REFERAT POLIP NASAL Disusun Oleh: Yuni Mayasari (1102009308) Pembimbing: dr. Gunawan Kusnaidi.sp.THT-KL DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS BAGIAN
Dec 13, 2015
REFERAT
POLIP NASAL
Disusun Oleh:
Yuni Mayasari
(1102009308)
Pembimbing:
dr. Gunawan Kusnaidi.sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS BAGIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD DR. SLAMET GARUT
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya referat dengan judul
“polip nasi” dapat saya selesaikan penyusunannya dalam rangka memenuhi salah satu tugas saya
sebagai coass yang sedang menjalani kepaniteraan klinik di bagian THT di RSUD dr. Slamet,
GARUT. periode 15 Juni 2015 – 18 JuLI 2015.
Dengan selesainya referat ini, tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Gunawan. K. Sp.THT-KL
2. Dr. Elananda, Sp.THT-KL
Sebagai pembimbing dalam penyusunan referat juga sebagai pembimbing selama kepaniteraan klinik
THT ini.
Sepenuhnya saya menyadari bahwa referat ini sangat jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan
untuk memperbaiki referat ini maupun untuk pembuatan selanjutnya.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, semoga referat ini berguna bagi kita semua.
Garut, juli 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
2
Kata pengantar...............................................................................................................2
Daftar isi........................................................................................................................3
Pendahuluan..................................................................................................................4
Polip Nasi
I. Anatomi hidung......................................................................................................5-9
II. Definisi...................................................................................................................10
III. Epidemiologi...........................................................................................................11
IV. Etiologi dan faktor resiko.......................................................................................12-13
V. Patofisiologi...................................................................................................14
VI. Gejala klinis..........................................................................................15
VII. Diagnosis..............................................................................................16-18
VIII. Diagnosis banding…………………………………………………19
IX. Penatalaksanaan……………………………………………………20-14
X. Prognosis.........................................................................................................25
Daftar Pustaka............................................................................................................26
\
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian THT
Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada hidung yang makin lama semakin berat.
3
Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman dan sakit kepala. Untuk
mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi
hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa
lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi,
gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hidung
4
Gambar 1. Anatomi Hidung
A. Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
1.
Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi3. Puncak hidung4. Ala nasi5. Kolumela6. Lubang hidung (nares anterior)
5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja
otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus
melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut
dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
B. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan
sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas – batas kavum
nasi :
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian
atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa
= kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang
konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid.
Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama – sama
arteri.
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.
C. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia
dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia
akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
D. Sinus Paranasal
Polip nasi sering dihubungkan dengan sinusitis. Sinus paranasal ada empat buah yaitu
sinus maksila, sinus etmoid, sinus frontal, dan sinus sphenoid.
1. Sinus maksila terdapat dilateral hidung, dasar sinus maksila adalah processus alveolaris
gigi, atap sinus maksila berhubungan dengan dasar orbita. Pstium sinus maksila
berhubungan dengan meatus media.
2. Sinus etmoid seperti sarang tawon (honeycomb). Dibagi menjadi dua bagian anterior dan
posterior. Terletak antara dinding lateral hidung dan dinding medial orbita (lamina
papirasea). Atap sinus etmoid berhubungan dengan sinus frontal dan fossa kranii anterior.
Di inferolateral sinus etmoid berhubungan dengan sinus maksila. Sinus etmoid posterior
berhubungan dengan sinus sphenoid.
3. Sinus frontal terletak pada tulang frontal. Dinding posterior sinus frontal membentuk
dinding anrerir fosa kranii. Di inferior sinus ini berbatasan dengan orbita dan sinus
etmoid. Drainase sinus ini melalui duktus nasofrontal langsung ke hidung atau melalui
infundibulum etmoid.
4. Sinus sphenoid terletak di garis tengah. Dibagi dua oleh septum. Di superior berbatasan
dengan hipofisa, lobus frontal dan sinus kavernosus. Di posterior terletak pons cerebri
dan arteri basilaris, di inferior terletak nasofaring. Arteri karotis terletak di lateral sinusini.
