KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG LIMBAH BIJI KAKAO YANG DIFERMENTASI MENGGUNAKAN BAKTERI SELULOLITIK DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh: RAFIDAH I111 12 310 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG LIMBAH BIJI KAKAO YANG
DIFERMENTASI MENGGUNAKAN BAKTERI SELULOLITIK
DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh:
RAFIDAH
I111 12 310
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KANDUNGAN NUTRISI TEPUNG LIMBAH BIJI KAKAO YANG
DIFERMENTASI MENGGUNAKAN BAKTERI SELULOLITIK
DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh:
RAFIDAH
I111 12 310
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
v
ABSTRAK
Rafidah (I111 12 310). Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Biji Kakao yang
Difermentasi Menggunakan Bakteri Selulolitik dengan Metode Pengeringan yang
Berbeda. Dibawah bimbingan Andi Mujnisa sebagai Pembimbing Utama dan Sri
Purwanti sebagai Pembimbing Anggota.
Pengeringan merupakan proses pengeluaran kadar air sehingga aman untuk
penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode pengeringan yang
optimal terhadap kandungan nutrisi tepung limbah biji kakao yang difermentasi
menggunakan bakteri selulolitik. Bahan difermentasi selama 8 hari kemudian dikeringkan
dengan metode pengeringan berbeda. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) 4 perlakuan 5 ulangan; P0 (tepung limbah biji kakao 50% bekatul
25% onggok 20% arang sekam 5%) tanpa pengeringan, P1 (tepung limbah biji kakao
50% bekatul 25% onggok 20% arang sekam 5%) kering dianginanginkan, P2
(tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20% arang sekam 5%) kering
matahari, P3 (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20% arang sekam
5%) kering oven. Data dianalisis dengan ANOVA, dilanjutkan uji Duncan taraf 5%. Hasil
penelitian kadar air (%) P0: 46,82±1,84, P1: 15,98±0,73, P2: 6,78±0,34, P3: 32,18±1,22;
kadar abu (%) P0: 13,59±1,61, P1: 12,65±0,24, P2: 12,69±0,65, P3: 9,78±2,59; lemak kasar
(%) P0: 3,95±0,85, P1: 3,84±0,99, P2: 6,93±1,34, P3: 4,14±0,51; serat kasar (%) P0:
17,82±2,02, P1: 21,53±0,72, P2: 22,99±0,46, P3: 23,54±0,81 dan protein kasar (%) P0:
10,94±2,63, P1: 12,64±0,11, P2: 11,70±0,09, P3: 12,80±0,57. Tepung limbah biji kakao
yang difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar air, kadar abu, lemak kasar dan
serat kasar, tetapi tidak berbeda nyata terhadap protein kasar. Kesimpulannya bahwa
metode pengeringan dengan dianginanginkan mampu memperbaiki kandungan nutrisi
tepung limbah biji kakao fermentasi.
Kata Kunci: Bakteri selulolitik, fermentasi, limbah biji kakao, nutrisi, pengeringan.
vi
ABSTRACT
Rafidah (I111 12 310). Nutrient Flour Cocoa Beans Waste Fermented Using Cellulolytic
Bacteria with Different Drying Method. Under the supervision of Andi Mujnisa as Main
Supervisor and Sri Purwanti as CoSupervisor.
Drying is a process of spending levels that are safe for the storage of water. This
study aims to determine the optimal method of drying the waste starch nutrient content of
cocoa beans were fermented using cellulolytic bacteria. Material is fermented for 8 days
and then dried by different drying methods. The design used was Completely
Randomized Design (CRD) 4 treatments 5 replications; P0 (50% cocoa beans waste
25% bran 20% onggok 5% husk charcoal) without drying, P1 (50% cocoa beans
waste 25% bran 20% onggok 5% husk charcoal) wind drying, P2 (50% cocoa beans
waste 25% bran 20% onggok 5% husk charcoal) sun drying, P3 (50% cocoa beans
waste 25% bran 20% onggok 5% husk charcoal) oven drying. Data were analyzed
with ANOVA, continued Duncan test extent 5%. The results of this study of water
content (%) P0: 46.82±1.84, P1: 15.98±0.73, P2: 6.78±0.34, P3: 32.18±1.22; ash content
(%) P0: 13.59±1.61, P1: 12.65±0.24, P2: 12.69±0.65, P3: 9.78±2.59; extract eter (%) P0:
3.95±0.85, P1: 3.84±0.99, P2: 6.93±1.34, P3: 4.14±0.51; crude fiber (%) P0: 17.82±2.02,
P1: 21.53±0.72, P2: 22.99±0.46, P3: 23.54±0.81 and crude protein (%) P0: 10.94±2.63, P1:
12.64±0.11, P2: 11.70±0.09, P3: 12.80±0.57. Flour cocoa beans waste fermented using
cellulolytic bacteria with different drying methods show significant differences on water
content, ash content, extract eter and crude fiber, but not significantly different with crude
protein. Conclusion this study was the method of drying wind able to improve the
nutritional content of flour cocoa beans waste fermented.
Keywords: Cellulolytic bacteria, fermentation, waste cocoa beans, nutrition, drying.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan taufikNya
yang senantiasa tercurah sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Kandungan
nutrisi tepung limbah biji kakao yang difermentasi menggunakan bakteri selulolitik
dengan metode pengeringan yang berbeda”.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena adanya kerjasama, bantuan dan motivasi
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
banyak kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Ucapan
terima kasih penulis tujukan kepada:
1. Ayahanda H. Alimuddin dan Ibunda Hj. Nurmiati serta Saudaraku Rahmatang,
Ratnawati, Ramlah, Rasidah dan Rahmansyah, juga seluruh keluarga besar H. Kanne
dan Hj. Mina yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, nasehat, dukungan dan
semangat kepada penulis.
2. Ibu Dr. Andi Mujnisa, S.Pt., M.P sebagai pembimbing utama dan Ibu Dr. Sri
Purwanti, S.Pt., M.Si. sebagai pembimbing anggota yang telah meluangkan
waktunya untuk mendidik, membimbing dan memberikan nasihat serta motivasi
dalam penyusunan Skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Asmuddin Natsir, M.Sc, bapak Dr. Ir. Syamsuddin Nompo, MP,
bapak Dr. Ir. Budiman Nohong, M.P dan bapak Ir. Muhammad Zain Mide, M.S
yang telah memberikan banyak saran kepada penulis
4. Ibu Dr. Fatma Maruddin, S.Pt., MP. selaku penasehat akademik yang senantiasa
memberikan arahan dan motivasi.
viii
5. Bapak Dekan Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc., Ibu WD I dan Ibu WD II serta
Bapak WD III. Ibu Bapak Dosen tanpa terkecuali dan Staf Fakultas Peternakan
terima kasih atas bantuan yang diberikan selama ini.
6. Keluarga besar bapak Ismail dan ibu Nurlina yang banyak memberikan bantuan
selama penelitian.
7. Bapak Abdul Alim Yamin, S.Pt., M.Si dan bapak Nallo yang telah membimbing dan
memberi arahan selama penelitian.
8. Partner penelitian Bungatang terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya
selama penelitian.
9. Bapak Abigurdi sekeluarga yang telah menjadi keluarga baru penulis selama KKN
dan Teman-teman KKN Tematik Sebatik UNHAS angkatan 90 khususnya
Kecamatan Sebatik Induk, Kabupaten Nunukan.
10. Terkhusus Dewi, Dilah, Muharni, Rita dan Hasrah yang telah bekerja keras
membantu pelaksanaan penelitian
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah membantu baik material maupun spiritual. Penulis menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu diharapkan saran untuk
memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama
bagi saya sendiri. Aamiin.
Makassar, Agustus 2016
Rafidah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
PERNYATAAN KEASLIAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kakao (Theobroma cacao L.) 5
Limbah Biji Kakao 8
Bekatul 12
Onggok 14
Arang Sekam 16
Molases 18
Bakteri Selulolitik 20
Gambaran Umum Fermentasi 26
Gambaran Umum Pengeringan 28
Hipotesis 33
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat 34
Materi Penelitian 34
Metode Penelitian 34
Rancangan Penelitian 34
Prosedur Penelitian 35
Parameter yang Diukur 37
Analisis Statistik 39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air 40
Kadar Abu 42
x
Lemak Kasar 44
Serat Kasar 45
Protein Kasar 46
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 48
Saran 48
DAFTAR PUSTAKA 49
LAMPIRAN 60
RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Biji Kakao 9
2. Kandungan Theobromin dalam Limbah Kakao 11
3. Komposisi Kimia Onggok 16
4. Kandungan Nutrisi Molases 19
5. Kandungan Nutrisi Molases 19
6. Ratarata Kadar Air, Kadar Abu, Lemak Kasar, Serat Kasar dan Protein Kasar
Tepung Limbah Biji Kakao yang Difermentasi Menggunakan Bakteri Selulolitik
dengan Metode Pengeringan yang Berbeda 40
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Tanaman dan Biji Kakao 5
2. Struktur Buah dan Biji Kakao 6
3. Limbah Biji Kakao 8
4. Biji Gepeng, Pecahan Kulit dan Pecahan Biji, Biji Saling Dempet dan Plasenta
Biji 10
5. Letak dan Bentuk Bekatul 13
6. Onggok 15
7. Arang Sekam 16
8. Molases 18
9. BioMC4 22
10. Pemecahan Selulosa oleh Enzim Selulase 25
11. Diagram Alir Pembuatan Tepung Limbah Biji Kakao 60
12. Diagram Alir Proses Fermentasi dan Pengeringan pada Tepung Limbah Biji
Kakao 61
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Limbah Biji Kakao 60
2. Diagram Alir Proses Fermentasi dan Pengeringan pada Tepung Limbah Biji
Kakao 61
3. Hasil Analisis Ragam Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Biji Kakao yang
Difermentasi Menggunakan Bakteri Selulolitik dengan Metode Pengeringan yang
Berbeda 62
4. Dokumentasi Penelitian 66
1
PENDAHULUAN
Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Komoditas
peternakan terbesar di Indonesia saat ini berasal dari sektor perunggasan, hampir
70% industri peternakan didominasi industri perunggasan. Salah satunya adalah
peternakan ayam ras petelur. Peningkatan populasi ayam ras petelur pada tahun
20112012 sebanyak 130.539.437 ekor (Badan Pusat Statistik, 2012). Demikian
pula populasi ayam ras petelur di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan setiap
tahun dari 8.303.129 ekor pada tahun 2013 meningkat menjadi 10.481.875 ekor
pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2012). Populasi ayam ras
petelur yang terus meningkat dapat dijadikan suatu usaha berskala industri yang
ditunjang dengan permintaan dan kebutuhan akan telur yang terus meningkat.
Keberhasilan usaha peternakan ayam ras petelur dipengaruhi oleh faktor pakan.
Pakan merupakan faktor yang paling utama dalam peternakan unggas.
Biaya yang dikeluarkan untuk pakan bisa mencapai 71,79% dari total biaya
produksi (Budirahardjo, 2010). Hampir seluruh bahan pakan terutama pakan
unggas masih diimpor dari luar negeri seperti jagung, bungkil kedelai, tepung
ikan, tepung tulang dan lainnya. Data impor bahan pakan tahun 2007 Indonesia
mengimpor 480.000 ton jagung, 1.880.000 ton bungkil kedelai 10.000 ton tepung
ikan dan 280.000 ton meat and bone meal (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).
Penggunaan bahan pakan impor terus menerus dapat menyebabkan kerugian pada
peternak. Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan biaya pakan yaitu dengan
memanfaatkan bahan pakan lokal, salah satunya limbah biji kakao.
2
Limbah biji kakao merupakan sisa/kotoran biji kakao setelah proses sortasi
biji kering. Kotoran (waste) biji kakao adalah bendabenda berupa plasenta, biji
dempet (cluster), pecahan biji, pecahan kulit dan biji pipih/gepeng yang berasal
dari tanaman kakao (Peraturan Menteri Pertanian No.67, 2014). Produksi kakao di
Sulawesi Selatan cukup meningkat pada Kabupaten Bone sebesar 23.803 ton pada
tahun 2011 meningkat menjadi 25.567 ton pada tahun 2012. Sedangkan produksi
kakao di Kabupaten Sidrap sebesar 6.090 ton pada tahun 2011 meningkat menjadi
10.480 ton pada tahun 2012 (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2013).
Produksi kakao yang meningkat setiap tahunnya berpotensi menghasilkan limbah
yang terus meningkat pula, apabila tidak diolah dan dimanfaatkan secara baik
dapat berpotensi sebagai polutan. Pengolahan yang dapat dilakukan terhadap
limbah biji kakao yaitu dengan teknologi fermentasi.
Fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dengan melibatkan
mikroba, baik yang ditambahkan dari luar ataupun yang sudah ada didalam bahan.
Fermentasi bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi dan mengurangi kandungan
zat antinutrisi. Kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan pakan yang
difermentasi menurun secara nyata, sebaliknya kandungan protein dan energinya
meningkat (Pangestu dkk., 1997). Setelah proses fermentasi, perlu diperhatikan
metode pengeringan yang optimal untuk mempertahankan kandungan nutrisi
tepung limbah biji kakao.
