“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)” SKRIPSI Disusun oleh : FRENGKI PERIAN 017201605008 FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM CIKARANG JANUARI, 2020
74
Embed
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS
PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
SKRIPSI
Disusun oleh :
FRENGKI PERIAN 017201605008
FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
CIKARANG JANUARI, 2020
i
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT
OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
SKRIPSI Diajukan sebagai tugas akhir
dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Hukum
FRENGKI PERIAN 017201605008
FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
CIKARANG JANUARI, 2020
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunianya kepada penulis. Akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG
DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404
K/PDT.SUS-PHI/2014)” skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Universitas President. Penulis banyak
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah rela menjadi
narasumber, penulis skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerja sama semua
pihak yang turut membantu dalam proses menyelesaikan skripsi ini, untuk itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih untuk :
1. Bapak Prof.Dr.Jony Oktavian Haryanto, S.E., M.M., M.A. selaku Rektor
Universitas President yang telah menyediakan segala sarana dan prasarana
sebagai penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Endi Haryono, M.Si selaku Dekan Fakultas Humaniora Program
Studi Ilmu Hukum Universitas President beserta jajaranya yang telah
mempermudah proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.H., M.A., M.Kn selaku Ketua
program studi Universitas Presiden yang telah memberikan masukan, kritik
dan saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Maria Francisca M, S.H., S.E., M.Kn. selaku Pembimbing I atas
kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan
dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan karyawan yang berada dalam akademik lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Presiden atas ilmu dan nasehat yang beliau
berikan selama penulis duduk dibangku kuliah.
6. Kepada Orang Tua tercinta terima kasih telah menjadi orang tua terhebat
yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa dan dukungan demi
kelancaran. Serta istriku terima kasih untuk segalanya semoga kelak penulis
dapat membahagiakan dan membanggakan kalian.
vi
vii
ABSTRACT
Name : Frengki Perian Title : "LAW PROTECTION OF WORKERS IN VIOLATION OF WORK AGREEMENTS MADE BY WORKERS (CASE STUDY OF DECISION NUMBER 404 K / PDT.SUS-PHI / 2014)" A work agreement is an agreement between the worker/worker and the employer/company or the employer which contains the rights and obligations requirements of both parties to make the employment relationship. Today many companies use labor through a Special Time Work Agreement (PKWT) to reduce labor costs to increase profits. Disputes often occur between the two parties that cannot be avoided or so that in practice there are often certain work agreements that are not in accordance with the provisions of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower which in the end is very detrimental to the workforce. In this case, the Plaintiff Yuan Agusta worked from November 1, 2001 to May 31, 2013 (around 11 years) with the status of a Contract or a Specific Time Work Agreement (PKWT). During his work, he has replaced parts 11 times, each year a new contract is made. The purpose of this study is to analyze how the legal protection of workers for violations of article 59 of the Labor Law by employers. To analyze how the legal consequences for employers who break work relations after violating article 59 of the Manpower Act. The research method used by the authors in this study is a normative legal research method, making library materials as the main focus. The results showed that the implementation of the work agreement between certain time workers and the company was not in accordance with article 59 of the Manpower Act concerning the assignment of work because certain working hours were given permanent work. Legal protection already exists, but employers often take actions that violate article 59, the reason being that both parties need each other so that the article is ignored. According to the author there needs to be a union in each company to protect their rights. Furthermore, in article 59, the words "no new contract must be made in the company after the contract period ends" should be added so that the employer does not play an employment contract. Keywords: Labor Law, Labor Agreement, Termination of Employment.
