BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blast injury atau trauma ledakan yang menimpa tubuh manusia bukan
merupakan hal yang baru, namun jarang ditemukan pada rumah sakit sipil.1
Dalam beberapa dekade terakhir, kasus ledakan bom di masyarakat sipil terus
meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teroris.1,2,3 Dari 1969 sampai
1983, di seluruh dunia terdapat 220 pemboman oleh aksi teroris yang
menewaskan 463 orang dan melukai 2894 orang. Dalam dekade berikutnya, di
Amerika Serikat (AS) saja terdapat 11.178 pemboman yang mengakibatkan 256
orang meninggal, 3.215 cedera, dan kerugian jutaan dolar. Peningkatan ini sekitar
400% jika dibandingkan antara 1984 dengan 19942. Diperkirakan, terdapat 3000
kasus bom di AS setiap tahunnya.4 Pemboman terbesar di AS adalah pemboman
Gedung Federal di Oklahoma City, pada 19 April 1995. Bom yang diletakkan di
dalam mobil menyebabkan runtuhnya sebagian gedung berlantai sembilan
tersebut. Terdapat 759 orang korban, 167 orang (22%) meninggal, 509 orang
(67%) menderita cedera ringan, dan 83 korban (11%) dirawat di rumah sakit. Pada
korban yang selamat, cedera jaringan lunak berupa laserasi, abrasi, kontusio, dan
puncture wound merupakan jenis cedera terbanyak, diikuti cedera muskuloskeletal
dan cedera kepala. Cedera jaringan lunak paling banyak diderita pada ekstremitas,
kepala dan leher, wajah, serta dada.2
Indonesia mencatat berbagai ledakan bom di luar perang di Timor Timur,
Aceh, maupun kerusuhan yang bersifat suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA) di berbagai daerah. Pada Maret 1990, terjadi ledakan granat di Cakung,
Jakarta Utara, karena pertikaian dua kelompok pekerja. Ledakan yang terjadi di
tempat terbuka tersebut mengakibatkan 9 orang korban: 6 orang meninggal di
tempat, 1 orang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
setelah 14 jam perawatan, dan 2 orang dirawat. Hasil otopsi terhadap semua
korban yang meninggal ditemukan cedera pada toraks, abdomen, otak, dan
vertebra. Kerusakan organ toraks berupa sobekan paru dan jantung ditemukan
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
pada 4 korban. Perdarahan parenkim paru yang disertai sobekan paru ditemukan
pada 2 korban. Cedera pada abdomen yang ditemukan adalah perforasi usus
multipel, hematoma usus, ruptur hepar, dan limpa. Sedangkan cedera pada otak
berupa sobekan otak, fraktur tulang temporal kominutif, dan kontusio jaringan
otak. Fraktur kominutif korpus vertebra servikal ditemukan pada satu orang. Satu
pasien meninggal setelah perawatan selama 14 jam akibat kontusio otak dan pada
otopsi ditemukan fraktur tulang temporal serta laserasi otak. Pada dua korban
yang dirawat, ditemukan adanya perdarahan intraperitoneal, hematoma
mesenterium dan usus, serta sobekan seromuskular ileum dan nekrosis colon
ascendens. Pada semua hasil otopsi didapatkan pecahan granat baik di otak,
rongga toraks maupun rongga abdomen. Korban kedua yang dirawat baru
menunjukkan tanda-tanda peritonitis setelah 22 jam perawatan. Pada laparotomi,
didapatkan perforasi jejunum, laserasi serosa jejunum, hematoma omentum dan
kurvatura major gaster, serta perforasi gaster dan pecahan granat serta kayu.5
Terdapat tendensi peningkatan ancaman bom dan kejadian ledakan bom di
Indonesia. Pada 1998 terdapat ancaman bom sebanyak 73 kasus, ditemukan 6
bom, dan hanya satu kasus yang benar-benar meledak. Pada 1999 jumlah ancaman
88 kasus dan ledakan terjadi pada 4 kasus. Sedangkan pada 2000, sampai
September tercatat 49 kasus ancaman bom, 8 di antaranya meledak. Dalam bulan
Agustus 2000, terjadi 5 ledakan. Ledakan yang menimbulkan korban adalah
ledakan yang terjadi di depan rumah duta besar Filipina pada 1 Agustus 2000.6
Pemboman rumah duta besar Filipina yang terjadi pada 1 Agustus 2000
menelan korban 22 orang, 1 orang di antaranya meninggal di tempat. Mayoritas
korban (20 orang) menderita cedera jaringan lunak dan muskuloskeletal dengan
RTS (revised trauma score). Satu korban dengan RTS 4,007 (kontusio paru, syok
hemoragik derajat III, cedera kepala berat/CKB, dan luka bakar 33%) meninggal
dunia setelah resusitasi hampir 2 jam. Kecacatan akibat amputasi traumatik jari-
jari tangan kiri didapatkan pada 1 korban.7
Kasus pemboman terakhir yang menelan korban jiwa terjadi di pelataran
parkir bawah tanah gedung Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. Ledakan
berkekuatan 5 kg trinitrotoluen (TNT) tersebut mengakibatkan 10 orang
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
meninggal dan 26 lainnya luka-luka. Pada kasus ini, tidak ada satupun korban
yang diotopsi karena keluarga menolak tindakan tersebut.8
Peningkatan kejadian ledakan bom di Indonesia ini memerlukan perhatian
khusus, terutama dari sisi medis dalam menangani korban ledakan yang umumnya
bersifat masal dan dengan cedera multipel. Cedera yang diakibatkan trauma
ledakan bersifat kompleks dan mempunyai patofisiologi tersendiri. Pemahaman
mengenai mekanisme cedera akibat trauma ledakan diperlukan dalam penanganan
pasien-pasien tersebut.1,3
Berdasarkan peningkatan kasus Blast Injury dewasa ini dan pentingnya
penanganan yang tepat pada korban blast injury maka tim penulis akan membahas
mengenai definisi, klasifikasi, patofisologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan kasus trauma ledakan dalam referat yang diberi judul “ Blast
Injury.”
