BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengelolaan Keuangan Daerah
Salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di daerah adalah pengelolaan keuangan daerah, hal ini esensial dan mendasar
untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada serta upaya untuk
mengakomodir berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang akan dinilai dengan uang
termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan keuangan daerah dalam peraturan pemerintah tersebut
mengandung pengertian keseluruhan kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan. Kemudian ketentuan
tersebut juga mengamanatkan, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan
bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat kepada
masyarakat. Kemudian Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegrasi yang diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setiap
tahunnya.
Menurut Jaya (1999:11) keuangan daerah merupakan seluruh tatanan, perangkat
kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah.
Dilain pihak Mamesah (1995:16) menyatakan bahwa keuangan merupakan adalah semua hak
dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang
maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai
oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku.
Kaho (2001:61) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan disini
mengandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa
sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan
tujuan dan peraturan yang berlaku.
Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintah, karena hampir tidak ada
kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Semakin besar jumlah uang yang
tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan.
Demikian juga semakin baik pengelolaannya semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Manullang (1973:67):
“bagi kehidupan suatu Negara, masalah keuangan Negara sangat penting. Makin baik keuangan
suatu Negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam Negara itu. sebaliknya,
kalau keuangan Negara itu kacau maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan
rintangan dalam menyelanggarakan segala kewajiban yang diberikan kepadanya. Demikian
juga bagi suatu pemerintah daerah, keuangan merupakan masalah penting baginya dalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”.
Pentingnya kedudukan keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan juga
diungkapkan Pamudji (dalam Kaho, 2001:125) yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah
tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup
untuk memberikan pelayanan pembangunan, dan keuangan inilah uang yang merupakan salah-
satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Hal yang senada diungkapkan oleh Syamsi (1994) yang
menempatkan keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan
daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Selanjutnya mengenai pentingnya pengelolaan keuangan daerah, Wajong (1975:97)
menyatakan bahwa:
1. Pengendalian keuangan mempunyai pengaruh yang begitu besar pada hari kemudian
bagi penduduk, sehingga kebijaksanaan yang ditempuh pada melakukan kegiatan itu
dapat menyebabkan kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan penduduk
daerah itu;
2. Kepandaian mengendalikan daerah tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
dan abadi, tanpa cara pengendalian keuangan yang baik, terlebih lagi tanpa ada
kemampuan melihat ke muka dengan penuh kebijaksanaan, yang harus diarahkan
pada melindungi dan memperbesar harta daerah, dengan mana semua kepentingan
masyarakat se-daerah sangat erat berhubungan;
3. Anggaran adalah alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana
anggaran yang diperhadapkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah haruslah tepat
dalam bentuk dan susunannya dengan memuat rancangan yang dibuat berdasarkan
keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana.
Begitu pentingnya sektor pengelolaan keuangan daerah, Mardiasmo (1999:11)
mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati
adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi
pemerintah daerah sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral
dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah
seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran,
alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otorisasi pengeluaran di
masa yang akan datang. Ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua
aktivitas di berbagai unit kerja. Penentuan besarnya penerimaan atau pendapatan dan
pengeluaran atau belanja daerah tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Devas, dkk (1989) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan daerah
berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
daerah sebagai berikut.
1) Tanggung jawab (accountability). Pemerintah Daerah harus
mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang
berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala
Daerah dan masyarakat umum.
2) Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata dan dikelola
sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan
baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu
yang telah ditentukan.
3) Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya
harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
4) Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata cara mengurus
keuangan daerah harus sedimikian rupa sehingga memungkinkan program dapat
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah dengan
biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
5) Pengendalian. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas
harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.
Perbaikan kinerja anggaran dan pengelolaan keuangan daerah menduduki posisi penting
dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi dalam pelaksanaan otonomi daerah
dan mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. World Bank (1988)
menyebutkan bahwa perencanaan pengeluaran yang berorientasi pada kinerja akan
meningkatkan kinerja anggaran daerah.
