Penerapan Konseling Client Centered dan Konseling
Kelompok Untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri Pada Siswa
Kelas IX SMP Laboratorium Undiksha Singaraja
Oleh :
Kartini Ayu Trisnawati ( 1329111006 )
Abstrak: Penulisan artikel ilmiah ini bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa kelas IX SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Kegiatan eksperimen yang dilaksanakan dengan subjek terdiri dari empat kelas yang masing-masing terdiri atas 30 orang siswa sehingga total jumlahnya 120 orang. Terdapat 16 siswa yang menampakan rendahnya rasa percaya diri yang dimiliki dilihat berdasarkan persentase hasil kuesionernya dan observasi langsung, dan ke-16 siswa tersebut diberikan tindakan berupa konseling client centered dan konseling kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa upaya rasa percaya diri siswa kelas IX SMP Laboratorium Undiksha Singaraja berhasil, karena terjadi peningkatan rasa percaya diri siswa secara individu maupun kelompok. Yang mana konseling kelompok dengan rata-rata persentase peningkatan sebesar 49,35% dapat dikatakan lebih efektif dibandingkan konseling client centered yang rata-rata persentase peningkatannya hanya 41,44%.
Kata Kunci : Konseling Client Centered, Konseling Kelompok, Percaya Diri
A. Pendahuluan
A.1 Identifikasi Masalah
Dalam pembangunan nasional diperlukan modal dasar yaitu sumber daya
manusia yang sangat menentukan keberhasilan suatu pembangunan nasional.
Untuk menjadi bangsa yang maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain
di dunia, maka diperlukan sumber daya manusia yang cerdas. Untuk dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa dapat ditempuh melalui jalur pendidikan.
Pendidikan adalah suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang
berkembang menuju kepribadian mandiri untuk membangun dirinya sendiri dan
masyarakat. Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi seseorang
serta menentukan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.
1
Disini sekolah merupakan masyarakat belajar yang didalamnya berlangsung
proses belajar mengajar dan untuk menciptakan proses belajar dan mengajar yang
baik, disekolah telah dibuat peraturan dan tata tertib guna memperkuat proses
belajar tersebut. Proses pendidikan di sekolah berlangsung secara sistematis
melalui kegiatan pembelajaran, dengan kurikulum yang jelas dan pasti. Kegiatan
pembelajaran merupakan inti dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah,
karena keseluruhan proses pendidikan di sekolah didominasi melalui proses
pembelajaran. Dengan adanya proses pembelajaran diharapkan setiap siswa
mampu berkembang menjadi lebih baik. Perkembangan kemampuan atau potensi
seseorang tidak akan terwujud begitu saja apabila tidak ada kemauan atau rasa
percaya diri dari siswa itu sendiri.
Rasa percaya diri merupakan salah satu dimensi kualitas sumber daya
manusia yang perlu dipupuk agar perkembangannya menjadi lebih optimal.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut antara bimbingan, pengajaran dan
pelatihan harus saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dengan adanya rasa
percaya diri dari siswa, maka siswa akan mampu mewujudkan pribadi yang
mandiri, takwa dan bertanggung jawab.
Dalam rangka mengarahkan dan mengembangkan segala potensi yang ada
pada diri individu, layanan bimbingan dan konseling sangatlah dibutuhkan. Salah
satu menggunakan konseling client centered yang dapat digunakan dalam
meningkatkan rasa percaya diri. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam proses
pembelajaran sering timbul berbagai permasalahan yang menyebabkan kurangnya
rasa percaya diri siswa, seperti prestasi siswa yang kurang memuaskan, kurangnya
keaktifan dan rendahnya minat belajar siswa. Selain itu ada juga siswa yang tidak
bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah ataupun tidak bisa bergaul dengan
teman-teman di sekolahnya. Hal inilah yang menjadi faktor hilangnya rasa
percaya diri siswa dalam mengikuti proses pembelajaran ataupun dalam proses
beradaptasi di lingkungan sekolahnya.
Merujuk pada UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan menjadi “Konselor.” Keberadaan
konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu
kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,
2
widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No.20/2003, pasal 1 ayat 6).
Pengakuan secara ekplisif dan kesejajaran posisi antara tenanga pendidik satu
dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik,
termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja dan setting layanan
spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.
Sehubungan dengan itu konseling mempunyai peranan dalam rangka
membantu memecahkan masalah siswa sekaligus dapat mengembangkan prestasi
siswa secara optimal. Kemampuan siswa pada prrinsipnya dapat dibagi menjadi
tiga golongan yaitu: kelompok siswa yang berkemampuan tinggi, kelompok siswa
yang berkemampuan sedang dan kelompok siswa yang berkemampuan rendah
atau kurang. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi perlu mendapat pembinaan
dan pengembangan lebih lanjut serta siswa yang tergolong berkemampuan sedang
dan rendah perlu mendapat perhatian khusus agar prestasi mereka bisa meningkat.
Secara teoritis golongan siswa berprestasi rendah, siswa yang bersangkutan
dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Kesulitan belajar disebabkan oleh bermacam-macam faktor, faktor-faktor
tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu: faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala yang bersumber dari
dalam diri siswa seperti perhatian, kecerdasan, motivasi, sikap, berpikir, ingatan,
percaya diri, minat, bakat serta kepribadian. Sedangkan faktor lingkungan belajar
(lingkungan alam dan social) serta faktor system pengajaran (kurikulum, bahan
dan metode pengajaran). Salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dalam
penelitian ini adalah rasa percaya diri siswa dalam belajar, karena rasa percaya
diri merupakan suatu proses pengembangan diri, hal ini dapat diperoleh bagi
seseorang yang betul-betul mau dengan segala kemampuan dan kreatifitasnya
untuk tampil sebagai sosok yang penuh rasa percaya diri. Hal ini memang tidak
mudah, sekalipun telah memiliki motivasi yang kuat maka perlu diupayakan terus
menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan baik dan tentunya kebiasaan baik ini
akan selalu berdampingan dengan rasa percaya diri sehingga bisa dijadikan daya
gerak dan juga pendorong bagi siswa untuk belajar dengan baik, ini berarti
semakin tinggi rasa percaya diri siswa untuk mau aktif dan kreatif dalam belajar
akan semakin baik juga dalam melakukan kegiatan belajar yang pada akhirnya
3
dapat diikuti dengan prestasi belajar yang baik. Sebaliknya semakin rendah rasa
percaya diri siswa untuk mau maju dalam belajar maka aktifitas belajarnya pun
akan semakin rendah.
Maka penelitian yang akan dilaksanakan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan rasa percaya diri yang sifatnya sangat penting, sebab dengan
mengetahui rasa percaya diri siswa dalam belajar berarti secara dini dapat
menyusun upaya dalam pembinaan seperti, dengan memberikan bantuan berupa
layanan yang sifatnya menumbuh kembangkan semangat dan rasa percaya diri
siswa dalam belajar. Dalam penelitian ini akan digunakan konseling client
centered dan konseling kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa,
Jadi melalui pemahaman ini diharapkan rasa percaya diri siswa akan semakin
meningkat.
A.2 Permasalahan Yang Akan Di Angkat
Rasa percaya diri siswa sangat berpengaruh pada potensi yang dimiliki
siswa. jika rasa percaya diri siswa tinggi maka siswa tersebut akan mampu bergaul
atau bersosialisasi dengan teman sebayanya sehingga siswa mampu untuk
mengaktualisasikan dirinya dan mampu menunjukkan potensi dirinya sedangkan
siswa yang memiliki rasa percaya diri yang kuurang maka siswa cenderung malu
untuk bergaul sehingga siswa tidak mampu untuk mengaktualisasikan dirinya
sehingga apapun potensi yang dimiliki siswa tidak akan mampu untuk
ditunjukkan.
Pada umumnya rasa percaya diri siswa dapat diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu tinggi, sedang dan rendah. Namun dalam penelitian ini difokuskan terhadap
siswa yang mengalami rasa percaya diri yang rendah karena siswa tersebut
cenderung menunjukkan prilaku yang malu, tidak mampu bergaul atau
bersosialisasi sehingga tidak mempu mengaktualisasikan diri dan menunjukkan
potensi dirinya.
Dalam penelitian ini digunakanlah konseling client centered karena dalam
teknik konseling ini klien mampu mewujudkan diri sebagai suatu kecenderungan
yang melekat pada organisme untuk mengembangkan kapasitasnya dengan cara-
4
cara yang dapat menjamin, memelihara dan meningkatkan organisme itu sendiri.
Dan Konseling kelompok merupakan layanan yang dilakukan secara kelompok
yang mengikutkan sejumlah peserta dalam bentuk kelompok. Konseling
kelompok mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang
berguna bagi pengembangan, pribadi dan pemecahan masalah individu yang
menjadi peserta kegiatan konseling konseling kelompok. Dalam konseling
kelompok akan terlibat emosi serta prilaku anggota kelompoknya sehingga akan
terjadi saling bertukar pendapat dan pikiran, dalam mendapatkan suatu
kesepakatan dalam pemecahan masalah.
Dengan penerapan konseling kelompok, maka rasa percaya diri yang
tadinya rendah akan dibentuk/dikondisikan sedemikian rupa agar siswa memiliki
rasa percaya diri yang lebih tinggi. Dari dua pendekatan ini mana yang bisa
menuntaskan permasalahan rendahnya rasa percaya diri siswa kelas IX pada SMP
Laboratorium Undiksha Singaraja ini.
B. Kajian Teori
B.1 Jenis Layanan
Menurut Depdiknas, ”program bimbingan dan konseling mengandung empat
komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan
responsif, (3) perencanaan individual, dan (4) dukungan sistem”. Adapun
pengertian tiap-tiap komponen pelayanan tersebut sebagai berikut:
1. Pelayanan Dasar
Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada
seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara
klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka
mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas
perkembangan (yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian)
5
yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil
keputusan dalam menjalani kehidupannya.
2. Pelayanan Responsif
Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli
yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan
dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan
dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan.
3. Perencanaan Individual
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada peserta didik
agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan
perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan
kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang
tersedia di lingkungannya.
4. Dukungan Sistem
Ketiga komponen di atas, merupakan pemberian bimbingan dan
konseling kepada konseli secara langsung. Menurut Gysber & Henderson
(2006: 81), dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan
manajemen, tata kerja infra struktur (misalnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi), dan pengembangan kemampuan profesional konselor secara
berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada
konseli atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa jenis pelayanan
yang akan dilaksanakan adalah pelayanan responsif karena permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh para siswa ini bila tidak diberikan
pertolongan dengan segera akan menimbulkan gangguan dalam proses
pencapaian tugas-tugas perkembangannya.
6
1. Konseling Client Centered
1.1. Pengertian Konseling
Konseling sebagai terjemahan dari “counseling” merupakan bagian dari
bimbingan, baik sebagai layanan maupun sebagai teknik. Layanan konseling
adalah jantung hati layanan bimbingan secara keseluruhan. Konseling berasal
dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang berarti ”dengan” atau “bersama”
yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Namun demikian
penggunaannya sehari-hari telah sangat meluas dan bukan lebih bersifat
konseling. Konseling diartikan bahwa proses pemberian bantuan yang
dilakukan dalam suasana hubungan tatap muka antara orang ahli (yaitu orang
yang telah mengikuti pendidikan khusus dan tertatih secara baik dalam bidang
bimbingan dan konseling) dan seorang individu yang mengalami masalah atau
kesulitan. Yusuf.dkk., 2006 dalam Sedanayasa dan Suranata, (2009)
Menurut Natawidjaja dalam Sukardi, (2008:38) konseling merupakan
suatu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari konseling. Konseling
dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana
seseorang (yaitu konselor) berusaha membantu yang lain (yaitu klien) untuk
mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-
masalah yang dihadapainya pada waktu yang akan datang.
