HIV PADA PENYAKIT SARAF fixed jadi.doc
Post on 26-Oct-2015
201 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
HIV PADA PENYAKIT SARAF
I. PENDAHULUAN
HIV ( Human Immodificiency Virus) adalah jenis retrovirus RNA yang menyerang
reseptor CD4 yang berada di permukaan limfosit. Infeksi virus ini menyebabkan penekanan pada
CD4 melalui beberapa mekanisme yang berujung kepada kelelahan respons sel limfosit T dan
penurunan daya tubuh yang progresif.
Disamping itu, infeksi HIV(Human Immunodeficiency Virus) dapat menyerang sistem saraf,
Yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada system saraf
pusat dapat mempengaruhi bagian-bagian meliputi berbagai derajat gangguan neurokognitif,
mielopati vakuolar, namun tidak terbatas pada gangguan tersebut diatas. Sedangkan sebagian PN
(perifer neuropati) diakibatkan kerusakan pada sumbu serabut saraf (akson) yang
mengirimkan stimulus pada otak. Kadang kala, PN disebabkan kerusakan pada selubung serabut saraf (
mielin) dan ini mempengaruhi rangsang nyeri yang dikirim ke otak.
Tahap akhir dari infeksi HIV dan dapat memperburuk keadaan penderita adalah AIDS,
dimana seseorang yang terkena HIV akan didiagnosis AIDS ketika orang tersebut memiliki satu
atau lebih infeksi oportunistik (infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya pertahanan
kekebalan tubuh oleh karena penyakit HIV atau oleh beberapa jenis obat), seperti peumonia
atau tuberculosis dan memiliki jumlah CD4+ Tcell yang sangat sedikit (lebih dari 200 sel/mm).
II. EPIDEMIOLOGI
Di Asia Selatan-Timur, diperkirakan 3.5 juta orang yang terkena HIV/AIDS pada tahun
2009, diantaranya terdapat 37% wanita pada jumlah orang yang terkena HIV. Tiap tahun,
diperkirakan 220.000 orang yang baru terkena infeksi HIV dan terdapat kematian 230.000 orang
yang telah terkena infeksi HIV.Dilaporkan, antara 5 negara, Indonesia merupakan salah satu negara yang
sebagian besar penduduknya terserang penyakit HIV, dan masih tetap meningkat.Oleh karena
itu, di Indonesia masalah AIDS cukup mendapat perhatian,mengingat Indonesia ada negara
terbuka, sehingga kemungkinan masuknya AIDS cukup besar dan sulit dihindari. Hubungan HIV
dan penyakit motor neuron pertama dilaporkan pada tahun 1985, 4 tahun setelah awal gambaran
pada AIDS.Dua dekade berikutnya, terdapat kurang lebih tambahan 22 kasus yang telah
dilaporkan tentang hubungan penyakit motor neuron dengan infeksi HIV.
Didapatkan665 penderita HIV/AIDS dan diambil 67 penderita HIV/AIDS dengan
penyakit saraf sebagai sampel. Sebanyak 39 orang (58,20%) menderita toksoplasmosis otak, 6 orang (9%)
menderita ensefalitis CMV, 5 orang (7,50%) menderita meningitis TB, 5 orang(7,50%) menderita HIV
ensefalopati dan 3 orang (4,50%) menderita stroke nonhemoragik. Pasien yang terkena meningo
ensefalitis dan cephalgia masing-masing hanya 2 orang (2,90%) dan yang menderita meningitis
skriptokokal, edema otak, mati batang otak, dan atrofi serebri masing-masinghanya 1 orang
(1,50%). Dari 67 penderita terdapat 38 penderita (56,71%) yang di periksa CD4. Hasil dari
pemeriksaan CD4 menunjukkan bahwa 65,8% memilikikadar CD4 < 50 sel/µl. Sisanya 18,4% untuk
pasien dengan kadar CD4 50-100sel/µl dan 15,8% untuk pasien dengan kadar CD4 > 100 sel/µl. Keluhan
utamayang sering di rasakan pasien adalah 68,66% nyeri kepala (46 pasien);
25,37% penurunan kesadaran (17 pasien); dan 5,97% kelemahan anggota gerak (4 pasien).8
III. ETIOLOGI
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian
atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.Human
Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan
partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel
target virus ini terutama sel LymfositT, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain,
dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama
hidup penderita tersebut.Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas duauntaian RNA
(Ribonucleic Acid) Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).Gp120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan
panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virussensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air
mendidih, sinar matahari danmudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,
alkohol, jodiumhipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan
sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah matidiluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
IV.PATOFISIOLOGI
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit Thelper/induser yang
mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun
atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang
berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah
HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya
kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat
bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnyasel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus.Infeksi HIV
dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi, HIV tidak segera
menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi
(penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut,
yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfositT4.
setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah
pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubas) adalah 6 bulan
sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa. Infeksi
oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan
tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-
penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga
mudah terkena penyakit kanker seperti sarkomakaposi. HIV mungkin juga secara langsung
menginfeksi sel-sel syaraf,menyebabkan kerusakan neurologis.
Virus tampaknya tidak menyerang sel saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi
dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkannya dapat merusak otak dan saraf tulang
belakang dan menyebabkan berbagai gejala, contoh kebingungan dan pelupa, perubahan
perilaku, sakit kepala berat, kelemahan yang berkepanjangan, mati rasa pada lengan dan kaki,
dan stroke. Kerusakan motor kognitif atau kerusakan saraf perifer juga umum. Penelitian
menunjukkan bahwa infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang
terlibat dalam proses belajar dan pengelolaan informasi. Komplikasi sistem saraf lain yang
muncul akibat penyakit atau penggunaan obat untuk mengobatinya termasuk nyeri, kejang, ruam,
masalah saraf tulang belakang, kurang koordinasi, sulit atau nyeri saat menelan, cemas
berlebihan, depresi, demam, kehilangan penglihatan, kelainan pola berjalan,
kerusakan jaringan otak dan koma. Gejala ini mungkin ringan pada stadium awal AIDS tetapi
dapat berkembang menjadi berat. Di AS, komplikasi saraf terlihat pada lebih dari 40% pasien
AIDS dewasa. Komplikasi ini dapat muncul pada segala usia tetapi cenderung berkembang
secara lebih cepat pada anak-anak. Komplikasi sistem kekebalan dapat termasuk penundaan
pengembangan, kemunduran pada perkembangan penting yang pernah dicapai, lesi pada otak,
nyeri saraf, ukuran tengkorak di bawah normal, pertumbuhan yang lambat, masalah mata, dan
infeksi bakteri yang kambuh.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA
(Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi
genetik. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan
mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA). Enzim
ini adalah polimerase DNA yang mampu bergabung dengan kromosom tubuh. Sekali
berintegrasi, ia digunakan sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus. HIV secara
signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai
target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang
juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel
retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh
perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi
Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem
saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem
saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
Infeksi virus (2-3 minggu)
Sindrome retroviral akut (2-3 minggu)
Gejala menghilang + serokonversi
Infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang lebih pendek)
Infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun)
Kematian
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa fase :
Fase I - Infeksi HIV primer ( infeksi HIV akut )
Fase II - Penurunan imunitas dini ( sel CD4 > 500/ µl )
Fase III - Penurunan imunitas sedang ( sel CD4 500-200 /µl )
Fase IV - Penurunan imunitas berat ( sel CD4 <200 /µl )
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita muncul dalam
bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam, nyeri kepala, mialgia,
malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik makulopapular. Infeksi akut
ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari
limfosit darah perifer dan level serum antigen virus yang tinggi.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrome atau
kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV.
Kriteria diagnosis presumtif untuk indikator AIDS
a. Kandidiasis esophagus: nyeri retrosternal saat menelan bercak putih di atas dasar
kemerahan.
b. Retinitis citomegalo virus
c. Mikobakteriosis
d. Sarkoma Kaposi: bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput mukosa.
e. Pneumonia pnemosistisis karini: sesak nafas/batuk non produktif dalam 3 bulan terakhir.
f. Ensefalitis Toksoplasmosis.
