Referat
Rhinitis Vasomotor
Disusun oleh :
Siti Noor Fadhila
1102009269
Pembimbing :
dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
dr. Elananda, Sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD dr.Slamet Garut
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “ RHINITIS VASOMOTOR ” yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. W. Gunawan Kurnaedi Sp.THT-KL selaku kepala SMF dan konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
2. Dr. Elananda Sp.THT-KL selaku Konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
3. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun dalam kegiatan klinik sehari-hari.
4. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang, mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
5. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungannya.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Garut, Maret 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis di definisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang melibatkan mukosa hidung.
Gejala-gejala rhinitis meliputi sumbatan pada hidung, hiperirritabilitas dan hipersekresi. Rhinitis
bisa disebabkan oleh bermacam-macam kondisi yang berbeda-beda alergi maupun non-alergi.
Gangguan vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung
yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan
pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi
kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topical hidung dekongestan).
Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibody
IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan
encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
BAB II
ANATOMI
ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, Columela
dan lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os
maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang di
pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebtu nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila
dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya disebut rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media, terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit
dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Gambar 2.1 Tulang dan tulang rawan hidung Gambar 2.2 Bagian dalam hidung
PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1. A. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding
lateral hidung.
2. A. etmoidalis posterior (cabang dari a. oftalmika), mendarahi septum bagian superior
posterior.
3. A. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach
( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.
Gambar 2.3 Perdarahan hidung
PERSARAFAN HIDUNG
1. Saraf motorik
Oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika
(N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.
maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik)
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan
mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan
sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung
dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n.
vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis
didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai
peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (Kolinergik)
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius
superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju
ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut
serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini
terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls
sekretomotorik/parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang
sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius (penciuman)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.
FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologi hidung dan
sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan udara inspirasi oleh
palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung di atur sehingga berkisar 37°C. Fungsi pengatur
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin.
2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dnegan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu ondra pengecap adalah
untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa
asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
3. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir,
dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
BAB III
RINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrapsepsi
oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan)
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi
IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.
EPIDEMIOLOGI
Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998), memperkirakan sebanyak 30 –
60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor dan lebih banyak
dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun demikian insidens pastinya tidak
diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 – 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor
bervariasi antara 7 – 21%.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989) dijumpai sebanyak
21% menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang
berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non – alergi dijumpai pada
dekade ke 3.
Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita
rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor. Sunaryo, dkk (1998)
pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta
menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus (1,38 %) sedangkan pasien dengan
diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (10,07 %).
ETIOLOGI
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan
keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue
PATOFISIOLOGI
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai ”siklus nasi ”. Dengan adanya siklus ini, seorang akan mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk nervus vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan
vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refels vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.
GEJALA KLINIS
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau
serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari
satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak
terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun
tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap
rokok dan sebagainya.
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok (post nasal
drip). Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu
golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners / sneezers).
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh
karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang
teliti untuk memastikan diagnosisnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis
infeksi, alergei, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang
mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa
hidun, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu
dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi).
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore
sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Kadang ditemukan eosinfil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit
biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.
Riwayat penyakit Tidak berhubungan dengan musim.
Riwayat keluarga ( - )
Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )
Timbul sesudah dewasa
Keluhan gatal dan bersin ( - )
Pemeriksaan THT Struktur abnormal ( - )
Tanda – tanda infeksi ( - )
Pembengkakan pada mukosa (+)
Hipertrofi konka inferior sering dijumpai
Radiologi X – Ray / CT Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan sinus
Umumnya dijumpai penebalan mukosa
Bakteriologi Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total Normal
Prick Test Negatif atau positif lemah
RAST Negatif atau positif lemah
PENATALAKSANAAN
Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala
yang menonjol. Secara garis besar pengobatan dibagi dalam :
1. Menghindari penyebab/pencetus
2. Pengobatan konservatif (farmakoterapi) :
- Dekongestan : Pseudoefedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline.
- Antihistamin : paling baik untuk golongan rinore.
- Kortikosteroid topical mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersn dengan menekan respon inflamasi local yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topical : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray)
3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat (chemical cautery) maupun secara elektrik (electrical cautery).
- Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of the inferior turbinate)
- Bedah beku konka inferior
- Reaksi konka persial atau total
- Turbinektomi dengan laser
- Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. Vidianus,
bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal. Operasi tidaklah mudah,
dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan,
lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita dan palatum. Dapat dilakukan
tindakan blocking ganglion sfenopalatina. Prognosis pengobatan golongan
obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat
mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.
KOMPLIKASI
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
PROGNOSIS
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik
dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinorea sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
menastikan diagnosisnya.
KESIMPULAN
1. Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idopatik yang didiagnosa tanpa adanya infeksi, alergi eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topical hidung dekongestan).
2. Etiologi dan patofisiologi pasti dari rhinitis vasomotor belum diketahui.
3. Rhinitis vasomotor memiliki gejala yang mirip dengan gejala rhinitis alergika sehingga diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
4. Penatalaksanaan rhinitis vasomotor disesuaikan dengan gejala yang menonjol/sesuai golongan.