Konseling memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
konseling yaitu untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal
sesuai dengan tahap perkembangan yang dimiliki, berbagai latar belakang yang
ada, serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Sedangkan tujuan
khususnya adalah penjabaran dari tujuan umum yang dikaitkan secara langsung
dengan permasalahan yang dialami oleh individu yang bersangkutan sesuai
dengan permasalahannya. Masalah-masalah individu beranekaragam jenis,
intensitas dan sangkut pautnya serta bersifat unik, oleh karena itu tujuan khusus
bimbingan dan konseling bersifat unik pula. Tujuan konseling antara individu
yang satu berbeda dengan tujuan konseling pada individu lainnya. Menurut
7
Prayitno dan Amti, (1994:114). Jadi masing-masing individu mendapatkan
layanan sesuai dengan masalah yang dihadapinya.
Sedanayasa dan Suranata (2009:19) mengemukakan konseling adalah
usaha membantu konseli atau klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien
dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau
masalah khusus. Dengan kata lain, teratasinya masalah yang dihadapi oleh
konseli atau klien.
Berdasarkan pengertian konseling di atas dapat dipahami bahwa
konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada konseli/klien dengan
tatap muka langsung antara konseli dan klien, yang bertujuan untuk mencari
jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh konseli atau klien.
1.2 Pengertian Client Centered
Seorang tokoh yang bernama Roger dalam Corey (2010) yang
merupakan pelopor dan tokoh konseling, menyatakan bahwa pada dasarnya
konseling yang berpusat pada klien atau client centered sering pula disebut
dengan konseling konsep diri, konseling non-derektif dan konseling regerion
yang mengacu pada proses konseling dimana klien yang menjadi pusatnya dan
bukan konselor. Karena itu dalam proses konseling ini sebagaian besar
kegiatan diletakkan di pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah,
maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan
cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien
untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah
dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-
konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat
kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah
konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
(Sukardi, 2008:121)
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa konseling client
centered adalah teknik yang memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya
dan mampu bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukan.
8
Dalam lingkungan sekolah, melalui teknik client centered guru pembimbing
atau konselor berperan hanya sebagai pendamping dan mengarahkan siswa
untuk memilih jalan keluar dari permasalahannya.
1.3 Pandangan Tentang sifat manusia
Menurut Rogers dalam Corey, (2010: 91-92) menyatakan bahwa
pandangan client centered tentang sifat manusia menolak konsep tentang
kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Sementara beberapa pendekatan
beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan
berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain, kecuali jika telah mengalami sosialisasi. Rogers menunjukkan
kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia
tersosialisasi dan bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi penuh, serta
memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam.
Pandangan manusia yang positif memiliki implikasi-implikasi yang
berarti bagi praktik terapi client centered. Model client centered menolak
konsep yang memandang terapis sebagai otoritas untuk mengetahui mana yang
terbaik serta yang memandang klien sebagai manusia pasif dan hanya
mengikuti perintah-perintah terapis atau konselor. Oleh karena itu, terapis
client centerd berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat
keputusan.
Menurut Rogers dalam Corey (2010) inti konseling client centered
adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan
perwujudan. Hal ini terdiri atas unsur-unsur persepsi terhadap karakteristik dan
kecakapan seseorang, pengawasan, dan konsep diri dalam hubungan dengan
orang lain serta lingkungan.
Kualitas nilai yang dipandang sebagai pertautan dengan pengalaman dan
objek, tujuan serta cita-cita yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan
negatif. Dalam hubungannya dengan konsep aktualisasi diri, Rogers
mendefinisikan keenderungan mewujudkan diri sebagai satu kecenderungan
9
yang melekat dalam organisme untuk mengembangkan kapasitasnya dengan
cara-cara yang dapat menjamin, memelihara dan meningkatkan organisme itu
sendiri.
Dari penjelasan tentang pandangan sifat manusia dapat ditarik suatu
pengertian bahwa teori client centered adalah suatu teori dimana dalam
kegiatan konseling, klien yang harus menentukan jalan keluar pemecahan
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan konselor hanya
mengarahkan dan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang mampu
mendorong klien untuk mengambil keputusan secara mandiri.
1.4 Tujuan Konseling Client Centered
Secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan konseling
client centered ialah untuk membantu individu atau klien agar berkembang
secara optimal sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna.
Secara rinci tujuan dasar dari pendekatan konseling client centered ialah
sebagai berikut: (a) membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang
dihadapinya, (b) menumbuhkan kepercayaan pada diri klien bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mengambil satu atau serangkaian keputusan yang terbaik
bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain, (c) memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain, dan
memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang
lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, (d) memberikan kesadaran kepada
klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya
yang luas, walaupun demikian ia masih tetap memiliki kekhasan atau keunikan
tersendiri serta, (e) menumbuhkan suatu keyakinan pada klien bahwa dirinya
terus tumbuh dan berkembang. (Sukardi, 2008: 136).
Jadi tujuan terapi client centered bukan untuk mengobati klien dalam arti
konveksional, tetapi membantu klien untuk menyadari apa yang mereka
lakukan dan meningkatkan kesanggupan pilihannya yang bebas dan
bertanggung jawab.
10
1.5 Fungsi dan Peranan Konselor
Peran terapis client centered berakar pada cara-cara dan sikap, bukan
pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien
“berbuat sesuatu”. Penelitian tentang terapi client centered tampaknya
menunjukkan bahwa yang menuntut perubahan kepribadian klien adalah sikap
konselor, bukan pengetahuan, teori ataupun teknik yang digunakan. Dengan
menghadapi klien pada taraf pribadi, maka “peran” konselor adalah tanpa
peran. Karena disini konselor hanya mengarahkan klien untuk mencari jalan
keluar dari masalah yang dihadapinya. Adapun fungsi konselor adalah
membangun suatu keadaan yang nyaman supaya klien mau terbuka dengan
konselor.
Jadi terapis client centered membangun hubungan yang membantu
dimana klien akan mengalami kebebasan yang diperlukan untuk
mengeksplorasi hidupnya yang sekarang diingkarinya. Klien menjadi kurang
defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Hal utama yang harus dilakukan konselor adalah bisa membuka diri atau
memberikan rasa aman dan nyaman kepada klien. Seorang konselor harus
memberikan perhatian yang tulus, respek, memotivasi, dan pengertian kepada
klien, karena dengan keadaan yang seperti itu klien akan lebih terbuka dan bisa
menghilangkan persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf hidup yang
lebih baik lagi.
1.6 Karakteristik Konseling Client Centered
Pendekatan client centered di-fokuskan pada tanggung jawab dan
kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara
lebih penuh. Klien orang yang paling mengetahui dirinya sendiri adalah orang
yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Pada dasarnya konseling client centered memiliki karakteristik sebagai
berikut: (a) lebih mengutamakan kemampuan individu memecahkan masalah
dan bukan terpecahkan masalah, (b) lebih mengutamakan sasaran perasaan dari
pada intelek, (c) lebih memperhatikan masa sekarang daripada masa lalu, (d)
11
menunjukkan pertumbuhan emosional dalam hubungan konseling, (e) adanya
proses terapi yang merupakan penyelesaian antara gambaran diri klien dengan
keadaan dan pengalaman diri klien, (f) Hubungan antara klien dengan konselor
merupakan situasi pengalaman terapeutik, yang berkembang menuju pada
kepribadian klien yang integral dan mandiri, (g) Klien memegang peran aktif
dalam konseling, sedangkan konselor bersifat pasif-reaktif.
1.7 Teknik-Teknik atau Prosedur Konseling Client Centered
Pendekatan konseling client centered memberi penekanan pada teknik-
teknik terapeutik. Dimana teknik komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
pemecahan masalah klien. Dalam kerangka client centered, teknik-tekniknya
adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek, dan
pengertian, serta berbagi upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka
acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi, dimana
klien bisa mengungkapkan dengan jujur tentang apa yang dihadapinya, serta
dapat mencari jalan keluar untuk dirinya sendiri.
Pada dasarnya, langkah-langkah dalam proses terapi konseling client
centered adalah sebagai berikut:
1. Individu atas kemauan sendiri datang ke konselor untuk meminta bantuan.
2. Konselor menerapkan situasi terapeutik bahwa yang bertanggung jawab
adalah klien.
3. Konselor mendorong klien agar mampu mengemukakan perasaannya
secara bebas.
4. Konselor menerima, mengenal perasaan-perasaan negatif yang
diungkapkan klien, kemudian meresponnya.
Dalam penelitian ini, langkah-langkah dan teknik-teknik konseling yang
digunakan secara umum, yaitu:
1. Wawancara konseling.
Dalam melaksanakan wawancara konseling Williamson dalam Ahmadi
dan Rohani, (1991:42) terdapat enam langkah yang harus ditempuh
diantaranya:
12
a. Analisis
Analisis adalah proses pengumpulan data, fakta atau informasi tentang
klien dan lingkungannya. Konseling ini bertujuan untuk menggali
sebab-sebab suatu masalah.
b. Synthesis
Suatu langkah pemilihan terhadap sumber data, fakta dan informasi
yang tersedia dipilih sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang
sedang dihadapi. Konseling berperan untuk memadukan kembali atau
menghubungkan sumber masalah atau ke masalah yang lain.
c. Diagnosis
Diagnosis suatu bentuk perumusan kesimpulan tentang hakekat serta
sebab-sebab yang dihadapi. Konseling dalam hal ini bertujuan untuk
menentukan penyebab pokok dari suatu masalah.
d. Prognosis
Prognosis ialah suatu bentuk pemecahan masalah yang dapat dicapai
oleh klien dalam kegiatan konseling. Konseling ini memiliki tujuan
untuk mengajak konseli bersama-sama mencari serta merencanakan
jalan keluar suatu permasalahan.
e. Treatment
Treatment adalah langkah pemeliharaan untuk klien, langkah ini
merupakan inti dari pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai
usaha diantaranya, menciptakan hubungan yang baik antara konselor
dengan klien. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk membicarakan
kembali masalah yang dihadapi.
f. Follow up
Follow up adalah tindak lanjut yang merupakan suatu langkah
penentuan efektif tidaknya suatu usaha konseling yang telah
dilaksanakan.
2. Teknik-teknik wawancara konseling
Untuk dapat melaksanakan wawancara konseling secara efektif dan
komunikatif diperlukan teknik-teknik konseling. Sedanayasa, (2007:25)
13
menyatakan bahwa terdapat sembilan teknik dalam melaksanakan layanan
konseling. Teknik-teknik yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
a. Teknik Rapport (Membuka wawancara konseling)
Keberhasilan konselor dalam fase pembukaan wawancara dapat
menentukan proses dan hasil wawancara selanjutnya. Wawancara
dimulai dengan pertukaran komunikasi, baik verbal maupun non
verbal. Konselor harus dapat memanfaatkan kemampuannya dalam
kedua jenis komunikasi itu pada permulaan wawancara. Kesan pertama
yang baik dapat menimbulkan kesan yang mendalam. Teknik ini
merupakan pembentukan hubungan awal antara konselor dengan
konseli. Karena merupakan awal pertemuan, maka banyak hal harus
diperhatikan. Bagaimanapun juga pertemuan awal adalah kesan
pertama yang menanamkan kepercayaan pada konseli, itu dapat terjadi
jika dalam pertemuan awal kesannya menjadi lancar. Tetapi
sebaliknya, jika dalam pertemuan awal terkesan tidak baik maka bisa
jadi kepercayaan konseli kepada konselor menjadi tidak penuh.
Tindakan – tindakan yang perlu diperhatikan oleh konselor dalam
membuka wawancara konseling adalah :
1. Menyambut kehadiran klien, memberi salam, pandangan penuh
perhatian dalam suasana santai dan kondusif. Selanjutnya
mempersilakan duduk di tempat yang nyaman.
