BAB 5
PERSAMAAN DIFFERENSIAL BIASA
ika pada bab sebelumnya sudah mempelajari metode untuk mencari akar-akar
persamaan dengan dua metode yaitu metode bisection dan metode newton-raphson,
maka pada bab terakhir ini akan mendapatkan materi metode untuk menyelesaikan
persamaan diferensial biasa. Berikut uraian singkat motivasi mengapa penting untuk
menguasai bab ini.
Motivasi
Pada bab sebelumnya, telah menurunkan persamaan berdasarkan Hukum kedua Newton
untuk menghitung kecepatan 𝑣 dari penerjun payung sebagai fungsi dari waktu 𝑡.
𝑑𝑣
𝑑𝑡= 𝑔 −
𝑐
𝑚𝑣 (3.1)
dengan g adalah tetapan gravitasi, m adalah massa dan c adalah koefisien hambat udara.
Persamaan tersebut memiliki fungsi yang tidak diketahui dan turunannya, disebut persamaan
differensial. Persamaan (3.1) biasa disebut sebagai persamaan laju, karena merepresentasikan
laju perubahan suatu variabel sebagai fungsi dari variabel dan beberapa parameter. Banyak
fenomena fisika yang lebih baik diformulasikan dalam laju perubahannya.
Pada persamaan (3.1), besaran yang berubah, 𝑣, disebut variabel terikat. Sedangkan
besaran yang menyebabkan 𝑣 mengalami perubahan, 𝑡, disebut variabel bebas. Ketika fungsi
hanya memiliki satu variabel bebas, maka persamaan tersebut disebut persamaan diferensial
biasa [ordinary differential equation (ODE)] . Inilah yang membedakan dengan persamaan
diferensial parsial [partial differential equation (PDE)] yang memiliki dua atau lebih variabel
bebas.
Persamaan diferensial juga dikelompokkan berdasarkan ordenya. Sebagai contoh,
persamaan (3.1) disebut persamaan differensial orde 1 (first-order equation) karena orde
turunan tertinggi merupakan turunan pertama. Sebuah persamaan differensial orde 2 (second-
order equation) memiliki turunan kedua. Sebagai contoh, persamaan yang merepresentasikan
posisi 𝑥 dari sebuah sistem pegas bermassa dengan redaman merupakan persamaan
differensial orde 2,
𝑚𝑑2𝑥
𝑑𝑡2+ 𝑐
𝑑𝑥
𝑑𝑡+ 𝑘𝑥 = 0 (3.2)
dengan c adalah koefisien redaman dan k adalah konstanta pegas. Begitu pula, sebuah
persamaan diferensial orde 𝑛 akan memiliki turunan ke-𝑛.
Persamaan orde tinggi dapat direduksi menjadi sebuah sistem persamaan diferensial orde
1. Untuk persamaan (3.2), hal ini dilakukan dengan mendefinisikan sebuah varibel baru
𝑦, dimana
J
𝑦 =𝑑𝑥
𝑑𝑡 (3.3)
yang dengan sendirinya dapat diturunkan untuk menghasilkan
𝑑𝑦
𝑑𝑡=
𝑑2𝑥
𝑑𝑡2 (3.4)
Lalu, substitusi persamaan (3.3) dan (3.4) ke dalam persamaan (3.2) untuk menghasilkan
𝑚𝑑𝑦
𝑑𝑡+ 𝑐𝑦 + 𝑘𝑥 = 0 (3.5)
atau dalam bentuk lain
𝑑𝑦
𝑑𝑡= −
𝑐𝑦 + 𝑘𝑥
𝑚 (3.6)
Dengan demikian, persamaan (3.3) dan (3.6) adalah pasangan dari persamaan diferensial
orde 1 yang ekivalen dengan persamaan diferensial orde 2 yang sebenarnya. Persamaan
diferensial orde 𝑛 lainnya dengan cara yang sama dapat direduksi sehingga menjadi
persamaan differensial orde 1.