Perkiraan jumlah alokasi dana untuk setiap unit kerja pemerintah daerah dan atau
program kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat pelayanan publik, disesuaikan
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, sehingga identifikasi input, teknik produksi
pelayanan publik dan tingkat kualitas minimal yang harus dihasilkan oleh suatu unit kerja
menjadi syarat dalam menentukan alokasi dana yang optimal untuk setiap unit kerja pelayanan
publik. Dengan demikian pengeluaran pemerintah daerah dapat menciptakan ukuran kinerja yang
akan mempermudah dalam melakukan kegiatan pengendalian dan evaluasi kebijakan pemerintah
daerah. Karena merupakan kebijakan pemerintah daerah, maka orientasi pemerintah daerah pada
pembangunan akan lebih dekat dengan gerak dinamis masyarakatnya. Artinya akan bersifat
terbuka sehingga tuntutan dan kebutuhan public masuk dalam penentuan strategis, prioritas dan
kebijakan alokasi.
Anggaran daerah merupakan desain teknis untuk pelaksanaan strategi, sehingga apabila
pengeluaran pemerintah mempunyai kualitas yang rendah, maka kualitas pelaksanaan fungsi-
fungsi pemerintah daerah juga cenderung melemah yang berakibat kepada wujud daerah dan
pemerintah daerah di masa yang akan datang sulit untuk dicapai. Sebagaimana Ediharsi dkk,
(1998) menyebutkan pengelompokan anggaran menurut sektor lebih mengarah kepada
pemberian informasi tentang prioritas pembangunan daripada penentuan target pertumbuhan.
Manajemen keuangan daerah yang baik diharapkan akan mampu mengontrol kebijakan
keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World Bank
(1998:46) menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah, penganggaran dan
manajemen keuangan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pokok yang meliputi komprehensif
dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi, fleksibilitas, terprediksi, dan informatif.
Menurut Mardiasmo (2000:3) perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan
daerah adalah:
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat
dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran
daerah pada khususnya;
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait
dalam pengelolaan anggaran seperti DPRD, kepala daerah, sekretaris daerah dan
perangkat daerah lainnya;
4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan
keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi
dan akuntabilitas;
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah dan Pegawai Negeri
Sipil daerah baik rasio maupun dasar pertimbangannya;
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi
tahunan;
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional;
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan
publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan
transparansi informasi anggaran kepada publik;
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi,
dan peran anggotan masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat
pemerintah daerah;
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi
anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap
penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta
mempermudah mendapatkan informasi.
Pengelolaan keuangan Negara yang sehat, baik dari sisi penerimaan (revenues) maupun
dari sisi pengelolaan pengelolaan pengeluaran (expenditures), merupakan kata kunci untuk dapat
keluar dari krisis ekonomi. Pengelolaan keuangan yang baik dan transparan harus pula didukung
oleh semua pihak untuk melakukan hal yang sama agar tercipta tatanan yang ideal untuk
menerapkan semua peraturan perundang-undangan yang ada (Sidik, 2000:3).
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mewujudkan pemerintah daerah yang memiliki
kinerja positif, maka pengelolaan keuangan yang baik mutlak diperlukan. Keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari kemampuan daerah dalam mengelola
keuangannya, karena kinerja pengelolaan keuangan merupakan salah satu indikator penting guna
mengukur kinerja pemerintah daerah. Hal ini mudah dipahami, karena adalah mustahil bagi
daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efisien dan
efektif dan dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakatnya tanpa disertai
dengan pengelolaan keuangan yang baik pula.
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD adalah dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD
merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua
penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian
pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan
keuangan daerah, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah dan pembiayaan.
1. Pendapatan Daerah
a. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas
Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas: Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana
Perimbangan; dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
b. Perincian selanjutnya, Pendapatan Asli Daerah terdiri atas: pajak daerah; retribusi
daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD
yang sah.
c. Lain-lain PAD yang sah terdiri dari: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan; hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan; jasa giro; pendapatan bunga; tuntutan ganti rugi; keuntungan selisih
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa
oleh daerah.
d. Pendapatan daerah yang berasal dari Dana Perimbangan terdiri dari: Dana Bagi
Hasil; Dana Alokasi Umum; dan Dana Alokasi Khusus.
e. Pendapatan daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan, adalah Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain
pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang,
dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam
negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.
2. Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah meliputi
semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana
lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam
rangka pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan
dengan ketentuan perundang-undangan.
3. Pembiayaan Daerah
a. Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya Pembiayaan daerah
tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup: SILPA tahun anggaran sebelumnya,
pencairan dana cadangan, basil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan,
penerimaan pinjaman; dan penerimaan kembali pemberian pinjaman.
b. Pengeluaran pembiayaan mencakup: pembentukan dana cadangan, penyertaan
modal pemerintah daerah, pembayaran pokok utang; dan pemberian pinjaman.
