BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri Corynebacterium diphteriae. Indonesia termasuk Negara yang
endemic difteri dengan insiden tertinggi pada usia 2-5 tahun. Mudah menular dan
menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala
umum dan lokal. Penyebarannya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu
dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Infeksi ini menyebabkan
gejala -gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini
antara 2 - 7 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun
carrier.7
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Faktor social ekonomi,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,
merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.Di Indonesia difteri banyak
terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan
angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal
jantung yang merupakan komplikasi. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama
pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis. 1,7
1
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk lebih memahami dan
mengenali tonsillitis diftei dengan baik sehingga pasien bisa mendapat penanganan
yang tepat serta edukasi yang baik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi Tonsil
Tonsila palatine bersama adenoid, tonsila lingual, lateral band, tonsila
tubaria dan kumpulan jaringan limfoepitel membentuk cincin jaringan limfoid
yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan
terhadap infeksi. Tonsila palatina dan adenoid merupakan bagian terpenting dari
cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas. Tonsila
palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring bentuknya seperti buah almond. Besarnya tonsila palatina yang
tampak pada pemeriksaan orofaring, tidak menggambarkan besar yang sebenarnya,
karena ada bagian tonsil yang tersembunyi pada fosa tonsilaris. Tonsila palatina
dibatasi dari anterior oleh plika anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior
oleh plika posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang
orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian
superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsila lingual.
Permukaan medial dilapisi oleh epitel skuamos yang mengalami invaginasi
kearah dalam disebut sebagai kripta, jumlahnya 8-20 buah dan membentuk saluran
yang bercabang-cabang. Epitel yang melapisi kripta tersebut adalah tipis, sehingga
daya proteksi terhadap bakteri sangat rendah. Sedangkan permukaan yang
berhubungan dengan fosa tonsilaris diliputi oleh jaringan fibrous berasal dari fasia-
faringealis yang disebut sebagai kapsul dan menutupi 4/5 bagian tonsil. Fowler dan
Tod yang dikutip oleh Ballenger mendapatkn jaringan yang kendor dan lunak
diantara tonsil dan fosa tonsilaris; jaringan ini mudah dipisahkan terutama pada
3
kutus atas tonsila palatine. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab seringnya
timbul abses peritonsil di daerah tersebut.
Jaringan tonsil sendiri terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Jaringan ikat trabekula dan retikuler yang merupakan kerangka dari tonsil
dan di dalamnya mengandung pembuluh darah, syaraf dan limfe.
2. Stratum germinativum, berupa folikel-folikel limfoid.
3. Jaringan interfolikuler, terdiri dari sel-sel limfoid.
Secara embriologis tonsil terbentuk pada janin usia 3 bulan dan
pertumbuhan selanjutnya terjadi setelah lahir, begitu da kontak dengan bahan-
bahan pathogen atau allergen yang ada di lingkungannya. Pertumbuhan tonsil
sangat cepat pada umur 1 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 3 tahun, atau
pada umur 3 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 7 tahun. Kemudian
perlahan-lahan mengecil pada usia pubertas. Pembesaran tonsil yang hebat pada
anak-anak menunjukkan bahwa tonsil tersebut sangat aktif dan tidak menunjukkan
hebatnya derajat infeksi.
4
Gambar 1: Anatomi tonsil
Perdarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, melalui
cabang-cabangnya, yaitu:6
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya
A. tonsilaris dan A. palatina asenden.
5
A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine desenden.
A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
A. faringeal asenden.
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:
Anterior : A. lingualis dorsal.
Posterior : A. palatina asenden.
Diantara keduanya: A. tonsilaris.
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:
A. faringeal asenden
A. palatina desenden.
Gambar 2: Sistem Perdarahan Tonsil 5
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina
asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring
posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya
ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring superior. Arteri lingualis
6
dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior
dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior memberi
perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring.6
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot
sternokleidomastoideus. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening
eferan dan tidak memiliki pembuluh getah bening aferen.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.6
Adenoid
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitel berbentuk triangular
yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan
sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius-telinga
tengah-kavum mastoid pada bagian lateral. Terbentuk sejak bulan ketiga hingga
bulan ketujuh embryogenesis. Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia
kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah
menjadi tempatkolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara
anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maksimum adenoid
tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-
7
kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, allergen,
makanan dan iritasi lingkungan.