Dalam bab ini akan dipelajari bagaimana menentukan suatu nilai dari laju perubahan
variabel terikat terhadap variabel bebasnya dengan menggunakan metode numerik.
Penggunaan metode numerik lebih efektif untuk persamaan diferensial yang memiliki orde
tinggi atau untuk fungsi yang kompleks. Metode numerik yang banyak digunakan adalah
metode Euler dan metode Runge-Kutta.
1.1 Metode Euler
Suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑑𝑦
𝑑𝑡= 𝑓 𝑡, 𝑦 , 𝑎 ≤ 𝑡 ≤ 𝑏, 𝑦 𝑎 = 𝛼 (3.7)
Pada kenyataannya, melalui pendekatan numerik, kita tidak akan memperoleh solusi
fungsi yang kontinyu; yang mungkin kita dapat adalah solusi diskrit dalam bentuk mesh
point di dalam interval [a,b]. Setelah diperoleh solusi numerik pada suatu point, maka
point-point yang lainpun bisa ditentukan.
Tahap awal solusi pendekatan numerik adalah dengan menentukan point-point dalam
jarak yang sama di dalam interval [a,b], yaitu dengan menerapkan
𝑡𝑖 = 𝑎 + 𝑖, 𝑖 = 0,1,2, … , 𝑁 (3.8)
Jarak antar point dirumuskan sebagai
= 𝑏 − 𝑎
𝑁 (3.9)
ini disebut step size.
Metode Euler diturunkan dari deret Taylor. Misalnya, fungsi 𝑦 𝑡 adalah fungsi yang
kontinyu dan memiliki turunan dalam interval [a,b]. Maka dalam deret Taylor
𝑦 𝑡𝑖+1 = 𝑦 𝑡𝑖 + 𝑡𝑖+1 − 𝑡𝑖 𝑦′ 𝑡𝑖 + 𝑡𝑖+1 − 𝑡𝑖 2
2 𝑦′′ 𝜉𝑖 (3.10)
Karena = 𝑡𝑖+1 − 𝑡𝑖 , maka
𝑦 𝑡𝑖+1 = 𝑦 𝑡𝑖 + 𝑦′ 𝑡𝑖 +2
2 𝑦′′ 𝜉𝑖 (3.11)
(a) (b)
Gambar 3.1 Metode Euler
dan, karena 𝑦(𝑡) memenuhi persamaan differensial (3.7)
𝑦 𝑡𝑖+1 = 𝑦 𝑡𝑖 + 𝑓 𝑡𝑖 , 𝑦(𝑡𝑖) +2
2 𝑦′′ 𝜉𝑖 (3.12)
Metode Euler dibangun dengan pendekatan 𝑤𝑖 ≈ 𝑦(𝑡𝑖) untuk 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑁, dengan
mengabaikan suku terkahir yang terdapat pada persamaan (3.12). Jadi metode Euler
dinyatakan sebagai
𝑤0 = 𝛼 (3.13)
𝑤𝑖+1 = 𝑤𝑖 + 𝑓 𝑡𝑖 , 𝑤𝑖 (3.14)
dimana 𝑖 = 0, 1, 2, … , 𝑁 − 1
Namun metode Euler memiliki kelemahan untuk harga h yang bernilai besar, h haruslah
bernilai << 1 untuk menghindari error yang besar. Error ini terjadi karena penggunaan
pendekatan deret Taylor yang hanya menggunakan dua suku pertama. Perhatikan gambar
3.2
Gambar 3.2 Error Metode Euler
Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat seperti hasil dari perhitungan analitik,
dapat digunakan metode lain, yaitu metode runge-kuta. Pada metode runge-kuta tidak
diperlukan nilai h << 1.
Itulah tadi penjabaran materi, pola pikir dan cara metode Euler bekerja. Cukup mudah
bukan? Sekarang, seperti biasa kalian harus mengasah kemampuan kalian tidak hanya
dengan membaca, melainkan juga berlatih. Di bawah ini terdapat contoh soal yang dapat
kalian pahami bagaimana penyelesaiannya. Kasus peluruhan zat radioaktif ini
mengandung persamaan diferensial biasa yang dapat kalian selesaikan dengan metode
Euler.
