Batu Empedu
Definisi
Istilah kolelithiasis digunakan untuk penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan dalam kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada
keduanya. Sebagian besar batu empedu terutama batu kolesterol, terbentuk dalam
kandung empedu (kolesistolithiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah
ke dalam kandung empedu extrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder
atau koledokolitiasis.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik
maupun intrahepatik. Batu primer saluran empedu, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut: ada massa asimpomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok
dengan batu empedu primer, tidak ada striktur pada duktus koledokus atau tidak
ada sisa duktus sistikus yang panjang. Khusus untuk orang asia, dapat ditemukan
sisa cacing askaris atau cacing jenis lain di dalam batu tersebut. Morfologi batu
primer saluran empedu antara lain bentuknya ovoid, lunak, rapuh, seperti lumpur
atau tanah, dan warna cokelat muda sampai coklat gelap.
Insidensi
Insidensi kolelitiasis di negara barat sekitar 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan lanjut usia. Pada tahun 2005 insidensi kolelitiasis di Amerika
Serikat sekitar 12 %, beberapa faktor yang menyebabkan tingginya insidensi
antara lain :
Body habitus : obesitas, penurunan berat badan yang cepat
Obat-obatan : Ceftriakson (Rocephin)
Ras : Indian Amerika, Skandinavia
Ratio insidensi pada Wanita : Pria = 2:1
Herediter : First degree relatives
Umur : semakin meningkat, insidensi semakin bertambah
1
Angka kejadian penyakit batu empedu di Indonesia diduga tidak berbeda
jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an
agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrsonografi.
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau
batu campuran. Di negara Barat, 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi
angka kejadian batu pigmen akhir-akhir ini meningkat. Sebaliknya di Asia Timur,
lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian
batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka
ini betul-betul oleh karena prevalensi yang berubah. Namun, perubahan gaya
hidup,termasuk perubahan pola makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan
menurunnya infeksi empedu, mungkin menimbulkan perubahan insidens
hepatolitiasis.
Patofisiologi
Batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu: kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan protein.
Kolesterol hampir tidak larut dalam air dan bilirubin sukar larut dalam air. Batu
empedu dapat terbentuk dari bilirubin saja, kolesterol saja, atau campuran
keduanya. Batu campuran ini juga mengandung kalsium. Batu bilirubin murni
biasanya kecil, majemuk, hitam dan dikaitkan dengan kelainan hemolitik. Batu
empedu ini jarang ditemukan. Batu kolesterol murni biasanya besar, soliter, bulat
atau oval, berwarna kuning pucat. Batu kolesterol campuran paling sering
ditemukan, majemuk, berwarna cokelat tua. Batu campuran sering dapat terlihat
pada radiogram sedangkan batu murni mungkin translusen.
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada bagian saluran empedu lainnya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui
dengan sempurna; akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting
dalam pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati
2
penderita penyakit batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol. Kolesterol yang sangat berlebihan ini mengendap dalam kandung
empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi atau keduanya dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal, khususnya selama kehamilan dapat
dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu sehingga
menyebabkan insidensi yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sehingga mukus meningkatkan viskositas, dan unsur seluler atau bakteri dapat
berperan sebagai sumber presipitasi. Akan tetapi infeksi mungkin lebih sering
menjadi akibat dari pembentukan batu empedu daripada sebab pembentukan batu
empedu.
Gambaran Klinis
I. Anamnesis
Setengah sampai sepertiga penderita batu empedu asimtomatis. Keluhan
yang mungkin akan timbul adalah dispepsia yang kadang disertai dengan
intolerans terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatik keluhan utamanya
berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium. Rasa
nyeri lain adalah kolik bilier, timbul mendadak, yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dengan intensitas yang hebat dan dapat bertahan sampai 4 jam.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi dapat juga timbul tiba-tiba.
Batu empedu umumnya menimbulkan gejala dengan menyebabkan peradangan
atau sumbatan setelah batu bermigrasi ke duktus sistikus atau duktus biliaris
komunis. Sumbatan duktus sistikus atau duktus biliaris komunis oleh batu
biasanya menyebakan peningkatan tekanan intralumen dan distensi viskus yang
tidak dapat diatasi oleh kontraksi biliaris repetitif. Nyeri visera yang timbul
3
biasanya hebat, terasa seperti menekan atau perih yang semakin meningkat di
epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen yang dapat menyebar.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula kanan, atau
ke puncak bahu, disertai dengan mual dan muntah. Dari sekian banyak penderita
mengaku nyeri menghilang setelah minum antasida. Jika telah terjadi kolesistitis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada menarik napas dalam dan sewaktu
kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik
napas yang merupakan tanda perangsangan peritoneum setempat (tanda Murphy).