Kelainan Neurologi Pada Infeksi Hiv
Penyakit saraf sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV, sebanyak 31-60%. Penelitian di
Jakarta mendapatkan hasil bahwa 90% penderita HIV/AIDS mengalami kelainan pada sistem
sarafnya.
Kegagalan fungsi tubuh menyebabkan kerentanan seluruh sistem organ, termasuk sistem saraf
sentral, perifer dan otot. Keterlibatan sistem saraf dapat sebagai akibat infeksi primer oleh virus
atau infeksi oportunistik, efek imunosupresif atau keduanya.
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan
menjadi:
(a) Infeksi HIV Primer
Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan
perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus diingat
bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma
SSP primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik
juga bisa menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke
otak pernah dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS Dementia dan neuropati
perifer.
(b) Infeksi Oportunistik SSP
Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi
konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati tmultifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ
targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar darah otak melalui
aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport intraseluler
melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus bebas pada
leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium
vaskular.
Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan dengan
herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga muncul kembali
sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya
melemah.
Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih sering dan
lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat menyebabkan degenerasi
secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa informasi sensori ke otak
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS juga
infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap penyakit HIV-
nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell mediated immunity), maka
penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran penyakit primer klasik seperti pada orang
dewasa yakni dengan adanya infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana tes tuberkulin
biasanya akan positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated immunity akan rusak
disertai gejala non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan dan fatigue (kelelahan), dengan
atau tanpa adanya gejala batuk.
V.MANIFESTASI KLINIS
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang masuk ke
dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400-
1500 sel/μL. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat
(jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3).
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara umum) :
JUMLAH SEL
CD4
PATOGEN MANIFESTASI
200-500/mcl S.pneumoniae,
H.influenzae
Community-Aquired
Pneumonia(CAP)
M.tuberculosis TB paru
C.albicans Sariawan, candida vagina
HSV 1 dan 2 Herpes orolabial, genital, perirectal
Virus Varicela-Zoster Ruam pada saraf
Virus Epstein-Barr Oral hairy leukoplakia
Human Hervesvirus 8 Sarkoma Kaposi
100-200/mcl Semua di atas, ditambah :
P.carinii Pneumonia
C.parvum Diare kronik
50-100/mcl Semua di atas, ditambah :
T.gondii Ensefalitis
C.albocans Ensefalitis
C.neoformans Meningitis
H.capsulatum Penyakit diseminata
Microsporidia Diare kronik
M.tuberculosis TB diseminata/
Ekstrapulmoner
R.equi Pneumonia
HSV 1 dan 2 HSV diseminata
Virus Varicella-Zoster VZV diseminata
Virus Epstein-Barr Limfoma primer SSP
<50/mcl Semua di atas, ditambah :
M.avium complex MAC diseminata
Cytomegalovirus Retinitis, diare, ensefalitis
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari proses
immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Dapat dibedakan
menjadi
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati multifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
Kelainan sistem saraf terkait AIDS mungkin secara langsung disebabkan oleh HIV,
oleh kankerdan infeksi oportunistik tertentu (penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan
virus lain yang tidak akan berdampak pada orang dengan sistem kekebalan yang sehat), atau efek
toksik obat yang dipakai untuk mengobati gejala. Kelainan saraf lain terkait AIDS yang tidak
diketahui penyebabnya mungkin dipengaruhi oleh virus tetapi tidak sebagi penyebab langsung.
Berikut manifestasi klinik yang ditemukan berdasarkan pembagian penyakit akibat infeksi
oportunistik di sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi :
A.Sistem Saraf Pusat
1.Toksoplasmosis Otak (TO)
Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80% manusia sehat,
namun bisa menimbulkan manifestasi klinis mematikan pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA).