Peluruhan Zat Radioaktif
Peluruhan zat radioaktif dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:
𝑑𝑁
𝑑𝑡− 𝑘𝑁 = 0
dimana N = massa zat radioaktif pada waktu tertentu; k = konstanta peluruhan. Jika massa
mula-mula adalah 50 miligram dan nilai k = -0,053,
(a) Tentukan massa radioaktif yang meluruh selama 20 jam, dengan interval waktu 1 jam.
Gunakan metode Euler.
(b) Buatlah kurva peluruhan zat radioaktif terhadap waktu berdasarkan analisis numerik
menggunakan medote Euler diatas.
Penyelesaian:
𝑑𝑁
𝑑𝑡= 𝑘𝑁
dengan nilai 𝑁0 = 50 𝑚𝑔 dan 𝑘 = −0.053
Maka persamaan di atas menjadi
𝐹(𝑦, 𝑡) =𝑑𝑁
𝑑𝑡= −0.053 𝑁
Berdasarkan persamaan metode Euler
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + ∆𝑡 . 𝐹(𝑦𝑛 , 𝑡𝑛)
atau
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + ∆𝑡 . 𝐹𝑛
Misal kita gunakan ∆𝑡 = 1
Maka untuk kasus persamaan diatas menjadi
saat 𝑡0 = 0 𝑁0 = 50
𝑁1 = 𝑁0 + 1(−0.053 𝑁0)
𝑁1 = 50 + 1 −0.053 ∗ 50
𝑁1 = 47.35
saat 𝑡1 = 1 𝑁1 = 47.35
𝑁2 = 𝑁1 + 1(−0.053 𝑁1)
𝑁2 = 47.35 + 1 −0.053 ∗ 47.35
𝑁2 = 44.84045
saat 𝑡2 = 2 𝑁2 = 44.84045
𝑁3 = 𝑁2 + 1(−0.053 𝑁1)
𝑁3 = 44.84045 + 1 −0.053 ∗ 44.84045
𝑁3 = 42.4639
dst.
apabila kita gunakan program MATLAB
Maka hasil yang akan di dapat seperti pada Tabel 3.1.
Kita juga dapat melihat bentuk grafik dari persamaan peluruhan radioaktif dengan cara:
>> plot(t,N);
No = 50; f = inline('-0.053*No','No'); h = 1; t = 1:1:20; disp(' Waktu(jam) dN/dt N(t)'); for n=1:20 N(n) = No + h * f(No); No = N(n); fprintf(' %5g %12.4f %12.4f\n', t(n) , f(No) , N(n) ); end
Maka akan muncul grafik antara massa yang meluruh terhadap waktu:
Gambar 3.3. Grafik Hasil Perhitungan Peluruhan Massa Zat Radioaktif dengan Metode Euler
Tabel 3.1 Hasil Perhitungan dengan Metode Euler
1.2 Metode Runge-Kutta
Setelah menguasai metode Euler, dapat dianalisis metode Euler kurang efisien dalam
masalah-masalah praktis, karena dalam metode Euler diperlukan h << 1 untuk
memperoleh hasil yang cukup teliti (akurat). Metode Runge-kutta dapat digunakan
untuk menyelasaikan masalah ini. Metode Runge-kutta dibuat untuk mendapatkan
ketelitian yang lebih tinggi dan kelebihan dari metode ini adalah bahwa untuk
memperoleh hasil-hasil tersebut hanya diperlukan nilai-nilai fungsi dari titik-titik
sembarang yang dipilih pada suatu interval bagian.
Metode Runge-Kutta merupakan alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak
membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapat derajat ketelitian
yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan mencari turunan yang lebih
tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi 𝑓(𝑥, 𝑦) pada titik terpilih dalam setiap selang
langkah. Metode Runge-Kutta adalah metode PDB yang paling populer karena banyak di
pakai dalam praktek.
