Page 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pulp Kakao
Kakao lindak paling banyak dibudidayakan di seluruh negara produsen
kakao dunia termasuk Indonesia, dan didominasi oleh perkebunan rakyat. Kakao
lindak Indonesia ditandai dengan ciri pulp yang tebal, keasaman biji keringnya
tinggi. Pulp yang tebal dapat berasal dari buah yang kurang masak atau biji kecil
(Suryatmi 1995). Hasil analisis komposisi dari pulp kakao dari Ivorian, Nigerian
dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 1 (Pettipher 1986).
Tabel 1. Komposisi pulp kakao Ivorian, Nigerian dan Malaysian (Pettipher 1986) Komposisi Ivorian Nigerian Malaysian
(g/100g berat segar pulpa)
Etanol 0 0.10 0.20 Sukrosa 4.35 1.92 1.35 Glukosa 3.00 5.06 4.90 Fruktosa 3.80 6.07 5.35 Dalam freeze dried (g/kg berat kering)
Selulosa 51.80 Tidak ditentukan 47.30 Hemiselulosa 28.50 Tidak ditentukan 15.80 Pektin 66.10 59.1 37.50 Lignin 15.00 Tidak ditentukan 5.00
Sekitar 15-25% larutan gula dapat diubah selama fermentasi. Berbagai
jenis bahan seperti pati kentang, sirup glukosa, sukrosa, sirup gula tebu, molases
tebu dan molases bit dapat digunakan sebagai karbohidrat. Tetapi pada umumnya
hanya gula yang dapat dengan cepat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dalam
fermentasi. Atmawinata et al. (1998) menyatakan bahwa pulp diketahui
mempunyai kandungan glukosa antara 10-15% dan air 80-85%. Effendi (2002)
menyatakan bahwa, limbah cair pulp kakao dengan kadar gula 12-15% potensial
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk proses kimia industri
melalui pendekatan bioteknologi.
Page 2
Komposisi media merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Menurut Purawisastra et al. (1994) komponen media yang
diperlukan adalah unsur karbon, nitrogen dan mineral. Pengaruh konsentrasi
sukrosa awal yang berbeda pada fermentasi gula pasir dan nira tebu terhadap
etanol yang dihasilkan disebabkan karena konsentrasi glukosa pada awal
fermentasi untuk kedua medium adalah berbeda. Nira tebu mengandung glukosa
lebih besar dari gula pasir karena nira tebu merupakan bahan alami, sehingga
molekul glukosanya tidak hanya secara alami sudah mengandung glukosa, tetapi
juga berasal dari molekul sukrosa yang terhidrolisis.
Fermentasi Alkohol
Etanol adalah nama kimia dari alkohol, rumus kimianya adalah C2H5OH.
Penggunaannya sangat luas antara lain dalam industri kimia, kosmetik, industri
minuman, sebagai bahan pelarut dan bahan bakar. Etanol dapat dibuat dari bahan
hasil pertanian, seperti bahan yang mengandung turunan gula (molase gula tebu,
sari buah), bahan yang mengandung pati, atau bahan yang mengandung selulosa
kayu, limbah kayu, onggok, pulp kakao (Hartono 1991).
Gula sederhana seperti glukosa dapat langsung difermentasi menjadi
etanol. Bahan yang mengandung senyawa yang lebih kompleks seperti pati atau
selulosa harus dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana sebelum
difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi atau
menggunakan enzim. Purawisastra et al. (1994) menjelaskan bahwa medium gula
pasir dengan penambahan enzim invertase dapat meningkatkan konsentrasi etanol
yang dihasilkan.
Susijahadi et al. (1998) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsentrasi
gula awal substrat berpengaruh terhadap jumlah alkohol yang dihasilkan.
Wardani et al. (1991) menjelaskan bahwa, secara teoritis kadar alkohol
maksimum yang dapat diperoleh dari 180 g/l gula adalah 12.26% v/v.
