26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA
DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
2.1.1 Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja
Pekerja/buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan
suatu perusahaan. Tanpa adanya pekerja/buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan
aktifitas perusahaan sebagaimana mestinya. Namun sering kali peran daripada
pekerja/buruh belum mendapatkan perhatian baik itu dari perusahaan, maupun
pemerintah. Pengusaha sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap
pekerja/buruh yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh dilanggar oleh
pengusaha. Namun tidak berarti semua kesalahan berada pada pengusaha karena
terkadang kelalaian terletak pada pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian
kepada pengusaha.
Salah satu penyebab terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
pengusaha kepada pekerja/buruh adalah kedudukan yang dimiliki oleh pengusaha
lebih tinggi daripada kedudukan buruh yang terbilang rendah dan lemah. Dengan
demikian diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja sehingga hak-
hak pekerja dapat terjamin seutuhnya. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis
27
maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu
gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.24
Selain itu, menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya
untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.25 Dari pengertian mengenai perlindungan
hukum tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud perlindungan
hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh Negara kepada subyek hukum
untuk melindungi hak-hak subyek hukum baik secara preventif maupun represif.
Mengenai pengertian perlindungan hukum terhadap pekerja dapat diartikan sebagai
upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja untuk
menikmati hak-haknya dan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh
majikan atau pengusaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun tujuan diberikannya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis
tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.26
Selain itu tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja tidak hanya mencakup pada
berlasungnya hubungan kerja tetapi juga pada saat hubungan kerja tersebut
berakhir. Hubungan kerja berakhir dapat disebabkan waktu perjanjian kerja
berakhir atau dikarenakan tindakan pengusaha melakukan PHK. Disinilah tujuan
24Polewali Mandar, 2014, “Status Hukum” Serial Blog.
URL:http://statushukum.com/tentang-status-hukum, Diakses 19 Januari 2016 Pukul 15.05 Wita.
25Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53.
26Abdul Khakim, op.cit, hlm. 103.
28
perlindungan hukum yaitu untuk memberikan pemenuhan hak-hak pekerja setalah
berakhirnya hubungan hukum tersebut.
2.1.2 Sarana dan objek perlindungan hukum terhadap pekerja
Terdapat dua sarana perlindungan hukum, hal ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa.
2. Perlidungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa.27
Perlindungan hukum preventif ditandai dengan dibentuknya peraturan
perundang-undangan yang dimaksudkan untuk membatasi tindakan-tindakan
seseorang yang dapat melanggar hak daripada orang lain. Sedangkan perlindungan
hukum represif ditandai dengan menerapkan sanksi terhadap pelaku yang diberikan
apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja maka Pemerintah membentuk
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004.
Objek perlindungan hukum terhadap pekerja berdasarkan UU No. 13 Tahun
2003 tersebut meliputi:
a. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja;
b. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan
pengusaha, dan mogok kerja;
c. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
27Fitri Hidayat, 2013, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum,
URL:http://fitrihidayat-ub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsuresensial-
dalam.html?m=1, diakses 2 Desember 2015 pukul 11.42 Wita.
29
d. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang cacat;
e. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga
kerja; dan
f. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.
Soepomo dalam Asikin membagi 3 (tiga) macam perlindungan tenaga kerja
yaitu:
a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tidak mampu
bekerja di luar kehendaknya.
b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan
hak untuk berorganisasi.
c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerja.28
2.2 Pemutusan Hubungan Kerja
2.2.1 Hubungan kerja dan perjanjian kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah”. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai
ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah:
1. adanya pekerjaan (arbeid);
2. di bawah perintah/gezag ver houding (maksudnya buruh melakukan
pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi);
3. adanya upah tertentu/loan;
4. dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun
atau berdasarkan waktu tertentu).29
28 Zainal Asikin, et.al, op.cit, hlm 76.
29Asri Wijayanti, op.cit , hlm. 36
30
Perjanjian kerja merupakan dasar terbentuknya hubungan kerja. Menurut
Shamad, perjanjian kerja ialah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri
untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan
syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.30 Sedangkan menurut Subekti,
perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan,
dimana ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
hubungan diperatas yaitu hubungan persekutuan dimana pihak yang satu (majikan)
berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.31
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Adapun syarat-syarat perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 yakni terdapat
2 (dua) syarat yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil terdapat dalam
ketentuan Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu:
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan.