Metode Runge-Kutta merupakan salah satu dari satu perangkat metode yang penting
untuk menyelesaikan persamaan diferensial dengan syarat awal
𝑦′ = 𝑓 𝑦, 𝑡 ; 𝑦 0 = 𝑦0 (3.15)
Untuk menghitung 𝑦𝑛+1 pada 𝑡𝑛+1 = 𝑡𝑛 + dengan nilai 𝑦𝑛 diketahui, kita integralkan
persamaan 3.15 pada interval [𝑡𝑛 , 𝑡𝑛+1]
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑓 𝑦, 𝑡 𝑑𝑡 𝑡𝑛+1
𝑡𝑛
(3.16)
Metode Runge-Kutta didapatkan dengan menerapkan metode integrasi numerik untuk
mengintegralkan ruas kanan pada persamaan 3.16. Dalam bab ini kami akan dijelaskan
metode Runge-Kutta orde ke-2, -3, dan -4.
1.2.1 Metode Runge-Kutta Orde Dua
Disini kita akan memeriksa aplikasai pada ruas kanan dari persamaan 3.16
𝑓 𝑦, 𝑡 𝑑𝑡 𝑡𝑛+1
𝑡𝑛
≈1
2 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛 + 𝑓 𝑦𝑛+1 , 𝑡𝑛+1 (3.17)
Pada persamaan 3.17, 𝑦𝑛+1 tidak diketahui, jadi bentuk kedua di aproksimasikan
dengan 𝑓 𝑦 𝑛+1, 𝑡𝑛+1 , dimana 𝑦 𝑛+1 adalah estimasi awal untuk 𝑦𝑛+1 dihitung dengan
Metode Euler. Bentuk yang didapatkan disini disebut Metode Runge-Kutta orde-2 dan
di ringkas seperti berikut:
𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +
2 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛 + 𝑓 𝑦 𝑛+1 , 𝑡𝑛+1
atau secara umumnya berbentuk:
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2
= 𝑓 𝑦𝑛
+ 𝑘1 , 𝑡𝑛+1 ( 3.18)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
2[𝑘1 + 𝑘2]
Metode Runge-Kutta orde ke-2 identik dengan metode prediktor-corrector Euler, dan
juga ekuivalen dengan memodifikasi penerapan metode Euler hanya dengan langkah
dua iterasi saja.
1.2.2 Metode Runge-Kutta Orde Tiga
Metode Runge-Kutta yang terkenal dan banyak dipakai dalam praktek adalah metode
Runge-Kutta orde tiga dan metode Runge-Kutta orde empat. Kedua metode tersebut
terkenal karena tingkat ketelitian solusinya tinggi (dibandingkan metode Runge-Kutta
orde sebelumnya, mudah diprogram, dan stabil).
Metode Runge-Kutta orde Tiga yang lebih akurat dibandingkan metode Runge-Kutta
orde Dua dapat dicari menggunakan bentuk integrasi numerik dengan orde yang lebih
tinggi untuk bentuk kedua dari persamaan 3.16. Gunakan hukum 1/3 Simpson, maka
persamaan 3.16 diaproksimasikan dengan:
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +
6 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛 + 4𝑓 𝑦 𝑛+1
2, 𝑡𝑛+1
2 + 𝑓 𝑦 𝑛+1 , 𝑡𝑛+1 (3.19 )
dimana 𝑦 𝑛+1 dan 𝑦 𝑛+12 adalah estimasi, karena 𝑦𝑛+1 dan 𝑦𝑛+1
2 tidak diketahui.