S. cerevisiae adalah galur yang memproduksi etanol dalam jumah tinggi
sehingga sering digunakan dalam produksi etanol, anggur, minuman keras, dan
enzim invertase. Purawisastra et al. (1994) menyimpulkan bahwa enzim invertase
disamping berperan pada hidrolisis molekul sukrosa menjadi fruktosa dan
Page 3
glukosa. Juga dapat membantu proses konversi glukosa menjadi etanol. Dengan
demikian, etanol yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsentrasi awal molekul
sukrosa dan glukosa sebelum fermentasi berlangsung.
Baik khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk memproduksi etanol.
Khamir S. cerevisiae var ellipsoids mampu menghasilkan etanol dalam jumlah
tinggi 16-18% pada media yang sesuai. Damanhuri (2004) menyimpulkan bahwa,
substrat larutan madu rambutan afkir dengan kadar gula total 20% menghasilkan
16.10% etanol. Effendi (2002) berpendapat bahwa, fermentasi substrat limbah
cair pulp kakao dengan kadar gula 12.63% baik tanpa maupun dengan
penambahan urea dan S. cerevisiae R60 dengan konsentrasi inokulum 10% (v/v),
suhu 30 οC, waktu fermentasi 48 jam dihasilkan kadar etanol rata-rata 5.30%.
Untuk menghasilkan kadar etanol sebesar 5% sampai 6% diperlukan waktu
fermentasi antara 48 sampai 50 jam.
Pada kondisi aerob atau konsentrasi glukosa tinggi S. cerevisiae tumbuh
dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah dibandingkan secara anaerob.
Pada kondisi anaerob, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur katabolik
dipecah oleh enzim piruvat dikarbosilase menjadi asetaldehid dan karbon
dioksida. Pada umumnya produksi etanol meliputi tiga tahap dimana tiap tahap
harus dioptimasi, fermentasi dan destilasi (Hartoto 1991).
Fermentasi Asam Asetat
Asam asetat merupakan hasil dua tahap proses fermentasi dimana tahap
pertama adalah fermentasi gula menjadi etanol oleh khamir, sedangkan tahap
kedua adalah oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh bakteri asam asetat.
Asam asetat (vinegar) adalah senyawa yang cukup penting dalam pengolahan
bahan pangan baik sebagai bumbu maupun bahan pengawet (Luwihana 1998).
Menurut Wardani et al. (1991) bahwa vinegar adalah larutan encer asam asetat
yang dihasilkan melalui dua tahap fermentasi larutan gula menjadi etanol dan
dilanjutkan dengan proses oksidasi etanol menjadi asam asetat.
Fermentasi asam asetat membutuhkan medium yang mengandung etanol
10-13%, umumnya medium tersebut diperoleh dari hasil fermentasi alkohol, yaitu
fermentasi pengubahan gula menjadi etanol. Bila konsentrasi etanol terlalu tinggi,
Page 4
pembentukan asam asetat akan terganggu, sehingga fermentasi etanol menjadi
asam asetat tidak berlangsung dengan sempurna, selain itu keasaman medium
perlu diperhatikan (Darwis dan Sukara 1989). Damanhuri (2004) menjelaskan
fermentasi asam asetat dengan substrat etanol 16.10% menghasilkan 0.11% asam
asetat dengan lama fermentasi selama 5 minggu.
Pada proses pembuatan cuka fermentasi, mula-mula dilakukan tahap
fermentasi alkohol dimana gula yang ada diubah menjadi etanol menggunakan
khamir S. cerevisiae dalam kondisi anaerobik, selanjutnya dalam tahap fermentasi
asetat, etanol akan diubah menjadi asam asetat, galur yang paling umum
digunakan ialah A. aceti, dalam kondisi aerob (Chandra et al. 1990).
Effendi (2002), menyimpulkan bahwa pada fermentasi etanol hasil
fermentasi limbah cair pulp kakao oleh A. aceti B127 dengan kondisi suhu 30 οC,
nilai pH awal 4, konsentrasi etanol 5% (v/v), inokulum 10% (v/v), dengan
kecepatan pengadukan terbaik 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24%. Ebner
(1983) dan Standardisasi Nasional (1990) menjelaskan cuka yang baik minimal
harus mengandung 4% asam asetat.