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari referat yaitu sebagai berkut :
1. Apa yang dimaksud dengan luka ledakan ?
2. Bagaimana mekanisme trauma ledakan?
3. Sebutkan jenis-jenis luka ledakan ?
4. Bagaimana gejala klinis dari luka ledakan?
5. Sebutkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap luka ledakan?
6. Bagaimana penatalaksanaan luka ledakan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan kasus Blast Injury sesuai
dengan derajat dan organ yang terkena kasus ledakan
2. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Ujian Kepanitraan
Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Haluoleo–Rumah Sakit Bhayangkara.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
D. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani
kepaniteraan klinik di bagian Forensik dan Medikolegal khusunya yang
berhubungan dengan luka akibat ledakan.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ledakan memiliki kemampuan yang menyebabkan multisistem, cedera
yang mengancam hidup dalam satu atau beberapa korban secara bersamaan. Jenis
kegiatan triase kompleks ini, diagnostik, dan tantangan manajemen untuk
penyedia layanan kesehatan. Ledakan dapat menghasilkan pola cedera klasik dari
tumpul dan penetrasi mekanisme untuk beberapa sistem organ, namun mereka
juga dapat mengakibatkan cedera pola yang unik untuk organ tertentu termasuk
paru-paru dan sistem saraf pusat. Memahami perbedaan-perbedaan penting adalah
penting untuk mengelola situasi ini.
Gambar 1. Ledakan Bom
Tingkat dan pola cedera yang dihasilkan oleh ledakan adalah akibat
langsung dari beberapa faktor, termasuk jumlah dan komposisi bahan peledak
(misalnya, keberadaan pecahan peluru atau material lepas yang dapat mendorong,
radiologi atau kontaminasi biologi), lingkungan sekitarnya (misalnya, adanya
campur tangan pelindung), jarak antara korban dan ledakan, metode pengiriman
jika bom yang terlibat, dan setiap bahaya lingkungan lainnya. Tidak ada dua
peristiwa yang identik, dan spektrum dan tingkat cedera yang dihasilkan sangat
bervariasi.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Blast (shock) gelombang merupakan tekanan yang ditransmisikan radial
dari sumber ke medium sekitarnya. Terdiri dari 3 komponen: fase positif, fase
negatif dan blast wind atau mengikuti pergerakan angin. Karakteristik bahan
peledak konvensional adalah variasi dalam tekanan ambien dari waktu ke waktu.
Selama fase positif, gelombang menyebabkan peningkatan pesat dalam tekanan
udara ambien (overpressure). Efek biologi ledakan konvensional tergantung
terutama pada: peak overpressure dan durasi fase positif.
Sedangkan blast berupa gelombang menyebabkan cedera akibat
pembebanan eksternal yang sangat pesat dalam tubuh dan organ yang dapat
menyebabkan cedera internal di udara yang mengandung organ eksternal tanpa
tanda-tanda trauma seperti pada telinga bagian dalam, paru – paru dan sistem
gastrointestinal.
B. Mekanisme Blast Injury(trauma ledakan)
Bahan peledak dikategorikan sebagai bahan peledak high-order (HE) atau
bahan peledak low-order (LE). HE menghasilkan gelombang kejut supersonik
menentukan over-tekanan. Contoh HE meliputi TNT, C-4, Semtex, nitrogliserin,
dinamit, dan ammonium nitrat bahan bakar minyak (ANFO). LE membuat
ledakan subsonik dan kurangnya HE's gelombang selama-tekanan. Contoh LE
termasuk bom pipa, mesiu, dan bom minyak bumi berbasis paling murni seperti
bom molotov atau pesawat improvisasi sebagai peluru kendali. LE dan HE
menyebabkan cedera pola yang berbeda. Peledak dan pembakar (api) bom lebih
lanjut ditandai berdasarkan sumber mereka. "Diproduksi" berarti standar militer
dikeluarkan, massa yang dihasilkan, dan kualitas senjata-diuji. "Diimprovisasi"
menggambarkan senjata yang diproduksi dalam jumlah kecil, atau penggunaan
perangkat di luar tujuan yang dimaksudkan, seperti pesawat komersial
mengkonversi ke dalam peluru kendali. Diproduksi (militer) senjata ledakan HE
berbasis secara eksklusif. Teroris akan menggunakan apa saja yang tersedia - yang
diperoleh secara ilegal senjata diproduksi atau alat peledak improvisasi (juga
dikenal sebagai "IEDs") yang mungkin terdiri dari HE, LE, atau keduanya.
Diproduksi dan improvisasi bom menyebabkan cedera yang sangat berbeda.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Kecelakaan dari blast injury (luka ledakan) melibatkan korban yang menderita
cedera jaringan lunak. Prinsip mekanisme kecelakaan melibatkan energi kinetik
yang besar dalam waktu singkat berupa :
a. High Order Explosives
Merupakan ledakan yang besar akibat reaksi bahan kimia. Bahan kimia
yang dimaksud adalah nitroglyserin, dinamit, C-4, campuran Amonium Nitrat
& bahan bakar minyak. Untuk detonasi, digunakan bahan kimia yang dirubah
menjadi bentuk gas dengan tekanan & temperature yang tinggi. Contohnya
ledakan yang dihasilkan oleh C-4 yang dapat menghasilkan gelombang yang
luas. Naiknya tekanan atau gelombang ledakan disebut “Overpressure”.
Gelombang tekanan meningkat dengan segera & cepat. Jumlah kerusakan dari
gelombang tekanan ini tergantung :19
Tekanan puncak yang dihasilkan (Overpressure 60-80 Potensial Lethal)
Durasi
Medium tempat terjadinya ledakan (udara, air)
Jarak dari tempat ledakan
b. Low Order Explosives
Merupakan ledakan yang dihasilkan oleh tekanan dan energi yang
rendah yang menyebabkan luka bakar. Ledakan ini disebut “Propellants”
sebab digerakkan oleh objek yang menyerupai peluru yang meluncur dengan
cepat. Ledakan yang rendah dihasilkan dari bubuk mesiu dan molotov. 19
C. Klasifikasi
Empat mekanisme dasar cedera ledakan ini disebut sebagai primer,
sekunder, tersier, dan kuaterner. "Blast Wave" (primer) mengacu pada impuls-
tekanan intens dibuat oleh diledakkan HE. Blast injury yang ditandai dengan
perubahan anatomis dan fisiologis dari angkatan atas-tekanan secara langsung
atau reflektif mempengaruhi permukaan tubuh. " Ledakan gelombang HE "
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
(komponen overpressure) harus dibedakan dari "angin ledakan" (aliran udara
paksa super-dipanaskan).
1. Trauma Ledakan Primer
Cedera ledakan secara langsung disebabkan oleh barotrauma yang
biasanya terjadi karena udara memasuki organ-organ, sehingga mengalami
kerusakan oleh tekanan dinamik di jaringan, tetapi tergantung dari lokasi
ledakan. Ruptur dari membran timpani, kerusakan paru dan emboli udara, dan
ruptur organ dalam adalah penyebab primer dari blast injury (luka ledakan).