2. Membicarakan topik-topik netral, misalnya menanyakan teman
terdekat, asal siswa/klien, keluarga, dll dengan tujuan
mengkrabkan hubungan. Jika hubungan sudah terasa akrab, maka
konselor hendaknya memulai pembicaraan dengan menyampaikan
pertanyaan “apa yang bisa saya bantu?”, “adakah sesuatu yang
perlu kita bicarakan?”
b. Teknik Acceptance (Menerima apa adanya)
14
Dalam teknik ini, konselor harus bisa menerima klien tanpa syarat,
dalam arti lain konselor harus bisa menerima dan melayani klien tanpa
rasa pamrih atau dilakukan secara sukarela. Istilah yang paling popular
yang digunakan Rogers (1961) adalah penerimaan positif tanpa syarat
(unconditional positive regard). Penerimaan positif tanpa syarat,
berarti klien diterima tanpa syarat apapun dan dihargai sepenuhnya
oleh konselor. Dimana dalam kegiatan konseling ini klien atau konseli
tidak pernah salah.
c. Teknik Restatement (Mengulang pernyataan)
Pernyataan kembali isi pembicaraan ialah pengulangan gagasan
yang dinyatakan oleh konseli dimana dia tidak menyatakan
sebagaimana dirasakan olehnya. Teknik ini digunakan dalam
wawancara konseling untuk menguji dan mempertegas kembali
pernyataan konseli. Disamping itu teknik ini digunakan juga untuk
menguji konsistensi terhadap ucapan yang disampaikan kepada klien.
Konseli setuju dengan pernyataan yang diulang, maka wawancara bisa
dilanjutkan. Sebaliknya, jika konseli mengingkari apa yang dikatakan
sebelumnya maka konselor bisa melakukan klarifikasi atau
konfrontasi. Untuk dapat mendengarkan pernyataan klien dengan utuh
tanpa meninggalkan makna dari pernyataan, maka konselor harus
mendengarkan dengan baik.
d. Teknik Clarification (Menjelaskan)
Teknik ini digunakan untuk memperjelas kembali pernyataan
konseli. Penjelasan ini menggunakan kata-kata singkat konselor sendiri
tanpa menghilangkan makna dari pernyataan konseli. Kata-kata kunci
yang digunakan untuk merespon adalah “pada dasarnya”, “pada
prinsipnya”, dan kata-kata sejenis.
e. Teknik Reflection of Feeling (Memantulkan perasaan)
Sewaktu-waktu konselor perlu merefleksikan perasaan atau sikap
konseli secara jelas. Ini sangat berguna karena banyak konseli yang
tidak dapat memahami apa yang telah dinyatakan atau dikatakannya.
Dalam hal ini konselor harus berusaha menyusun kembali atau
15
mengintensifkan perasaan atau masalah yang telah diungkapkan oleh
konseli. Untuk dapat memantulkan perasaan secara tepat, konselor
diharapkan mengenal jenis-jenis dan klasifikasi perasaan sehingga
dapat merefleksikan perasaan konseli lebih tepat pula. Perlu diingat
bahwa dalam memantulkan perasaan yang tidak pasti, maka beberapa
kata yang dapat digunakan adalah: “sepertinya, rupa-rupanya, agaknya,
nampaknya, cinta, cemas, takut, bosan, malu, kecewa, rendah diri,
sedih, bingung, dll”.
f. Teknik Stucturing (Penstrukturan)
Wawancara konseling merupakan wawancara yang berstruktur.
Dalam teknik ini terlukis tanggung jawab dan kewajiban masing-
masing pihak untuk melaksanakan wawancara konseling. Oleh karena
itu sejak awal perlu diwujudkan struktur yang diinginkan oleh kedua
belah pihak. Hal ini perlu dilakukan untuk dapat membatasi ruang
gerak dari proses wawancara yang dilakukan. Apabila tidak ditentukan
maka akan terjadi proses yang tidak teratur. Penstrukturan penuh
dilaksanakan apabila konseli datang untuk melaksanakan wawancara
konseling atas rujukan pihak lain (tidak berdasarkan keinginan sendiri)
atau juga konseli yang belum pernah melaksanakan wawancara
konseling sebelumnya, sedangkan penstrukturan sebagian
dilaksanakan apabila konseli yang datang dengan keinginan sendiri
(sukarela) atau telah melaksanakan wawancara konseling sebelumnya.
Prinsip atau pembatasan dalam pelaksanaan teknik penstrukturan
adalah sebagai berikut:
1. Pembatasan waktu wawancara (time limit)
Menggunakan waktu yang telah dijanjikan atau disetujui bersama,
dengan lebih efisien. Bahkan keterbatasan waktu dapat juga
menyebabkan klien mengungkapkan topik-topik yang cenderung
dia tangguhkan, batas waktu pada umumnya rata-rata 30 menit
untuk setiap permulaan wawancara konseling.
2. Pembatasan tindakan
16
Klien bebas mengemukakan apa saja yang dirasakan, tetapi tidak
diperkenankan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
aturan, seperti tindakan yang dapat merusak alat atau ruangan.
3. Pembatasan peran
Dapat dinyatakan “saya senang dapat membantu orang yang
menemukan kesulitan”. Namun untuk diketahui bersama bahwa
tugas saya hanya “membantu” menemukan masalah, menemukan
penyebab masalah, dan bila perlu secara bersama-sama mencari
permasalahan yang dihadapi. Sedangkan untuk keputusan dan hasil
wawancara ini terletak pada diri klien.
4. Pembatasan masalah
Membatasi masalah konseling dilakukan untuk membicarakan
suatu masalah dan memecahkannya secara tuntas. Oleh karena itu
dalam wawancara itu hendaknya diperhatika pembatasan dan ruang
lingkup dari masalah yang akan dibahas. Makin sedikit masalah
yang dibahas makin baik, karena pemecahannya akan lebih tuntas.
g. Teknik Question (Bertanya)
Pertanyaan yang diajukan konselor kepada konseli bertujuan untuk
mendorong konseli mengemukakan isi hatinya secara bebas. Untuk
memberikan kebebasan klien mengungkapkan perasaan atau kehendak
dan sebagainya, maka pertanyaan yang diajukan hendaknya tidak
mengharapkan jawaban “ya” atau “tidak” saja. Pertanyaan lebih
banyak bersifat terbuka untuk mendorong konseli lebih banyak
berbicara. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bertanya adalah: (1)
membantu konseli dalam menyatakan isi hatinya, (2) tidak
memaksakan pertanyaan, (3) mengantisipasi keadaan diam dalam
wawancara, (4) menghadapi klien yang menolak dan enggan.
h. Teknik Reassurance (Mendukung)
Dukungan (reassurance) ialah pernyataan konselor yang
memberikan dorongan kepada konseli untuk merangsang timbulnya
rasa hormat diri atau kepercayaan diri sendiri, untuk menimbulkan
empati. Teknik mendukung adalah teknik yang diberikan oleh konselor
17
untuk memberikan dukungan terhadap pernyataan klien. Teknik ini
berfungsi sebagai persetujuan, dorongan serta pereda ketegangan
terhadap pernyataan klien yang dinilai positif, konstruktif dan
produktif bagi tindakannya yang bertujuan untuk mengurangi
ketegangan atau menghapus ketegangan serta menemukan kembali
identitas dirinya. Persetujuan (approval) ialah pernyataan konselor
untuk menilai konseli atas gagasannya, sehingga konselor akan dapat
memberikan bantuan secara emosional.
i. Teknik Mengakhiri
Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahap antara lain: (1)
Konselor mengingatkan kalau waktu sudah hampir barakhir, (2)
Konselor membuat rangkuman yang bisa dilakukan bersama-sama atau
bisa dilakukan oleh konselor, dan bisa pula diserahkan kepada konseli,
(3) Konselor meninjau kembali dan menilai hal-hal yang telah
dibicarakan dalam wawancara konseling.
2. Konseling Kelompok
2.1 Pengertian Konseling Kelompok
Menurut Mudjijono (2009: 5), latar belakang perlunya konseling kelompok
bahwa manusia sebagai mahkluk sosial yang dapat berkembang melalui interaksi
dengan orang lain”. Konseling kelompok merupakan salah satu jenis layanan
bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk membantu memecahkan masalah
pribadi anggota kelompok dan memanfaatkan dinamika kelompok.
Prayitno (dalam Suranata,dkk (2010: 6) mengemukakan bahwa konseling
kelompok adalah proses kegiatan dalam kelompok melalui interaksi social yang
dinamis diantara anggota kelompok untuk membahas masalah yang dialami
setiap anggota kelompok sehingga ditemukan arah dan cara pemecahan yang
paling tepat dan memuaskan.
Konseling kelompok merupakan upaya untuk membelajarkan individu
dalam situasi kelompok dengan mengoptimalkan dinamika kelompok (Suranata
dkk,2010: 5). Dalam konseling kelompok terjadi proses pengentasan masalah
18
pribadi individu/anggota kelompok melalui partisipasi dan keterlibatan anggota
lainnya kelompok dalam memberikan urun wawasan, pengetahuan, pendapat,
pikiran, nilai dan sikap sehingga individu yang di bahas permasalahannya dapat
pemahaman yang lebih baik.
Menurut Gezda (dalam Suranata dkk, 2010: 6) Konseling Kelompok
bersifat perbaikan untuk individu-individu yang mempunyai prilaku suka
menyalahkan dirinya (Self-defeating behavior). Dengan Konseling Kelompok
individu itu diharapkan untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri dengan lebih
cepat dan tidak menimbulkan gangnguan emosi yang berarti.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses
kegiatan dalam kelompok melalui interaksi social yang dinamis diantara anggota
kelompok untuk membahas masalah yang dialami setiap anggota kelompok
sehingga ditemukan arah dan cara pemecahan yang paling tepat dan memuaskan.
Sehingga dengan Konseling Kelompok individu itu diharapkan untuk dapat
mengatasi masalahnya sendiri dengan lebih cepat dan tidak menimbulkan
gangnguan emosi yang berat.
2.2 Tujuan Konseling Kelompok
Ada beberap hal yang hendaknya menjadi tujuan dari pelaksanaan
konseling kelompok. Menurut Mudjijono, (2009: 5) tujuan dari pelaksanaan
konseling kelompok seperti dibawah ini :
Mengembangkan potensi diri, kepribadian, kasih sayang, sosialisasi yang
berguna, antara lain berani berbicara di muka umum, berani mengeluarkan
pendapat, berani menanggapi pendapat orang lain, mampu bertenggang
rasa dan dapat mengembangkan bakat dan minatnya.
Untuk mengentaskan masalah pribadi masing-masing anggota kelompok,
sehingga memperoleh kemandirian.
Secara umum tujuan konseling kelompok adalah berkembangnya
kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta
layanan. Dalam kenyataanya bahwa kemampuan berkomunikasi seseorang sering
terganggu oleh perasaan, pikiran, wawasan yang sempit.
19
Melalui layanan konseling kelompok hal-hal yang menggangu atau
menghimpun perasaan dapat diungkap, dilonggarkan, diringankan melalui
berbagai cara. Pikiran yang suntuk, masalah yang membebani pikiran, akan
dicairkan dan didinamikakan melalui berbagai masukan dan tanggapan baru.
Melalui kondisi dan proses berperasaan berpikir, berpersepsi dan berwawasan
yang terarah, kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi dan bersikap dapat
dikembangkan. Konseling kelompok bertujuan membahas masalah pribadi
individu peserta kegiatan layanan.
2..3 Manfaat Konseling Kelompok
Mudjijono, ( 2009: 6) mengemukakan beberapa manfaat dari diadakan
konseling kelompok. Adapun manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Pemahaman yaitu, anggota kelompok saling memahami diri masing-
masing/ menyadari identitas diri, terutama bagi anggota yang masalahnya
dibahas.
b) Memahami kekuatan, kelemahan diri melalui bantuan orang lain.
c) Memahami dimana letak masalah, kelemahan dan kekuatan dirinya.