2.3 Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
Guna menilai kapasitas pengelolaan keuangan daerah. Bank Dunia dan Kementerian
Dalam Negeri (World Bank, 2006:5) telah berupaya mengembangkan kerangka pengelolaan
keuangan publik dengan membagi kerangka tersebut menjadi Sembilan bidang strategis utama
untuk pengelolaan keuangan publik yang efektif, yaitu: (1) Kerangka peraturan perundang
undangan daerah; (2) perencanaan dan penganggaran; (3) pengelolaan kas; (4) pengadaan barang
dan jasa; (5) akuntansi dan pelaporan; (6) audit internal; (7) hutang dan investasi publik; (8)
pengelolaan asset; serta (9) audit eksternal dan pengawasan.
Kerangka kinerja pengelolaan keuangan daerah yang dikemukakan oleh World Bank
(2006) adalah yang paling terkini. Akan tetapi atas dasar perimbangan penulis dengan
memperhatikan pengaruh signifikan terhadap pengelolaan keuangan daerah pada Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantul, penulis akan menganalisis lebih dalam mengenai kinerja pengelolaan
kenangan daerah hanya ditinjau dari aspek-aspek: kerangka peraturan perundang-undangan
daerah, perencanaan dan penganggaran, pengelolaan kas, akuntansi dan pelaporan, serta audit
eksternal dan pengawasan.
2.4. Bidang-Bidang Strategis Pengelolaan Keuangan Daerah
2.4.1. Kerangka Peraturan Perundangan Daerah
Penegakan kerangka hukum secara efektif mengenai pengelolaan keuangan yang
komprehensif dengan memperhatikan hirarki peraturan perundangan nasional harus dilakukan
oleh pemerintah daerah, Sebelum pemberlakuan desentralisasi undang-undang nasional menjadi
payung hukum bagi administrasi keuangan, tetapi dengan penyerahan kewenangan dan tanggung
jawab fiscal kepada pemerintah daerah, ketentuan peraturan baru dalam hal ini peraturan daerah
maupun peraturan kepala daerah diperlukan keberadaannya untuk mengatar pengelolaan teknis
keuangan yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah, dan untuk Provinsi
Aceh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga
terdapat bab tersendiri yang mengatur mengenai keuangan yang tentunya tidak bertentangan
dengan pengaturan secara nasional.
Mardiasmo (2002:9) memasukkan kerangka hukum dan administrasi sebagai salah satu
upaya pemberdayaan pemerintah daerah di bidang pengelolaan kenangan daerah agar kerangka
hukum dan administrasi tersebut diarahkan untuk mengatur pembiayaan, investasi, dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi
dan akuntabilitas.
Transparansi diperlukan untuk memberi ruang partisipasi bagi masyarakat dalam proses
penganggaran hingga pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah, karena transparansi
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban mencintakan akuntabilitas dan
auditibilitaa (Rakwhadiptodjo, 1996:76). Kerangka peraturan juga akan menjamin sistem
pengelolaan keuangan daerah diatur secara benar sehingga akuntabilitas publik dapat terpenuhi.
2.4.2 Perencanaan dan Penganggaran
Aspek lain dalam reformasi pengelolaan keuangan daerah adalah perubahan paradigma
anggaran daerah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghasilkan anggaran daerah yang benar-
benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan dari masyarakat daerah setempat terhadap
pengelolaan keuangan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien. Menurut Mardiasmo
(2002:106) paradigma anggaran daerah yang diperlukan tersebut adalah:
a. Anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan publik,
b. Anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better
and cost less),
c. Anggaran daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara
rasional untuk keseluruhan siklus anggaran,
d. Anggaran daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented)
untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan,
e. Anggaran daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap
organisasi yang terkait,
f. Anggaran daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksanaannya
untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for
money.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, yang dimaksud dengan perencanaan adalah suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan
sumber daya tersedia. Perencanaan pembangunan terdiri atas perencanaan pembangunan yang
disusun secara terpadu oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Perencanaan
pembangunan oleh pemerintah daerah terdiri dari: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah; dan (3) Rencana Kerja
Pemerintah Daerah
Rencana kerja pemerintah daerah selanjutnya menjadi pedoman penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang didalamnya terdapat rencana keuangan yang secara
sistematis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya.
Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai
tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan
dana dan pertanggungjawaban kepada publik.
Senada dengan apa yang diungkapkan Baswir (1988:26-39), bahwa penyusunan anggaran
berdasarkan suatu struktur dan klasifikasi tertentu adalah suatu langkah penting untuk
mendapatkan sistem penganggaran yang baik yang berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah
dalam mengelola pemerintahannya, sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap
kebijaksanaan dan kemampuan pemerintah. Penyusunan anggaran tidak bisa dilepaskan dari
kondisi eksisting suatu daerah.
Perencanaan dan penganggaran merupakan esensi utama dari pengelolaan keuangan.
Pemerintah daerah tidak akan dapat mengelola keuangannya secara efektif apabila sistem
perencanaan dan penganggaran yang dimiliki tidak baik.
2.4.3 Pengelolaan Kas
Penempatan Pengelolaan kas sebagai aspek strategis yang terpisah mencerminkan
pentingnya melembagakan praktek-praktek penanganan kas yang tepat pada suatu pemerintahan
di daerah.
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Berikut ini beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan
kas didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, serta pedoman pelaksanannya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
1. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah
a. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan
daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan
SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa
uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu)
hari kerja oleh Bendahara Penerimaan dengan didukung oleh bukti yang lengkap.
b. Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah. SKPD
dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah.
SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau
kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan
pemungutan dan penerimaan tersebut.
c. Komisi, obat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung sebagai akibat dari
penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa
termasuk penerimaan bunga, jasa giro atau penerimaan lain sebagai akibat
penyimpanan dana anggaran pada bank serta penerimaan dari hasil pemanfaatan
barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.
d. Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas
umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik/asset daerah yang dicatat
sebagai inventaris daerah.
e. Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan ganti rugi
dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening penerimaan yang
bersangkutan untuk pengembalian penerimaan yang terjadi dalam tahun yang
sama. Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga.
2. Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
a. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk
setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran
belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia
dalam APBD. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran
daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran
belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai
hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas yang
mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan
daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.
Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk belanja yang bersifat mengikat dan
belanja yang bersifat wajib.
c. Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan
Dana (SPD), atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.
d. Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil daerah
dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan
penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan pertimbangan yang
obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh
persetujuan DPRD sesuai dengan katentuan peraturan perundang-undangan.
e. Dalam pelaksanaan pembayaran yang terhulang pajak, bendahara pengeluaran
sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib
menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke
rekening Kas Daerah pada bank pemerintah atau bank lain yang ditetapkan Bupati
sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai ketentuan
perundang-undangan.
f. Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang
diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran. Selanjutnya
dilakukan dengan penerbitan SP2D oleh kuasa BUD.
g. Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Setelah tahun
angaran berakhir, kepala SKPD selaku pengguna anggaran dilarang menerbitkan
SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.
h. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh bendahara
pengeluaran. Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran apabila kelengkapan dokumen, kebenaran
perhitungan dan ketersediaan dana tidak terpenuhi. Bendahara pengeluaran wajib
melakukan hal tersebut karena dia bertanggungjawab secara pribadi atas
pembayaran yang dilaksanakannya.
i. Kepala daerah dapat memberikan izin pembukaan rekening untuk keperluan
pelaksanaan pengeluaran di lingkungan SKPD.
3. Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah
a. Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan
daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.
b. Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening dana cadangan
ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan
kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
daerah tentang pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi.
c. Pemindahbukuan tersebut paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan
digunakan untuk mendanai pelakasanaan kegiatan dalam tahun anggaran
berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke
rekening kas umum daerah tersebut dilakukan dengan surat perintah
pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
d. Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan
daerah didasarkan pada bukti penerimaan yang sah.
e. Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan
diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan
dalam perjanjian pinjaman berkenaan.
f. Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam nilai
rupiah. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada
perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian
pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan
pihak peminjam.
g. Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan
dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian
pinjaman daerah.
h. Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan
dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam
peraturan daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan
yang ditransfer dari rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan
dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan olah kuaaa BUD atas
persetujuan PPKD.
i. Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang
akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam
peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan.