Produksi asam asetat dapat ditingkatkan dengan cara pemberian aerasi dan
agitasi serta pengaturan suhu fermentasi pada suhu optimum pertumbuhan bakteri
asam asetat. Produksi asam sangat bergantung pada tingkat kesuburan
pertumbuhan sel bakteri dan tingkat kesuburan tersebut menurun seiring dengan
peningkatan kadar etanol substrat (Soedarini et al. 1998).
Pudjiraharti et al. (1998) menyimpulkan bahwa pembuatan asam cuka dari
sari buah jambu mete telah dilakukan dalam fermentor Biostat B skala 2 liter.
Fermentasi berlangsung pada suhu 35 οC, pH awal 4, aerasi 1 vvm dan berbagai
kecepatan agitasi 500, 600 dan 700 rpm selama 6 hari. Kadar total asam
maksimum dicapai pada hari ke-tiga fermentasi pada semua kecepatan agitasi.
Fermentasi dengan kecepatan agitasi 600 rpm menunjukkan total asam tertinggi
4.01% (b/v) ekivalen dengan 3.90% (b/v) asam asetat dengan efisiensi
pengubahan dari etanol menjadi asam asetat 58.64%. Dari hasil analisis
kandungan etanol, pada hari ke-tiga fermentasi kadar etanol sisa dalam media
mendekati nol pada semua kecepatan agitasi.
Page 5
Nurika et al. (2001) menyimpulkan bahwa, nilai rata-rata jumlah asam
asetat yang terbentuk dari media air kelapa secara fermentasi kontinyu dengan
penambahan 10% (v/v) A. aceti FNCC 0016 (IFO 3283) berkisar antara 0.44
sampai dengan 1.12 g/hari yang diperoleh dari perlakuan tinggi partikel dalam
kolom bio-oksidasi 34 cm dengan kecepatan aerasi 0.08 vvm.
Enzim Selulase
Irawadi (1999) menyatakan bahwa, enzim yang berperan dalam proses
hidrolisis limbah lignoselulosa terdiri dari tiga kelompok, yaitu kelompok
selulase, ligninase dan hemiselulase. Masing-masing kelompok terdiri atas tiga
jenis enzim. Selulase terdiri dari endoglukanase (CHC-ase), eksoglukanase
(selobio-hidrolase) dan β-glukosidase. Ligninase terdiri dari laccase,
lignin-peroksidase dan Mn-peroksidase. Hemiselulase (xilanase) terdiri dari
endoxilanase, eksoxilanase dan β-xilosidase. Sudaryati et al. (1993) menyatakan
bahwa, selulase adalah nama trival bagi semua enzim yang memutuskan ikatan
glikosidik β-1.4 di dalam selulosa, sedodekstrin, selobiosa.
Selulase sesungguhnya adalah enzim yang kompleks sehingga dapat
mendegradasi selulosa membentuk monosakaridanya yaitu glukosa. Aktivitas
enzim selulase dinyatakan dalam satuan unit per mililiter filtrat enzim (U/ml).
Satu unit aktivitas enzim setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan
dari perlakuan enzim terhadap larutan karboksimetil selulosa 1% setara 1 unit
(Wirakartakusumah et al. 1987). Menurut Irawadi (1999) bahwa, semakin tinggi
aktivitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan.
Purwadaria et al. (2004) menyatakan bahwa, produksi enzim selulase
dengan Penicillium nalgiovense S11 pada media pollard gandum dapat
ditingkatkan dengan perlakuan awal pada substrat. Perlakuan NaOH dengan
peningkatan konsentrasi substrat dari 2 menjadi 4% dengan waktu inkubasi
optimum 5 hari meningkatkan produksi enzim selulase (CMCase, FPase,
β-glucosidase). Penambahan 250 ppm glukosa juga meningkatkan aktivitas
spesifik dari CMCase, FPase, β-glucosidase.