Membran timpani adalah struktur yang memiliki tehanan yang paling rendah
terhadap tekanan dari ledakan. Gendang telinga dapat menahan efek dari
ledakan. Peningkatan tekanan 5 Psi di atas tekanan atmosfer dapat
menyebabkan rupturnya gendang telinga, yang bermanifestasi pada ketulian,
tinnitus dan vertigo. Apabila tekanan dinamik tinggi, maka ossikula dari
telinga tengah dapat terlepas. Gangguan karena trauma dapat menyebabkan
tuli permanen. Ruptur membran timpani adalah komplikasi dari blast injury
(luka ledakan). Beberapa pasien mengalami kerusakan paru tetapi membran
timpaninya tidak ruptur. Pada Primary Injury terjadi perforasi gendang telinga.
Organ lain yang mengalami kelainan setelah kecelakaan ledakan adalah mata
& luka bakar pada tubuh.19
Paru adalah organ kedua yang mudah mengalami cedera akibat Primer
Blast Injury, akibat perbedaan tekanan antara alveolar-capillary disebabkan
oleh Hemothorax, Pneumothorax, Pneumomediastinum, & Subcutaneus
emphysema. Perhatian ini timbul dari tekanan yang bersumber dari gelombang
ledakan. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ditemukan pembesaran
jantung atau emboli udara pada pasien yang menderita Primary Blast Injury
yang sering menyebabkan kematian. Cedera pada paru setelah ledakan
digambarkan sebagai kombinasi gejala paru yang disebabkan oleh paparan
gelombang yang dihasilkan oleh ledakan. Biasanya cedera ledakan pada paru
terjadi kira-kira 1-10%. Cedera pada paru setelah terjadi ledakan dapat
digambarkan sebagai ”Acute Respiratory Distress” dengan gejala sesak,
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
bradikardi, hipotensi. Pasien kemungkinan menderita hipoxemia, hemoptysis,
& dapat diintubasi endotracheal. Cedera pada paru setelah ledakan dapat di
identifikasi dengan foto thorax di rumah sakit terdekat.
Colon adalah organ viscera yang sering terkena akibat Primary Blast
Injury berupa ruptur colon yang disebabkan oleh Ischemik Mesenterik. Selain
itu Primary Blast Injury juga dapat menyebabkan perdarahan dari hati, lien,
ginjal, selain itu dapat menyebabkan ruptur bola mata, & serous retinitis. 19
a. Trauma Ledakan Sekunder
Banyaknya ledakan yang berisi metalik atau fragmen lainnya yang
dapat menyebabkan luka penetrasi yang berakibat timbulnya kematian.19,20.
Suatu ledakan dapat menghamburkan bermacam-macam benda di sekitarnya
(paku, logam, kaca, kayu, dll) disebabkan oleh tekanan yang dihasilkan oleh
angin & mengenai korban. Rata-rata debu & kotoran yang berasal dari tanah
atau lumpur dapat meninggalkan karakteristik yang sama berupa warna
kehitam-hitaman pada kulit.
b. Trauma Ledakan Tersier
Trauma ledakan tersier merupakan hasil dari displasement pada pasien
oleh angin ledakan. Kadang pasien sampai terlempar hingga ke tanah,
sehingga dapat terjadi Abrasi, Kontusi & cedera tumpul. Biasanya pasien
terlempar ke udara. Trauma ledakan tersier terjadi pada tahun 1995 di kota
Oklahoma yang mendapat serangan Bom, dimana 135 orang dilaporkan
terlempar akibat tekanan yang berasal dari ledakan & mengenai objek di
sekitarnya.Ledakan yang menimbulkan kolaps dari dinding pembuluh darah
yang bisa menyebabkan kematian akibat trauma yang luas. Crush syndrome
dapat menyebabkan colaps karena kerusakan jaringan otot & pelepasan
myoglobin, potassium, & phosphate. Selain itu Crush Syndrom dapat
menyebabkan gagal ginjal karena retensi potassium yang berlebih dapat
menyebabkan kerusakan otot. Oleh karena itu di butuhkan pengobatan yang
tepat dengan melakukan hidrolisis & Alkalization. 19,20
Sindrom kompartemen dapat terjadi karena penyakit dekompresi
disertai dengan gejala pembengkakan otot, Ischemia, penurunan perfusi
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
jaringan. Kompartemen syndrome dapat menyebabkan kematian jaringan.
Kompartemen syndrome biasanya terjadi pada extremitas. Tertiary blast
Injury juga terjadi pada orang yang mengalami luka karena ledakan yang
mengakibatkan fraktur, cedera otot terbuka atau tertutup19,20.
c. Trauma Ledakan kuarterner
Trauma ledakan kuartener disebut juga Miscellaneous Injuries yang
disebabkan oleh kecelakaan akibat ledakan atau karena penyakit. Quarternar
Blast Injuries meliputi komplikasi dari kondisi yang ditemukan. Contohnya
dapat terjadi pada wanita hamil atau pada pasien yang mengkomsumsi
anticoagulant. Quarternary Injuries meliputi luka bakar (kimia), keracunan,
radiasi, Asfiksia ( berupa CO atau Cyanida, Asbes ). Quarternar Blast Injuries
bisa juga disebabkan oleh bom. Trauma ledakan Quarterner disebabkan dari
bermacam-macam dampak dari ledakan, termasuk luka bakar kimia, debu
yang mengandung racun & terhirup, paparan radiasi, terkena reruntuhan
gedung. Fase ini dapat terjadi dalam periode yang panjang, contohnya Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Luka bakar kimia atau terhirupnya debu
yang mengandung racun dapat berasal dari racun yang dikandung oleh bahan-
bahan ledakan atau dari material-material setelah terjadi ledakan19,20.
Tabel 1. Mekanisme Cedera ledakan
Kategori Karakteristik Bagian Tubuh
Terkena Jenis Cedera
Primary Unik untuk HE, hasil dari dampak gelombang selama tekanan dengan permukaan tubuh.
Struktur diisi gas terutama paru-paru, saluran pencernaan, dan telinga bagian tengah.
Blast lung (pulmonary barotrauma)
Membran timpani pecah dan merusak telinga bagian tengah
Abdomen perdarahan dan perforasi - Globe (mata) pecah-Konkusi (TBI tanpa tanda-tanda fisik dari cedera kepala)
Secondary Hasil dari terbang Setiap bagian Menembus balistik
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
puing-puing dan pecahan bom.
tubuh yang mungkin akan terpengaruh.
(fragmentasi) atau cedera tumpul
penetrasi mata (bisa terjadi)
Tertiary Hasil dari individu yang dilemparkan oleh angin ledakan.
Setiap bagian tubuh yang mungkin akan terpengaruh.