viii
ABSTRAK
Nama : Frengki Perian Judul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)” Perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian antara buruh/pekerja dengan pengusaha/perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja. Dewasa ini banyak perusahaan yang memakai tenaga kerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk menekan biaya tenaga kerja agar dapat meningkatkan keuntungan. Sering terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang tidak bisa dihindari atau Sehingga dalam pelaksanaanya banyak dijumpai perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan Udang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang pada akhirnya sangat merugikan tenaga kerja. Pada kasus ini Penggugat Yuan Agusta bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun dibuatkan kontrak baru. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Metode penelitian yang diguanakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama.Hasil penelitian menunjukan bahwa, pelaksanaan perjanjian kerja antara tenaga kerja waktu tertentu dengan perusahaan tidak sesuai dengan pasal 59 UU Ketenagakerjaan tentang penugasan pekerjaan karena tenaga kerja waktu tertentu diberi pekerjaan yang bersifat tetap. Perlindungan hukumnya sudah ada, tapi seringkali pengusaha berbuat tindakan yang melanggar pasal 59 ini, penyebabnya karena kedua belah pihak saling membutuhkan sehingga pasal tersebut diabaikan. Menurut penulis perlu adanya serikat buruh di setiap perusahaan untuk melindungi hak-haknya. Selanjutnya didalam pasal 59 perlu adanya tambahan kata “tidak boleh dilakukan kontrak baru lagi di perusahaan tersebut setelah masa kontrak berakhir” agar pengusaha tidak memainkan kontrak kerja.
Kata Kunci : Hukum Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL
JUDUL HALAMAN i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI iii
DEKLARASI SKRIPSI iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 8
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Kegunaan Penelitian 8
1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 9
1.6 Metode Penelitian 11
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA
2.1. Perlindungan Hukum 14
2.2. Perjanjian 15
2.2.1. Pengertian Perjanjian 15
2.2.2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 17
2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian 19
2.2.4 Hak dan Kewajiban Para Pihak 21
2.2.5. Subjek Perjanjian 22
2.2.6. Obyek Perjanjian 22
2.2.7. Macam-Macam Perjanjian 23
2.2.8. Berakhirnya Perjanjian 23
2.2.9. Wanprestasi 25
2.3. Perjanjian Kerja 26
2.3.1. Pengertian Perjanjian Kerja 26
x
2.3.2. Perjanjian Kerja dari Segi Undang-Undang
Ketenagakerjaan 27
2.3.3. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 30
2.3.4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 33
2.3.5. Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 34
BAB III PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(PPHI)
3.1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 36
3.2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 37
3.3. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan 39
3.4. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Akibat
Pemutusan Hubungan Kerja 41
3.5. Perhitungan Uang Pesangon Apabila Terjadi PHK 42
3.6. Perhitungan Uang Penghargaan Apabila Terjadi PHK 43
3.7. Uang Penggantian Hak yang seharusnya diterima pekerja
Apabila Terjadi PHK 43
3.8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 44
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS
PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG
KETENAGAKERJAAN OLEH PEMBERI KERJA DAN
KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP PEMBERI KERJA YANG
MELAKUKAN PHK SETELAH ADANYA PELANGGARAN
PASAL 59 UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
4.1. Perlindungan hukum Pekerja atas pelanggaran pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan 46
4.2. Konsekuensi hukum terhadap pemberi keja yang melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran
pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 57
xi
5.2. Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 60
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ketentuan Hukum Perburuhan timbul dari suatu perjanjian, yaitu dari
pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja/buruh dan pasti ada perselisihan antara
kedua belah pihak ini yang tidak bisa untuk di hindari atau sulit di cegah,1 begitu
banyak perselisihan perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha yang berujung pada pengadilan karena ketidakpuasan salah satu pihak.
Perselisihan yang terjadi dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah
perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara historis,
perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak
adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau
keadaan perburuhan.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(selanjutnya disebut UU PPHI), bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PPHI diatur bahwa jenis perselisihan hubungan
industrial meliputi empat (4) macam, yaitu:
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
hlm.63. 5 Pasal 56 ayat (2) Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu”.6 Jadi dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu merupakan Perjanjian kerja
untuk jenis pekerjaan tertentu, bukan jenis pekerjaan yang terus menerus dan jangka
waktunya juga ditentukan. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat dibuat dalam
pekerjaan yang bersifat tetep yaitu pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan jenis pekerjaan
musiman. Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dibuat untuk jenis pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama, dan paling lama tiga tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.7
Perjanjian kerja waktu tertentu dimasyarakat lebih dikenal dengan
perjanjian kerja kontrak, atau perjanjian kerja tidak tetap. Status tenaga kerjanya
yaitu tenaga kerja kontrak/tenaga kerja tidak tetap. Dalam Pasal 59 UU
Ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja dimana semua jenis perjanjian
kerja sudah diatur agar pemberi kerja/pengusaha tidak melakukan tindakan yang
tidak diinginkan pekerja/buruh. Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk jenis pekerjaan
tertentu yang pekerjaan tersebut diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun. Namun dapat dilihat dilapangan
bahwa banyak perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak namun jangka
waktu kontraknya melebihi dari batas maksimal yaitu tiga tahun. Dari kasus Bapak
Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan
tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau
6 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor :KEP.100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