2.4 Asas-asas Konseling Kelompok
Adapun asas-asas yang ada dalam konseling kelompok menurut Mudjijono
(2009: 6) antara lain :
a) Asas kesukarelaan; setiap anggota kelompok diharapkan secara sukarela
menyampaikan pendapat tanpa melakukan pemaksaan oleh anggota yang
lain atau oleh pemimpin kelompok
b) Asas keterbukaan; agar kegiatan kelompok menjadi dinamis diharapkan
anggota tidak menutup diri, jujur,tidak malas, tidak merasa malu-malu, tidak
sungkan dalam menyampaikan masalah yang ia alami karena menggangu
suasana hatinya.
c) Asas kerahasian ; apabila dalam pembicaraan kelak berkaitan dengan
kehidupan seseorang, diharapkan kepada semua anggota kelompok untuk
merahasiakannya. Sekalipun masalah klien terkait orang tua, namum tanpa
seijin klien, pihak konselor tetap merahasiakanya.
20
d) Asas kegiatan; partisipasi semua anggota kelompok sangat diharapkan agar
kegiatan menjadi lebih bermakna.
e) Asas kenormatifan; diharapkan dalam menyampaikan ide, pendapat atau
pengalaman dengan gaya bahasa yang baik dan benar, dengan tidak
menyudutkan anggota kelompok lain. Semua yang dilakukan dan
dibicarakan dalam bimbingan dan konseling kelompok harus sesuai dengan
norma adat, norma agama, norma hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku.
f) Asas kekinian ; masalah individu yang ditanggulangi ialah masalah-masalah
yang sedang dirasakan, bukan masalah yang sudah lampau dan juga bukan
masalah yang mungkin akan dialami dimasa depan. Asas kekinian juga
berarti pembimbing tidak boleh menunda memberi bantuan.
g) Asas Kemandirian ; pelayanan konseling bertujuan menjadikan si
terbimbing dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau
pembimbing. Kemandirian sebagai hasil bimbingan menjadi arah dari
keseluruhan proses bimbingan, dan hai itu didasari baik oleh pembimbing
maupun klien.
h) Asas kedinamisan ; usaha pelayanan konseling menghendaki terjadinya
perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku kearah yang lebih
baik yang selalu menuju ke suatu pembaruan dan lebih maju serta dinamis
sesuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaki.
i) Asas keterpaduan ; pelayanan konseling berusaha memadukan sebagai
aspek kepribadian klien. Disamping keterpaduan pada diri klien, juga harus
diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan.
2.5 Ciri - ciri konseling kelompok
Suranata dkk (2010: 7), menyatakan dalam konseling kelompok ciri- ciri
khas konseling kelompok yaitu adanya interaksi yang dinamis. Interaksi yang
dinamis adalah suasana dalam konseling kelompok menunjukkan saling urun
pendapat, berbagai wawasan dan pengalaman, menghargai, dan berbagai rasa
diantara anggota kelompok karena terjalinnya hubungan yang akrab, hangat,
terbuka, saling percaya dan bergairah sehingga terjadi perubahan yang positif
21
dalam diri masing-masing anggota kelompok. Perubahan yang dimaksudkan
adalah perubahan tentang pemahaman tentang diri sendiri, pengembangan diri
sendiri, keterampilan social dan ketrampilan membina hubungan antar pribadi,
kemampuan mengarahkan diri sendiri, kemampuan membuat keputusan dan
memecahkan masalah.
Interaksi yang dinamis dalam konseling kelompok tersebut mengandung
dua hal penting yaitu :
a) Fungsi penyembuhan (terapeutik)
Fungsi konseling kelompok sebagai terapeutik adalah terbebasnya
setiap anggota kelompok dari rasa takut untuk dikecam atau dikritik oleh
orang lain (anggota kelompok lain dan pemimpin kelompok) sehingga ia
bebas menyatakan ide-ide dan kecemasan-kecemasan, kekecewaan-
kekecewaan, melakukan katarsis, menjelajahi diri sendiri secara psikologis
dan mengekspresikan kebahagiaannya. Fungsi konseling ini terjadi karena
terpenuhinya kebutuhan psikologis masing-masing anggota seperti
kebutuhan untuk merasa dimiliki, dihargai, dibanggakan, menghormati,
empati, dan dialog yang hangat serta tamah.
b) Pembahasan masalah pribadi
Konseling kelompok membahas masalah pribadi yang
dikemukakan masing-masing anggota kelompok karena itu konseling
kelompok memungkinkan anggota kelompok untuk memahami dirinya
sendiri seluas dan sedalam-dalamnya, menganalisis dirinya, dan menerima
dirinya sendiri, mengambil keputusan memecahkan masalah dalam dirinya
sehingga dapat menerima dirinya dalam arti tidak bermasalah Gustad dan
Belkin,1975 (dalam Suranata dkk,2010: 9).
2.6 Materi/ Topik Bahasan Konseling Kelompok
Mudjijono (2006: 6) menyebutkan bahwa materi layanan konseling
kelompok secara langsung terfokus pada masalah pribadi yang dialami masing-
masing anggota kelompok, yaitu persoalan pribadi yang menggangu perasaan,
kemauan, aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan bidang perkembangan
pribadi, social, belajar, karir, kehidupan keluarga, dan beragama. Topik yang
22
dibahas dalam layanan konseling kelompok adalah topik bebas, yaitu anggota
secara bebas mengemukakan permasalahan yang dihadapi atau yang sedang
dirasakanya kemudian dibahas satu persatu. Menurut Prayitno (2004: 18),
orientasi dari layanan konseling kelompok adalah terbahas atau terentaskannya
masalah pribadi anggota kelompok yang bersangkutan.
2..7 Dinamika Kelompok
Menurut Prayitno ( 1995: 22), dinamika kelompok adalah “ kekuatan yang
mendorong kehidupan kelompok. Dinamika kelompok merupakan suasana yang
hidup yang ditandai dengan semangat kerja sama antara anggota kelompok untuk
mencapai tujuan kelompok”. Dalam suasana seperti ini seluruh anggota kelompok
menampilkan dan membuka diri memberikan sumbangan bagi suksesnya kegiatan
kelompok.
Menurut S Winkel dan M. M. Sri Hastuti (dalam Giri 2008: 18), dinamika
kelompok juga dapat diartikan dengan berbagai cara, antara lain : studi tentang
hambatan kekuatan-kekuatan sosial dalam suatu kelompok yang memperlancar
atau menghambat proses kerjasama dalam kelompok, sarana atau teknik yang
dapat diterapkan bila sejumlah orang bekerjasama dalam kelompok, misalnya
berperan (role playing) dan observasi terhadap jalanya proses kelompok dan
pemberian umpan balik ( feed back) serta prosudur menangani organisasi dan
pengelolaan suatu kelompok. Tujuan adalah menunjang perkembangan pribadi
dan perkembangan sosial masing - masing angota kelompok serta meningkatkan
mutu kerjasama dalam kelompok guna mencapai aneka tujuan yang bermakna
bagi partisipan.
Prayitno (2007: 7) menyebutkan syarat-syarat kelompok yang mampu
secara aktif mengembangkan dinamika kelompok, yaitu : (1) Terjadinya
hubungan antara anggota kelompok, menuju keakraban diantara mereka, (2)
Tumbuhnya tujuan bersama diantara anggota kelompok dalam suasana
kebersamaan, (3) Berkembangnya itikad dan tujuan bersama untuk mencapai
tujuan kelompok, (4) Terbinanya kemandirian pada diri setiap anggota kelompok,
sehingga mereka masing-masing mampu berbicara dan tidak men jadi yes-man ,
23
(5) Terbinanya kemandirian kelompok, sehingga kelompok ini berusaha dan
mampu “ tampi beda” dari kelompok lain.
2.8 Struktur dalam konseling kelompok
Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi kelompok
pada umumnya. Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang terlibat
dalam kelompok, jumah orang yang menjadi partisipasi, banyak waktu yang
diperlukan bagi suatu terapi kelompok dan sifat kelompok antara lain: a) jumlah
anggota kelompok, b) homogenitas kelompok, c) sifat kelompok, d) waktu
pelaksanaan.
Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut :
a) Jumlah anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena
dinamika kelompok menjadi kurang hidup begitu sebalikya. Untuk menetapkan
jumlah klien yang dapat berpartisipasi dalam konseling kelompok dapat
ditetapkan berdasarkan kemampuan konselor dan pertimbangan efektivitas proses
konseling.
b) Homogenitas kelompok
Sebagain konseling kelompok dibuat homogen dari segi jenis kelamin, jenis
masalah dan gangguan, kelompok usia dan sebagainya. Penentuan homogenitas
keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam
mengelola konseling kelompok.
c) Sifat kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada suatu saat dapat
menerima anggota baru, dan dikatakan tertutup jika keanggotaanya tidak
memungkinkan adanya anggota baru.
d) Waktu pelaksanaan
Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan
oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Menurut Yalom (1975) durasi
konseling yang terlalu lama yaitu diatas dua jam menjadi tidak kondusif, karena
berbagai alasan, yaitu : 1) anggota telah mencapai tingkat kelelahan alasan 2)
pembicaraan cenderung diulang-ulang. Oleh karena itu, aspek durasi pertemuan
24
harus menjadi perhitungan bagi konselor. Dalam kaitanya dengan waktu yang
digunakan, konseling kelompok tidak bisa diselenggarakan dalam interval waktu
yang pendek. Konseling kelompok umumnya diselenggarakan satu hingga dua
kali dalam seminggu.
2.9 Teknik-Teknik Konseling Kelompok
Teknik dalam hal ini berarti cara untuk melakukan sesuatu, jadi teknik-
teknik konseling kelompok adalah suatu cara bagaimana kegiatan konseling
kelompok dilaksanakan. Teknik bukan merupakan tujuan tetapi hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan layanan. Pemilihan dan penggunaan masing-masing
teknik tidak lepas dari keprobadisn konselor, guru atau pemimpin kelompok. Ini
berarti bahwa teknik yang dapat berhasil baik digunakan oleh seseorang konselor
atau pemimpin kelompok belum tentu memberikan hasil yang sama bila
digunakan oleh pemimpin kelompok lain. Untuk itu setiap guru, konselor atau
pemimpin kelompok perlu berusaha untuk mencoba dan mengembangkan
kreativitasnya supaya dapat menggunakan dan memilih teknik yang tepat sesuai
dengan tujuan kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang diharapkan.
Menurut Suranata, (2010: 47) secara umum, teknik-teknik yang dugunakan
oleh pemimpin kelompok dalam menyelenggarakan layanan konseling kelompok
mengacu kepada berkembangnya dinamika kelompok yang diikuti oleh seluruh
anggota kelompok, dalam rangka mencapai tujuan layanan. Teknik-teknik ini
secara garis besar meliputi:
a) Komunikasi multiarah secara efektif dinamis dan terbuka.
b) Pemberian rangsangan untuk menimbulkan inisiatif dalam pembahasan,
diskusi, analisis, pengembangan argumentasi.
c) Dorongan minimal untuk mementapkan respond an aktifitas anggota
kelompok
d) Penjelasan, pengalaman, dan pemberian contoh untul lebih memantapkan
analisis, argumentasi dan pembahasan.
e) Pelatihan untuk membentuk pola tingkah laku (baru) yang dikehendaki.
25
Teknik-teknik tersebut diawali dengan penstrukturan untuk memberikan
penjelasan dan pengarahan pendahuluaan tentang layanan konseling kelompok.
Segenap teknik tersebut diterapkan oleh pemimpin kelompok secara tepat waktu,
tepat isi, tepat sasaran, dan tepat cara, sehingga pemimpin kelompok sebagai
pemimpin yang berwibawa, bijaksana, bersemangat dan aktif, berwawasan luas
dan terampil.
2.10 Tahapan Konseling Kelompok
Berikut ini akan dipaparkan pendapat ahli tentang tahapan konseling
kelompok. Wobowo, (dalam Wardani 2006: 58). menyatakan bahwa terdapat
beberapa tahapan dalam layanan konseling yaitu, a) Tahapan permulaan, b) Tahap
transisi (peralihan), c) Tahap kegiatan, d) Tahap pengakhiran.