Demam atau menggigil dengan kolik biliaris biasanya mencerminkan
adanya komplikasi yaitu kolesistitis, pankreatitis dan kolangitis. Keluhan rasa
penuh yang samar di epigastrium, dispepsia, sendawa atau flatulensi, terutama
setelah makan berlemak, jangan disalahartikan sebagai kolik biliaris. Gejala
tersebut sering terdapat pada pasien dengan batu empedu tetapi tidak spesifik.
Kolik biliaris dapat dicetuskan oleh makanan berlemak, oleh makan banyak
setelah puasa jangka panjang, atau bahkan jika makan normal.
Pruritus dapat ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan
lebih banyak ditemukan di daerah tungkai daripada di badan.
II. Pemeriksaan Fisik
Jika ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi yang
ada, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan pungtum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif bila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh oleh ujung jari pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas.
III.Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik biasanya tidak menunjukkan
kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
4
Dapat terjadi peningkatan ringan bilirubin serum (tidak melebihi 5 mg/dL).
Persistensi kadar bilirubun serum yang tinggi mengisyaratkan batu duktus biliaris
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan amilase serum dapat meningkat
sedang jika terjadi serangan akut.
IV. Pemeriksaan Pencitraan
Ultrasonografi memiliki derajat spesifitas dan sensitivitas paling tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang udara dalam usus. Dengan ultrasonografi,
pungtum maksimum nyeri pada batu kandung empedu yang gangren akan terlihat
lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Foto polos perut biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara usus besar, di fleksura
hepatika.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras yang diberikan per
os cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, obstruksi pilorus, kadar
bilirubin serum >2 mg/dL, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.
CT-scan tidak lebih unggul dibandingkan dengan ultrasonografi untuk
mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk membantu diagnosis
5
keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan
sekitar 70-90%.
Foto Röntgen dengan kolongipankreotikografi endoskopi retrograd di
papilla Vater (ERCP) atau melalui kolongiografi transhepatik perkutan (PTC)
berguna untruk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya adalah batu
kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan
ultrasonografi dan kolesistografi oral, misalnya karena batu kecil.
Komplikasi yang dapat timbul
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat
menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu,
pankreatitis, dan perubahan keganasan. Batu empedu dari duktus koledokus dapat
masuk ke dalam duodenum melalui papilla Vater dan menimbulkan kolik, iritasi,
perlukaan mukosa, peradangan, edema, dan striktur papilla Vater.
Penatalaksanaan
Batu empedu ditangani baik secara nonbedah maupun dengan
pembedahan. Tata laksana nonbedah terdiri dari lisis batu dan pengeluaran secara
endoskopik. Selain itu, dapat dilakukan pencegahan terjadinya batu empedu pada
orang yang cenderung mempunyai batu empsdu litogenik dengan mencegah
infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan
atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat
menghambat sintetis kolesterol karena menghambat enzim HMG-CoA reduktase.
1. Nonbedah
a. Lisis batu
Lisis batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil
dengan batu kolesterol. Terapi dapat berhasil pada separuh penderita dengan
pengobatan selama 1-2 tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan ke dalam
kandung empedu menggunakan metilbutil eter berhasil setelah beberapa jam.
6
b. Endoskopik
Bila keadaan pasien memburuk maka dapat dilakukan sfingterotomi
endoskopik untuk mengalirkan empedu dan nanah dan membersihkan duktus
koledokus dari batu. Kadang dapat juga dipasang pipa nasobilier. Indikasi lain
dari sfingterotomi endoskopik adalah adanya riwayat kolesistektomi. Apabila
batu duktus koledokus besar (>2cm) maka cara ini tidak dapat dilakukan.
Pada pasien dengan batu besar disarankan untuk litotripsi terlebih dahulu
untuk mengeluarkan batu dari duktus koledokus secara mekanik melalui
papilla vater dengan alat ultrasonik atau laser. Umunya penghancuran ini
dilakukan bersama-sama atau dilengkapi dengan sfingterotomi endoskopik.