30Yunus Shamad,1995, Hubungan Industrial di Indonesia, PT. Bina Sumberdaya Manusia,
Jakarta, hlm. 55.
31Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. X, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 58.
31
Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan
ketentuan pada huruf a dan b maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan
apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan
pada huruf c dan d maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Syarat formil perjanjian kerja terdapat dalam ketentuan Pasal 54 UU No. 13
Tahun 2003 yang menentukan:
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakuknya perjanjian kerja;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Menurut waktu berakhirnya, perjanjian kerja dibagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak
tertentu (PKWTT). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu”. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya
32
disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”.
2.2.2 Pengertian dan macam-macam pemutusan hubungan kerja
PHK merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dalam dunia
ketenagakerjaan. Masalah PHK tidak hanya membawa penderitaan bagi pekerja
saja tetapi juga membawa penderitaan bagi keluarga pekerja. Menurut beberapa
pendapat para sarjana seperti Ridwan Halim berpendapat bahwa PHK adalah suatu
lagkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dengan majikan karena suatu hal
tertentu.32 Menurut Manulang mengemukakan bahwa istilah PHK dapat
memberikan beberapa pengertian yaitu:
a. Termination yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau
berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati.
b. Dismissal yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan
tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.
c. Redundancy yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan
melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin
berteknologi baru.
d. Retrenchment yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan
masalah-maslaah ekonomi.33
32 A. Ridwan Halim, op.cit, hlm.136
33Sri Zulhartati, 2010, “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan
Perusahaan”, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/viewFile/382/385, diakses Rabu, 2
Desember 2015 pukul 12.19 Wita.
33
Selain itu, menurut Mutiara S. Panggabean, PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.34
Secara yuridis pengertian mengenai PHK tercantum dalam ketentuan Pasal
1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa yang dimaksud dengan
“Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha”. Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Kepmenaker No: KEP-
150/MEN/2000 menentukan “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan ijin Panitia Daerah
dan Panitia Pusat”. Berdasarkan pengertian dari para sarjana dan merujuk peraturan
perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa PHK merupakan pengakhiran
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dikarenakan alasan-alasan
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban keduanya.
Selain PHK yang dilakukan terhadap perseorangan, PHK juga dilakukan
secara besar-besaran (massal). Berdasarkan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000
Pasal 1 angka 5 memberikan pengertian pemutusan hubungan kerja secara besar-
besaran (massal) adalah “Pemutusan hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja
atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan
hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk
mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”. PHK dapat dibagi
34Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 44-45.
34
dalam empat macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengusaha, PHK oleh
pekerja/buruh dan PHK oleh Pengadilan.
1. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
PHK demi hukum merupakan PHK yang terjadi dengan sendirinya secara
hukum. Dalam ketentuan Pasal 1603.e KUH Perdata menentukan bahwa
“Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam
perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak
ada, menurut kebiasaan”. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
menentukan:
Perjanjian kerja berakhir apabila:
a. Pekerja meninggal dunia;
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja.
Adapun alasan PHK demi hukum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 154
UU No. 13 Tahun 2003 meliputi:
a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali;
c. Pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; dan
d. Pekerja/buruh meninggal dunia.
35
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
PHK atas inisiatif pengusaha dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian,
yakni:
1. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/ buruh.
2. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pengusaha.35
PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh
artinya adalah bahwa pengakhiran hubungan kerja dimaksud dikehendaki oleh
pengusaha karena terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan
pekerja/buruh, dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja
tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja.36
Peristiwa hukum yang dimaksud disini adalah pelanggaran atau kesalahan
yang dilakukan pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaannya. Pelanggaran
tersebut telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja
bersama maupun peraturan perusahaan. Dengan demikian PHK dapat terjadi
apabila pekerja melakukan kesalahan ringan dan/atau kesalahan berat.
PHK karena kesalahan ringan tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
dan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000, tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
Permenaker No. Per-4/Men/1986,yaitu:
a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati
perintah atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan;
b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan
demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang
diberikan kepadanya;
35Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit, hlm. 11.
36Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit. hlm. 12
36
c. Tidak cakap dalam melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di
bidang tugas yang ada;
d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja
bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja.