Pengeringan merupakan proses pengeluaran kadar air untuk memperoleh
kadar air yang aman untuk penyimpanan (Winarno dkk., 1980). Beberapa cara
yang dapat dilakukan dalam proses pengeringan yaitu menggunakan sinar
3
matahari secara langsung, menggunakan oven dan dianginanginkan. Pengeringan
dengan matahari langsung merupakan proses pengeringan yang paling mudah
dilakukan, akan tetapi sinar ultra violet dari matahari juga menimbulkan
kerusakan pada kandungan kimia bahan (Pramono, 2006). Pengeringan dengan
oven dianggap lebih menguntungkan karena tidak tergantung cuaca dan kondisi
pengeringan dapat dikontrol (Widodo dan Hendriadi, 2004). Sedangkan metode
kering angin dianggap murah akan tetapi kurang efisien waktu dalam pengeringan
bahan (Pramono, 2006). Namun demikian belum diketahui metode pengeringan
yang optimal terhadap kandungan nutrisi tepung limbah biji kakao fermentasi,
sehingga perlu dikaji lebih lanjut.
Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi bagi masyarakat
khususnya peternak mengenai metode pengeringan yang optimal terhadap
kandungan nutrisi tepung limbah biji kakao fermentasi dan bahan pertimbangan
dalam menggunakan tepung limbah biji kakao fermentasi sebagai pakan ternak
khususnya ternak unggas.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao memiiki tinggi 48 m, buahnya dapat dipanen pada umur
5 tahun dan mencapai produksi buah tertinggi pada umur 12 tahun. Buahnya dapat
terus menerus dipanen sampai tanaman berumur 50 tahun dengan panen besar dua
kali dalam satu tahun (Nasution, 1976). Tanaman dan biji kakao dapat dilihat pada
Gambar 1. Taksonomi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo dan Gembong
(1988) sebagai berikut:
Divisi :Spermatophyta
Subdivisi :Angiospermae
Kelas :Dicotyledoneae
Subkelas :Dialypetalae
Bangsa :Malvales
Suku :Sterculiaceae
Marga :Theobroma
Genus :Theobroma cacao L.
(a) (b)
Gambar 1. (a) Tanaman kakao (Yana, 2014), (b) Biji kakao (Swisscontact, 2013).
5
Buah kakao memiliki kulit yang tebal dan berisi 3040 biji yang
dikelilingi oleh pulp yang berlendir seperti getah. Kakao merupakan salah satu
sumber polifenol termasuk flavonoid yang tinggi, khususnya epicatechin yang
dikenal mempunyai dampak yang baik bagi kesehatan jantung dan pembuluh
darah (Taubert et al., 2007). Bagianbagian buah kakao terdiri atas kulit buah,
pulp, plasenta, dan biji. Kulit buah kakao dengan tekstur yang kasar, tebal dan
keras sedangkan kulit biji kakao merupakan kulit tipis, lunak dan agak berlendir
yang menyelubungi biji kakao (Irawan, 1983). Struktur buah dan biji kakao dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur buah dan biji kakao (Ali, 2013).
Jenis kakao dibagi atas 3 jenis, yaitu kakao criolo (kakao mulia), kakao
forestero (kakao curah/lindak) dan kakao trinitario. Kakao jenis criolo
menghasilkan mutu biji yang memiliki mutu yang baik, buahnya berwarna
merah/hijau, kulitnya tipis berbintikbintik kasar dan lunak, bijinya berbintik
bulat telur dan berukuran besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu
basah. Jenis forestero menghasilkan biji kakao yang mutunya sedang, buahnya
6
berwarna hijau, kulitnya tebal, biji buahnya tipis. Kotiledon berwarna ungu pada
waktu basah. Jenis trinitario bentuknya heterogen, buahnya berwarna hijau merah
dan bentuknya bermacammacam. Biji buahnya juga bermacammacam dengan
kotiledon berwarna ungu muda sampai ungu tua pada waktu basah (Hatta, 1992).
Di Indonesia tanaman kakao yang dikembangkan dari varietas kakao mulia
adalah klon djati runggo sedangakan dari varietas kakao curah adalah klon afrika
barat dan upper amazon hybrid. Dari klon tersebut yang paling banyak
dikembangkan adalah upper amazon hybrid (Effendi, 1982). Jenis kakao curah
sentra produksi utamanya adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah (Goenadi dkk., 2005).
Komposisi kimia biji kakao curah klon afrika barat yaitu 53,50% lemak,
3,65% air dan 1,50% protein (Nasution, 1976). Walaupun kandungan lemak yang
relatif tinggi pada kakao, namun lemaknya tidak mudah tengik karena kakao
mengandung polifenol 6% sebagai antioksidan pencegah ketengikan (Prawoto dan
Sulistyowati, 2001). Komponenkomponen lain dari biji kakao yaitu senyawa
fenolik, antara lain: katekin, epikatekin, proantosianidin, asam fenolat, tanin dan
flavonoid lainnya. Biji kakao mempunyai potensi sebagai bahan antioksidan
alami, mempunyai kemampuan untuk memodulasi sistem ketahanan tubuh, efek
kemopreventif untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan kanker (Othman et
al., 2007), selain itu polifenol kakao bersifat antimikroba terhadap beberapa
bakteri patogen dan bakteri karsinogenik (Osawal et al., 2000). Kakao juga
mempunyai kapasitas antioksidan lebih tinggi dibanding teh dan anggur merah
(Lee et al., 2003).
7
Limbah Biji Kakao
Limbah kakao merupakan bahan makanan non konvensional yang dapat
digunakan sebagai bahan baku industri makanan ternak. Hal ini didukung oleh
potensi perkebunan kakao di Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan,
sehingga produksi limbah yang dihasilkan cukup melimpah (Mustikasari, 1993).
Limbah kakao terdiri dari kulit buah 68,50%, kulit biji kakao 29% dan plasenta
2,50%. Kulit biji kakao mengandung 68,40% bahan kering terdiri atas abu 6,64%,
protein kasar 16,60%, lemak 8,82%, serat kasar 25,10%, βN 42,84% dan TDN
72% (Sutardi, 1991).
Limbah biji kakao merupakan sisa/kotoran biji kakao setelah melalui
proses sortasi biji kering. Kotoran (waste) biji kakao adalah bendabenda berupa
plasenta, biji dempet (cluster), pecahan biji, pecahan kulit dan biji pipih/gepeng
yang berasal dari tanaman kakao (Peraturan Menteri Pertanian No.67, 2014).
Limbah biji kakao sangat berpotensi dijadikan sebagai bahan pakan ternak karena
masih terdapat beberapa kandungan nutrisi (Tabel 1) yang dibutuhkan oleh ternak.
Limbah biji kakao dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Limbah biji kakao (Dokumentasi penelitian).
8
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Biji Kakao
Zat Nutrisi Kandungan (%)
Air 13,44
Abu 11,79
Lemak Kasar 2,98
Serat Kasar 21,18
Protein Kasar 15,38 Sumber: Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
UNDIP (2016).
Menurut Swisscontact (2013) bahwa penentuan sortasi ditujukan untuk
memisahkan biji kakao dari kotoran yang melekat dan mengelompokkan biji
berdasarkan kenampakan fisik dan ukuran biji yang seragam. Tercampurnya biji
kakao dengan bukan biji seperti plasenta, pecahan kulit, pecahan biji dan lain
sebagainya yang akan menurunkan nilai mutu biji kakao, sebagai berikut:
1. Biji gepeng/pipih
Biji gepeng/pipih (Gambar 4.a) mengandung nib/biji kakao sangat kecil dan
menurunkan kadar bahan yang bisa dimakan. Biji gepeng biasanya disebabkan
oleh pemanenan yang terlalu muda, kurangnya asupan air dan nutrisi, sehingga
berkurangnya nilai kakao dipasar.
2. Pecahan biji dan pecahan kulit
Pecahan biji dan pecahan kulit (Gambar 4.b) sering terjadi selama proses
pengepakan dan penyimpanan. Jumlah biji pecah lebih tinggi menyebabkan
tingginya jumlah nib yang terbuang pada proses pembersihan. Biji kakao yang
mengandung pecahan biji tinggi tidak dapat disimpan dalam waktu lama karena
biji yang pecah mudah diserang jamur dan serangga yang dapat menyebabkan
cacat cita rasa. Oleh karena itu harus dipisahkan dari biji kakao.
9
3. Biji saling dempet
Biji saling dempet (Gambar 4.c) sangat mempengaruhi nilai di pabrik
cokelat. Biji saling dempet sebaiknya ikut disortir selama proses pembersihan.
3. Plasenta biji
Plasenta biji (Gambar 4.d) akan mempersulit proses pengolahan selanjutnya.
Oleh karena itu, didalam suatu partai biji kakao seharusnya biji terbebas dari
kehadiran plasenta biji dan bendabenda asing yang bukan termasuk biji seperti
kerikil, ranting dan lain sebagainya. Bentuk biji kakao gepeng, biji saling dempet,
plasenta biji, pecahan biji dan pecahan kulit dapat dilihat pada Gambar 4.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. (a) Biji gepeng, (b) Pecahan kulit dan pecahan biji, (c) Biji saling dempet,
(d) Plasenta biji (Swisscontact, 2013).
10
Kulit biji kakao merupakan sumber vitamin D. Meskipun mempunyai
kandungan nutrisi tetapi kulit biji kakao mempunyai faktor pembatas yaitu suatu
senyawa alkaloid yang disebut theobromin (3,7 dimethyl zanthine) (Gohl, 1981).
Kandungan theobromin dalam limbah kakao dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Theobromin dalam Limbah Kakao
Bagian Buah Kakao Konsentrasi (% BK)
Kulit buah 0,170,20
Kulit biji kakao 1,802,10
Biji kakao 1,902,00
Sumber: Wong dan Osman (1986).
Kandungan theobromin pada kulit biji kakao dan biji kakao menunjukkan
ratarata berat kering yang sama yaitu 1,95%. Namun, pemanfaatan kulit biji
kakao dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak. Theobromin melalui proses
metylase dapat diubah menjadi kafein (Noller, 1965). Fungsi kafein menurut
Lehninger (1978) sebagai penonaktif phospodiestirase yang berfungsi dalam
siklus AMP (Adenosin Monophospate). Siklus AMP berfungsi dalam sistem
regulasi biokimia tubuh ternak antara lain sebagai penonaktif enzim protein kinase
yang pada tahap selanjutnya mengakibatkan perombakan glikogen menjadi
glukosa. Sehingga theobromin berfungsi merangsang glikoneogenesis yaitu
merombak protein menjadi glukosa. Mekanisme ini berarti menyebabkan kurang
efisiensinya penggunaan protein dalam tubuh ternak. Akan tetapi kandungan
theobromin dapat dikurangi dengan cara penggilingan dan pengeringan (Gohl,
1981). Hal yang sama dinyatakan oleh Tarka et al. (1998) bahwa theobromin
merupakan alkaloid tidak berbahaya yang dapat dirusak dengan pemanasan atau
pengeringan.
11
Erlinawati (1986) menyatakan bahwa meningkatnya kadar theobromin
ransum diatas batas toleransi ternak dapat menurunkan efisiensi penggunaan
protein dan sebagai akibatnya terjadi penurunan bobot badan. Dijelaskan lebih
lanjut oleh Hutagalung (1977) bahwa penggunaan kulit biji kakao pada ayam
pedaging mampu meningkatkan pertambahan bobot badan 20 g per hari, akan
tetapi apabila pemberian lebih dari 10% dapat mengurangi pertambahan bobot
badan.
Kulit biji kakao dapat digunakan sebagai subtitusi bahan baku utama
dalam ransum, dengan menggunakan kulit biji kakao sebanyak 10% dalam
ransum ayam akan menghemat dedak halus 13% dan menghemat jagung sebanyak
10%. Pada ransum babi penggunaan 20% kulit biji kakao akan menghemat
penggunaan jagung 20%, sedangkan pada ransum sapi potong dan kerbau
penggunaan 35% kulit biji kakao dapat menghemat penggunaan jagung 25%
(Direktorat Jenderal Peternakan, 1991).
Bekatul
Bekatul diperoleh melalui beberapa tingkatan dalam proses pengolahan
gabah, yang mulamula diperoleh dari beras pecah kulit dengan hasil ikutan
sekam dan dedak kasar (Damardjati dkk., 1998). Di Indonesia proses penyosohan
beras umumnya dilakukan hanya satu tahap saja, dengan demikian hasil samping
dari sosohan yaitu dedak dan bekatul bercampur menjadi satu, sehingga limbah
penggilingan padi yang berupa dedak berarti pula bekatul. Komposisi kimia
bekatul cukup tinggi yaitu 14,90% protein, 12,50% lemak, 2,10% abu dan 3,60%
air (Ardiansyah, 2010).
12
Mineral yang paling banyak terkandung didalam bekatul adalah fosfor.
Selain itu magnesium, kalium, besi dan silikon dengan persentase yang cukup
tinggi serta natrium dan kalsium dengan persentase rendah. Bekatul kaya akan
vitamin B diantaranya adalah vitamin B1, B2, B3, B5 dan B6 serta tokoferol.
Serat dalam bekatul terdiri dari selulosa dan hemiselulosa, termasuk serat yang
tidak larut dalam air. Serat yang tidak larut dapat memperlancar saluran
pencernaan sehingga dapat mencegah konstipasi dan menurunkan kolesterol
dalam darah serta untuk kesehatan jantung (Mazza, 1998). Letak dan bentuk
bekatul dapat dilihat pada Gambar 5.