Fraktur dan trauma amputasi
Cedera otak tertutup dan terbuka
Quaternary
Semua ledakan yang berhubungan dengan cedera, penyakit, atau penyakit bukan karena primer, sekunder, atau tersier mekanisme. Termasuk eksaserbasi atau komplikasi dari kondisi yang ada.
Setiap bagian tubuh yang mungkin akan terpengaruh.
Burns (flash, parsial, dan ketebalan penuh)
Crush cedera otak tertutup dan
terbuka Asma, PPOK, atau
masalah pernapasan lainnya dari debu, asap, atau asap beracun
Angina Hiperglikemia,hipertensi
D. Gejala klinis
Tabel 2. Gejala Klinis Pada Cedera Ledakan
Sistem Cedera atau Kondisi
Auditori Membran timpani pecah, gangguan ossicular, kerusakan koklea, asing
tubuh
Mata, Orbita,
Wajah
Berlubang dunia, benda asing, emboli udara, patah tulang
Pernafasan Ledakan paru-paru, hemothorax, pneumotoraks, luka memar paru dan
perdarahan, fistula AV (sumber emboli udara), kerusakan epitel saluran
napas, aspirasi pneumonitis, sepsis
Pencernaan Perforasi usus, perdarahan, pecah hati atau limpa, sepsis, iskemia
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
mesenterika dari emboli udara
Peredaran
darah
Jantung memar, infark miokard dari emboli udara, shock, hipotensi
vasovagal, cedera pembuluh darah perifer, emboli udara yang
disebabkan cedera
Cedera SSP Gegar otak, cedera otak terbuka dan tertutup, stroke, cedera tulang
belakang, emboli udara yang disebabkan cedera
Cedera ginjal Ginjal memar, luka, gagal ginjal akut karena rhabdomyolysis, hipotensi,
dan hipovolemia
Cedera
ekstremitas
Trauma amputasi, patah tulang, luka menghancurkan, sindrom
kompartemen, luka bakar, luka, lecet, oklusi arteri akut, emboli udara
yang disebabkan cedera
Cedera pada paru merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar
akibat ledakan bom10,11,15. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kematian segera
paling banyak disebabkan oleh perdarahan pulmonal yang disertai dengan
sufokasi. Emboli udara masif juga merupakan penyebab kematian segera1. Besar
tekanan yang dapat mengakibatkan cedera primer paru lebih dari 40 psi1.
Kompresi dinding dada yang terjadi berpengaruh terhadap keparahan cedera11,19,20.
Tenaga yang mengenai rongga toraks dan penggunaan rompi pelindung juga
mempengaruhi cedera yang terjadi. Di dalam rongga toraks, gelombang tekanan
akan mengalami refleksi dan peningkatan besar tekanan. Ini mengakibatkan
adanya konsentrasi tekanan yang besar pada beberapa tempat, terutama yang
dekat dengan organ padat seperti mediastinum dan hepar, sehingga cedera pada
daerah ini lebih parah13,23,24. Istilah blast lung digunakan untuk menggambarkan
cedera ledakan primer pada paru berupa kontusio paru dan insufisiensi
pernapasan, yang disertai atau tanpa disertai tanda-tanda barotrauma
pulmonal,11,14. Pada cedera paru-paru primer, terjadi mikrohemoragik pada alveoli,
disrupsi perivaskular dan peribronkial, serta dinding alveolus sobek yang
mengakibatkan paru-paru penuh darah dan emfisematosa1,13. Barotrauma dapat
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
mengakibatkan sobeknya septa-septa alveolus. Sobekan ini mengakibatkan
hubungan antara rongga pleura dengan udara luar, yang pada akhirnya
mengakibatkan pneumotoraks10. Ini ditemukan pada pasien kedua. Selain terjadi
kontusio paru, juga terjadi hematopneumotoraks, yang dapat disebabkan oleh
cedera primer maupun oleh cedera sekunder akibat fragmen besi yang masuk
melalui sela iga II anterior sampai mencapai sela iga VI posterior. Gejala-gejala
yang ditemukan, selain adanya hemoptisis, ronki, dan sesak napas, juga
ditemukan dinding dada yang tidak simetris pada keadaan statis dan dinamis serta
penurunan suara napas pada sisi kanan. Adanya kontusio paru dibuktikan dengan
hasil pemeriksaan patologi anatomi yang menunjukkan adanya perdarahan dalam
alveolus yang mencapai bronkiolus terminal. Pada cedera primer paru, terjadi
edema di mana alveolus terisi eosinofil. Edema ini dapat membentuk membran
hialin pada dinding-dinding saluran napas kecil3,11,13. Membran hialin yang
terbentuk ini berperan dalam proses pembentukan sikatriks. Dalam penelitian
yang dilakukan di Swedia, atelektasis dijumpai pada seluruh subjek penelitian14.
Atelektasis ini terjadi karena pada cedera paru primer terjadi peningkatan
produksi mukus, penurunan kemampuan evakuasi mukus, serta penurunan
produksi surfaktan. Ketiga faktor tersebut mengakibatkan kolapsnya alveolus13,20.
Akibat lain yang ditakutkan pada trauma ledakan adalah adanya emboli udara.
Emboli udara hanya terjadi pada pasien dengan kontusio paru dan mengakibatkan
kematian dalam jam pertama,11,13. Emboli terjadi akibat adanya fistula
bronkovaskular yang dapat merupakan akibat langsung trauma ledakan maupun
sebagai komplikasi penatalaksanaan gagal napas3. Adanya emboli udara tidak
dapat disingkirkan pada pasien pertama. Pasien kedua jelas tidak menderita
kelainan ini karena tidak ada gejala maupun tanda adanya emboli. Gejala dan
tanda memberikan gambaran infark miokard, kebutaan, lidah yang pucat, dan
livedo reticularis, yaitu bercak-bercak merah kebiruan pada ekstremitas, serta
gangguan serebrovaskular berupa defisit neurologis fokal. Pada cedera ledakan
yang ringan, fungsi respirasi dapat segera kembali normal dalam 24 jam.
Sedangkan pada cedera lebih berat, fungsi ini mengalami penurunan 24 jam pasca
trauma29. Efek jangka panjang cedera ledakan primer pada paru-paru dapat berupa
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
resolusi total atau fibrosis11,20. Foto toraks umumnya mengalami perbaikan dalam
waktu satu minggu dan mengalami resolusi sempurna setelah lima bulan.
Pemeriksaan fungsi paru-paru kembali normal dalam jangka waktu satu tahun
pasca trauma30. Efek jangka panjang pada pasien kedua belum dapat ditentukan
karena belum dilakukan pemeriksaan fungsi paru.