2.4.4 Akuntansi dan Pelaporan
Akuntansi dan pelaporan merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan dalam
melaksanakan pengelolaan keuangan. Aspek ini memerlukan prosedur yang tertata dengan baik
dan pegawai yang terlatih untuk melakukan pencatatan data-data keuangan. Sistem Akuntansi
Pemerintah yang baik diperlukan dalam pencatatan, pelaporan dan pendokumentasian data untuk
membuat Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat lebih akurat
(Reksohadiprodjo, 1996:76). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jones (2000) dalam Suprijadi
(2002:13) tentang pengembangan teknik-teknik akuntansi sektor publik diperoleh pandangan
bagaimana mengembangkan pemikiran aktivitas pekerjaan dari segi nilai hasil sosial, Jones
(2000) selanjutnya menyimpulkan, bahwa untuk mengembangkan teknik-teknik akuntansi sektor
publik diperlukan mendesain ulang proyek, program dan sektor yang senantiasa dikaitkan
dengan struktur organisasi.
Selanjutnya, Gallhofer dan Haslam (dalam Suprijadi, 2002:2014) mengemukakan secara
kritis teori tentang reformasi sistem akuntansi sektor publik di Negara-negara Anglo-Saxon.
Gallhofer dan Haslam (2000) lebih lanjut menyimpulkan bahwa akuntansi sektor publik
memiliki kaitan yang relevan bagi tambahnya perekonomian dengan menekankan terjadinya
efisiensi, efektivitas serta menumbuhkan keinginan bentuk manajemen baru dan akuntabilitas
batu yang cenderung berbentuk pelayanan dari suatu kelembagaan otonomi daerah
Sesuai ketentuan dalam Permendagri 13 tahun 2007, untuk melakukan penyusunan
laporan keuangan. Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang
mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintah daerah
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan kenangan dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan
aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar,
dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu. Sistem akuntansi pemerintahan
daerah sekurang-kurangnya meliputi: prosedur akuntansi penerimaan kas, prosedur akuntansi
pengeluaran kas, prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah, dan proasoW akuntansi tela»
kas.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada pnn»tp
pengendelian internal sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian
internet dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi
pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh
Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD. PPK-SKPD mengkoordinasikan pelaksanaan
sistem dan prosedur penatausahaan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. Dalam
rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan menyusun laporan keuangan
yang meliputi: laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas; dan catatan atas laporan
keuangan. Kemudian entitas akuntansi hanya menyusun laporan keuangan yang meliputi:
laporan realisasi anggaran, neraca; dan catatan atas laporan keuangan.
Akuntansi dan pelaporan dalam pengelolaan keuangan daerah ditujukan untuk membuat
suatu sistem akuntansi yang memastikan akuntansi yang cepat untuk semua transaksi keuangan
dan membuat laporan keuangan yang terpercaya, berimbang dan tepat waktu.
2.4.5 Audit Eksternal dan Pengawasan
Sesuai dengan ketentuan pasal 135 Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005, menyatakan
bahwa pemeriksaan eksternal pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilakukan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemeriksaan dimaksud dilakukan terhadap Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah yang meliputi Laporan Realisasi APBD (LRA), Neraca, Laporan
Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan
Perusahaan Daerah.
Kegiatan Pemeriksaan oleh BPK tersebut merupakan bagian dari reformasi keuangan
yang diharapkan dapat mewujudkan suatu tatanan pengelolaan keuangan yang baik, sehingga
sebagai suatu bentuk evaluasi maupun indikasi dalam melihat kinerja pengelolaan keuangan
daerah ditempuh melalui proses pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangannya.
Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK-RI bertujuan untuk menilai kewajaran
penyajian atas laporan keuangan dengan menggunakan empat kriteria, yaitu: kesesuaian dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Setelah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan BPK mengeluarkan empat jenis
Opini, opini pertama Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion), kedua Wajar dengan
Pengecualian (Qualified Opinion), ketiga Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer of Opinion)
dan peringkat terakhir Tidak Wajar (Adverse Opinion). Opini Wajar Tanpa Pengecualian
merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan terhadap laporan keuangan yang dibuat suatu
lembaga baik institusi pemerintahan maupun korporasi.
Selain audit eksternal dalam mengendalikan pengelolaan keuangan daerah juga
diperlukan pengawasan independen, DPRD merupakan lembaga yang berperan dalam hal ini.
