1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan merupakan bagian integral dari
masalah bangsa. Masalah HIV/AIDS merupakan bagian dari
masalah kesehatan. Masalah kesehatan telah menyerap banyak
dana Negara. Disamping permasalahan HIV/AIDS sangat
kompleks, selain menyerap dana yang besar juga membunuh
generasi bangsa. Kasus HIV/AIDS semakin meluas menyerang
putra putri bangsa. Peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS
disebabkan oleh berbagai factor. Salah satu factor penyebab
meningkatnya kasus HIV/AIDS adalah stigma dan diskriminasi.
Prevalensi Penularan HIV di Indonesia semakin meningkat dan
hampir terdapat di semua wilayah. Jumlah kasus terbaru
AIDS Indonesia Periode Januari sampai September 2011
sebesar 1805 kasus. Data yang ada merupakan data kasus
HIV/AIDS yang hanya muncul dipermukaan. Masih banyak kasus
yang belum terdeteksi, karena masih banyak orang yang sudah
terinfeksi HIV tetapi tidak melakukan pemeriksaan di klinik
VCT. Hal ini disebabkan karena orang-orang takut dan malu
untuk memeriksakan diri. Perasaan takut dan malu itu muncul
2
karena adanya stigma dan diskrimininasi. Oleh karena itu
permasalahan HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es artinya
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi hanya bisa diperoleh dari
beberapa orang yang terbuka memeriksakan dirinya di klinik
CVT. Pada hal masih banyak kasus-kasus lain yang
tersembunyi. Ibarat gunung es yang berada di bawah permukaan
air laut, hanya puncak gunung yang bisa di lihat.
Peningkatan kasus HIV/AIDS lebih banyak terjadi pada
kelompok umur produktif. Perkembangan jumlah kasus AIDS
secara komulatif sampai dengan Juli 2011 sebesar 26.483
kasus. Dalam rinciannya jumlah tersebut lebih banyak
menyerang usia produktif. Jumlah kasus tersebut terdapat
45,9% adalah menyerang kelompok usia 20-29 tahun (Usia ini
merupakan usia produktif)1
. Jika dikaitkan dengan karakteristik AIDS yang gejalanya
baru muncul setelah 3(tiga) sampai 10(sepuluh) tahun
terinfeksi, maka hal ini semakin membuktikan bahwa sebagian
besar dari mereka yang terkena AIDS telah terinfeksi pada
usia yang lebih muda.2 )
Sabagaimana telah diberitakan oleh Media Rakyat
Merdeka tanggal 04 Juli 2007 bahwa permasalahan HIV/AIDS
disemua kalangan umur sebenarnya sudah sangat
3
mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari data-data
nasional kasus AIDS 3 (tiga) tahun terakhir. Tahun 2006,
dari 13.424 kasus HIV/AIDS, sebanyak 54,76% kasus dari
kalangan generasi muda. Sedangkan tahun 2007, dari 17.207
kasus HIV/AIDS (6066 HIV - 11.141 AIDS), sebanyak 6.301
kasus merupakan kaum muda usia produktif 15-29 tahun. Dan
pada tahun 2008, dari 22.664 kasus Hiv/Aids, 16.110 kasus
Aids yang mana sejumlah 8.682 kasus Aids tersebut dari
kelompok usia 15-29 tahun. Data yang dihimpun Direktur
jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
dari sekitar 10.000 orang pengidap HIV/AIDS di Indonesia
setengah atau 5.000 orang di antaranya merupakan pelajar
SMP/SMA. 3 )
Menurut data yang ada pada KPAD NTT, Kasus HIV/AIDS
di Propinsi Nusa Tenggara Timur secara komulatif sampai
dengan Desember 2012 sebesar 1918. Kasus HIV positip
terjaring sebesar 837 orang. Dan kasus AIDS sebesar 1081
orang, yang sudah meninggal sampai dengan Desember 2012
sebesar 443 kasus. 4 ) Kasus HIV/AIDS di Indonesia
merupakan fenomena gunung es artinya hanya sedikit yang
terdeteksi. Hal ini terjadi dikarenakan banyak orang yang
4
tidak mau memeriksakan diri karena takut distigma oleh
masyarakat atau keluarga kalau nanti ketahuan menderita HIV
positip. Selain itu banyak kasus HIV positip tetapi sulit
untuk mendapatkan pengobatan anti-retroviral karena tekanan
perasaan malu, stigma dan diskriminasi masyarakat. Juga
faktor ekonomi yang tidak mencukupi untuk membayar obat
anti-retroviral, apalagi tidak semua rumah sakit memiliki
obat anti-retroviral untuk HIV/AIDS.
Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang infrastrukturnya belum maju. Kondisi rumah
sakitnya masih terdiri dari rumah sakit tipe C. Dan tidak
semua rumah sakit memiliki VCT. Untuk menjaring penderita
HIV cukup sulit. Apalagi untuk mendapatkan obat anti-
retroviral, cukup sulit bagi penderita HIV positip untuk
mendapatkan obat tersebut. Kondisi wilayah yang terdiri
dari wilayah kepulauan dan masih banyak daerah terpencil
juga merupakan salah satu factor penyulit bagi ODHA menuju
rumah sakit yang menyediakan obat anti-retroviral. Budaya
yang masih kental yang masih sedikit mengenal kemajuan dan
tehnologi, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit
HIV / AIDS, norma kehidupan dalam masyarakat setempat.
Berdasarkan hasil wawancara studi pendahuluan dengan
5
sekretaris KPAD provinsi NTT tanggal 13 Maret 2013 bahwa
agama merupakan faktor-faktor determinan menimbulkan stigma
yang kuat terhadap orang yang positip HIV.5) Walaupun
prevalensi HIV/AIDS di NTT masih rendah sejak tahun 1997
namun perilaku sexual bebas sangat tinggi. Hal ini sangat
berpotensi untuk cepatnya penularan HIV / AIDS. Selain itu
stigma terhadap orang yang HIV positip di NTT sangat tinggi
dan selalu disertai dengan diskriminasi oleh masyarakat,
ditempat kerja dan juga oleh keluarga.
Tabel 1. 1. Data Kasus HIV & AIDS Dari Tahun 1997 Sampai
Dengan November 2012 Provinsi Nusa Tenggara Timur .6 )
Sumber Data: Laporan Dinas Kesehatan Provinsi NTT per November 2012
Kumulasi Distribusi Kasus Per Kabupaten di Provinsi NTT dari
tahun 1997 - November 2012
NO. KABUPATEN HIV AIDS JUMLAH MENINGGAL1 Belu 230 251 481 1192 Kota Kupang 240 117 357 453 Sikka 128 211 339 404 Ende 6 97 103 575 Manggarai 48 34 82 116 Lembata 23 46 69 277 Flotim 11 58 69 128 TTS 23 40 63 159 Sumba Barat Daya 12 41 53 19
6
10 Ngada 17 30 47 1911 TTU 25 19 44 1612 Sumba Timur 29 35 64 1413 Alor 7 26 33 1414 Kupang 15 31 46 715 Nagekeo 9 11 20 816 Sumba Barat 4 16 20 1117 Manggarai Barat 4 11 15 718 Sumba Tengah 6 7 13 219 Rote Ndao 0 0 0 020 Sabu Raijua 0 0 0 021 Manggarai Timur 0 0 0 0
Total 837 1081 1918 443
7
Stigma dan diskriminasi adalah salah satu tantangan
yang berat dalam program pencegahan penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik tahun 2009 bahwa Stigma dan diskriminasi yang
dialami orang terinfeksi HIV bisa datang dari berbagai
kelompok masyarakat. Mulai dari lingkungan keluarga,
lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, lingkungan
sekolah, serta lingkungan komunitas lainnya. Bahkan sering
terjadi diskriminasi dilayanan kesehatan terhadap orang
terinfeksi HIV saat mereka mendapatkan perawatan kesehatan.
Menurut data hasil Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu
dan Rumah Tangga Dengan HIV di Tujuh Provinsi di Indonesia
tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, terdapat 996
rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah
tangganya (ART) terinfeksi HIV berpartisipasi dalam survei
tersebut, maka dapat ketahui bahwa 36% Rumah Tangga orang
terinfeksi HIV pernah mengalami tindakan stigma dan
diskriminasi dari tetangganya. Bentuk-bentuk Perlakuan stigma
dan diskriminasi tersebut mulai dari ditolak keberadaannya,
mengalami kekerasan verbal, anak-anaknya dilarang bermain
bersama teman sebayanya, tidak diundang dalam kegiatan di
lingkungan, dilarang menggunakan fasilitas umum hingga
8
kekerasan secara fisik. Dalam survey itu ada responden yang
terinfeksi HIV. Hasil survey itu telah menggambarkan ada 53%
responden laki-laki dan ada 57% responden perempuan merasa
pernah mengalami perlakuan diskriminasi dari fasilitas layanan
kesehatan. Tindakan stigma dan diskriminasi dari fasilitas
kesehatan yang pernah diterima responden berupa diberi kode-
kode khusus (41%), petugas kesehatan menggunakan pelindung
yang berlebihan (11%), ditolak dalam perawatan medis (8%),
tenaga kesehatan tidak mau menyentuh responden (8%), Responden
yang diisolasi (7%), penanganan di UGD di terakhirkan (6%),
mendapat kekerasan verbal (5%), tidak diijinkan menggunakan
toilet dan peralatan makan fasilitas kesehatan tersebut (3%)
dan kekerasan fisik (1%). Situasi ini juga sangat
memprihatinkan dan kontraproduktif terhadap berbagai upaya
pengendalian epidemi HIV di Indonesia .7 ) .
Pada acara peringatan Hari AIDS sedunia pada 1
Desember 2011 mengambil tema ‘Getting to Zerro’. Tema yang menarik
mengajak anak bangsa untuk semangat mencegah penularan HIV,
selain itu juga menunjukan bahwa salah satu penyebab
permasalahan bagi ODHA untuk tidak mengoptimiskan diri di
tengah masyarakat adalah adanya Stigma dan Diskriminasi di
masyarakat dan layanan. Hal ini telah dibuktikan oleh data
9
dari banyak penelitian. Tema tersebut dilakukan dalam 3
upaya besar salah satunya adalah Zero AIDS Discrimination. Artinya
stigma dan diskriminasi dapat dihilangkan.
Masalah stigma dan diskriminasi, kadang muncul karena
salah pemahaman mengenai cara penularan. Contoh kejadian
tahun 2010 di Ruteng NTT seorang pasien remaja dewasa
terinfeksi HIV jatuh sakit di rawat di ruang isolasi. Tidak
satu pun keluarganya kecuali orang tua kandungnya yang
datang mengunjungi dia. Hal itu terjadi karena takut
tertular. Pada saat pasien itu kembali ke kampung
halamannya, rumah keluarga pasien tidak di kunjungi oleh
semua orang. Dan sampai ketika pasien meninggal di ruangan
isolasi di rumah sakit umum daerah Ruteng tidak banyak
keluarga yang melayat. Semua pakaian pasien dibakar. Selain
itu kasus terbaru di Ruteng bulan Pebruari 2013, ada tiga
orang ODHA di rawat di salah satu ruangan di kantor KPAD
karena di tolak oleh keluarganya. Pada hal Rumah sakit ada,
tetapi pasiennya tidak di rawat di rumah sakit karena alasan
biaya perawatan, sehingga terpaksa tidur di salah satu
ruangan di kantor KPAD .8 )
Program VCT di Pronvinsi Nusa Tenggara Timur sudah
dimulai sejak tahun 2006. Awalnya klinik VCT hanya di RS
10
W.Z. Yohanes di Kota Kupang. Kemudian tahun 2012 sudah
meningkat menjadi 12 Klinik VCT. Hampir di setiap kabupaten
di NTT sekarang memiliki klinik VCT. Hal ini dilakukan agar
semua penderita HIV di setiap kabupaten terjaring, dengan
demikian penemuan kasus HIV diharap harus semakin meningkat.
Namun pada kenyataannya, kunjungan ke Klinik VCT di NTT
belum banyak. Sampai dengan Desember 2012 Total kunjungan ke
Klinik VCT baru mencapai 1100 Orang. Menurut keterangan
sekretaris KPAD Provinsi NTT, rata-rata kunjungan ke klinik
VCT dari semua Klinik VCT di NTT sebanyak 60-90 orang
setiap bulan. Hal ini berbanding lurus dengan penemuan kasus
HIV di NTT baru mencapai 1918 kasus. Dari total kasus
tersebut tidak semuanya diketahui melalui testing di Klinik
VCT tetapi banyak ditemukan melalui testing setelah
penderita HIVmenderita Infeksi Oportunistik ketika obname di
Rumah Sakit.
11
B. PERUMUSAN MASALAH
Salah satu hambatan yang sulit diatasi dalam
pelaksanaan Program Penanggulangan dan Pencegahan Penularan
HIV/AIDS adalah adanya stigma dan diskriminasi di dalam
keluarga, masyarakat, ditempat kerja, maupun dilayanan
masyarakat termasuk layanan kesehatan terhadap Orang Dengan
HIV/AIDS. Stigma memberikan tekanan dengan berbagai cara
yang tidak kelihatan terhadap ODHA namun bisa membuat
perasaan ODHA terpukul dan malu. Sedangkan diskriminasi
memberikan tekanan dengan cara yang kelihatan dengan
berbagai cara yang membuat ODHA harus menanggung perasaan
malu. Sebagai akibat selanjutnya ODHA menutup diri untuk
tidak mau membuka status HIV-nya dan bahkan putus asa.
Sebaliknya bagi orang yang belum tahu status HIV-nya tidak
akan mau untuk mengikuti tes HIV di Klinik VCT. Disisi lain
ODHA yang menutup diri yang tidak mau membuka status HIV-nya
kepada pasangannya (suami atau istri) sebagai partner seks
akan menularkan HIV kepada pasangannya. Hal yang sama
terjadi pada orang yang sudah terinfeksi HIV namun belum
mengetahui status HIV-nya apakah positip atau tidak.
Fenomena ini tergambar dalam penemuan kasus HIV selalu
12
terjadi setelah orang menderita infeksi oportunistik, dan di
lakukan tes HIV ternyata positip.
Penemuan kasus HIV di Nusa Tenggara Timur lebih
banyak diketahui setelah orang menderita oportunistik dan
ketika obname di Rumah Sakit, karena pengobatan tidak mempan
lalu dilakukan tes HIV lalu mendapat hasil positip HIV.
Kasus seperti ini selalu berakhir dengan kematian cepat
karena tidak pernah menggunakan ARV. Angka kematian karena
AIDS di Nusa tenggara Timur cukup tinggi. Sampai dengan
tahun 2012 kematian karena HIV AIDS di NTT mencapai 443
kasus. Berdasarkan keterangan sekretaris KPAD NTT tanggal
13 Pebruari 2013 mengatakan bahwa kematian HIV AIDS di NTT
lebih banyak terjadi karena dirawat setelah menderita
infeksi oportunistik. Berdasarkan uraian data pada latar
belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan adalah
Masih tingginya Stigma terkait HIV/AIDS di Provinsi Nusa
tenggara Timur. Stigma terkait HIV/AIDS di NTT menyebabkan
tingginya kematian karena HIV/AIDS. Stigma terkait HIV/AIDS
di Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu diikuti dengan
diskriminasi terhadap ODHA. Munculnya stigma dan
diskriminasi membuat orang malu dan takut untuk memeriksakan
diri apakah dirinya HIV atau tidak.Setelah menderita banyak
13
penyakit baru terdeteksi bahwa ternyata mereka menderita HIV
positip. Faktor stigma merupakan salah satu factor
determinan terjadinya fenomena gunung es terhadap kasus
HIV/AIDS di NTT. Sedikitnya kasus HIV / AIDS terjaring
disebabkan karena masih sangat kuatnya stigma terhadap
HIV/AIDS di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari uraian permasalahan di atas maka dapat dirumuskan
pertanyaan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk stigma dan diskriminasi layanan
kesehatan yang dialami ODHA di Kota Kupang?