Perjalanan penyakit toksoplasmosis otak biasanya berlangsung subakut pada pasien HIVstadium
lanjut atau yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan dan gejala timbul secara bertahap
pada minggu pertama hingga mingguke-4. Manifestasi utama yang tampak pada penderita AIDS
dengan toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis fokaldan penurunan
kesadaran.
a. Etiologi dan Penularan
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan
hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada
daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap
di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga
tuntas, mencegah penyakit.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah
dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.
b. Tanda dan Gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah
penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak
semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis
fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini
hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-
penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya
cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan
kesadaran.
c. Diagnosis
Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan
indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi
protein
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR)
Mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang
terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik
pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau
tanpa lesi.
Biopsi otak
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
d. Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat
ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup.
Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per
hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia.
Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk
mencegah anemia.
Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang
menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya
terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang
mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4
naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat
dihentikan.
2.Meningitis TB (MTB)
Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer.
Meningitis TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis jenis Hominis, jarang oleh jenis
Bovinum atau Aves. Meningitis TB hampir selalu ada dalam diagnosis banding pasien AIDS
karena hampir 50% pasien AIDS menderita tuberkulosis paru. Manifestasi klinis yang terlihat
adalah hidrosefalus yang disebabkan oleh eksudat yang menyumbat akuaduktus, fisura Sylvii,
foramen Magendi, foramen luschka dan edema papil yang disebabkan oleh terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial.11
3.Meningitis kriptokokus (MK)
Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan AIDSyang tidak diobati
dan pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan oleh penyakit atau obat. Hal ini
disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan
burung. Jamur pertama-tama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum tulang
belakang, menyebabkan peradangan.Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit kepala, mual,
kehilanganmemori, kebingungan, mengantuk, dan muntah. Jika tidak diobati, pasien dengan
meningitis kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan meninggal.
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan
pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf
tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di
bawah 50.
b. Tanda dan Gejala
Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan
muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini muncul
secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40%
penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma
kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi
dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan hepatitis.
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium ini
memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang belakang
dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen
(sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur
kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan
hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan
tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100%
positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin
(+).
d. Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai
flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin.
Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.
Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat
bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan
karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction
inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan
sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara
cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.
e. Pencegahan
Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis
kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya:
Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati
Flukonazol adalah obat yang sangat mahal
Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti
kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal
(resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan
amfoterisin B.
4. AIDS dementia complex (ADC)
Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan kognitif dan
motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktivitas hidup sehari-hari tetapi hal ini bisa diobati
dengan terapi anti-retroviral. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak),
perubahan perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian atau ensefalopati terkait HIV, muncul terutama pada orang
dengan infeksi HIV lebih lanjut. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak), perubahan
perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan berkonsentrasi,
ingatan dan perhatian. Orang dengan ADC juga menunjukkan pengembangan fungsi motor yang
melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi. Apabila tidak diobati, ADC dapat
mematikan.
5. Limfoma sususnan saraf pusat (SSP)
Adalah tumor ganas yang mulai di otak atau akibat kanker yang menyebar dari bagian
tubuh lain. Limfoma SSP hampir selalu dikaitkan dengan virus Epstein-Barr (jenis
virus herpes yang umum pada manusia). Gejala termasuk sakit kepala, kejang, masalah
penglihatan, pusing, gangguan bicara, paralisis dan penurunan mental. Pasien AIDS dapat
mengembangkan satu atau lebih limfoma SSP. Prognosis adalah kurang baik karena kekebalan
yang semakin rusak.
6. Infeksi cytomegalovirus (CMV)
Dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Gejala ensepalitis CMV termasuk lemas
pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang
berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakitretina yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya
tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan
fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-
usus.
7.Infeksi virus herpes
Sering terlihat pada pasien AIDS. Virus herpes zoster yang menyebabkan cacar dan
sinanaga, dapat menginfeksi otak dan mengakibatkan ensepalitis dan mielitis (peradangan saraf
tulang belakang). Virus ini umumnya menghasilkan ruam, yang melepuh dan sangat nyeri di
kulit akibat saraf yang terinfeksi. Pada orang yang terpajan dengan herpes zoster, virus dapat
tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi
ini umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya melemah. Tanda sinanaga
termasuk bentol yang menyakitkan (serupa dengan cacar), gatal, kesemutan (menggelitik) dan
nyeri pada saraf.
Pasien AIDS mungkin menderita berbagai bentuk neuropati, atau nyeri saraf, masing-
masing sangat terkait dengan penyakit kerusakan kekebalan stadium tertentu. Neuropati perifer
menggambarkan kerusakan pada saraf perifer, jaringan komunikasi yang luas yang mengantar
informasi dari otak dan saraf tulang belakang ke setiap bagian tubuh. Saraf perifer juga mengirim
informasi sensorik kembali ke otak dan saraf tulang belakang. HIV merusak serat saraf yang
membantu melakukan sinyal dan dapat menyebabkan beberapa bentuk neropati.Distal sensory
polyneuropathy menyebabkan mati rasa atau perih yang ringan hingga sangat nyeri atau rasa
kesemutan yang biasanya mulai di kaki dan telapak kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam
hari dan dapat menjalar ke tangan. Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang meningkat
terhadap nyeri, sentuhan atau rangsangan lain. Pada awal biasanya muncul pada stadium infeksi
HIV lebih lanjut dan dapat berdampak pada kebanyakan pasien stadium HIV lanjut.
8. Stroke
Disebabkan oleh penyakit pembuluh darah otak jarang dianggap sebagai komplikasi
AIDS, walaupun hubungan antara AIDS dan stroke mungkin jauh lebih besar dari dugaan. Para
peneliti di Universitas Maryland, AS melakukan penelitian pertama berbasis populasi untuk
menghitung risiko stroke terkait AIDS dan menemukan bahwa AIDS meningkatkan
kemungkinan menderita stroke hampir sepuluh kali lipat. Para peneliti mengingatkan bahwa
penelitian tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan ini. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa infeksi HIV, infeksi lain atau reaksi sistem kekebalan terhadap HIV, dapat
menyebabkan kelainan pembuluh darah dan/atau membuat pembuluh darah kurang menanggapi
perubahan dalam tekanan darah yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dan
stroke.
9.Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Terutama berdampak pada orang dengan penekanan sistem kekebalan (termasuk hampir
5%pasien AIDS). PML disebabkan oleh virus JC, yang bergerak menuju otak, menulari berbagai
tempat dan merusak sel yang membuat mielin – lemak pelindung yang menutupi banyak sel saraf
dan otak. Gejala termasuk berbagai tipe penurunan kejiwaan, kehilangan penglihatan, gangguan
berbicara, ataksia (ketidakmampuan untuk mengatur gerakan), kelumpuhan, lesi otak dan
terakhir koma. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan ingatan dan kognitif, dan
mungkin muncul kejang. PML berkembang terus-menerus dan kematian biasanya terjadi dalam
enam bulan setelah gejala awal.
10.Kelainan psikologis dan neuropsikiatri
Dapat muncul dalam fase infeksi HIV dan AIDS yang berbeda, dan dapat berupa bentuk
yang beragam dan rumit. Beberapa penyakit misalnya demensia kompleks terkait AIDS yang
secara langsung disebabkan oleh infeksi HIV pada otak, sementara kondisi lain mungkin dipicu
oleh obat yang dipakai untuk melawan infeksi. Pasien mungkin mengalami kegelisahan, depresi,
keingingan bunuh diri yang kuat, paranoid, demensia, delirium, kerusakan kognitif,
kebingungan, halusinasi, perilaku yang tidak normal, malaise, dan mania akut.
B.Sistem Saraf Tepi
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah parastesia pada
ujung jari kaki dan dysesthesia pada telapak kaki. Rasa terbakar pada telapak kaki juga sering
ditemukan.
VI.DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil rekam medis pasien dan pemerikaan fisik secara umum, dokter akan
melakukan pemeriksaan saraf secara menyeluruh untuk menilai berbagai fungsi saraf:
kemampuan motor dan sensor, fungsi saraf, pendengaran dan berbicara, penglihatan, koordinasi
dan keseimbangan, status kejiwaan, perubahan perilaku atau suasana hati. Dokter mungkin
meminta tes laboratorium dan satu atau lebih tindakan di bawah ini untuk
membantudiagnosis kerumitan neurologi terkait AIDS.
Pemetaan dibantu komputer dapat mengungkap tanda peradangan otak, tumor dan
limfoma SSP, kerusakan saraf, perdarahan dalam, sumsum otak yang tidak biasa, dan kelainan
otak lain. Beberapa tindakan pemetaan yang tidak menyakitkan dipakai untuk membantu
diagnosis komplikasi neurologi terkait AIDS.
Computed tomography (juga disebut CT scan) memakai sinar X dan komputer untuk
menghasilkan gambar tulang dan jaringan, termasuk peradangan, kista dan tumor otak
tertentu, kerusakan otak karena cedera kepala, dan kelainan lain. CT scan menyediakan
hasil yang lebih rinci dibandingkan rontgen saja.
Magnetic resonance imaging (MRI) memakai komputer, gelombang radio dan bidang
magnetik yang kuat untuk menghasilkan gambar tiga dimensi secara rinci atau
“potongan” struktur tubuh dua dimensi, termasuk jaringan, organ, tulang dan saraf. Tes
ini tidak memakai radiasi ionisasi (serupa dengan rontgen) dan memberi dokter tampilan
jaringan dekat tulang yang lebih baik.
Functional MRI (fMRI) memakai unsur magnetik darah untuk menentukan wilayah otak
yang aktif dan untuk mencatat berapa lama wilayah tersebut tetap aktif. Tes ini dapat
menilai kerusakan otak dari cedera kepala atau kelainan degeneratif contohnya penyakit
Alzheimer, dan dapat menentukan serta memantau kelainan neurologi lain, termasuk
demensia kompleks terkait AIDS.
Magnetic resonance spectroscopy (MRS) memakai medan magnet yang kuat untuk
meneliti komposisi biokimia dan konsentrasi molekul berbasis hidrogen yang beberapa di
antaranya sangat khusus terhadap sel saraf di berbagai wilayah otak. MRS dipakai
sebagai percobaan untuk menentukan lesi otak pada pasien AIDS.
Elektromiografi atau EMG, dipakai untuk mendiagnosis kerusakan saraf dan otot (misalnya
neuropati dan kerusakan serat saraf yang disebabkan oleh HIV) dan penyakit saraf tulang
belakang. Tes ini mencatat kegiatan otot secara spontan dan kegiatan otot yang digerakkan oleh
saraf perifer.
Biopsi adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan tubuh. Biopsi otak, yang melibatkan
pengangkatan sebagian kecil otak atau tumor dengan bedah, dipakai untuk menentukan kelainan
dalam tengkorak dan tipe tumor. Berbeda dengan kebanyakan biopsi lain, biopsi otak
memerlukan rawat inap. Biopsi otot atau saraf dapat membantu mendiagnosis masalah saraf otot,
sementara biopsi otak dapat membantu mendiagnosis tumor, peradangan dan kelainan lain.
Analisis cairan sumsum tulang belakang dapat mendeteksi segala perdarahan atau hemoragi otak,
infeksi otak atau tulang belakang (misalnya neurosifilis), dan penumpukan cairan yang
berbahaya. Contoh cairan diambil dengan jarum suntik dengan bius lokal dan diteliti untuk
mendeteksi kelainan.
Contoh :
A.Toksoplasmosis otak
Pada neuroimaging dapat dijumpai lesi hipodense pada CT scan dan lesi Hipointense pada
MRI.11
B.Meningitis TB.
1. Laboratorium rutin pada meningitis tuberculosis jarang yang khas, bisaditemui leukosit
meningkat, normal atau rendah dan Mdiff. count bergeser kekiri kadang-kadang ditemukan hiponatremia
akibat SIADH.
2. Pemeriksaan CSS Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak
dan50% pada dewasa. Warna jernih atau xantokhrom terdapat peningkatan protein dan 150-
200mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan serebrospinal.
Terdapat penurunan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlahsel meningkat biasanya tidak melebihi 300
cel/mm3. Differential count PMN perdominan dan limpositik.
3.Mikrobiologiditemukan Mycobacterium tuberculosispada kultur cairan serebrospinal
merupakan baku emas tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negatif
4.Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensivitasmoderat.
5.Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberculosis aktif pada paru dan
dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% padaanak-anak.
6.Hasil tes PDD tuberculin negative pada 10-15% anak-anak dan 50% pada dewasa.
7.CT scan dan MRIPemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningendi daerah
basal, infark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. PemeriksaanMRI lebih sensitive dari CT scan,
tetapi spesifitas juga masih terbatas.
VII. DIAGNOSIS BANDING
DIAGNOSIS BANDING INFEKSI OPORTUNISTIK SSP PADA PASIEN AIDS
PATOGEN IMAGING PEM.PENUNJANG LAIN
Ensefalitis toksoplasmosis, CD4<100
Lesi massamultipel/kdg-kdg single pada CT/MRI, biasanya pada basal ganglia, ring enhancement pada CT
IgG serum terhadap toksoplasmosis (+)
Meningitis criptokokus, CD4<100
Nonspesifik LCS : tekanan tinggi, kadar glucosa rendah, protein, antigen kriptokokus (+) kultur (+)Lainnya : antigen serum biasanya juga (+)
Meningitis Tuberkulosis
Nonspesifik (lesi massa jarang)dengan abnormalitas pada CXR
LCS: protein, kadar glucosa rendah, pleositosis, kultur acid-fast bacteria (+) sediaan hapus selalu (-)
Sifilis Nonspesifik LCS: protein dan WBC,VDRL(+)
Ensefalitis HSV
edema, focal haemorrhage biasanya pada lobus medial temporal/inferior frontal
LCS: limfositik, pleositosis, protein, PCR HSV
Ensefalopati HIV, CD4<200
Normal pada awalnya, atrofi difus, patchy/diffuse white matter changes on T2-weighted MRI pd stadium lanjut
LCS: NonspesifikLainnya: beta-2 mikroglobulin LCS, HIV RNA tinggi pada semua kasus
PML,CD4<100 Single/multiple focal/diffuse white matter lesions tanpa ring enhancement
LCS: PCR untuk virus JC DNA
Limfoma primer SSP, CD4<100
Single/multiple lesions pd CT/MRI, ring enhancementpd CT
Biopsi otak/LCS sitologi (+), LCS PCR EBV (+)
VIII. PENATALAKSANAAN
Pada saat ini sudah banyak obat yang bias digunakan untuk mengobati infeksi HIV :
1.Golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputi AZT(zidovudin), ddI (didanosin),
ddC (zalsibatin), d4T (stavudin), 3TC(lamivudin), abakavir.
2.Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputinevirapin, delavirdin,
efavirenz.
3.Golongan protease inhibitor, saquinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga
memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-
obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara
2 obat atau lebih, Kombinasiobat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV
positif danmemperpanjang harapan hidup. Penderita dengan kadar virus yang tinggi dalamdarah
harus segera diobati walaupun kadar CD4+ nya masih tinggi dan penderitatidak menunjukkan gejala apapun.
AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeriabdomen, mual, dan sakit kepala
(terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bias merusak sumsum tulang dan
menyebabkan anemia. ddI, ddC, dand4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak
pancreas. Dalam kelompok nukleosid, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling
ringan.
Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah,diare dan gangguan perut.
Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzimhati, bersifat reversible dan tidak
menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang
serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batuginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati
menyebabkan naik atau turunnyakadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor
banyakmenyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan ka
dar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch).15
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik seperti
toksoplasmosis otak, meningitis TB, meningitis kriptokokus, demensia HIV dan neuropati akan
dijelaskan sebagai berikut:
1.Pengobatan toksopalsmosis otak dibagi menjadi dua fase pengobatan yaitufase akut dan fase
rumatan. Pengobatan fase akut meliputi pirimetamin loading dose 200 mg (untuk BB < 50 kg 2 x 25
mg per hari p.o sedangkan untuk BB > 50 kg 3 x 25 mg per hari p.o)
dan klindamisin dengan dosis 4 x 600 mg per hari p.o.Pengobatan fase akut ini diberikan selama
3-6 minggu sesuai dengan perbaikan klinis yang terjadi. Pengobatan toksoplasmosis otak fase
rumatan dapat menggunakan pengobatan fase akut dengan dosis setengahnya sampai jumlah
sel CD4 >200 sel/UL.
2.Pengobatan meningitis TB dilakukan dengan menggunakan kombinasi triple drugs yaitu
kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostikalainnya.
3.Pengobatan demensia HIV menggunakan terapi ARV (anti-rettroviral)yang mengkombinasikan 3 obat yaitu:
d4T - 3TC - NVP (stavudin - lamifusin - nevirapin)
d4T - 5TC - EFV (stavudin - lamifusin - efavirens)
AZT - 3TC - NVP (zidovudin - lamifusin - nevirapin)
AZT - 3TC - EFV (zidovudin - lamifusin - nevirapin)
4.Pengobatan neuropati sensorik HIV menggunakan golongan antikonvulsanseperti lamotrigine dan
gabapetin untuk mengatasi nyeri pada neuropati.
IX. PROGNOSIS
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapaorang yang
terpapar HIV selama bertahun-tahun bila tidak terinfeksi. Di sisi lainseseorang yang terinfeksi
bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV
mempunyai resiko 1-2% untuk menjadiAIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini
meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya.
Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%. Sebelum
ditemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasusakan menjadi AIDS.Pengobatan AIDS
telah berhasil menurunkan angka infeksi opportunisticdan meningkatkan angka harapan hidup
penderita.
Kombinasi beberapajenisobat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tida
k dapat terdeteksi.Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik perhitungan jumlah
virusHIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR)
dan branched deoxyribonucleid acid(bDNA) test digunakan untuk memonitor efek pengobatan d
an membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari be
berapa ratus sampai lebih dari sejuta virusRNA/mL plasma.Dengan perkembangan obat-obat anti
virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik
yang terus diperbarui,penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai b
ertahun-tahunsetelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS
sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan
XI. KESIMPULAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara
di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health
Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh
lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005
saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang
semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan
sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi
opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi
HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi
ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita
HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan
oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang
ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents,
diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.
Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan
terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh,
simptomatis dan suportif.
V.DAFTAR PUSAKA
1. Basuki, Andi, & Dian, Sofiati.(2009).Kegawatdaruratan Neurologi. Penerbit:Bagian/UPF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD/RS. HasanSadikin. Bandung. 2009: 9-19
2. Yayasan Spritia. Neuropati Perifer [online]. Availabbe from:http://www.spiritia
or.id/li/pdf/LI555.pdf
3. National Institute of Allergy and Infectious Disease. HIV/AIDS [online].Update: 2008.
Availabefrom:http://www.niaid.nih.gov/topics/HIVAIDS/Understanding/Pages/
whatAreHIVADIS.aspx
4. HIV/AIDS in The South Asian Region: Progress report 2010/ World
HealthOrganization. Availablefrom:http://www.searo.who.int/LinkFiles/HIV-
AIDS_HIV_report-2010-30Nov.pdf
5. Raka Sudewi, A.A dkk.(2011). Infeksi Pada Sistem Saraf. Penerbit: PusatPenerbitan dan
Percetakan Unair. Bandung. 2011: 63
6. Verma, Ashok, & Mishra, Shri Kant. Spectrum of motor neuron disease withHIV-1
Infection[online].Update:2006.Availablefrom:http://www.annalsofian.org/article.asp?
issn=09722327;year=2006;volume=9;issue=2;spage=103;epage=109;aulast=Verma
7. Pola Penyakit Saraf pada Penderita HIV/AIDS di RSUP Dr.Kariadi Semarang.Semarang.
2010. Available from:http://eprints.undip.ac.id/23633/1/Nurul_F.pdf
8. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. USU Digital Library.2004. Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3727/1/fkm-fazidah5.pdf
9. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. USU Digital Library.2004. Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3727/1/fkm-fazidah5.pdf
10. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
11. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and
Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz.
2003:955-89.
12. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari 2003.
13. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001.
top related