Page 6
Menurut Ghani et al. (1990) bahwa, enzim selulotik terbentuk dari
beberapa mikroorganisme termasuk fungi, actinomycetes dan bakteri, ada 40
spesies fungi, 12 spesies bakteri dan 4 spesies dari actinomycetes yang dapat
memproduksi selulase. Beberapa keuntungan dalam penggunaan bakteri :
1) Spesies bakteri mempunyai waktu potensial lebih besar dalam manipulasi
genetik.
2) Bakteri memiliki waktu pendek untuk produksi enzim
Selulosa yang tersedia berlimpah sangat potensial dipakai sebagai bahan
baku untuk produksi etanol. Proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari
selulosa menjadi glukosa dipengaruhi oleh faktor penghambat yang sangat
menentukan didalam biokonversi selulosa menjadi etanol. Faktor penyebab
utamanya ialah adanya penghambatan produk (terutama selobiosa dan glukosa)
terhadap semua tahapan hidrolisis karena rendahnya aktivitas enzim β-glukosidase
(EC.3.2.1.21) dalam kompleks enzim selulase dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tahapan hidrolisis selulosa oleh enzim dan sistem sakarifikasi dan fermentasi sinambung selulosa menjadi etanol (Koesnandar, 2001).
Koesnandar (2001) menyimpulkan bahwa, konversi selobiosa
menggunakan sistem batch berulang dengan penambahan substrat selobiosa
secara bertahap dengan kondisi anaerob, etanol yang diperoleh ialah 60-70 g/l
selama 50-75 jam inkubasi dengan hasil konversi antara 0.40-0.47 g etanol/g
selobiosa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa imobilisasi sel ganda antara
Lipomyces starkeyi dan S. cerevisiae sangat potensial untuk memproduksi
etanol dari selobiosa secara langsung pada konsentrasi yang tinggi (Tabel 2).
Selulosa
β -- glukosidase
Glukosa Etanol
HambatHambat Hambat
Eksoglukanaseendoglukanase
Sakarifikasi dan fermentasi sinambung
Selobiosagula lain
Khamir
Page 7
Tabel 2. Sakarifikasi dan fermentasi simultan selebiosa menjadi etanol menggunakan berbagai katalis
Katalis yang digunakan
Produksi etanol final
(g/l)
Etanol (g/g
substrat)
Sumber acuan
Imobilisasi sel ganda Lypomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae
70.00 0.47 Koesnandar (2001)
Rekombinan Klebsiella oxytoca 45.20 0.49 Wood & Ingram (1992)
Keuntungan lain dari hidrolisis enzim selain dapat bekerja pada
kondisi normal atau tidak memerlukan suhu, tekanan dan pH yang tinggi,
juga produk yang dihasilkan lebih spesifik dan dekomposisi dapat dihindari.
Laju reaksi enzim sangat dipengaruhi oleh adsorpsi enzim substrat. Semakin
banyak enzim yang dapat diserap maka semakin tinggi kecepatan reaksi hidrolisis
enzim. Faktor yang mempengaruhi adsorpsi selulase pada selulosa adalah sifat
substrat, konsentrasi enzim, perubahan struktur substrat selama hidrolisis,
inaktivasi selulase oleh produk-produk hidrolisis (Irawadi 1999).
Bioreaktor
Bioreaktor adalah alat yang digunakan untuk memperoleh lingkungan
terkontrol untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga diperoleh produk yang
diinginkan. Dua kriteria penting dalam penggunaan bioreaktor adalah
(1) peralatan harus dapat dioperasikan secara aseptis selama beberapa hari dan
mampu digunakan untuk jangka waktu yang lama, (2) agitasi dan aerasi harus
cukup tersedia agar kebutuhan metabolisme mikroorganisme terpenuhi (Stanbury
dan Whitaker 1984.)