(a) (b)
Gambar 5 . (a) Letak bekatul (Buchari, 2009), (b) Bentuk bekatul (Salma, 2011).
Bekatul dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, sumber energi,
sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri yang
dapat menghasilkan enzim khususnya bakteri selulolitik (Ardiansyah, 2010).
Pemanfaatan bekatul sebagai media pertumbuhan mikroorganisme didasarkan
pada kandungan komponenkomponen nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme.
13
Bekatul mengandung karbohidrat tinggi, protein, lemak, vitamin dan serat kasar
(Houston, 1972). Bekatul mempunyai sumber karbon dan nitrogen lebih kompleks
dibanding media lain. Selain itu adanya kandungan karbohidrat dan vitamin B.
Vitamin B tertentu yang terdapat dalam medium merupakan faktor penting untuk
pertumbuhan jamur (Dewi dkk., 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
bekatul dapat dimanfaatkan sebagai media untuk pertumbuhan jamur penghasil
enzim, seperti Aspergillus niger, Rhizopus sp. dan Mucor sp. Dengan kata lain,
bekatul dapat digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan enzim. Jenis enzim
yang dihasilkan tergantung pada media dan kondisi lingkungan (Satyawiharja,
1984).
Onggok
Onggok merupakan limbah padat agroindustri pengolahan singkong
menjadi tepung tapioka. Ketersediaan onggok terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya produksi tapioka. Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2009
mencapai 21,70 juta ton dan menghasilkan limbah dari pengolahan tepung tapioka
berupa onggok sebesar 2,80 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2010). Enie (1989)
melaporkan dari setiap ton ubi kayu akan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg
onggok. Dengan demikian, onggok ini merupakan sisa limbah industri tepung
tapioka yang akan membusuk jika tidak termanfaatkan, sehingga mengakibatkan
pencemaran lingkungan hidup. Dengan menjadikan onggok sebagai pakan
alternatif bagi kebutuhan konsumsi unggas, akan memilki dampak baik untuk
mengurangi masalah polutan yang akan disebabkan oleh onggok tersebut.
14
Onggok diperoleh dari produk limbah industri tepung tapioka yang
selama ini kurang memiliki nilai ekonomis karena pemanfaatannya sangat
terbatas. Onggok dapat bertahan lama bila dalam kondisi kering, tetapi bila dalam
keadaan basah akan mudah ditumbuhi jamur dan bakteri pembusuk sehingga akan
mudah rusak. Untuk mencegah hal tersebut perlu diupayakan cara pengawetan
onggok yang sekaligus dapat dipakai untuk meningkatkan nilai ekonomisnya.
Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan memanfaatkan onggok
sebagai substrat atau media fermentasi dalam pembuatan mineral organik karena
proses biofermentasi memerlukan bahan yang kaya akan karbohidrat (Pujaningsih
dan Mangisah, 2003). Bentuk onggok dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Onggok (Dokumentasi penelitian).
Onggok dapat dijadikan sebagai sumber karbon dalam suatu media
fermentasi karena masih banyak mengandung pati 75,19% yang tidak terekstrak,
tetapi kandungan protein kasarnya rendah yaitu 1,40% berdasarkan bahan kering,
sehingga diperlukan tambahan bahan lain sebagai sumber nitrogen yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan kapang (Nuraini dkk., 2008). Komposisi kimia
onggok secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3. Komposisi Kimia Onggok
Komposisi kimia (%) a b c
Air 14,32 16,86 20,00
Protein 0,80 6,42 1,57
Lemak 0,25 0,25 0,26
Abu 8,50
Serat kasar 21,92 8,14 10,00
Pati 60,60 62,97 68,00
Sumber: a. Hendri (1999); b. Tjiptadi (1982); c. Lamiya dan Mareta (2010).
Arang Sekam
Sekam tersusun dari palea dan lemma yang terikat dengan struktur
pengikat. Selsel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam
konsentrasi tinggi. Kandungan silica berada pada lapisan luar (De Datta, 1981),
sehingga permukaannya keras dan sulit menyerap air, sulit mempertahankan
kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya
(Houston, 1972). Oleh karena itu diperlukan proses lebih lanjut yaitu dengan
pengarangan. Pengarangan adalah proses pembakaran dengan oksigen terbatas.
Pengarangan ini dimaksud untuk memudahkan panggunaan untuk tahapan lebih
lanjut (Douglas, 1985). Bentuk arang sekam dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Arang sekam (Eadewi, 2012).
16
Arang sekam merupakan hasil pembakaran dari sekam padi dengan warna
hitam banyak digunakan sebagai media hidroponik secara komersial di Indonesia
Berdasarkan analisis Japanese Society for Examining Fertilizer and Fodders,
komposisi arang sekam paling banyak mengandung SiO2 yaitu 52% dan unsur C
sebanyak 31%. Komposisi lainnya adalah Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan Cu
dalam jumlah yang sangat kecil, juga mengandung bahanbahan organik
(Houston, 1972). Arang sekam mengandung SiO2 52%, C 31%, K 0,30%, N
0,18%, F 0,80%, dan Ca 0,14%. Selain itu juga mengandung unsur lain seperti
Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan Cu dalam jumlah yang kecil serta beberapa
jenis bahan organik. Kandungan silikat yang tinggi dapat menguntungkan bagi
tanaman karena menjadi lebih tahan terhadap hama dan penyakit akibat adanya
pengerasan jaringan. Arang bakar juga digunakan untuk menambah kadar kalium
dalam tanah (Septiani, 2012).
Arang sekam juga mempunyai beberapa kegunaan lain, diantaranya
mempertahankan kelembaban apabila arang ditambahkan ke dalam tanah akan
dapat mengikat air dan melepaskannya jika tanah menjadi kering, mendorong
pertumbuhan (proliferation) mikroorganisme yang berguna bagi tanah dan
tanaman, penggembur tanah untuk menghindari pengerasan tanah karena sifatnya
yang ringan, pengatur pH dimana arang dapat mengatur pH dalam situasi tertentu,
dan menyuburkan tanah kandungan mineral arang adalah hara bagi tanaman
(Proctor dan Palaniappan, 1989). Karakteristik dari arang sekam adalah ringan
(berat Jenis 0,02 kg/l), kasar sehingga sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan
air tinggi, berwarna kehitaman sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari
17
dengan efektif (Douglas, 1985). Beberapa penelitian diketahui kemampuan arang
sekam sebagai absorban yang bisa menekan jumlah mikroba patogen dan logam
berbahaya dalam pembuatan kompos sehingga kompos yang dihasilkan bebas dari
penyakit dan zat kimia berbahaya (Kuntara, 2014).
Molases
Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula.
Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan
karbohidrat, protein dan mineralnya cukup tinggi sehingga bisa juga dijadikan
pakan ternak walaupun sifatnya hanya sebagai pakan pendukung. Disamping
harganya murah, kelebihan lain molases terletak pada aroma dan rasanya
(Widayati dan Widalestari, 1996). Bentuk dari molases dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Molases (Doddy, 2011).
Molases dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan molases
untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (4860%) sebagai gula, kadar
mineral cukup dan rasanya disukai ternak artinya molases yang mengandung
cukup gula dan mineral apabila dicampur kedalam ransum dapat meningkatkan
18
palatabilitas dan rasanya lebih disukai oleh ternak. Molases juga mengandung
vitamin B kompleks dan unsurunsur mikro yang penting bagi ternak seperti
kobalt, boron, yodium, tembaga, mangan dan seng (Rangkuti dkk., 1985).
Kandungan nutrisi molasses dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrisi Molases
Zat Nutrisi Kandungan (%)
Bahan Kering 67,05
Protein Kasar 4,00
Lemak Kasar 0,08
Serat Kasar 0,38
TDN 81,00
P 0,02
Ca 1,05
Sumber: Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Peternakan, FPUSU (2000).
Keistimewaan molases dibandingkan limbah industri yang lain yaitu
merupakan sumber karbon organik yang paling murah dan sumber energi bagi
pertumbuhan mikroba, mengandung karbohidrat 5060%, terutama golongan
disakarida yaitu sukrosa yang akan dihidrolisis oleh mikroba menjadi glukosa dan
fruktosa (Andriani, 1993). Proses fermentasi yang menggunakan bakteri
selulolitik perlu ditambahkan molases. Kandungan gizi molases yaitu karbohidrat
84%, protein 5,09%, kalsium 1,05% dan fosfor 0,01% (Santoso, 1999). Molases
juga mengandung vitamin B kompleks, yaitu thiamin 0,08%, riboflavin dan niacin
28,00%. Selain itu, di dalam molases terdapat unsurunsur mikro yang penting
dengan kadar 15% (Sunna et al., 2000).
19
Bakteri Selulolitik
Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang dapat menghidrolisis kompleks
selulosa menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa.
Glukosa tersebut digunakan sebagai sumber nutrisi dan karbon bagi pertumbuhan
organisme. Bakteri selulolitik mensintesis enzim yang dapat menghidrolisis
selulosa. Enzim tersebut adalah enzim selulase. Mikroba mensintesis enzim
selulase selama tumbuh pada media selulosa (Ibrahim dan AlDewany, 2007).
Bakteri selulolitik minimal memproduksi 2 unit enzim selulase yaitu endo1,4
βglukanase yang berperan menghidrolisis serat selulosa menjadi rantai pendek,
kemudian oleh enzim ekso1,4βglukanase yang akan memecah rantai pendek
tersebut untuk menghasilkan senyawa sederhana terlarut (Charrier dan Brune,
2003).
Enzim selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja
bersama untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel
yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi menjadi
enzimenzim yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz et al., 2008).
Selulase dihasilkan karena adanya respon terhadap selulosa pada lingkungannya.
Proses ini berlangsung apabila sel bakteri berkontak langsung pada permukaan
selulosa (Busto et al., 1995). Selulase terdiri dari tiga komponen enzim, yaitu
endoβ1,4glukanase, eksoβ1,4glukanase dan βglukosidase. Ketiga
komponen enzim ini bekerjasama dalam menghidrolisis selulosa menjadi senyawa
yang lebih sederhana, yaitu glukosa (Schlegel dan Schmidt, 1994).
20
Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan β1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan
selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi
secara kimia maupun mekanis. Di alam biasanya selulosa berasosiasi dengan
polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama
dinding sel tumbuhan (Holtzapple et al., 2003). Enzim selulase atau enzim yang
dikenal dengan nama sistematik β1,4 glukan4glukano hidrolase adalah enzim
yang dapat menghidrolisis selulosa dengan memutus ikatan glikosidik β1,4
dalam selulosa, selodektrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya menjadi gula
sederhana atau glukosa. Sistem pemecahan selulosa menjadi glukosa terdiri atas
tiga jenis enzim selulase yaitu endoβ1,4glukanase, eksoβ1,4glukanase,
dan βglukosidase (Silva et al., 2005).
Bakteri selulolitik sebagian besar berbentuk coccus yang memperlihatkan
tipe struktur dinding sel grampositif dan terdapat beberapa berbentuk bacill yang
memperlihatkan tipe struktur dinding sel gramnegatif (Ogimoto dan Imai, 1981).
Bakteri selulolitik digolongkan menjadi dua berdasarkan akan kebutuhan oksigen,
yaitu kelompok bakteri aerob dan anaerob. Bakteri selulolitik kelompok aerob
meliputi bakteri Pseudomonas, Cellvibrio, Cellulomonas, Bacillus,
Actinommycetes (Streptomyces, Microbispora, Thermomonospora) dan
Acidothermus, sedangkan bakteri selulolitik kelompok anaerob meliputi
Ruminococcus, Clostridium, Caldocellum, Bacteroides dan Acetivibrio (Fogarty
dan Kelly, 1990).
21
Bakteri selulolitik dapat diperoleh dari BioMC4. BioMC4 merupakan
produk komersil mengandung bakteri selulolitik yang mampu meningkatkan nilai
nutrisi sehingga memperbaiki kecernaan terhadap bahan pakan berserat tinggi.
Kandungan bakteri BioMC4 yaitu Bacillus sp., Enterobacter sp., Cellulomonas
sp. dan Actinomyces sp. dengan dosis 1 liter per ton bahan pakan. Cara
penggunaanya yaitu mencampurkan 1 liter (0,1%) BioMC4 dengan 200 liter
(20%) air dan 15 kg (1,5%) molases, diaduk secara merata lalu disemprotkan pada
bahan pakan yang akan difermentasi (BioWiber). BioMC4 dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. BioMC4 (Dokumentasi penelitian)
Cellulomonas sp. mengandung enzim selulase dan memiliki aktivitas
βglucosidase (Kang et al., 2007; Bagnara et al.,1985). Cellulomonas sp. mampu
menghasilkan protein dengan memanfaatkan substrat berupa serat (Schlegel dan
Schmidt, 1994). Menurut Wizna dkk. (1995) bahwa penggunaan bakteri
22
selulolitik (Cellulomonas sp.) dapat merombak serat kasar serta meningkatkan
protein kasar. Lamid dkk. (2005) melaporkan bahwa jerami padi yang
difermentasi selama tujuh hari menggunakan bakteri selulolitik (Bacillus sp.,
Cellulomonas sp., Cellvibrio sp.) dosis 30% dapat menurunkan kandungan serat
kasar dari 39,71% menjadi 34,60%.