Gambar 2 : Anatomi sinus
Definisi Polip Nasi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak beningkarena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit tersendiri tapimerupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengansinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 :1. Polip eusinofilik
Polip jenis ini biasanya disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.2. Polip neutrofilik
Polip jenis ini biasanya disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi.
EpidemiologiPolip nasi sudah di kenal sejak 4000 tahun yang lalu, melalui pengetahuan dari prasasti
yang ditemukan pada makam raja-raja Mesir. Polip nasi digambarkan sebagai buah anggur yangturun melalui hidung ( grapes coming down from the nose) .Istilah polip berasal dari kata Yunanipoly-pous yang berarti berkaki banyak. Pada awal perkernbangannya polip nasi seringdihubungkan dengan neoplasma, baru pada tahun 1882 Zuckerkandl menyatakan bahwa polipnasi merupakan suatu proses inflamasi (Abdul Qadar Punagi). Polip nasi ditemukan 1-4 % daripopulasi, 36 % penderita dengan intoleransi aspirin, 20% pada penderita fibrosis kistik, 7% padapenderita asma. Polip nasi lebih banyak ditemukan pada penderita asma non alergi (13%)dibanding penderita asma alergi (5%). Polip nasi terutama ditemukan pada usia dewasa, hanyakurang lebih 0.1% ditemukan pada anak-anak, lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingdengan wanita dengan rasio 2:1 atau 3:1 dan dapat ditemukan pada seluruh kelompok ras dankelas ekonomi.
Angka mortalitas polip nasi tidaklah signifikan, namun polip nasi dihubungkan denganturunnya kualitas hidup seseorang. Polip multipel yang jinak biasanya timbul setelah usia 20tahun dan lebih sering pada usia diatas 40 tahun. Polip nasi jarang ditemukan pada anak usiadibawah 10 tahun
Etiologi dan Faktor Resiko
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi
genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor. Namun saat ini yang banyak digunakan, yaitu : teori infeksi dan
teori inflamasi.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit
akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap
oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari daerah yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip juga dapat timbul
dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilaterak dan multipel.
Selaim dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.
1. Perubahan Polisakarida
di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan Arihood.
2. Infeksi
3. Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi perubahan polipoid.
4. Alergi
alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung mengandung
eosinofil dan pasien mempunyai gejala alergi, sering dikaitkan dengan asma dan
atopi.
5. Teori vasomotor
Gangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab pada individu
non atopi.
Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor anatomi lokal, dan tumor. Predisposisi
genetik diketahui sebagai penyebab polipoid pada fibrosis kistik.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain : .
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
Patofisologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada
mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti
tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali
ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan
mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh
gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil)
dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang
dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari
kistik fibrosis.
Banyak faktor yang mempengaruhi pementukan polip nasi. Kerusakan epitel merupakan
patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius. Sel
melepaskan berbagai faktor yang berperan dalam reson inflamasi dan perbaikan. Epitel polip
menunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi hidung
dan rinorea.
Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan
yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang
disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama dan berulang. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi
lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Kemudian stroma akan
terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid Mukosa akan
menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama
polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Bila proses ini berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian tururn kedalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai yang akan turun ke kavum nasi kebanyakan terjadi di daerah meatus
medius. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami
oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi
perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen
terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus media.
Gejala Klinis
Pasien dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang meningkat,
hiposmia sampai anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit kepala
dan nyeri pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila
Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan
gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik.
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif hidung yang
dapat berubah dengann perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien
mungkin memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium
sinus. Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran udara tidak
terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus. Dalam hal ini dapat timbul perasaan
penuh di kepala, penurunan penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap
tadi cenderung terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada
hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin tidak
menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin. Polip yang terletak
posterior biasanya tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip
yang kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan
menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren
Diagnosis
Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluahan utama biasanya ialah:
1. Hidung tersumbat dari yang ringan sampai berat. Sumbatan ini menetap, tidak
hilang dan semakin lama semakin berat.