Cedera pada gastrointestinal tidak selalu terjadi11. Cedera pada sistem ini
terjadi terutama pada kasus-kasus ledakan di dalam air atau dalam ruangan
tertutup1,3. Hal ini terjadi karena traktus gastrointestinal mempunyai ambang yang
lebih tinggi dibanding traktus respiratorius11. Mekanisme cedera yang terjadi sama
dengan mekanisme cedera primer paru-paru. Pemakaian rompi pelindung
melindungi usus halus dari cedera primer. Cedera primer pada gastrointestinal ini
penting secara klinis karena sulit dideteksi. Lesi pada usus sering tidak
terdiagnosis sampai timbul komplikasi antara lain perforasi sekunder5. Cedera
terutama mengenai caecum dan kolon karena volume udara lebih besar dan
dindingnya lebih tipis1,11,18. Cedera primer pada gastrointestinal dibagi menjadi
cedera primer dengan perforasi dan cedera primer tanpa perforasi. Cedera yang
disertai dengan perforasi dibagi lagi menjadi perforasi primer dan sekunder.
Perforasi primer terjadi sebagai akibat langsung gelombang tekanan, sedangkan
perforasi sekunder terjadi dalam beberapa tahap perubahan morfologis dinding
usus11. Perforasi primer terjadi pada cedera yang berat yang mengakibatkan
laserasi usus dengan perdarahan per anum yang masif. Sedangkan bentuk kelainan
yang lebih ringan dapat berupa edema dan kontusio usus1,3,11. Pada kontusio usus,
terjadi perdarahan di bawah peritoneum viseral yang berlanjut ke mesenterium.
Pada kontusio usus ini dapat terjadi perforasi yang dapat muncul 24--48 jam
bahkan 5 hari pasca trauma1,9. Perforasi sekunder ini terjadi karena nekrosis akibat
iskemi pada tempat hematom9,11. Perforasi sekunder ini terjadi mulai dari mukosa
dan menyebar secara sentrifugal ke arah serosa12. Terdapat klasifikasi histologis
cedera primer gastrointestinal (Tabel 2). Pada cedera ringan, kerusakan hanya
meliputi mukosa. Cedera yang ringan dapat mengalami resolusi sempurna dalam
3 sampai 7 minggu pasca trauma31. Semakin berat cedera yang terjadi, semakin
dalam lapisan yang mengalami kerusakan32. Cedera pada lapisan serosa secara
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
pasti merupakan bukti adanya cedera yang berat. Cedera derajat IV dan V
mempunyai risiko tinggi perforasi sekunder11,15,19. Umumnya, cedera organ padat
abdomen disebabkan oleh cedera sekunder dan tersier dengan overpressure yang
tinggi3,11,13,20
Cedera ledakan primer menyebabkan sistem pendengaran morbiditas yang
signifikan, namun mudah dilupakan. perforasi TM adalah cedera yang paling
umum ke telinga bagian tengah. Tanda-tanda cedera telinga biasanya hadir pada
saat evaluasi awal dan harus dicurigai bagi siapa pun penyajian dengan kehilangan
pendengaran, tinnitus, otalgia, vertigo, perdarahan dari saluran eksternal, pecah
TM, atau otorhea mukopurulen. Semua pasien terkena ledakan harus memiliki
penilaian otologic dan Audiometri.
Gelombang ledakan primer dapat menyebabkan gegar otak atau cedera
otak ringan traumatis (MTBI) tanpa pukulan langsung ke kepala.
Mempertimbangkan kedekatan korban untuk ledakan khususnya ketika diberikan
keluhan sakit kepala, kelelahan, konsentrasi yang buruk, kelesuan, depresi,
gelisah, insomnia, atau gejala konstitusional lainnya. Gejala gegar otak dan post
traumatic stress disorder dapat serupa.
Tabel 3. Perjalanan klinis akibat cedera ledakan
Gejala Akut (0-2 Jam) Subakut (2-48 Jam)
Kronis (> 48 Jam)
Konstitusional Dyspnea Malaise Apati Amnesia
Dyspnea Semakin memburuk
Demam
Localized Pleuritic Chest Pain
Batuk non-produktif
Cardiac Chest Pain
Sakit perut Hematochezia Hematemesis
Baru atau Sakit Dada Progresif
Batuk Produktif Emesis empedu Baru atau Sakit
perut Progresif Mual Dorongan untuk
buang air besar
Gangguan Pendengaran persisten
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Sakit Telinga Gangguan
Pendengaran Vertigo Jangar Balance
Problems Saldo Masalah
Sakit mata Perubahan
Visual Focal Numbness Parestesia
Tinnitus
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Pada Cedera Ledakan
Tanda Akut (0-2 Jam) Subakut (2-48 Jam)
Inspeksi Menembus trauma Trauma amputasi Aktivitas kejang Kesulitan pernafasan Hemoptisis Pharyngeal petechiae Lidah blansing Tergantung pada
macam bintik-bintik dari kulit non
Tidak memadai ekspansi dinding dada
Lecet
Auskultasi Nafas asimetrik Sounds Rales Wheezes
Nafas Baru asimetrik Sounds
Palpation Emfisema subkutan Abdominal Tenderness Spinal deformity or
Tenderness
Baru atau nyeri perut progresif
Abdominal rigidity or rebound tenderness
Percussion Dada simetris Perkusi
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Lain Status Diubah Mental
Focal Neurologic Deficit
Demam Delayed Shock
E. Pemeriksaan Penunjang
Dalam menangani pasien dengan trauma ledakan, pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan adalah foto toraks untuk melihat tanda-tanda kontusio paru
dan barotrauma. Gambaran khas pada cedera paru primer adalah gambaran
bercak-bercak infiltrat. Kontusio awalnya terjadi pada daerah hilus. Pada keadaan
yang lanjut, terjadi gambaran keputihan pada seluruh lapang paru seperti
gambaran stadium akhir ARDS1,3. Foto toraks juga dapat menunjukkan adanya
udara bebas di bawah diafragma, yang merupakan tanda ruptur organ pada sistem
gastrointestinal. Pemeriksaan penunjang lain yang berguna adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap. Ini berguna untuk membantu dalam penentuan jumlah
transfusi yang akan diberikan. Pemeriksaan kimia darah tidak berguna dalam
menentukan ada tidaknya dan derajat beratnya cedera ledakan primer3.
Pemeriksaan cedera primer pada gastrointestinal meliputi pemeriksaan
fisik, CT (Computed Tomography) scan abdomen, dan diagnostic peritoneal
lavage (DPL)3,9. CT scan abdomen, walaupun mempunyai spesifisitas tinggi,
sensitivitasnya rendah, terutama dalam mendeteksi adanya cedera gastrointestinal.