Bacillus sp. memiliki tipe enzim selulase yang termasuk enzim
endoβ1,4glukanase yang memiliki kemampuan mendegradasi selulosa
menjadi oligosakarida dan eksoβ1,4glukanase yang mampu mendegradasi
oligosakarida menjadi selobiosa serta βglukosidase yang mendegradasi selobiosa
menjadi glukosa (Andriyani et al., 2012) Pamungkas dan Khasani (2010)
melaporkan bahwa fermentasi bungkil kelapa sawit menggunakan Bacillus sp.
efektif menurunkan kandungan serat kasar dan lemak kasar bungkil kelapa sawit,
serta meningkatkan kandungan protein kasar.
Enterobacter sp. memiliki kemampuan mendegradasi lignin dan
polisakarida pada jerami (Borji et al., 2003). Menurut Suci (2005) bahwa
Enterobacter claoace menghasilkan enzim selulase yang dapat mengkatalisis
reaksi pemutusan ikatan 1,4βglycoside dalam selulosa. Enzim selulase tersebut
mampu memecah dan menguraikan komponen serat kasar menjadi karbohidrat
terlarut yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi bagi ternak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lokapirnasari et al. (2015) bahwa enzim
selulolitik memiliki aktivitas endo1,4βDglukanase, ekso1,4
βDglukanase dan βglukosidase, yang dapat diproduksi dari Enterobacter
claoace WPL 214. Hal ini menunjukkan bahwa Enterobacter claoace WPL 214
23
dapat digunakan untuk menghidrolisis bahan pakan berserat yang mengandung
lignoselulosa. Actinomyces sp. merupakan mikroba selulolitik (Park et al., 2005).
Menurut Judoamidjojo dkk. (1989) Actinomyces sp. merupakan bakteri yang
mampu mendegradasi selulosa.
Hasil penelitian Mahmudah (2013) bahwa fermentasi onggok oleh
Bacillus mycoides dapat menurunkan serat kasar dari 10,24% menjadi 5,52% dan
meningkatkan kadar protein kasar dari 1,10% menjadi 9,10%. Mekanisme bakteri
dalam menurunkan serat adalah dengan mengeluarkan enzim selulase. Bakteri
genus Bacillus memiliki kemampuan dalam mendegradasi selulosa karena mampu
memproduksi enzim selulase (Pelczar dan Chan, 1986). Mekanisme penurunan
serat kasar pada onggok oleh bakteri Bacillus mycoides dengan menghasilkan
enzim selulase yaitu dengan menguraikan serat kasar menjadi senyawa yang lebih
sederhana seperti selobiosa (disakarida) dan glukosa (Mahmudah, 2013). Menurut
Andriyani et al. (2012) tipe enzim selulase yang dimiliki genus Bacillus termasuk
enzim endoβ1,4glukanase yang memiliki kemampuan mendegradasi selulosa
menjadi oligosakarida dan eksoβ1,4glukanase yang mampu mendegradasi
oligosakarida menjadi selobiosa serta βglukosidase yang mendegradasi selobiosa
menjadi glukosa. Fardiaz (1988) menambahkan bahwa pada proses fermentasi
mikroba menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu
dipecah menjadi glukosa. Karbohidrat dalam proses fermentasi digunakan oleh
mikroba sebagai sumber karbon (C), pemecahan karbohidrat dapat menyebabkan
penurunan serat kasar. Mekanisme kerja enzim selulase mendegradasi serat kasar
oleh mikroba penghasil enzim dapat dilihat pada Gambar 10.
24
Gambar 10. Pemecahan selulosa oleh enzim selulase (Nugraha, 2006).
Gambar 10 memperlihatkan tahaptahap pemecahan selulosa oleh
kompleks enzim selulase (endoglukanase, eksoglukanase dan βglukosidase).
Tahap pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa
secara acak dan membentuk makin banyak ujungujung non pereduksi yang
memudahkan kerja eksoglukonase. Enzim eksoglukonase selanjutnya
menghidrolisis daerah kristal dari selulosa dengan membebaskan dua unit
glukosa. Kerja sama kedua enzim ini menghasilkan unitunit sakarida yang lebih
kecil yang selanjutnya dihidrolisis oleh βglukosidae menghasilkan glukosa.
Enzim dapat berfungsi dengan baik sebagai katalisator pada suhu optimum, jika
suhu menyimpang dari suhu optimum maka aktivitas enzim akan menurun (Lay
dan Hastowo, 1994). Sebagian besar enzim mempunyai aktivitas optimum pada
suhu antara 30°C dan 40°C (Volk dan Wheeler, 1988).
Mekanisme bakteri dalam meningkatkan protein kasar menurut Wizna et
al. (2009) bahwa populasi mikroba yang tinggi mengakibatkan kandungan protein
kasar tinggi karena mikroba sebagian besar terdiri dari protein. Crueger dan
25
Crueger (1984) menambahkan bahwa kadar protein berbagai jenis mikroba
bervariasi, bakteri mengandung protein 7078%. Peningkatan kandungan protein
kasar dapat disebabkan adanya tambahan protein yang berasal dari enzim yang
dihasilkan bakteri selulolitik serta tambahan protein yang berasal dari peningkatan
biomassa inokulum bakteri selulolitik (Lokapirnasari, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Gianfreda dan Rao (2004) bahwa
peningkatan protein dan asam amino pada onggok terfermentasi merupakan
akumulasi dari protein onggok, protein mikroba dan protein enzim ekstraseluler
produksi mikroba. Selain itu, semakin lama fermentasi maka semakin banyak
memberikan kesempatan pada bakteri untuk tumbuh dan berkembang sehingga
protein yang dihasilkan juga semakin banyak. Hal yang sama dikatakan oleh
Aisjah (1995) bahwa dengan waktu inkubasi yang lama berarti akan semakin
banyak kesempatan mikroba untuk terus tumbuh dan berkembang biak sampai
tercapai stasioner, yaitu laju pertumbuhan sama dengan nol dan jumlah massa sel
total konstan.
Gambaran Umum Fermentasi
Fermentasi adalah proses perubahan kimia pada subtrat sebagai hasil kerja
enzim dari mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu (Bidura, 2007).
Proses ini berjalan tergantung pada jenis substrat, mikroorganisme dan lingkungan
yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Contoh
produk fermentasi oleh mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan seperti etil
alkohol, asam laktat, gliserol dan lainlain (Volk dan Wheeler, 1993).
26
Proses fermentasi dapat menurunkan kandungan serat kasar dan
meningkatkan kandungan protein pakan (Sa’id, 1987). Pakan yang difermentasi
memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Hal ini disebabkan oleh
sifat katabolik mikroorganisme yang mampu memecah komponen yang komplek
menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Winarno dkk.,
1980). Fermentasi menghasilkan bahan yang bernilai gizi lebih tinggi dari bahan
lain. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroba yang bersifat katabolik atau
memecah komponenkomponen yang kompleks menjadi lebih sederhana dan
mudah dicerna, tetapi mikroba juga dapat mensintesa beberapa vitamin dan faktor
pertumbuhan yang lain misalnya riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A
(Rahayu dan Sudarmadji, 1989).
Fermentasi melibatkan aktifitas mikroba untuk memperoleh energi melalui
pemecahan substrat yang berguna untuk keperluan metabolisme dan
pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pakan
(Rachman, 1989). Menurut Pangestu dkk. (1997) bahwa kandungan serat kasar
dan karbohidrat dalam bahan pakan yang difermentasi menurun, sebaliknya
kandungan protein dan energinya meningkat. Prescott dan Dunn (1982)
menyatakan bahwa fermentasi dapat memperbaiki sifatsifat bahan dasar seperti
meningkatkan kecernaan, menghilangkan senyawa beracun, menimbulkan rasa
dan aroma yang disukai.
Hasil penelitian penerapan teknologi fermentasi yang dilakukan
Purwadaria et al. (1995) bahwa bungkil kelapa yang difermentasi dengan
menggunakan Aspergillus niger mampu meningkatkan kadar protein dari 21,07%
27
menjadi 35,02% dan kandungan serat kasarnya turun dari 16,02% menjadi
10,01%. Lebih lanjut dijelaskan oleh Helmi dkk. (1999) bahwa aktivitas enzim
lipase selama fermentasi akan menurunkan kadar lemak bungkil kelapa sebesar
52,03% dan 61,06%. Aspergillus niger yang digunakan dapat memproduksi enzim
lipase, sehingga lemak yang terdapat di dalam bungkil kelapa dapat berkurang.
Keberhasilan fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain air,
suhu, pH, fermentator, susunan bahan dasar dan bahan yang bersifat mendukung
(Rahayu dan Sudarmadji, 1989). Ciri fisik fermentasi yang berhasil/normal yaitu:
timbul bau atau aroma yang khas, terjadi perubahan warna dan tekstur bahan.
Sedangkan ciri fisik fermentasi yang gagal yaitu tidak adanya bau atau aroma
khas yang timbul, tidak terjadi perubahan warna dan tekstur bahan. Ciri fisik
tepung limbah biji kakao fermentasi yang berhasil yaitu: timbul bau/aroma khas
tape dan berwarna coklat tua.
Gambaran Umum Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengeluaran kadar air untuk memperoleh kadar
air yang aman untuk penyimpanan (Winarno dkk., 1980). Pengeringan merupakan
suatu peristiwa perpindahan massa dan energi yang terjadi dalam pemisahan
cairan atau kelembaban dari suatu bahan sampai batas kandungan air yang
ditentukan dengan menggunakan gas sebagai fluida sumber panas dan penerima
uap cairan (Desrosier, 1988). Pengeringan pada dasarnya merupakan suatu cara
untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan
cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan menggunakan
energi panas. Penurunan kandungan air biasanya dilakukan sampai mencapai
28
kadar air tertentu sehingga mikroba penyebab kerusakan bahan pangan menjadi
tidak aktif atau mati (Supriyono, 2003; Wirakartakusumah dkk., 1992).
Pengeringan dilakukan sampai kadar air dibawah batas minimum dimana mikroba
dapat tumbuh, yaitu 1415% (Almasyhuri, 2013).
Proses pengeringan sangat mempengaruhi kandungan nutrien bahan yang
dikeringkan. Semakin cepat pemanasan dan semakin tinggi suhu yang digunakan
menyebabkan perubahan yang komplek pada komponen bahan, tetapi selama
pengeringan, bahan akan mengalami penurunan kadar air (Norman, 1988). Waktu
dan suhu pengeringan yang digunakan tidak dapat ditentukan dengan pasti untuk
setiap bahan, tetapi tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan, diantaranya
untuk jenis bubuk menggunakan suhu 4060oC selama 68 jam (Novary, 1997).
Faktorfaktor yang mempengaruhi pengeringan terdiri dari faktor udara pengering
dan sifat bahan. Faktor yang berhubungan dengan udara pengering adalah suhu,
kecepatan volumetrik aliran udara pengering dan kelembaban udara, sedangkan
faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yaitu ukuran bahan, kadar air awal
dan tekanan parsial dalam bahan (Fellow, 2001).
Pengeringan dapat menimbulkan terjadinya perubahan warna, tekstur,
aroma, meskipun pada bahan tersebut diberikan perlakuan pendahuluan sebelum
dikeringkan. Dengan mengurangi kadar air pada bahan, konsentrasi protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral akan lebih tinggi, namun vitamin dan zat warna
akan berkurang (Winarno, 1984). Menurut Muchtadi (1997) bahwa proses
pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Akan tetapi
pengeringan dengan menggunakan suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
29
pengeringan yang tidak merata. Rachmawan (2001) menyatakan bahwa semakin
tinggi suhu dan kecepatan aliran udara pengeringan makin cepat pula proses
pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering, makin besar energi
panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang
diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara
pengering makin tinggi maka makin cepat massa uap air yang dipindahkan dari
bahan ke atmosfer.
Kusmartanti (2010) menyatakan bahwa hubungan antara suhu pengeringan
dan kadar abu yang dihasilkan berbanding terbalik, semakin tinggi suhu
pengeringan maka semakin kecil pula kadar abu yang dihasilkan. Hal ini
menyebabkan semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar abu akan cenderung
semakin menurun (Putra dkk., 2013). Sedangkan pada kadar lemak kasar menurut
Yuniarti dkk. (2007) bahwa dengan lamanya waktu dan tinggi suhu yang
digunakan pada proses pengeringan akan menyebabkan kandungan lemak yang
ada pada bahan juga semakin meningkat dan kandungan air yang semakin
menurun. Menurut Rahayu dkk. (1992) bahwa kadar lemak berbanding terbalik
dengan kadar air. Kadar lemak yang tinggi biasanya mempunyai kandungan air
cenderung lebih rendah. Pengaruh pengeringan terhadap kadar serat kasar
menurut Kilara dan Sharkasi (1986) bahwa pengeringan pada suhu yang lebih
tinggi dapat meningkatkan kadar serat. Semakin tinggi suhu pengeringan maka
kadar pati semakin menurun, karena suhu yang tinggi mengakibatkan rusaknya
sebagian molekul pati pada saat pengeringan (Lidiasari dkk., 2006). Penguraian
kadar pati tersebut menyebabkan kadar selulosa meningkat (Varo et al., 1983).