Penggunaan bioreaktor diharapkan antara lain mampu memberikan
kondisi lingkungan seperti pH, suhu, oksigen terlarut bagi pertumbuhan
mikroorganisme beserta aktivitas metabolik yang diharapkan sehingga tercapai
proses optimum serta dapat dicegah terjadinya kontaminasi yang berasal dari
lingkungan (Hartato dan Sailah 1989). Berdasarkan cara pemberian medium atau
substrat dan pengambilan produk, sistem operasi bioreaktor dapat digolongkan
menjadi sistem batch, kontinyu dan fed-bacth (Hartoto 1991).
Page 8
Tipe Fermentor
Penggolongan tipe fermentor dilakukan berdasarkan mode operasi dan
pola alir fermentor. Sistem yang paling umum digunakan adalah tangki batch
berpengaduk. Pada beberapa kasus, reaktor tipe ini juga dikerjakan secara
fed-batch.
• Fermentor Batch
Fermentor batch relatif sederhana sesuai dengan cara operasinya, sehingga
baik untuk percobaan penentuan kinetika reaksi skala kecil. Konfigurasi fermentor
ini dapat dilihat pada Gambar 2. Beberapa kelebihan fermentor batch antara lain
adalah fleksibilitas operasinya, yaitu lebih mudah dan cepat. Namun
kelemahannya perlu banyak tenaga kerja, dan pengawasan mutu produk yang
rendah selama operasi (Hartato dan Sailah 1989).
Menurut Machfud et al. (1989) tangki fermentor bacth adalah jenis
reaktor yang paling sederhana. Reaktor ini digunakan untuk substrat yang
mempunyai viskositas tinggi. Reaktor jenis ini dapat pula dibuat secara fed-batch
sehingga reaksi dapat berlangsung lebih efisien.
Gambar 2. Penampang fermentor untuk fermentasi skala laboratorium
Uap untuk Sterilisasi
Motor
Pemecah Busa
Medium
Udara Steril
Impeller
Pengendali pH
Page 9
• Fermentor Tangki Teraduk Kontinyu
Jenis fermentor ini tidak berbeda dengan fermentor batch, kecuali adanya
saluran untuk memasukan umpan dan mengeluarkan produk. Perbedaan kedua
jenis fermentor ini terutama pada tangki teraduk kontinyu berjalan secara steady
state yaitu kondisi (konsentrasi dan suhu) dalam fermentor tidak berubah selama
fermentasi. Hal tersebut dapat dicapai dengan adanya aliran umpan masuk dan
aliran produk yang keluar sama secara kontinyu.
Karakteristik penting fermentor tangki teraduk kontinyu adalah kondisi di
dalam fermentor sama dengan kondisi pada aliran keluar. Dengan demikian untuk
mengetahui kondisi di dalam fermentor seperti sisa umpan atau produk yang
terbentuk dapat dilakukan dengan menganalisis cairan fermentasi yang keluar
fermentor (Rahman 1992).
Sistem Operasi Bioreaktor
Berdasarkan pemberian medium atau substrat dan pengambilan produk,
sistem operasi bioreaktor dapat digolongkan menjadi sistem batch, kontinyu dan
fed-batch.
• Sistem Batch
Pada sistem batch atau curah, substrat dimasukkan ke dalam bioreaktor,
kemudian dibiarkan teraduk sampai selang waktu tertentu. Setelah tercapai tingkat
konversi yang dikehendaki, produk yang dihasilkan dikeluarkan. Selang waktu
operasi sistem batch biasanya lebih pendek dari sistem kontinyu. Disebabkan
selama proses tidak ada aliran yang keluar dan masuk dimana dikenal dengan
sistem tertutup. Sistem batch merupakan sistem yang paling sederhana dan efektif
untuk reaksi-reaksi homogen (Hartato 1991).
Pada fermentasi sistem tertutup, setelah inokulasi tidak dilakukan lagi
penambahan medium ke dalam fermentor, kecuali pemberian oksigen,
antibuih dan asam atau basa untuk mengatur pH. Karena itu pada sistem
tertutup ini, dengan semakin lamanya waktu fermentasi, laju pertumbuhan
spesifik mikroorganisme semakin menurun sampai akhirnya pertumbuhan
berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan karena dengan
Page 10
berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan karena dengan
semakin bertambahnya waktu fermentasi, nutrien-nutrien esensial dalam medium
semakin berkurang yang mempengaruhi laju pertumbuhan (Rahman 1992).