Tahap-tahap diatas lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Tahap Permulaan
Pada tahap ini dilakukan upaya menumbuhkan minat bagi terbentuknya
kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya layanan konseling
kelompok bagi para siswa, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta
memungkinkan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggara
kelompok, yang langkah awalnya dimuai dari tahap pengenalan, tahap pelibatan
diri, tahap menentukan agenda, tahap penentukan norma serta tahap penggalian
ide dan perasaan.
b. Tahap Transisi ( Peralihan)
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum
masa kerja ( kegiatan). Tahap ini merupakan proses dua bagian, yang ditandai
dengan ekspresi sejumlah emosi dan interaksi anggota. Pada masa ini sebenernya
terjadi awal pembentukan suatu hubungan sosial yang dicirikan dengan adanya
tanggapan-tanggapan yang negatife dan kritik dari anggota baik terhadap sesama
anggota maupun terhadap konselor. Ini terjadi karena untuk pertama kali
seseorang bias berprasangka buruk kepada orang lain dan enggan untuk terbuka.
c. Tahap Kegiatan
Tahap kegiatan sering disebut juga sebagai tahap bekerja, tahap penampilan,
tahap tindakan, dan tahap pemecahan yang merupakan inti kegiatan konseling
26
kelompok. Tahap ini merupakan tahap kehidupan yang sebenarnya dari konseling
kelompok, yaitu para anggota kelompok memusatkan perhatian terhadap tujuan
yang ingin dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai
topik, menyelesaikan tugas dan mempraktekan prilaku-prilaku baru.
d. Tahap Pengakhiran
Kegiatan suatu kelompok tidak mungkin berlangsung terus menerus tanpa
henti. Setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap kegiatan, kegiatan
kelompok ini kemudian menurun dan selanjutnya kelompok akan mengakhiri
kegiatan pada saat yang dianggap tepat.
Prayitno, ( 1995: 40) menyatakan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam
layanan konseling yaitu, a) Tahapan pembentukan, b) Tahap peralihan, c) Tahap
kegiatan, d) Tahap pengakhiran.
a. Tahap I Pembentukan
Pada tahap pertama ini, adalah tahap pengenalan dan pengungkapan tujuan.
Tahap pengenalan berujuan agar antara anggota kelompok saling mengenal satu
dengan yang lainnya dan tercipta keakraban. Pengungkapan tujuan dilakukan agar
semua anggota kelompok memahami apa yang sebenarnya tujuan melakukan
konseling kelompok. Pada tahap awal ini mungkin adalah suatu keadaan dimana
para anggota kelompok belum merasakan adanya keterikatan. Kelompok yang
terbentuk sesudah tahap awal yang sedang mengalami tahap pembentukan itu
agaknya baru merupakan suatu kumpulan orang-orang yang saling tidak
mengenal. Pada tahap awal ini pimpinan kelompok harus bisa merangsang dan
memantapkan keterlibatan anggota kelompok dan pimpinan kelompok juga perlu
mebangkitkan minat-minat, menumbuhkan sikap kebersamaan dan perasaan
kelompok. Peranan pimpinan kelompok dalam tahap pembentukan perlu
memusatkan usaha pada, (a) Penjelasan tentang tujuan kegiatan, (b) Penumbahan
rasa saling mengenal antar anggota, (c) Penumbuhan sikap saling mempercayai
dan saling menerima, (d) Dimulainya pembahasan tentang tingkah laku dan
suasana perasaan kelompok.
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh pemimpin kelompok
dalam tahap ini. Teknik ini berguna bagi pengembangan sikap anggota kelompok
yang semula tumbuh secara lambat, a) Teknik pertanyaan dan jawaban salah satu
27
teknik tersebut adalah para anggota menulis jawaban atas suatu pertanyaan pada
selembar kertas yang disediakan oleh pemimpin kelompok. Misalnya siapakah
saya? Apakah sudah saya kerjakan? Dan sebagainya. Cara ini adalah awal dari
usaha anggota untuk mengungkapkan diri sendiri, b) Teknik perasaan dan
tanggapan. Teknik lain adalah mempersilahkan atau minta masing-masing
anggota kelompok megemukakan perasaan dan tanggapannya atas sesuatu
masalah atau suasana yang mereka rasakan pada saat pertemuan itu berlangsung,
c) Teknik permainan kelompok. Berbagai permainan kelompok seperti “ udara,
laut,udara” , “ komunikata”, “ tulis punggung” dan sebagainya dapat digunakan
untuk menciptakan suasana yang hangat dan menumbuhkan keakraban antara
anggota kelompok.
b. Tahap II Peralihan
Untuk memasuki tahap inti tahap peralihan perlu ditempuh. Pada tahap ini
pemimpin kelompok menjelaskan peranan-peranan para anggota kelompok dalam
kelompok bebas atau kelompok tugas. Kemudian pemimpin kelompok
menawarkan apakah para anggota kelompok sudah siap memulai kegiatan lebih
lanjut.
c. Tahap III Kegiatan
Karena tahap ketiga adalah inti kegiatan kelompok, maka aspek-aspek yang
menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak. Tahap ini merupakan kehidupan
yang sebenarnya dari kelompok, pada tahap ini amat tergantung pada hasil dari
dua tahap sebelumnya. Pada tahap kegiatan adapun hal-hal yang dilakukan adalah,
a) Pengakuan permasalahan. Setiap anggota kelompok bebas mengemukakan apa
saja permasalahan yang dialami. Permasalahan itu dapat merupakan sesuatu yang
dirasakan atau dialami oleh anggota kelompok yang bersangkutan. Dalam hal ini
anggota kelompok dapat mengemukakan masalah yang sedang dialaminya sediri
yaitu masalah pribadi. Dengan mengemukakan masalah pribadinya itu anggota
yang bersangkutan mengharapkan agar rekan-rekan ekelompok bersedia
membantu memecahkan masalah yang diungkapnya itu, b) Pemilihan Masalah
atau Topik. Kegiatan selanjutnya adalah membahas masing-masing masalah atau
topic itu satu persatu. Setelah anggota kelompok mengemukakan masalahnya
peranan pimpinan kelompok memiliki tugas untuk mengemukakan masalah atau
28
topik mana yang akan dibahas terlebih dahulu. Dintara anggota-anggota ada yang
menginginkan agar masalah tertentu yang dibicarakan terlebih dahulu, sedangkan
anggta yang lain menghendakan masalah yang lain didahulukan. Dalam hal ini
dinamika kelompok berkembang kearah saling memberi alasan, meninjau atau
mendalami masalah atau topic yang dimaksud. Meskipun pemimpin kelompok
telah menapilkan beberapa pertimbangan, namun tetap anggota keompok yang
akan menentukan pertimbangan mana yang akan dipakai.
d. Tahap IV Pengakhiran
Pada tahap pengakhiran ini kegiatan kelompok dipusatkan pada
pembahasan dan penjelajahan apakan para anggota kelompok akan mampu
menerapkan hal-hal yang telah mereka mempelajari pada kehidupan nyata mereka
sehari-hari. Peranan pemimpin kelompok disini adalah meminta anggota
kelompok yang masalahnya dibahas untuk mengulangi kembali perubahan
tingkah laku dan keyakinan yang irasional untuk memecahkan masalahnya sesuai
dengan kesepakatan dalam kelompok serta memberikan penguatan terhadap hasil-
hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu, khususnya terhadap keikutsertaan
secara aktif para anggota kelompok dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh
masing-masing anggota kelompok.
Dalam penelitian ini digunakan tahapan konseling kelompok menurut
Wobowo, (dalam Wardani 2006: 58). Adapun tahapannya yaitu : Tahap
permulaan, tahap transisi (peralihan), tahap kegiatan, tahap pengakhiran.
3. Percaya Diri
3.1 Pengertian Percaya Diri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kata “Percaya adalah
mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar ada atau nyata,” dan istilah
kata “Diri adalah Orang seorang (terpisah dari yang lain).” Hasan dan kawan-
kawan, dalam buku Kamus istilah Psychology, mengatakan bahwa “percaya diri
adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari
kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkannya secara tepat”. (Agung
dan Iswidharmanjaya, 2004:13). Seorang psikolog W. H. Miskell telah
29
mendefinisikan arti percaya diri dalam bukunya yang berpengaruh, Mental
Hygiene. Tulisnya, “Percaya diri adalah penilaian yang relatif tetap tentang diri
sendiri, mengenai kemampuan, bakat, kepemimpinan, inisiatif dan sifat-sifat lain,
serta kondisi-kondisi yang mewarnai perasaan manusia”. (Agung dan
Iswidharmanjaya, 2004:13).
Lain halnya dengan Maslow seorang psikolog terkenal, mengatakan bahwa
“percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri
(eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan
mampu mengenal dan memahami diri sendiri. Sementara itu, kurang percaya diri
dapat menghambat pengmbangan potensi diri. Jadi orang yang kurang percaya
diri akan menjadi seseorang yang pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan
ragu-ragu untuk menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan
sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain”. Bisa dibilang orang
yang percaya diri adalah orang yang mandiri, yaitu berdiri sendiri tanpa
tergantung pada orang lain sepenuhnya. Kemandirian dalam pribadi percaya diri
terbentuk karena yakin pada kemampuannya serta telah mengenal kekurangan dan
kelebihan yang ada dalam dirinya (Agung dan Iswidharmanjaya, 2004:13).
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan
dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa
individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri.
Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa
aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi,
yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa, karena didukung oleh pengalaman,
potensi aktual, prestasi harapan yang realistik terhadap diri sendiri (htm/konsep
diri, 2002:1).
Berdasarkan uraian di atas, percaya diri adalah keyakinan pada diri sendiri
baik itu tingkah laku, emosi, dan kerohanian yang bersumber dari hati nurani
untuk mampu melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup agar hidup lebih bermakna.
3.2 Aspek-aspek Percaya Diri
30
Menurut Angelis (2003:58-77), dalam mengembangkan percaya diri
terdapat tiga aspek yaitu:
a) Tingkah laku
Adalah kepercayaan diri untuk mampu bertindak dan menyelesaikan
tugas-tugas, baik tugas-tugas yang paling sederhana, seperti membayar
semua tagihan tepat waktu, hingga yang bernuansa cita-cita untuk meraih
sesuatu. Sebagian orang yang mempunyai kadar kepercayaan diri yang
besar yang berkenaan dengan tingkah laku, maka ia akan sukses dalam
banyak hal. Mengembangkan kepercayaan diri tingkah laku terdapat empat
ciri penting, yaitu:
1. Percaya atas kemampuan sendiri untuk melakukan sesuatu
2. Percaya atas kemampuan untuk menindaklanjuti segala prakarsa
sendiri secara konsekuen.
3. Percaya atas kemampuan pribadi dalam menanggulangi segala
kendala.
4. Percaya atas kemampuan diri untuk memperoleh bantuan.
b) Emosi
Adalah kepercayaan diri untuk yakin dan mampu menguasai segenap sisi
emosi. Untuk memahami segala yang dirasakan, menggunakan emosi
untuk melakukan pilihan yang tepat, melindungi diri dari sakit hati, atau
mengetahui cara bergaul yang sehat dan langgeng. Makin sering kita
bergaul dengan hati kita dan menghargainya, makin tinggi kepercayaan
diri emosional kita, dan makin tegar pula kita menghadapi lingkungan
sosial kita. Mengembangkan kepercayaan diri emosional, terdapat lima ciri
penting, yaitu:
1. Percaya terhadap kemampuan diri untuk mengetahui perasaan diri
sendiri.
2. Percaya terhadap kemampuan untuk mengungkapkan perasaan diri
sendiri.
3. Percaya terhadap kemampuan untuk menyatukan diri dengan
kehidupan orang-orang lain, dalam pergaulan yang positif dan penuh
pengertian.
31
4. Percaya terhadap kemampuan untuk memperoleh rasa sayang,
pengertian, dan perhatian dalam segala situasi, khususnya di saat
mengalami kesulitan.