30
Pengeringan dengan matahari langsung merupakan proses pengeringan yang
paling ekonomis dan paling mudah dilakukan, akan tetapi sinar ultra violet dari
matahari juga menimbulkan kerusakan pada kandungan kimia bahan yang
dikeringkan (Pramono, 2006). Kekurangan pengeringan dengan matahari yaitu
sangat tergantung pada iklim yang panas dan udara atmosfer yang kering (Frazier
dan Westhoff, 1978). Pengeringan oven (oven drying) merupakan alternatif lain
dari pengeringan matahari, tetapi metode pengeringan ini membutuhkan sedikit
biaya investasi. Pengeringan oven dapat melindungi pangan dari serangan
serangga dan debu dan tidak tergantung pada cuaca. (Hughes dan Willenberg,
1994). Keuntungan pengeringan oven yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas
pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan
tempat yang luas dan kondisi pengeringan dapat dikontrol (Widodo dan
Hendriadi, 2004). Sedangkan metode kering dengan dianginanginkan dianggap
murah akan tetapi kurang efisien waktu dalam pengeringan (Pramono, 2006).
Proses pengeringan yang kurang tepat akan mengakibatkan beberapa kerugian,
yaitu kandungan nutrisi dan sifat bahan asal yang dikeringkan dapat berubah
(Istadi dan Sitompul, 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwadaria dkk. (1999) bahwa
lumpur sawit fermentasi dengan perlakuan pengeringan sinar matahari
menghasilkan nilai nutrisi yang lebih baik daripada perlakuan pengeringan dengan
oven dan blower. Lumpur sawit fermentasi dengan perlakuan pengeringan sinar
matahari selama 7,5 jam dengan suhu 32oC mencapai kandungan protein kasar
sebesar 24,60%, serat kasar 14,09% dan kadar air 6,70%. Sedangkan perlakuan
31
pengeringan dengan oven selama 50 jam dengan suhu 60oC kandungan protein
kasar sebesar 24,20%, serat kasar 16,20% dan kadar air 2,19%. Dan perlakuan
pengeringan dengan blower selama 24 jam dengan suhu 40oC kandungan protein
kasar 23,80%, serat kasar 16,00% dan kadar air 4,93%.
32
Hipotesis
Tepung limbah biji kakao yang difermentasi menggunakan bakteri
selulolitik dengan metode pengeringan yang berbeda diduga dapat memperbaiki
kandungan nutrisi tepung limbah biji kakao.
33
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan MaretMei 2016 di Dumbia Farm
(Pakan Lokal) yang bekerjasama dengan CV. Bijaksana Poultry Shop and
Feedmill di Allakuang Kec. Maritengngae Kab. Sidrap dan Laboratorium Ilmu
Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ember, sprayer, karung,
kantong plastik hitam, terpal gelap, tali rafia, alat tulis, termometer, timbangan
pakan, oven dan mesin penggiling.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan fermentasi yaitu limbah biji
kakao, onggok, bekatul, arang sekam, molases, bakteri selulolitik (BioMC4) dan
air.
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, perlakuan terdiri atas:
P0 = tanpa pengeringan (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok
20% arang sekam 5%)
P1 = kering dianginanginkan (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25%
onggok 20% arang sekam 5%)
34
P2 = kering matahari (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok
20% arang sekam 5%)
P3 = kering oven (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20%
arang sekam 5%)
Prosedur Penelitian
a. Pembuatan tepung limbah biji kakao
Limbah biji kakao yang terdiri dari pecahan kulit, pecahan biji, plasenta, biji
saling dempet dan biji gepeng digiling halus menjadi tepung dengan
menggunakan mesin penggiling. Diagram alir proses pembuatan tepung limbah
biji kakao dapat dilihat pada Gambar 11 (Lampiran 1).
b. Pengaktifan bakteri
Bakteri yang digunakan yaitu bakteri selulolitik yang merupakan produk
komersil BioMC4. Cara mengaktifkannya yaitu mencampurkan BioMC4
sebanyak 0,04 liter (0,1%) dari bahan dengan air 15 liter (25%) dan molases 0,6
kg (1,5%)
c. Fermentasi tepung limbah biji kakao
Proses fermentasi tepung limbah biji kakao sebagai berikut (Lampiran 2):
1. Mencampur bahan yang akan digunakan yaitu tepung limbah biji kakao
sebanyak 20 kg (50%), bekatul 10 kg (25%), onggok 8 kg (20%) dan arang
sekam 2 kg (5%). Semua bahan diaduk secara merata
2. Menyemprotkan bakteri yang telah diaktifkan secara merata pada bahan
3. Memasukkan bahan fermentasi ke dalam karung dan diikat erat, kemudian
dilapisi dengan kantong plastik hitam sehingga tidak ada udara yang masuk
35
4. Memasukkan termometer tabung ke dalam bahan fermentasi untuk mengukur
dan memudahkan dalam mengontrol suhu fermentasi, lalu ditutup
menggunakan terpal gelap
5. Hari ke3 tutup dibuka dan diaduk/dibolakbalik
6. Hari ke9 proses fermentasi telah selesai dan dilanjutkan dengan proses
pengeringan
d. Proses pengerigan
Proses pengeringan dilakukan tiga cara sebagai berikut:
1. Pengeringan dengan cara dianginanginkan yaitu bahan pakan dihambur tipis
di dalam gudang dan diaduk/dibolakbalik setiap hari, pengeringan dilakukan
selama 9 hari dengan suhu 35oC sampai kadar air mencapai 1415%.
2. Pengeringan dengan sinar matahari secara langsung yaitu bahan dihambur tipis
dilantai pengering dan diaduk/dibolakbalik dengan suhu 40oC selama 7,5 jam
sampai kadar air mencapai 1415%.
3. Pengeringan dengan menggunakan oven yaitu bahan dimasukkan kedalam
oven dengan suhu 60oC selama 50 jam sampai kadar air mencapai 1415%.
e. Metode sampling
Mengambil bahan dari setiap sampel untuk dilakukan uji proksimat yaitu
kadar air, kadar abu, lemak kasar, serat kasar dan protein kasar di Laboratorium
Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
36
Parameter yang diukur
Parameter yang diukur adalah kadar air, kadar abu, lemak kasar, serat
kasar dan protein kasar. Prosedur kerja dari analisis proksimat ini menurut AOAC
(1992) yaitu:
a. Analisis Protein Kasar
1. Sampel ditimbang 0,05 g (a g) kemudian dimasukkan dalam labu kjeldahl.
2. Ditambhakan 1 sendok teh takaran selenium mix dan 10 mL H2SO4.
3. Sampel dikocok hingga seluruh sampel terbasahi oleh H2SO4 kemudian
didestruksi (dalam lemari asam) di atas alat pemanas hingga jernih.
4. Sampel yang telah didestruksi kemudian diencerkan dengan aquades
sampai tanda garis (pengenceran b kali).
5. H3BO3 2% sebanyak 10 mL dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer,
kemudian ditambahkan dengan indikator metil merah sebanyak 3 tetes.
6. Memipet larutan sebanyak 10 mL, kemudian dimasukkan dalam destilasi
dan ditambahkan 10 mL NaOH 40 % serta aquades sebanyak 100 mL.
7. Alat destilasi dijalankan sampai larutan N mencapai 50 mL.
8. Menitrasi dengan menggunakan H2SO4 0,02 N sampai terjadi perubahan
warna (c mL). Keberhasilan analisis ini ditandai dengan terjadinya
perubahan warna hijau menjadi merah pada labu penampung N.
Hasil pengamatan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Kadar Protein Kasar mL titrasi x N H2SO4 x 0,014 x 6,25 x b x 100% berat sampel (g)
x 100% mL titrasi x N H2SO4 x 0,014 x 6,25 x b
berat sampel (g)
37
b. Analisis Serat Kasar
1. Sampel ditimbang sebanyak kurang lebih 0,05 g (a g) kemudian
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 mL.
2. 50 ml H2SO4 0,3 N ditambahkan kemudian didihkan selama 30 menit.
3. 25 ml NaOH 1,5 N ditambahkan kemudian didihkan lagi selama 30 menit.
4. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan sintered glass dan pompa
vakum.
5. Sampel yang disaring dicuci dengan menggunakan 50 mL air panas, 50
mL H2SO4 0,3 N, 50 mL air panas dan 25 mL alkohol 95%.
6. Sampel dimasukkan dalam oven pada suhu 105oC selama 12 jam
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (b g).
7. Sampel yang telah ditimbang dimasukkan dalam tanur selama 3 jam (serat
kasar merupakan kehilangan berat sesudah pengabuan) (c g).
Hasil pengamatan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Kadar Serat Kasar sampel setelah diovensampel setelah ditanur x 100% berat sampel (g)
c. Analisis Lemak Kasar
1. Menimbang sampel sebanyak 1 g (a g), kemudian dimasukkan kedalam
tabung reaksi.
2. Larutan chloroform diberikan sebanyak 10 mL kemudian tabung reaksi
ditutup agar larutan tidak menguap, dikocok sampai homogen dan
dibiarkan selama 24 jam.
3. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring kemudian pipet
sebanyak 5 mL.
x 100% sampel setelah dioven sampel setelah ditanur
berat sampel (g)
38
4. Sampel yang telah dipipet dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah
ditimbang berat kosongnya (b g).
5. Sampel dimasukkan dalam oven selma 24 jam pada suhu 105oC, kemudian
didinginkan dalam desikator selma 30 menit dan ditimbang (c g).
Hasil pengamatan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Kadar Lemak Kasar Sampel setelah ovencawan kosong x b x 100% berat sampel (g)
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan RAL (Rancangan
Acak Lengkap), pola searah dengan 4 perlakuan 5 ulangan. Perlakuan yang
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Gaspersz,
1991). Rumus matematikanya sebagai berikut:
Yij = μ + τi + €ij
Keterangan :
Yij = Nilai Pengamatan dengan ulangan kej
μ = Ratarata umum (nilai tengah pengamatan)
τi = Pengaruh Perlakuan kei (i = 1, 2, 3, 4)
€ij = Galat percobaan dari perlakuan kei pada pengamatan kej (j =
1, 2, 3, 4, 5)
i = Banyaknya perlakuan
j = Banyaknya ulangan dari setiap perlakuan
x 100% sampel setelah oven cawan kosong x b berat sampel (g)
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh ratarata kadar air, kadar abu,
lemak kasar, serat kasar dan protein kasar tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Ratarata Kadar Air, Kadar Abu, Lemak Kasar, Serat Kasar dan Protein Kasar Tepung Limbah Biji Kakao yang Difermentasi Menggunakan
Bakteri Selulolitik dengan Metode Pengeringan yang Berbeda
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Air (%) 46,82 ± 1,84a 15,98 ± 0,73
c 6,78 ± 0,34
d 32,18 ± 1,22
b
Abu (%) 13,59 ± 1,61a 12,65 ± 0,24
a 12,69 ± 0,65
a 9,78 ± 2,59
b
Lemak Kasar
(%)
3,95 ± 0,85b 3,84 ± 0,99
b 6,93 ± 1,34
a 4,17 ± 0,51
b
Serat Kasar
(%)
17,82 ± 2,02c 21,53 ± 0,72
b 22,99 ± 0,46
ab 23,54 ± 0,81
a
Protein Kasar
(%)
10,94 ± 2,63 12,64 ± 0,11 11,70 ± 0,09 12,80 ± 0,57
Keterangan: P0: Tanpa pengeringan (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20%
arang sekam 5%), P1: kering dianginanginkan (tepung limbah biji kakao 50%
bekatul 25% onggok 20% arang seekam 5%), P2: kering matahari (tepung
limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20% arang sekam 5%), P3: kering
oven (tepung limbah biji kakao 50% bekatul 25% onggok 20% arang sekam
5%).
a, b, ab, c, d: Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata P<0,05.
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar air. P0 (46,82%) berbeda
nyata lebih tinggi dari P1 (15,98%), P2 (6,78%) dan P3 (32,18%). P1 (15,98%)
berbeda nyata lebih rendah dari P0 (46,82%) dan P3 (32,18%), tetapi berbeda
nyata lebih tinggi dari P2 (6,78%). P2 (6,78%) berbeda nyata lebih rendah dari P0
(46,82%), P1 (15,98%) dan P3 (32,18%). P3 (32,18%) berbeda nyata lebih tinggi
40
dari P1 (15,98%) dan P2 (6,78%), tetapi berbeda nyata lebih rendah dari P0
(46,82%). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar air pada tepung
limbah biji kakao fermentasi setelah dikeringkan.
Kadar air terendah yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada
pengeringan dengan matahari. Hal ini dikarenakan suhu pengeringan matahari
yang cukup tinggi dan kondisi cuaca yang sangat baik menyebabkan terjadinya
penguapan air yang lebih banyak sehingga kadar air menurun. Sesuai dengan
pendapat Winarno (1995) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pengering
maka semakin cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air di dalam bahan
semakin rendah. Perbedaan kadar air yang diperoleh pada setiap metode
pengeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: luas permukaan bahan, suhu
ruang pengering dan kecepatan aliran udara pada ruang pengering. Semakin besar
perbedaan suhu antara pengering dengan bahan, makin cepat pemindahan panas
ke dalam bahan dan makin cepat pula penghilangan air dari bahan. Selain itu,
udara yang mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat mengambil uap air juga
akan menghilangkan uap air tersebut dari permukaan bahan (Supriyono, 2003).