PHK karena kesalahan berat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 158 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003 yang meliputi:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan
atau menggedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. Dengan ceroboh atau dengan sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian
bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang di ancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kesalahan berat tersebut haruslah didukung dengan bukti sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yakni:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
37
Selanjutnya, PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri
pengusaha artinya terdapat suatu kondisi tertentu dimana pengusaha tidak dapat lagi
mempekerjakan pekerja/buruh. Ketentuan UU No. 13 Tahun 2003
memperbolehkan pengusaha melakukan PHK dengan kondisi tertentu yang dapat
dijadikan sebagai alasan pengusaha melakukan PHK. Adapun kondisi tersebut
yakni:
1. Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan (Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003);
2. Perusahaan tutup baik karena kerugian secara terus-menerus maupun
karena keadaan memaksa (force majeure) (Pasal 164 ayat (1) UU No.
13 Tahun 2003);
3. Perusahaan tutup karena melakukan efisiensi; (Pasal 164 ayat (3) UU
No. 13 Tahun 2003);
4. Perusahaan pailit (Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003)
Pada kenyataannya sering terjadi PHK oleh pengusaha yang tidak layak
dijadikan sebagai alasan PHK. Adapun PHK yang tidak layak tersebut antara lain:
a. Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya; atau
b. Jika alasannya PHK itu dicari-cari (pratext) atau alasannya palsu;
c. Jika akibat pemberhentian itu bagi pekerja/buruh adalah lebih berat dari
pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan; atau
d. Jika pekerja/buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang atau kebiasaan mengenai susunan staf atau aturan
ranglijs (seniority rules), dan tidak ada alasan lain penting untuk tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan itu.37
3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh
37G. Kartasapoetra,et.al, 1983, Hukum Perburuhan, Pancasila Bidang Pelaksanaan
Hubungan Kerja, Armico, Bandung, hlm.29.
38
PHK oleh pekerja/buruh merupakan tindakan yang dilakukan pekerja/buruh
atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan atau ancaman dari orang lain untuk itu.
Adapun alasan PHK oleh pekerja/buruh yakni pekerja/buruh meminta pengunduran
diri yang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 154 huruf b UU No. 13
Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan
perjanjian kerja tertentu untuk pertama kali”. Alasan lainnya adalah pekerja
mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 UU No. 13
Tahun 2003 yang menyatakan bahwa:
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. Membujuk atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh;
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan;
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut
tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
PHK oleh pengadilan berarti bahwa PHK terjadi karena adanya putusan dari
pengadilan. PHK yang terjadi karena adanya putusan pengadilan merujuk dari
adanya sengketa yang terjadi antara pekerja/buruh dengan majikan atau sebaliknya
39
yang berlanjut pada proses peradilan. Pengadilan yang dimaksud disini adalah
Pengadilan Hubungan Industrial yang secara khusus berwenang memeriksa dan
mengadili perselisihan hubungan industrial.
PHK oleh pengadilan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1603v KUH Perdata
yang memberikan hak kepada masing-masing pihak setiap waktu bahkan sebelum
pekerjaan dimulai berdasarkan alasan penting untuk mengajukan permohonan
tertulis kepada Pengadilan Negeri di tempat kediamannya yang sesungguhnya
untuk menyatakan perjanjian kerja putus.
2.2.3 Hak pekerja dalam pemutusan hubungan kerja
Jika terjadi PHK yang perlu diperhatikan adalah hak-hak yang wajib
diberikan kepada pekerja setelah terjadinya PHK tersebut. Hak-hak tersebut
sepatutnya diberikan mengingat jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pekerja kepada
pengusaha selama ia bekerja. Selain itu, PHK tentu saja membawa penderitaan bagi
pekerja karena kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk itu
pemberian hak kepada pekerja setelah terjadinya PHK sangat diperlukan untuk
mengurangi penderitaan daripada pekerja.
UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur hak yang wajib diberikan oleh
pengusaha kepada pekerja yakni sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 156
ayat (1) yang menentukan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
40
UU No. 13 Tahun 2003 tidak memuat pengertian mengenai uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian. Pengertian tersebut merujuk
pada Permenaker No: KEP-150/MEN/2000. Berdasarkan Pasal 1 angka 6
Permenaker No: KEP-150/MEN/2000 menentukan “Uang pesangon adalah uang
pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya
pemutusan hubungan kerja”. Kemudian Pasal 1 angka 7 Permenaker No: KEP-
150/MEN/2000 menentukan “Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 sebagai
penghargaan pengusahaan kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa
kerja”. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 8 Permenaker No: KEP-150/MEN/2000
menentukan “Ganti kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha
kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan,
fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia
Pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja”. Istilah ganti kerugian
sekarang dikenal sebagai uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156
UU No. 13 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha
membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak. Dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua) bulan upah;
41
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,
4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,
7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;
Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24
(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan
upah;
Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan di tetapkan
15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
42
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pemberian hak kepada pekerja harus dilihat berdasarkan kebenaran alasan
PHK dan jenis perjanjian kerja. Karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah
pemberian hak kepada pekerja.