7 Hardijan Rusli, 2004, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 66.
5
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kemudian jenis pekerjaanya bukan
pekerjaan yang sekali selesai atau musiman, namun jenis pekerjaan yang terus
menerus, ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Jenis
pekerjaan yang terus menerus ini semestinya bukan termasuk dalam perjanjian
kerja waktu tertentu, namun masuk dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu.
Di Indonesia para pengusaha lebih memilih untuk menerapkan sistem
perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi para pekerjanya. Perjanjian kerja waktu
tertentu bagi perusahaan/pengusaha dianggap lebih menguntungkan dibandingkan
menerapkan sistem perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Namun disisi lain para
pekerja/buruh tidak sedikit yang dirugikan dengan sistem perjanjian kerja untuk
waktu tertentu ini. Di duga banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari
sistem kerja ini tanpa memperhatikan para buruh/pekerjanya. Bahkan perusahaan-
perusahaan ada yang menyimpang dari aturan-aturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Di dunia ketenagakerjaan, perselisihan yang paling sering kita dengar
adalah perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja dapat
terjadi karena salah satu pihak baik pihak pengusaha maupun pekerja.8 Luasnya
permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja maka tidak heran jika
perlindungan tentang Pemutusan Hubungan Kerja paling banyak di peraturan
ketenagakerjaan. Hal ini sangat wajar karena permasalahan tersebut menyangkut
kelangsungan hidup bagi para pekerja/buruh.
Pada saat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, banyak pengusaha yang
memilih untuk tidak membayar hak-hak para pekerjanya selama proses Pemutusan
Hubungan Kerja. Karena saat pengusaha mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan
Kerja, tidak ada lagi tanggung jawab yang harus pengusaha berikan kepada pekerja.
Pengusaha menjadikan alasan tersebut untuk tidak membayar hak-hak pekerja
terutama upah atau melakukan tindakan skorsing.9
Upah merupakan sebuah bentuk penghasilan, yang diterima buruh/pekerja
berupa uang ataupun barang yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam
8 Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila di PHK, (Tangerang: Visi Media, 2007), hlm 13. 9 “Upah Pekerja Selama Proses PHK Seringkali Tak Dibayar”, www.hukumonline.com, 5
September 2019, hlm 1.
6
kegiatan ekonomi. Istilah skorsing digunakan oleh pengusaha untuk merumahkan
si buruh selama proses Pemutusan Hubungan Kerja, Upah skorsing merupakan
upah yang harus di bayar oleh pengusaha kepada pekerja selama belum ada
keputusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai waktu Pemutusan Hubungan
Kerja tersebut, dalam kenyataan dikenal dengan sebutan upah proses.
Upah proses diatur dalam Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang
pada intinya Pengusaha maupun pekerja harus tetap menjalakan hak dan
kewajibanya selagi belum ada keputusan dari Pengadilan Hubungan Industrial.
Disamping itu di perkuat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang permohonan Pengujian UU
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa upah proses
seharusnya diberikan sampai para pihak mendapatkan keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.10
Permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja selalu menarik
untuk dikaji lebih karena menyangkut kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha,
dan peristiwa ini tentunya hal yang tidak diinginkan oleh setiap pekerja/buruh,
terlebih lagi bagi pekerja/buruh karena hal tersebut akan menimbulkan dampak
economis-financial, psycologis bagi pekerja/buruh beserta keluarganya. 11
Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja bisa menjadi awal dari berakhirnya
mempunyai pekerjaaan, berakhirnya menafkahi keluarganya sehari-hari,
menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.12
Aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja sudah diatur oleh UU
Ketenagakerjaan, tetapi dalam pelaksanaan dilapangan masih menimbulkan
perselisihan diantaranya pekerja yang menganggap dirinya tidak pantas di putus
kerjanya, Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan pengusaha tidak sesuai
dengan prosedur, pengusaha yang tidak membayar upah pesangon dan upah
penggantian hak.