Penurunan kadar air tepung limbah biji kakao fermentasi lebih banyak
pada pengeringan matahari dengan suhu lebih rendah dan waktu yang lebih
singkat dibandingkan pengeringan oven pada suhu lebih tinggi dan waktu lebih
lama. Hal ini disebabkan oleh cuaca matahari yang sangat baik dan dalam keadaan
terbuka sehingga penguapan air yang lebih banyak dan berlangsung lebih cepat,
sedangkan oven yang terisi penuh dan dalam keadaan tertutup sehingga tidak
terjadi pertukaran udara dan uap air dapat masuk kembali ke dalam bahan. Sesuai
41
dengan pendapat Kilara dan Sharkasi (1986) bahwa proses pengeringan dengan
matahari penurunan kadar airnya lebih banyak dengan suhu lebih rendah dan
waktu lebih singkat, dibandingkan pengeringan dengan oven pada suhu lebih
tinggi dan waktu lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kondisi cuaca pada saat itu
yang tidak lembab, sehingga proses penguapan atau pelepasan molekul air dari
bahan berlangsung baik dan adanya lantai beton juga merupakan pengantar panas
yang cukup baik untuk pengeringan dengan matahari. Pada pengeringan dengan
oven 60°C karena kapasitas oven terisi penuh, pertukaran udara menjadi tidak
sempurna sehingga diperlukan waktu yang lebih lama.
Haryanti dan Hidajati (2013) menyatakan bahwa tingginya kadar air
dengan pengeringan oven disebabkan bahan berada dalam kondisi tertutup dan air
yang menguap tetap ada didalam oven sehingga uap air tersebut dapat masuk
kembali ke dalam bahan, sedangkan pada pengeringan dengan sinar matahari
memiliki kadar air lebih rendah disebabkan bahan berada dalam keadaan terbuka
sehingga air yang menguap dapat berkurang dengan adanya angin dan sinar
matahari langsung.
Kadar Abu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kadar abu. P0 (13,59%) tidak
berbeda nyata pada P1 (12,65%) dan P2 (12,69%), tetapi berbeda nyata lebih tinggi
dari P3 (9,78%). P1 (12,65%) tidak berbeda nyata pada P0 (13,59%) dan P2
(12,69%), tetapi berbeda nyata lebih tinggi dari P3 (9,78%). P3 (9,78%) berbeda
42
nyata lebih rendah dari P0 (13,59%), P1 (12,65%) dan P2 (12,69%). Berdasarkan
data tersebut dapat dikatakan bahwa terjadi penurunan kadar abu pada tepung
limbah biji kakao fermentasi setelah dikeringkan.
Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini mengalami penurunan
setelah dikeringkan dikarenakan tepung limbah biji kakao fermentasi telah
mengalami proses pengolahan yaitu pengeringan, sehingga sebagian kadar abunya
menguap. Sesuai dengan pendapat Pratama (2011) bahwa bahan segar sebelum
mengalami proses pengolahan memiliki kadar abu serta kadar mineral lainnya
yang terkandung dalam bahan tersebut masih utuh. Beda halnya dengan bahan
yang telah mengalami proses pengolahan yang bervariasi menyebabkan sebagian
abu dan mineral menghilang dari bahan.
Kadar abu terendah terdapat pada pengeringan dengan oven. Hal ini
disebabkan suhu pengeringan oven yang tinggi sehingga kadar abu didalam
bahan menguap. Menurut Sudarmadji dkk. (1997) bahwa komponen abu mudah
mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu yang tinggi. Menurut
Kusmartanti (2010) menyatakan bahwa hubungan antara suhu pengeringan dan
kadar abu yang dihasilkan berbanding terbalik, semakin tinggi suhu pengeringan
maka semakin kecil pula kadar abu yang dihasilkan. Sejalan dengan pendapat
Hidayati (2007) bahwa faktor suhu yang tinggi menyebabkan kandungan mineral
dalam bahan berkurang.
Lemak Kasar
43
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap lemak kasar. P0 (3,95%) tidak
berbeda nyata pada P1 (3,84%) dan P3 (4,17%), tetapi berbeda nyata lebih rendah
dari P2 (6,93%). P1 (3,84%) tidak berbeda nyata pada P0 (3,95%) dan P3 (4,17%),
tetapi berbeda nyata lebih rendah dari P2 (6,93%). P2 (6,93%) berbeda nyata lebih
tinggi dari P0 (3,95%), P1 (3,84%) dan P3 (4,17%). P3 (4,17%) tidak berbeda nyata
pada P0 (3,95%) dan P1 (3,84%), tetapi berbeda nyata lebih rendah dari P2
(6,93%). Hal ini menunjukkan terjadi perubahan kandungan lemak kasar pada
tepung limbah biji kakao fermentasi setelah dikeringkan.
Kandungan lemak kasar terendah yang diperoleh pada penelitian ini yaitu
pada pengeringan dengan dianginanginkan, karena suhu pengeringan yang tidak
terlalu tinggi sehingga lemak kasarnya tidak meningkat. Menurut Yuniarti dkk.
(2007) bahwa dengan tingginya suhu yang digunakan pada proses pengeringan
akan menyebabkan kandungan lemak yang ada pada bahan juga semakin
meningkat. Zuhra dan Erlina (2012) menyatakan bahwa kadar lemak yang tinggi
dapat terjadi sebagai akibat dari pemberian panas yang tinggi pada lemak
sehingga terputusnya ikatanikatan rangkap pada lemak, dan lemak tersebut akan
terdekomposisi menjadi gliserol dan asam lemak. Lemak merupakan suatu
senyawa yang terbentuk sebagai hasil dari reaksi esterifikasi antara gliserol
dengan asam lemak.
Kandungan lemak kasar tertinggi terdapat pada pengeringan dengan
matahari. Hal ini disebabkan terjadi penguapan air dari bahan dalam jumlah
44
banyak sehingga kadar air menurun dan menyebabkan peningkatan pada lemak
kasar. Sesuai dengan pendapat Rahayu dkk. (1992) bahwa kadar lemak
berbanding terbalik dengan kadar air. Kadar lemak yang tinggi biasanya
mempunyai kandungan air cenderung lebih rendah. Hal tersebut didukung oleh
pendapat Buckle (1987) bahwa selama proses pengeringan, air menguap dari
permukaan dengan kecepatan tergantung pada suhu pengeringan, tetapi kemudian
setelah kadar air kritis tercapai, air yang akan menguap harus berdifusi dari dalam
bahan. Inilah yang menyebabkan kadar lemak meningkat.
Serat Kasar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap serat kasar. P0 (17,82%) berbeda
nyata lebih rendah dari P1 (21,53%), P2 (22,99%) dan P3 (23,54%). P1 (21,53%)
berbeda nyata lebih tinggi dari P0 (17,82%) dan berbeda nyata lebih rendah dari P3
(23,54%), tetapi tidak berbeda nyata pada P2 (22,99%). P2 (22,99%) tidak berbeda
nyata pada P1 (21,53%) dan P3 (23,54%), tetapi berbeda nyata lebih tinggi dari P0
(17,82%). P3 (23,54%) tidak berbeda nyata pada P2 (22,99%), tetapi berbeda nyata
lebih tinggi dari P0 (17,82%) dan P1 (21,53%). Berdasarkan hasil yang diperoleh
dapat dikatakan bahwa terjadi penigkatan serat kasar tepung limbah biji kakao
fermentasi setelah dikeringkan.
Kandungan serat kasar tepung limbah biji kakao fermentasi meningkat
setelah dikeringkan disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi sehingga air
menguap dari dalam bahan dan terjadi penurunan kadar air sehingga terjadi
45
pemekatan pada bahanbahan yang tertinggal salah satunya yaitu serat kasar.
Sesuai dengan pendapat Alfian dan Susanti (2012) bahwa semakin tinggi suhu
pengeringan menyebabkan terjadinya penguapan air. Bila kadar air yang terdapat
dalam bahan menurun maka akan terjadi pemekatan dari bahanbahan yang
tertinggal sehingga menyebabkan kadar serat meningkat. Sejalan dengan pendapat
Kilara dan Sharkasi (1986) bahwa pengeringan pada suhu yang lebih tinggi dapat
meningkatkan kadar serat. Hal ini didukung penelitian Purwadaria dkk. (1999)
mengenai evaluasi nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger
setelah proses pengeringan dengan pemanasan menunjukkan bahwa pengeringan
dengan sinar matahari selama 7,5 jam dengan suhu 32oC memiliki kandungan
serat kasar 14,90%, sedangkan pengeringan dengan oven selama 50 jam dengan
suhu 60oC memiliki kandungan serat kasar 16,20%.
Protein Kasar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung limbah biji kakao yang
difermentasi menggunakan bakteri selulolitik dengan metode pengeringan yang
berbeda menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata pada protein kasar. Protein
kasar pada perlakuan berturutturut adalah P0: 10,94%; P1: 12,64%, P2: 11,70%
dan P3: 12,80%. Berdasarkan data tersebut terjadi peningkatan protein kasar pada
tepung limbah biji kakao fermentasi setelah dikeringkan. Hal ini disebabkan
terjadi penguapan air pada tepung limbah biji kakao fermentasi pada saat
dikeringkan sehingga kadar air mengalami penurunan dan menyebabkan
kandungan protein meningkat. Sesuai dengan pendapat Hayati dkk. (2012) bahwa
pada saat proses pengeringan produk akan kehilangan kandungan air sehingga
46
jumlah protein yang dikeringkan lebih tinggi atau bertambah pekat dibandingkan
dengan kandungan protein tanpa dikeringkan. Sejalan dengan pendapat Adawyah
(2007) bahwa kadar air yang mengalami penurunan akan mengakibatkan
kandungan protein di dalam bahan mengalami peningkatan. Penggunaan panas
dalam pengolahan bahan dapat menurunkan persentase kadar air yang
mengakibatkan persentase kadar protein meningkat.
47
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa metode
pengeringan dengan dianginanginkan mampu memperbaiki kandungan nutrisi
tepung limbah biji kakao fermentasi.
Saran
Pengeringan dengan dianginanginkan dapat diterapkan pada tepung
limbah biji kakao fermentasi karena aman untuk penyimpanan yang akan
digunakan sebagai pakan tambahan ayam petelur.
48
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Aisjah, T. 1995. Biokonversi Limbah Umbi Singkong Menjadi Bahan Pakan
Sumber Protein Oleh Jamur Rizhopus sp. serta Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Ayam Pedaging. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran Bandung. Bandung.
Alfian, B. dan R. Susanti. 2012. Analisis Senyawa Fenolik. 4365 hal. Universitas Diponegoro Press. Semarang.
Ali, H. M. 2013. Perbaikan Kualitas Daging Sapi Bali Melalui Percepatan
Pemulihan Cekaman Akibat Transportasi dengan Pemberian Teobromin
dan Polifenol dari Ekstrak Kakao. Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Almasyhuri. 2013. Kemampuan rhizopus untuk menurunkan kandungan sianida
dan meningkatkan kandungan protein singkong. Penelitian Gizi dan
Makanan. 36(2): 141148.
Andriani, M. 1993. Karakterisasi Yeast yang Berperan dalam Fermentasi Ciu
Bekonang. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada.
Jogjakarta.
Andriyani, Y., S. Sukaya, S. Ratu and A. Abun. 2012. The quality of fermented
cassava tuber skin as herbivorous fish feed. Seria Zootechnie. 57: 6569.
Ardiansyah. 2010. Sehat dengan Mengkonsumsi Bekatul. Suara Pembaruan 23
Agustus 2010.
Association Of Analytical Communities. 1992. Methods of the Assosiation of
Official Analitical Chemists. Published by the AOAC. Washington DC.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Produksi Singkong Indonesia Tahun
20062009. [serial online] www.bps.go.id. Diakses 20 Januari 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Jumlah Populasi dan Produksi Ayam Petelur
di Indonesia. [serial online] www.bps.go.id. Diakses 20 Januari 2016.
Bagnara, C., R. Toci, C. Gaudin and J. P. Belaich. 1985. Isolation and
characterization of a cellulolytic microorganism, Cellulomonas fermentans
sp. nov. doi: 10.1099/00207713354502. IJSEM. 35(4): 502507.
49
Belitz, H. D., W. Grosch and P. Schieberle. 2008. Food Chemistry. 4th
Ed. Berlin.
SpringerVerlag. 327-337.
Bidura, I. G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. UPT
Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.
Borji, M., S. Rahimi, G. Ghorbani, J. Vand, Yoosefi and H. Fazaeli. 2003.
Isolation and identification os some bacteria from termites gut capable in
degrading straw lignin and polysaccharides. Journal of Veterinary
Research. 58(3): 249256.
Buchari, E. 2009. Beras dan Kandungan Nutrisinya. [serial online]
www.kedaikopi.com. Diakses 18 Februari 2016.
Buckle, K. A. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Budirahardjo, K. 2010. Analisis Profitabilitas Pengembangan Usaha Ternak Itik di
Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universias Diponegoro. Semarang.
Busto, M. D., N. Ortega and M. PerezMateos. 1995. Induction of β–glukosidase
in fungal and soil bacterial cultures. Soil Biol Biochem. 27: 949954.
Charrier, M. and A. Brune. 2003. The gut micro environment of helicid snails
(Gastropoda: Pulmonata) insitu profiles of pH, oxygen and hydrogen
determined by microsensors. Can. J. Zool. 81: 928935.
Crueger, W. and A. Crueger. 1984. Biotechnology. Text book of Industrial
Microbiology. Science Technology. Sinaver Assosiates Inc. Madison.
