvensional lainnya seperti golongan benzodiazepin atau fenitoin (WHO,

    2011). Magnesium sulfat adalah antikonvulsan dengan kategori B pada

    kehamilan. Sebagian besar antikonvulsan konvensional termasuk dalam

    kategori D apabila digunakan dalam kehamilan. Penggunaan antikonvulsan

    konvensional dalam kehamilan dapat meningkatkan risiko abnormalitas pada

  • 34

    janin. Pasien dengan kondisi harus menggunakan antikonvulsan konvensional

    diberikan obat dengan efek teratogenik serendah mungkin dan dimulai

    dengan dosis efektif terendah. Dosis mungkin perlu penyesuaian sebagai

    adaptasi terhadap perubahan profil farmakokinetika beberapa obat selama

    kehamilan (Lander, 2008).

    13. Rasionalitas Penggunaan Obat

    Definisi penggunaan obat rasional menurut WHO adalah apabila pasien

    menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya dalam dosis yang

    sesuai dengan kebutuhan, untuk periode waktu yang cukup, dan dengan biaya

    yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat (Holloway dan Van

    Dijk, 2011 cit. WHO, 2012). Kriteria penggunaan obat rasional:

    a. Tepat diagnosis, yaitu obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila

    diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan

    salah.

    b. Tepat indikasi, yaitu obat yang diberikan harus tepat bagi suatu penyakit.

    c. Tepat obat, yaitu obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai

    dengan penyakit.

    d. Tepat dosis, yaitu jumlah, cara, frekuensi, dan lama pemberian obat harus

    tepat. Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi

    menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

    e. Tepat pasien, yaitu penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien,

    antara lain harus memperhatikan kontraindikasi obat, komplikasi,

    kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi.

  • 35

    f. Waspada terhadap efek samping, yaitu obat dapat menimbulkan efek

    samping (efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan

    dosis terapi) seperti timbulnya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain

    sebagainya (Depkes RI, 2008).

    F. Keterangan Empiris

    Penelitian ini dilakukan pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia di

    Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode tahun 2011

    2012 untuk mengetahui:

    1. Karakteristik pasien meliputi usia pasien, status paritas, data penunjang

    diagnosis, penyakit komplikasi, kondisi patologis dan kelainan penyerta, usia

    kehamilan, dan tindakan obstetrik.

    2. Pola penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan.

    3. Kesesuaian penggunaan antihipertensi dan antikonvulsan dengan kriteria

    tepat indikasi, tepat pasien, dan tepat dosis dibandingkan dengan Guideline

    SOGC tahun 2008, Standar Pelayanan Medis RS PKU Muhammadiyah

    Yogyakarta tahun 2005, dan Pedoman POGI tahun 2006.

    4. Gambaran kondisi pasien setelah menjalani terapi meliputi lama rawat inap,

    keadaan akhir ibu, keadaan bayi lahir, dan berat badan bayi lahir.