2. Rinore mulai dari yang jernih sampai purulen
3. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar
membuang ingus.
4. Hiposmia atau anosmia
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin di dapati post nasal drip dan rinore purulen.
Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, halitosis, nyeri muka, suara
nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup.
Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin
dan alergi obat serta makanan.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat dijumpai
pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
2. Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius yang
mudah digerakkan. Deformitas septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.
Tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan
dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan
larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah
akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari
daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum
3. Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal
dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya
rinosinusitis..
4. Nasoendoskopi
Adanya fasilitas nasoendoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus baru. Polip
stadium awal tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat terlihat tangkai
polip yang berasal dari ostium assesorius sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal ( posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi
sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan
positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai
keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal.
Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan
di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks osteomeatal. Terutama pada kasus polip yang gagal diobati
dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai
potongan koronal, sedangkan polip yang rekuren juga dipeerlikan potongan aksial.
6. Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi lingkungan
atau riwayat alergi pada keluarganya.
7. Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sunisitis alergi ditemukan
eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya neutrofil yang
menandakan adanya sinusitis kronis.
Stadium Polip Nasal
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) :
Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius tapi belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3 : polip yang masif
Diagnosis Banding
Polip didiagnosisbandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya sebagai berikut :
Tidak bertangkai Sukar digerakkan Nyeri bila ditekan dengan pinset Mudah berdarah
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka
polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati pemberiannya
pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit
jantung lainnya.
Penatalaksanaan
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk mpengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik
ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu yang singkat,
dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi. Kortikosteroid oral
adalah pengbatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan
kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi inflamasi polip.
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray steroid, yang
dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil, tetapi secara relatif tidak
efektis untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling efektif pada periode post operatif untuk
mencegah atau megurangi relaps.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip yang
dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin oral untuk
mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya
sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
Pengobatan Medis polip nasal sebagai berikut :
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan.
Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, ak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik bila
terjadi superimposed infeksi bakteri.
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik. Injeksi
langsung pada polip menunjukkan berkurangnya pertumbuhan polip dan berkurangnya
gejala pada hidung dibandingkan dengan pengobatan intranasal. Injeksi steroid intrapolip
ini merupakan pengobatan alternatif yang aman pada pasien tertentu tapi masih
dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Tapi tindakan ini kemudian tidak dibenarkan oleh
Food and Drug Administration karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan
penglihatan unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan
mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti
Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial.
Hindari injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa.Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid
intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai
polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka
diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal
mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam
keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid saat ini
belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik misalnya diberikan
Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama
seminggu. Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan, Lidholdt untuk
polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam beberapa
dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg per hari.
Menurut Naclerio. pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun.
Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak dianjurkan lagi mengingat
bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau ada tanda-tanda infeksi
harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis
sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi pasien
dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan pengobatam ini.
Pasien dengan polip yang sedikit eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids.
Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek sampingnya
yang merugikan (seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus, hipertensi, gangguan
psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis)
Banyak penulis menganjurkan pemberian steroid topikal untuk polip nasal, sebagai
pengobatan primer atau pengobatan lanjutan mengikuti pemberian per oral, atau bedah.
Banyak steroid nasal (seperti ; flucitason, beclomethasone, budesonide) efektik untuk
menurunkan gejala subjektif, dan meningkatkan aliran udara di hidung ketika dipastikan
secara objektif. Beberapa penelitian mengindikasikan mempunyai onset yang lebih cepat
dan mungkin sedikit lebih baik dari beclomethasone.
Pemberian topikal kortikosteroid di beriakan secara umum karena lebih sedikit efek yang
merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang terbatas.
Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi dengan kortikosteroid
inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis, pembentuakan
katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang kasus terjadi
perforasi septum.