Damardjati, D., S. M. Ismunadji., S. Partorahardjono., M. Syam dan A. Widjono.
1998. Struktur Kandungan Gizi Beras. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
De Datta, K. S. 1981. Principles and Practices of Rice Production. A.Wiley
Interscience Publication.
Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M.
Muljoharjo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Dewi, C., T. Purwoko dan A. Pangastuti. 2005. Produksi gula reduksi oleh
Rhizopus oryzae dari substrat bekatul. Bioteknologi. 2(1): 2126.
50
Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. 2013. Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.
Makassar.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Pemanfaatan Limbah Industri Perkebunan
Kakao sebagai Bahan Pakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Populasi Ayam Ras Petelur di Sulawesi
Selatan Tahun 20082012. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Jakarta.
Doddy, M. J. 2011. Molasses/Tetes Tebu. [serial online] www.youtube.com.
Diakses 18 Februari 2016.
Douglas, J. S. 1985. Advance Guide to Hydroponic. Pelham Books. London.
Eadewi. 2012. Biochar. [serial online] www.eadewi.wordpress.com. Diakses 18
Februari 2016.
Effendi, S. 1982. Pengaruh Kondisi Pengolahan Terhadap Mutu Biji Cokelat di
Perkebunan Bunisari. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Enie, A. B. 1989. Teknologi Pengolahan Singkong. Prosiding Seminar Nasional
Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Fakultas Pertanian. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Erlinawati. 1986. Kemungkinan Penggunaan Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao
L.) untuk Bahan Makanan Ternak Domba. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fellow, P. J. 2001. Food Processing Technology. Principles and Practices. CRC
Press. Boca Raton. Boston. New York. Washington.
Fogarty, W. M. and C. T. Kelly. 1990. Microbial enzymes and biotechnology. 2th
Ed. Elsevier Scence Publishers Ltd. New York. p: 3862.
Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 3th
Ed. Tata Mc
GrawHill Publishing Company Limited. New Delhi.
51
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. CV. Armico. Bandung.
Gianfreda, L. and M. A. Rao. 2004. Potential of extraceluler enzyme in
remediation of polluted soil. Enzyme Microbiology Technolog. 2(35):
339354.
Goenadi, D. H., J. B. Bakon, Herman dan A. Purwoto. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Kakao. Badan Litbang Pertanian. 26 hlm.
Gohl, B. 1981. Tropical Feeds. FAOUN. Rome pp 389390.
Haryanti, D. N., dan N. Hidajati. 2013. Pengaruh metode pengeringan terhadap
kualitas tepung cacing sutra (Tubifex sp.). Journal of Chemistry. 2(3):
7176.
Hatta, S. 1992. Budidaya Coklat, Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya.
Kanisius. Yogyakarta.
Hayati, R., Yusmanizar, Mustafril dan H. Fauzi. 2012. Kajian fermentasi dan suhu
pengeringan pada mutu kakao (Theobroma cacao L.). Teknik Pertanian.
26(2): 129135.
Helmi, H., T. Purwadaria, T. Haryati dan A. P. Sinurat. 1999. Perubahan nilai
bilangan peroksida bungkil kelapa dalam proses penyimpanan dan
fermentasi. JITV. 4(2): 102106.
Hendri, J. 1999. Kondisi optimum pembuatan selulosa nitrat dari onggok. Jurnal
Sains dan Teknologi. 5(1): 510.
Hidayati, I. L. 2007. Formulasi Tablet Effervescent dari Ekstrak Daun Belimbing
Wuluh (Avverhoa bilimbi L.) Sebagai Anti Hipertensi. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Holtzapple, M., N. Mosier, C. Wyman, B. Dale, R. Elander, Y. Y. Lee and M.
Ladisch. 2003. Features of Promising Technologies for Pretreatment of
Lignocellulosic Biomass. Bioresource Journal. Purdue University.
Houston, D. F. 1972. Rice Chemistry and Technology. American Association of
Cereal Chemist. Inc. Minnesota.
Hughes, K. V. and B. J. Willenberg. 1994. Quality for Keeps Drying Food.
University of Missouri. [serial online]. http://www.Extension.missouri.ed.
com. Diakses 3 Februari 2016.
52
Hutagalung, R. I. 1977. Nontradisional Feeding Stuffs for Livestock. Symp. On
Feeding Stuffs for Livestock in South East Asia. Kuala Lumpur. Preprint No.26.
Ibrahim, A. S. S. and AlDewany. 2007. Isolation and identification of new
cellulases producing thermophilic bacteria from an egyptian hot spring and
some properties of the crude enzyme. Australian Journal of Basic and
Applied Sciences. 1(4): 473478.
Irawan, B. 1983. Penilaian Manfaat Limbah Industri Perkebunan sebagai Bahan
Makanan Ternak Ruminansia Secara In Vitro. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Istadi dan J. P. Sitompul. 2000. Model heterogen pengeringan butiran jagung
dalam unggun diam. Mesin. 15(3): 6368.
Judoamidjojo, R. M., E. G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kang, M. S., W. T. Im, H. M. Jung, M. K. Kim, M. Goodfellow, K. K. Kim, H. C.
Yang, D. S. An and S. T. Lee. 2007. Cellulomonas composti sp. nov. a
cellulolytic bacterium isolated from cattle farm compost. International
Journal of Systematic and Evolutionary Micribiology. doi:
10.1099/ijs.0.639740. IJSEM. 57(6): 12561260. Kilara, A. and T. Y. Sharkasi. 1986. Effects of temperature on food proteins and
its implications on functional properties. CRC Critical Rev. Food Sci. Nut.
23: 323395.
Kuntara, M. 2014. Cara Praktis Membuat Arang Sekam Padi. [serial online]
www.organichcs.com. Diakses 16 Februari 2016.
Kusmartanti, A. 2010. Pengaruh Suhu Terhadap Penurunan Kadar Abu Tepung
Beras dengan Menggunakan Alat Furnace. Skripsi. Fakultas Teknik.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan. 2016. Hasil Analisis Nutrisi Tepung
Limbah Biji Kakao. Program Studi Peternakan. Fakultas Peternakan dan
Pertanian. Universitas Diponegoro. Semarang.
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak. 2000. Hasil Analisa Nutrisi
Molases. Program Studi Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Lamid, M., Kusriningrum, Mustikoweni dan S. Chusniati. 2005. Revitalisasi
Bidang Kesehatan Hewan dan Manajemen Peternakan Menuju Ekonomi
53
Global. Prosiding Seminar Nasional Surabaya. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Lamiya dan Mareta. 2010. Penyiapan Bahan Baku dalam Proses Fermentasi untuk
Pakan Ternak. [serial online] http://eprints.undip.ac.id. Diakses 20 Januari
2016.
Lay, B. Dan S. Hastowo. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Cetakan I.
Edisi I. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 34: 7273.
Lee, K. W., Y. J. Kim, H. J. Lee and C. Y. Lee. 2003. Cocoa has more phenolic
phytochemical and higher antioxidant capacity than teas and red wine. J.
Agric. Food Chem. 51(25): 72927295.
Lehninger, A. L. 1978. Biochemistry. Worth Publisher. Inc. New York.
Lidiasari, E., M. I. Syafutri dan F. Syaiful. 2006. Pengaruh perbedaan suhu
pengeringan tepung tapai ubi kayu terhadap mutu fisik dan kimia yang
dihasilkan. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Sriwijaya. Sumatera
Selatan.
Lokapirnasari, W. P. 2013. Potensi Inokulan Selulolitik Entrobacter cloacae dan
Minyak Ikan untuk Meningkatkan Kualitas Pakan Serta Implikasinya
Terhadap Penampilan Produksi dan Kualitas Daging Broiler. Disertasi.
Program Pasca Sarjana. Univesitas Airlangga. Surabaya.
Lokapirnasari, W. P., D. S. Nazar, T. Nurhajati, K. Supranianondo and A. B.
Yulianto. 2015. Production and assay of cellulolytic enzyme activity of
Enterobacter cloacae WPL 214 isolated from bovine rumen fluid waste of
Surabaya abbatoir, Indonesia. Veterinary World. EISSN: 22310916.
p:367371.
Mahmudah. 2013. Pengaruh Jumlah Inokulum dan Lama Fermentasi Oleh
Bacillus mycoides Terhadap Kadar Serat kasar dan Protein Kasar Onggok.
Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Malang.
Malang.
Mazza, G. 1998. Functional Foods Biochemical and Processing Aspects Jilid I.
Pennsylvania. Technomic Publishing Company. Inc. USA.
Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Fakultas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mustikasari, M. 1993. Manfaat Kulit Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap
Pertumbuhan Ayam Ras Pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
54
Nasution, Z. 1976. Pengolahan Cokelat. Departemen Teknologi Hasil Pertanian.
IPB Press. Bogor.
Noller, C. R. 1965. Chemistry of Organic Compounds. 3th
Ed. W. B. Sounders
Company. Philadelphia.
Norman, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi Ketiga. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Novary, E. W. 1997. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Nugraha, R. 2006. Produksi Enzim Selulase Oleh Penicillum nalgiovense SS240
pada Substrat Tandan Sawit. Skripsi. Program Studi Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nuraini, Sabrina dan S. A. Latif. 2008. Peforma ayam dan kualitas telur yang
menggunakan pakan mengandung onggok fermentasi dengan Neurospora
crassa. Media Peternakan. Universitas Andalas. 31(3): 195201.
Ogimoto, K. and S. Imai. 1981. Atlas of Ruemen Microbiology. Jap. Sci. Soc.
Press. Tokyo.
Osawal, K., K. Miyazakil, I. Shimura, J. Okuda, M. Matsumoto and T. Ooshima.
2000. Identification of cariostatic substances in the cacao bean husk their
antiglucosyl transferase and antibacterial activities. Dent. Res. 80(11):
20002004.
Othman, A., A. Ismail, N. A. Ghani and I. Adenan. 2007. Antioxidant capacity
and phenolic content of cocoa bean. Food Chemistry. 15231530.
Pamungkas, W. dan I. Khasani. 2010. Efektifitas Bacillus sp. untuk peningkatan
nilai nutrisi bungkil kelapa sawit melalui fermentasi. Loka Riset
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Hal 769774.
Pangestu, D., E. Rahmadi dan B. Ariyanti. 1997. Pengaruh fermentasi
Trichoderma viride terhadap nilai energi serbuk gergaji pada ternak
ruminansia. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 22(3): 3539.
Park, K. M., H. I. Shin, K. K. Kang and J. H. Lee. 2005. Actinomyces isolated
from rumen of goat. AsianAust. J. Anim. Sci. 18(1): 6165.
Pelczar, J. M. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasardasar Mikrobiologi I. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
55
Peraturan Menteri Pertanian No.67. 2014. Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji
Kakao. Republik Indonesia.
Pramono, S. 2006. Penanganan Pascapanen dan Pengaruhnya Terhadap Efek
Terapi Obat Alami. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat
Indoneisa XXVIII. Bogor. Hal 16.
Pratama, C. 2011. Laporan Tetap Praktikum Analisa Pangan. Fakultas Teknologi
Pangan dan Agroindustri. Universitas Mataram. Mataram.
Prawoto, A. dan Sulistyowati. 2001. SifatSifat Fisik Kimia Lemak Kakao dan
FaktorFaktor yang Berpengaruh. Pusat Penelitian Perkebunan. Jember.
Hal 3946.
Prescott, S. C. and C. G. Dunn. 1982. Industrial Microbiolog. 4th
Ed. Mc. Graw
Hill Book Company. New York. Toronto. London.
Proctor, A. and Palaniappan. 1989. Soy oil adsorption by rice hull ash. J. Am. Oil.
Chem. 66(11): 6181621.
Pujaningsih, R. I. dan I. Mangisah. 2003. Potensi Saccharomyces cerevisiae dan
Aspergillus oryzae dalam Mensintesis Kromium Organik Melalui Proses
Fermentasi pada Media Onggok. Jurnal Penelitian. Fakultas Peternakan.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Purwadaria, T., T. Haryati, J. Darma and O. I. Munazat. 1995. In vitro
digestibility evaluation of fermented coconut meal using Aspergillus niger
NRRL 337. Bull. Anim. Sci. Special Edition. pp. 375382.
Purwadaria, T., A. P. Sinurat, Supriyati, H. Hamid dan I. A. K. Bintang. 1999.
Evaluasi nilai gizi lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger
setelah proses pengeringan dengan pemanasan. JITV. (4)4: 257263.
Putra, S. D. R., L. M. E. Purwijantiningsih dan F. S. Pranata. 2013. Kualitas
minuman serbuk instan kulit buah manggis (Garcinia Mangostana L.)
dengan variasi maltodekstrin dan suhu pemanasan. Jurnal Penelitian.
Fakultas Teknobiologi. Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.
Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas
Pertanian. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Rahayu, K. dan S. Sudarmadji. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
56
Rahayu, W. P., S. Ma’oen, Suliantari dan S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi
Produk Perikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rangkuti, A., Musofie, Sitorus, Kompiang, Kusumawardhani dan Roesjat. 1985.
Pemanfaatan Daun Tebu untuk Pakan Ternak di Jawa Timur. Seminar
Pemanfaatan Hasil samping Tebu untuk Pakan Ternak. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Grati.
Sa’id, E. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Pusat Antar
Universitas. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Salma. 2011. Bekatul Bukan Hanya Makanan Unggas. [serial online]
www.majalahkesehatan.com. Diakses 18 Februari 2016.