5. Percaya terhadap kemampuan mengetahui manfaat apa yang dapat
disumbangkan kepada orang lain.
c) Kerohanian (spiritual)
Adalah keyakinan pada takdir dan semesta alam, keyakinan bahwa hidup
ini memiliki tujuan yang positif, bahwa keberadaan punya makna dan ada
tujuan tertentu dari hidup. Kepercayaan spiritual berawal dari kesadaran
tentang siapa kita sebenarnya, lepas dari raga dan pribadi kita, leps dari
segala topeng yang mungkin menutupi kita. Ia berawal dari upaya untuk
menghargai diri kita sendiri, sebagai suatu karya cipta yang unik dan
menakjubkan. Tanpa kepercayaan spiritual, tidak mungkin kita dapat
mengembangkan kedua jenis kepercayaan diri lainnya, yang bersifat
tingkah laku maupun yang bersifat emosional. Mengembangkan
kepercayaan diri spiritual, terdapat tiga ciri penting, yaitu:
1. Percaya bahwa semesta ini adalah suatu misteri yang terus
berubah, dan bahwa setiap perubahan dalam kesemestaan itu
merupakan bagian dari suatu perubahan yang lebih besar lagi.
2. Percaya atas adanya kodrat alami, sehingga segala yang terjadi
tidak lebih dari kewajaran belaka.
3. Percaya pada diri sendiri dan pada adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa dan Maha Tinggi, Yang Maha Tahu atau apapun ungkapan
rohani kita pada Maha Pencipta semesta ini.
Selanjutnya Suny Postdam Counseling Center, 1993:3 (dalam Ardana,
2003:39-40) menawarkan strategi pengembangan percaya diri, yaitu: (1)
menekankan kekuatan, memberikan penilaian bagi diri untuk segala sesuatu yang
diupayakan. Melalui pemusatan kepada apa yang akan dilakukan, dengannya
seseorang menghargai dirinya atas upaya-upaya yang dilakukannya dari pada
menekankan akhir hasil kerja, (2) mengambil resiko, mengadakan pendekatan
pengalaman baru dalam kehidupan sebagai kesempatan untuk belajar dari
peristiwa menang dan kalah. Melakukan hal-hal dengan terbuka untuk membuka
32
kemungkinan baru yang dapat meningkatkan rasa penerimaan diri, jangan
mengubah setiap kemungkinan menjadi kesempatan untuk gagal, (3) berbicara
pada diri sendiri, berbicara pada diri sendiri adalah sebuah kesempatan untuk
melawan asumsi-asumsi yang merugikan. Hal ini akan mengijinkan seseorang
untuk menerima dirinya, sementara ia masih berupaya untuk meningkatkan rasa
percaya diri.
Berdasarkan beberapapendapat diatas, untuk mengungkapkan variabel
percaya diri, dalam penelitian ini digunakan teori yang dikemukakan oleh
Angelis, bahwa percaya diri terdiri dari tiga aspek, yaitu : (1) percaya diri dalam
tingkah laku, (2) percaya diri emosional, dan (3) percaya diri spiritual.
3.3 Ciri-ciri Percaya Diri
Berikut ini tabel pengelompokkan ciri-ciri orang yang percaya diri dan ciri-
ciri orang yang kurang percaya diri.
Tabel 1. Pengelompokkan Ciri-ciri Orang yang Percaya Diri dan Ciri-ciri
Orang yang Kurang Percaya Diri.
Orang yang Percaya Diri Orang yang Kurang Percaya
Diri
Bertanggug jawab terhadap
keputusan yang telah dibuat
sendiri
Mudah menyesuaikan diri
dengan lingkunan baru
Pegangan hidup cukup kuat,
mampu mngembangkan
motivasi
Mau bekerja keras untuk
mencapai kemajuan
Yakin atas peran yang
dihadapinya
Berani bertindak dan
mengambil setiap kesempatan
Tidak bisa menunukkan
kemampuan diri
Kurang berprestasi dalam studi
Malu-malu, canggung
Tidak berani mengungkapkan ide-
ide
Cenderung hanya melihat dan
menunggu kesempatan
Membuang-buang waktu dalam
membuat keputusan
Apabila gagal cenderung untuk
menyalahkan orang lain
Rendah diri bahkan takut dan
merasa tidak aman
33
yang dihadapinya
Menghargai diri secara positif
Yakin atas kemampuannya
sendiri dan tidak terpengaruh
orang lain
Optimis, tenang, dan tidak
mudah cemas
Mengerti akan kekurangan
orang lain
3.4 Cara Memupuk Percaya Diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proposional maka individu
harus memulainya dari dalam diri sendiri. Berikut cara memupuk rasa percaya
diri:
a) Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan”
pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri
baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang
dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan
diri. Sadari semua asset-aset berharga anda dan temukan asset yang belum
dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi
perkembangan diri anda, seperti : pola berpikirnya yang keliru, niat dan
motivasi yang lemah, kurang disiplin diri, kurangnya ketekunan dan
kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab
eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths,
Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk
membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
b) Beri penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda
miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi
dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan
34
satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau
menghilangkan satu jejak yang membantu anda menemukan jalan yang
tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri,
mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan,
contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting
dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya
bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri
sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri-hingga berusaha mati-
matian menutupi keaslian diri.
c) Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prangsangka atau persepsi negatif yang
muncul dalam benak anda. Anda bisa katakana pada diri sendiri, bahwa
nobody’s perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran
negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar,
bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit
dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai
pikiran dan perasaan anda. Hati-hatilah agar masa depan anda tidak rusak
karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran
itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di review kembali
secara logis dan rasional.
d) Berani mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, anda bisa memprediksi resiko
setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, anda tidak perlu
menghadapi setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi
untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya,
anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko
ditolak. Jika anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti
yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun,
lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa dari pada maju
bertumbuh dengan mengambil resiko
35
B.2 Kerangka Berpikir
Rasa percaya diri pada dasarnya merupakan suatu keyakinan untuk
menjalani kehidupan, memperhatikan pilihan dan membuat keputusan
pada diri sendiri bahwa ia mampu untuk melakukan sesuatu. Menurut
Angelis (2003), dalam mengembangkan percaya diri ada tiga aspek yaitu
tingkah laku, emosi, dan spiritual.
Maka eksperimen yang akan dilaksanakan ini dimaksudkan untuk
memperoleh pendekatan konseling mana yang efektif dalam meningkatkan
rasa percaya diri siswa. Keterkaitan antara keduanya adalah dimana
diberikannya model konseling client centered dan konseling kelompok
untuk membantu siswa dalam meningkatkan rasa percaya diri. Konseling
client centered dan konseling kelompok merupakan bantuan yang dapat
diberikan kepada siswa atau klien yang mengalami masalah kepercayaan
diri. Konselor membantu siswa agar sadar atas keberadaan dan potensi
yang klien miliki, serta sadar membuka diri dan bertindak berdasarkan
kemampuannya.
B.3 Hipotesis
Sehubungan dengan adanya keterkaitan antara konseling client centered
dan konseling kelompok serta rasa percaya diri maka hipotesis penelitian yang
diuji dalam penelitian ini adalah penerapan konseling client centered dan
konseling kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri pada siswa kelas IX di
SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.
Hipotesis Mayor :
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling client centered
dan konseling kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri pada siswa kelas
IX di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja.
36
Hipotesis Minor :
Ada pengaruh yang signifikan penerapan konseling client centered untuk
meningkatkan rasa percaya diri pada siswa kelas VIII di SMP
Laboratorium Undiksha Singaraja.
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan konseling kelompok untuk
meningkatkan rasa percaya diri pada siswa kelas VIII di SMP
Laboratorium Undiksha Singaraja.
C. Metodologi Pelayanan
Dalam penelitian ilmiah, penelitian harus menggunakan metode ilmiah
yang jelas untuk mencapai kebenaran. Metode ilmiah sangat diperlukan dalam
kegiatan penelitian agar pengetahuan yang diperoleh dipercaya kebenarannya.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah penerapan konseling
client centered dan konseling kelompok untuk meningkatkan rasa percaya diri
pada siswa kelas IX di SMP Laboratorium Undiksha Singaraja. Dalam penelitian
ini peneliti menggunakan penelitian eksperimental, penelitian eksperimental
merupakan penelitian yang dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment)
tertentu terhadap subjek penelitian yang bersangkutan. Dengan menggunakan
desain gabungan antara One – Shoot Case Study dan One Group Pretest-Posttest
Control Group Design. One – Shoot Case Study merupakan desain penelitian
yang terdapat suatu kelompok diberi treatment dan selanjutnya diobservasi
hasilnya, treatment adalah sebagai variabel independen dan hasil adalah sebagai
variabel dependen. Dalam eksperimen ini subjek penelitian akan diberikan
beberapa treatment lalu diukur hasilnya. Untuk kemudahan membandingkan hasil
antar dua pendekatan ini maka akan dilaksanakan juga dengan One Group
Pretest-Posttest Control Group Design yang telah dikembangkan dalam rangka
menemukan perbandingan yang mana antara dua treatment yang diberikan yang
lebih efektif dalam meningkatkan rasa percaya diri, yakni dalam penelitian ini
terdapat dua kelompok yang digunakan sebagai kelompok eksperimen (KE) yang
diberikan dua treatment yang berbeda tanpa adanya kelompok kontrol.
37
Tabel 2. Rancangan Penelitian
Keterangan :
KE 1 : Kelompok eksperimen dengan konseling kognitif perilaku
KE 2 : Kelompok eksperimen dengan konseling rasional emotif
X1 : Treatment I (konseling kognitif perilaku)
X2 : Treatment II (konseling rasional emotif)
O1 : Pretest
O2 : Posttest
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP Laboratorium Undiksha
Singaraja. Sebagai subjek penelitian jumlah siswa kelas IX adalah 4 kelas
masing-masing kelas terdiri atas 30 siswa. Dari seluruh populasi siswa tersebut
pada saat penelitian ini diambil beberapa orang siswa yang rasa percaya diri
rendah untuk dibagi menjadi dua kelompok dan satu kelompok diberikan
konseling client centered dan satu kelompok lagi akan diberikan konseling
kelompok untuk rasa percaya diri siswa tersebut.
Objek penelitian yang dilaksanakan ini adalah bagaimana cara untuk
meningkatkan rasa percaya diri siswa kelas IX SMP Laboratorium Undiksha
Singaraja.
Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan selama proses pemberian
treatment sebagai berikut :
Tahap perencanaan. Tahap dilaksanakan di awal penelitian.
Perencanaan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a. Meminta ijin dan berkonsultasi kepada kepala sekolah, guru BK, guru
wali kelas untuk melakukan eksperimen dengan subjek siswa kelas IX
untuk mengetahui siswa yang kemungkinan memiliki rasa percaya diri
rendah.
b. Menyusun jadwal kegiatan eksperimen.
38
KE 1 O1 X1 O2
KE 2 O1 X2 O2
c. Mempersiapkan tempat untuk melakukan kegiatan konseling.
d. Menyusun dan mempersiapkan pedoman observasi yang akan
digunakan untuk memantau pelaksanaan dan hasil tindakan.
e. Menyebarkan kuesioner tentang percaya diri tahap I (pretest) kepada
siswa kelas IX SMP Laboratorium Undiksha Singaraja untuk
mendapatkan data siswa yang rasa percaya diri rendah.
Tahap Pelaksanaan. Adapun kegiatan-kegiatan yang ditempuh dalam
pelaksanaan tindakan ini adalah:
a. Langkah pertama, memahami masalah klien, dan menganalisis
secara rasional hal apa yang menyebabkan klien kurang
memiliki rasa percaya diri. Hasil pengkajian terhadap masalah
tersebut disampaikan kepada kasus yang dikaji, sehingga klien
menyadari bahwa rasa percaya diri sangatlah diperlukan.
b. Langkah kedua, mengajak klien membahas masalahnya, hingga
klien mengetahui bahwa rasa percaya diri yang klien miliki akan
menentukan masa depannya.
c. Langkah ketiga, mengarahkan klien untuk berprilaku rasional
dengan selalu berpikir positif.
d. Langkah keempat, mengajak klien untuk mengembangkan rasa
percaya diri yang klien miliki, dan tidak malu lagi untuk
menunjukkan minat dan bakat yang klien miliki.