10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 37/PUU-IX/2011. 11 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm 88. 12 Iman soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta : Djambatan, 1974), hlm
143.
7
Perselisihan pengusaha dan buruh ini tidak saja di selesaikan secara internal
dapat juga berlanjut di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk mendapatkan
hasil putusan pengadilan. Salah satu masalah Pemutusan Hubungan Kerja dan
masuk ke ranah PHI dapat dilihat dari kasus antara General Manager (GM) Hotel
Sahid Jaya Solo dengan saudara Yuan Agusta sebagai pekerja di hotel tersebut.
Pada Putusan Pengadilan dalam tingkat kasasi Nomor 404 K/Pdt.Sus-
PHI/2014, perkara yang diajukan oleh penggugat yakni saudara Yuan Agusta
terhadap General Manager (GM) Hotel Sahid Jaya Solo yakni saudara Martono
Saputro, Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai
dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status
Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah
berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT
selalu dibuat, dan setiap kali masa kontrak berakhir Penggugat diminta untuk
membuat surat lamaran kerja baru secara lisan oleh Tergugat serta kemudian baru
dibuat surat perjanjian kerja baru. Hal ini bertentangan dengan pasal 59 UU
Ketenagakerjaan, ini menunjukan bahwa pihak Tergugat telah memainkan Pasal 59
Ayat (4) UU Ketenagakerjaan dan Tergugat menggunakan tafsirnya sendiri untuk
mengimplementasikan pasal 59 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan, dan yang dilakukan
Tergugat jelas merupakan suatu bentuk perbudakan manusia dan perbutan tersebut
sama halnya dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Selain PKWT yang diberikan kepada Yuan Agusta sebagai penggugat, tidak
hanya melebihi dari yang dipersyaratkan yaitu pada pasal 59 ayat (4) PKWT yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun
dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun,
setiap bagian yang selalu ditempatkan oleh Tergugat kepada Penggugat selama 11
tahun Penggugat bekerja adalah pada pekerjaan yang bersifat tetap, bukan
pekerjaan yang bersifat musiman. Sehingga, berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-
Undang Ketenagakerjaan, PKWT yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 59
ayat (1), (2), (4), (5) dan (6), pada pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor 100/Men/VI/2004
Tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan
“PKWT hanya dibuat untuk paling lama tiga tahun dan jika melebihi waktu tersebut
8
maka demi hukum PKWT tersebut menjadi PKWTT (karyawan tetap). Sebagai
konsekuensi hukum dari batalnya PKWT Penggugat, maka sejak pertama kali
Penggugat bekerja pada Tergugat yaitu pada tanggal 1 November 2001 Penggugat
bekerja pada bagian Restaurant Bar Cashier Hotel Sahid Jaya Surakarta adalah
berstatus pegawai tetap.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dalam
bentuk penulisan karya ilmiah yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEKERJA DALAM PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA
YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
1.2 Identifikasi Masalah
Adapun permasalahan yang penulis angkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas pelanggaran pasal 59 UU
Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja?
2. Bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU
Ketenagakerjaan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
a. Untuk menganalisa bagaimana perlindungan hukum pekerja atas
dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja.
b. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi
kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya
pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, diatas manfaat yang didapat adalah manfaat
secara teoritis dan secara praktis yaitu adalah sebagai berikut:
9
a. Kegunaan teoritis, harapan dari penulis dapat memberi masukan bagi
pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perjanjian
Ketenagakerjaan pada khususnya serta menambah referensi kepada
pengusa dan serikat pekerja yang mewakili tenaga kerja atau buruh
dalam suatu pembentukan Perjanjian Kerja Bersama.
b. Kegunaan praktis, harapan dari penulis dapat memberi pengetahuan
dan wawasan bagi para pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti
dalam hal Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pelanggaran
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Para pihak disini adalah Pengusaha,
Tenaga kerja, Organisasi Serikat Pekerja dan Pemerintah.