2. Bedah
Pembedahan memang dilakukan untuk batu kandung empedu yang
simptomatik. Kolesistektomi memiliki angka rekurensi yang kecil dan sekitar 92
% pasien akan sembuh dari nyeri di kuadran kanan atas. Adapun indikasi dari
operasi kolesistektomi itu antara lain :
Biliary pain
Biliary dyskinesia
Calcified gallbladder
Acute cholecystitis (Ditangani dalam 72 jam)
Choledocholithiasis (setelah duktus koledokus jelas)
Gallstone pancreatitis (sebelum discharge tetapi setelah pankreatitis
ditangani)
Kolesistektomi dapat dilakukan dengan dua teknin, yaitu laparoskopi dan
laparotomi, dimana laparoskopi memiliki keuntungan dibandingkan dengan
laparotomi, antara lain :
Kosmetik yang lebih baik
Lebih cepat dapat kembali bekerja
Biaya lebih murah
Mortalitas lebih kecil
Nyeri post operatif lebih minimal
Jaringan yang rusak lebih
minimal
Waktu rawat lebih singkat
(bahkan dapat langsung pulang)
7
Permasalahan saat ini adalah perlu ditetapkan apakah akan dilakukan
kolesistektomi profilaksis secara elektif pada yang asimtomatik. Indikasi
kolesistektomi elektif konvensional maupun laparoskopik adalah kolelitiasis
asimtomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan kolesistitis akut
dapat menyebabkan komplikasi yang berat. Indikasi lain adalah kandung empedu
yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau
kandung empedu dengan batu berdiameter besar (>2 cm), karena batu yang besar
lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih
kecil. Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan
dengan kejadian karsinoma. Pada keadaan –keadaan tersebut dianjurkan untuk
kolesistektomi.
Anjuran untuk melakukan kolesistektomi profilaksis pada pasien batu
empedu sebaiknya didasarkan pada penilaian pada tiga faktor, yaitu :
1) Adanya gejala yang cukup sering atau parah sehingga menganggu kehidupan
sehari-hari.
2) Adanya komplikasi penyakit batu empedu (kolesistitis, pankreatitis, fistula).
3) Adanya kelainan yang meningkatkan predisposisi timbulnya komplikasi batu
empedu (misalnya terjadi kalsifikasi kandung empedu, riwayat kompliksi
sebelumnya).
8
Choledocholithiasis
Choledocholithiasis 85% disebabkan pasase batu empedu (cholelithiasis)
melalui duktus sistikus ke duktus koledoktus dan 15% disebabkan pembentukan
batu primer di duktus koledoktus, biasanya disebabkan oleh infestasi migrasi
parasit A.lumbricoides atau C.sinensis ke duktus biliaris. Obstruksi pada duktus
koledoktus menyebabkan timbulnya berbagai gejala dan komplikasi termasuk
nyeri abdomen, ikterus, cholangitis, pancreatitis, dan sepsis.
Choledocholithiasis banyak didapatkan pada ras Asia terutama di daerah
Asia Tenggara. Kolelitiasis banyak didapatkan pada perempuan dibandingkan
pria. Angka insidensi batu empedu 40% terjadi pada umur lebih dari 60 tahun,
sedangkan batu primer pada duktus koledokus terjadi 8-15% pada pasien dengan
umur kurang dari 60 tahun dan 15-60% terjadi pada umur lebih dari 60 tahun.
Presentasi klinis bervariasi bergantung dari derajat dan level obstruksi, dan
ada atau tidaknya infeksi biliaris. Riwayat penyakit kolelitiasis pada pasien
bukanlah syarat esensial untuk menegakkan diagnosis koledokolitiasis karena batu
empedu dapat tidak memberikan gejala sama sekali (25-50% kolelitiasis dapat
bersifat asimtomatis). Gejala nyeri pada kuadran kanan atas abdomen sering
dikeluhkan pasien. Nyeri biasanya bersifat lokal, moderate, dan intermiten.
Adanya nyeri yang sangat berat biasanya disebabkan adanya penyakit lain yang
menyertainya. Keluhan nyeri biasanya disertai adanya mual dan muntah. Ikterus
yang terjadi disebabkan naiknya level bilirubin direk yang secara klinis biasanya
memberikan gambaran klinis mata pasien menjadi kuning-oranye atau kuning-
kehijauan. Keluhan ikterus disertai adanya riwayat warna feses menjadi pucat dan
warna urin mirip air teh pada 50% kasus. Ikterus dapat terjadi secara episodik
Adanya demam merupakan indikasi terjadi komplikasi cholangitis.