2. Bagaimana pengaruh stigma dan diskriminasi itu
terhadap keputusan ODHA untuk membuka statusnya dan
mau mengikuti pengobatan?
3. Apakah orang-orang yang positip HIV masih
mempertahankan pangobatan walaupun di stigma dan
diskriminasi?
B. TUJUAN PENELITIAN
Dari perumusan masalah di atas maka dapat dirumuskan
tujuan penelitian yaitu untuk :
14
1. Mengetahui bagaimana bentuk stigma dan
diskriminasi layanan kesehatan yang dialami ODHA
di Kota Kupang?
2. Mengetahui bagaimana pengaruh stigma dan
diskriminasi itu terhadap keputusan ODHA untuk
membuka status HIV-nya dan mau mengikuti
pengobatan?
3. Mengetahui apakah orang-orang yang positip HIV
masih mempertahankan pangobatan walaupun di stigma
dan diskriminasi?
C. MANFAAT PENELITIAN
Ada pun manfaat penelitian adalah :
1. Bagi penulis yaitu meningkatkan kasanah ilmu
pengetahuan untuk dipakai membangun Indonesia secara
kusus membangun NTT dan lebih kerucut membangun
Manggarai
2. Bagi Instansi Pemerintahan : Sebagai informasi, data
dan selanjutnya sebagai bahan pertimbangan pembangunan
daerah NTT dan sekitarnya
3. Bagi ODHA yaitu sebagai dukungan dan support agar
mampu menghadapi situasi stigma dari berbagai factor
15
4. Bagi civitas Akademika yaitu sebagai salah satu
pengembangan tridarma perguruan tinggi yaitu
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN
1.Waktu : Penelitian dilakukan selama 1-2 bulan. Waktu
penelitian sekitar bulan januari sampai maret 2014
2.Tempat : Di Provinci NTT di kabupaten terpilih Kota
Kupang
3.Materi : Bidang ilmu kesehatan masyarakat Program
Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS fokus pada Stigma
masyarakat dan Diskriminasi Layanan Kesehatan terhadap
HIV/AIDS.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian tentang Stigma Masyarakat dan diskriminasi
Layanan Kesehatan yang dialami ODHA di Kota Kupang,
menurut sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan
penelitian yang sama sebelumnya. Beberapa
16
Penelitian lain yang ada hubungan dengan Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS adalah
nampak pada :
tabel 1. 2. Keaslian penelitian Dibawah ini :
No.
NamaPeneliti
Tempat Metode Tujuanpenelitian
Hasil Penelitian
1. OnojaMatthewAkpa,dkk(VictoriaAdeolu-Olaiyaa,C. AdenikeOlusegun-Odebirib,DoyinAganabac)
NigeriaUtara,2011
Kuantitatif surveicross-sectional(kuesionerterstruktur)antara ODHA ditiga negara yangdipilih di zonaNorth-Westgeopolitik NigeriaAbuja dan, WilayahFederal Ibu (FCT).Uji analisisregresi Logistikberganda digunakanuntuk menentukanfaktor yangberhubungan denganstigma terkait HIVdan adopsi
Untukmempelajariprevalensistigmaterkait HIVdan pengaruhstigma padaadopsipengobatanHIV dikalanganODHA
71(21,3%) ODHA menghadapistigma di tempat kerja, 88(26,3%) stigma di masyarakat,dan 43 (12,8%) ODHA stigmadalam keluarga. Juga, hasilregresi logistik menunjukkanbahwa ODHA yang tidak memilikipendidikan formal dan orang-orang dengan pendidikan dasarkurang mampu untuk menghadapistigma dari masyarakat (OR-0,212, 95% CI-0,064-0,702, p<0,05) dan majikan mereka (OR-0.236, 95% CI-0,072-0,775, p<0,05) masing-masing.
17
pengobatan HIV.
2. FrankTannenbaun
DiAmerika1938
PenelitianKualitatif,analisis terhadapsejumlah pemudanakal
Mengidentifikasi labeldarimasyarakatterhadappemuda Nakal(gagasanPenandaan)
Menemukan bahwa tag atau labelnegative sering berkontribusiketerlibatan lebih jauh dalamkegiatan tertunggak.Selanjutnya lahir teoriPelabelan.
3. OssieSosodoro,OvaEmilia,BudiWahyuni
DiSurakarta
Jenis penelitianini adalahkualitatifobservasionaldengan rancangancross sectionaluntuk mendapatkanpenjelasan yanglebih dalam danmenawarkanmasukan untukmembuat kebijakandalammemperkenalkanintervensi yangrelevan . Subyekpenelitian adalahsebanyak 558siswa dari SMP 4
Untukmengetahuihubunganantarapengetahuan tentangHIV / AIDSdan stigmaorang yanghidupdengan HIV/ AIDS dikalangansiswa SMAdiSurakartaMunicipality .
Hasil uji pada pengetahuantentang HIV / AIDSmenunjukkan bahwa rata-rataadalah 15,40 dari skormaksimal 20 , sedangkanhasil uji pada stigma orangyang hidup HIV / AIDSmenunjukkan berarti adalah15,70 dari skor maksimal21 . Hasil studi kualitatifmenunjukkan bahwa adakesalahpahaman tentangmetode infeksi HIV / AIDSdan adanya stigma orang yanghidup dengan HIV / AIDS ,baik di kalangan mahasiswaatau guru . Hasil analisisbivariat menunjukkan bahwastigma adalah 3,37 kali
18
SurakartaMunicipality .Analisis datakuantitatifunivariat,bivariat denganuji chi squaredan multivariatdengan regresilogistik danstratifikasi .
lebih kuat antara siswadengan pengetahuan yangterbatas tentang HIV / AIDSdibandingkan mereka denganpengetahuan yang baiktentang HIV / AIDS .
Kesimpulan : Siswa denganpengetahuan yang terbatastentang HIV / AIDS memilikirisiko lebih tinggi untukstigma orang yang hidupdengan HIV / AIDS bahwamereka dengan pengetahuanyang baik .
4. JónGunnarBernburg, MarvinD. KrohnandCraig J.Rivera
Di NewYorkpada1987 -1988
The analysis isconducted withdata from theRochester YouthDevelopmentStudy (RYDS), amulti-wave panelstudy of thedevelopment ofdruguse and delinquentbehavior amongadolescents and
This articleexamines theshort-termimpact offormalcriminallabeling oninvolvementin deviantsocialnetworks andincreasedlikelihood
Using measures from threesuccessive points in time, theauthors find that juvenilejustice intervention positivelyaffectssubsequent involvement inserious delinquency through themedium ofinvolvement in deviant socialgroups, namely, street gangsand delinquent peers : In Model1, The effect of juvenilejustice intervention on
19
young adults. Thispanelis based on aninitial sample of1,000 studentsselected from theseventh andeighth grades ofthe public schoolsin Rochester, NewYork, during the1987to 1988 academicyear. Interviewswere conducted atsix-monthintervalswith eachadolescent and hisor her parent orprimary caretaker.All interviewswere conducted inprivate; most wereface-to-facesettings, but inlaterwaves some long-distance
ofsubsequentdelinquency.According tolabelingtheory,formalcriminalinterventionshouldaffect theindividual’simmediatesocialnetworks.Examinewhetherinvolvementin deviantsocialgroupsmediates therelationshipbetweenjuvenilejusticeinterventionandsubsequent
subsequent delinquency. Aspredicted, intervention issignificantly, positivelyrelated to involvement insubsequent delinquency. Theodds ratio indicates thatexperiencing juvenile justiceintervention increases the oddsof involvementin serious delinquency at Wave4 by a factor of 5.5, net ofall controls.The effect of gang membershipatWave 2 is positive, asexpected, but slightly belowthe significance level. Notethat gang membership at Wave 2is included in this model sothat we may interpret theeffect of Wave 3 gangmembership (added in Model 2)as a change effect. The effectof Wave 2gang membership in Model 1 isnet of Wave 2 seriousdelinquency; hence, we expectedthis effect to be weak. Theeffects of the controlvariables conform to
20
interviews werecompleted bytelephone. Chronictruants andstudents who hadleft the Rochesterschools wereinterviewed attheir homes, aswere most parents.Data on subjectswere alsocollected fromschool, police,courts, andsocial-serviceagencies. Becausewe areparticularlyinterested in theeffect of earlyformal contactwith the juvenilejusticesystem, thecurrent analysisuses data fromWaves 1 to 4, whenthe subjects
delinquentbehavior.
expectation. Delinquency andsubstance use significantlyincrease the odds of subsequentdelinquency. Females aresignificantly less likely to beinvolved in subsequentdelinquency, net of controls.In Model 2, we add the mediatorvariable gang membership atWave3. As predicted, adding gangmembership to the equationproduces a drop in the effectof juvenile justiceintervention on subsequentdelinquency. The coefficientdrops by about 22 percent (from1.71 to 1.34) but remainsstatistically significant.Moreover, as predicted, gangmembership is strongly andsignificantly associated withsubsequent delinquency. Youthswho are gang members at Wave 3are substantially more likelyto report delinquentinvolvementat. Wave 4 relativeto those who are not gangmembers during this period. Theapproximate test for indirect
21
were between theages of about13.5 and 15.
effects shows that Wave 3 gangmembership significantlymediates the effects ofjuvenile justice interventionon subsequentdelinquency (p < .05, two-tailed).5 This findingindicates that the effectof juvenile justiceintervention on subsequentdelinquency is mediated by thechange in gang membership.In Models 3 and 4, we use peerdelinquency as the mediator.Model 3 again shows thatjuvenile justice interventionis strongly, positively relatedto subsequent delinquency, netof controls. In this model,formal criminal interventionincreases the probability ofsubsequent delinquency by afactor of about 5.4. Model 4shows that addingWave 3 peerdelinquency to the equationagain produces a drop in thecoefficient for intervention.The coefficient drops by about17 percent and remains
22
statistically significant.Wave3 peer 80 Journal of Researchin Crime and DelinquencyDownloaded fromhttp://jrc.sagepub.com at SAGEPublications on December 16,2009delinquency has a significant,positive effect on subsequentdelinquency and significantlymediates part of the effect ofintervention on subsequentdelinquency (p < .05, two-tailed).6 Again, this findingindicates that the effect ofjuvenile justice interventionon Wave 4 delinquency ismediated by the change indelinquent peer associationsbetween Wave 2 and Wave 3.7.Models 5 and 6 examine theeffects of the two mediatorvariables jointly. Comparingthese models, the coefficientfor juvenile justiceintervention drops by about 46percent when adding both themediator variables to the model(from 1.55 to .84) and becomes
23
insignificant. Gang membershipand peer delinquency thusjointly account for asubstantial proportion of theeffects of juvenile justiceintervention on subsequentinvolvement in seriousdelinquency.
5. VaishaliS.Mahendra1,LaeliaGilborn1,BitraGeorge2,LukeSamson2,RupaMudoi2,SaritaJadav2,IndraniGupta3,ShaliniBharat4,andCelineDaly1
In threehospitals in NewDelhi2006
Researchers used apre-/post-testevaluation designto assess theoutcomes of thepilot programconducted in threehospitals in NewDelhi (one privateand twogovernment-run).Prior to theimplementation ofthe program,formative researchwas conducted tounderstand thecauses andmanifestations ofstigma anddiscrimination in
The goal ofthisoperationsresearch wasto reduceAIDS-relatedstigma anddiscrimination andimprove thequality ofcare forPLHA in thehospitalsetting. Theunderlyingassumptionwas thatbothindividualand
The formative research findingsclearly indicated the need toaddress stigma anddiscrimination in the hospitalsetting and corroborated manyof the findings of earlierresearch in India in thiscontext (UNAIDS 2001). Thisstudy found that although HCWsgenerally denied that theirhospital refusedadmission and/or treatment topatients because of their knownor suspected HIV status,caregivers and patientsreported that the access to andquality of in-patient care inNew Delhi hospitals depended ona patient’s HIV status.Experiences with and fearsabout such treatment was enough
24
health caresettings. Thisinvolvedconducting in-depth interviewswith health careworkers and HIV-positive patientsand focus groupdiscussions withpeopleliving withHIV/AIDS and NGOservice providers.These findingsinformed thedevelopment of a“PLHA-friendlyChecklist,” aself-assessmenttool for hospitalmanagers toidentifyinstitutionalstrengths andweaknesses ofservices forpeople infectedwith HIV, and of
institutional factorsneed to beaddressed inorder toimprovecare,includingtheknowledgeandattitudes ofstaffmembers,hospitalpolicies andprocedures,and servicesandsupplies.
to deter some patientsfrom seeking care, and causeother patients to conceal theirHIV-status from HCWs, ifpossible. Common manifestationsof differential treatment ofPLHA in the participatinghospitals included delay intreatment, unwarrantedreferrals to other facilities,segregation, labeling,excessive use of barrierprecautions, breaches ofconfidentiality, unconsentedHIV-testing, inadequate pre-andpost-test counseling, andwithholding HIV test resultsfrom patients. The study alsofound that many health careworkers lacked adequateknowledge and training in thebasics of HIV transmission,infection control, and clinicalmanagement of HIV/AIDS. Also, alack of hospital policiesprotecting PLHA and ensuringstaff safety contributed todifferential treatment.These findings highlight that
25
hospital policiesand procedures topreventoccupationalexposure to HIV bystaff. TheChecklist coversthe followingareas: access tocare services, HIVtesting andcounseling,confidentiality,infection control,and quality ofcare.To assess outcomesof the program, abaseline survey tomeasure HIV/AIDS-related attitudes,knowledge, andpractices wasconducted with arandom sample of884 health careworkers from fourdepartments.These health care
stigma and discrimination inhealth settings is fueled byboth individual andinstitutional factors.Therefore, reducing AIDS-related stigma anddiscrimination in clinicalsettings requires addressingnot just the attitudes andpractices of health careworkers but also their needsforinformation, training, andsupplies.The study also showed that allcadres of health care workers,including doctors, nurses, andward staff, carry outdiscriminatory practices. Itwas interesting to note thateven though ward staff are notengaged in providing clinicalcare to patients, they stillhad the most discriminatoryattitudes toward PLHA.Because of the important rolethey play in providing supportservices in the hospital, itwas critical for the
26
workersrepresented threelevels of hospitalstaff that havecontact with PLHA:doctors, nurses,and ward staff(i.e., thoseresponsible fordaily cleaning ofpatient areas).These data werediscussed withhospital managerswho then used theChecklist toassess the extentto which theirfacilitiesfollowed goldstandards toensure AIDS-related staffsafety and a non-stigmatizing andnondiscriminatoryhospitalenvironment. Basedon this
intervention to target wardstaff. This supports theintervention’s basic premise ofinvolving all levels of healthcare workers, from ward staffto hospital superintendents, inimproving the hospitalenvironment rather than simplytrying to effect change fromthe top down by only workingwith management.