Endoskopi berperan sangat penting dalam mendiagnosis cedera primer tanpa
perforasi11,14. Yang perlu diingat adalah pemeriksaan radiologis dan bahkan
pemeriksaan DPL sering tidak tepat jika dilakukan awal. Pemeriksaan fisik
melalui follow-up yang cermat lebih efektif dalam mendiagnosis adanya perforasi
sekunder31,32. Pasien dengan riwayat trauma ledakan primer yang signifikan
sebaiknya dimonitor dengan baik selama 48 jam. Pada pasien dengan kesadaran
menurun, masalah lebih rumit karena tidak dapat dilakukan pemeriksaan fisik
dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya perforasi sekunder, eksplorasi
abdomen dapat dilakukan 48 jam pasca trauma walaupun abdominal tap inisial
negatif12.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Penanganan cedera ledakan pada traktus gastrointestinal sama seperti
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen lainnya. Namun, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Korban dengan keluhan abdomen, namun pemeriksaan CT scan dan DPL
negatif harus dimonitor secara ketat, mengingat sering terjadi peritonitis dan
abses intraabdomen beberapa hari, bahkan beberapa minggu setelah
ledakan3,5.
2. Jika akan dilakukan CT scan, maka pemeriksaan tersebut harus dilakukan
terlebih dahulu sebelum melakukan DPL. DPL akan meninggalkan udara dan
cairan dalam rongga intraperitoneum3.
3. Foto toraks harus dilakukan sebelum laparotomi atau pembedahan lainnya
untuk mencari tanda-tanda barotrauma. Pasien dengan cedera ledakan primer
pada paru-paru mempunyai risiko yang lebih tinggi pada anestesi umum. Hal
ini berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik selama dan pasca
operasi17. Risiko perburukan barotrauma dan emboli udara dapat dikurangi
dengan mempertahankan tekanan seminimal mungkin atau menggunakan
anestesi lokal atau regional. Jika ditemukan tanda-tanda barotrauma pada foto
toraks pre-operatif maka tube torakostomi bilateral harus dipasang3.
4. Mengingat risiko anestesi yang besar pada pasien trauma ledakan maka
laparotomi hanya dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda cedera
gastrointestinal yang jelas, baik secara klinis maupun radiologis8.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan
berdasarkan standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan
korban masal3. Dalam menilai penatalaksanaan pasien dalam ilustrasi kasus ini,
sebaiknya ditinjau dari penanganan disaster pra-rumah sakit dan di rumah sakit1.
Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, diketahui bahwa penanganan di
lapangan yang tidak terorganisasi mengakibatkan tingginya kematian, sedangkan
penanganan yang terorganisasi dengan baik akan menurunkan mortalitas16,17.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Koordinasi yang baik antara petugas medis dan polisi di lapangan sangat
diperlukan16.
Pada saat pra-rumah sakit, sebaiknya pasien berbaring dengan bertumpu
pada hemitoraks yang sakit. Ini untuk mencegah masuknya perdarahan pada sisi
yang sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme dan penurunan
fungsi alveolus19.
Triage di rumah sakit sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman dan berdasarkan status fisiologis pasien yang dinilai dengan
menggunakan RTS1,17. Dalam pedoman penanganan umum trauma ledakan, yang
penting dilakukan adalah mempertahankan jalan napas, membantu ventilasi jika
ventilasi spontan tidak mencukupi, dan mempertahankan sirkulasi yang
adekuat3,9,18. Bantuan ventilasi mekanik pada pasien dengan cedera primer paru
berisiko terhadap terjadinya barotrauma dan emboli udara. Oleh karena itu,
tekanan puncak inspirasi dan volume puncak inspirasi perlu diatur3,15.
Penatalaksanaan pasien yang dicurigai dengan emboli udara dimulai
dengan pemberian suplementasi oksigen. Suplementasi oksigen ini bertujuan
untuk memperbaiki difusi gas dan membantu absorpsi udara di arteri. Proses ini
terjadi lebih cepat jika kandungan oksigen lebih tinggi dibanding nitrogen3,13.
Langkah berikutnya adalah untuk membatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh
emboli dengan memposisikan tubuh pasien dengan tepat. Sebaiknya, pasien dalam
posisi left lateral decubitus dengan kepala lebih rendah untuk mencegah terjadinya
gangguan serebrovaskular dan infark miokard3,13,18. Terapi definitif emboli udara
adalah dengan terapi hiperbarik. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi
volume gelembung, akselerasi resolusi gelembung, dan memperbaiki oksigenasi
jaringan3,13,18.
Langkah penting berikutnya dalam resusitasi pasien korban ledakan adalah
mempertahankan sirkulasi. Hipotensi yang terjadi pada kasus trauma ledakan
disebabkan kehilangan darah melalui luka yang terjadi pada cedera sekunder,
perdarahan gastrointestinal, emboli udara, dan refleks vagal3,14. Resusitasi cairan
harus segera dilakukan, namun pemberian cairan jangan berlebihan16. Hal ini akan
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
memperburuk kontusio paru yang terjadi karena peningkatan permeabilitas paru-
paru yang pada akhirnya mengakibatkan ARDS3,18.
Resusitasi cairan sebaiknya menggunakan darah atau koloid daripada
kristaloid. Jika cairan kristaloid digunakan, sambil menunggu tersedianya darah
gunakan NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pada perdarahan masif dapat digunakan
cairan NaCl hipertonik 7.2--7.5%. Pada kasus dengan kehilangan darah sampai
50%, pemberian NaCl hipertonik ini dengan jumlah 1/10 volume darah yang
hilang dapat mempertahankan tekanan pengisian jantung, cardiac output, dan
tekanan darah sistemik. Jika dikombinasi dengan koloid seperti Dextran, hasil
akan lebih optimal17.
Tekanan pengisian kardiovaskular perlu dinilai pada pasien cedera ledakan
yang mengalami hipotensi. Ini dilakukan dengan mengukur tekanan vena sentral
atau kateter arteri pulmonalis. Pengukuran status volume intravaskular ini penting
untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan3,18,20. Kelebihan cairan akan
memperparah cedera paru-paru yang terjadi dan menurunkan compliance paru-
paru28. Setelah status hemodinamik stabil, dilakukan restriksi cairan untuk
mengurangi risiko terjadinya ARDS pada pasien dengan kontusio paru3.