2.3 Keadaan Memaksa (force majeure)
1.3.1 Pengertian keadaan memaksa
Keadaan memaksa merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
force majeure dan dalam bahasa Belanda disebut overmacht. Ketentuan mengenai
keadaan memaksa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang
menentukan “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya,
rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang
tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun
jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selain itu pengaturan keadaan
memaksa juga diatur dalam ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan
bahwa “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memkasa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-
hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi
mengenai keadaan memaksa. Untuk itu diperlukan beberapa pendapat para sarjana
untuk memberikan suatu definisi yang dapat menggambarkan secara jelas
mengenai keadaan memaksa. Adapun beberapa ahli hukum yang memberikan
43
pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure/overmacht)
diantaranya adalah:
a. R Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang
dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat
diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan
atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain,
hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan
itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan
salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-
sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu
“keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar
kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu
juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu
perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si
debitur.
b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar:
overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin
memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan
memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang
tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).
c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah
debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka
akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. 38
Selain itu, keadaan memaksa juga diartikan sebagai suatu keadaan ketika
debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan
adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir,
tanah longsor, dan lain-lain.39 Menurut undang-undang ada 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi;
38Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa,
Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hlm. 7. 39H. Salim HS, H.Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan
Memorandum of Understanding (MoU ), Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.110.
44
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur;
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.40
1.3.2 Teori-teori dan akibat hukum keadaan memaksa
Terdapat 2 (dua) aliran atau ajaran tentang keadaan memaksa (force
majeure) yakni:41
a. Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut
Menurut ajaran keadaan memaksa objektif, debitur berada dalam
keadaan memaksa apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada
unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap
orang. Keadaan memaksa yang dimaksud dalam ajaran objektif ini
adalah tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat sehingga
dalam keadaan tersebut siapapun tidak dapat memenuhi prestasi.
b. Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleeer) atau relatif
Menurut ajaran keadaan memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa
itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi
praktis dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur
diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak
dapat menuntut pelaksanaan prestasi.
Terdapat 3 (tiga) akibat keadaan memaksa (force majeure), yaitu:
a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
40 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 25.
41Ibid, hlm 27.
45
b. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa
sementara;
c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi
kecuali untuk yang disebut dalam pasal 1460 KUH Perdata. 42
Akibat keadaan memaksa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam
yaitu akibat keadaan memaksa absolut yakni akibat huruf a dan c, dan akibat
keadaan memaksa relatif yakni akibat huruf b.
1.4 Perselisihan Hubungan Industrial
1.4.1 Pengertian dan macam-macam perselisihan hubungan industrial
Perselisihan merupakan masalah yang umum terjadi dalam kehidupan
manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan
manusia lainnya. Di dalam interaksi tersebut manusia yang satu dengan manusia
yang lain tidak selalu satu pemahaman. Ketidaksamaan pemahaman tersebut dapat
menimbulkan terjadinya perselisihan. Joni Emirzon yang mengutip dalam buku
Lalu Husni memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah
adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang
mengadakan hubungan atau kerja sama.43
Sebelum diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004, dasar hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
42Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 184-185.
43Lalu Husni, op.cit, hlm.2.
46
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 ayat (1) huruf c menentukan
bahwa “Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau
perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau beberapa serikat buruh
berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,
syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”.
Setelah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004,
pengertian perselisihan perburuhan diganti dengan perselisihan hubungan
industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 3 Tahun 2003 jo Pasal 1 angka 1
UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan hubungan industrial adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Perselisihan Hubungan
Industrial dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam hal ini sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 yakni perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
1. Perselisihan Hak
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
47
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama”.
2. Perselisihan Kepentingan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan,
“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak”. Dengan demikian perselisihan PHK timbul
setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah
satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut.
Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran
kompensasi atas PHK.
4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu
Perusahaan
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa
“Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan
adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/
48
serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan.
1.4.2 Tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, maka UU
telah memberikan alternatif penyelesaian yakni sebagaimana yang diatur dalam UU
No. 2 Tahun 2004. Adapun prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial
tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan
(litigasi).
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dapat
dilaksanakan melalui penyelesaian perundingan bipartit dan perundingan tripartit
(mediasi, konsiliasi, arbitrase). Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui Pengadilan dilaksanakan pada Pengadilan Hubungan Industrial
(Selanjutnya disingkat PHI).
1. Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit
Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terbaik adalah
dengan penyelesaian melalui perundingan bipartit. Melalui perundingan bipartit
atau dengan kata lain melalui musyawarah dan mufakat kedua belah pihak yang
berselisih dapat menyelesaikan perselisihan dengan win-win solution.
Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa
“Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.” Penyelesaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai
49
Alternative Disputes Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara
negosiasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata negosiasi diartikan sebagai:
a. Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau
menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak
(kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi yang
lain),
b. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-
pihak yang bersengketa.44
Negosiasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu negotiation yang berarti
perundingan atau musyawarah. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun
2004 menegaskan bahwa “perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah
untuk mufakat”. Dengan demikian tanpa melalui penyelesaian dengan cara
perundingan bipartit para pihak tidak dapat melalui mekanisme penyelesaian
selanjutnya. Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 adapun mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit yakni
sebagai berikut:
a. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 3 ayat (2)).
b. Apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak
mencapai kesepakatan, maka upaya melalui bipartit dianggap gagal
(Pasal 3 ayat (3)).
c. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani
oleh para pihak (Pasal 6).
d. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat:
1) Nama lengkap dan alamat para pihak;
2) Tanggal dan tempat perundingan;
3) Pokok masalah atau alasan perselisihan;
4) Pendapat para pihak;
5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan
44Lalu Husni, op.cit, hlm. 53.
50
6) Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan
(Pasal 6 ayat (2)).
e. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak (Pasal 7 ayat (1)).
f. Perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan
perjanjian pada pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta
bukti pendaftaran (Pasal 7 ayat (3) dan (4)).
2. Penyelesaian Melalui Mediasi
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi
dilaksanakan apabila dalam perundingan bipartit telah gagal mencapai kesepakatan
antara para pihak yang berselisih untuk berdamai. Berdasarkan Pasal 1 angka 11
UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya
disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”.
Penyelesaian melalui mediasi ditengahi oleh seorang mediator. Dalam Pasal
1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Mediator Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator
yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai
kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan”. Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan melalui mediasi
berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 yakni:
51
a. Apabila upaya melalui bipartit gagal, maka salah satu pihak atau kedua
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti
bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Pasal
4 ayat (1)).
b. Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak diterimannya pengembalian berkas (Pasal 4 ayat
(2)).
c. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3))
d. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat
(4)).
e. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang
berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 8).
f. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan mediator harus mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi (Pasal
10).
g. Apabila tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat perjanjian
bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat (1)).
h. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka:
1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
2. Anjuran tertulis sudah disampaikan kepada para pihak selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak mediasi pertama;
3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
menerima anjuran tertulis, yang isinya menyetujui atau menolak
anjuran;
4. Para pihak yang tidak memberikan pendapatnya (atau tidak
memberikan jawaban) dianggap menolak anjuran tertulis;
5. Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertuis disetujui
yang kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 13 ayat (2)).
52
i. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak pelimpahan perkara (Pasal 15).
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Konsiliasi Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/ buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Sedangkan yang dimaksud dengan
konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh
dalam satu perusahaan”.
Penyelesaian secara konsiliasi, konsiliator ikut berperan serta secara aktif
untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diperselisihkan oleh kedua
belak pihak. Adapun perbedaan konsiliator dengan mediator adalah konsiliator
merupakan pihak ketiga di luar daripada instasi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sedangkan mediator merupakan pihak ketiga yang merupakan
pegawai instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Adapun
mekanisme penyelesaian melalui konsilasi diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai
dengan Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mekanisme
penyelesaian melalui mediasi.
53
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase secara
umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase yang diatur dalam UU. No. 2
Tahun 2004 merupakan aturan khusus untuk penyelesaian perselisihan di bidang
hubungan industrial yang berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.
Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004
yang menyatakan “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan, di luar
Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan yang dimaksud
arbiter dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentigan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”.
Mekanisme penyelesaian melalui arbitrase dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 29 sampai dengan Pasal 53 UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian melalui
arbitrase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih yang
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya mendamaikan
54
kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter atau majelis
arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani para pihak dan
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah
arbiter mengadakan perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian gagal maka
arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbiter
mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak yang berselisih dan
merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Terhadap putusan arbiter dapat
dilakukan upaya pembatalan ke Mahkamah Agung.
5. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
Masalah mengenai perselisihan hubungan industrial sangat sering terjadi
dan permasalahan yang dihadapi tersebut semakin kompleks, untuk itu dibutuhkan
suatu pengadilan khusus yang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan
hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum yang hadir setelah
diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004. Jika sampai suatu perselisihan hubungan
industrial memasuki ranah Pengadilan maka perselisihan tersebut tidak dapat
diselesaikan melalui tahap penyelesaian di luar pengadilan yaitu perundingan
bipartit, mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Hal ini berarti bahwa penyelesaian
melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan alternatif penyelesaian
terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih. Dengan demikian
salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial, yang mempunyai peranan penting dalam menegakkan
55
kebenaran dan keadilan adalah hakim. Hakim pada pengadilan hubungan industrial
adalah hakim karier dan hakim Ad-Hoc. Pasal 1 angka 19 UU No. 2 Tahun 2004
menentukan “Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas
usul serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul
Ketua Mahkamah agung. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh
atau organisasi pengusaha.
Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagai berikut:
a. Hukum acara yang berlaku hukum acara perdata, kecuali yang diatur
secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 57).
b. Tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi untuk nilai gugatan di
bawah Rp. 150.000.000 (Pasal 58).
c. Gugatan diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja (Pasal 81).
d. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui
mediasi, konsiliasi, jika tidak dilampiri hakim wajib mengembalikan
gugatan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1)). Adanya dismissal
process, di mana hakim wajib memeriksa isi gugatan (Pasal 83 ayat (2)).
e. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial
untuk mewakili anggotanya (Pasal 87).
f. Ketua pengadilan negeri – sekaligus sebagai ketua pengadilan hubungan
industrial – harus menetapkan majelis hakim selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan (Pasal 88 ayat (1).
g. Pemeriksaan dengan acara biasa:
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
penetepan majelis hakim, maka ketua majelis hakim harus sudah
melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat (1)).
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
56
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir (Pasal 89 ayat (3)).
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat
pengumuman di gedung pengadilan hubungan industrial yang
memeriksanya (Pasal 89 ayat (5)).
Sidang sah apabila dilakukan majelis hakim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) (Pasal 92).
Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat hadir tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, majelis hakim
menetapkan hari sidang berikutnya paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak tanggal penundaan (Pasal 93).
Apabila pada sidang penundaan terakhir pihak-pihak tidak hadir
maka akibatnya:
Bagi penggugat, gugatanya dianggap gugur (Pasal 94 ayat (1)).
Bagi tergugat majelis hakim dapat melakukan putusan verstek
(Pasal 94 ayat (2)).
Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim
menetapkan lain.
h. Pemerikasaan dengan acara cepat:
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak
yang cukup mendesak dapat diajukan permohonan pemeriksaan
dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (1)).
Ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan tersebut dalam
jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimannya permohonan
(Pasal 98 ayat (2)).
Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan ketua pengadilan
negeri atas permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98
ayat (3)).
Apabila permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan,
maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan majelis hakim, hari,
tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan
(Pasal 99 ayat(1)).
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah
pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas)
hari kerja (Pasal 99 ayat (1)).
i. Pengambilan putusan:
Majelis hakim mengambil putusan dengan mempertimbangkan
hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 100).
Putusan majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 101 ayat (1)).
Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-lambatnya 50
(lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama (Pasal 103).
j. Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum
57
tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas hari kerja (Pasal
110).45
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, dalam menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial, dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Tahap pertama yaitu perundingan bipartit;
2. Tahap kedua yaitu melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase;
3. Tahap ketiga yaitu melalui pengadilan hubungan industrial.46
45Abdul Khakim, op.cit, hlm. 159-162.
46Ugo dan Pujiyo,2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan,Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 53.