1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
Kerangka teori merupakan keberadaan hukum sebagai aturan sangat
dibutuhkan dalam setiap kehidupan sosial masyarakat karena hukum dapat
mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Dalam
penelitian ini digunakan teori-teori dan pandangan-pandangan para pakar yang
berpengaruh sebagai landasan kerangka pemikiran penelitian. Pandangan teori
tersebut dikombinasikan dengan peraturan perundang-undangan dan di compare
dengan kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 404 K/Pdt.Sus-PHI/2014
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja yang di Analisa bahwa Tergugat telah
memainkan pasal 59 ayat (4) UU ketenagakerjaan.
Dalam penelitian hukum normatif untuk menyusun kerangka konsepsional
yang didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu.
Kerangka konsepsional merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan
pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan
konstruksi data.
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.13
13 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
10
2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.14
3. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.15
4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.16
5. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap.17
6. Hak adalah perilaku seorang individu yang berhubungan dengan perilaku yang
diwajibkan atas individu lain.18
7. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan alam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.19
8. Upah proses adalah upah yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja akibat
dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan pembayaran dilakukan
setelah adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
9. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.20
14 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 15 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 16 Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 17 Pasal 1 Ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 18 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm145. 19 Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 20 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
11
10. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
buruh/pekerja dengan pengusaha.21
11. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.22
12. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.23
13. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.24
14. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.25
1.6 Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan, 26 Karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai
tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan
21 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 22 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 23 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 24 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 25 Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 23.
12
penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidang-bidang
tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu
terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-
undangan tertentu.27
2. Sumber data
Sesuai dengan metode pendekatan yang akan digunakan dalam
penelitian ini, maka data yang dipakai adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data-data yang sudah tercatat dalam buku atau pun suatu
laporan. 28 Dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat
digolongkan ke dalam:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan ilmu hukum yang
berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sebelum dan sesudah amandemen.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep.150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon,Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan;
3) putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 tentang permohonan
Pengujian UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
4) UU Ketenagakerjaan.
5) Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor Kep.
100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah
1) Pendapat-pendapat yang relevan dengan penelitian serta data
tertulis yang terkait dengan penelitian.
2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen
dan data-data dari internet yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan dan bersifat mendukung terhadap bahan-bahan hukum
Primer dan Sekunder, Seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku
pegangan, almanak dan sebagainya. 29 Dalam penelitian saya ini
menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
serangkaian aktivitas pengumpulan data-data yang dapat membantu
terselenggaranya penelitian, terutama dengan melakukan studi kepustakaan.
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum
primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Dari studi kepustakaan ini akan
didapat manfaat berupa ditemukannya konsep-konsep dan teori-teori yang
bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
4. Analisa Data
Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis
kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
yaitu mengumpulkan semua data yang diperlukan yang diperoleh dari bahan
hukum primer dan sekunder. 30 Selanjutnya, penulis menarik suatu
kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana dalam
mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang
nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga
merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.31
29 Ibid. hlm 104. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, 2007, hlm. 25. 31 Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 20.
14
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA
2.1. Perlindungan Hukum
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945), tujuan hukum adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.32
Sutjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah
adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan
suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan
tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada
masyarakat. Oleh karana itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.33
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah Pancasila sebagai ideolagi dan falsafah negara. Konsepsi
perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep
Rechtstaat dan Rule of the law. Dengan menggunakan konsep barat sebagai
kerangka berpikir dengan Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia
adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.34
32 Pembukaan UUD 1945 33 Sutjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, 1983, Bandung, hlm.121. 34 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, 1987, Surabaya,
hlm. 38.
15
Perlindungan terhadap pekerja/buruh merupakan upaya perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai pekerja. Karena jika tidak adanya perlindungan
hukum maka pengusaha/pemberi kerja akan sewenang-wenang memperlakukan
kaum buruh/kaum bawah. Perlindungan terhadap pekerja/buruh tertuang pada UU
Ketenagakerjaan dan UU PPHI, dari sinilah para kaum buruh mempunyai dasar
untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak ditindas oleh kaum atas.