Tahap Observasi dan Evaluasi. Observasi adalah pengamatan atas
hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan terhadap subjek
yang dikenai tindakan. Yang dilakukan untuk mengamati perubahan
yang terjadi pada siswa terkait dengan rasa percaya diri adalah dengan
menggunakan pedoman observasi berdasarkan indikator yang terdapat
pada variabel percaya diri. Selain mengunakan indikator tersebut, pada
tahap ini akan dilakukan penyebaran kuesioner tahap II (posttest)
dimana ini bertujuan untuk mengetahui apakah klien mengalami
39
perubahan sebelum dan sesudah dilakukannya kegiatan konseling
dengan harapan mencapai persentase hingga 80% agar dapat dikatakan
berhasil atau sudah mengalami peningkatan. Adapun pedoman yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Pedoman Observasi Siswa
Aspek Indikator TampakTidak
Tampak
Percaya diri
dalam tingkah
laku
1. Melakukan sesuatu secara
maksimal.
2. Mendapatkan bantuan dari orang
lain
3. Mampu menghadapi segala
kendala
Percaya diri
emosional
1. Mengetahui perasaan sendiri
2. Mengungkapkan perasaan sendiri
3. Memperoleh rasa sayang, rasa
aman, pengertian dan perhatian
disaat mengalami kesulitan
4. Mengetahui manfaat apa yang
disumbangkan
Percaya diri
spiritual
1. Memahami bahwa semesta
adalah misteri yang dapat terus
berubah
2. Menghayati kodrat alami
3. Mengagungkan Tuhan Yang
Maha Esa
40
Kriteria Keberhasilan
Kriteria keberhasilan pemberian treatment ini disesuaikan dengan adanya
perubahan perilaku dari siswa yang memiliki rasa percaya diri rendah dan
disesuaikan dengan persentase pencapaian skor minimal yaitu 80%. Subjek yang
diberikan treatment, bila menunjukkan peningkatan minimal 25% dari skor
awalnya maka dikategorikan berhasil/tepat guna atau sesuai dengan perubahan
perilakunya. Makin banyak perubahan yang positif dari siswa tersebut maka
makin berhasil treatment yang diberikan.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ilmiah, ada beberapa teknik pengumpulan data beserta
masing-masing perangkat pengumpulan datanya, yaitu: (1) Observasi, (2)
Dokumentasi, (3) Wawancara, (4) Angket (kuesioner) (Umar, 2004:40). Dalam
penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu kuesioner. Selain
menggunakan teknik kuesioner penelitian ini juga menggunakan metode observasi
dan wawancara untuk mendapatkan hasil yang lebih relevan.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan memberikan atau
menyebarkan daftar pertanyaan atau pernyataan kepada respon siswa dengan
harapan, responden memberikan respon atas daftar pertanyaan atau pernyataan
tersebut. Daftar pertanyaan atau pernyataan dapat bersifat terbuka jika jawaban
tidak ditentukan sebelumnya dan dapat bersifat tertutup jika alternatif-alternatif
jawaban telah disediakan (Umar, 2004:49). Untuk penelitian ini menggunakan
daftar pernyataan yang bersifat tertutup.
Walaupun metode kuesioner ini memiliki kelemahan, bahwa kita hanya
dapat mengukur sikap seseorang dalam taraf normatif saja dan belum dapat
dipastikan apkah sikap yang diambil dalam taraf normatif itu, sungguh-sungguh
dilaksanakan dalam tindakan yang nyata (Nurkancana, 1990). Penelitian ini tetap
menggunakan metode kuesioner karena kuesioner sangat cocok untuk
mengumpulkan data tentang aspek-aspek kepribadian, seperti: karakter,
tempramen, penyesuaian sikap dan minat. Selain itu ada asumsi bahwa keadaan
diri yang sebenar-benarnya hanya diketahui oleh responden itu sendiri. Untuk
penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data tentang percaya diri. Untuk
41
memperoleh data tersebut, dalam penelitian ini digunakan instrument kuesioner
percaya diri yang dikembangkan berdasarkan teori yang relevan.
Pengembangan Instrumen
Secara operasional, Secara operasional, pengembangan kuesioner percaya
diri melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menyusun kisi-kisi instrument,
(2) Merumuskan butir pernyataan, (3) Melakukan uji validitas dan reliabilitas
(keterandalan) perangkat.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang percaya
diri. Untuk memperoleh data yang akurat dari masing-masing variabel yang
diteliti, maka digunakan kuesioner percaya diri. Dalam penelitian ini kuesioner
percaya diri dikembangkan menjadi tiga aspek, yaitu: (1) Percaya diri dalam
tingkah laku, (2) Percaya diri dalam emosional, (3) Percaya diri spiritual. Masing-
masing butir pernyataan disediakan lima alternatif jawaban yang di klarifikasikan
sesuai dengan skala pola likert, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), kurang setuju
(KS), tidak setuju (TS), sangan tidak setuju (STS). Untuk pernyataan positif
pilihan sangat setuju skornya 5, setuju skornya 4, kurang setuju skornya 3, tidak
setuju skornya 2, dan sangat tidak setuju skornya 1. Untuk pernyataan yang
negatif sangat setuju skornya 1, setuju skornya 2, kurang setuju skornya 3, tidak
setuju skornya 4 dan sangat tidak setuju skornya 5.
Dalam penelitian ini, kuesioner tentang percaya diri disusun sesuai dengan
aspek percaya diri dan dikembangkan sendiri. Adapun kisi-kisi kuesioner dapat
disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Kisi-kisi instrumen percaya diri
Variabel Dimensi IndikatorNomor butir
Positif Negatif Jumlah
Percaya
diri
1. Percaya
diri dalam
tingkah
laku
a. Melakukan sesuatu
secara maksimal
b. Mendapat bantuan
dari orang lain
c. Mampu menghadapi
segala kendala
1, 2, 4
5, 7
8, 9
3
6, 34
10, 33
4
4
4
42
2. Percaya
diri dalam
emosional
a. Mengetahui
perasaan sendiri
b. Mengungkapkan
perasaan sendiri
c. Memperoleh kasih
sayang, pengertian
dan perhatian disaat
menggalami
kesulitan
d. Mengetahui manfaat
apa yang
disumbangkan
kepada orang lain
11, 12
15, 16
17, 20
22, 23
13, 14,
35
18
19
21
5
3
3
3
3. Percaya
diri
spiritual
a. Memahami bahwa
semesta adalah
misteri yang dapat
terus berubah
b. Menghayati kodrat
alami
c. Mengagungkan
Tuhan Yang Maha
Esa
25, 26
27, 28
30, 31
24
29
32
3
3
3
Jumlah 21 14 35
Metode Analisis Data
Hasil perubahan perilaku berupa peningkatan percaya diri dipantau
dengan kuesioner percaya diri, untuk melihat seberapa besar manfaat konseling
client centered dan konseling kelompok dalam meningkatkan percaya diri maka
43
skor hasil penyebaran kuesioner setelah konseling client centered dan konseling
kelompok dilaksanakan, akan di analisis secara deskriptif dengan mengikuti
aturan sebagai berikut :
Menurut Nurkancana, (1990: 170) untuk mengetahui persentase
peningkatan rasa percaya diri digunakan rumus sebagai berikut:
P =
Keterangan :
P = Persentase Pencapaian
X = Skor Aktual
SMI = Skor Maksimal
Kriteria :
90 % - 100% = Sangat Tinggi
80% - 89% = Tinggi
65% - 79 % = Cukup
55 % - 64% = Rendah
0% - 54 % = Sangat Rendah
Sebagai langkah lebih lanjut dalam penelitian ini, dilakukan suatu
prosedur analisis terhadap data-data yang diperoleh peneliti. Tujuan dari analisis
data ini adalah mengungkapkan apa yang ingin diketahui dari penelitian ini.
Dalam menganalisis data yang diperoleh selama melakukan eksperimen
terjadi peningkatan poin yang berarti semakin terentaskannya sebagian masalah
siswa, peningkatan tersebut dapat dihitung melalui skor “Post Rate dan Base
Rate” masing-masing individu dengan menggunakan rumus peningkatan seperti di
atas. Perhitungannya sebagai berikut:
Keterangan :
Pp : Persentase Peningkatan
Base rate : Sebelum Tindakan
Post rate : Setelah Tindakan
44
Metode Pelayanan
Treatment diberikan sesuai dengan teknik yang ada kepada KE agar apa
yang ingin dicapai dalam eksperimen ini akan tercapai, yaitu terentaskannya
masalah krisis identitas siswa dengan menggunakan treatment dibawah ini:
Tabel 5. Perbandingan Konseling Client Centered dan Konseling Kelompok
Aspek
Perbandingan
Konseling Client Centered Konseling Kelompok
Jumlah
konseli yang
dibantu
Hanya seorang saja. Antara 5-10 orang.
Hubungan
antar pribadi
dalam
konseling
Hubungan antara pribadi
terjadi antara konseli dengan
konselor saja.
Hubungan antar pribadi terjadi
antara aggota kelompok atau
konseli dengan konselor dan
antar sesama anggota atau
konseli sendiri.
Tanggung
jawab
konseli
Konseli lebih banyak
bergantung pada konselor saja.
Konseli selain bertanggung
jawab atas tingkah lakunya
sendiri ia juga bertanggung
jawab untuk membantu sesama
konseli lainnya dalam kelompok.
Proses saling membantu antar
konseli ini memungkinkan
mereka tidak terlalu tergantung
pada konselor.
Pusat
perhatian
Konseli lebih terpusat
padahal-hal yang terjadi pada
“there and then”
Konseli-konseli dalam konseling
kelompok lebih memusatkan
perhatian pada hal-hal yang
terjadi pada kelompok (here and
now)
Reality Kemungkinan untuk Memberi kesempatan kepada
45
testing mengadakan reality testing
hanya terbatas pada konselor
saja
konseli untuk reality testing
terhadap masalah-masalah
mereka maupun perubahan
tingkah laku yang ingin
dicobanya.
Insight Diperlukan insight sebelum
mengadakan perubahan
tingkah laku yang nyata.
Dengan adanya kemungkinan
untuk mengadakan reality testing
dalam konseling kelompok,
maka perubahan tingkah laku
sering tanpa disertai insight.
Suasana
dalam situasi
konseling
Hanya mendapatkan
suasanapermissive,
acceptance,dan supporthanya
dari konselor sehingga
terkadang konseli sulit dalam
mendiskusikan masalah yang
sukar baginya.
Adanya suasana permissive,
acceptance, support, dan tekanan
dari kelompok sering
mempermudah konseli untuk
mendiskusikan masalah yang
dirasa sukar baginya.
D. Pembahasan
D.1 Hasil Implementasi Pelayanan BK
Dalam eksperimen yang dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari
lima minggu ini didapatkan hasil pretest dan posttest yang dapat menunjukkan
peningkatan skor yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari tabel hasil
penyebaran kuesioner percaya diri yang telah dipaparkan seperti berikut ini.