Santoso, U. 1999. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. PT. Bhatara
Karya Aksara. Jakarta.
Satyawiharja, B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Schlegel, H. G. dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Ed.6. Terjemahan
Tejo Baskoro dan Joke R Wattimena. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Septiani, D. 2012. Pengaruh Pemberian Arang Sekam Padi Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens).
Seminar Program Studi Hortikultura. Politeknik Negeri Lampung.
Lampung.
Silva, R. D., E. S. Lago, C. W. Merheb, M. M. Machione, Y. K. Park and E.
Gomes. 2005. Production xylanase and CMCase on solid state
fermentation in different residues by Thermoascus auranticus. Miehe.
Braz J. Microbiomol. 36: 235–241.
Suci, L. D. 2005. Pengaruh Pemberian Jerami Padi Terfermentasi Terhadap Daya
Cerna Bahan Organik dan Serat Kasar Pakan pada Domba. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. 127 hal.
Sunna, A., M. D. Gibbs and P. L. Berguist. 2000. A novel thermostable
multidomain 1,4xylanase from caldibaccilus cellulovorans and effect of
its xilan binding domain on enzyme activity. Microbiol. 146: 29472855.
57
Supriyono. 2003. Mengukur FaktorFaktor dalam Proses Pengeringan. Gramedia.
Jakarta.
Sutardi, T. 1991. Pemanfaatan Limbah Tanaman Perkebunan sebagai Pakan
Ternak Ruminansia. Prosiding Pameran Produksi dan Teknologi
Peternakan 31 Oktober 1991. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor. Pemerintah Daerah Kodya Bogor. Bogor.
Swisscontact. 2013. Pasca Panen, Kualitas Biji Kakao dan Fermentasi.
Sustainable Cocoa Production Program (SCPP). Medan.
Tarka, S. M., B. L. Zoumas and G. A. Trout. 1998. Examination of Effect Cocoa
Shell with Theobromin in Lamb. Nutrition Report International.
Taubert, D., R. Roesen, C. Lehmann, N. Jung and E. Schoming. 2007. Effects of
low habitual cocoa intake on blood pressure dan bioactive nitric oxide.
The Journal of the American Medical Association. 298: 4960.
Tjiptadi. 1982. Telaah Pembuatan Glukosa dan Sifat Limbah Cairnya dengan
Bahan Ubi Kayu Secara Hidrolisa Asam dalam Rangka Meningkatkan
Teknik Pengolahannya. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 152 hlm.
Tjitrosoepomo dan Gembong. 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta).
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Varo, P., R. Laine and P. Koivistoinen. 1983. Effect of heat treatment on dietary
fiber. Interlaboratory study. J. Assoc. Off. Anal. Cm. 66: 933938.
Volk, W. A. and M. F. Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Terjemahan
Soenartono Adisoemarto. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Volk, W. A. and M. F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Jasad V. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Widayati dan Widalestari. 1996. Limbah untuk Pakan Ternak. Trubus Agriwidya.
Surabaya.
Widodo, P. dan A. Hendriadi. 2004. Perbandingan kinerja mesin pengering
jagung tipe bak datar model segiempat dan silinder. Jurnal Enjinering
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (2)1.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
58
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarno, F. G. 1995. Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wirakartakusumah, A., Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992.
Petunjuk Laboratorium. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Wizna, H. Abbas dan Rusmana. 1995. Toleransi itik periode pertumbuhan
terhadap serat kasar ransum. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. 1(3): 13.
Wizna, Y. R., A. Hafil, D. Abdi and I. P. Kompiang. 2009. Improving the quality
of tapioca byproduct (onggok) as poultry feed through fermentation by
Bacillus amyloliquefaciens. Journal of Applied and Industrial
Biotechnology in Tropical Regon. 2(1): 15.
Wong, H. K. and A. H. Osman. 1986. The Nutritive Value and Rumen
Fermentation Pattern in Sheep Fed and Dried Cocoa Pod Ration. Canberra.
Yana. 2014. Mengenal Tanaman Kakao. [serial online] www.budidayatanaman
perkebunan.blogspot.com. Diakses 18 Februari 2016.
Yuniarti, N., D. Syamsuwida dan A. Aminah. 2007. Pengaruh penurunan kadar air
terhadap perubahan fisiologi dan kandungan biokimia benih eboni
(Diospyros celebica B.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 5(3): 191198.
Zuhra, S. dan C. Erlina. 2012. Pengaruh kondisi operasi alat pengering semprot
terhadap kualitas susu bubuk jagung. Jurnal Rekayasa Kimia dan
Lingkungan. 9(1): 3644.
59
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan tepung limbah biji kakao
Biji Kakao Kering
Disortir
Biji Kakao Limbah Biji Kakao
Plasenta
Pecahan Kulit
Pecahan Biji
Biji Dempet dan Biji Gepeng
Digiling
Tepung Limbah Biji Kakao
Gambar 11. Diagram alir pembuatan tepung limbah biji kakao
60
Lampiran 2. Diagram alir proses fermentasi dan pengeringan pada tepung
limbah biji kakao
Gambar 12. Diagram alir proses fermentasi dan pengeringan pada tepung limbah
biji kakao
Tepung Limbah Biji Kakao Fermentasi
Pencampuran Tepung limbah biji
kakao (50%)
Bekatul (25%)
Onggok (20%)
Arang sekam (5%)
Pengadukan
Penyemprotan bakteri
Dimasukkan kedalam wadah
Kadar air 4050%
Tutup dibuka dan dibolakbalik
Diikat erat
Pengeringan
Karung dan kantong plastik
Ditutup Terpal gelap
Dianginanginkan
35oC (9 Hari)
Matahari 40oC
(7,5 Jam)
Oven 60oC
(50 Jam)
Hari ke3
Hari ke9
8 hari
Analisis proksimat
1. Kadar air
2. Kadar abu
3. Lemak kasar
4. Serat kasar
5. Protein kasar
61
Lampiran 3. Hasil analisis ragam kandungan nutrisi tepung limbah biji
kakao yang difermentasi menggunakan bakteri selulolitik
dengan metode pengeringan yang berbeda
Descriptives
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Min Max
Lower
Bound
Upper
Bound
Air P0 (tanpa pengeringan) 5 46.8267 1.84994 .82732 44.5297 49.1237 43.61 48.28
P1 (kering diangin-anginkan) 5 15.9829 .73115 .32698 15.0751 16.8908 15.45 17.25
P2 (kering matahari) 5 6.7845 .34076 .15239 6.3613 7.2076 6.41 7.12
P3 (kering oven) 5 32.1834 1.22588 .54823 30.6613 33.7055 31.17 34.22
Total 20 25.4444 15.76797
3.5258
2 18.0647 32.8240 6.41 48.28
Abu P0 (tanpa pengeringan) 5 13.5986 1.61734 .72330 11.5904 15.6068 12.63 16.45
P1 (kering diangin-anginkan) 5 12.6576 .24297 .10866 12.3559 12.9593 12.45 12.94
P2 (kering matahari) 5 12.6972 .65496 .29291 11.8840 13.5105 11.73 13.48
P3 (kering oven) 5 9.7859 2.59489
1.1604
7 6.5639 13.0078 7.47 12.94
Total 20 12.1848 2.05898 .46040 11.2212 13.1485 7.47 16.45
Lemak_kasar P0 (tanpa pengeringan) 5 3.9501 .85010 .38017 2.8945 5.0056 2.79 4.93
P1 (kering diangin-anginkan) 5 3.8478 .99665 .44571 2.6103 5.0853 3.03 5.57
P2 (kering matahari) 5 6.9355 1.34682 .60231 5.2632 8.6078 5.43 8.94
P3 (kering oven) 5 4.1760 .51152 .22876 3.5408 4.8111 3.40 4.78
Total 20 4.7273 1.58869 .35524 3.9838 5.4709 2.79 8.94
Serat_kasar P0 (tanpa pengeringan) 5 17.8224 2.02292 .90468 15.3106 20.3342 14.56 19.99
P1 (kering diangin-anginkan) 5 21.5368 .72673 .32500 20.6345 22.4392 20.60 22.48
P2 (kering matahari) 5 22.9914 .46659 .20867 22.4121 23.5708 22.22 23.41
P3 (kering oven) 5 23.5423 .81354 .36383 22.5322 24.5525 22.60 24.59
Total 20 21.4732 2.52976 .56567 20.2893 22.6572 14.56 24.59
Protein_kasar P0 (tanpa pengeringan) 5 10.9488 2.63506
1.1784
3 7.6770 14.2207 7.93 14.07
P1 (kering diangin-anginkan) 5 12.6431 .11440 .05116 12.5010 12.7851 12.44 12.73
P2 (kering matahari) 5 11.7032 .09298 .04158 11.5877 11.8187 11.57 11.82
P3 (kering oven) 5 12.8023 .57602 .25761 12.0870 13.5175 12.34 13.80
Total 20 12.0243 1.45868 .32617 11.3417 12.7070 7.93 14.07
62
ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Air Between
Groups
(Combined) 4701.643 3 1567.214 1.124E3 .000
Linear
Term
Contrast 705.655 1 705.655 506.231 .000
Deviation 3995.988 2 1997.994 1.433E3 .000
Within Groups 22.303 16 1.394
Total 4723.946 19
Abu Between
Groups
(Combined) 41.199 3 13.733 5.584 .008
Linear
Term
Contrast 32.482 1 32.482 13.208 .002
Deviation 8.718 2 4.359 1.772 .202
Within Groups 39.349 16 2.459
Total 80.548 19
Lemak_kasar Between
Groups
(Combined) 32.789 3 10.930 11.530 .000
Linear
Term
Contrast 3.545 1 3.545 3.739 .071
Deviation 29.244 2 14.622 15.426 .000
Within Groups 15.166 16 .948
Total 47.955 19
Serat_kasar Between
Groups
(Combined) 99.595 3 33.198 24.145 .000
Linear
Term
Contrast 86.625 1 86.625 63.001 .000
Deviation 12.970 2 6.485 4.716 .025
Within Groups 22.000 16 1.375
Total 121.594 19
Protein_kasar Between
Groups
(Combined) 11.239 3 3.746 2.054 .147
Linear
Term
Contrast 5.337 1 5.337 2.926 .107
Deviation 5.902 2 2.951 1.618 .229
Within Groups 29.188 16 1.824
Total 40.427 19
Duncan
Air
Tepung_limbah_biji_kakao N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
63
Duncana P2 (kering matahari) 5 6.7845
P1 (kering diangin-anginkan) 5
15.9829
P3 (kering oven) 5
32.1834
P0 (tanpa pengeringan) 5
46.8267
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000
Abu
Tepung_limbah_biji_kakao N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Duncana P3 (kering oven) 5 9.7859
P1 (kering diangin-anginkan) 5
12.6576
P2 (kering matahari) 5
12.6972
P0 (tanpa pengeringan) 5
13.5986
Sig.
1.000 .382
Lemak_kasar
Tepung_limbah_biji_kakao N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Duncana P1 (kering diangin-anginkan) 5 3.8478
P0 (tanpa pengeringan) 5 3.9501
P3 (kering oven) 5 4.1760
P2 (kering matahari) 5
6.9355
Sig.
.621 1.000
Serat_kasar
Tepung_limbah_biji_kakao N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Duncana P0 (tanpa pengeringan) 5 17.8224
64
P1 (kering diangin-anginkan) 5
21.5368
P2 (kering matahari) 5
22.9914 22.9914
P3 (kering oven) 5
23.5423
Sig.
1.000 .067 .468
Protein_kasar
Tepung_limbah_biji_kakao N
Subset for alpha = 0.05
1
Duncana P0 (tanpa pengeringan) 5 10.9488
P2 (kering matahari) 5 11.7032
P1 (kering diangin-anginkan) 5 12.6431
P3 (kering oven) 5 12.8023
Sig.
.062
65
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Persiapan alat dan bahan
Karung
Terpal gelap Termometer tabung
Termometer suhu Sprayer
Kantong plastik hitam
67
Proses fermentasi tepung limbah biji kakao
Pencampuran Pengadukan
Penyemprotan bakteri Dimasukkan ke dalam karung
Dimasukkan ke kantong plastik Ditutup terpal gelap
68
Proses pengeringan
Proses pembalikan pada hari ke3
Dianginanginkan Pengadukan
Pengeringan matahari Pengadukan
69
Proses pengemasan dan pengiriman sampel
Pengeringan oven Sampel yang dikeringkan
Pengemasan sampel Pengiriman sampel
70
RIWAYAT HIDUP
Rafidah, lahir pada tanggal 25 Maret 1994 di Sebatik,
Kalimantan Utara sebagai anak keempat dari enam
bersaudara dari pasangan bapak H. Alimuddin dan Ibu Hj.
Nurmiati. Jenjang pendidikan formal yang pernah
ditempuh adalah SDN 002 Sebatik pada tahun 2000
sampai tahun 2006. Pada tahun yang sama melanjutkan di
SMPN 1 Sebatik, lulus tahun 2009 dan melanjutkan di SMAN 1 Sebatik, lulus
pada tahun 2012. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA, pada tahun 2012
penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN Tertulis di
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Selama menjadi
mahasiswa penulis sempat menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan
Makanan Ternak (HUMANIKA UNHAS) dan sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Islam komisariat peternakan.