• Sistem Kontinyu
Pada sistem ini terdapat aliran medium yang masuk ke dalam bioreaktor
serta ada aliran produk beserta sisa substrat yang belum terkonversi keluar.
Adanya kedua aliran ini menyebabkan sistem ini disebut sebagai sistem terbuka
(Hartato 1991). Lebih lanjut menurut Machfud et al. (1989), bahwa dalam sistem
kontinyu, larutan nutrien steril dalam volume tertentu ditambahkan ke dalam
fermentor secara terus-menerus, dan pada saat bersamaan cairan fermentasi yang
mengandung sel dan produk fermentasi dikeluarkan dari fermentor dengan
volume yang sama.
Sistem kontinyu sangat efektif untuk reaksi homogen dengan jumlah
substrat yang besar. Modifikasi sistem ini antara lain sistem seri yaitu beberapa
bioreaktor digabung atau adanya daur ulang untuk meningkatkan konsentrasi
produk yang diinginkan (Rahman 1992).
• Sistem Fed-Batch
Istilah kultur fed-batch pertama kali digunakan oleh Yoshida et al. (1973)
untuk menggambarkan pengoperasian kultur batch yang secara bertahap. Dengan
adanya penambahan nutrien (media) mengakibatkan volume kultur terus
meningkat. Kultur fed-batch dibandingkan dengan kultur batch konvensional
memiliki beberapa keuntungan yaitu rendahnya konsentrasi gula tereduksi,
tingginya konsentrasi oksigen terlarut di dalam media, penurunan waktu
fermentasi dan meningkatkan produktivitas (Roukas 1996).
Ciri lain dari kultur fed-batch adalah adanya keleluasan untuk mengatur
konsentrasi nutrien tertentu di dalam kultur selama proses berlangsung, yaitu
dengan memanipulasi laju penambahannya (Minihane dan Brown 1986). Oleh
karena itu kultur fed-batch umumnya lebih unggul dibandingkan kultur batch
konvensional khususnya pada proses fermentasi yang produktivitasnya dapat
ditingkatkan melalui manipulasi konsentrasi nutrien medium.
Page 11
Kultur fed-batch sangat ideal diterapkan pada fermentasi yang
pertumbuhan sel atau proses pembentukan produknya peka terhadap konsentrasi
substrat pembatas. Umumnya teknik ini efektif dalam mengurangi pengaruh
inhibisi substrat. Selain itu, teknik ini juga dapat digunakan untuk menghasilkan
konsentrasi sel yang tinggi, mengatasi kehilangan air akibat penguapan
selama fermentasi serta untuk mempertahankan viskositas medium (Minihane
dan Brown 1986).
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi dalam Bioreaktor
• Suhu
Laju pertumbuhan mikroorganisme yang terdiri dari serangkaian reaksi
kompleks yang melibatkan enzim sebagai katalis, akan meningkatkan dua kali
dengan meningkatnya suhu sebesar 10 οC. Peningkatan laju pertumbuhan tersebut
hanya terjadi pada selang suhu tertentu. Pada suhu rendah, laju pertumbuhan
menurun kematian sel meningkat dan akibat mekanisme pengaturan nutrien dan
produk ke dalam dan keluar sel. Pada suhu yang tinggi, laju pertumbuhan
menurun dikarenakan laju kematian sel meningkat akibat denaturasi thermal
komponen protein dan pemecahan struktur sel yang penting seperti fluiditas
membran seluler.
Berdasarkan penelitian Purawisastra et al. (1994) bahwa hasil
fermentasi etanol meliputi konsentrasi, efisiensi dan yield pada
Zymomonas mobilis dalam medium gula dan nira tebu dapat ditingkatkan dengan
penambahan enzim invertase pada suhu 35 οC. Pudjiraharti et al. (1998)
menyatakan bahwa pembuatan asam cuka dari sari buah jambu mete telah
dilakukan dalam fermentor Biostat-B skala 2 liter dimana fermentasi
dilangsungkan pada suhu 35 οC.