Cholangitis ditandai oleh tiga gejala klinis klasik, Charcod triad, yaitu demam
ringan (95%), nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (90%), dan ikterus (80%).
9
Gejala klinis cholangitis memiliki presentasi yang bervariasi, mulai dari yang
bersifat mild self-limiting illness sampai terjadinya syok sepsis (5% pasien
cholangitis). Komplikasi lainnya yang dapat terjadi pada penyakit koledokolitiasis
adalah pancreatitis. Batu empedu adalah 50% penyebab dari seluruh kasus
pancreatitis. Pancreatitis dipresipitasi oleh adanya obstruksi pada duktus
koledoktus pada level ampula Vateri. Nyeri abdomen pada pancreatitis berbeda
dengan nyeri akibat kolelitiasis, yaitu nyeri bersifat tajam, kontinyu, dirasakan
terlokalisir pada daerah epigastrium (nyeri somatis) yang dirasakan menembus ke
daerah midback, nyeri semakin bertambah bila pasien dalam posisi supine.
Sedangkan nyeri abdomen pada kolelitiasis terjadi pada kuadran kanan atas,
bersifat akut, viseral, kolik, biasanya terjadi setelah 30-90 menit setelah makan,
berlangsung dalam beberapa jam, menjalar ke daerah skapula atau punggung
kanan.
Apabila pasien memiliki rekam medik, riwayat penyakit striktur atau dilatasi
kistik pada duktus koledoktus, sclerosing cholangitis, disfungsi sfingter Oddi,
merupakan data penting untuk menegakkan diagnosis koledokolitiasis sekunder
akibat batu empedu. Askariasis pada stadium pulmonal biasanya memberikan
gejala klinis berupa batuk-batuk disertai demam.
Pemeriksaan fisik pada pasien koledokolitiasis biasanya memberikan tanda-
tanda klinis nyeri pada abdomen pada kuadran kanan atas dan ikterus pada kulit,
sklera dan frenulum linguae. Adanya nyeri hebat dengan/tanpa Murphy’s sign
mengindikasikan adanya kolesistitis akut. Ekstensi ikterus pada tubuh bergantung
pada derajat penyakit dan lamanya obstruksi. Tanda-tanda klinis sistemik, seperti
demam, hipotensi, dan flushing mengindikasikan terjadinya proses infeksi, sepsis,
atau keduanya. Tanda klinis pancreatitis adalah adanya Cullen’s sign,
diskolorisasi biru pada daerah periumbilikus, dan Turner’s sign, diskolorisasi
biru-merah-ungu atau hijau-coklat pada daelah lumbalis
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak spesifik untuk mendiagnosis
Choledocolithiasis. Leukositosis merupakan indikasi infeksi atau inflamasi, tapi
10
hasil ini tidak spesifik. Peningkatan serum bilirubin total dan direk
mengindikasikan adanya obstruksi pada duktus koledokus. Sekitar 60% pasien
Choledocolithiasis memiliki serum bilirubin direk lebih dari 3 mg/dl. Serum
amilase dan lipase meningkat pada pankreatitis akut. Peningkatan alkali fosfatase
dan gamma-glutamil transpeptidase dapat memprediksikan adanya batu pada
duktus koledoktus. Protrombin time meningkat pada pasien prolonged
Choledocolithiasis. SGOT dan SGPT meningkat pada pasien dengan komplikasi
cholangitis, pankreatitis, atau keduanya. Kultur darah memberikan hasil positif
pada 30-60% pasien cholangitis.
Pencitraan yang dapat digunakan dalam menunjang diagnosis
Choledocolithiasis yang dapat digunakan adalah transabdominal USG, endoscopic
USG, CT-scan, MRI, Endoscopic Retrograde Cholangiopancreography (ERCP) ,
dan Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC). Cholangiography adalah
kriteria standar emas untuk menegakkan diagnosis batu pada duktus koledoktus
Penatalaksanaan Choledocolithiasis dapat bersifat non-surgical atau surgical.
Modalitas yang dapat digunakan dalam terapi non-surgical adalah ERCP,
percutaneous extraction, dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave Litotripsy).