Tonsila lingual
Tonsil lingual merupakan agregasi jaringan limfoid pada 1/3 bagian belakang
lidah. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior masa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yng terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.
Klasifikasi
2.2Fisiologi dan Imunologi Tonsil
Pada tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.6
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif
Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari
diferensiasi limfosit B.
Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama
dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua
organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan
adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
8
menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori
di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan
diikat dan dibawa sel mukosa (sel -M), antigen presenting cells (APCs), sel
makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum
germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan
merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin Ig M pentamer diikuti
oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin Ig G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila
rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila
konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada
sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun
merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan
pembentukan imunoglobulin. Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur
4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat puberitas,
sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif
meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta
retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan
rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen.
Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan
produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga
berkurang.6
2.3 Defenisi Tonsilitis Difteri
Tonsillitis difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan
pseudo-membran pada kulit dan/ atau mukosa.2
9
2.4 Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60°, tahan dalam keadaan beku dan kering. Kuman tumbuh secara
aerob, bias dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang
mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia
C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltose dan sukrosa.1
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphteriae yaitu tiper gravis,
intermedius, dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
tipe serologic. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien
bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.Diphteriae. cirri khas
C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo
maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protin dengan berat molekul
62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan
suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag , toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene.1
2.5Epidemiologi
10
Difteri tersebar luas di seluruh dunia. Biasanya menyerang anak umur
kurang dari 10 tahun terbanyak usia 2-5 tahun. Eropa hamper sudah tidak ada
sedangkan di Indonesia di masa lampau banyak sedang kini sudah menurun.4
Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang dunia II, setelah
penggunaan toksoid difteri. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang
berkisar antara 5-10 %. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah 15 tahun,
meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadiian menurut umur
tergantung status imunitas populasi setempat. Factor social ekonomi,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,
merupakan factor penting terjadinya penyakit ini.1
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan
sarana penularan (vehicles of transmission).2
2.6 Patofisiologi
Kuman C.diphteriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam
sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA
yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino
ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk pelipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
11
kedudukan P. proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation
factor-2) yang aktif.1
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui proses: NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi local bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, darah infeksi semakin lebar dan terbentuklan
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,
membrane juga terdiri dari sel radang, eritrosit, dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membrane akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membrane akan
terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membrane dan jaringan edematus
dapat menyumbat jalan napas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi
dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
12
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan
jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada
serat otot dan system konduksi. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan
degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal.1
Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan karier. Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit ini 2-5 hari, masa
penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa
penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama
saluran pernafasan bagian atas.
Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk,
sendok, gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. Orang yang telah
terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orng lain yang noimmunized
delama enam minggu, bahkan jika mereka belum menunjukkan gejala apapun.
2.7Gejala Klinis
Gambaran klinik difteri dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala
lokal dan gejala akibat eksotoksin.3
13
a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran
napas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)
atau disebut juga Burgemeester’s hals.
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkaan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf cranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan
pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Gambar 3: Detritus dan Bull Neck5
14
2.8Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.3 Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara
Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media
loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-
vitro (tes Elek).1
2.9Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah:
Kardiovaskuler: Terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua.