DPRD kabupaten memiliki kewenangan terhadap pengawasan pelaksanaan APBD sebagai
pengawasan keuangan eksternal tingkat kabupaten. Seperti halnya pada pengawasan
pelaksanaan, dalam pengawasan keuangan DRPD kabupaten melakukannya lewat dengar
pendapat, kunjungan kerja, pembentukan panitia khusus dan pembentukan panitia kerja yang
dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD.
Pada hakikatnya, mekanisme audit eksternal memainkan peranan yang tak kalah penting
dalam menciptakan dan mempertahankan pemerintah daerah yang akuntabel. Kondisi ini akan
semakin kuat apabila didukung juga dengan peran DPRD dalam memberikan pengawasan
independen terhadap pengelolaan keuangan daerah.
2.6 Opini BPK RI
Salah satu tugas BPK adalah melaksanakan pemeriksaan keuangan. Pemeriksaan
keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan yang bertujuan memberikan keyakinan
yang memadai bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang
material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi
komprehensif lainnya.
Pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini
atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Adapun kriteria
pemberian opini menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Penjelasan Pasal 16 ayat (l), opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang
disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (a) kesesuaian dengan standar
akuntansi pemerintahan, (b) kecukupan pengungkapan, (c) kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan (d) efektivitas sistem pengendalian intern (SPI).
Oleh karena itu, dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan, selain memberikan opini
atas laporan keuangan, BPK juga melaporkan hasil pemeriksaan atas SPI, dan laporan hasil
pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Terdapat empat jenis opini
yang dapat diberikan oleh pemeriksa (IHPS II, 2010):
a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian – WTP (unqualified opinion), termasuk didalamnya
opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraph penjelasan – WTPDPP (unqualified
opinion with modified wording); opini wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa
laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal
yang material dan informasi keuangan dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan.
b. Opini Wajar Dengan Pengecualian - WDP (qualified opinion); opini wajar dengan
pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan
secara wajar dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang
berhubungan dengan yang dikecualikan, sehingga informasi keuangan dalam laporan
keuangan yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan.
c. Opini Tidak Wajar - TW (adverse opinion); opini tidak wajar menyatakan bahwa
laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal
yang material, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat
digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
d. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat - TMP
(disclaimer of opinion); pernyataan menolak memberikan opini menyatakan bahwa
laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Dengan
kata lain, pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan
bebas dari salah saji material, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan
tidak dapat digunakan olah para pengguna laporan keuangan.
Salah satu kriteria pemberian opini adalah evaluasi atas efektivitas SPI. Pengendalian
intern pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah dirancang dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP). SPI dinyatakan memadai apabila unsur-unsur dalam SPI menyajikan suatu pengendalian
yang saling terkait dan dapat meyakinkan pengguna bahwa laporan keuangan bebas dari salah
saji material.
Lingkungan pengendalian yang diciptakan seharusnya menimbulkan perilaku positif dan
kondusif untuk menerapkan SPI. SPI didesain untuk dapat mengenali apakah SPI telah memadai
dan mampu mendeteksi adanya kelemahan. Kelemahan tersebut mengakibatkan permasalahan
dalam aktivitas pengendalian yang menimbulkan kasus-kasus kelemahan SPI sebagai berikut:
a. Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, yaitu kelemahan sistem
pengendalian yang terkait kegiatan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan.
b. Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, yaitu
kelemahan pengendalian yang terkait dengan pemungutan dan penyetoran
penerimaan Negara/daerah serta pelaksanaan program/kegiatan pada entitas yang
diperiksa.
c. Kelemahan struktur pengendalian intern, yaitu kelemahan yang terkait dengan
ada/tidak adanya struktur pengendalian intern atau efektivitas struktur pengendalian
intern yang ada dalam entitas yang diperiksa.
Pemberian opini juga didasarkan pada penilaian kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan. Hasil pemeriksaan atas laporan keuangan mengungkapkan ketidakpatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian
daerah, kekurangan penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan
ketidakefektifan sebagai berikut:
a. Kerugian negara/daerah (termasuk kerugian yang terjadi pada perusahaan milik
negara/daerah) adalah berkurangnya kekayaan negara daerah berupa uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.
b. Potensi kerugian negara/daerah (termasuk potensi kerugian yang terjadi pada
perusahaan negara/daerah) adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan
datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya.
c. Kekurangan penerimaan adalah adanya penerimaan yang sudah menjadi hak
Negara/daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas Negara/daerah karena adanya
unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.