Sedangkan terapi surgical adalah open choledochotomy, transcystic exploration,
drainage procedures, cholecystectomy. Medikamentosa yang dapat digunakan
berupa (1) antibiotik—sebagai profilaksis ataupun terapi bila terbukti terdapat
infeksi, (2) agen H-2 antagonist, sukralfat, dan proton pump inhibitor—profilaksis
terhadap stress ulcer. Antibiotik intravena yang digunakan dalam terapi
cholangitis adalah derivat penisilin (misal piperasilin) untuk bakteri gram-negatif,
atau sefalosporin generasi kedua atau ketiga (misal seftazidim, seftriakson,
sefotaksim) untuk bakteri gram-negatif, ampisilin untuk bakteri gram positif, dan
metronidazol untuk bakteri anaerob. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan
golongan kuinolon (misal siprofloksasin, levofloksasin) atau kotrimoksazol
(SMZ-TMP) sebagai terapi yang efektif recurrent cholangitis.
11
Jaundice
Ikterus adalah gejala kuning pada sklera kulit dan mata akibat bilirubin
yang berlebihan di dalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang
dari 9 μmol/L (0,5 mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin
meningkat diatas 35 μmol/L (2 mg%). Jaringan permukaan yang kaya elastin,
seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya yang pertama kali menjadi
kuning.
Mekanisme Patofisiologik Kondisi Ikterik
Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra-
hepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme
yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus
yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Akibatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah
meningkat. Meskipun demikian, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100
ml pada penderita hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan,
berwarna kuning pucat. Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air,
maka tidak dapat diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi.
12
Tetapi pembentukan urobilinogen menjadi meningkat (akibat peningkatan beban
bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi dan ekskresi), yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan kemih. Kemih dan feses
dapat berwarna gelap.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin
abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal
(sferositosis herediter), antibodi dalam serum (Rh atau inkompatibilitas transfusi
atau sebagian akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat-
obatan, dan beberapa limfoma (pembesaran limpa dan peningkatan hemolisis).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan yang
berlangsung kronik dapat mengakibatkan pembentukan batu empedu yang banyak
mengandung bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak
membahayakan.
Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik.
Akan tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada
bayi dapat mengakibatkan kern ikterus
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel
hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada
protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan
pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat
(dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya
menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9 mg/100 ml) yang
mulai terjadi pada hari kedua sampai kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada
neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya
enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat
13
beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus
akan menghilang.
Ketika bilirubin yang tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20
mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut kern ikterus. Keadaan ini dapat
timbul bila suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi
baru lahir dengan defisiensi glukoronil transferase normal. Kernikterus atau
bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada
daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka akan
terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor- faktor
fungsional maupun obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini
dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan kemih
berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang
sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat
disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar
fosfatase alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu.
Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada
ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya
lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonyugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga muda atau sampai kuning-hijau bila
terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya
ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis
dapat bersifat Intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau
ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini
terdapat gangguan biokimia yang sama.
14
TABEL 1. Ciri Yang Membedakan Ikterus Hemolitik, Hepatoselular dan
Obstruktif
Ciri klinis Hemolitik Hepatoselular Obstruktif
Warna kulit Kuning pucatJingga-kuning muda
sampai tua
Kuning-hijau muda
sampai tua
Warna kemih
Normal (dapat
gelap karena
urobilin)
Gelap (bilirubin
terkonyugasi)
Gelap (bilirubin
terkonyugasi)
Warna fesesNormal atau gelap
(sterkobilin)
Pucat (sterkobilin
menurun)
Warna seperti
dempul
Pruritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetap
Bilirubin serum,
indirek atau tak
terkonyugasi
Meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin serum,
direk atau
terkonyugasi
Normal Meningkat Meningkat
Bilirubin kemih Tidak ada Meningkat Meningkat
Urobilinogen
kemihMeningkat Sedikit meningkat Meningkat
Kolestasis Intrahepatik vs Ekstrahepatik
Keputusan diagnostik yang paling penting bagi dokter dan ahli bedah
dalam menangani kasus hiperbilirubinemia terkonjugasi adalah menetapkan
apakah obstruksi aliran empedu adalah intrahepatik atau ekstrahepatik. Kolestasis
ekstrahepatik mungkin memerlukan pembedahan, sedangkan pembedahan pada
penderita penyakit hepatoselular (kolestasis intrahepatik) malahan dapat
memperberat penyakit dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Membedakan kedua keadaan ini tidak mudah, karena semua bentuk
kolestasis menimbulkan sindrom klinik ikterus yang sama yaitu: gatal,
transaminase meningkat, fosfatase alkali meningkat, gangguan ekskresi zat warna
kolesisto-grafi, dan kandung empedu tidak terlihat.