Estimasi nilai 𝑦 𝑛+12 dapat dihitung dengan menggunakan metode Euler
𝑦 𝑛+12
= 𝑦𝑛 +
2𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛 (3.20)
Estimasi 𝑦 𝑛+1di hitung menggunakan
𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
atau
𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + 𝑓 𝑦 𝑛+12, 𝑡𝑛+1
2
atau kombinasi linier keduanya adalah
𝑦 𝑛+1 = 𝑦𝑛 + [𝜃𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛 + 1 − 𝜃 𝑓 𝑦 𝑛+12, 𝑡𝑛+1
2 ] (3.21)
Disini 𝜃 merupakan parameter undetermined, yang mana akan dihitung untuk
memaksimalkan ke-akuratan pada metode numerik. Dengan menggunakan persamaan
3.21, seluruh skema ditulis dalam bentuk:
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘1 , 𝑡𝑛 +
2
𝑘3 = 𝑓 𝑦𝑛 + 𝜃𝑘1 + 1 − 𝜃 𝑘2, 𝑡𝑛 + (3.22)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
6[𝑘1 + 4𝑘2 + 𝑘3]
Secara ringkas, metode Runge-Kutta orde-3 dapat ditulis
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘1 , 𝑡𝑛 +
2
𝑘3 = 𝑓 𝑦𝑛 − 𝑘1 + 2𝑘2, 𝑡𝑛 + (3.23)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
6[𝑘1 + 4𝑘2 + 𝑘3]
1.2.3 Metode Runge-Kutta Orde Empat
Ada beberapa pilihan alternatif untuk skema integrasi numerik yang digunakan pada
persamaan 3.16. Metode Runge-Kutta orde keempat sesuai dengan bentuk ekspansi
Taylor orde keempat, sehingga error nya sebanding dengan 5 . Berikutnya ada dua
versi dalam metode Runge-Kutta orde keempat yang paling banyak digunakan. Versi
pertama berdasarkan hukum 1/3 Simpson yang dituliskan dengan
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘1 , 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘3 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘2, 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘4 = 𝑓 𝑦𝑛 + 𝑘3 , 𝑡𝑛 + (3.24)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
6 𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4
versi kedua berdasarkan hukum 3/8 Simpsons yang dituliskan dengan
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
3𝑘1 , 𝑡𝑛 +
1
3,
𝑘3 = 𝑓 𝑦𝑛 +𝑘1
3+
𝑘2
3, 𝑡𝑛 +
2
3
𝑘4 = 𝑓 𝑦𝑛 + 𝑘1 − 𝑘2 + 𝑘3, 𝑡𝑛 + (3.25)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
8 𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4
1.2.4 Metode Runge-Kutta Orde Lima
Bentuk umum metode Runge-Kutta orde-5 yaitu:
𝑘1 = 𝑓 𝑦𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘1 , 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘3 = 𝑓 𝑦𝑛 +3
16𝑘1 +
1
16𝑘2 , 𝑡𝑛 +
1
4
𝑘4 = 𝑓 𝑦𝑛 +1
2𝑘3, 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘5 = 𝑓 𝑦𝑛 +3
16𝑘2 +
1
16𝑘3 +
9
16𝑘4, 𝑡𝑛 +
3
4 (3.26)
𝑦𝑛+1 = 𝑦𝑛 +1
9 7𝑘1 + 32𝑘3 + 12𝑘4 + 7𝑘6 𝑂 6
Untuk mengetahui perbedaan kedua metode (metode Euler dan metode Runge-Kutta)
tersebut di atas, kami berikan contoh soal yang sama pada materi metode sebelumnya,
yaitu kasus peluruhan zat radioaktif. Jika sebelumnya kalian sudah menyelesaikannya
dengan metode Euler, sekarang saatnya kalian pahami bagaimana metode Runge-
Kutta bekerja untuk kasus yang sama.
Peluruhan Zat Radioaktif
Peluruhan zat radioaktif dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:
𝑑𝑁
𝑑𝑡− 𝑘𝑁 = 0
dimana N = massa zat radioaktif pada waktu tertentu; k = konstanta peluruhan. Jika
massa mula-mula adalah 50 miligram dan nilai k = -0,053,
(a) Tentukan massa radioaktif yang meluruh selama 20 jam, dengan interval waktu 1
jam. Gunakan metode Runge-Kutta Orde-4.
(b) Buatlah kurva peluruhan zat radioaktif terhadap waktu berdasarkan analisis numerik
menggunakan medote Euler diatas.
Penyelesaian:
𝑑𝑁
𝑑𝑡= 𝑘𝑁
dengan nilai 𝑁0 = 50 𝑚𝑔 dan 𝑘 = −0.053
Maka persamaan diatas menjadi
𝐹(𝑁, 𝑡) =𝑑𝑁
𝑑𝑡= −0.053 𝑁
Berdasarkan persamaan metode Runge-Kutta Orde-4
𝑘1 = 𝑓 𝑁𝑛 , 𝑡𝑛
𝑘2 = 𝑓 𝑁𝑛 +1
2𝑘1 , 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘3 = 𝑓 𝑁𝑛 +1
2𝑘2 , 𝑡𝑛 +
1
2
𝑘4 = 𝑓 𝑁𝑛 + 𝑘3, 𝑡𝑛 +
𝑁𝑛+1 = 𝑁𝑛 +1
6 𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4
Misal kita gunakan ∆𝑡 = 1
Maka untuk kasus persamaan diatas menjadi
saat 𝑡0 = 0 𝑁0 = 50
𝑘1 = 1 −0.053 𝑁0 = −2.65
𝑘2 = 1 −0.053 (𝑁0 +1
2𝑘1) = −2.5798
𝑘3 = 1 −0.053 𝑁0 +1
2𝑘2 = −2.5816
𝑘4 = 1 −0.053 𝑁0 + 𝑘3 = −2.5132
𝑁1 = 𝑁0 +1
6 𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4 = 47.4190
saat 𝑡1 = 1 𝑁1 = 47.4190
𝑘1 = 1 −0.053 𝑁1 = −2.5132
𝑘2 = 1 −0.053 (𝑁1 +1
2𝑘1) = −2.4466
𝑘3 = 1 −0.053 𝑁1 +1
2𝑘2 = −2.4483
𝑘4 = 1 −0.053 𝑁1 + 𝑘3 = −2.3834
𝑁2 = 𝑁1 +1
6 𝑘1 + 2𝑘2 + 2𝑘3 + 𝑘4 = 44.9712
dst...
apabila kita gunakan program MATLAB
No = 50; f = inline ('-0.053*N','N'); h = 1; t = 1:1:20; disp (' Waktu(jam) dN/dt N(t)'); for n = 1:20 k1 = h * f(No); k2 = h * f(No + (k1/2)); k3 = h * f(No + (k2/2)); k4 = h * f(No + k3); N(n) = No + 1/6 *(k1 + 2*k2 + 2*k3 + k4); No = N(n); fprintf(' %5g %12.4f %12.4f\n', t(n), f(No), N(n)); end
Maka hasil yang akan di dapat seperti pada Tabel 3.2.
Kita juga dapat melihat bentuk grafik dari persamaan peluruhan radioaktif dengan cara:
>> plot(t,N);
Maka akan muncul grafik antara massa yang meluruh terhadap waktu:
Gambar 3.4. Grafik Hasil Perhitungan Peluruhan Massa Zat Radioaktif dengan Metode Runge-Kutta
Orde-4
Tabel 3.2 Hasil Perhitungan dengan Metode Runge-Kutta Orde-4
Metode-metode numerik yang sudah kalian pelajari akan sangat membantu kalian
dalam menyelesaikan persamaan-persamaan rumit jika kalian ingin menguasainya.
“One secret of success in life is for a man to be ready for his opportunity when it
comes” (Benjamin Disraeli)
LABORATORY EXCERCISE 3
1. Jika air dihabiskan dari sebuah tangki silinder vertikal dengan membuka katup pada
bagian dasarnya, air akan mengalir dengan cepat ketika tangki terisi penuh dan akan
mengalir dengan lambat seterusnya sampai habis. Nilai dimana tinggi air turun adalah:
𝑑𝑦
𝑑𝑡= −𝑘 𝑦
Dimana 𝑘 adalah konstanta yang bergantung pada bentuk lubang dan diagonal permukaan
dari tangki dan lubang keluarnya air. Kedalaman air 𝑦 diukur dalam satuan meter dan
waktu 𝑡 dalam menit. Jika 𝑘 = 0,06, tentukan berapa lama waktu yang diperlukan hingga
tangki tersebut kosong jika ketinggian awal fluida adalah 3 m. Gunakan metode Euler
dengan = 0,5 menit.
2. Kecepatan jatuh objek seperti penerjun payung dapat digambarkan dengan persamaan
turunan berikut
𝑑𝑣
𝑑𝑡= 𝑔 −
𝑐𝑑
𝑚𝑣2
dimana 𝑣 = kecepatan (m/s), 𝑡 = waktu (s), 𝑔 = percepatan gravitasi (9,81 m/s2), 𝑐𝑑 =
koefisien hambatan orde kedua (kg/m), dan 𝑚 = massa (kg). Selesaikan persamaan
berikut untuk memperoleh kecepatan dan jarak jatuh objek sebesar 90-kg dengan
koefisien hambat sebesar 0.225 kg/m. Jika ketinggian awal adalah 1 km, tentukan kapan
objek tersebut membentur tanah. Gunakan metode Runge-Kutta orde 4!
3. Tingkat kedinginan suatu benda dapat dinyatakan seperti:
𝑑𝑇
𝑑𝑡= −𝑘(𝑇 − 𝑇𝑎)
dimana 𝑇 = suhu benda (oC), 𝑇𝑎 = suhu medium sekitar (
oC), and 𝑘 = konstanta (menit
-
1). Jadi, persamaan tersebut menjelaskan bahwa tingkat kedinginan sebanding dengan
perubahan suhu antara benda dan medium sekitarnya. Jika sebuah bola metal yang
dipanaskan hingga 90 o
C ditenggelamkan ke dalam air yang memiliki nilai konstan 𝑇𝑎 =
20 oC, hitunglah berapa lama suhu bola turun hingga 40
oC jika 𝑘 = 0,25 menit
-1!
4. Gerak sistem pegas-massa teredam (Gambar P 3.1) digambarkan oleh persamaan
diferensial biasa berikut:
𝑚𝑑2𝑥
𝑑𝑡2+ 𝑐
𝑑𝑥
𝑑𝑡+ 𝑘𝑥 = 0
dimana 𝑥 = perpidahan dari posisi setimbang (m), 𝑡 = waktu (s), 𝑚 = 20 kg mass, and
𝑐 = koefisien teredam (N · s/m). Koefisien teredam 𝑐 memiliki tiga nilai yaitu 5 (under-
damped), 40 (critically damped), dan 200 (overdamped). Konstanta pegas 𝑘 = 20 N/m.
kecepatan awal sebesar nol, dan posisi awalnya adalah 1 m. Selesaikan persamaan
tersebut selama periode waktu 0 ≤ 𝑡 ≤ 15 s. Plot grafik perpindahan terhadap waktu
untuk setiap tiga nilai koefisien teredam dalam satu kurva yang sama.
Gambar P 3.1
5. Sebuah neraca massa untuk suatu bahan kimia dalam reaktor tercampur dapat ditulis
sebagai
𝑉𝑑𝑐
𝑑𝑡= 𝐹 − 𝑄𝑐 − 𝑘𝑉𝑐2
dimana 𝑣 = volum (12 m3), 𝑐 = konsentrasi (g/m
3), 𝐹 = feed rate (175 g/min), 𝑄 = flow
rate (1 m3/min), and 𝑘 = second-order reaction rate (0,15 m
3/g/min). Jika 𝑐(0) = 0,
selesaikan persamaan tersebut sampai konsentrasi mencapai tingkat stabil dan plot
hasilnya.