27
assessment,hospital managersand seniorrepresentatives ofdoctors, nurses,and ward staffdeveloped actionplans to improvethe situation. Theproject team andlocal AIDS serviceorganizationshelped eachhospital carry outtheir action plansbyassisting withtraining and thedevelopment anddissemination ofpolicy guidelinesand educationalmaterials, such asposters oninfection control.
6. BPS danJOTHI
Di TujuhProvinsidiIndonesi
Survey deskriptive UntukmengetahuiDampakstigma dan
996 rumah tangga (Ruta) dengansalah satu atau lebih anggotarumah tangganya (ART)terinfeksi HIV berpartisipasi
28
a tahun2009
diskriminasiterhadapSosialEkonomi PadaIndividu danRumah TanggaDengan HIVdi TujuhProvinsi diIndonesiatahun 2009
dalam survei tersebut, dapatkita ketahui bahwa 36% Rutaorang terinfeksi HIV pernahmengalami tindakan stigma dandiskriminasi dari tetangganya.Perlakuan stigma dandiskriminasi tersebut mulaidari ditolak keberadaannya,mengalami kekerasan verbal,anak-anaknya dilarang bermainbersama teman sebayanya, tidakdiundang dalam kegiatan dilingkungan, dilarangmenggunakan fasilitas umumhingga kekerasan secara fisik.Selain itu juga, 1 dari 2responden orang terinfeksi HIV(53% laki-laki dan 57%perempuan) merasa pernahmengalami perlakuandiskriminasi dari fasilitaslayanan kesehatan. Tindakanstigma dan diskriminasi darifasilitas kesehatan yang pernahditerima responden berupadiberi kode-kode khusus (41%),petugas kesehatan menggunakanpelindung yang berlebihan(11%), ditolak dalam perawatan
29
medis (8%), tenaga kesehatantidak mau menyentuh responden(8%), diisolasi (7%),penanganan di UGD diterakhirkan (6%), mendapatkekerasan verbal (5%), tidakdiijinkan menggunakan toiletdan peralatan makan fasilitaskesehatan tersebut (3%) dankekerasan fisik (1%).
7 Roy G.A.Massie
in Bitung Municipality, North SulawesiProvince,Indonesiatahun2011.
Case study presents collectingevidence and reviews factors relate to HIV/AIDS programme provided by public in Bitung Municipality, North SulawesiProvince, Indonesia.
The objectives ofthis case study are to identify policy of HIV/AIDS program in local context and tolearn the collaboration of local public services’ activities relate to health particularly to lessen the stigma and discriminationof HIV/AIDS.
Stigma and discrimination may be reduced through structural intervention atlocal level, communityintervention and individual intervention. The interventions should be understood byhealth providers relate to HIV/AIDSprevention and control program at all stages. To reduce stigma at the community level can be integrated into HIV/AIDSprograms by facilitating the participationof people living with HIV/AIDS.
30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP TENTANG HIV/AIDS
1. Pengertian9
HIV ( Human Immunodefisiency Virus ) adalah Virus yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia. HIV bukan penyakit
tetapi hanya sebuah Virus yang kerja dan prilakunya sangat
dasat dalam tubuh manusia sehingga bisa menurunkan daya taham
tubuh. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan
Kumpulan sindrom penyakit yang bisa menurunkan daya tahan
tubuh manusia. AIDS disebabkan oleh HIV (Aquired artinya
didapat , Immune artinya Kekebalan , Deficiency artinya
Kekurangan, Syndrome artinya penyakit dengan kumpulan
gejala). AIDS merupakan Kumpulan gejala akibat kekurangan
atau kelemahan sistem tubuh yang dibentuk saat kita lahir.
Bukan penyakit keturunan,cacat karena rusaknya imunitas
tubuh, Sel CD4+ (monosit,makrofag dan limfosit T4 Helper).
Jumlah CD4+ <200 (800-1000/mm3)
2. Epidemiologi HIV/AIDS melalui Pecandu narkotik suntikan,
Hubungan seks yang tidak aman, Mitra seks yang banyak,
31
Mitra seks dengan pengidap HIV-AIDS, Mitra seks dengan
prevalensi HIV-AIDS yang tinggi, Homoseksual, Pekerja di
tempat hiburan, Riwayat PMS (Penyakit Menular Seksual),
Bayi dari ibu yang terinfeksi, Riwayat perlukaan kulit.
3. Cara Penularan :
Hubungan seksual dengan pengidap HIV, Produk darah yang
tercemar HIV, Ibu terhadap bayi (prenatal,intra dan post
natal), Jarum suntik atau alat kedokteran yg tidak steril,
Alat untuk menoreh kulit, Jarum suntik bekas pakai.
4. Pathofisiologi : 10)
Virus HIV adalah retrovirus,mempunyai kemampuan
menggunakan RNA dan DNA, pejamu untuk membentuk virus DNA
baru dan dikenal selama periode inkubasi. Retrovirus
mempunyai pengaruh yg kuat terhadap limfosit-T. dalam
prosesnya,HIV menghancurkan CD4+ dan limfosit. Serangan
pertama HIV ditangkap oleh dendrit pada membran mukosa dan
kulit.sel yang terinfeksi akan membuat jalur ke nodus limfa
dan PD perifer,dimana terjadi replikasi virus yg sangat
cepat. (CD4+700-1200/mm3)
Gambar 2.1. Kelainan Immun pada HIV/AIDS :
32
HIV
Sel
T4
Sel T4
fungsi
limfopenia
Sel T8
kerusakan
sitotoksisi
Makrofag
fagositos
is
Sel B serum
anti body
respon antibody
Peningkatan
kerentanan terhadap
infeksi
33
Tabel 2. 1. Fase-fase infeksi HIV/AIDS meliputi :
Fase-fase Lamanya Anti Bodi yangterdeteksi
Gejala-gejala Dapatditularkan
Periode jendela 4 mgg-6 blnsetelah infeksi
Tidak ada Tidak ada Ya
Infeksi HIVprimer akut
1 – 2 minggu Kemungkinan Gejala seperti Flu Ya
Infeksiasimtomatik
1 – 15 tahun ataulebih
Ya Tidak ada Ya
Supresi ImunSimtomatik
3 tahun Ya Demam, keringat malamhari.
Ya
AIDS Bervariasi 1 – 5tahun daripertama penentuankondisi AIDS
Ya BB menurun, diareneuropathi, keletihan,ruam kulit, lesi oral,infeksi oportunistikberat, tumor padasemua sistem tubuh.
Ya
34
5. Gejala AIDS
Terdiri dari gejala minor dan gejala mayor. Gejala minor
terdiri dari :
a. Berat badan menurun mencapai >10% setahun
b. Diare kronik selama >1 bulan
c. Demam berkepanjangan selama >1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan HIV ensefalopati
Gejala mayor meliputi :
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata : herpesoster, kandiasis oral,
limphadenopaty generalisata.
c. Infeksi jamur berulang pada kelamin,
retinitiscitomegalovirus.
6. Stigma masyarakat tentang aids :11
AIDS dianggap oleh masyarakat sebagai Hukuman,
Kejahatan, Pernyataan perang, Sesuatu yang menakutkan,
Pemisah. Untuk mengatasi stigma ini, maka masyarakat harus
memiliki pengetahuan tentang bagaimana Mencegah perluasan
AIDS, Mencari dan memberi info yang benar tentang AIDS,
Bersikap bersahabat, Menghargai HAM(Hak Asasi Manusia) ODHA,
35
Tidak mendiskriminasi, Mendukung program penanggulangan AIDS,
HIV tidak menular,melalui : Peralatan makan yang dipakai
bersama dengan pengidap HIV, Pakaian,handuk, Toilet yang
dipakai bersama dengan pengidap HIV, Berpelukan atau
berciuman (kecuali bila ada sariawan atau luka), Berjabat
tangan, Hidup serumah, gigitan serangga.
7. Pencegahan :
Puasa,tidak melakukan hubungan seksual, Prinsip Monogami,
Pakai kondom bila beresiko, Sterilisasi alat, Spuit sekali
pakai, Perlu skrining darah, Janin terinfeksi dari ibu ke
janin 50%, Infeksi tanpa gejala pada janin 20-35%.
8. Pemeriksaan & diagnosis :
Tes Antibodi HIV : ELISA (Ensyme-Linked Immunosorbent
Assay : Western Blot
Assay : +Immunofluoresent assay: Deteksi protein HIV, Tes
status imun : CD4+ : Menurun, Leukosit : Menurun, Diagnosis
dini infeksi HIV, ELISA & West.B, Diagnosis AIDS, Infeksi
oportunistik, CD4+ <200
36
Therapi Alternatif: Spiritual / psikologis, Nutrisi : Vit C,
Curcumma, vegetarian, Obat dan biologik termasuk therapi
oksigen, ozon, Tenaga fisik/alat: massase, akupunktur, yoga,
dll
B. ODHA di NTT12
HIV/AIDS di NTT sudah lama ada namun baru di ketahui
sejak tahun 2007 dan ditemui pertama di Kota Kupang dalam
tahun yang sama. HIV/AIDS di NTT menyebar di setiap semua
kabupaten. Dan rata-rata penderita HIV/AIDS terbanyak adalah
Kota Kupang, Kabupaten Sika dan Kabupaten Kupang, Ende dan
Manggarai. ODHA yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
orang yang dengan positip HIV di Kota Kupang berjumlah 357
orang.
C. PENGERTIAN STIGMA DAN DISKRIMINASI TERHADAP
ODHA.13 )
1. Pengertian stigma terhadap ODHA
Stigma adalah tindakan memberikan label
sosial yang bertujuan untuk memisahkan atau
mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan
37
cap atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma
mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu tindakan
tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan
hak-‐hak dasar indvidu atau kelompok sebagaimana
selayaknya sebagai manusia yang bermartabat.
Stigma dan diskriminasi terjadi karena
adanya persepsi bahwa mereka dianggap sebagai
“musuh”, “penyakit”, “elemen masyarakat yang memalukan”,
atau “mereka yang tidak taat tehadap norma
masyarakat dan agama yang berlaku”. Implikasi
dari stigma dan diskriminasi bukan hanya pada
diri orang atau kelompok tertentu tetapi juga
pada keluarga dan pihak-‐pihak yang terkait dengan
kehidupan mereka.
Tindakan menstigma atau stigmatisasi terjadi
melalui beberapa proses yang berbeda-‐beda seperti:
a. Stigma actual yaitu stigma yang dialami
(experienced) yaitu jika ada orang atau
masyarakat yang melakukan tindakan nyata,
baik verbal maupun non verbal yang
38
menyebabkan orang lain dibedakan dan
disingkirkan.
b. Stigma potensial atau yang dirasakan
(felt) yaitu jika tindakan stigma belum
terjadi tetapi ada tanda atau perasaan
tidak nyaman. Sehingga orang cenderung tidak
mengakses layanan kesehatan.
c. Stigma internal atau stigmatisasi diri
adalah seseorang menghakimi dirinya
sendiri sebagai “tidak berhak”, “tidak
disukai masyarakat”. Proses stigma tidak
bersifat tunggal, beberapa proses tersebut
dapat terjadi secara bersamaan dan dapat
bersifat stigmatisasi ganda (misalnya:
“perek” sekaligus “penasun”).
Faktor - faktor yang mempengaruhi stigma terhadap Orang
dengan HIV/AIDS yaitu :
a. HIV-/AIDS adalah penyakit mematikan
39
b. HIV/AIDS adalah penyakit karena perbuatan
melanggar susila, kotor, tidak bertanggung
jawab
c. Orang dengan HIV/AIDS dengan sengaja menularkan
penyakitnya
d. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara
penularan HIV.
Perubahan perkembangan pengobatan, perawatan dan
dukungan yang diharapkan mempengaruhi paradigma stigma
dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS yaitu :
a. HIV/AIDS dapat mengenai siapapun, tanpa
membedakan status sosial, pendidikan,
agama, warna kulit, latar belakang seseorang.
b. HIV/AIDS adalah penyakit mematikan.
c. HIV/AIDS dapat mengenai orang yang tidak
berdosa yaitu bayi dan anak.
d. HIV/AIDS sudah ada obatnya sekalipun
tidak menyembuhkan, tetapi mengembalikan
kualitas hidup penderitanya.
e. Penularan HIV/AIDS ke bayi/anak dapat dicegah
40
f. Kepatuhan berobat dan minum obat adalah
kunci utama pencegahan dan pengendalian
HIV/AIDS.
g. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk
akses pelayanan kesehatan paripurna yang
komprehensif.
h. Ketidaktahuan seseorang bahwa ia menderita
penyakit termasuk HIV/AIDS dan IMS yang
membuat orang menularkan penyakitnya.
2. Pengertian Diskriminasi Terkait HIV :
UNAIDS mendefinisikan stigma dan
diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri
negatif yang diberikan pada seseorang sehingga
menyebabkan tindakan yang tidak wajar dan tidak
adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV-
nya. Contoh-‐contoh diskriminasi meliputi:
a. Keluarga yang tega mengusir anaknya karena
menganggapnya sebagai aib.
41
b. Rumah sakit dan tenaga kesehatan yang
menolak untuk menerima ODHA atau menempatkan
ODHA di kamar tersendiri karena takut tertular.
c. Atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan
status HIV mereka.
d. Keluarga atau masyarakat yang menolak ODHA.
e. Mengkarantina ODHA karena menganggap bahwa
HIV/AIDS adalah penyakit kutukan atau hukuman
Tuhan bagi orang yang berbuat dosa.
f. Sekolah tidak mau menerima anak dengan HIV
karena takut murid lain akan ketakutan.
g. Odha mengalami masalah dalam mengurus asuransi
kesehatan. Tindakan diskriminasi semacam itu
adalah sebuah bentuk pelanggaran hak asasi
manusia.
3. Kerangka Kerja Konseptual Stigma Dan Diskriminasi
Serta Kerentanan siklus Stigma dan Diskriminasi.
Stigma dan diskriminasi saling menguatkan satu
sama lain dan beroperasi dalam suatu siklus
yang dinamis. Tanda atau label sebagai ODHA,
42
dapat menyebabkan stigma. Stigma dapat menyebabkan
diskriminasi yang selanjutnya dapat mengakibatkan:
a. Isolasi
b. Hilangnya pendapatan atau mata pencaharian
c. Penyangkalan atau pembatasan akses pada
layanan kesehatan
d. Kekerasan fisik dan emosional.
Ketakutan pada penghakiman dan diskriminasi
dari orang lain mempengaruhi bagaimana cara ODHA
melihat diri mereka sendiri dan mengatasi
kesulitan terkait status atau perilaku berisikonya.
Bayangan atau perasaan terstigma dan stigma internal
sangat mempengaruhi upaya pencegahan HIV. Hal ini
dapat mengakibatkan kerentanan dan risiko lebih
besar pada orang dengan HIV. Stigma dan
diskriminasi sendiri tidak tetap dan diam, tetapi
berkembang. Oleh karena itu penting bagi pelaksana
program pencegahan HIV untuk memahami elemen-‐elemen
stigma dan mengadaptasinya dalam konteks saat ini dan
konteks lokal.
43
Bentuk Dan Akibat Stigma Dan Diskriminasi. Bentuk
Akibat Isolasi dan kekerasan fisik sejak diusir dari
keluarga, rumah, pekerjaan, keluarga, teman dan
komunitas organisasi mengakibatkan depresi, menyendiri,
melarikan diri. Gossip, olok-‐olok, sebutan negatif,
Pencemaran nama baik, tidak percaya, pengucilan,
pengutukan, penghinaan, pada diri sendiri dan orang
lain, merasa penghakiman dibedakan, merasa ditolak.
Kehilangan hak dan kekuasaan, Kehilangan pekerjaan,
kehilangan mengambil keputusan atas dirinya kesempatan
untuk bekerja, putus sendiri sekolah, tidak dapat
memimpin. Stigma diri sendiri (ODHA menyalahkan diri
sendiri dan Depresi, tidak percaya diri, menyendiri,
mengisolasi diri mereka sendiri) menarik diri dan
menghindar dari lingkungan sosialnya. Stigma karena
apresiasi diri meliputi : Tidak percaya diri, merasa
tidak dihargai, rendah diri, kehilangan jati diri.
Stigma karena penampilan atau jenis : Kehilangan
kesempatan kerja, pekerjaan dikucilkan, menyendiri.
4. Dampak Stigma Dan Diskriminasi.
44
Stigma dan diskriminasi masih menjadi masalah
didalam upaya pengendalian HIV/AIDS di dunia
sehingga masih banyak yang enggan untuk
mengetahui status HIVnya karena takut kalau
ketahuan mengidap HIV akan diperlakukan
diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal
makin dini orang mengetahui status HIVnya makin
baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Stigma
dan diskriminasi dalam kaitan dengan HIV-‐AIDS
sebenarnya tidak ditujukan kepada jenis kelamin
melainkan kepada penyakitnya yang amat ditakuti.
Masalah akan timbul dalam situasi ketidak-‐
setaraan gender. Perempuan yang termarginalkan dan
berada dalam posisi subordinat bisa menjadi
tumpuan kesalahan, selanjutnya memperoleh label
sebagai sumber penularan. Padahal yang terjadi
adalah sebaliknya: Dari sisi anatomi, fisiologi dan
kedudukan sosial, perempuan lebih rentan tertular
HIV/AIDS daripada laki-‐laki.
Diperlukan komitmen dan upaya-‐upaya komprehensif
terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur masyarakat
45
untuk memberdayakan perempuan melalui pendekatan
non diskriminatif dan persamaan sebelum menuju
kesetaraan. Hasil yang diharapkan adalah perempuan
mempunyai akses terhadap pendidikan, ketrampilan,
informasi dan ekonomi, sehingga memiliki pengetahuan
yang cukup tentang reproduksi dan penyakit serta
mempunyai akses untuk meningkatkan ekonominya
sehingga mampu memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang setara dengan laki‐laki baik di sektor formal
maupun informal. Demikian pula perempuan harus
diberi wadah berorganisasi dan bisa memasuki wadah
tersebut guna meningkatkan kapasitas sosialnya.
Dengan demikian tidak akan ada lagi diskriminasi
dalam bekerja, tidak hanya perempuan HIV positif
tetapi perempuan secara keseluruhan. Bentuk lain
dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh
Odha dengan persepsi negatif tentang diri mereka
sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan
dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang
berat tentang bagaimana Odha melihat diri mereka
sendiri.Hal ini bisa mendorong, dalam beberapa
46
kasus, terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri,
dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi juga
menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang
takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi
atau tidak, atau bisa pula menyebabkan mereka yang
telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak
aman karena takut orang-‐orang akan curiga terhadap
status HIV mereka. Akhirnya, Odha dilihat sebagai
"masalah", bukan sebagai bagian dari solusi untuk
mengatasi epidemi ini. Deklarasi Komitmen yang
diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam sesi khusus
tentang HIV-‐AIDS menyerukan untuk memerangi stigma
dan diskriminasi. Ini menunjukkan fakta bahwa
diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Ini juga secara
jelas menyatakan bahwa melawan stigma dan
diskriminasi adalah merupakan prasyarat untuk upaya
pencegahan dan perawatan yang efektif.
5. Prinsip ‐ Prinsip HAM Sebagai Filosofi
Penghapusan Stigma Dan Diskriminasi.
47
Hak Asasi Manusia dan untuk hak-‐hak
perempuan, kesempatan kerja serta perlindungan,
terkait dengan pekerjaan dan fungsi reproduksi
mendapat tempat khusus dalam Undang-‐Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Antara lain
adalah upah yang sama dan adil disebutkan dalam Hak
Atas Kesejahteraan Pasal 38(3): Setiap orang, baik
pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta
syarat-‐syarat perjanjian kerja yang sama, dan pasal
38(4): Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam
melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya. Hak-‐hak perempuan
dituangkan dalam Hak Wanita, Pasal 45 – 51.
Hak perempuan sebagai hak asasi ditegaskan dalam
Pasal 45 yang berbunyi: Hak wanita dalam
Undang-‐undang ini adalah hak asasi manusia. Sedangkan
perlindungan terkait dengan pekerjaan dan fungsi
reproduksi disebutkan dalam Pasal 49(2): Wanita
48
berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap
hal-‐hal yang dapat mengancam keselamatan dan
atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi
wanita, dan Pasal 49(3): Hak khusus yang melekat
pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya,
dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pedoman Penghapusan Sigma dan Diskriminasi Hak
Asasi dan Diskriminasi, Pasal 2 Undang - Undang RI No:
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan:
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan
berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif,
dan norma-‐ norma agama. Kemudian pada Pasal 57
(1) disebutkan: Setiap orang berhak atas rahasia
kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dengan
pengecualian pada Pasal 57 (2) yaitu tidak berlaku
dalam hal:
49
a. Perintah Undang-‐Undang;
b. Perintah pengadilan;
c. Izin yang bersangkutan;
d. Kepentingan masyarakat; atau
e. Kepentingan orang tersebut.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan senantiasa
memperhatikan hak asasi manusia yang merupakan amanat
Undang ‐ Undang. Di dalam Kebijakan Umum Rencana Aksi
Pengendalian HIV ‐ AIDS Sektor Kesehatan Tahun 2009
– 2014 disebutkan bahwa setiap pemeriksaan untuk
mendiagnosa HIV didahului dengan penjelasan yang benar
dan mendapat persetujuan yang bersangkutan
(informed consent) serta menjaga kerahasiaan hasil
pemeriksaan. Pemeriksaan bersifat sukarela, dilakukan
konseling dulu baru dilaksanakan test HIV
(Voluntary Counseling and Testing). Petugas
kesehatan bisa menawarkan test (Provider Initiated
Conselling and Testing), namun apabila yang
bersangkutan tidak bersedia maka test HIV tidak
dilaksanakan Pada prinsipnya testing harus bersifat
50
sukarela dan tidak ada testing tanpa persetujuan
klien. Diskriminasi Yang Sering Dijumpai :
a. Odha lebih sulit diterima oleh dunia kerja
dengan alasan kesehatan dan produktivitas.
b. Karena kurangnya informasi orang akan menghindari
Odha karena takut tertular melalui keringat dan
sentuhan.
c. Odha mengalami masalah dalam mengurus asuransi
kesehatan.
d. Ada pendapat bahwa Odha sebaiknya di karantina saja
supaya tidak menularkan ke orang lain. Tetapi hal
ini melanggar hak asasi manusia.
e. Sekolah tidak mau menerima anak dengan HIV
karena takut murid lain akan ketakutan.
6. Cara Penghapusan Stigma Dan Diskriminasi.14 )
Stigma dan diskriminasi sangat mempengaruhi upaya
pencegahan HIV, pengobatan dan perawatan:
a. Memperlemah upaya pencegahan dan perubahan
perilaku. Ketakutan terhadap stigma dan
51
diskriminasi membuat orang tidak berani dan
tidak percaya diri dalam usaha menegosiasikan
seks yang lebih aman atau untuk
melakukan tes HIV. Ketidaktahuan tentang
risiko yang dimiliki seseorang, karena persepsi
“HIV hanya menular pada kelompok tertentu”,
bisa mengakibatkan tidak diambilnya perilaku
pencegahan secara serius.
b. Kesulitan atau keterlambatan mengakses
layanan PDP. Ketakutan terhadap stigma dan
diskriminasi mengakibatkan mereka yang hidup
dengan HIV terlambat atau tidak mau
mengakses layanan PDP yang mereka butuhkan
karena takut membuka status mereka kepada
yang lain. Dengan mengatasi stigma dan
diskriminasi, kita dapat:
(1) Memperkuat respon efektif pada HIV
(2) Mendorong pengembangan dan rasa percaya diri yang
kuat pada ODHA
(3) Menciptakan role model positif dan memahami upaya
anti stigma dan diskriminasi lebih jauh
52
(4) Memperkuat ikatan ODHA, keluarga mereka dan
komunitas untuk bersama-‐ sama melakukan upaya
pencegahan
7. Bagaimana Cara Menghadapi Stigma Dan Diskriminasi.
Kita semua turut bertanggung jawab untuk
menghadapi stigma dan diskriminasi. Bukan hanya
ODHA yang harus melakukannya. Kita semua dapat
memainkan peran untuk mengedukasi pihak lain,
menyuarakan dan menunjukkan sikap dan perilaku
baru. Beberapa langkah praktis yang dapat
dilakukan untuk menghadapi Stigma dan Diskriminasi
adalah sebagai berikut:
a. Jadilah contoh yang baik. Terapkan apa
yang sudah kita ketahui. Pikirkanlah
kata-‐kata yang kita gunakan dan bagaimana
kita memperlakukan ODHA, lalu cobalah untuk
mengubah pikiran dan tindakanmu.
b. Berbagilah pada orang lain mengenai hal-‐
hal yang sudah kita ketahui dan ajaklah
53
mereka untuk membicarakan tentang stigma
dan bagaimana mengubahnya.
c. Atasilah masalah stigma ketika Anda melihatnya
di rumah, tempat kerja maupun masyarakat.
Bicaralah, katakan masalahnya dan buatlah
orang paham bahwa stigma itu melukai.
d. Lawanlah stigma melalui kelompok. Setiap
kelompok dapat menemukan stigma dalam situasi
mereka sendiri dan setuju untuk melakukan satu
atau dua tindakan praktis agar terjadi
perubahan.
e. Mengatakan stigma sebagai sesuatu yang
“salah” atau “buruk” tidaklah cukup.
Bantulah orang untuk bertindak melakukan
perubahan. Setuju pada tindakan yang
harus dilakukan, mengembangkan rencana dan
lakukan.
f. Berpikir besar. Mulai dari yang kecil, dan
bertindak sekarang. Hal-‐hal yang dapat
dilakukan secara individual:
54
g. Waspada pada bahasa yang kita gunakan dan
hindari kata-‐kata yang menstigma.
h. Sediakan perhatian untuk mendengarkan dan
mendukung anggota keluarga ODHA di rumah.
i. Kunjungi dan dukung ODHA beserta
keluarganya di lingkungan tempat tinggal
kita.
j. Doronglah ODHA untuk menggunakan layanan
yang tersedia seperti konseling, test HIV,
pengobatan medis, ART, dan merujuk mereka
pada siapa pun yang dapat menolong.
Hal‐hal yang dapat kita lakukan dengan
melibatkan orang lain
k. Gunakan percakapan informal sebagai kesempatan
untuk membicarakan stigma.
l. Gunakan kisah nyata sehingga dapat menggambarkan
stigma dalam konteks praktis seperti misalnya:
cerita mengenai perlakuan buruk pada ODHA dapat
mengakibatkan depresi; demikian juga sebaliknya
kisah nyata mengenai perlakuan baik pada ODHA
dan hasil yang dapat dipetik.
55
m. Tanggapi kata-‐kata stigma ketika kita
mendengarnya, namun lakukanlah dengan cara-‐cara
yang bijak sehingga membuat orang mengerti
bahwa kata-‐kata mereka dapat melukai hati
orang.
n. Doronglah orang untuk berbicara mengenai
ketakutan dan kekhawatirannya mengenai HIV dan
AIDS.
o. Koreksilah mitos dan persepsi tentang AIDS dan
ODHA.
p. Promosikan ide mengenai “menjadi pendengar yang
baik dan bagaimana kita dapat mendukung ODHA
beserta keluarganya.”
Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Agar Masyarakat
Membicarakan Dan Bertindak Melawan Stigma yaitu :
a. Testimoni oleh ODHA maupun keluarganya mengenai
pengalaman mereka hidup dengan HIV atau hidup
dengan orang yang positif HIV.
b. Pengawasan bahasa (language watch). Lakukan
“survei mendengarkan” untuk mengidentifikasi
56
kata-‐kata yang menstigma yang sering digunakan
dalam masyarakat (di media maupun lagu ‐ lagu
populer)
c. Community mapping mengenai stigma. Tunjukkan
peta pada tempat pertemuan
d. Community walk untuk mengidentifikasi titik stigma
di masyarakat.
e. Pertunjukan Drama berdasarkan kisah nyata.
f. Pameran Gambar sebagai titik fokus untuk memulai
diskusi mengenai stigma.
D. LANDASAN TEORI
1. TEORI STIGMA SOSIAL (MENURUT : ERVING GOFFMAN 1963)15 )
Stigma sosial adalah ketidaksetujuan ekstrim (atau
ketidakpuasan dengan) orang atas dasar karakteristik sosial
yang dirasakan, dan melayani untuk membedakan mereka, dari
anggota lain dalam masyarakat. Stigma kemudian dapat
ditempelkan pada orang tersebut, oleh masyarakat yang lebih
besar, yang berbeda dari norma-norma budaya mereka.
57
Stigma sosial merupakan hasil dari persepsi (benar
atau salah) penyakit mental, cacat fisik, penyakit seperti
kusta (lihat kusta stigma), haram, orientasi seksual,
identitas gender, warna kulit, pendidikan, kebangsaan, etnis,
agama atau kurangnya beragama atau kriminalitas. Atribut yang
terkait dengan stigma sosial sering bervariasi tergantung
pada konteks sosial politik, geopolitik dan sesuai digunakan
oleh masyarakat, di berbagai belahan dunia.
Erving Goffman mendefinisikan stigma adalah proses
dimana reaksi orang lain, rampasan identitas normal. Tiga
bentuk stigma sosial menurut Goffman adalah:
a. Terang-terangan atau eksternal deformasi, seperti bekas
luka, manifestasi fisik anoreksia nervosa, kusta (lepra
stigma), atau cacat fisik atau cacat sosial, seperti
obesitas.
b. Penyimpangan dalam sifat-sifat pribadi, termasuk
penyakit mental, kecanduan narkoba, alkohol, dan latar
belakang kriminal stigma dengan cara ini.
c. Stigma Tribal adalah sifat-sifat, khayalan atau nyata,
kelompok etnis, kebangsaan, atau agama yang dianggap
58
sebagai penyimpangan dari etnis normatif yang berlaku,
kebangsaan atau agama.
Stigma adalah kata Yunani yang dalam asal-usulnya
merujuk pada jenis tanda atau tato yang dipotong atau dibakar
ke dalam kulit penjahat, budak, atau pengkhianat untuk tampak
mengidentifikasi mereka sebagai orang karatan atau moral
tercemar. Orang-orang ini harus dihindari atau dijauhi,
terutama di tempat-tempat umum. Stigma sosial dapat terjadi
dalam berbagai bentuk. Yang paling umum berkaitan dengan
budaya, obesitas, jenis kelamin, ras dan penyakit. Banyak
orang yang telah stigma merasa seolah-olah mereka berubah
dari manusia seutuhnya ke yang tercemar. Mereka merasa
berbeda dan mendevaluasi oleh orang lain. Hal ini dapat
terjadi di tempat kerja, pengaturan pendidikan, perawatan
kesehatan, sistem peradilan pidana, dan bahkan dalam keluarga
mereka sendiri. Misalnya, orang tua dari wanita kelebihan
berat badan cenderung untuk membayar untuk pendidikan
perguruan tinggi anak mereka daripada orang tua dari
perempuan berat badannya rata-rata saja16.
59
Menurut Mayor O’Brien 2005, Stigma dapat
mempengaruhi perilaku orang-orang yang dituduh. Mereka yang
stereotip sering mulai bertindak dengan cara yang
stigmatizers mereka harapkan dari mereka. Ini tidak hanya
mengubah perilaku mereka, tetapi juga membentuk emosi dan
keyakinan mereka. Anggota kelompok sosial stigma sering
menghadapi prasangka yang menyebabkan depresi (yaitu
deprejudice). Stigma ini menempatkan identitas sosial
seseorang dalam situasi yang mengancam, seperti rendah diri,
Karena itu, teori identitas telah menjadi sangat diteliti.
Teori ancaman identitas dapat di dalam Pelabelan Teori17.
Sosiolog Perancis Émile Durkheim adalah orang
pertama yang menjelajahi Stigma sebagai fenomena sosial pada
tahun 1895. Dia menulis:
Bayangkan sebuah masyarakat kudus, biara sempurna individu teladan.
Kejahatan atau penyimpangan, baik yang disebut, akan ada tidak diketahui,
tetapi kesalahan, yang muncul ringan bagi orang awam, akan menciptakan
skandal yang sama bahwa tindak pidana biasa tidak dalam kesadaran biasa.
Jika kemudian, masyarakat ini memiliki kuasa untuk menghakimi dan
60
menghukum, akan menentukan tindakan-tindakan ini sebagai kejahatan (atau
menyimpang) dan akan memperlakukan mereka seperti itu18
Goffman adalah salah satu sosiolog yang paling
berpengaruh pada abad kedua puluh. Ia mendefinisikan Stigma
sebagai:
Fenomena dimana seorang individu dengan atribut
sangat didiskreditkan oleh masyarakatnya ditolak sebagai
akibat dari atribut. Menurut Goffmen 1963 mengatakan bahwa
Stigma adalah suatu proses dimana reaksi orang lain merusak
identitas normal. Dalam teori stigma social Erving Goffman,
stigma merupakan atribut, perilaku, atau reputasi sosial yang
mendiskreditkan dengan cara tertentu. hal itu menyebabkan
seorang individu untuk secara mental diklasifikasikan oleh
orang lain dalam hal yang tidak diinginkan, menolak stereotip
daripada di diterima, yang normal satu. Goffman, sosiolog
mencatat, stigma sebagai jenis khusus dari kesenjangan antara
identitas sosial virtual dan identitas sosial actual.
Masyarakat menetapkan cara orang mengelompokkan dan
komplemen dari atribut dirasakan biasa dan alami bagi anggota
masing-masing kategori. Ketika orang asing datang ke
61
kehadiran kami, kemudian, penampilan pertama cenderung
memungkinkan kita untuk mengantisipasi kategori dan atribut,
"identitas sosial"-nya. Kami bersandar pada antisipasi ini
yang kita miliki, mentransformasikannya menjadi harapan
normatif, menjadi selayaknya disajikan tuntutan. Ini adalah
ketika pertanyaan aktif muncul adalah apakah tuntutan ini
akan diisi bahwa kita akan menyadari bahwa selama ini kita
telah membuat asumsi-asumsi tertentu seperti apa individu
sebelum kami seharusnya. Tuntutan diasumsikan dan karakter
kita menyalahkan kepada individu akan disebut identitas
sosial virtual. Kategori dan atribut yang sebenarnya dapat
terbukti memiliki akan disebut identitasnya yang sebenarnya
sosialnya. (Goffman 1963:2). Sementara orang asing hadir di
hadapan kita, bukti dapat timbul nya memiliki atribut yang
membuatnya berbeda dari orang lain dalam kategori orang yang
tersedia baginya untuk menjadi, dan sejenisnya kurang
diinginkan - dalam ekstrem, seseorang yang cukup benar-benar
buruk, atau berbahaya, atau lemah. Dia adalah justru
berkurang dalam pikiran kita dari manusia seutuhnya dan biasa
untuk tercemar, satu potongan. Seperti atribut sebuah stigma,
terutama ketika efek mendiskreditkan yang sangat luas. Ini
62
merupakan perbedaan khusus antara identitas sosial virtual
dan aktual. Perhatikan bahwa ada jenis lain seperti perbedaan
misalnya jenis yang menyebabkan kita untuk mereklasifikasi
individu dari satu kategori diantisipasi sosial ke satu yang
berbeda namun sama-sama baik diantisipasi, dan jenis yang
menyebabkan kita untuk mengubah estimasi kami dari individu
ke atas.19)
Goffman membagi hubungan individu stigma ke dalam
tiga kategori:
a. Yang stigma adalah mereka yang menanggung stigma;
b. Normals adalah mereka yang tidak menanggung stigma, dan
c. Yang bijaksana adalah mereka antara normals yang
diterima oleh stigma sebagai "bijaksana" untuk kondisi
mereka (meminjam istilah dari komunitas homoseksual).
Goffman menekankan bahwa hubungan stigma adalah
salah satu antara individu dan pengaturan sosial dengan
himpunan harapan, dengan demikian, semua orang pada waktu
yang berbeda akan memainkan kedua peran dari stigma dan
stigmatizer (atau, seperti yang ia katakan, "normal").
Goffman memberikan contoh bahwa "beberapa pekerjaan di
63
Amerika menyebabkan pemegang tanpa pendidikan tinggi
diharapkan untuk menyembunyikan fakta ini, pekerjaan lain,
bagaimanapun, dapat menyebabkan beberapa pemegang mereka yang
memiliki pendidikan tinggi untuk menjaga rahasia ini, karena
mereka akan ditandai . sebagai kegagalan.
Dari perspektif stigmatizer tersebut, stigmatisasi
melibatkan dehumanisasi, ancaman, keengganan klarifikasi
diperlukan dan kadang-kadang depersonalisasi orang lain
menjadi karikatur stereotip. Stigma orang lain dapat melayani
beberapa fungsi bagi seorang individu, termasuk peningkatan
harga diri, peningkatan kontrol, dan kecemasan buffer,
melalui bawah-perbandingan-membandingkan diri kepada yang
kurang beruntung lainnya dapat meningkatkan perasaan
subyektif seseorang sendiri kesejahteraan dan karena itu
meningkatkan diri seseorang- esteem.
Menurut Heartherton, at all, 2000, Psikolog sosial
abad ke-21 mempertimbangkan stigma dan stereotip menjadi
konsekuensi normal dari kemampuan kognitif manusia dan
keterbatasan, dan informasi sosial dan pengalaman yang mereka
hadapi. Pandangan saat stigma, dari perspektif kedua
64
stigmatizer dan orang stigma, mempertimbangkan proses stigma
menjadi sangat situasional spesifik, dinamis, kompleks dan
nonpathological. 20 )
Bruce Link dan Jo Phelan mengusulkan bahwa stigma
ada ketika empat komponen tertentu berkumpul yaitu : 21 )
a. Individu membedakan dan label variasi manusia.
b. Kepercayaan budaya yang berlaku mengikat mereka label
untuk atribut yang merugikan.
c. Individu berlabel ditempatkan dalam kelompok-kelompok
dibedakan yang berfungsi untuk membangun rasa pemutusan
antara "kami" dan "mereka".
d. Berlabel individu mengalami "kehilangan status dan
diskriminasi" yang mengarah ke situasi yang tidak setara.
Dalam model ini stigmatisasi juga bergantung pada
"akses ke kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang
memungkinkan identifikasi perbedaan, konstruksi stereotip,
pemisahan orang berlabel ke dalam kelompok yang berbeda, dan
pelaksanaan penuh ketidaksetujuan, penolakan, pengucilan, dan
diskriminasi. " Selanjutnya, dalam model ini stigma istilah
diterapkan ketika label, stereotip, pemutusan, kehilangan
65
status, dan diskriminasi semua ada dalam situasi listrik yang
memfasilitasi stigma terjadi.
Komponen pertama dari mengidentifikasi perbedaan
manusia penting, karena itu layak pelabelan, adalah proses
sosial. Ada dua faktor utama untuk memeriksa ketika
mempertimbangkan sejauh mana proses ini adalah satu social
yaitu :
a. Penyederhanaan yang signifikan diperlukan untuk membuat
grup. Kelompok luas hitam dan putih, homoseksual dan
heteroseksual, yang waras dan sakit mental, dan muda dan
tua adalah contoh dari ini.
b. Perbedaan yang secara sosial dinilai tidak relevan
berbeda jauh menurut waktu dan tempat. Sebuah contoh
dari hal ini adalah penekanan yang diletakkan pada
ukuran dahi dan wajah orang di akhir abad 19 yang
diyakini menjadi ukuran alam kriminal seseorang.
Komponen kedua dari model ini berpusat pada
menghubungkan perbedaan berlabel dengan stereotip. Goffman
1963 bekerja membuat aspek stigma yang menonjol dan telah
menjadi tetap sejak itu.
66
Komponen Ketiga dari komponen ini menghubungkan
atribut negatif terhadap kelompok memfasilitasi pemisahan
menjadi "kita" dan "mereka". Melihat kelompok dicap sebagai
penyebab fundamental berbeda stereotip dengan sedikit ragu-
ragu. "Kami" dan "mereka" menyiratkan bahwa kelompok berlabel
sedikit kurang manusiawi di alam, dan pada ekstrim bukan
manusia sama sekali. Pada ekstrim, peristiwa yang paling
mengerikan terjadi.
Komponen keempat dari stigmatisasi dalam model ini
termasuk "status kerugian dan diskriminasi". Para anggota
kelompok berlabel kemudian dirugikan dalam kelompok yang
paling umum dari kesempatan hidup termasuk pendapatan,
pendidikan, kesejahteraan mental, status perumahan,
kesehatan, dan perawatan medis. Dengan demikian, stigmatisasi
oleh mayoritas, yang kuat, atau "superior" mengarah ke
Othering dari minoritas, tak berdaya, dan "rendah". Dimana
oleh individu stigma menjadi dirugikan karena ideologi yang
diciptakan oleh "diri," yang merupakan gaya yang berlawanan
dengan "lain." Akibatnya, yang lain menjadi sosial
67
dikecualikan dan mereka alasan daya pengecualian berdasarkan
karakteristik asli yang menyebabkan stigma.
2. TEORI PELABELAN (FRANK TANNENBAUM DAN ÉMILE DURKHEIM 1960
- AN DAN 1970 – AN) 22 )
Teori Pelabelan berkaitan erat dengan analisis
sosial-konstruksi dan simbolik-interaksi . Teori Pelabelan
dikembangkan oleh sosiolog selama tahun 1960. Dalam Buku
Outsiders Howard Saul Becker sangat berpengaruh dalam
pengembangan teori ini dan kebangkitannya untuk popularitas.
Pelabelan teori menyatakan penyimpangan yang tidak melekat
pada suatu tindakan, melainkan berfokus pada kecenderungan
mayoritas untuk label negatif minoritas atau yang terlihat
sebagai menyimpang dari norma-norma budaya standar. Teori
ini berkaitan dengan bagaimana identitas diri dan perilaku
individu dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh istilah yang
digunakan untuk menggambarkan atau mengklasifikasikan mereka.
Hal ini terkait dengan konsep self-fulfilling prophecy dan
stereotip. Deskriptor yang tidak diinginkan atau kategorisasi
- termasuk istilah yang terkait dengan penyimpangan, cacat
68
atau diagnosis gangguan mental - dapat ditolak atas dasar
bahwa mereka hanya "label", sering dengan upaya untuk
mengadopsi bahasa yang lebih konstruktif di tempatnya. Stigma
didefinisikan sebagai label negatif yang kuat mengubah konsep
diri seseorang dan identitas social (4).
Pelabelan teori memiliki asal-usul dalam Suicide,
sebuah buku oleh sosiolog Perancis Émile Durkheim. Ia
menemukan bahwa kejahatan tidak begitu banyak melanggar hukum
pidana karena merupakan tindakan yang murka masyarakat. Dia
adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa label menyimpang
bahwa memenuhi fungsi dan memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
mengontrol perilaku.
George Herbert Mead mengemukakan bahwa diri secara
sosial dibangun dan direkonstruksi melalui interaksi yang
dimiliki tiap orang dengan masyarakat. Orang memperoleh label
dari bagaimana orang lain melihat kecenderungan atau perilaku
mereka. Setiap individu menyadari bagaimana mereka dinilai
oleh orang lain karena ia telah mencoba banyak peran dan
fungsi yang berbeda dalam interaksi sosial dan telah mampu
mengukur reaksi yang hadir (33).
69
Ini secara teoritis membangun konsepsi subjektif
dari diri, tetapi yang lain menyusup ke realitas kehidupan
individu tersebut, ini merupakan data objektif yang mungkin
memerlukan re-evaluasi konsepsi bahwa tergantung pada
keotoritatifan penghakiman orang lain. Keluarga dan teman-
teman dapat menilai secara berbeda dari orang asing.
Perwakilan Sosial individu seperti polisi atau hakim mungkin
dapat membuat penilaian lebih global dihormati. Jika
penyimpangan adalah kegagalan untuk mematuhi aturan-aturan
diamati oleh sebagian besar kelompok, reaksi kelompok adalah
untuk label orang sebagai telah tersinggung terhadap norma-
norma sosial atau moral perilaku mereka. Ini adalah kekuatan
kelompok: untuk menunjuk pelanggaran aturan mereka sebagai
penyimpang dan memperlakukan orang berbeda tergantung pada
keseriusan pelanggaran. Semakin diferensial pengobatan,
semakin banyak citra diri individu dipengaruhi.
Peran sosial adalah seperangkat harapan yang
dimiliki tentang perilaku. Peran sosial yang diperlukan bagi
organisasi dan fungsi dari setiap masyarakat atau kelompok.
Perilaku menyimpang dapat mencakup kegiatan kriminal dan non-
kriminal (4).
70
Hal yang Selalu melekat dalam peran menyimpang
adalah atribusi dari beberapa bentuk "polusi" atau perbedaan
yang menandai berlabel sebagai pribadi yang berbeda dari
orang lain. Masyarakat menggunakan peran-peran stigma kepada
mereka untuk mengontrol dan membatasi perilaku menyimpang:
"Jika Anda melanjutkan perilaku ini, Anda akan menjadi
anggota dari kelompok orang."
Sebagai contoh, perzinahan dapat dianggap sebagai
pelanggaran aturan resmi atau dapat dikriminalisasi
tergantung pada status perkawinan, moralitas, dan agama dalam
masyarakat. Di sebagian besar negara-negara Barat, perzinahan
bukanlah sebuah kejahatan. Namun di beberapa negara Islam,
zina adalah kejahatan dan bukti kegiatan luar nikah dapat
menyebabkan konsekuensi berat bagi semua pihak.
Stigma biasanya merupakan hasil dari hukum yang
berlaku terhadap perilaku. Hukum melindungi perbudakan atau
melarang homoseksualitas, misalnya, akan mengungguli bentuk
waktu peran menyimpang terhubung dengan perilaku tersebut.
Mereka yang ditugaskan peran tersebut akan dipandang sebagai
kurang manusiawi dan dapat diandalkan. Peran Deviant adalah
71
sumber stereotip negatif, yang cenderung mendukung penolakan
masyarakat terhadap perilaku (51).
Menurut Mead, pikiran adalah suatu proses sosial dan
pragmatis, berdasarkan pada model dua orang membahas
bagaimana untuk memecahkan masalah. Konsep sentral Mead
adalah diri, bagian dari kepribadian seorang individu terdiri
dari kesadaran diri dan citra diri kami, pada kenyataannya,
dibangun dari ide-ide tentang apa yang kita pikir orang lain
berpikir tentang kami.. Sementara kita mengolok-olok orang-
orang yang terlihat berbicara sendiri, mereka hanya gagal
untuk melakukan apa yang sisa dari kita lakukan dalam menjaga
percakapan internal untuk diri kita sendiri. Mead menyatakan,
Perilaku manusia adalah hasil dari makna diciptakan oleh
interaksi sosial percakapan, baik yang nyata maupun imajiner
(13).
Frank Tannenbaum dianggap sebagai kakek dari
pelabelan teori. Kejahatan dan Komunitas nya (1938),
menggambarkan interaksi sosial yang terlibat dalam kejahatan,
dianggap sebagai landasan penting kriminologi modern.
Sementara kriminal berbeda sedikit atau tidak sama sekali
dari orang lain dalam dorongan asli untuk pertama melakukan
72
kejahatan, rekening interaksi sosial untuk tindakan lanjutan
yang mengembangkan pola yang menarik bagi sosiolog (14).
Tannenbaum pertama kali memperkenalkan gagasan
'penandaan'. Sementara melakukan studinya dengan pemuda
nakal, ia menemukan bahwa tag atau label negatif sering
berkontribusi keterlibatan lebih jauh dalam kegiatan
tertunggak. Ini penandaan awal dapat menyebabkan individu
untuk mengadopsi itu sebagai bagian dari identitas mereka.
Inti argumen Tannenbaum adalah bahwa semakin besar perhatian
ditempatkan pada label ini, semakin besar kemungkinan orang
tersebut untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai label (14).
Sosiolog Edwin Lemert (1951) telah memperkenalkan
konsep "penyimpangan sekunder." Penyimpangan primer adalah
pengalaman yang terhubung ke perilaku terbuka, mengatakan
kecanduan narkoba dan tuntutan dan konsekuensi praktis.
Penyimpangan sekunder adalah peran yang diciptakan untuk
menangani kecaman masyarakat perilaku. Dia menjelaskan
tindakan menyimpang adalah tindakan sosial, akibat dari
kerjasama masyarakat. Dalam mempelajari kecanduan narkoba,
Lemert mengamati kekuatan yang sangat kuat dan halus di
tempat kerja. Selain kecanduan fisik untuk obat dan semua
73
gangguan ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya, ada proses
intens intelektual di tempat kerja menyangkut identitas
seseorang dan pembenaran untuk perilaku: "Saya melakukan hal-
hal karena saya seperti ini" (26)
Tuntutan masyarakat dipenuhi dengan kontradiksi. Di
satu sisi, orang stigma mungkin diberitahu bahwa ia tidak
berbeda dari orang lain. Di sisi lain, ia harus menyatakan
statusnya sebagai "penduduk asing yang singkatan dari
kelompoknya." "Hal ini membutuhkan bahwa individu stigma
riang dan sadar diri menerima dirinya sebagai dasarnya sama
dengan normals, sementara pada saat yang sama ia sukarela
menahan diri dari situasi-situasi di mana normal akan sulit
untuk memberikan layanan untuk penerimaan yang sama antara
mereka dan dia(52).
3. THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR (TPB)
Mulai tahun 1980 Teori Of Planed Behaviour (TPB)
digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk
mengembangkan intervensi-intervensi yang lebih mengena. Dalam
Theory of Planned Behaviour (TPB) terdapat beberapa komponen
diantaranya (2) :
74
1. Perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu
stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan
mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik
disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan
berbagai faktor yamg saling berinteraksi. Sering tidak
disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks
sehingga kandang-kadang kita tidak sempat memikirkan
penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena
itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik
perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku
tersebut, (Wawan, 2010) (10).
2. Niat Perilaku
Niat terkait erat dengan sikap dan perilaku. Niat
dapat terjadi sebagai reaksi ke arah perilaku yang
didorong oleh suatu sikap tertentu atau variabel yang
lain. Beberapa aspek niat yang patut mendapatkan
perhatian adalah sebagai berikut (B.S Dharmmesta, 1998)
(10).
75
1. Niat dianggap “penangkap” atau perantara faktor-faktor
motivasi yang mempunyai dampak pada suatu perilaku.
2. Niat menunjukkan seberapa keras seseorang berani
mencoba. Aspek ini menunjukkan bahwa niat sudah
diwujudkan dalam bentuk adanya suatu
tindakan/perilaku.
3. Niat juga menunjukkan seberapa banyak upaya yang
direncanakan seseorang untuk dilakukan. Aspek ini
menunjukkan bahwa upaya yang direncanakan sebagai
bentuk realisasi dari niat tersebut dimaksudkan agar
perilaku yang didorong oleh niat tersebut dapat
berhasil diwujudkan (dilakukan).
4. Niat adalah paling dekat berhubungan dengan perilaku
selanjutnya.
Niat dianggap satu dari variabel-variabel yang
menentukan perilaku yang sebenarnya.
3. Sikap Terhadap Perilaku
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia
terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue
76
(Petty, 1986 dalam Azwar S., 2000 : 6). Sikap
merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Soekidjo
Notoatmojo, 1997 : 130). Sikap adalah pandangan-
pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan
untuk bertindak sesuai sikap objek tadi (Heri Purwanto,
1998).
Thomas dan Znaniecki (1920) menegaskan bahwa sikap
adalah predisposisi untuk melakukann atau tidak
melakukan suatu perilaku untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan
hanya kondisi internal psikologis yang murni dari
individu, tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran
yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi
secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.
Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan
individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang
ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (10).
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling
menunjang yaitu (Azwar S., 2000)
77
1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang
dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen
kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki
individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan
(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau
problem yang kontroversial.
2. Komponen Afektif merupakan perasaan yang menyangkut
aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap
seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan
yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
3. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki
oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan
untuk bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan
cara-carca tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang
dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa
sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk
tendensi perilaku.
78
Sifat sikap dapat berupa sifat positif dan dapat
pula berupa sifat negatif (Heri Purwanto, 1998). Sifat
positif merupakan kecenderungan tindakan untuk
mendekati, menyenangi, mengaharapkan obyek tertentu.
Sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
4. Norma Subyektif
Norma adalah suatu konversi sosial yang mengatur
kehidupan manusia. Norma subjektif (subjective norm),
merujuk pada tekanan social yang dihadapi individu
untuk dapat menampilkan perilaku tertentu ataupun tidak
menampilkannya(2).
Norma subjektif menggambarkan fenomena mengenai
apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang
berpengaruh dalam hidupnya atau tidak.
5. Kontrol Perilaku yang dirasakan (Perceived Behaviour Control)
Tingkatan atas control perilaku yang dihayati (the
degree of perceived behavioral control), merujuk pada
kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku
79
tertentu, serta asumsi yang dibuat oleh individu yang
mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai bahan
antisipasi dalam menghadapi rintangan. Jadi, semakin
favorable suatu sikap dan norma subyektif terhadap
perilaku, serta semakin besar control terhadap perilaku
yang diterima, maka akan semakin besar intensi individu
untuk menampilakn suatu perilaku(2).
E. KERANGKA TEORI
1. Kerangka Teori Stigma dan Pelabelan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan
kerangka teori yaitu bahwa stigma terjadi karena adanya
penilaian negatip terhadap perilaku yang melanggar norma
social, norma agama atau aturan dalam kehidupan
bermasyarakat. Stigma juga terjadi karena ketakutan terhadap
apa yang diderita orang. Ketakutan itu terjadi karena adanya
praduga bahwa penyakit yang diderita itu dapat menimbulkan
bahaya bagi orang lain disekitarnya. Sebagai aplikasi
fenomenologi, teori hipotesis bahwa label diterapkan pada
individu mempengaruhi perilaku mereka, terutama penerapan
label negatif atau stigma (seperti "kriminal" atau
80
"penjahat") mempromosikan perilaku menyimpang, menjadi self-
fulfilling prophecy, yaitu seorang individu yang diberi label
memiliki sedikit pilihan selain untuk menyesuaikan diri
dengan arti penting dari penilaian tersebut. Akibatnya,
pelabelan teori mendalilkan bahwa adalah mungkin untuk
mencegah penyimpangan sosial melalui reaksi mempermalukan
sosial yang terbatas dalam "labelers" dan mengganti
keberangan moral dengan toleransi. Penekanan ditempatkan pada
rehabilitasi pelanggar melalui perubahan label mereka.
Kebijakan pencegahan terkait termasuk skema pemberdayaan
klien, mediasi dan konsiliasi, upacara pengampunan korban-
pelaku (keadilan restoratif), restitusi, reparasi, dan
alternatif untuk program penjara yang melibatkan
penyelewengan. Teori Pelabelan telah dituduh mempromosikan
implikasi kebijakan praktis, dan dikritik karena gagal untuk
menjelaskan pelanggaran paling serius masyarakat.
Beberapa pelanggaran, termasuk penggunaan kekerasan,
diakui secara universal sebagai salah. Oleh karena itu,
pelabelan baik penjahat kebiasaan atau mereka yang telah
menyebabkan bahaya serius sebagai "penjahat" yang tidak
konstruktif. Masyarakat dapat menggunakan label yang lebih
81
spesifik seperti "pembunuh" atau "pemerkosa" atau "anak
pelaku" untuk menunjukkan lebih jelas setelah acara tingkat
ketidaksetujuan, tetapi ada sedikit determinisme mekanis
menegaskan bahwa penerapan label akan selalu memodifikasi
perilaku yang berlabel. Selanjutnya, jika salah satu fungsi
dari sistem pemasyarakatan adalah untuk mengurangi
residivisme, menerapkan label jangka panjang dapat
menyebabkan prasangka terhadap pelaku, sehingga
ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan dan hubungan
sosial.
Konstruksi sosial perilaku menyimpang memainkan peran
penting dalam proses pelabelan yang terjadi di masyarakat.
Proses ini tidak hanya melibatkan pelabelan perilaku kriminal
menyimpang, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan norma-
norma sosial dibangun, tetapi juga label bahwa yang
mencerminkan perilaku stereotip atau stigma dari "sakit
mental"
Dari ulasan di atas dapat diartikan bahwa munculnya
HIV/AIDS dalam diri ODHA terjadi karena adanya perilaku
melanggar norma social, norma agama dan aturan social yang
telah dibangun sebagai penuntun hidup di mana manusia itu
82
berada. Justifikasi stigma terhadap ODHA muncul dari berbagai
factor adanya asas kebenaran yang dihubungkan dengan kebenaran
yang bersumber pada norma social,norma agama, pendidikan dan
hukum yang telah dibangun.
Selain itu stigma terhadap ODHA dikarenakan adanya
praduga bahwa ODHA akan membahayakan orang sekitar, maka
mereka harus dijauhi.
83
Gambar 2.2 Kerangka Teori : stigma berdasarkan teori
Pelabelan dan teori Stigma :
Struktur Kehidupan
Karekteristik Responden : Umur, Jenis
Kelamin, Pendidikan, Status Perkawinan,
ODHA
didisk
rimina
si
dalam
Butuh peran UU kesehatan no.36 pasal 2 :
…salah satu poinnya : pelayan non
ODHA
dinilai
berperil
aku
Asas
Pembenaran
dalam
masyarakat :
Norma
masyarakat,
Budaya
masyarakat,
Agama
masyarakat,
ODHA
distig
MasyarakatPenilaian
Perilaku
Individu
oleh
Keluarga
Individu
84
A.
Gambar 2.1 : Teori Pelabelan Menurut : Dalam Buku Outsiders
Howard Saul Becker pada tahun 1960 dan Frank Tannenbaum tahun
1938 , dan beberapa sosiolog lainya yang membenarkan teori
Pelabelan dan Teori Stigma menurut Goffman 1963.
Individu diterimaPerilaku
baik
Konsekuensi yang dipikirkan masyakat
terhadap ODHA
Motivasi masyarakat
dianggap penting sehingga ODHA
distigma
Faktor Pengendalian Internal : Persepsi diri individu dalam masyarakat mampu atau tidak agar tidak stigma
terhadap ODHA Faktor Pengendalian Eksternal : Jika individu dalam
masyarakat mampu untuk tidak berstigma apakah
didukung oleh masyarakat umum?
Norma masyarakat,
Budaya masyarakat,
Agama masyarakat, Hukum yang berlaku
Pengendalian Perilaku : menstigma ODHA
Niat masyarakat untuk menstigma
ODHA distigma
di masyarakatd
an didiskriminasi pada layanan kesehatan
Sikap masyarakat
untuk berstigma
Niat Petugas Layanan Kesehatan mendiskriminasi terhadap ODHA
Pengendalian perilaku : mendiskriminasi ODHA
85
2. KERANGKA THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR (TPB)
Gambar 2.3 : Kerangka Theoy Of Planed Behaviour (TPB) (1) :
86
Skema Theory of Planned Behaviour (dari Ajzen, 1991)
3. KERANGKA THEORY : GABUNGAN THEORY STIGMA DAN THEORY OF PLANED BEHAVIOUR(TPB) :
Variable
Demografi :
Umur, Jenis
Kelamin, Lama
ODHA
terdiagnosa
HIV positip,
Konsekuensi Konsekuensi yang yang dipikirkan dipikirkan masyakat masyakat
Sikap
masyarakat
Niat
masyarakat
untuk
MotivasiMotivasimasyarakatmasyarakatdianggapdianggappentingpenting
NormaNormamasyarakatmasyarakat, Budaya, Budayamasyarakatmasyarakat, Agama, Agamamasyarakatmasyarakat, Hukum, Hukum
Variable
Stigma
Masyarakat
Stigma dan
diskrimina
si
•• FaktorFaktorPengendalian InternalPengendalian Internal: Persepsi diri: Persepsi diriindividu dalamindividu dalammasyarakat mampu ataumasyarakat mampu atautidak agar tidaktidak agar tidakstigma terhadap ODHAstigma terhadap ODHA•• FaktorPengenda FaktorPengendalian Eksternal : Jikalian Eksternal : Jikaindividu dalamindividu dalam
Variable
Diskriminasi
Layanan
Kesehatan
Pengend
alian
prilaku
Niat
masyaraka
t untuk
diskrimin
Pengendal
ian
prilaku
87
Gambar 2.4 : Modifikasi Theory Of Planed Behaviour (TPB) menurut Dr.I.Ajzen 1985 dan Theory
Stigma menurut Goffmen 1963. Keterangan : : Variabel Tidak
diteliti. : Variabel yang
diteliti.
88
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep merupakan sesuatu yang abstrak logical secara
arti harafiah dan akan membantu peneliti dalam menghubungkan
hasil penelitian dengan body of knowledge (Nursalami,2002).
Berdasarkan kerangka teori dari Teori Pelabelan Menurut :
Dalam Buku Outsiders Howard Saul Becker pada tahun 1960 dan
Frank Tannenbaum tahun 1938, dan beberapa sosiolog lainya yang
membenarkan teori Pelabelan dan teori Stigma menurut Goffman
1963 yang ada pada gambar 1.2 maka dapat digambarkan kerangka
konsep sebagai berikut : Gambar 3.1 Kerangka konsep :
Variable independent(bebas)
Variable dependen(terikat)Asas
Pembenaran
: Norma
agama,
norma
Variabel
Stigma
Masyarakat
Variabel
Diskrimin
asi
Pengalaman
yang dialami
ODHA akibat
dari stigma
masyarakat
dan
diskriminasi
layanan
kesehatan
Variabel
Sosio-
89
Keterangan : Variabel Terikat (dependen Variable) adalah
variabel yang akan diteliti oleh peneliti.
B. HIPOTESIS PENELITIAN (6):
Hipotesis kuantitatif merupakan prediksi – prediksi yang
buat oleh penelit tentang hubungan antara variabel yang
diharapkan. Ada pun hipotesis dalam penelitian ini adalah
hipotesis nol yaitu memprediksikan ada hubungan dan ada
pengaruh antara Variabel stigma masyarakat dengan ODHA, ada
hubungan dan ada pengaruh diskriminasi layanan kesehatan
dengan ODHA dan ada hubungan variabel stigma masyarakat dan
diskriminasi layanan kesehatan dengan variabel
sosiodemografi. Berikut adalah beberapa Hipotesis Nol yang
dirumuskan peneliti :
1. Ada stigma masyarakat di kota Kupang terhadap orang
dengan HIV/AIDS
Layanan
Kesehatan
90
2. Ada diskriminasi layanan kesehatan terhadap orang
dengan HIV/AIDS di Kota Kupang
3. Ada pengaruh stigma terhadap ODHA di Kota Kupang
4. Ada pengaruh Diskriminasi Layanan Kesehatan terhadap
ODHA di Kota Kupang
5. Ada hubungan antara stigma masyarakat terhadap ODHA
dengan kemampuan ODHA menjalankan pengobatan ARV
6. Ada hubungan antara diskriminasi Layanan Kesehatan
dengan kemampuan ODHA untuk melanjukan pengobatan ARV.
7. Ada hubungan antara Stigma dengan Sosiodemografi
( Umur ODHA, Jenis Kelamin ODHA, Lama ODHA terdiagnosa
positip HIV, Pendidikan ODHA, Status Perkawianan ODHA,
Pekerjaan ODHA, Agama )
8. Ada hubungan antara Stigma dengan Sosiodemografi
( Umur ODHA, Jenis Kelamin ODHA, Lama ODHA terdiagnosa
positip HIV, Pendidikan ODHA, Status Perkawinan ODHA,
Pekerjaan ODHA, Agama yang dianut ODHA).
91
C. DEFENISI OPERASIONAL
Tabel 3.1. Definisi operasional.
1. Variabel Sosiodemografi.
No.
Varible
DefinisiOperasional
Indikator Alat ukur Skor skalapengukuran
Skala
1. Umur Lama ODHAhidup diukurdalam tahunsejak lahirsampai saatmengisikuisionerpenelitian
Dewasamuda dandewasatua
Kartuidentitas ygmasihberlaku
Dikategorikan:Nilai 1 =dewasa mudaNilai 2 =dewasa tua.Bila databerdistribusinormal makadigunakanmean, danbila databerdistribusitidak normalmakadigunakanmedian
Ordinal
2. Jeniskelam
Jenis Sex ODHA Pria Wanita
Kartuidentitas
Dikategorikan:
Nominal
92
in yang berlaku Nilai 1=laki-lakiNilai2=perempuan.Bila databerdistribusinormal makamenggunakanmean, jikadataberdistribusitidak normalmenggunakanmedian.
3. LamaODHAterdiagnosa HIVPositip
Penggolonganlama waktu ODHAterdiagnosapositip HIV
<2 tahun 2-3 tahun 3-4 tahun > 5 tahun
Data di KPADProvinsi NTT
Dikategorikan:1= selama <2tahun2= selama 2-3tahun3= selama 3-4tahun4= selama >5tahun
Ordinal
4. PendidikanODHA
Pendidikanterakhir ODHA
Tidaksekolah
SD SMP SMA
Kuisioner Dikategorikan:Tidak Sekolahnilai = 0SD nilai = 1
Ordinal
93
Sarjana SMP nilai = 2SMA nilai = 3Sarjana nilai= 4
5. PekerjaaanODHA
Upaya ataukegiatan yangdilakukan ODHAuntukmendapatkan upahguna memenuhikebutuhan hidupsehari-hari.Kriteria bekerjaadalah kegiatansetiap hariuntukmendapatkanimbalan
Nganggur Wiraswasta
PNS Lain-lain
Kuisioner Dikategorikan:Nganggurdiberi nilai= 0Wiraswastanilai = 1PNS nilai = 2Lain-lain = 3
nominal
6. StatusPerkawinanODHA
Perkawinanmerupakan ikatanhubungan suamiistri menurutaturan sipil danmenurut agamayang dianutODHA. Statusperkawinan ODHAmerupakankondisi hubungan
Single Menikah Janda/duda
Cerai Hidupterpisah
Kuisioner Dikategorikan:Single diberinilai = 1Menikahdiberi nilai= 2Janda/dudadiberi nilai= 3Cerai diberi
Nominal
94
suami istridalam ikatanperkawinanapakah masihutuh atau sudahtidah utuh lagi.
nilai =4Hidupterpisahdiberi nilai= 5
7. Agama Agama yangdianut oleh ODHA
Katolik Protesta
n Islam Hindu Budha
Kartuidentitasyang masihberlaku
Dikategorikan:1= katolik2= protestan3= Islam4= Hindu5= Budha
nominal
2. Variable Stigma Masyarakat Yang Di Alami ODHA8. Stigma
MasyarakatyangdialamiODHA
Semua bentukstigma darimasyarakat ditempat ODHAtinggal terhadapODHA yangdialami ODHA diKota Kupang
BagaimanaperasaanODHAketikapertamakalimendengarpositiveHIV
Kuisioner Dikategorikan :1= biasasaja2= perasaanbunuh diri3= malu4= sangatsedih5= lain-lain
nominal
ApakahstatusHIVpositip
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
95
berpengaruhterhadappekerjaan ODHA
Positip :jawaban,”tidak”
ApakahpasanganODHA HIVpositipjuga
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
Nominal
ApakahODHAmampumengatakanstatusHIVkepadaOranglain
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
Nominal
ApakahstatusHIV
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya
Dikategorikan :1= ya
nominal
96
diketahui oranglain
” Positip :jawaban,”tidak”
2= tidak
ApakahODHAmasihberhubungan baikdengankeluarga
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
ApakahODHAberhubungan baikdenganoranglainsebelumpositipHIV
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya” Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
ApakahODHA ditolakoleh
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
97
masyarakat.
Positip :jawaban,”tidak”
ApakahODHAmendapatkekerasan verbaldarimasyarakatseperti :dicemooh,disindiri,diolok,diludahi, ataudisendirikan.
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya” Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
Apakahandaselalutidakdiundangdalam
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya” Positip :jawaban,”ti
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
98
kegiatanlingkungantempatandatinggal?
dak”
Apakahandadilarangmenggunakanfasilitas umum?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya” Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
nominal
Apakahorang-orang,rekankerjadikantoratauditempatkerjaandatidakbergauldengan
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya” Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan :1= ya2= tidak
Nominal
99
anda?3. Variable diskriminasi layanan kesehatan
9. Diskriminasilayanankesehatanyangdialami ODHAdiKotakupang
Bentuk perilakudiskriminasilayanankesehatan yangdilakukanpetugaskesehatan yangdialami ODHA dikota Kupang
ApakahODHAsedangdalampengobatan?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan : 1= ya2= tidak
Nominal
Apakahdenganmengambilpengobatan Anti-RetroviralberartimemyampaikanstatusODHAkepadaoranglain?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
nominal
ApakahODHAakanberhenti
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :
Nominal
100
berobatjikaoranglainmengetahuistatusHIV?
jawaban,”tidak
ApakahODHAselalumemastikanpenggunaanterapiAntiRetriviral?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
Apakah ODHApernahdirawat/obnamedi rumahsakit?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
Jika yapadapertanyaan di
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :
Dikategorikan : 1= ya2= tidak
Nominal
101
atas,apakahODHAdilayanidenganpelayanan yangberbedadenganpenderitalainnyadi rumahsakit?
jawaban,”tidak”
ApakahODHAtidur diruanganisolasiketikadiopnamedi rumahsakit?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
ApakahODHAdiberikodekususoleh
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
nominal
102
petugaskesehatan selamadi rumahsakit?
Apakahpetugaskesehatanmenggunakanpelindungberlebihan danberbedadenganpasienlainsetiapkalimerawatODHA?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan : 1= ya2= tidak
Nominal
ApakahODHApernahditolakdalamperawata
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
103
n medis? Apakahtenagakesehatantidak maumenyentuhODHAselamadalamperawatan?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
KetikaODHAmasuk diruanganUGD,apakahandasengajadilayaniterakhirolehpetugas?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan : 1= ya2= tidak
Nominal
ApakahODHApernahdipukulatausejenis
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
nominal
104
lainya?
ApakahODHAmendapatkekerasanverbaldaripetugasseperti :marahdengankata-katakasar,dicemooh,disindiri?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak
Nominal
ApakahODHAtidakdiizinkanmenggunakan alat-alatkesehatandanfasilitaskesehatanlainnya?
Kuisioner : Negatip :jawaban,”ya”
Positip :jawaban,”tidak”
Dikategorikan : 1= ya2= tidak
Nominal
105
D. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan Case Study Kuantitatif
Survey analitik dengan rancangan Cross sectional ialah suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara factor-
faktor resiko dengan factor efek, dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat
(point time approach). Artinya tiap-tiap subjek hanya
diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status karakter atau variable subjek pada saat pemeriksaan.
Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati
pada waktu yang sama. Alasan memilih pendekatan kuantitatif
dengan anggapan dapat mengungkapkan factor determinan penyebab
terjadinya stigma dari masyarakat bagi para ODHA serta
penyebab diskriminasi layanan kesehatan bagi ODHA. Serta dapat
mengangkat factor resiko dari stigma terhadap ODHA dan
mengangkat factor efek terhadap hambatan penjaringan dan
penemuan HIV secara dini terhadap fenomena gunung es dimana
semua hal ini sebagai efek dari stigma dan diskriminasi
terkait HIV. Dalam studi ini, kami berusaha untuk
mengidentifikasi faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi
pasien HIV di lokasi studi yang dipilih di NTT dan sejauh mana
106
faktor tertentu mencegah pasien HIV agar tidak mengadopsi
ART. Kami menyajikan hasil yang komprehensif dan rinci tentang
sebuah studi yang dilakukan di antara orang yang hidup dengan
HIV / AIDS (ODHA) untuk menilai tingkat stigma umum dan
diskriminasi layanan kesehatan di kalangan mereka, apakah
stigmatisasi mempengaruhi akses mereka ke dan kemauan untuk
mengadopsi obat HIV dan factor apa yang paling penting yang
berhubungan dengan stigma terkait HIV dalam populasi yang
diteliti. Juga, fokus pada stigmatisasi, kami ingin tahu apa
saja konteks yang berbeda dan manifestasi, bagaimana cara
mencegah adopsi ART dan memerlukan hal apa sebagai penentu
stigmatisasi dikalangan populasi yang diteliti. Selain itu,
kami juga memberikan rekomendasi berdasarkan apa yang sudah
menjadi temuan kami. Metode kuantitatif yang digunakan adalah
tehnik pertanyaan kuesioner untuk mendapatkan informasi factor
variable sosio-demografi variabel, variabel Stigma Masyarakat
yang dialami ODHA dan variabel Diskriminasi layanan Kesehatan
yang dialami ODHA.
E. POPULASI, SAMPLE DAN SAMPLING
107
a. Populasi
Keseluruhan Objek penelitian atau yang diteliti
(Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah
ODHA di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebanyak 357 ODHA.
b. Sample
Para ODHA di Kota Kupang. Dengan besar sample menggunakan
rumus
N = N
1+N(d2)
Keterangan :
N = Besar populasi
N = besar sampel
D = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan
Maka besar sample untuk penelitian ini adalah n =
3571+357(0,05²)
n = 3571+0,8925 =
3571,8925
n = 188,6
Jadi jumlah sample dalam penelitian ini adalah = 189
orang
108
c. Tehnik Sampling
Cara pengambilan sample dengan cara acak sederhana pada
tempat VCT di setiap puskesmas dan Rumah sakit yang ada
VCT di Kota Kupang.
d. Kriteria inklusi dan criteria eksklusi :
1). Kriteria inklusi yaitu penderita HIV/AIDS dewasa yang
mau menjadi responden dan menetap di kota Kupang
2). Kriteria eksklusi yaitu penderita HIV/AIDS yang
gangguan jiwa, penderita HIV/AIDS sementara tidak sadar
di rumah sakit, penderita HIV/AIDS yang meninggal,
penderita HIV/AIDS yang sudah pindah keluar kota
Kupang, dan penderita HIV/AIDS yang tidak mau
diwawancarai.
F. SUMBER DATA PENELITIAN
1. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner pada 189
responden pada daerah kota Kupang dan sekitarnya.
2. Data secunder diperoleh dari KPAD dan informasi orang
lain yang mendukung data primer seperti geografis,
demografis dan tampat –tempat VCT baik rumah sakit
maupun puskesmas.
109
G. ALAT PENELITIAN / INSTRUMEN PENELITIAN
Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah lembar
kuesioner yang mudah diisi oleh responden dan tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama. Pertimbangannya
mendapatkan data dengan cepat, hemat waktu, hemat biaya dan
tenaga.
Untuk mempermudah dalam menyusun instrument penelitian
maka terlebih dahulu disusun kisi-kisi kuesioner penelitian.
110
Tabel 3.2. Kisi-kisi kuisioner penelitian :
No
.
Variabel Indicator
vaforibilitas
vaforible unvaforible
1. Stigma
masyarakat
yang
dialami
ODHA
1.Perasaan ODHA
terhadap status HIV
nya
Pertanyaan no.1.
jawaban 1(tidak
apa-apa)
Pertanyaan no.1 jawaban
2(perasaan bunuh
diri),3(malu),4(sedih),5(l
ain-lain)
2.Pengaruh status HIV
terhadap pekerjaan
Pertanyaan no.2
jawaban 2(tidak)
Pertanyaan no.2 jawaban
1(ya)
111
3.Status HIV pasangan Pertanyaan no.3
jawaban2 (tidak)
Pertanyaan no.3 jawaban 1
(ya)
4.Kemampuan
mengatakan status
HIV kepada orang
lain.
Pertanyaan nomor 4
jawaban 1(ya)
Pertanyaan nomor 4 jawaban
2(tidak)
5.Apakah status ODHA
HIV diketahui orang
lain
Pertanyaan nomor 5
jawaban 2(tidak)
Pertanyaan nomor 5 jawaban
1(tidak)
6.Hubungan ODHA
dengan keluarga
Pertanyaan nomor 6
jawaban 1(ya)
Pertanyaan nomor 6 jawaban
2(tidak)
7.Hubungan ODHA
dengan orang lain
Pertanyaan nomor 7
jawaban 1(ya)
Pertanyaan nomor 7 jawaban
2 (tidak)
112
8.Bentuk-bentuk
Stigma masyarakat
yang dialami ODHA :
Pertanyaan nomor 8
jawaban 2(tidak)
Pertanyaan nomor 8 jawaban
1(ya)
Pertanyaan nomor 9
jawaban 2
Pertanyaan nomor 9 jawaban
1
Pertanyaan nomor
10 jawaban 2
Pertanyaan nomor 10
jawaban 1
Pertanyaan nomor
11 jawaban 2
Pertanyaan nomor 11
jawaban 1
Pertanyaan nomor Pertanyaan nomor 12
113
12 jawaban 2 jawaban 1
2. Diskriminas
i layanan
kesehatan
yang
dialami
ODHA
1. Apakah ODHA
sedang obname
Pertanyaan nomor 1
jawaban 1
Pertanyaan nomor 1 jawaban
2
2. Pengaruh berobat
terhadap
Pertanyaan nomor 2
jawaban 2
Pertanyaan nomor 2 jawaban
1
114
konvidential status
ODHA. Pertanyaan nomor 3
jawaban 2
Pertanyaan nomor 3 jawaban
1
Pertanyaan nomor 4
jawaban 1
Pertanyaan no. 5
jawaban 1
Pertanyaan nomor 4 jawaban
2
Pertanyaan nomor 5 jawaban
2
3. Bentuk
diskriminasi
Pertanyaan no. 6
jawaban 2
Pertanyaan nomor 7 jawaban
1
115
dilayanan kesehatan
yang dialami ODHA Pertanyaan no. 7
jawaban 2
Pertanyaan nomor 7 jawaban
1
Pertanyaan no. 8
jawaban 2
Pertanyaan nomor 8 jawaban
1
Pertanyaan no. 9
jawaban 2
Pertanyaan nomor 9 jawaban
1
Pertanyaan nomor
10 jawaban 2
Pertanyaan nomor 10
jawaban 1
Pertanyaan nomor
11 jawaban 2
Pertanyaan nomor 11
jawaban 1
116
Pertanyaan nomor
12 jawaban 2
Pertanyaan nomor 12
jawaban 1
Pertanyaan nomor
13 jawaban 2
Pertanyaan nomor 13
jawaban 1
Pertanyaan nomor
14 jawaban 2
Pertanyaan nomor 14
jawaban 1
Pertanyaan nomor
15 jawaban 2
Pertanyaan nomor 15
jawaban 1
117
H. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum melakukan
penelitian guna mendapatkan alat ukur yang dapat dipercaya
untuk mengumpulkan data. Uji validitas dilakukan pada
responden selain subjek penelitian yang berada diluar wilayah
penelitian namun mempunyai ciri yang mirip dengan subjek
penelitian yaitu ODHA di Kabupaten Kupang sebanyak 189 ODHA
(responden).
1. Uji validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
ketepatan dan kecermatan suatu alat dalam melakukan
fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukurnya sesuai
dengan maksud dilakukan test tersebut. Suatu alat ukur
yang valid tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan
tepat tetapi juga memberikan gambaran yang cermat
mengenai data tersebut.
Dalam uji validitas setiap butir pertanyaan diuji
validitas dilakukan terhadap total skor seluruh
pertanyaan dengan menggunakan uji person Product moment.
a. Menentukan r tabel
118
Nilai r tabel ditentukan berdasarkan df(n – 2), dalam
hal ini df= (189-2)= 187. Pada tingkat signifikan 5%
didapat angka 0,306.
Jika hipotesis menunjukan arah positip maka uji yang
dilakukan adalah satu arah.
b. Menentukan r hasil
Nilai r hasil untuk tiap-tiap butir diperoleh dari
hasil output analisis pada kolom corrected item –
total correlation.
c. Mengambil keputusan
Dasar pengambilan keputusan adalah jika r hasil
positif serta r hasil >r tabel, maka butir tersebut
valid. Sebaliknya jika r hasil tidak positif atau r
hasil <r tabel, maka butir tersebut tidak valid, maka
butir pertanyaan tersebut dikaji kembali dengan cara
memperbaiki redaksinya kemudian diuji coba lagi kepada
responden dan dilanjutkan dengan uji validitas. Bila
hasilnya tetap tidak valid, maka butir pertanyaan
tersebut dihilangkan atau dikeluarkan dari instrument
pengumpulan data dengan catatan tidak mengurangi
tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti.
119
2. Uji realibilitas :
Pengukuran realibilitas adalah pengukuran sejauhmana
hasil pengukuran dapat dipercaya.
Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa
kali pelaksanaan pengukuran terhadap beberapa kelompok
subjek yang sama diperoleh hasil yang relative sama,
selama aspek yang diukur dari diri subjek belum berubah.
Releabilitas alat ukur disini sangat berkaitan dengan
error of measurement. Nilai pengukuran 5% dengan alpha
(ɑ) = 0,600.
Langkah-langkah analisis Reliabilitas :
a. Menentukan r tabel
Nilai r tabel ditentukan berdasarkan df(n – 2), dalam
hal ini df= (189-2)= 187. Pada tingkat signifikan 5%
didapat angka 0,306.
Jika hipotesis menunjukan arah positip maka uji yang
dilakukan adalah satu arah.
b. Menentukan r hasil
Nilai r hasil adalah angka alpha (ɑ) yang terletak
pada akhir output analisis.
c. Mengambil Keputusan
120
Dasar pengambilan keputusan jika r alpha (ɑ) positip
serta r ɑ>r tabel, maka butir tersebut reliable. Jika
r ɑ positip serta r ɑ<r tabel, maka butir tersebut
tidak reliable. Jadi jika r ɑ>r tabel tetapi bertanda
negatip , H0 akan tetap ditolak.
I. PENGUMPULAN DATA
Data primer diperoleh dengan kuesioner dan data sekunder
diperoleh dari laporan KPAD, Dinkes dan BKKBN Provinsi NTT.
Data berupa angka (kuantitatif) yang telah terkumpulkan diolah
dengan metode analisis regresi logistic dan analisis
deskriptif kuantitatif, artinya mendeskripsikan data dari
hasil uji statistic.
1. Kuisioner penelitian terlampir.
2. Jadwal penelitian terlampir
122
KUISIONER PENELITIAN
STIGMA TERKAIT HIV/AIDS DAN AKSES KE KEPERAWATAN HIV OLEH ORANG YANG HIDUP DENGAN HIV/AIDS :
SEBUAH STUDI KASUS DI KOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Responden adalah Orang yang positif HIV/AIDS di kota Kupang provinsi Nusa Tenggara Timur
Nomor Responden ODHA
Nama Responden ODHA
Alamat
Nama pewawancara
Tanggal wawancara
PETUNJUK PENGISIAN
123
Pilihlah jawaban yang paling sesuai dari pertanyaan dibawah ini dengan menuliskan pada
kolom
yang tersedia.
A. SOSIO DEMOGRAFI
1. Umur responden………………dalam tahun
2, Jenis kelamin responden : 1= Laki-laki
2= Perempuan
3. Lama ODHA menderita HIV/AIDS :
1 = >2 tahun (selama kurang dari 2 tahun)
2= 2-3 tahun (selama 2-3 tahun)
124
3= 3-4 tahun (selama 3-4 tahun)
4= >5 tahun (lebih dari 5 tahun).
4. Pendidikan responden : 1= Tidak sekolah (TS)
2= Sekolah Dasar (SD)
3= Sekolah Lanjutan Pertama(SMP)
4= Sekolah Lanjutan Atas(SMU)
5= Sekolah Tinggi ( PT )
5. Status Perkawinan : 1= Single ( S)
2= Menikah (M)
3= Janda/duda (J/D)
125
4= Cerai (C)
5= Terpisah dengan pasangan(T)
6. Pekerjaan responden : 1= Nganggur (N)
2= Wiraswasta(W)
3= PNS(P)
4= Lain-lain(L)
7.Agama Responden : 1= Katolik (K)
2= Protestan(P)
3= Islam(I)
4= Hindu(H)
5= Budha(B)
126
B. VARIABEL YANG BERKAITAN DENGAN STIGMA MASYARAKAT YANG DIALAMI ODHA
Nomor Pertanyaan Jawaban ( lingkari
Jawaban menurut
anda benar)
1. Bagaimana perasaan anda saat pertama kali mendengar bahwa
anda HIV positip?
1. Tidak Apa-apa
2. Pikiran Bunuh
diri
3. Malu
4. Sangat sedih
5. Yang lain
2. Apakah status HIV anda berpengaruh terhadap pekerjaan anda? 1. Ya
127
2. Tidak
3. Apakah pasangan anda positive HIV juga? 1. Ya
2. Tidak
4. Apakah anda mampu mengatakan kepada orang lain bahwa anda
HIV positip?
1. Ya
2. Tidak
5. Apakah orang lain yang mengetahui bahwa anda positip HIV
masih berhubungan baik dengan anda?
1. Ya
2. Tidak
6. Apakah pasangan anda dan anak-anak anda masih berhubungan
baik dengan anda?
1. Ya
2. Tidak
7. Apakah orang-orang berhubungan baik dengan anda sebelum
anda hadir sebagai seorang yang HIV positip?
1. Ya
2. Tidak
8. Apakah anda ditolak oleh masyarakat? 1. Ya
2. tidak
9. Apakah anda mendapat kekerasan verbal dari masyarakat 1. Ya
128
seperti : dicemooh, disindiri, diolok, diludahi atau
disendirikan atau diasingkan?
2. Tidak
10. Apakah anda selalu tidak diundang dalam kegiatan lingkungan
tempat anda tinggal?
1. Ya
2. Tidak
11. Apakah anda dilarang menggunakan fasilitas umum? 1. Ya
2. tidak
12. Apakah orang-orang rekan kerja anda di kantor atau ditempat
kerja anda selalu tidak bergaul dengan anda?
1. Ya
2. tidak
C. VARIABEL YANG BERKAITAN DENGAN DISKRIMINASI LAYANAN KESEHATAN YANG DIALAMI ODHA
Nomor Pertanayaan Jawaban
( lingkari
Jawaban
129
menurut anda
benar)
1. Apakah anda sedang dalam pengobatan? 1. Ya
2. Tidak
2. Apakah dengan mengambil pengobatan Anti-Retroviral berarti
memyampaikan status anda kepada orang lain?
1. Ya
2. Tidak
3. Jika ya pada pertanyaan di atas, apakah anda akan berhenti
berobat karena hal itu?
1. Ya
2. Tidak
4. Apakah anda selalu memastikan penggunaan terapi Anti Retriviral? 1. Ya
2. Tidak
5. Apakah anda pernah dirawat/obname di rumah sakit? 1. Ya
2. Tidak
6. Jika ya pada pertanyaan di atas, apakah anda dilayani dengan
pelayanan yang berbeda dengan penderita lainnya di rumah sakit?
1. Ya
2. tidak
130
7. Apakah anda tidur di ruangan isolasi ketika diopname di rumah
sakit?
1. Ya
2. Tidak
8. Apakah anda diberi kode kusus oleh petugas kesehatan selama di
rumah sakit?
1. Ya
2. Tidak
9. Apakah petugas kesehatan menggunakan pelindung berlebihan dan
berbeda dengan pasien lain setiap kali merawat anda?
1. Ya
2. Tidak
10. Apakah anda pernah ditolak dalam perawatan medis? 1. Ya
2. tidak
11. Apakah tenaga kesehatan tidak mau menyentuh anda selama dalam
perawatan?
1. Ya
2. Tidak
12. Ketika anda masuk di ruangan UGD, apakah anda sengaja dilayani
terakhir oleh petugas?
1. Ya
2. Tidak
13. Apakah anda pernah dipukul atau sejenis lainya? 1. Ya
2. Tidak
131
14. Apakah anda mendapat kekerasan verbal dari petugas seperti :
marah dengan kata-kata kasar, dicemooh, disindiri ?
1. Ya
2. Tidak
15. Apakah anda tidak diizinkan menggunakan alat-alat kesehatan dan
fasilitas kesehatan lainnya?
1. Ya
2.Tidak
Jadwal Penelitian :
No Kegiatan Okto2013
Nop 2013
Des 2014
Jan 2014
Peb 2014
Maret2014
April2014
Mei 2014
Juni 2014
Juli 2014
1 Studi
132
Pendahuluan
2 PenyusunanProposal
3 Ujian Proposal
4 Revisi Proposal
5 Pengumpulan Proposal
6 Uji Validitas
7 Penelitian8 Pengolahan
data9 Konsultasi10 Seminar
hasil11 Revisi
hasil12 Ujian
Thesis13 Revisi14 Pengumpula
n thesis
1 BKKBN RI. 2012, “ PEDOMAN PENGELOLAAN PUSAT INFORMASI DAN KONSELING REMAJA DANMAHASISWA”. Jakarta2 Media : Rakyat Merdeka, 04 Juli 2007, “BERITA TENTANG HIV/AIDS INDONESIA”.3 Kate W dan Aggleton P. ---, “STIGMA, DISCRIMINATION AND HUMAN RIGTHS”. Thomas Coram Research unit Institute of education, University of London.4 BKKBN RI. 2012, “ PEDOMAN PENGELOLAAN PUSAT INFORMASI DAN KONSELING REMAJA DANMAHASISWA”. Jakarta.5 KPAD NTT. 2013,” LAPORAN KASUS HIV/AIDS NT TAHUN 2012”. Kupang6 KPAD NTT. 2013,” LAPORAN KASUS HIV/AIDS NTT TAHUN 2012”. Kupang7 http://aangsutrisna.blogspot.com diakses 10 Mei 20128 KPAD Kabupaten Manggarai Provinsi NTT 2013, “LAPORAN KASUS HIV/AIDS
TAHUN 2012” Ruteng.
9 Kementerian Kesehatan RI. Dirjen Pelayanan Medik & Dirjen P2M dan PL. 2013,”MODUL PELATIHAN KONSELING DAN TES SUKARELA HIV (VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING), Jakarta10 Nasronudin, 2007, “HIV DAN AIDS, PENDEKATAN BIOLOGI MOLEKULER, KLINIS DAN SOSIAL. Air Langga University Press, Surabaya.11 Nasronudin, 2007, “HIV DAN AIDS, PENDEKATAN BIOLOGI MOLEKULER, KLINIS DAN SOSIAL. Air Langga University Press, Surabaya.12 KPAD NTT. 2013,” LAPORAN KASUS HIV/AIDS NT TAHUN 2012”. Kupang13 Dep.Kes. RI. 2012, “ BUKU PEDOMAN PENGHAPUSAN STIGMA &DISKRIMINASI BagiPENGELOLA PROGRAM, PETUGAS LAYANAN KESEHATAN DAN KADER” Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung . Jakarta 14 Depkes RI. 2010, “ PEMAHAMAN TENTANG HIV/AIDS”. Jakarta15 http://www.slideshare.net/HutaurukMusa/stigma-dan-diskriminasi. 16 Mitra Inti Foundation Kesrepro dot Info, Dikutip oleh hallo Cipto Edisi 2011 “ STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA “17 Rummens, J. (1993). IDENTITAS PRIBADI DAN STRUKTUR SOSIAL DI SINT MAARTIN / SAINT MARTIN: A IDENTITAS PENDEKATAN PLURAL. Tesis tidak diterbitkan / Disertasi: York University.18 Leary, M. R., Tangney, J. P. (2003). HANDBOOK DIRI DAN IDENTITAS. New York: Guilford Press. ISBN 1-57230-798-6.19 Goffman, Erving. 1963. Stigma: Notes on the Management of a Spoiled
Identity. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
20 Modood, T. & Werbner P. (Eds.) (1997). POLITIK MULTIKULTURALISME DI EROPA NEW: RASISME, IDENTITAS DAN KOMUNITAS. London: Zed Books.21 Leary, M. R., Tangney, J. P. (2003). HANDBOOK DIRI DAN IDENTITAS. New York: Guilford Press. ISBN 1-57230-798-6.22 Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism : Perspective and Method. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice-Hall