2.2. Tinjauan Umum
2.2.1. Pengertian Perjanjian
Batasan mengenai perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yaitu,
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Menurut prof. Subekti, S.H suatu perjanjian adalah “Suatu peristiwa di
mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Dari sini timbulah suatu hubungan antara
ke dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, Perjanjian
tersebut berupa serangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis.35
Menururt Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Van
Dunne menolak teori kehendak yang sudah ketinggalan zaman, ia menyatakan
bahwa kesepakatan adalah merupakan perbuatan hukum.36
Beberapa para sarjana berpendapat bahwa rumusan pasal 1313 KUH
Perdata memiliki beberapa kelemahan yang harus dikoreksi. Abdulkadir
Muhammad berpendapat tentang kelemahan tersebut, antara lain :37
1) Hanya menyangkut sepihak saja.
Dari kata tersebut dapat diketahui bahwa perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri”
hal ini bersifat hanya datang dari satu orang saja, tidak dari kedua belah
35 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, 2005. hlm 1. 36 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 160. 37 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.
224-228.
16
pihak. Seharusnya bisa dirumuskan saling “mengikatkan diri”, jadi ada
consensus antara para pihak.
2) Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa, suatu tindakan melawan hukum yang tidak
mengandung suatu konsensus, harusnya dipakai sebuah istilah
“persetujaan”.
3) Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas karena mencakup
juga perjanjian perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur
dengan kreditur mengenai harta kekayaan saja. Perjanjian yang diatur oleh
Buku III KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan saja,
bukan perjanjian yang bersifat personal.
4) Tanpa menyebut tujuan
Dalam rumusan isi pasal tersebut tidak di jelaskan tujuan diadakanya
perjanjian sehingga pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk
apa.38
Berdasarkan kelemahan tersebut, Abdulkadir Muhammad menyatakan
pengertian perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
untuk saling mengikatkan diri pada suatu hal mengenai harta kekayaan. Dengan
pengertian diatas, dapat dipahami ada tiga hal penting, yaitu kedua belah pihak,
sikat saling mengikatkan diri atau kata sepakat dan pelaksanaan perbuatan yang
berhubungan dengan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu perjanjian yang
dilakukan secara tertulis dan perjanjian tidak tertulis atau lisan. Kedua bentuk
perjanjian tersebut sama-sama mempunyai kedudukan untuk dapat dilakasanakan
oleh kedua pihak. Perbedaanya jika perjanjian secara tertulis dapat dijadikan alat
bukti saat di pengadilan dan juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat kedua
38 ibid
17
belah pihak. Sebaliknya perjanjian tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat saat ada perselisihan karena susah dalam pembuktianya.39
2.2.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian
yang memenuhi syarat-syarat berdasarkan apa yang ditetapkan undang-undang,
dengan itulah ia akan diakui oleh hukum.40 Dalam hukum Eropa Kontinental,
karena Indonesia menganut hukum Eropa syarat sahnya perjanjian diatur dalam
pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kedua belah pihak atau para pihak tersebut yang mengadakan perjanjian
haruslah bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan. Syarat ini sering
disebut dengan Kesepakatan (toesteming). Kesepakatan merupakan
persetujuan yang di kehendaki oleh para pihak mengenai pokok-pokok yang
diperjanjikan. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-
syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dan dikehendaki
juga oleh pihak lain. Dengan demikian kesepakatan sudah mantap karena
kedua belah pihak sama-sama menyetujuinya, dan tidak lagi dalam
perundingan.41
2) Cakap untuk membuat suatu perikatan
Membuat suatu perjanjian adalah perbuatan yang menimbulkan suatu
hubungan hukum dan yang melakukan suatu hubungan hukum adalah
mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban,
pihak yang melakukan suatu pendukung hak dan kewajiban adalah orang
atau badan hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan batasan orang-
orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau
membuat perjanjian adalah :
a) anak di bawah umur;
b) mereka yang dibawah pengampuan;
39 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. 1, Bandung : Pustaka Setia, 2013. hlm 84. 40 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 88. 41 Ibid, hlm 89.