Walaupun penentuan akhir bersifat klinis, namun bantuan untuk
membedakan kedua keadaan ini datang dari penilaian derajat obstruksi. Obstruksi
15
intrahepatik jarang seberat obstruksi esktrahepatik. Akibatnya, kolestasis
intrahepatik umumnya hanya mengakibatkan peningkatan moderat fosfatase
alkali, dan sedikit pigmen dapat ditemukan dalam feses atau urobilinogen dalam
kemih bila dibandingkan dengan kolestasis esktrahepatik. Biopsi hati atau
duodenum, atau kolangiografi transhepatik dapat dilakukan untuk mempertegas
kasus yang sulit.
Kolestatis intrahepatik
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular
dimana sel parenkim hati mengalami kerusakan akibat virus hepatitis atau
berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati
dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit
hepatoselular biasanya menyebabkan gangguan pada semua fase metabolisme
bilirubin—pengambilan, konjugasi, dan ekskresi—tetapi karena ekskresi biasanya
yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia
terkonyugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah
pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta
sindrom Rotor. Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui
membran hepatosit. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini adalah halotan
(anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan
klorpromazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu,
biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas dapat
pula menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; juga karsinoma
ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur yang timbul pasca
peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta
hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat
duktus hepatikus kanan atau kiri.
Ikterus Obstruktif
16
Ikterus ekstrahepatik dan ikterus obstruktif adalah sinonim. Pada
umumnya, ikterus obstruktif perlu ditangani dengan pembedahan, sedangkan
ikterus prehepatik dan hepatik ditangani secara medis. Dengan demikian tujuan
dari evaluasi ini adalah: mengidentifikasi pasien yang menderita obstruksi saluran
empedu.
Beberapa petunjuk umum untuk mengidentifikasi pasien yang menderita
obstruksi saluran empedu adalah:
1. Riwayat
a. Usia dan seks
Orang tua lebih besar kemungkinannya menderita ikterus obstruktif.
Sirosis empedu primer hampir selalu terbatas pada wanita.
b. Obat-obatan
Jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan ikterus adalah : alkohol,
fenotiazin dan hormon seks.
c. Nyeri
Dimulai didaerah epigastrium atau kuadran kanan atas dan menyebar
menuju scapula kanana. Merupakan ciri khas dari penyumbatan empedu
akut (kolik bilier). Rasa sakit kronis, samar-samar dan pegal
kemungkinan diakibatkan oleh keganasan. Rasa sakit difus di kuadran
kanan atas mungkin diakibatkan oleh peregangan kapsula hepar akibat
hepatitis, cedera alkoholik akut atau kongesti pasif akibat penyakit
jantung.
d. Demam
Ciri khas kolangitis akibat sumbatan empedu adalah : demam tingi,
khususnya bila disertai menggigil (rigor).
e. Faeces encer dan urin yang gelap warnanya
Lebih sering dijumpai pada penderita penyumbatan ekstrahepatik.
f. Pruritus.
Rasa gatal sekali di anggota tubuh mungkin mendahului ikterus atau
timbul bersamaan. Pruritus merupakan gejala kolestasis apapun
penyebabnya.
17
2. Pemeriksaan fisik.
Hepatomegali bukan gambaran yang dapat membedakannya dari penyakit
lain. Dapat ditemukan stigmata sirosis (angiomata spider dan lain sebagainya).
Splenomegali memikirkan adanya hipertensi portal. Kandung empedu yang
teraba keras menyatakan bahwa penyebab ikterus adalah penyumbatan saluran
empedu yang bersifat ganas. Suatu anggapan yang salah bila diambil
kesimpulan bahwa penyumbatan merupakan suatu penyebab yang tak ganas
kalau kandung empedu tak dapat diraba.
3. Tes fungsi hati
Tes standar fungsi hati biasanya memungkinkan penggolongan penderita
menjadi dua bagian: Mereka yang menderita ikterus pre-hepatik atau
hepatoselular dan mereka yang menderita ikterus kolestatik. Karena kolestatik
mungkin hepatik (medis) atau posthepatik (pembedahan) maka tes ini hanya
bermaksud untuk mengindentifikasi penderita yang membutuhkan evaluasi
penyumbatan empedu lebih lanjut.