Inhibitor Leukotrien : Leukotrien dibentuk selama pemecahan asam arachidonat oleh
enzim 5-lipoxigenase. Mereka merupakan mediator inflamasi yang berperan dalam
patogenesis asma, rhinitis alergi, dan polip nasal. Hasilnya mereka menjadi target
modulasi terapi. Penelitian baru-baru ini mengenai penghambatan sintesis leukotrien
menunjukkan peningkatkan aliran udara dalam hidung dan pengecilan polip nasal yang
dibuktikan dengan endoskopi dan studi imaging. Penggunaan inhibitor leukotrien ini
menunjukkan hasil maksimal pada penderita dengan rhinitis alergi konkomitan dan polip
nasal eosinofilik.
Obat-obatan lain : obat-obatan lain yang mungkin digunakan dalam pengobatan polip
nasal adalah antibiotic makrolid, terapi diuretic topical, dan asam asetilsalisilat-lisin
intranasal.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat
masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Pembedahan dilakukan jika Polip menghalangi
saluran pernafasan, menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus, atau
berhubungan dengan tumor.
Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya
sinusitis yang menyertainya), fasilitas alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang
menangani. Macamnya operasi mulai dari polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare)
kawat dan/ polipektomi intranasal dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang
tindakan unit rawat jalan dengan analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi
ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah
bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi
saja, atau disertai unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap. Alat mutakhir untuk membantu operasi
polipektomi endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang dapat
menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung cepat dengan
trauma yang minimal.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan menggunakan
senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung.
Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada
kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic
Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga
membuka celah di meatus media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga
akan membantu mengurangi angka kekambuhan. Surgical micro debridement merupakan
prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi
perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.
Terapi bedah Tidak
ada
mengecil Perbaikan
Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE sembuh
Penatalaksanaan Polip Hidung dan sinus para nasal
KeluhanSumbatan hidung dengan 1/> gejala
Massa polip hidungTentukan stadium
Jika mungkin : biopsy untuktentukan tipe polip danlakukan polipektomi reduksi
Curiga keganasanPermukaan berbenjol,mudah berdarah
Biopsy tatalaksana sesuai
Stad 2&3Terapibedah
Stad I & 2Terapimedik
Semuastadiumtipenetrofilik terapibedah
Semuastadiumtipenetrofilik terapimedik
Keterangan menentukanstadiumPolip dalam MM (NE)Polip keluar dari MMPolip memenuhi ronggahidung
Persiapanpra bedah
Terapi medik :steroid topical dan ataupolipektomi medikamentosa dengan cara :deksametason 12 m (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)
perbaikanPerbaikan
hilang
Tindak lanjut dengan steroid topical
Polip rekuren :Cari faktor alergiSteroid topicalSteroid oral tidak lebih 3-4x/ tahunKaustikOperasi ulang
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip NasalSumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi
dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal yang besar seperti
polip antral-koanal jarang terjadi relaps.
DAFTAR PUSTAKA
1. Punagi, Abdul Qadar. 2005. Peranan Sitokin Pada Polip Nasi dalam Jurnal Media
Nusantara Volume 26 No.4 Oktober- Desember 2005. Hal 263-267.
2. Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6 tahun 2007. Hal 118-
122.
3. Snell, Richard S, Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik alih bahasa dr. Jan
Tamboyang. EGC 1997
4. Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo. Polip Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS, Nurbaiti, edisi ke 6 tahun 2007. Hal 123-
125
5. Polip hidung, 2004. Diakses dari www.medicastore.com Diakses tanggal 20 Juni
2008
6. Blumenthal MN. Kelainan alergi pada pasien THT. Dalam: Adam, Boies, Higler.
BOIES. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta, EGC, 1997. Hal 196-8.
. Bechara, Y Ghorayeb. Nasal polyps. Diakses dari www.otolaryngology
Houston.htm. Diakses tanggal 20 Juni 2008.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL
di Indonesia. 2007. Hal 58