Tabel 6. Hasil Penyebaran Kuesioner Percaya Diri Pada PreTest
Kelompok Eksperimen 1 dengan Konseling Client Centered
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor Pretest
Percaya Diri
Persentase(%)
Kategori
46
1 Andi Budiana Komang (AB)
IX - 1 100 57,14 Rendah
2 Ariesta Mahayasa I Kade (AM)
IX - 1 109 62,29 Rendah
3 Ayu Dyah Kusumaningrum (AD)
IX - 2 104 59,43 Rendah
4 Beni Indra Mahendra Putu (BIM)
IX - 2 101 57,71 Rendah
5 Darma Dyana Sudaya Gede (DDS)
IX - 3 98 56 Rendah
6 Dea Meitari I Gusti Ayu (DM)
IX - 3 109 62,29 Rendah
7 Denia Dinara S Putu (DS) IX - 3 107 61,14 Rendah8 Devita Ayu Anjani
Komang (DA)IX - 4 101 57,71 Rendah
Tabel 7. Hasil Penyebaran Kuesioner Percaya Diri Pada PreTest Kelompok
Eksperimen 2 dengan Konseling Kelompok
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor Pretest
Percaya Diri
Persentase (%)
Kategori
1 Estu Putra Kade (EP) IX - 1 96 54,86 Rendah2 Gelgas Airlangga
Abdullah (GA)IX - 1 104 59,43 Rendah
3 Gita Darmayanti Ni Kadek (GDD)
IX - 2 106 60,57 Rendah
4 Jaron Lee Warburton (JL)
IX - 2 100 57,14 Rendah
5 Kurnia Arta Gede (KA) IX - 3 93 53,14 Rendah6 Meita Shintya Mahadewi
Made (MS)IX - 3 90 51,43 Rendah
7 Meilantara Pande Gede (MP)
IX - 4 101 57,71 Rendah
8 Milleni Chovina Devi (MC)
IX - 4 99 56,57 Rendah
Tabel 8. Hasil Penyebaran Kuesioner Percaya Diri Pada PostTest Kelompok
Eksperimen 1 dengan Konseling Client Centered
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor PostTest
Percaya Diri
Persentase (%)
Kategori
1 Andi Budiana Komang (AB)
IX - 1 145 82,86 Tinggi
47
2 Ariesta Mahayasa I Kade (AM)
IX - 1 150 85,71 Tinggi
3 Ayu Dyah Kusumaningrum (AD)
IX - 2 146 83,43 Tinggi
4 Beni Indra Mahendra Putu (BIM)
IX - 2 144 82,29 Tinggi
5 Darma Dyana Sudaya Gede (DDS)
IX - 3 153 87,43 Tinggi
6 Dea Meitari I Gusti Ayu (DM)
IX - 3 140 80 Tinggi
7 Denia Dinara S Putu (DS) IX - 3 142 81,14 Tinggi8 Devita Ayu Anjani
Komang (DA)IX - 4 150 85,71 Tinggi
Tabel 9. Hasil Penyebaran Kuesioner Percaya Diri Pada PostTest Kelompok
Eksperimen 2 dengan Konseling Kelompok
NoNama Siswa( Sampel )
KelasSkor PostTest
Percaya Diri
Persentase (%)
Kategori
1 Estu Putra Kade (EP) IX - 1 150 85,71 Tinggi2 Gelgas Airlangga
Abdullah (GA)IX - 1 147 84 Tinggi
3 Gita Darmayanti Ni Kadek (GDD)
IX - 2 144 82,29 Tinggi
4 Jaron Lee Warburton (JL)
IX - 2 152 86,86 Tinggi
5 Kurnia Arta Gede (KA) IX - 3 140 80 Tinggi6 Meita Shintya Mahadewi
Made (MS)IX - 3 142 81,14 Tinggi
7 Meilantara Pande Gede (MP)
IX - 4 150 85,71 Tinggi
8 Milleni Chovina Devi (MC)
IX - 4 151 86,29 Tinggi
D.2 Penyelesaian Masalah
Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa rendahnya rasa
percaya diri siswa setelah diberikan layanan konseling client centered
ternyata dapat terentaskan. Dari perbandingan hasil pretest - posttest, dapat
dilihat adanya perubahan yang tinggi dalam cara siswa mengatasi
48
rendahnya rasa percaya yang dimiliki. Ini menunjukkan bahwa konseling
client centered efektif digunakan untuk membantu dalam mengkatkan rasa
percaya diri siswa. Hal ini telah terlihat bahwa konseling client centered
bila digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk memecahkan
masalahnya, dengan perlahan hasilnya akan nampak. Berdasarkan analisis
dan pengkajian permasalahan setiap individu diberikan saran sesuai dengan
latar belakang permasalahanya. Kebanyakan yang diberikan berkisar
peningkatan rasa percaya diri yang ada pada siswa serta pmemahami
pentingnya rasa percaya diri siswa dalam melaksanakan tugas sehari-hari
sebagai siswa dalam belajar.
Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi
peningkatan rasa percaya diri siswa yaitu berkisar antara 32,71% sampai
52,16%. Kisaran angka ini terbilang tinggi dan bila diambil rata-rata
persentase peningkatannya maka akan mendapatkan angka sebesar 41,42%,
paparan yang lebih jelas disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 10. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 1 dengan
Konseling Client Centered
No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase
Peningkatan (%)
Skor % Skor %
1 Andi Budiana Komang (AB)
IX - 1 100 57,14 145 82,8645
2 Ariesta Mahayasa I Kade (AM)
IX - 1 109 62,29 150 85,7137,61
3 Ayu Dyah Kusumaningrum (AD)
IX - 2 104 59,43 146 83,4340,38
4 Beni Indra Mahendra Putu (BIM)
IX - 2 101 57,71 144 82,2942,57
5 Darma Dyana Sudaya Gede (DDS)
IX - 3 98 56 153 87,4356,12
6 Dea Meitari I Gusti Ayu (DM)
IX - 3 109 62,29 140 8028,44
7 Denia Dinara S Putu (DS)
IX - 3 107 61,14 142 81,1432,71
8 Devita Ayu Anjani Komang (DA)
IX - 4 101 57,71 150 85,7148,51
Rata-Rata Persentase Peningkatan 41,42
49
Berdasarkan hasil eksperimen diketahui bahwa rendahnya rasa percaya diri
siswa setelah diberikan layanan konseling kelompok ternyata dapat terentaskan.
Dari perbandingan hasil pretest - posttest, dapat dilihat adanya perubahan yang
tinggi dalam cara siswa mengatasi rendahnya rasa percaya yang dimiliki. Ini
menunjukkan bahwa konseling kelompok lebih efektif digunakan untuk
membantu dalam mengkatkan rasa percaya diri siswa. Hal ini telah terlihat bahwa
konseling kelompok bila digunakan secara tepat dalam membantu siswa untuk
meningkatkan rasa percaya dirinya, dengan perlahan hasilnya akan nampak.
Dari hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan terjadi peningkatan
rasa percaya diri siswa yaitu berkisar antara 35,85% sampai 57,78%. Kisaran
angka ini terbilang tinggi dan bila diambil rata-rata persentase peningkatannya
maka akan mendapatkan angka sebesar 49,35%.
Tabel 11. Persentase Peningkatan Kelompok Eksperimen 2 dengan
Konseling Kelompok
No. Nama Siswa KelasPretest Posttest Presentase
Peningkatan (%)
Skor % Skor %
1 Estu Putra Kade (EP) IX - 1 96 54,86 150 85,71 56,25
2 Gelgas Airlangga Abdullah (GA)
IX - 1 104 59,43 147 8441,35
3 Gita Darmayanti Ni Kadek (GDD)
IX - 2 106 60,57 144 82,2935,85
4 Jaron Lee Warburton (JL)
IX - 2 100 57,14 152 86,8652
5 Kurnia Arta Gede (KA) IX - 3 93 53,14 140 80 50,54
6 Meita Shintya Mahadewi Made (MS)
IX - 3 90 51,43 142 81,1457,78
7 Meilantara Pande Gede (MP)
IX - 4 101 57,71 150 85,7148,51
8 Milleni Chovina Devi (MC)
IX - 4 99 56,57 151 86,2952,53
Rata-Rata Persentase Peningkatan 49,35
D.3 Kesimpulan
50
1. Percaya diri siswa dalam belajar meningkat setelah diberikan layanan
konseling client centered. Ini menunjukkan bahwa konseling client
centered efektif digunakan untuk membantu meningkatakan rasa
percaya diri siswa. Namun konseling client centered bisa dikatakan
kurang efisien dalam waktu karena untuk membantu satu siswa saja
memerlukan banyak waktu meskipun telah terjadi rata-rata
peningkatan sebesar 41,44%.
2. Penggunaan konseling kelompok ternyata dapat meningkatkan rasa
percaya diri siswa dalam belajar. Ini menunjukkan bahwa dalam proses
konseling kelompok menggunakan cara- cara interaktif, saling
menukar gagasan dan pengalaman antara sesama anggota kelompok
untuk membahas masalah bersama. Sehingga dalam konseling
kelompok ini siswa betul-betul mau dengan segala kemampuan dan
kreatifitasnya untuk tampil sebagai sosok yang penuh rasa percaya diri
yang tinggi sehingga siswa mampu mengembangkan potensi diri,
kepribadian, kasih sayang, sosialisasi yang berguna, antara lain berani
berbicara di muka umum, berani mengeluarkan pendapat, berani
menanggapi pendapat orang lain, mampu bertenggang rasa dan dapat
mengembangkan bakat dan minatnya dengan waktu yang relatif
singkat serta tepat sasaran telah terjadi rata-rata peningkatan sebesar
49,35%.
3. Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah untuk membantu
meningkatkan rasa percaya diri siswa akan lebih efektif bila
menggunakan konseling kelompok daripda menggunakan konseling
client centered karena dengan memanfaatkan dinamika kelompok
permasalahan siswa lebih cepat terentaskan.
D.4 Saran
Berdasarkan simpulan yang didapat, dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut:
51
1. Bagi siswa
Siswa perlu belajar untuk lebih percaya diri lagi dalam menghadapi pelajaran
di kelas yaitu dengan mulai membiasakan diri untuk tidak malu, tidak takut,
tidak cemas serta berani mengambil resiko untuk menerima kritik dari guru
maupun teman di kelas. Dengan demikian siswa mampu belajar dari suatu
kesalahan yang dilakukan sebelumnya untuk membuat dirinya lebih percaya
diri lagi.
2. Bagi Pembimbing
Diharapkan untuk dapat menerapkan konseling secara berkelanjutan dengan
tujuan mengetahui perkembangan siswa baik yang bermasalah maupun yang
tidak bermasalah.
3. Bagi Sekolah
Terkait dengan prestasi siswa di sekolah rasa percaya diri yang ada pada
siswa keharmonisan serta rasa kekeluargaan di lingkungan sekolah supaya
terus ditingkatkan dan selalu mengadakan pantauan terhadap perkembangan
siswa.
4. Bagi Keluarga
Hubungan dalam keluarga supaya ditingkatkan sehingga dengan demikian
akan menjadi cerminan bagi perkembangan perilaku anak.
E. Referensi
Angelis, B. 2003. Confidence (Percaya Diri) Sumber Sukses dan Kemandirian.
Cetak ketujuh. Jakarta : Gramedia pustaka utama.
Ardana, I Kt. 2003. Sikap Terhadap Perilaku Spiritual Para Siswa SMU Negeri
Di Kabupaten Klungkung (Tahun 2002/2003). Tesis Program
Pascasarjana, IKIP Singaraja.
Arikunto, dkk. 2009. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
PT. Rineka Cipta
52
Corey, Gerald, (E.Koeswara. Penerjemah). 2010 Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi. Bandung : PT.Refika Aditama.
Depdiknas.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kae-3. Jakarta : Balai
Pustaka.
Husein Umar, 2004. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
http://www.e-psikologi.com/remaja/101106.htm. diakses pada tanggal 26
Desember 2012.
http://solehamini.blogsport.com/2010/05/aktualisasi-percaya-diri.htm. Diakses
pada tanggal 26 Desember 2012.
Iswidharmanjaya Derry dan Agung. 2004. Suatu Hari Menjadi Lebih Percaya
Diri. Panduan Bagi Remaja Yang Masih Mencari Jati Dirinya. Jakarta :
Gramedia.
Mastuti Indari dan Aswi. 2008. 50 Kiat Untuk Menumbuhkan Rasa Percaya Diri.
Surabaya : Gramedia.
Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :
Rineka Cipta.
Sedanayasa. 2007. Teknik dan Keterampilan Konseling. Singaraja. Universitas
Pendidikan Ganesha.
Sedanayasa dan Suranata. 2009. Buku Ajar Dasar-Dasar Bimbingan Konseling.
Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.
Sukardi Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
Konseling Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Suranata, Kadek. 2010. Mikro Konseling. Singaraja : Penerbit Undiksha.
Thantawy. 1993. Kamus Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Economics Student’s Group.
53