Masalah sistem saraf pusat pada pasien pertama adalah adanya fraktur
tulang temporal kiri dan kemungkinan adanya perdarahan epidural mengingat
lokasi fraktur dan adanya lateralisasi ke kiri. Pasien masuk sudah dengan tanda-
tanda herniasi unkus dan gangguan pada pons yang ditandai dengan pin point
pupil dengan refleks cahaya menurun. Peningkatan tekanan intrakranial pada
pasien ini dapat juga disebabkan oleh edema serebri yang terjadi primer akibat
cedera kepala maupun sekunder akibat cedera primer paru-paru. Cedera primer
paru-paru dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf pusat berupa edema
serebral. Ini terjadi akibat pelepasan leukotrien dan peningkatan produksi lipid
peroksidase yang mengganggu fungsi membran sel otak dan gangguan elektrolit18.
Seharusnya, rongga kranium harus didekompresi segera. Tidak tertanganinya
masalah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan herniasi unkus mengakibatkan
kematian pada pasien pertama.Setelah kondisi pasien stabil, dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada anamnesis yang perlu diperhatikan
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
adalah jarak dari sumber ledakan, lokasi ledakan, dan penggunaan lapisan
pelindung. Penggunaan lapisan pelindung melindungi manusia dari cedera
sekunder, tapi memperberat cedera primer pada paru-paru karena memperbesar
tekanan yang terjadi3,23. Pada pemeriksaan fisik, perlu diperiksa tanda-tanda
trauma ledakan, antara lain ruptur membran timpani, peteki atau ekimosis
hipofaring, emboli udara arteri retina, atau emfisema subkutis3. Pemeriksaan
tambahan yang diperlukan berupa foto rontgen toraks juga tidak sempat dilakukan
pada pasien pertama. Ini disebabkan perhatian lebih diutamakan dalam resusitasi.
Jika cairan IV diberikan selama perdarahan dikontrol dengan shock atau
perdarahan yang tidak terkontrol dengan status mental berubah, bolus dengan
seperempat jumlah biasa (kristaloid atau hetastarch) dan mengevaluasi kembali
untuk menghindari memperburuk paru-paru atau cedera otak. Boluses Ulangi
seperlunya.
Prosedur untuk emboli arteri Dugaan Gas
a) Esensial: Gunakan masker pilot bagi tekanan tambahan, jika diperlukan
dan tersedia. Evakuasi ke ruang hiperbarik sesegera mungkin. Menekan
evakuasi's kabin pesawat terhadap tekanan atmosfer di tempat tujuan, jika
menggunakan transportasi udara dan secara teknis mungkin di dalam
pesawat terbang yang digunakan.
b) Recommended : Fitur: Letakkan korban dalam posisi koma dengan sisi
kiri bawah (pertengahan antara-lateral dekubitus kiri dan posisi rawan) dan
kepalanya pada tingkat yang sama dengan hatinya.
Prosedur Airway Hemoptisis Massive Mengganggu
a) Esensial: Lakukan intubasi selektif dari sisi terluka setidaknya dengan
menggunakan. Gunakan lumen tabung endotrakeal untuk memfasilitasi
pertukaran gas masuk dan keluar dari paru-paru dengan pendarahan
ringan. Gunakan manset untuk mencegah darah dari sisi perdarahan berat
persimpangan ke mainstem bronkus paru-paru yang lebih baik.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
Prosedur untuk Pneumotoraks Tension Dugaan
a) Esensial: Melakukan Thoracentesis jarum untuk meringankan-shock
mengancam kehidupan.
b) Recommended : FiturMelakukan torakostomi tabung (tabung dada) , jika
udara disedot selama Thoracentesis jarum , tetapi kesulitan pernapasan dan
kompromi hemodinamik tidak dibebaskan. Meskipun thoracostomies
tabung umumnya tidak dianjurkan selama Taktis Bidang Perawatan untuk
berpenetrasi trauma, parah luka ledakan paru dapat menyebabkan
komunikasi langsung antara saluran udara besar dan ruang pleura (fistula
bronchopleural) di mana-gauge kateter 14 tidak dapat mengevakuasi udara
dari rongga pleura lebih cepat daripada itu masuk.
Pengobatan luka memar paru Dugaan
a) Primer: Hentikan semua aktivitas. Mengadministrasikan-aliran
tambahan oksigen tinggi, jika tersedia. Prakarsai PPV hanya jika benar-
benar diperlukan.
b) Alternatif: Tunggu paling tidak 1 jamLanjutkan tugas sebagai ditoleransi.
c) Primitif: Hanya melakukan kegiatan di tingkat praktis terendah tenaga
(seperti gerakan lambat, kurang berat badan kereta)
Prosedur Bantuan ventilasi
a) Esensial: Meredakan ketegangan pneumotoraks . Seal terbuka
pneumotoraks (menghisap dada luka). Biarkan bernapas spontan bila
memungkinkan. Tempatkan korban pada posisi dia bisa bernapas terbaik.
b) Recommended : Fitur: Jika tekanan ventilasi positif (PPV) menjadi
dibutuhkan, gunakan mulut ke masker atau bag-valve-mask/tube dengan
kuat dan kurang-lebih lambat dari delivies sering digunakan dengan
penyebab trauma lain masalah pernapasan. Persistent Hypoxemia:
Persistent hipoksemia: Double-check that the definitive airway is still in
place and its cuff is intact. Memeriksa bahwa Airway definitif masih di
tempat dan manset utuh. Ensure oxygen is being delivered to the
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
ventilator unit. Pastikan oksigen yang disampaikan ke unit ventilator.
Change the PEEP valve to a greater PEEP (up to 10 cmH 2 O). Mengubah
katup mengintip untuk mengintip lebih besar (hingga 10 cmH 2 O).
Pengobatan sinkop Vasovagal:
a) Primer: Letakkan kepala korban di tingkat hatinya dan mengangkat kaki
nya lebih rendah.
b) Alternatif: Tunggu sampai terbangun korban. Tidak seperti sinkop dari
ketakutan, ini bisa memakan waktu hingga 2 jam-luka dalam ledakan
korban.
Pengobatan saluran GI Kemungkinan Pecahnya
a) Primer. NPO. Pemeliharaan cairan IV. Cefoxitin atau ceftriaxone IV
atau IM. Evakuasi ditunda untuk perawatan bedah dalam waktu 4 jam. .
Monitor untuk peritonitis dan sepsis. Prochlorperazine atau prometazin
IV atau IM, jika perlu untuk mencegah muntah berulang.
b) Alternatif: Pemeliharaan PO air, jika tidak ada IV dan waktu evakuasi> 4
jam. Ciprofloxacin dan metronidazol PO, jika parenteral sefalosporin
korban tidak dilakukan atau alergi terhadap mereka. Hampir semua
cakupan antibiotik adalah lebih baik daripada tidak sama ketika waktu
untuk perawatan definitif adalah berkepanjangan.
