This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH AGAMA ISLAM II
BIOETIK EUTHANASIA DALAM POLA BERPIKIR ISLAM
Kelompok 1
Dwi Pandrya Dhaneswara 101211131012
Farouk Ilmid Davik 101211131015
Dini Rachmadilla Ayuningtyas S 101211131051
Miftahul Janah 101211131212
Yusrina Dirayati Hermanto 101211131224
Devin Sandiaji Putri 101211132005
Aini Azizah 101211132017
Zulfia Nita Jamila 101211132029
Dimas Nindy Pratama 101211133002
Fitri Suryanti 101211133005
Fidya Panorama Damayanti 101211133011
Dinda Putri Lestari 101211133014
Viska Devintha Candra Kirana 101211133085
IKM C 2012
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat –Nya
kami semua dapat menyusun makalah berjudul “Bioetik Euthanasia dalam Pola Berpikir
Islam” yang termasuk dalam Bab “Bioetik Kesehatan Masyarakat dalam Pola Berpikir Islam”
ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam II. Sholawat dan salam juga
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun,
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan
dan bimbingan orangtua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Bioetik Kesehatan
Masyarakat dalam Pola Berpikir Islam, khususnya pada kasus euthanasia yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga. Kami menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan,
oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
1/386). Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan),
telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun
disholati. Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam
fase ini tidak dikatagorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu
yang bermanfaat.
Ketiga pendapat ulama di atas tentunya dalam batas-batas tertentu, yaitu jika di
dalamnya ada kemaslahatan, atau dalam istilah medis adalah salah satu
bentuk Abortus Profocatus Therapeuticum, yaitu jika bertujuan untuk kepentingan
medis dan terapi serta pengobatan. Dan bukan dalam kategori Abortus Profocatus
Criminalis, yaitu yang dilakukan karena alasan yang bukan medis dan melanggar
hukum yang berlaku.
10
2. Menggugurkan janin setelah peniupan roh
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah
peniupan roh hukumnya haram. Peniupan roh terjadi ketika janin sudah berumur
empat bulan dalam perut ibu, Ketentuan ini berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud di
atas. Janin yang sudah ditiupkan roh dalam dirinya, secara otomatis pada saat itu,
dia telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Hukum ini
berlaku jika pengguguran tersebut dilakukan tanpa ada sebab yang darurat. Namun
jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin nantinya akan
membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda
pendapat:
a. Pendapat pertama: Menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya tetap
haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan
keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh mayoritas
Ulama. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar“ [Q.S. Al
Israa’: 33]
Kelompok ini juga mengatakan bahwa kematian ibu masih diragukan, sedang
keberadaan janin merupakan sesuatu yang pasti dan yakin, maka sesuai dengan
kaidah fiqhiyah: “Bahwa sesuatu yang yakin tidak boleh dihilanngkan dengan
sesuatu yang masih ragu”, yaitu tidak boleh membunuh janin yang sudah
ditiup rohnya yang merupakan sesuatu yang pasti , hanya karena kawatir
dengan kematian ibunya yang merupakan sesuatu yang masih diragukan.
(Hasyiyah Ibnu Abidin: 1/602).
Selain itu, mereka memberikan permitsalan bahwa jika sebuah perahu akan
tenggelam, sedangkan keselamatan semua perahu tersebut bisa terjadi jika
sebagian penumpangnya dilempar ke laut, maka hal itu juga tidak dibolehkan.
b. Pendapat kedua: Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan
roh kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk
11
menyelamatkan ibu dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih
diutamakan dari pada menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih
dahulu dan ada secara yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan
keberadaannya terakhir. (Mausu’ah Fiqhiyah: 2/57). Prediksi tentang
keselamatan Ibu dan janin bisa dikembalikan kepada ilmu kedokteran,
walaupun hal itu tidak mutlak benarnya.
Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama sepakat
bahwa Abortus Profocatus Criminalis, yaitu aborsi kriminal yang menggugurkan
kandungan setelah ditiupkan roh ke dalam janin tanpa suatu alasan syar’i hukumnya
adalah haram dan termasuk katagori membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT.
Adapun aborsi yang masih diperselisihkan oleh para ulama adalah Abortus Profocatus
Therapeuticum, yaitu aborsi yang bertujuan untuk penyelamatan jiwa, khususnya janin
yang belum ditiupkan roh di dalamnya.
2.5.2 Euthanasia
Menurut Benjamin Jowett, Walter J. Black yang dikutip dalam jurnal Euthanasia,
the Right to Die and the Bill of Rights Act oleh Stuart Beresford:
“Euthanasia merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani eu, yang berarti
baik, dan thanatos, yang berarti kematian. Orang Yunani kuno melihat penyakit
sebagai penderitaan yang mengganggu dan memungkinkan orang yang sedang
sakit untuk memperoleh persetujuan negara untuk bunuh diri. Menurut Plato dan
Socrates kesakitan yang mebuat derita dan sengsara dapat dijadikan alasan
untuk tidak "melekat pada kehidupan."
Pengertian lain dari euthanasia merupakan upaya yang mana dilakukan untuk
dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat
ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk
hidup atau disembuhkan (Rada, 2013).
Menurut Utomo (2009), dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia
yaitu, euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
12
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan dilakukan pada
saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium
akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa
sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa
pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak
mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah. Contoh kasus
euthanasia aktif misalnya pada orang yang mengalami keadaan koma yang sangat
lama, karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami
benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat
hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli
berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Jika alat
pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin
dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif yang kemudian akan
memudahkan proses kematiannya.
b. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian
pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien
yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup
tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi.
Pendapat lain dikemukakan oleh S. Sandy Sanbar, M.D., Ph.D., J.D., FCLM.
Euthanasia dibagi menjadi 3 jenis yakni:
a. Euthanasia aktif, atau belas kasihan membunuh. Tindakan ini ilegal di semua
Amerika Serikat. Salah satu kegiatan dengan sengaja mengakhiri kehidupan
manusia lain dianggap sebagai pembunuhan. Euthanasia aktif merupakan praktek
yang diterima sehubungan dengan kematian hewan, tetapi dilarang keras pada
13
manusia. Tidak peduli seberapa parah rasa sakit dan penderitaan manusia, tidak
ada orang yang diperbolehkan untuk secara sepihak mengakhiri kehidupan
manusia tersebut, bahkan jika tindakan yang disengaja tersebut bermaksud sangat
baik dan dilakukan oleh kerabat dekat maupun profesional medis. Di sisi lain,
bunuh diri tidak dianggap ilegal.
b. Euthanasia pasif. Tindakan ini legal di semua Amerika Serikat, menunjukkan
memungkinkan pasien diinformasikan mati secara "alami", sebagai konsekuensi
dari penyakitnya, tanpa atau dengan dukungan oleh profesional medis. Euthanasia
pasif didasarkan pada konsep "penentuan nasib sendiri" di mana setiap orang
dewasa yang kompeten bebas untuk melakukan kontrol atas tubuhnya tanpa
gangguan (hak untuk menolak pengobatan) dari profesi medis atau pemerintah.
c. Statutory euthanasia, tindakan ini legal disalah satu wilayah dari Amerika Serikat,
yakni Oregon. Di sini, pasien yang sedang menderita sakit parah mengambil
langkah-langkah yang disengaja untuk mengakhiri hidup mereka sebelum
waktunya (yaitu bunuh diri), dibantu oleh dokter.
2.5.3 Transplantasi organ
Transplantasi organ adalah pemindahan organ dari satu tubuh ke tubuh
yang lainnya atau pemindahan organ dari donor ke resipien yang organnya mengalami
kerusakan. Organ yang sudah dapat ditransplantasi adalah jantung, ginjal, hati,
pancreas, intestinedan kulit, sedangkan jaringan, adalah kornea mata, tulang, tendo,
katup jantung, dan vena (Yulianti, 2009).
Pemindahan organ dari donor ke resipien bukan masalah yang sederhana,
banyak faktor yang harus dipertimbangkan, misalnya medikal transplantasi,
dimana donasi organ atau jaringan memerlukan terapi transplantasi, meliputi
persiapan resepien sebelum transplantasi, saat operasi dan sesudah transplantasi.
Sering terjadinya penolakan transplantasi, yaitu organ atau jaringan donor tidak di
terima oleh tubuh resepien. Hal ini merupakan tantangan dan masalah yang kompleks
bagi dunia kedokteran. Untuk mengatasi penolakan dari resepien diatasi dengan
obat immunosuppressant, obat yang menghambat aktivitas sistem imun. Penggunaan
14
obat ini mengambil resikotinggi, karena dengan tidak aktifnya sistem imun, resepien
menjadi rentan terhadap infeki dan penyebaran sel-sel malignant. Efek samping
lain adalah menyebabkan hipertensi, dislipidemia, hiperglikemik, peptic ulcer, liver
dan kerusakan ginjal. Obat ini pun biasana berinteraksi dengan obat lain dan akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme resepien. Transplantasi dapat dikelompokan
menjadi,
1. Autograft, yaitu transplantasi jaringan pada orang yang sama, biasanya
dilakukan pada jaringan yang berlebih yang dapat beregenerasi atau jaringan
yang terdekat, seperti pada skin graft atau vein extraction, pada coronary artery
bypass surgery (CABG).
2. Allograft, yaitu transplantasi organ atau jaringan antara dua orang yang tidak sama
secara genetik, tetapi pada spesies yang sama. Transplantasi organ pada manusia
umumnya adalah allograft, sehingga ada kendala penolakan organ atau jaringan
dari resepien.
3. Isograft, merupakan bagian dari allograft, hanya disini donor dan resepien
mempunyai kesamaan genetik, seperti kembar identik, kelebihannya adalah tidak
ada penolakan organ atau jaringan dari resepien.
4. Xenotransplantation, yaitu transplantasi organ atau jaringan dari satu spesies
ke spesies lain, seperti transplantasi katup jantung babi pada manusia, yang
berjalan dengan baik. Transplantasi ini sangat berbahaya, terutama masalah
non-incompatibility, penolakan, dan penyakit yang dibawa organ atau jaringan
tersebut.
Bioetik secara umum adalah studi filosofi dari kontroversi etik tentang
biologi dan kedokteran, sehinga bioetik lebih memperhatikan permasalahan-
permasalahan yang berhubungan dengan life science, bioteknolgi, kedokteran,
politik, hukum, filosofi, dan agama. Isu-isu bioetik tentang transplantasi organ
akan meliputi definisi mati, kapan dan bagaimana transplantasi organ dapat
dilaksanakan, juga meliputi pembayaran organ yang ditransplantasikan.
Bioetik transplantasi organ manusia diatur dalam medical ethic, yang lebih
mengarah pada aturan suatu organisasi profesi, yaitu kode etik kedokteran, yang
15
mengatur hubungan dokter-pasien-keluarga pasien (Rotgers, 2007). Pada
transplantasi organ akan terlibat dokter, donor dengan keluarganya dan resepien
dengan keluarganya. Ada suatu prosedur yang harus dipahami oleh semua orang
yang terlibat dalam transplantasi organ.
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan hukum
trasplantasi organ tubuh, antara lain:
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 195
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa islam tidak membenarkan seseorang
membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan
secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberikan
harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
2. Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32
“Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya
telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-
keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi)
sangat dihargai oleh agama islam.
3. Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
Perintah untuk saling tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa
ini merupakan perintah bagi seluruh manusia, yakni hendaklah sebagian kalian
menolong sebagian yang lain. Ayat-ayat tersebut menyuruh berbuat baik kepada
16
sesama manusia dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong
menolong dalam kebaikan karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat
memerlukannya.
4. Hadits
Hadis Nabi Muhammad SAW: ”Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena
sesungguhya Allah tidak meletakkan suatu pentakit, kecuali dia juga meletakkan
obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua” (H.R. Ahmad,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Usamah Ibnu Syuraih).
Hadist tersebut menunjukkan, bahwa wajib hukumnya berobat bila sakit, apapun
jenis dan macam penyakitnya, kecuali penyakit tua. Oleh sebab itu, melakukan
transplantasi sebagai upaya untuk menghilangkan penyakit hukumnya mubah,
asalkan tidak melanggar norma ajaran islam.
Dari dalil-dalil diatas maka dapat diambil hukum mengenai transplantasi organ
yaitu:
1. Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata, ginjal) yang sudah meninggal
secara yuridis dan medis hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan
islam, dengan syarat bahwa resipien dalam keadaan darurat yang mengancam
jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara
optimal, tetapi tidak berhasil.
2. Pendapat yang mendukung transplantasi organ adalah hingga kini, tidak ada ulama
yang mengajukan argumen tertulis yang secara terang-terangan mendukung
transplantasi organ. Namun demikian, ulama di berbagai belahan dunia telah
menulis argumen-argumen yang mendukung maupun mengeluarkan fatwa-fatwa
keagamaan tengtang transplantasi organ. Para ulama yang mendukung pembolehan
transplantasi organ berpendapat bahwa transplantasi organ harus dipahami sebagai
satu bentuk layanan altruistik bagi sesama muslim.
17
3. Mendonorkan organ tubuh dapat menjadi haram hukumya apabila:
a. Transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan
hidup sehat, dengan alasan:
Firman Allah dalam Alqur’an S. Al-Baqarah ayat 195, bahwa ayat tersebut
mengingatkan, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu,
tetapi harus memperhatikan akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal
bagi diri donor, meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang
baik dan luhur.
b. Melakukan transplantasi dalam keadaan dalam keadaan koma.
Walaupun menurut dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal maka
transplantasi tetap haram hukumnya karena hal itu dapat mempercepat
kematiannya dan mendahului kehendak Allah. Dalam hadis nabi dikatakan:
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula
membuat madharat pada orang lain” (HR. Ibnu Majah, No. 2331).
18
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Euthanasia dalam Kode Etik Ilmu Kedokteran
Salah satu dari kewajiban dokter tercantum di dalam Kode Etik Kedokteran yang
ditetapkan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 11:
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk
insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri
yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan
hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dalam penjelasan pasal 11
Kode Etik Kedokteran Indonesia, disebutkan pada ayat 2 bahwa “Seorang dokter dilarang
terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus, euthanasia, maupun hukuman mati yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya.”
Dalam pasal 14 disebutkan bahwa “Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang
ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan
pasien atau keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian
untuk itu.” Dalam pasal ini dijelaskan bahwa dokter harus membantu pasien sesuai dengan
kemampuannya, jika dirasa diluar kemampuan, maka dokter wajib merujuk pasien ke dokter
yang lebih ahli. Tidak ada penjelasan yang memperbolehkan dokter untuk melepaskan
tanggung jawabnya dengan cara euthanasia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa euthanasia
merupakan hal yang dilarang dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang menjadi tolok
ukur dan pedoman dokter untuk menjalankan profesinya.
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh manusia mengakui akan adanya
beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang yang baik dan
bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas
ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah
tercantum di dalam Declaration of Geneva pada bulan September 1948.
19
Dengan demikian, setiap dokter mempunyai kewajiban untuk menghormati hidup
insani mulai saat terjadinya pembuahan. Dalam hal ini, bagaimanapun parahnya sakit
seorang pasien, setiap dokter harus melindungi dan mempertahankan hidup dari pasien
tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien ini sebenarnya sudah tidak dapat
disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat. Akan tetapi dalam hubungan ini
dokter tidak boleh melepaskan diri dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia,
sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya. Karena naluri terkuat dari manusia adalah
mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas dari seorang dokter, maka
menurut etik kedokteran, dokter itu tidaklah diperbolehkan: menggugurkan kandungan
(abortus provocatus); mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan
pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) (Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:18).
Dalam hubungannya dengan kode etik kedokteran R. Soeprono dalam suatu diskusi
panel mengenai euthanasia menjabarkan, bahwa segala perbuatan dokter terhadap si sakit
itu bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus
mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia.
Akhir-akhir ini euthanasia mulai berkembang pesat di beberapa dunia. Indonesia
salah satu negera yang disinyalir berkembang euthanasia negatif. Padahal bangsa Indonesia
berasaskan Pancasila yang sekaligus rakyatnya beragama, seharusnya tidak menerima
euthanasia apalagi melakukannya. Tapi kasus euthanasia itu disinyalir sering terjadi di tanah
air yakni pada rumah sakit yang sudah memiliki Intensive Care Unit (ICU) (Hardinal,
1996:9).
Terlepas dari benar tidaknya praktek euthanasia telah terjadi di Indonesia, masalah
ini menjadi cukup penting dikaji untuk mendapatkan solusinya. Sebab sebagai negara
hukum, tentu saja ada konsekuensi pertanggungjawaban akan sesuatu perbuatan yang
dijalankan oleh setiap warga negaranya atas dasar profesinya. Pengertian dari
tanggungjawab menurut kamus hukum adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya, bilamana terjadi apa-apa boleh dituntut. Berdasarkan Black Law Dictionary,
istilah liability dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang terikat secara hukum
20
atau keadilan untuk melaksanakan sesuatu yang dapat dipaksakan oleh suatu tindakan.
Tanggungjawab hukum dari tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan tenaga
kesehatan terhadap berbagai ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya
(R.A. Antari Inaka Turingsih, 2012:271)
3.2 Euthanasia dalam Pandangan HAM
Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain
"Human Rights, the Right of Man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai
"hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari
hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar
yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak
asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman
yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut
mungkin seumur umat manusia itu sendiri.
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari
penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak mengajarkan
tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang,
dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang
pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang
sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara
peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam
dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis
dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen
tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
21
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebebasan dari kekurangan).
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas
diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak untuk hidup" atau the right
to life adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula
adanya "hak untuk mati" atau the right to die. "The right to die" ini berkaitan dengan
munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.
Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan
dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan
bangsa-bangsa tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan mengenai "hak untuk mati", karena
tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan
perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan
dalam "peradilan semu" dalam rangka Konferensi Hukum Se-Dunia di Manila.
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati" sudah
diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam
berbagai undang-undang. Walaupun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun
masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih
terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah
tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak
berpotensi lagi.
3.3 Euthanasia dalam Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu suci dan tidak boleh disakiti, sehingga
segala usaha harus dilakukan untuk melindunginya. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk
22
menyakiti seseorang kecuali berdasar hukum, seperti qishash dalam tindak pidana
pembunuhan. Qishash adalah pembunuhan secara sengaja dengan menggunakan benda
tajam yang bisa menembus daging. Pembunuhan qishash ini tentunya harus mendapatkan
izin dari keluarga maupun pihak laih yang terlibat, dan hak membunuh secara qishash
umumnya diberikan kepada negara atau pemerintah. Sebagaimana qishash telah dijelaskan
dalam Al Qur’an
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu melaksanakan qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan.
Tetapi, barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikutinya dengan cara yang baik, dan membayar diat (tebusan)
kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat
dari Tuhan kamu. Barangsiapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan
mendapat siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan) kehidupan
bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” [QS. Al
Baqarah:178-179]
Allah adalah satu - satunya zat yang memiliki hak atas kehidupan manusia. Dengan
kata lain hanya Allah lah yang memiliki hak untuk menentukan kehidupan dan kematian
manusia serta makhluk lainnya. Pemberlakuan hukum qishash hanya berlaku untuk orang -
orang yang terbukti membunuh. Namun demikian tidak semua pembunuh mendapatkan
hukuman qishash. Mereka yang membunuh dalam keadaan membela diri dari ancaman
pembunuhan yang dilakukan orang lain terhadapnya dihapuskan dari hukuman qishash.
Dalam dunia medis, sering kita kenal istilah euthanasia, yang merupakan upaya
untuk mengakhiri hidup seseorang ketika mengalami sakit yang tidak dapat disembuhkan,
guna membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat
ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup
atau disembuhkan. Hal tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika
euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit
yang tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan
tetapi telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.
23
Seorang pasien yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu bermohon agar
dokter mengakhiri hayatnya, maka dikabulkanyalah permohonan itu atas pertimbangan
pasien tersebut tipis harapannya untuk dapat sembuh. Kalau pada orang seperti ini dimatikan
maka kita melakukan euthanasia, yang sekarang ini tidak atau belum diterima di Indonesia,
dan negara-negara lain pun masih ada yang belum menerimanya. Meskipun euthanasia itu
juga demi rasa kemanusiaan yakni membebaskan orang yang hidup padahal tidak ada
harapan lagi untuk hidup. Kehidupan orang secara vegetatif ini membutuhkan juga
perawatan, biaya, dan sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan bagi euthanasia
(Ahmad Watik Pratiknya dan Abdul Salam M. Sofro, 1986:41).
Di Indonesia, euthanasia tidak dapat dilakukan dan merupakan perbuatan yang ilegal.
Baik dalam hukum positif maupun dalam kode etik kedokteran diatur bahwa melakukan
euthanasia tidaklah diperbolehkan. Bila dikaji dalam perspektif hukum Islam, diatur bahwa
euthanasia aktif adalah perbuatan yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT dengan
hukuman neraka bagi yang melakukannya.
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal
pengkategorian tindakan pembunuhan yang mana merupakan suatu jarimah. Sebagaimana
diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila
memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu
jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur-unsur umum yaitu unsur-unsur
yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada
pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang
termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut: Pertama, Unsur formal, merupakan
adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan
prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi bila sebelum dinyatakan dalam nash.
Kedua, Unsur material, merupakan adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah
dilakukan. Ketiga, Unsur moral, merupakan adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata
lain, unsur ini berhubungan dengan tanggungjawab pidana yang hanya dibebankan atas
orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh
(Ahmad Azar Basyir, 2001:8).
24
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang
eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Hal
tersebut berbeda dengan Hukum Pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal
344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP), dimana
dijelaskan bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan pidana (Natangsa
Surbakti, 1998:115).
Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam
menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal
euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya
persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan,
dan pelaku dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat
demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syarat-syarat
untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain: 1. pembunuhan adalah orang yang
baligh, sehat, dan berakal; 2. ada kesengajaan membunuh; 3. ikhtiyar (bebas dari paksaan);
4. pembunuh bukan anggota keluarga korban; 5. jarimah dilakukan secara langsung (Ahmad
Azar Basyir, 2001:16).
Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada suatu perbedaan yang
mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat suatu
maksud atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam euthanasia
aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana. Namun
pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan pasien atau korban kepada dokter
yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat didalamnya cenderung pada suatu
pertolongan, yang dalam hal ini menolong meringankan beban yang diderita oleh pasien.
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat menentang
dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia
ini, ada beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa
euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak
bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh:
Al- Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya,
langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama,
25
penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya dia
menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan
beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif (Luthfi
Assyaukanie, 1998:180).
Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik dari
sudut pandang agama, undang-undang, maupun etik kedokteran. Dan lebih lanjut beliau
menjelaskan bahwa persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah SWT. Manusia tidak bisa
mengambil hak Allah SWT itu (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:60)
Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli
hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak
setuju dengan tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka
percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia
hanya berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke
pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
permintaan pasien.
Tetapi kelompok yang mana menyetujui praktek euthanasia ini lebih melihat pada
sisi maslahat dan keadaan yang menuntut. Seorang penderita secara kronis, hanyalah akan
terus menderita tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban pasien
dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya kematian yang damai (mercy
killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan menyiksa atau
membiarkan penderitaan sang pasien.
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan
kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek euthanasia
apalagi bunuh diri.
Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam
menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang, bukanlah
untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak
26
mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang
tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para
penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada
Yang Maha Kuasa.
Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi
SAW. Dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada
cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain
dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan
menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT:
”Katakanlah: Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi yang Maha Penyayang.” [QS. Az-Zumar:53]
Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan
haramnya suatu sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing
oleh keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman atau kemajuan
teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu
merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan mereka itu benar atau tidak
menurut hukum, agama maupun etika.
Jadi hukum Islam dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu
konsep bahwa untuk menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat
27
Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala
musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal ini
hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan kepada dokter
untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya.
Beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi
penderita yang penyakitnya menular. Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin
euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan dimana
ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau dokter sudah menyerah untuk mengobati
pasiennya lebih baik dikembalikan kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk
menghentikan bantuan kepada si pasien.
28
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Euthanasia adalah menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk
menghindari kerugian pada pihak lain termasuk pasien yang masih memiliki harapan hidup.
Akan tetapi dalam pandangan hukum islam, euthanasia merupakan sebuah perbuatan yang
melanggar hukum dan masuk dalam kategori pembunuhan. Ajaran islam melarang
pembunuhan terhadap diri sendiri baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain,
karena yang mempunyai hak untuk menghidupkan dan mematikan hanyalah Allah SWT.
Menurut Kode Etik Kedokteran, secara garis besar euthanasia dibagi menjadi dua
yakni euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif dalam pandangan Hak Asasi
Manusia termasuk dalam kategori pelanggaran HAM biasa dan dikenakan pasal 344 KUHP.
Akan tetapi dalam ajaran hukum islam dan HAM menyatakan bahwa euthanasia dipandang
sebagai perbuatan melanggar hukum karena menghilangkan nyawa manusia. Perbedaan
antara hukum islam dan HAM adalah hukum islam memandang euthanasia adalah perbuatan
yang dilarang agama karena merupakan tindakan pembunuhan dan dikenakan hukuman
qishash, sedangkan dalam doktrin HAM merupakan pelanggaran HAM biasa yang
dikenakan pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diancam dengan
hukuman penjara dua belas tahun. Jadi intinya dalam hukum islam maupun KUHP,
euthanasia ini dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar syari’at islam maupun HAM dan
tidak diperbolehkan.
4.2 Saran
1. Pelaksanaan euthanasia dapat dihindari atau ditolak, karena setiap manusia yang masih bernafas masih memiliki hak untuk hidup.
2. Euthanasia merupakan pelanggaran terhadap hukum islam dengan harus dipahami sebagai sebuah perbuatan yang keji, karena didalamnya mengandung sifat putus asa.
29
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim 2009, Departemen Agama RI.
Beresford, Stuart, Euthanasia, the Right to Die and the Bill of Rights Act, <