REFERAT
POLIP NASI
Lalu Muhammad Nuh
H1A007035
Pembimbing : dr. Markus Rambu, Sp.THT
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2013
I. PENDAHULUAN
Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada
membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik masa
edema lunak yang membentuk masa bertangkai dengan tangkai yang
ramping atau lebar.1 Sebagian besar polip ini berasal dari kompleks
osteomeatal (KOM) dan melebar ke rongga hidung.1,4
Prevalensi dari penderita polip nasi masih belum diketahui secara
pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemolologi serta
tergantung pada pemilihan populasi penelitian serta metode diagnostik yang
digunakan. Namun dari beberapa penelitian diketahui bahwa angka kejadian
dari polip hidung ini mencapai 1-4% dari total populasi di seluruh dunia.
Umumnya lelaki lebih banyak terkena penyakit ini dibandingkan wanita,
serta populasi dewasa juga lebih sering dibandingkan dengan anak-anak.
Seandainya polip hidung ini terjadi pada anak-anak, maka harus dipikirkan
kemungkinan adanya gangguan mukosiliar dan penyakit imunodefisiensi,
sebagai contoh pasien dengan cystic fibrosis memiliki prevalensi 6-8%
untuk mengalami polip hidung.2
Etiologi dari polip hidung ini sendiri masih merupakan subjek yang
terus menjadi sorotan dalam berbagai penelitian terkini. Berbagi faktor
khusunya inflamasi kronis hidung, faktor intoleransi aspirin, asma dan riwayat
rinitis alergi merupakan beberapa dari banyak faktor predisposisi yang akan
dijelaskan nantinya dalam referat ini.
Selain begitu banyak faktor predisposisi serta etiologinya, hal lain
yang juga menjadi sorotan terkini terkait polip hidung ini yaitu bagaimana
penanganan efektif yang dapat dilakukan. Selama ini penanganan yang
digunakan untuk polip hidung yaitu penanganan medikal dan operatif.
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan obat yang digunakan untuk
mengurangi ukuran polip dan meningkatkan patensi pernafasan melalui
hidung serta digunakan untuk mencegah kekambuhan. Kemudian pada pasien
yang tidak memberikan respon dengan terapi ini atau memiliki ukuran polip
yang sangat besar, tindakan operatif merupakan pilihan selanjutnya.2,3
1
Untuk itu dalam refrat ini akan dibahas mengenai gambaran polip
hidung secara umum, namun dengan pembahasan yang lebih terperinci
terkait dengan etiopatogenesis serta penatalaksanaannya.
II. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi,
5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3)
beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.4
2
Gambar 2.1 Kerangka tulang dan tulang rawan5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2)
vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian
tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2)
kolumela.4 Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os
etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan
kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang
3
Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi
palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis.6 Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 4
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4 Meatus medius terletak
diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum
4
Gambar 2.3 Septum nasi
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.4 Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.4
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika
berasal dari a. karotis interna.4
III. FISIOLOGI HIDUNG
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari
prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional
yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior
(maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka
seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada
mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.
Beberapa fungsi hidung juga antara lain :
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik
2. Fungsi penghidu
3. Fungsi fonetik dalam resonansi suara, membantu proses bicara
4. Refleks nasal.
5
IV. POLIP HIDUNG
a. Definisi
Polip hidung adalah penyakit inflamasi kronis pada membran
mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik adanya masa
edema, berwarna putih keabu-abuan yang membentuk masa bertangkai dengan
dasar tangkai tipis atau lebar.1,4 Umumnya sebagian besar polip ini berasal
dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah
rongga hidung.1
b. Epidemiologi
Pada populasi umum, angka kejadian polip hidung ini pada orang
dewasa sekitar 1-4 %. Prevalensi ini jauh lebih rendah pada anak, dimana
seandainya ditemukan anak dengan polip hidung, maka kemungkinan besar
ada gangguan pada faktro mukosilier atau faktor imunologisnya, misalnya
pada anak dengan polip hidung cenderung disertai dengan danya cystic
fibrosis. Dengan pemeriksaan endoskopi yang teliti pada kadaver, ditemukan
seperempat dari individu memiliki polip tanda riwayat penyakit sinonasal
sebelumnya. Polip hidung biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun
dengan dominasi pada pria sekitar 2:1 sampai 4:1 dibandingkan dengan
wanita.1,2
c. Etiologi dan Patogenesis
Untuk lebih memahami etiologi dan patogenesis dari polip hidung,
maka terlebih dahulu sebaiknya kita melihat tampakan histologis dari polip
ini. Polip hidung umumnya ditandai dengan adanya edema jaringan yang
masif, yang terjadi dari karena kebocoran plasma melalui celah endotel
(endothelial junction) yang melebar pada pembuluh darah. Berdasarkan
temuan histologis, polip hidung dapat dibagi menjadi empat tipe menurut
Hellquist HB1,6 :
- Eosinophilic edematous type: ditandai dengan edema pada stroma
dengan jumlah eosinofil yang banyak.