o Takikardi (pada awalnya),lalu terjadi inflamasi miokardium akut
(bradikardi);
o Abnormalitas elektrokardiogram: depresi ringan segmen ST, kadang
disertai inverse gelombang T, gangguan konduksi (prognosis buruk);
o Miokarditis. Bunyi jantung 1 melemah, hipertrofi jantung, irama
gallop, murmur sistolik;
o Syok kardiogenik, akibat kerusakan miokardium yang ekstensif;
o Dekompensasi kordis
Urogenital: Nefritis
15
System saraf: toksin difteri mengakibatkan demyelinating
polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer yang dapat
berupa paralisis palatum (perubahan suara, disfagia); paralisis otot
oftalmik (tidak bisa membaca, strabismus, dilatasi pupil, ptosis); paralisis
otot wajah, paralisis nerfus frenikus (batuk, dispnea, pernapasan
torakoabdominal, sianosis); system respirasi (obstruksi, bronco-
pneumonia, atelektasis).8
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. 1
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih
2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%. Dosis yang diberikan untuk difteri
16
tonsil adalah 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan
beratnya penyakit.
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi
reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan
0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >
10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas
negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan
pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa
5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada
17
kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen
invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada
populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang
dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap
nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000
U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-). · Eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. ·
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat
ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada
kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila
terdapat penyulit miokarditis.
2.11 Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria, (2)
Adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) Paralisis difragma sebagai akibat
neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis
18
sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala
sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.1
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1Kesimpulan
Difteri yang terjadi pada tonsil adalah infeksi mendadak yang disebabkan
oleh bakteri Corynobacterium diphtheria yang dapat berakibat pada jalur
pernafasan, maka dari itu penyakit ini harus cepat terdiagnosa dengan cara
melakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang tepat termasuk pemeriksaan
penunjang dan laboratorium untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang
dapat mengakibatkan kematian.
Pasien biasanya datang dengan berbagai macam keluhan umum seperti
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan bersatu membentuk membrane semu yang melekat erat pada
dasarnya dan mudah berdarah, dapat juga meluas ke palatum mole, uvula,
19
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas.
Tonsillitis difteri juga menunjukan gejala yang khas yaitu leher sapi (bull neck)
atau disebut juga Burgemeester’s hals. Gejala akibat eksotoksin yang
dikeluarkaan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio
cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-
otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnose laryngitis difteri dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan seperti pemberian Anti
Difteri Serum harus cepat diberikan untuk mengurangi resiko kematian untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. Prognosis tonsillitis difteri baik apabila
penatalaksaanaan cepat setelah ditegakkan diagnose.
3.2Saran
Sering kita menemukan penyakit tonsillitis difteri ini pada masyarakat
dimana bisa berakibat fatal terutama pada bayi dan anak-anak karena dapat
menyebabkan terjadinya sumbatan jalan napas, dan komplikasi lain yang
disebabkan oleh bakteri C.diphtheriae diantaranya miokarditis dapat
mengakibatkan payah jantung dan decompensasio cordis, kelumpuhan otot
palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Sehingga bila kita dan masyarakat tidak mengetahuinya prognosis
penyakit ini bisa menjadi buruk. Bila kita dapat mendeteksi dini gejala gejala
tonsillitis difteri kita dapat mencegah komplikasi-komplikasi seperti yang sudah
disebutkan di atas dengan penatalaksanaan yang baik dan adekuat sehingga
dapat mengurangi angka kematian pada bayi dan anak-anak. Oleh karena itu
dibuatnya referat ini semoga bisa bermanfaat bagi kita para dokter muda yang
20
sedang menyelesaikan pendidikan klinis sebagai pengetahuan tentang tonsillitis
difteri dan edukasi kepada masyarakat dapat tersampaikan dengan baik
sehingga penatalaksanaan dapat tepat sasaran dan prognosis semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarmoo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, SriRezeki S. Hadinegoro,
Hindra Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2010
2. Arief Mansjoer, Suuprohata, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran
EGC
3. Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashirudin, Ratna Dwi
Restuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi ke-7. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012
21
4. Diktat Kuliah Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga
5. https://www.google.com/search gambar anatomi tonsil
6. http://repository.unand.ac.id/MIKROBIOLOGI TONSILITIS KRONIS
7. http://www.scribd.com/doc/TONSILITIS-DIFTERI#scribd
8. Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati, Eka Adi Pradipta. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi ke-4. Jakarta. 2014
22