• pH
Kondisi medium seperti pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme. Tingkat pH
medium juga mempengaruhi produk yang dibentuk, selain mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh kebenyakan bakteri pada kondisi
Page 12
anaerob cenderung membentuk produk yang bersifat netral selama pertumbuhan
pada pH rendah, sementara pada pH alkalis berubah membuat produk bersifat
asam. Hal ini mengakibatkan pengontrolan pH selama bioreaktor merupakan hal
yang sangat penting.
• Aerasi dan Agitasi
Pada fermentasi alkohol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh
A. aceti B127 secara kultur batch dengan kondisi suhu 30 οC nilai pH awal 4,
konsentrasi etanol 5.0% v/v, inokulum 10% v/v, diperoleh kecepatan pengadukan
terbaik adalah 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24% dengan efisien 71.20%.
Berdasarkan kinetika produksi asam asetat dari etanol hasil fermentasi limbah cair
pulp kakao oleh A. aceti B127 dengan kecepatan aerasi 1.0 vvm sebesar 4.24%
lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan aerasi 0.5 vvm dan 1.5 vvm
(Effendi 2002).
Roukas (1996) menyimpulkan bahwa, kultur fed-batch membuktikan
proses fermentasi untuk produksi etanol lebih baik dibanding kultur batch. Kultur
fed-batch dengan atau tanpa immobilisasi sel S. cerevisiae menghasilkan
konsentrasi etanol maksimum 53 g/l dengan konsentrasi gula awal 250 g/l dengan
feeding rate 250 ml/jam. Pada repeated fed-batch kultur, secara keseluruhan sel
imobilisasi S. cerevisiae memberikan konsentrasi etanol tertinggi.
Kinetika Proses Fermentasi
Pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh mikroorganisme
merupakan proses biokonversi dengan nutrien kimiawi yang diumpankan pada
fermentasi dikonversi menjadi metabolit. Setiap tahap konversi tersebut dapat
dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel atau
produk yang terbentuk persatuaan massa sel atau produk yang terbentuk per-unit
massa nutrien yang dikonsumsi yaitu Y x/s untuk sel dan Y p/s untuk produk.
Hubungan kinetika di antara pertumbuhan dan pembentukan produk
tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dua buah kinetik yang
umum digunakan adalah kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama
pertumbuhan, dan kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama
pertumbuhan terhenti (Said 1987).
Page 13
Menurut Darwis dan Sunarti (1991) produk-produk yang dihasilkan pada
pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk biasanya merupakan
produk-produk langsung dari suatu jalur katabolit seperti pada fermentasi anaerob
glukosa menjadi etanol, atau produk-produk tersebut dihasilkan sebagai
metabolit-metabolit primer dan hubungannya dengan pertumbuhan dinyatakan
dalam persamaan berikut :
• Laju pertumbuhan spesifik
Peningkatan jumlah biomassa (dx) (b/v) selama interval waktu yang sangat
kecil sebanding dengan jumlah biomassa yang ada dan interval waktu :
dtdx ×= μ …(1)
dengan µ adalah laju pertumbuhan spesifik (jam-1).
Xt = X0eµt … (2)
• Growth Yield etanol / asam asetat
Growth yield (Y x/s) didefinisikan sebagai peningkatan jumlah biomassa (x)
sebagai akibat penggunaan substrat (s).
dsdx
sxY −= … (3)
Growth Yield diasumsikan konstan dan dapat berubah jika terlampaui fase
pertumbuhan yang berasosiasi dengan fermentasi.
)()(
0
0
ssxx
sxY
−−
= … (4)
Dengan s dan s0 masing-masing adalah substrat akhir dan substrat awal.
Product yield (Y p/s) dapat dihitung dari persamaan berikut ini :
... (5)
dengan p dan p0 masing-masing adalah konsentrasi produk akhir dan
konsentrasi produk awal.
)()(
0
0
sspp
Ysp −
−=