Perawatan mediastinitis, Peritonitis, atau Sepsis
a) Primer: Salah satu dari dua kombinasi parenteral: 1) cefoxitin (atau
ceftriaxone) dan metronidazol (atau clindamycin), atau 2) ampisilin /
sulbaktam (atau piper cillin a) dan gentamisin (atau tobramisin).
b) Alternatif: kombinasi Oral ciprofloxacin dan metronidazol.
Pengobatan TM Pecahnya
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
a) Primer. Jangan coba pemindahan puing asing. Mencegah air dan bahan
yang tidak steril lainnya dari memasuki saluran telinga. Mengelola rasa
sakit seperti ditunjukkan.
b) Empiris: antibiotik profilaksis tidak ditunjukkan. Jika infeksi TM
(myringitis) mengembangkan, menanamkan ophthalmological (untuk
mata) gentamisin 4 tetes (bukan salep) 4 kali sehari selama 10 hari.
Otological (untuk telinga) suspensi untuk otitis eksterna adalah
kontraindikasi ketika TM adalah pecah.
c) Alternatif: Amoksisilin clavulanate atau ciprofloxacin PO /, jika tetes
antibiotik ophthalmological tidak tersedia.
d) Kembali Evaluasi: Periksa daerah sekitarnya telinga, telinga eksternal itu
sendiri, saluran telinga, dan harian TM untuk kemerahan, bengkak, atau
drainase purulen. Nyeri ketika dengan lembut menarik dan kembali pinna
atau menekan pada tulang rawan tepat di depan kanal juga menunjukkan
otitis externa.
e) Konsultasi Kriteria korban itu idealnya harus dilihat oleh telinga, hidung,
dan tenggorokan (THT) spesialis dalam waktu 3 hari, atau lebih cepat jika
sampah yang signifikan di kanal. Sampai 2 minggu dapat diterima, jika
tidak ada infeksi berkembang.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman mengenai mekanisme cedera trauma ledakan penting dalam
penatalaksanaan pasien. Terdapat 4 klasifikasi trauma ledakan. Cedera ledakan
primer secara langsung disebabkan oleh barotrauma yang biasanya terjadi karena
udara memasuki organ-organ, sehingga mengalami kerusakan oleh tekanan
dinamik di jaringan, tetapi tergantung dari lokasi ledakan. Cedera sekunder timbul
sebagai akibat langsung serpihan bom yang dibawa oleh blast wind. Cedera
ledakan tersier ini disebabkan kekuatan dinamis dari blast wind itu sendiri yang
mengakibatkan terlemparnya tubuh manusia yang kemudian menabrak dinding
atau benda stasioner lainnya. Cedera ledakan Quarterner disebabkan dari
bermacam-macam dampak dari ledakan, termasuk luka bakar kimia, debu yang
mengandung racun & terhirup, paparan radiasi, terkena reruntuhan gedung. Fase
ini dapat terjadi dalam periode yang panjang, contohnya Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
Penanganan cedera akibat trauma ledakan dilakukan dengan
memperhatikan ATLS dan penanganan disaster. Perlu mencari gejala dan tanda-
tanda cedera primer.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
DAFTAR PUSTAKA
1. Stein MS, Hirshberg A. Medical Consequences of Terrorism-The Conventional
Weapon Threat. Dalam Rodriguez A (ed): Trauma Care in the New Millenium.
Surg Clin North Am, December 1999: 1537-1552.
2. Mallonee S, Sariat S. Physical Injuries and Fatalities resulting From the
Oklahoma City Bombing. JAMA, August 7, 1996; 276; 5: 382-387.
3. Argyros GJ. Management of Primary Blast Injury. Toxicology 1997; 121: 105-
115.
4. Feliciano DV. Management of Casualties from the Bombing at the Centennial
Olympics. AM J Surg 1998; 176: 538-543.
5. Subijanto HW, Pusponegoro AD, Hertian S. Efek Trauma Ledakan Terhadap
Organ Intra Toraks dan Abdomen, Juli 1990.
6. Sudarsono RP. Bom! Polisi pun Cukup Bikin Sketsa. Kompas 2000 Sept 4;
halaman 17.
7. Trauma Organisation. Revised Trauma Score. Available from URL:
http://www.trauma.org/scores/rts.html.
8. Tim Kompas. Ledakan di BEJ, Sepuluh Tewas, Puluhan Luka-luka. Kompas
2000 Sept 14; halaman 1.
9. Siddall Corinne, Driscol Pm Hodgetts T. Soft Tissue Trauma. Dalam: Driscoll
PA (ed). Trauma Resuscitation the Team Approach. Macmillan, 1993: 260-
262.
10. Elsayed NM. Toxicology of Blast Overpressure. Toxicology 1997; 121: 1-15.
11. Mayorga MA. The Pathology of Primary Blast Overpressure Injury.
Toxicology 1997; 121: 17-28.
12. Haywood I, Skinner D, Blast and Gunshot Injuries. Dalam: Skinner D (ed).
ABC of Major Trauma. Cambridge, University Press, 1991: 88-91.
13. Guy RJ, Glover MA, Cripps NPJ. The Pathophysiology of Primary Blast
Injury and Its Implication for Treatment. Part I: The Thorax. J R Nav Med Serv
1998; 84; 2: 79-86.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
14. Tantan H, Indra S, Handoko D, Bakri KB. Gonjang-Ganjing C-4 di Siang
Bolong. Gatra 2000 Aug 12; halaman 63-66.
15. Mellor SG. The Relationship of Blast Loading to Death and Injury from
Explosion. World J Surg 1992; 16: 893-898.
16. Junkui H, Zhengguo W. Studies on Lung Injuries Caused by Blast
Underpressure. J Trauma 1996; 40; 3: S77-84.
17. Leibovici D, Gofrit ON, Stein MS, Shapira SC. Blast Injuries: Bus Versus
Open-Air Bombings - A Comparative Study of Injuries in Survivors of Open
Air Versus Confined-Space Explosions. J Trauma 1996; 41; 6: 1030-1035.
18. Bowen TE, Bellamy RF. Blast Injuries. Dalam: Bowen TE, Belllamy RF (ed).
Emergency War Surgery, Second United States Revision of the Emergency
War Surgery NATO Handbook. US Department of Defense. Washington DC,
United States Government Printing Office, 1988: 74-82.
19. Nixon R.G. Available at http://www.fire engineering. Blast Injuries. Accessed
on May,21th 2008.
20. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review of the Clinical Entity. J Trauma
1997; 42; 5: 973-979.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo – Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari