PENGGUNAAN TEPUNG KULIT BUAH KAKAO FERMENTASI
DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN
KERING DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK
KELINCI NEW ZEALAND WHITE JANTAN
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Peternakan
Disusun Oleh :
Irvan Syaifuddin Azti
H0505044
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan usaha peternakan Indonesia cukup potensial untuk
dipertahankan dan dibudidayakan. Mengingat daging merupakan sumber protein
hewani yang cukup diminati masyarakat. Kelinci dipromosikan sebagai salah satu
ternak alternatif untuk pemenuhan gizi masyarakat (khususnya protein hewani).
Hal ini karena ternak kelinci dapat dijadikan alternatif sumber protein hewani
yang bermutu tinggi, dagingnya berwarna putih dan mudah dicerna. Ensminger et
al., (1990) mengemukakan bahwa daging kelinci berwarna putih, kandungan
proteinnya tinggi (25 %), rendah lemak (4%), dan kadar kolesterol daging juga
rendah yaitu 1,39 g/kg.
Kelinci menjadi ternak pilihan karena pakannya tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia, maupun ternak industri yang intensif. Kelinci juga tumbuh
dengan cepat, dan dapat mencapai bobot badan dua kg atau lebih pada umur
delapan minggu, dengan efisiensi penggunaan pakan yang baik pada ransum
dengan jumlah hijauan yang tinggi.
Keunggulan lain ternak kelinci mampu melahirkan anak 4-6 kali setiap
tahun (50 ekor/ tahun) dengan jumlah anak rata-rata yang disapih 8 ekor
(Sarwono, 2008). Kelinci Keturunan New Zealand White merupakan kelinci
albino yang bulunya putih, mulus, padat, tebal dan agak kasar kalau diraba,
mempunyai pertumbuhan yang cepat sehingga cocok untuk pedaging komersial
(Hustamin, 2006).
Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha
pemeliharaan ternak. Keberhasilan usaha pemeliharaan ternak banyak ditentukan
oleh pakan yang diberikan disamping faktor pemilihan bibit dan tata laksana
pemeliharaan yang baik. Agar kelinci dapat berproduksi tinggi, maka perlu
dipelihara secara intensif dengan pemberian pakan yang memenuhi syarat, baik
secara kualitas maupun kuantitas. Ensminger et al., (1990)
mengemukakan bahwa pakan kelinci dapat berupa hijauan, namun hanya cukup
1
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, sehingga produksinya tidak akan
maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan konsentrat.
Kendala penggunaan konsentrat pabrik adalah harganya yang mahal
sehingga memberatkan petani peternak, karena biaya pakan sekitar 60-70% dari
total biaya produksi. Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk
manusia, maka limbah industri hasil pertanian pun semakin banyak dan dapat
menjadi alternatif penyediaan bahan pakan ternak yang potensial termasuk
kelinci. Salah satu limbah industri hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai
bahan pakan adalah kulit buah kakao.
Limbah kulit buah kakao mempunyai kandungan protein yang rendah,
serta mengandung serat kasar yang tinggi. Lignin dapat membentuk senyawa
kompleks dengan selulosa dan hemiselulosa (lignoselulosa) yang sulit ditembus
oleh enzim mikroba sehingga menghambat kecernaan dinding sel yang dapat
menurunkan kecernaan isi sel (Goering dan Van Soest, 1970 cit. Mujnisa, 2007).
Oleh karena itu sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak perlu
difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar serat kasar dan lignin
yang sulit dicerna oleh ternak serta untuk meningkatkan nilai nutrisi, tetapi ada
batasan penggunaan tepung kulit buah kakao karena mengandung senyawa anti
nutrisi theobromin. Theobromin adalah senyawa heterosiklik yang dapat
menghambat pencernaan (Guntoro et al., 2006).
Fermentasi adalah suatu metode untuk meningkatkan kandungan gizi dan
nilai manfaat dari bahan asal. Tujuan fermentasi disamping untuk pengawetan
juga dapat untuk meningkatkan protein kasar dan palatabilitas karena mengubah
aroma lebih baik dari bahan asal. Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan
yang berkualitas rendah serta berfungsi dalam pengawetan bahan dan merupakan
suatu cara untuk menghilangkan zat antinutrisi yang terkandung dalam suatu
bahan pakan (Anonim, 2009).
Peningkatan kualitas pakan secara biologi dapat dilakukan salah satunya
dengan cara fermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger. Aspergillus
niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin
sehingga tidak membahayakan. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik
dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35°C - 37°C (Fardiaz, 1989).
Fermentasi dengan Aspergillus niger menyebabkan meningkatnya
kandungan protein kulit buah kakao. Hasil analisis proksimat, menunjukkan
peningkatan kandungan protein kasar (PK) dari 8,11% pada kakao mentah
(sebelum difermentasi) menjadi 16,16%. Disamping itu, fermentasi dapat
menurunkan kandungan serat kasar, (SK) dari 16,42% menjadi 10,15% dengan
Aspergillus niger dan 12,44% bila tanpa menggunakan Aspergillus niger. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan Aspergilus niger dapat meningkatkan efektivitas
fermentasi bahan pakan ( Guntoro et al., 2006 ).
Peningkatan kandungan protein kasar pada kulit buah kakao diduga karena
Aspergillus niger dapat tumbuh dengan memanfaatkan urea dan campuran mineral
lainnya sehingga dapat meningkatkan kadar protein kasar (Kompiang et al., 1994
cit Elizabeth, 2005). Penurunan serat kasar dipengaruhi oleh aktivitas enzim
lignase yang membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa dapat
terlepas dari ikatan lignin, enzim selulase berfungsi memecah selulosa, serta
enzim xilanase berfungsi memecah xilan (hemiselulosa) kemudian serat yang
dipecah akan menjadi karbohidrat sederhana sehingga meningkatkan energi yang
bisa dimetabolisme oleh ternak (Agrotek, 2004). Frazier dan Westhoff (1978)
mengemukakan bahwa Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh
cepat dan menghasilkan beberapa enzim seperti amylase, pektinase,
amiloglukosidase, dan selulase.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh
penggunaan tepung kulit kakao fermentasi terhadap kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik kelinci New Zealand White jantan.
B. Rumusan Masalah
Kelinci merupakan ternak pseudoruminant yaitu herbivora yang tidak
dapat memanfaatkan serat kasar dengan baik. Sebagai herbivora, pakan
hijauan merupakan pakan utama dan supaya dapat berproduksi secara optimal
perlu ditambahkan konsentrat sebagai pakan penguat. Limbah industri
pertanian yang murah dan melimpah dapat dimanfaatkan sebagai pakan
konsentrat. Salah satunya adalah dengan menggunakan tepung kulit buah
kakao fermentasi.
Kulit buah kakao merupakan limbah buah kakao yang belum
dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat digunakan sebagai pakan
alternatif. Kulit buah kakao mengandung protein kasar 7,17 %, serat kasar
22,42 %, lemak 0,9 %, Ca 0,02 % dan P 0,14 % (Guntoro, 2006), maka
penggunaannya menjadi terbatas dan belum memberikan hasil yang baik.
Guna mengatasi masalah tersebut maka dilakukan fermentasi dengan
menggunakan Aspergillus niger, dengan dilakukannya fermentasi terlebih
dahulu diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan
serat kasar yang ada didalam kulit buah kakao.
Atas dasar permasalahan diatas, telah dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh tingkat penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi
dengan Aspergilus niger terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik
kelinci New Zealand White jantan.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi
dengan Aspergilus niger terhadap kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum kelinci New Zealand White jantan.
2. Mengetahui level yang paling optimum dalam penggunaan tepung kulit
buah kakao fermentasi untuk kelinci New Zealand White jantan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelinci
Hustamin (2006) mengemukakan bahwa kelinci diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae
Genus : Oryctolagus
Spesies : Oryctolagus cuniculus
Berdasarkan berat badannya, jenis-jenis kelinci dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok, pertama adalah jenis besar dimana yang termasuk jenis
besar adalah jenis-jenis kelinci yang mempunyai berat 5,5 kg ke atas. Kedua
adalah jenis sedang yang termasuk di dalamnya adalah jenis-jenis kelinci
yang mempunyai berat 4,5-5,5 kg. Ketiga adalah jenis kecil dimana yang
termasuk kelinci jenis kecil adalah jenis-jenis kelinci yang mempunyai berat
sampai dengan 3,25 kg (Kartadisastra, 1994).
Ras New Zealand White merupakan kelinci albino, tidak mempunyai
bulu yang mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal dan agak
kasar kalau diraba serta matanya berwarna merah. Aslinya dari New Zealand,
sehingga disebut New Zealand White (Sarwono, 2008). Kelinci New Zealand
umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna merah atau hitam.
Matanya berwarna merah muda, bulunya padat, cepat dewasa dan anak cepat
disapih. Termasuk tipe kelinci pedaging dengan puncak produksi sekitar 3
tahun (Whendarto dan Madyana, 1983).
Ras New Zealand White merupakan kelinci yang yang sudah sangat
popular dan paling banyak disukai orang untuk dipelihara. Bulu berwarna
putih, mempunyai sifat jinak, serta pertumbuhannya sangat cepat. Daging
kelinci ini bebas lemak, lembut dan halus seratnya. Bobot badan anak umur
58 hari sekitar 1,8 kg, berat dewasa dapat mencapai 3,6 kg dan setelah lebih
tua beratnya dapat mencapai 4,5 - 5 kg (Sarwono, 1995). Kelinci New
Zealand White mencapai dewasa kelamin pada umur 5,5 sampai 6,5 bulan
dengan bobot badan antara 3 sampai 4,5 kg. Kelinci New Zealand White
5
5
dapat beranak sampai 6 kali dalam satu tahun dengan litter size rata-rata 6
ekor (DIRJEN Peternakan, 1991).
B. Sistem Pencernaan Kelinci
Pencernaan adalah serangkaian proses yang terjadi di dalam saluran
pencernaan yaitu : memecah bahan pakan menjadi bagian-bagian atau
partikel-partikel yang lebih kecil, dari senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana hingga larut dan dapat diabsorpsi lewat dinding saluran pencernaan
masuk ke dalam peredaran darah, yang selanjutnya diedarkan ke seluruh
tubuh yang membutuhkannya atau untuk disimpan dalam tubuh (Kamal,
1994). Kelinci merupakan ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang
tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik. Fermentasi hanya terjadi di
sekum (bagian pertama dari kolon) yang kurang lebih merupakan 50% dari
seluruh kapasitas saluran pencernaannya (Sarwono, 2008).
Gambar 1. Skema Saluran Pencernaan Kelinci (Sarwono, 2008)
Pencernaan ternak berawal dari mulut, pencernaan di dalam mulut
terutama dilakukan secara mekanik yaitu dengan jalan mastikasi (Kamal,
1994). Pencernaan dalam mulut ini bertujuan untuk memecah pakan agar
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mencampurnya dengan saliva
agar mudah ditelan. Saliva dicurahkan ke dalam mulut oleh tiga pasang
kelenjar saliva yaitu kelenjar sub maxilaris, kelenjar sub lingualis dan
kelenjar parotis. Dari mulut pakan ditelan melalui oesofagus dan masuk ke
dalam lambung.
Lambung adalah ruangan sederhana yang berfungsi sebagai tempat
pencernaan dan penyimpanan pakan. Lambung mempunyai tiga bagian yakni
kardia, fundus dan pilorus. Bagian kardia dan pilorus mengandung otot-otot
spinter yang mengatur masuknya pakan (kardia) kedalam dan keluarnya
pakan (pilorus) dari lambung. Bagian tengah, fundus adalah bagian utama
yang mengeluarkan sekresi cairan lambung yang mengandung mukus, asam
lambung dan dua enzim yaitu pepsin dan renin (Tillman et al., 1991).
Setelah melewati lambung, pakan akan berlanjut ke usus halus. Usus
halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, ialah yang
menghubungkan dengan lambung, jejenum adalah bagian tengah dan ileum
yang menghubungkan dengan usus besar (intestinum crassum). Cairan yang
masuk ke dalam usus halus terdiri dari empat sekresi yaitu cairan duodenum,
empedu, cairan pankreas dan cairan villi (Tillman et al., 1991).
Pakan yang belum tecerna pada usus halus akan masuk ke usus besar,
pencernaan dalam usus besar adalah sisa-sisa kegiatan pencernaan oleh enzim
dari usus halus. Bagian sekum dan kolon pada sistem pencernaan kelinci
adalah yang paling penting dan membedakannya dengan spesies lain.
Aktivitas mikroba di sekum memegang peranan penting dalam proses
pencernaan dan penyerapan nutrien. Proses hidrolisa selulosa dan vitamin B
terjadi di bagian sekum dan selanjutnya sebagian besar disekresikan dalam
feses (Tillman et al., 1991). Parakkasi (1999) menambahkan bahwa mikroba
yang terdapat pada sekum selain bakteri selulolitik juga terdapat bakteri
proteolitik, walaupun dalam jumlah yang sedikit. Dengan kondisi yang
sesuai, maka mikroba akan berkembang biak dengan baik dan akan aktif
dalam mendegradasi bahan pakan secara fermentatif. Kartadisastra (1994)
mengemukakan bahwa setelah pakan dicerna dalam usus dan sekum, maka
sisa pakan akan dikeluarkan dalam bentuk feses. Kelinci mempunyai dua
macam feses, yaitu feses keras dan feses yang berbentuk lebih kecil dan lebih
lunak serta menggumpal berkelompok. Feses lunak ini masih mengandung
banyak nutrien yang tidak diabsorpsi di dalam usus halus, artinya digesta
berlalu dengan cepat dari sekum langsung ke anus, kemudian ternak kelinci
akan mengkonsumsinya kembali (coprophagy).
C. Pakan Kelinci
Faktor lingkungan mempengaruhi sekitar 70 persen dari produktifitas
ternak, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30 persen saja.
Pengaruh faktor lingkungan antara lain terdiri dari pakan, teknik
pemeliharaan, kesehatan dan iklim. Diantara faktor lingkungan, pakan
mempunyai pengaruh paling besar yakni sekitar 60 persen. Besarnya
pengaruh lingkungan itu menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik
ternak itu tinggi, namun produksi yang tinggi tidak tercapai tanpa pemberian
pakan yang memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas (Siregar,1994).
Pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok, yaitu menunjang proses dalam tubuh yang harus
dilaksanakan walaupun tidak ada proses produksi ataupun pembentukan
jaringan baru. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan
hidup pokok maka kelebihan nutrien yang ada digunakan untuk keperluan
pertumbuhan, penggemukan atau keperluan produksi lainnya (Tillman et al.,
1991). Murtidjo (2003) menambahkan bahwa pemberian pakan secara
ekonomis dan teknis memenuhi persyaratan dilandasi beberapa kebutuhan.
Pertama, kebutuhan hidup pokok, yaitu kebutuhan pakan yang mutlak
dibutuhkan dalam jumlah minimal meski ternak dalam keadaan hidup tidak
mengalami pertumbuhan dan kegiatan. Kedua, kebutuhan untuk
pertumbuhan, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak untuk
memproduksi jaringan tubuh, dan menambah berat tubuh. Ketiga, kebutuhan
untuk reproduksi, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak untuk proses
reproduksi.
Pemberian pakan pada ternak kelinci terdapat dua sistem yaitu sistem
ad libitum dan sistem restriction. Pengertian sistem ad libitum yaitu suatu
sistem pembarian pakan yang selalu tersedia. Dalam hal ini ternak akan
mengkonsumsi pakan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang tidak
terbatas. Sistem Restriction yaitu suatu sistem pemberian pakan yang
disediakan secara terbatas dan dalam waktu tertentu yang disesuaikan dengan
kebutuhan ternak (Kartadisastra, 1994).
a. Hijauan
Hijauan merupakan pakan pokok kelinci. Dalam peternakan semi
intensif, umumnya hijauan diberikan sebesar 80 persen sedangkan 20
persen lainnya dalam bentuk konsentrat. Pemberian hijauan oleh peternak
kelinci ada tiga golongan yakni : 60 – 80 persen hijauan dan sisanya
konsentrat serta diberi 60 persen keatas dalam bentuk konsentrat sedang
sisanya berupa hijauan. Hijauan yang biasa diberikan untuk kelinci antara
lain daun kangkung, rumput lapangan, daun pisang, daun lamtoro, daun
turi dan sebagainya (Whendrato dan Madyana, 1983).
Kelebihan bahan pakan hijauan adalah mempunyai daya tumbuh
yang tinggi, sehingga produksi hijauan relatif melimpah. Akan tetapi,
hijauan juga mempunyai kelemahan, yaitu sukar untuk mempertahankan
nilai nutriennya karena semakin tua, kandungan protein kasarnya akan
semakin menurun dan serat kasarnya akan semakin meningkat
(Reksohadiprodjo, 1985). Menurut Siregar (1994) hijauan dikelompokkan
berdasarkan kualitasnya untuk mempermudah penilaian kualitas hijauan.
Kelompok hijauan berkualitas rendah memiliki kandungan protein
dibawah 4 persen dari bahan kering. Kelompok hijauan kualitas sedang
memiliki kandungan protein kasar 5 - 10 persen dari bahan kering
sedangkan hijauan kualitas tinggi kandungan protein kasarnya lebih dari
10 persen. Rumput lapang termasuk dalam kelompok hijauan kualitas
sedang.
Hijauan yang biasa dipilih sebagai bahan pakan adalah dari
tanaman yang cepat tumbuh, misalnya: rumput yang banyak terdapat di
lapang, limbah sayuran, daun kacang tanah, daun pepaya dan lain-lain.
Hijauan untuk pakan kelinci tidak diberikan dalam bentuk segar, tetapi
sebaiknya dilakukan proses pelayuan terlebih dahulu untuk mengurangi
kadar airnya. Tujuan pelayuan adalah dapat menghilangkan getah atau
racun yang dapat menimbulkan kejang-kejang dan mencret pada ternak
(Sarwono, 2008).
b. Konsentrat
Konsentrat adalah bahan pakan yang dipergunakan
bersamaan dengan bahan pakan yang lain untuk menciptakan
keserasian nilai nutrien pakan secara keseluruhan (Hartadi et al.,
1997). Tillman et al., (1991) menambahkan bahwa konsentrat adalah
bahan pakan yang kandungan serat kasarnya rendah dan kandungan
BETN dan energinya tinggi, sehingga sangat mudah dicerna dan
dapat meningkatkan laju pertumbuhan ternak.
Konsentrat dalam ransum kelinci berfungsi untuk
meningkatkan nilai nutrien ransum supaya dapat memenuhi
kebutuhan pokok hidup kelinci, disesuaikan dengan tujuan produksi
yang diharapkan, mempermudah penyediaan ransum terutama pada
daerah-daerah yang kekurangan atau kesulitan untuk mendapatkan
hijauan, serta menjaga daya tahan tubuh terhadap lingkungan
(Whendrato dan Madyana, 1983).
Konsentrat dalam peternakan kelinci berfungsi untuk
meningkatkan nilai gizi pakan dan mempermudah penyediaan pakan.
Konsentrat untuk kelinci dapat berupa pellet (buatan pabrik),
bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas
tapioka, atau gaplek (Anonim, 2008). Bahan pakan yang dapat
digolongkan sebagai bahan pakan konsentrat, antara lain adalah:
dedak padi, bungkil, ampas tahu, gaplek, polard, dan tepung ikan
(Siregar, 1994). Demikian pula Kartadisastra (1994) menambahkan
bahwa konsentrat untuk pakan kelinci dapat tersusun dari campuran
antara lain: jagung giling, bungkil kedelai, dedak halus, tepung
tulang, dedak gandum, bungkil kelapa, garam, dan premix.
D. Kulit Buah Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cocoa L.) merupakan tanaman industri
dengan produk utama berupa biji yang memiliki nilai ekonomis penting. Di
samping menghasilkan biji, dalam proses penanganan hasilnya juga
menghasilkan produk ikutan (limbah) berupa cangkang atau kulit buah kakao
dalam bentuk segar. Secara fisik kulit buah kakao beratnya mencapai 73,77
persen dari berat buah secara keseluruhan (Anonim, 2006).
Bahan pakan yang tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia dan
potensial adalah kulit buah kakao. Kulit buah kakao (cocoa shell) adalah
merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan tanaman kakao (Theobroma
cocoa L.) Walaupun produksinya cukup besar, namun dari aspek kualitas
sebagai bahan pakan terutama untuk pakan penguat, limbah perkebunan
memiliki beberapa kelemahan antara lain kandungan proteinnya relatif
rendah, sementara kandungan serat kasarnya cukup tinggi. Kulit buah kakao
mengandung protein kasar 7,17 %, serat kasar 22,42 %, lemak 0,9 %, Ca 0,02
% dan P 0,14 % (Guntoro, 2006).
Kelemahan kulit buah kakao bila dilihat dari segi kandungan
nutrienya antara lain kandungan serat kasar tinggi, protein kasar rendah,
mengandung senyawa alkaloid theobromin, serta asam fitat yang dapat
menyebabkan diare pada ternak. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan
menjadi bahan pakan dengan nilai nutrien tinggi, untuk meningkatkan nutrien
diperlukan proses pengolahan, yaitu dengan cara fermentasi menggunakan
jamur Aspergillus niger (Direktorat Budidaya Tanaman
Rempah, 2008). Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa
fermentasi kulit buah kakao dengan menggunakan Aspergillus niger dapat
merubah aroma, rasa, dan warna dari kulit buah kakao tersebut menjadi lebih
baik.
E. Aspergillus niger
Kapang Aspergillus niger mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya
berseptat, spora yang bersifat aseksual dan tumbuh memasang di atas stigma,
mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan
oksigen dalam jumlah yang cukup. Kapang Aspergillus niger termasuk
mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 - 37°C.
Derajat keasaman untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2 - 8,8 tetapi
pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah
(Fardiaz, 1989). Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa
Aspergillus niger bersifat aerobik sehingga dalam pertumbuhannya
memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup dan pada kisaran pH 2,8 dan
8,8. Aspergillus niger dapat tumbuh pada temperatur optimum bagi
pertumbuhannya yaitu 370C.
Kapang Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat, diantaranya
digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan
pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan
sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35-37ºC (optimum),
6-8ºC (minimum), 45-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang
cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau
kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai
hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi
bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora
memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat (Anonim,
2008).
Kapang Aspergillus niger mengalami beberapa fase pertumbuhan
mulai dari fase adaptasi, fase pertumbuhan cepat, fase penurunan dan fase
kematian (Supriyati et al., 1995). Kapang Aspergillus niger dalam
pertumbuhannya berhubungan secara langsung dengan zat-zat makanan yang
ada dalam medium. Molekul-molekul sederhana seperti gula dan komponen
lainnya yang terlarut disekeliling hifa dapat langsung diserap. Molekul-
molekul lain yang lebih komplek seperti selulosa pati dan protein harus
dipecah terlebih dahulu sebelum diserap dalam sel. Kapang Aspergillus niger
menghasilkan beberapa jenis enzim ekstraseluler seperti amylase,
amiloglukosidase, pektonase, selulase, katalase dan glukosa oksidase (Retno,
1992).
F. Fermentasi
Fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun
anaerob yang mampu mengubah senyawa-senyawa kompleks menjadi
senyawa-senyawa sederhana sehingga keberhasilan fermentasi tergantung
pada aktivitas mikroorganisme, sementara setiap mikroorganisme, masing-
masing memiliki syarat hidup seperti pH tertentu, suhu tertentu dan
sebagainya. Produk fermentasi selain menghasilkan bio-massa dapat
meningkatkan atau menurunkan komponen kimia tertentu, tergantung
kemampuan biokatalisnya (Rosningsih, 2000). Winarno et al., (1980)
menambahkan bahwa bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya
mempunyai nilai nutrien yang lebih tinggi daripada bahan asalnya, selain itu
mikroba bersifat memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi
komponen yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna.
Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan yang berkualitas
rendah serta berfungsi dalam pengawetan bahan dan merupakan suatu
cara untuk menghilangkan zat antinutrisi atau racun yang terkandung
dalam suatu bahan pakan (Anonim, 2009).
Penggunaan kapang sebagai inokulum fermentasi sudah banyak
dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, kadar asam
nukleat rendah. Pertumbuhannya pun mudah dilihat karena penampakannya
yang berserabut seperti kapas yang mulanya berwarna putih, tetapi jika spora
telah timbul akan tebentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang, dan
kapang ini terdiri dari suatu thallus bercabang yang disebut hifa, dimana
miselia merupakan massa hifa (Fardiaz, 1989).
G. Konsumsi pakan
Konsumsi pakan merupakan banyaknya jumlah pakan yang
dihabiskan oleh ternak. Konsumsi pakan adalah total jumlah pakan yang
dimakan ternak atau kelomnpok ternak dalam periode waktu tertentu.
Konsumsi bahan kering dalam BK pada kelinci adalah 50 - 60 gram/ekor/hari
(De Blass dan Wiseman, 1998), sedangkan konsumsi pakan kelinci dewasa
dengan bobot badan sekitar 2 - 4 kg rata-rata konsumsinya 120 - 180
gram/ekor/hari (Whendrato dan Madyana, 1983).
Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang terkonsumsi oleh ternak
bila bahan pakan tersebut diberikan dalam jumlah tertentu (Parakkasi, 1999).
Tillman et al., (1991) mengemukakan bahwa kebutuhan pakan untuk ternak
berbeda-beda tergantung dari spesiesnya, ukuran ternak, tingkat
pertumbuhan, penyakit, kondisi ternak, temperatur lingkungan dan defisiensi
nutrien tertentu, palatabilitas bahan pakan, dan kandungan energi dalam
pakan. Ternak akan mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan
energinya, sehingga jumlah pakan yang dimakan tiap hari cenderung
berkorelasi erat dengan tingkat energinya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Hartadi et al,. (2008) yang menyatakan bahwa pakan yang rendah kandungan
energi termetabolisnya akan cenderung meningkatkan jumlah pakan yang
dikonsumsi. Sebaliknya, pakan yang tinggi kandungan energi termetabolisnya
akan menurunkan konsumsi pakan. Sesuai pendapat Kamal (1994) bahwa
tinggi rendahnya kandungan energi dalam ransum berpengaruh terhadap
banyak sedikitnya konsumsi pakan.
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor
ternak itu sendiri (berat badan, status fisiologik, potensi genetik, tingkat
produksi, dan kesehatan ternak). Kedua, faktor pakan yang diberikan (bentuk
dan sifat, komposisi nutrien, frekuensi pemberian, keseimbangan nutrien, dan
antinutrisi). Ketiga, faktor lain (suhu dan kelembaban, curah hujan, lama
siang dan malam) (Siregar, 1994). Kartadisastra (1997) menambahkan
konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, selera, status fisiologi ternak,
konsentrasi nutrient pakan, bentuk pakan dan bobot ternak. Konsumsi pakan
juga dipengaruhi oleh ukuran partikel pakan. Ukuran partikel yang kecil
dapat menaikkan konsumsi pakan (Arora, 1989).
H. Kecernaan Pakan
Daya cerna (digestibility) adalah bagian nutrien pakan yang tidak
diekskresikan dalam feses. Di dalam percobaan kecernaan pakan diketahui
jumlah pakan yang diberikan dan feses yang dikeluarkan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya cerna antara lain : komposisi pakan, serat kasar, protein
kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor ternak dan jumlah
pakan (Tillman et al., 1991).
Pengukuran kecernaan pada dasarnya adalah usaha untuk menentukan
jumlah nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan atau tractus
gastrointestinalis. Proses pencernaan yaitu suatu proses hidrolisis untuk
mengubah nutrien yang dapat diserap oleh usus. Pengukuran daya cerna
secara konvensional terdiri dari dua periode yaitu periode pendahuluan dan
periode koleksi. Selama periode pendahuluan, ransum diberikan pada ternak
paling sedikit dua kali sehari. Hal ini bertujuan membiasakan hewan pada
ransum dan lingkungan di sekitarnya. Periode pendahuluan diikuti periode
koleksi dengan mengumpulkan dan menimbang feses yang dihasilkan
(Tillman et al., 1991).
Pengukuran kecernaan suatu bahan pakan adalah usaha untuk
menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan
diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan persentase
nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui
dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dikonsumsi dengan jumlah
nutrien yang dikeluarkan dalam bentuk feses (Anggorodi, 1990).
Ditambahkan oleh Anggorodi (1990) bahwa nutrien yang tidak terdapat
dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna. Prinsip dasar
yang digunakan dalam percobaan kecernaan adalah mengukur jumlah
konsumsi ransum dan jumlah ekskresi feses selama masa penelitian.
Sedangkan faktor yang berpengaruh terhadap kecernaan adalah bentuk fisik
pakan, komposisi ransum, laju perjalanan melalui alat pencernaan.
Anggorodi (1990) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kecernaan bahan kering diantaranya bentuk fisik bahan pakan,
komposisi ransum, laju perjalanan melalui alat pencernaan. Kecernaan
berhubungan dengan jumlah konsumsi pakan (Wodzicka et al., 1993).
Ditambahkan pula oleh Tillman et al., (1991) bahwa kecernaan bahan kering
dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik dimana kecernaan bahan
organik menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan.
Faktor lain yang juga mempengaruhi daya cerna adalah laju
perjalanan melalui alat pencernaan, bila pakan yang dikonsumsi terlalu cepat
melalui alat pencernaan, maka tidak cukup waktu untuk mencerna zat-zat
makanan secara menyeluruh oleh enzim-enzim pencernaan. Bila laju
perjalanan bahan pakan terlalu lambat, maka kehilangan akibat fermentasi
akan lebih besar daripada yang dikehendaki, terutama hewan dengan pakan
rerumputan (Anggorodi, 1990).
Hewan ternak per-individu dari spesies sama ternyata berbeda dalam
kesanggupannya untuk mencerna setiap pakan yang diberikan. Bahan pakan
dengan serat kasar rendah pada umumnya akan lebih mudah dicerna karena
dinding sel dari bahan tersebut tipis dan mudah ditembus oleh getah
pencernaan. Semakin banyak serat yang dikandung suatu bahan pakan,
dinding sel tersebut lebih tebal dan lebih tahan sehingga daya cerna bahan
pakan tersebut berkurang (Anggorodi, 1990).
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak
Non Ruminansia (Satker Kelinci), Balekambang, Surakarta selama dua bulan
pada tanggal 20 Juli sampai 13 September 2009.
Analisis proksimat pakan, analisis sisa pakan hijauan dan feses
dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Kelinci
Kelinci yang digunakan dalam penelitian adalah kelinci New
Zealand White jantan sebanyak 16 ekor dengan umur dua bulan dan rata-
rata berat badan 851,50 + 92,39 gram per ekor.
2. Pakan
Pakan yang digunakan dalam penelitian adalah konsentrat (bekatul
32%, tepung ikan 2%, menir jagung 32%, BR1 32%, premix 2%), hijauan
berupa rumput lapang dan TKBKF. Air minum diberikan ad libitum.
Kebutuhan nutrien kelinci keturunan New Zealand White jantan,
kandungan nutrien bahan pakan penyusun ransum serta susunan dan
kandungan nutrien ransum perlakuan, dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2
dan Tabel 3.
Tabel 1. Kebutuhan nutrien untuk kelinci masa pertumbuhan.
No Nutrien Kebutuhan
1 DE (MJ/kg) 1) 11 - 13
2 Protein Kasar (%)2) 12-16
3 Lemak Kasar (%)1) 2-4
4 Serat kasar (%)2) 12-20
Sumber : 1) Kartadisastra (2001) 2) De Blas dan Wiseman ( 1998 )
Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Untuk Ransum Perlakuan
No Bahan ransum BK (%)
ABU (%)
DE (MJ/kg)
PK (%)
SK (%)
LK (%)
1. 2.
Rumput Lapangan1)
Konsentrat 1) 88,82 92,93
15,14 13,22
10,992) 12,143)
11,81 16,28
22,19 12,10
2,07 5,67
18
3. 4.
TKBKF1) TKBK1)
90,36 89,49
5,43 13,76
12,023) 13,293)
17,21 8,53
12,45 17,61
1,90 2,65
Sumber data: 1) Hasil analisis Laboratorium Biologi Tanah UNS (2009) 2) DE (rumput)
= 4370 – 79 (%SK) x (4,2 J/ 1000) (NRC,1981) 3) TDN = 77,07 – 0,75(PK) + 0,07(SK)
DE = %TDN x 44 x (4,2 J/1000) (NRC, 1981) Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan
No
Bahan Pakan Perlakuan (% BK) P0 P1 P2 P3
1 Rumput Lapangan 60 60 60 60 2 Konsentrat 40 30 20 10 3 TKBKF 0 10 20 30 1 2 3 4 5
Jumlah Kandungan Nutrien BK (%) DE (MJ/Kg) PK (%) SK (%) LK (%)
100
90,46 11,45 13,60 18,15 3,51
100
90,21 11,44 13,69 18,19 3,13
100
89,95 11,43 13,78 18,22 2,76
100
89,69 11,42 13,88 18,26 2,38
Sumber data : Dari tabel perhitungan tabel 2 dan 3
3. Kandang dan peralatannya
Kandang yang digunakan yaitu kandang battery berjumlah 16 buah
dengan ukuran p x l x t = ( 0,5 x 0,5 x 0,5 ) m 3 , dan setiap kandang berisi
satu ekor kelinci. Bahan yang digunakan untuk membuat kandang adalah
bambu, kayu dan kawat kasa.
Peralatan kandang yang digunakan meliputi tempat pakan dan
minum yang terbuat dari plastik 16 buah dan ditempatkan pada tiap
kandang, thermometer ruang untuk mengukur suhu dalam dan luar
ruangan kandang, timbangan yang digunakan yaitu timbangan Kitchen
Scale dengan kapasitas lima kg dengan kepekaan dua gram untuk
menimbang kelinci, pakan dan sisa pakan, timbangan digital Electrolic
Scale kapasitas tiga kg dengan kepekaan satu gram untuk menimbang
tepung kulit buah kakao fermentasi dan konsentrat, penampung feses
berupa kain kassa, perlengkapan lain meliputi sapu untuk membersihkan
kandang, ember untuk menyiapkan minum kelinci dan sabit untuk
mencacah rumput lapang, alat-alat tulis dan peralatan lain.
C. Persiapan Penelitian
1. Persiapan kandang
Kandang dengan tempat pakan dan minum, terlebih dahulu
dibersihkan, baru kemudian dilakukan pengapuran pada dinding dan alas
kandang. Kandang disemprot dengan menggunakan desinfektan formades
dengan dosis 12,5 ml dalam satu liter air. Tempat pakan dan minum dicuci
hingga bersih kemudian direndam dalam desinfektan formades dengan
dosis 12,5 ml dalam satu liter air, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari
setelah kering di masukan ke dalam kandang.
2. Pembuatan tepung kulit buah kakao fermentasi
Bahan dan alat yang digunakan dalam aktifasi Aspergilus niger
adalah sebagai berikut :
10 liter air (bebas kaporit) yang sudah diendapkan selama 12-24 jam
100 gram gula pasir
50 gram urea
50 gram NPK
50 ml Aspergillus niger
Ember kapasitas 10 liter
Aerator
Tongkat plastik
Proses aktifasi Aspergilus niger adalah sebagai berikut :
Menyiapkan 10 liter air (bebas kaporit) yang sudah diendapkan selama
12-24 jam
Memasukkan larutan 100 gram gula pasir, 50 gram urea, dan 50 gram
NPK ke dalam air.
Setelah diaduk rata, masukkan bibit 50 ml larutan aspergilus niger ke
dalam air kemudian diaduk sampai rata.
Kemudian Aerasi larutan tersebut dengan aerator selama 24-36 jam.
Setelah selesai larutan siap digunakan sebagai starter.
Proses pembuatan tepung kulit buah kakao fermentasi (TKBKF)
adalah sebagai berikut :
Mencuci kulit buah kakao (KBK) sampai bersih, kemudian dijemur
selama 24 jam. Setelah agak kering KBK dicacah sampai partikel lebih
kecil.
Menempatkan limbah cacahan tersebut dalam wadah fermentasi.
Tebarkan KBK setebal 10 cm kemudian menyiram dengan starter
menggunakan sprayer.
Menumpukkan kembali bahan dengan ketebalan yang sama, kemudian
menyiram dengan starter menggunakan sprayer hingga bahan basah.
Menutup KBK dengan goni. Proses fermentasi selama 5-6 hari.
Setelah proses fermentasi berakhir kulit buah kakao fermentasi
(KBKF) dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari.
Setelah kering KBKF digiling hingga menjadi tepung, Kemudian
dijemur sampai kering dibawah sinar matahari.
3. Persiapan kelinci
Kelinci yang dipergunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan
keseragaman bangsa, jenis kelamin, umur dan bobot badan. Kelinci
sebanyak 16 ekor dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, tiap
kelompok perlakuan terdiri dari empat ulangan dan setiap ulangan terdiri
dari satu ekor kelinci jantan.
4. Pencampuran bahan pakan untuk ransum
Pencampuran bahan pakan dilakukan sesuai dengan susunan
ransum hasil perhitungan pada Tabel 3. Pencampuran dilakukan secara
manual dengan cara meletakkan bagian terbesar pada bagian paling bawah
kemudian terus-menerus diikuti bagian yang lebih kecil dan diaduk sampai
rata.
D. Cara Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian tentang penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi
(TKBKF) terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik
kelinci New Zealand White jantan dilakukan secara eksperimental.
2. Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
searah dengan perlakuan (P1,P2 dan P3) dengan P0 sebagai kontrol, masing-
masing perlakuan diulang empat kali dan setiap ulangan terdiri dari satu
ekor kelinci New Zealand White jantan. Macam perlakuan yang diberikan
adalah sebagai berikut :
P0 = 60 % Hijauan + 40 % Konsentrat + 0 % TKBKF
P1 = 60 % Hijauan + 30 % Konsentrat + 10 % TKBKF
P2 = 60 % Hijauan + 20 % Konsentrat + 20 % TKBKF
P3 = 60 % Hijauan + 10 % Konsentrat + 30 % TKBKF
3. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap
tahap pemeliharaan dan tahap koleksi data. Tahap adaptasi dilakukan dua
minggu meliputi penimbangan bobot badan awal, adaptasi lingkungan dan
pakan. Tahap pemeliharaan dilakukan enam minggu dengan pemberian
pakan dilakukan tiga kali sehari. Pemberian pakan berupa konsentrat
diberikan pada pukul 07.00 WIB dan pakan hijauan yang berupa rumput
lapang diberikan pada pukul 09.00 WIB dan pukul 16.00 WIB. Pakan
yang diberikan untuk kelinci adalah 9 % bobot badan (dalam BK),
sedangkan untuk air minum diberikan secara ad libitum.
Tahap pengumpulan data dilakukan selama satu minggu dengan
menimbang pakan yang diberikan, sisa pakan dan feses yang dihasilkan
selama 24 jam. Feses segar yang dihasilkan tiap ekor tiap harinya
ditimbang, kemudian dikeringkan hingga beratnya konstan, kemudian
dikomposit menjadi satu tiap ulangan, selanjutnya feses kering diambil
10% tiap ulangan, kemudian diblender hingga homogen. Feses yang telah
diblender dianalisis kandungan bahan kering dan bahan organiknya.
4. Peubah Penelitian
Peubah yang diamati meliputi :
a. Konsumsi Bahan Kering ( KBK ) :
Konsumsi BK (gr) = (Pemberian x %BK) – (Sisa pakan x %BK)
b. Konsumsi Bahan Organik ( KBO ) :
Konsumsi BO (gr) = (BK pemberian(g) x% BO) – (BK sisa(g) x %
BO)
c. Kecernaan Bahan Kering ( KCBK ) :
Kecernaan BK (%) = Konsumsi BK – Total BK ( feses ) x 100 % Konsumsi BK
d. Kecernaan Bahan Organik ( KCBO ) :
Kecernaan BO (%) = Konsumsi BO – Total BO ( feses ) x 100 % Konsumsi BO
E. Cara Analisis Data
Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis
menggunakan analisa variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati.
Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada satuan perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = nilai tengah perlakuan ke-i
ti = pengaruh perlakuan ke-i
€ij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
(Astuti, 1980).
Yij = µ + ti + €ij
i555αα22ααααβααααααααα
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsumsi Bahan Kering
Rerata konsumsi bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Rerata konsumsi bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan (g/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4
P0 106,84 132,31 111,26 129,28 119,92 P1 102,25 118,38 114,99 111,22 111,71 P2 116,22 114,52 100,53 83,26 103,63 P3 80,77 89,76 107,29 106,89 96,18 Rerata konsumsi bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan
dari keempat macam perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah
119,92; 111,71; 103,63 dan 96,18 g/ ekor/ hari.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ransum yang menggunakan
tepung kulit buah kakao fermentasi (TKBKF) sampai taraf 30 % memberikan
pengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05) terhadap konsumsi bahan kering kelinci New
Zealand White jantan. Keadaan ini mengindikasikan bahwa penggunaan
TKBKF masih cukup palatebel pada ransum kelinci New Zealand White
jantan, meskipun ada kecenderungan semakin tinggi penggunaan TKBKF
akan semakin menurunkan konsumsi bahan kering. Menurut Kartadisastra
(1997) palatabilitas merupakan sifat performasi bahan-bahan pakan yang
dicerminkan oleh organoleptik seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin,
manis, pahit), tekstur dan temperatur. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa
tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas. Faktor
palatabilitas berhubungan dengan kepuasan ternak terhadap suatu pakan dan
banyaknya pakan yang dikonsumsi ternak. TKBKF mempunyai warna coklat,
tekstur halus, baunya harum menyedak dan rasa yang hambar sedangkan pada
tepung kulit buah kakao (TKBK) memiliki tekstur kasar, bau sedikit harum,
berwarna coklat tua dan rasa yang pahit. Perlakuan fermentasi menghasilkan
24
struktur, warna, bau, dan juga komposisi kimia yang berbeda dari kulit buah
kakao yang belum difermentasi, terutama dalam meningkatkan kadar protein
dan menurunkan kadar serat kasar. Tepung kulit buah kakao fermentasi telah
digiling sehingga ukuran partikelnya menjadi lebih kecil dan hampir mirip
dengan konsentrat. Menurut Arora (1989) bahwa ukuran partikel yang kecil
menaikkan konsumsi pakan daripada ukuran partikel yang lebih besar. Oleh
karena pemberian TKBKF dicampur dengan konsentrat sehingga tidak
mempengaruhi konsumsi pakan.
Banyaknya jumlah pakan yang dikonsumsi oleh seekor ternak
merupakan salah satu faktor penting yang secara langsung mempengaruhi
produktifitas ternak. Konsumsi pakan dipengaruhi terutama oleh kualitas
pakan serta faktor kebutuhan energi ternak yang bersangkutan. Makin baik
kualitas pakannya, makin tinggi konsumsi seekor ternak. Ternak akan berhenti
makan ketika kapasitas fisik mereka telah tercapai atau kebutuhan energi telah
tercukupi (Parakkasi, 1999).
Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar
pakan. Kandungan serat kasar antara TKBKF dengan konsentrat yaitu 12,45
% dan 12,10 %, sehingga kandungan serat kasar untuk masing-masing ransum
perlakuan yaitu 18,15; 18,19; 18,22 dan 18,26 %. Peningkatan serat kasar
masing-masing ransum perlakuan masih menunjukkan konsumsi bahan kering
yang relatif sama meskipun cenderung menurun. Menurut Tillman et al.,
(1991) pakan yang berkualitas rendah dan banyak mengandung serat kasar
mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lambat sehingga ruang dalam
saluran pencernaan cepat penuh.
Disamping kandungan serat kasar pakan, konsumsi bahan kering juga
dipengaruhi oleh kandungan energi pakan. Kandungan energi antara TKBKF
dengan konsentrat yaitu 12,02 MJ/kg dan 12,14 MJ/kg, sehingga kandungan
energi pada masing-masing ransum perlakuan yaitu 11,45; 11,44; 11,43 dan
11,42 MJ/kg. Kandungan energi dalam pakan menentukan banyak sedikitnya
konsumsi pakan pada ternak apabila ternak sudah terpenuhi kebutuhan
energinya maka ternak akan berhenti makan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Parakkasi (1999) Ternak akan berhenti makan ketika kapasitas fisik
lambungnya telah tercapai atau kebutuhan energi telah tercukupi. Menurut
Tillman et al., (1991) kandungan nutrien yang sangat berpengaruh terhadap
konsumsi pakan adalah kandungan energi dalam pakan. Didukung pula oleh
Kamal (1994) bahwa tinggi rendahnya kandungan energi dalam ransum
berpengaruh terhadap banyak sedikitnya konsumsi pakan.
B. Konsumsi Bahan Organik
Rerata konsumsi bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan
disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Rerata konsumsi bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan (g/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4
P0 91.46 113.26 95.24 110.67 102.66 P1 88.27 102.19 99.27 96.01 96.43 P2 101.08 99.58 87.46 72.41 90.13 P3 70.68 78.54 93.94 93.59 84.18 Rerata konsumsi bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan
dari keempat macam perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah
102,66; 96,43; 90,13dan 84,18 g/ ekor/ hari.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ransum yang menggunakan
TKBKF sampai taraf 30% memberikan pengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05)
terhadap konsumsi bahan organik kelinci New Zealand White jantan. Keadaan
ini mengindikasikan bahwa besarnya bahan organik berbanding lurus dengan
besarnya bahan kering yang dikonsumsi, karena bahan organik mengandung
nutrien yang berpengaruh terhadap palatabilitas. Zat-zat nutrien yang
terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan
kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1994) bahwa suatu faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah nutrien yang terkandung dalam
bahan pakan. Menurut pendapat Kamal (1994) bahwa konsumsi bahan kering
memiliki korelasi positif terhadap konsumsi bahan organiknya.
Tillman et al., (1991) menambahkan bahwa bahan organik merupakan bahan
yang hilang pada saat pembakaran, dimana bahan organik terdiri dari protein
kasar, serat kasar, ekstrak eter dan BETN. Sehingga hal ini mengakibatkan
jumlah konsumsi bahan kering akan mempengaruhi jumlah konsumsi bahan
organik.
Kandungan bahan organik antara TKBKF dengan konsentrat yaitu
94,57% dan 86,78%, sehingga kandungan bahan organik untuk masing-
masing ransum perlakuan yaitu 85,63; 86,41; 87,19 dan 87,97%. Peningkatan
bahan organik pada masing-masing ransum perlakuan disebabkan oleh
keberhasilan pada saat fermentasi TKBK sehingga kandungan bahan
organiknya meningkat dari 86,24% menjadi 94,57%. Hal ini menunjukkan
bahwa fermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai gizi
TKBK sebagai bahan pakan ternak. Menurut pendapat Winarno et al., (1980)
bahwa bahan-bahan yang mengalami fermentasi mempunyai nilai gizi yang
lebih tinggi dari bahan asalnya.
C. Kecernaan Bahan Kering
Rerata kecernaan bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan
disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Rerata kecernaan bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan (%)
Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4
P0 69,30 75,89 71,03 75,04 72,82 P1 69,66 74,11 73,20 72,03 72,25 P2 75,35 74,53 69,94 63,60 70,85 P3 63,71 67,97 73,10 73,31 69,52
Rerata kecernaan bahan kering pada kelinci New Zealand White jantan
dari keempat macam perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 72,82;
72,25; 70,85 dan 69,52%.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ransum yang menggunakan
TKBKF sampai taraf 30 % memberikan pengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05)
terhadap kecernaan bahan kering kelinci New Zealand White jantan. Tingkat
kecernaan bahan kering dapat dipengaruhi oleh konsumsi ransum perlakuan
dan komposisi kimia ransum perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Soeparno (1992) bahwa tingkat konsumsi pakan berpengaruh terhadap daya
cerna pakan. Faktor yang berpengaruh terhadap daya cerna diantaranya bentuk
fisik pakan, komposisi ransum, suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan
dan pengaruh terhadap perbandingan nutrien lainnya (Anggorodi, 1990).
Ditambahkan oleh Tillman et al., (1991) bahwa daya cerna suatu pakan
berhubungan erat dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai
pengaruh terhadap daya cerna.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa kandungan protein kasar
TKBK dengan TKBKF mengalami peningkatan sebesar 8,68% yaitu dari
8,53% menjadi 17,21%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Guntoro et
al., (2006) bahwa peningkatan kandungan protein kasar dari 8,11% pada kulit
buah kakao (sebelum difermentasi) menjadi 16,16% (sesudah difermentasi).
Peningkatan kandungan protein kasar pada TKBK diduga karena Aspergillus
niger dapat tumbuh dengan memanfaatkan urea dan campuran mineral lainnya
sehingga dapat meningkatkan kadar protein kasar (Kompiang et al., 1994 cit
Elizabeth, 2005). Ditambahkan menurut Supriyati et al., (1995) bahwa kapang
Aspergillus niger mempunyai enzim urease yang dapat mengoksidasi urea
menjadi amonium dan CO2, kemudian amonium dapat digunakan oleh kapang
untuk pembentukan asam amino yang dapat menyokong pertumbuhan dan
produksi konidia yang baik. Selain itu kapang dapat mensintesis protein
dengan mengambil sumber karbon dari karbohidrat, sumber nitrogen dari
bahan organik atau anorganik dan mineral dari substratnya (Anonim, 2009).
Kecernaan bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar pakan. Kandungan serat kasar masing-masing ransum perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut yaitu 18,15; 18,19; 18,22 dan 18,26 %. Peningkatan serat kasar masing-masing ransum perlakuan masih menunjukkan kecernaan bahan kering yang relatif sama meskipun cenderung menurun. Anggorodi (1990) menambahkan bahwa semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan pakan, semakin tebal dan semakin tahan dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna bahan pakan tersebut. Hal ini berarti
serat kasar dapat menentukan besarnya daya cerna suatu pakan. Pendugaan didasarkan pada keberhasilan fermentasi dalam menurunkan serat kasar TKBK sebesar 5,16% yaitu dari 17,61% menjadi 12,45%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Guntoro et al., (2006) penurunan kandungan serat kasar (PK) dari 16,42% pada kulit kakao (sebelum difermentasi) menjadi 10,15% (sesudah difermentasi). Penurunan kandungan serat kasar pada TKBK dikarenakan perkembangan kapang Aspergillus niger dalam TKBK selama fermentasi. Pada saat fermentasi kapang Aspergillus niger mampu merombak karbohidrat struktural (selulosa dan hemiselulosa) dari komponen yang komplek menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Selain itu kapang Aspergillus niger menghasilkan enzim lignase yang dapat memecah ikatan lignoselulosa (Lignin yang berikatan dengan komponen karbohidrat struktural yaitu selulosa dan hemiselulosa) yang dapat membatasi aktivitas enzim selulose untuk mencerna serat kasar. Menurut pendapat Arora (1989) bahwa mikrobia dapat merombak ikatan lignin dengan serat kasar (selulosa dan hemiselulosa). Enzim lignase dapat merombak ikatan lignoselulosa sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat terlepas dari ikatan lignin. Enzim selulase berfungsi memecah selulosa, serta enzim xilanase berfungsi memecah xilan (hemiselulosa). Serat yang dipecah akan menjadi karbohidrat sederhana sehingga lebih mudah dicerna oleh ternak (Agrotek, 2004).
D. Kecernaan Bahan Organik
Rerata kecernaan bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan
disajikan dalam tabel 7.
Tabel 7. Rerata kecernaan bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan (%)
Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4
P0 70,03 75,98 71,28 75,18 73,12 P1 70,12 73,79 74,02 72,27 72,55 P2 75,83 74,98 70,31 65,41 71,63 P3 64,65 68,97 73,70 73,56 70,22
Rerata kecernaan bahan organik pada kelinci New Zealand White jantan
dari keempat macam perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 73,12;
72,55; 71,63; dan 70,22%.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa ransum yang menggunakan
TKBKF sampai taraf 30 % memberikan pengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05)
terhadap kecernaan bahan organik kelinci New Zealand White jantan. Keadaan
ini mengindikasikan bahwa kecernaan bahan organik berhubungan erat
dengan kecernaan bahan kering dan konsumsinya. Menurut Tillman et. al
(1991), bahwa adanya hubungan yang dekat antara kecernaan pakan dan
konsumsinya. Hal ini disebabkan karena konsumsi bahan kering dapat
mempengaruhi kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik dimana
kecernaan bahan organik menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan dan
menunjukkan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh seekor ternak. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tillman et al., (1998) bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi dan
komposisi kimia pakan. Kamal (1994) menambahkan bahwa bahan kering
terdiri dari lemak, protein kasar, serat kasar, BETN dan abu. Bahan organik
merupakan bagian dari bahan kering.
Kandungan nutrien dari TKBK sebelum dan sesudah difermentasi
terjadi penurunan kandungan energi dari 13,35 MJ/kg menjadi 12,02 MJ/kg,
peningkatan protein kasar dari 8,53% menjadi 17,21%, penurunan serat kasar
dari 17,61% menjadi 12,45% dan penurunan lemak kasar 2,65 % menjadi
1,90 %. Winarno dan Fardiaz (1980) menjelaskan bahwa bahan-bahan yang
mengalami fermentasi mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan
asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan mikrobia bersifat katabolik atau
memecah komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang sederhana sehingga
lebih mudah dicerna, tetapi mikroba juga dapat mensintesis beberapa vitamin
yang kompleks misalnya riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A
Kecernaan bahan organik dipengaruhi oleh serat kasar yang dikandung
dalam ransum tiap perlakuan. Adanya kandungan serat kasar dari ransum
perlakuan yang hampir sama diduga menyebabkan laju pakan dalam saluran
pencernaan juga sama sehingga memberikan kesempatan yang sama.
Mursalam et al., (2001) menjelaskan bahwa kecernaan bahan organik juga
dipengaruhi oleh serat kasar, keberadaan serat kasar dalam ransum akan
menyebabkan ransum tidak terlalu cepat melewati saluran pencernaan,
sehingga cukup waktu untuk mencerna zat-zat secara menyeluruh. Sesuai
pendapat Anggorodi (1990) bahwa perjalanan bahan pakan yang lebih cepat
ada hubungannya dengan daya cerna yang rendah dari bahan pakan yang
dimakan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tepung kulit
buah kakao fermentasi (TKBKF) dapat digunakan sebagai komponen
konsentrat sampai taraf 30% dari total konsentrat, meskipun tidak
meningkatkan konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan
bahan kering dan kecernaan bahan organik pada kelinci New Zealand White
jantan.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan maka disarankan bahwa tepung kulit
buah kakao fermentasi (TKBKF) dapat digunakan sebagai pakan kelinci New
Zealand White jantan hingga taraf 30% dari total ransum.
DAFTAR PUSTAKA
Agrotek, 2004. Pakan Ternak Bergizi Tinggi Dari Limbah Sawit. Artikel. http://www.indomedia.com. Diakses pada tanggal 15 Mei 2009.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta Anonimus. 2006. Pengembangan Tanaman Kakao di Provinsi Kalimantan
Selatan. Artikel. http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id/FileUpload/files/publikasi/. Diakses pada tanggal 15 Mei 2009.
__________. 2008 . Aspergillus pada Makanan. Artikel. www.aspergillus media komunikasi permi cabang malang.htm. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2009.
__________. 2008. Pakan Kelinci. Artikel. www. Tentang kelinci.wordpress.com/tag/pakan-kelinci/. Diakses tanggal 7 Oktober 2009
__________. 2009. Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Artikel. www.id.wordpress.com/tag/teknologi - pemanfaatan - limbah – untuk - pakan/. diakses pada tanggal 8 Oktober 2009.
Arora, S. P. 1989. Perencanaan Mikrobia Pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh Retno Murwani. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta
Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaan. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Direktorat Budidaya Tanaman Rempah. 2008. Limbah Kakao, Pakan Ternak Bergizi Tinggi. Artikel. http://pakkatnews.wordpress.com/2008/07/05/limbah-kakao-pakan-ternak-bergizi-tinggi/#more-335. Diakses pada tanggal 19 Januari 2010.
De Blas, C. dan J. Wiseman. 1998. The Nutrition of The Rabbit. CABI Publishing. New York.
Dirjen Peternakan. 1991. Pedoman Standard Bibit Ternak di Indonesia. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Jakarta
Ensminger, M.E., J.E. Oldfield dan W.Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd Ed. The Ensminger Publishing Co., Clovis
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU IPB dengan LSI IPR, Bogor.
Frazier, W.C dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. McGraw-Hill Publishing Ltd. New Delhi
Guntoro, S, 2006. Petunjuk Teknis Pengolahan Limbah Perkebunan Untuk Pakan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Denpasar.
Guntoro, S., Sriyanto, N. Suyasa, dan I.M. Rai Yasa, 2006. Pengaruh Pemberian Limbah Kakao Olahan Terhadap Pertumbuhan Sapi Bali. Jurnal Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali
Hartadi, H., Kustantinah, Zuprizal, E. Indarto, dan N.D. Dono. 2008. Nutrisi dan Pakan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman., 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada Unervisity Press. Yogyakarta.
Hustamin, R. 2006. Panduan Pemeliharaan Kelinci Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan Unoversitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Kartadisastra, H. R. 1994. Budidaya Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.
_______________. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta
_______________. 2001. Beternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta. Mujnisa, A., 2007. Kecernaan Bahan Kering In Vitro, Proporsi Molar Asam
Lemak Terbang dan Produksi Gas Pada Kulit Kakao, Biji Kapuk, Kulit Markisa dan Biji Markisa. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Mursalam, F., M.A,Amril dan Syahriani 2001. Daya Cerna Serat Kasar dan Bahan Organik Subtitusi Rumput Gajah dengan Kulit Buah Markisa Dalam Ransum Kambing Peranakan Ettawa Fase Pertumbuhan. Buletin Nutrisi dan Makanan ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. 2 (2) : 75-83.
Murtidjo, B. A., 2003. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta. NRC. 1981. Nutritional Energetics Domestic Animals and Glossary of Energy
Terms. National Academy Press. Washington, D.C. Parakkasi, A., 1999. Imu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Indonesia. Jakarta. Reksohadiprojo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Penerbit BPFE. Yogyakarta Rosningsih,S., 2000. Pengaruh Lama Fermentasi Dengan EM4 Terhadap
Kandungan Nutrien Ekskreta Layer. Buletin Pertanian dan Peternakan. Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.1 (2):62-69
Sarwono, B. 1995. Berternak Kelinci Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. _________. 2008. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta.
33
S, Retno. 1992. Perubahan Kimia Selama Proses Fermentasi Ubi Kayu Dengan Penambahan Aspergillus niger dan N Anorganik. Akademi Kimia Analisis Bogor. Bogor
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM Press. Yogyakarta
Supriyati, J. Darma, T. Purwadaria, T. Haryati dan L.P.Kompiang. 1995. Perubahan Kimia Selama Fermentasi Ubi Kayu dengan Penambahan Aspergillus niger dan N Anorganik. Jurnal Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta
________________________________________. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
W, Elizabeth. 2005. Teknologi Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Pakan untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Ruminansia di Indonesia. Jurnal Wartazoa vol. l5 no. 4. Balai Penelitian Ternak. Bogor
Whendarto, I. Dan I.M. Madyana. 1983. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka Offset. Semarang.
Winarno, F. G. , S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia. Jakarta.
Wodzicka, M., Tomaszewska., I.M Mashka, A. Djajanegara, S. Gardiner dan T.P. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. UNS Press. Surakarta.