Ikterus kolestatik secara khas berkaitan dengan peningkatan jumlah bilirubin
direk (terkonjugasi), peningkatan sedikit SGPT dan SGOT atau normal.
Peningkatan kadar fosfatase alkali, peningkatan leusin aminopeptidase dan
albumin yang normal, serta masa protrombin yang memanjang. Banyak
variasinya, dan mungkin terjadi campur antara ikterus kolestatik dan
hepatoselular.
Antigen dan zat anti antimitokondria yang menimbulkan hepatitis (meningkat
pada sirosis empedu primer) mungkin membantu.
4. Foto sinar-X polos abdomen
Sekitar 10-15 % batu empedu radiopaque dan dengan demikian terlihat pada
film polos abdomen. Batu empedu yang membesar dapat terlihat bagaikan
suatu massa jaringan lunak.
5. Ultrasound
Merupakan suatu metoda pemeriksaan saluran empedu pada ikterus obstruktif
yang aman, sederhana, tidak mahal dan cukup dapat diandalkan. Kalau saluran
18
membesar, maka ada penyumbatan empedu. Kalau saluran empedu tak
membesar maka tak mungkin ada penyumbatan.
6. Biopsi hati
Jarum biopsi perkutan dari hati biasanya direncanakan untuk pasien yang
salurannya tak melebar yang kemungkinan menderita ikterus akibat pengaruh
medis. Biopsi tak boleh dilakukan apabila ada gangguan proses pembekuan
atau trombositopenia.
7. Kolangiografi transhepatik perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas
kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat
dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites
dan kolangitis merupakan kontraindikasi.
8. Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic
retrograde kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula
Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah
dapat diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi
tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula,
karsinoma yang menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit
dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan
pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang
salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan
kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi
yang 'baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya:
sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal).
9. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik
dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil ultrasound
masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan.
10. Penyelidikan lain
a. Scan saluran cerna bagian atas.
19
Pemeriksaan barium standar pada lambung dan duodenum dapat
menghasilkan bukti tak langsung penyebab penyumbatan empedu
(misalnya, pelebaran lengkung duodenum merupakan ciri neoplasma
pankreas).
b. Scan hida atau pipida.
Tes ini berguna untuk mengetahui letal penyumbatan duktus sistikus,
tetapi nilainya pada kasus penyumbatan duktus koledokus masih
diragukan.
c. Kolangiografi intravena (IVC = intravenous cholangiography)
Tidak akan berhasil bila bilirubin serum lebih besar dari 4 mg/100 ml. IVC
mungkin berhasil kalau bilirubin kurang dari 4, terutama kalau bilirubin
turun dengan cepat. Tetapi IVC sebagian besar telah diganti oleh metode-
metode lain. Kolesistografi oral (OCG = oral cholecystography) tak
mempunyai arti bila terdapat ikterus, tetapi mungkin dapat membantu
kalau ikterus telah hilang.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. 560-576. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 2005
2. Bellows, C.F. www.aafp.org/afp. Management of Gallstone. 2005
3. Allen, Jeff. www. E-Medicine. Com. Cholelithiasis. 2005
4. Myceck, M.J. Farmakologi. Edisi 2. 309. Widya Medika. Jakarta; 2001
5. _____________. Kamus Saku Kedoteran Dorland. Edisi 25. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta; 1998
6. Holzbach, T.R. www.karger.ch. Newer Pathogenetic Concepts In Cholesterol
Gallstone Formation: A Unitary Hypothesis. 1997
7. Isselbacher et al. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4.
Edisi 13. 1688-1693. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 1995
8. Price, S.A. Patofisiologi. Jilid 1. Edisi 4. 453-454. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta; 1995
9. Shojamanesh, Homayoun MD. Cholangitis. National Institutes of
HealthCholangitis. www.emedicine.com. April 18, 2004.
10. S Dandan, Imad MD. Choledocholithiasis. Department of Surgery,
American University of Beirut, Lebanon. www.emedicine.com. September 21,
2005.
11. Braunwald, Eugene. S.Fauci, Anthony. Et al. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 15th Edition, Manual of Medicine, International Edition. McGraw-
Hill Education (Asia). 2002
21
22