6
- Chronic inflamatory or fibrotic type : ditandai dengan sel
inflamasi khususnya limfosit dan neurtrofil dan sedikit eosinofil
- Seromucinous gland type : tipe I disertai dengan hiperplasia
kelenjar seromukus.
- Atypical stromal type
Sedangkan secara umum, klasifikasi dari polip hidung ini dibagi
menjadi eosinophil dan neutrophil dominated inflammation, tergantung dari
sel inflamasi masa yang lebih dominan. Sebagian besar pada polip hidung,
eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling sering ditemukan.1
Sedangkan untuk kepentingan klinis, Stammberger1,6 mengklasifikasikan
polip hidung menjadi lima kelompok, dilihat berdasarkan endoskopi dan
kriteria klinis, respon terhadap terapi yang berbeda serta hubungannya
dengan penyakit lain, yaitu :
- Antrocoanal polyp
- Large isolated polyp
- Polyps associated with chronic inflamation, non-eosinophilic
dominated, non-related to hyperreactive airway syndrome
- Polyps associated with CRS, eosinophilic-dominated
- Polyps associated with spesific disease (Cystic fibrosis, non-
invasive/non-allergic fungal sinusitis, malignancy)
Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari infeksi,
inflamasi non infeksi, anatomis, serta abnormalitas genetik. Banyak teori yang
mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis, oleh karena
itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis pada rongga
hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kondisi-kondisi ini seperti
rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis , intoleransi aspirin, astma, Churg-
strauss syndrome, Cystic fibrosis, katagener syndrome, young syndrome.
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1
Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena
tiga hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari
7
eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal
yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara
menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui
inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip
hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka
kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi
lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset
asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%
Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan
alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami
rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip
hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan
berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan
edema dan pembentukan polip.
Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan
yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan
tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa
disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi
infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya
polip.
Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
8
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna
pada pasien dengan polip hidung.
Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien
dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan
bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan
metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene
(Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam
arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang
selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG
antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya
akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon
inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.
Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.
Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida
menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya
menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein
CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan
peran besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi
9
dari tone vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai
jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan
seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase ,
catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat
melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi
defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan
akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing
enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang
menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting
terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan
pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya
terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering
ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi
terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.
Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan
berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi
klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini,
akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4),
hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal
disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik
IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip
hidung.
10
d. Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus.
Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri
kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari
penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal drip
serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas
hidup.4
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.
Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma,
intoleransi aspirin.4,6
e. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung
tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan
gejala skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan gangguan aktifitas.4
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal
dari meatus media dan mudah digerakkan.4
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium
1 : polip masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah
keluar dari meatus media, tampak pada rongga hidung tertapi belum
memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.4
11
Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari
rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat
terlihat dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering
dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan
latera) dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan
adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang
bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,
polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT
scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati
dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.
f. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu:
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.3,6
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalksanaan medis dan operatif.
12
4.1 Gambar alur Tatalaksana Polip Hidung
Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara
medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif,
serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.3
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
13
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan
efek langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan
bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.3,6
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna
pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat
mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal
ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate
nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat
mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.3
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum
banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan
terapi kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total
dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan
pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg
dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus
dan mengurangi ukuran polip.3
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik
tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama
5 hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang
signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal
selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6
14
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi
menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan
dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient
dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin3.
Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal,
pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis,
selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas.
Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),
etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus
maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi
endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power.
g. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip
hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan
tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih
sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan
obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan
serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan
polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat
penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan
lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka
kekambuhan polip hidung.3
V. KESIMPULAN
15
Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi
pada membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan
karakteristik masa edema lunak yang membentuk masa pedunculated
dengan tangkai yang ramping atau lebar. Penyebab pasti dari polip ini
sendiri masih belum bisa dijelaskan secara pasti, namun diduga adanya
inflamasi kronis menjadi faktor penyebab utamanya.
Berbagai kondisi yang berhubungan dengan terbentuknya polip
hidung ini antara lain yaitu riwayat alergi, ketidak seimbangan
vasomotor, fenomena bernoulli, rupture epitel, cystic fibrosis, radikal
bebas, serta adanya infeksi.
Pada pasien dengan polip hidung ditemukan keluhan-keluhan
berupa hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula
didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas. Dari rinoskopi anterior
ditemukan adanya masa pucat bertangakai. Kemudian pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan foto polos, CT scan serta endoskopi untuk
menegakkan diagnosa.
Penanganan pada polip hidung ini dapat dengan obat-obatan
(medik) serta dapat pula dengan tindakan operatif.
VI. DAFTAR PUSTAKA
1. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etopatogenesis. J Med Assoc
Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72
2. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012
: 2 (4) : 72-75
3. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 :
27-36
16
4. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 – 95
5. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of
the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology.
New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13
6. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
17