18
c) orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang,
dan pada umumnya pada siapa udang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
d) Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh
wali yang mereka tunjuk, dan bagi seorang istri harus ijin kepada
suaminya.42
3) Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu artinya sesuatu yang ada di dalam perjanjian tersebut
harus telah ditentutukan dan disepakati. Sesuai yang di jelaskan pada pasal
1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi objek sebuah pejanjian
harus di tentukan jenisnya. Menurut Prof. Subekti, SH, suatu perjanjian
harus mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban para pihak jika timbul perselisihan. 43 Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian yang membuat prestasi tersebut harus tertentu
atau sekurang-kurangnya bisa di tentukan.
4) Suatu sebab yang halal
Suatu Sebab yang halal artinya suatu yang tidak melangggar hukum tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Kata “sebab” adalah terjemahan bahasa latin yaitu “causa”. Sebab inilah
yang membuat orang melakukan sebuah perjanjian. Menurut pasal 1320
KUH Perdata, yang dimaksud dengan “causa” bukanlah sebab dalam arti
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam
arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan
dicapai oleh para pihak.44
Dua syarat yang disebutkan nomor pertama dan kedua yaitu dinamakan
syarat subyektif karena kedua syarat tersebut mengenai suatu subyek yang
disyaratkan dalam hal ini yaitu mereka yang mengikatkan diri dan cakap untuk
membuat perikatan. Dalam hal syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi,
perjanjianya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat meminta agar
42 Ibid, hlm 92. 43 Subekti, Op cit, hlm 19. 44 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 94.
19
perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan dua syarat lagi yang disebutkan terakhir yaitu
dinamakan syarat obyektif karena mengenai suatu perjanjian sendiri atau obyek dari
perjanjian yang di perjanjikan tersebut. Dalam syarat obyektif, jika syarat itu tidak
terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.45
Semua perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di
undang-unang diakui oleh hukum, akan tetapi jika salah satu unsur tersebut tidak
terpenuhi atau cacat dalam perjanjian, dan perjanjian dianggap batal, baik dalam
bentuk dapat dibatalkan (terdapat pelanggaran syarat subyektif), maupun batal demi
hukum ( dalam hal tidak terpenuhi syarat obyektif). Dengan demikian perikatan
yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya.
2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Di dalam isi pasal 1338 KUH Perdata terdapat istilah “semua” yang
menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah secara umum, baik perjanjian
bernama maupun tidak bernama. Dalam pasal itu terkandung asas kebebasan
berkontrak yang secara pelaksanaanya dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa.
Jika isi perjanjian tidak sesuai apa yang dimaksud para pihak, para pihak
tersebut harus mengesampingkan atau berpaling pada pasal 1338 KUHPerdata dan
pasal 1339 KUHPerdata agar perjanjian yang patut dan pantas harus sesuai dengan
asas kepatutan yang membawa pada keadilan.
Ada tiga asas penting yang sering terdengar didalam hukum perikatan,
yaitu:46
a. Asas Konsensualisme
Asas ini menyimpulkan bahwa sebuah perjanjian dikatakan selesai
apabila antara para pihak dikatakan sepakat atau persesuaian kehendak
dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata menyimpulkan “lahirnya perjanjian adalah pada saat
tercapainya kesepakatan dan saat itulah hak dan kewajiban para pihak;
b. Asas Pacta Sunt Sarvanda
Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sudah dibuat oleh
para pihak sudah mengikat dan tidak dapat di Tarik kembali oleh salah
45 Subekti, Op cit, hlm 20. 46 Salim HS, Op cit, hlm. 157.
20
satu pihak. Ini bisa dikatakan UU berlaku bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.
Dalam pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini, Para pihak bebas membuat perjanjian yang
dikehendakinya, mengadakan perjanjian dengan siapa saja,
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratanya, dan
menentukan perjanjian yang akan dibuat yaitu dengan bentuk perjnjian
tertulis atau dengan lisan.
Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh sebuah
Badan Pembinaan Hukum Nasional disingkat (BPHN), Department Kehakiman RI
pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah merumuskan delapan asas hukum
perikatan nasional.47 Adapun kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
a) Asas Kepercayaan
Jadi setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah jadi kewajibanya
untuk memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka yang mengadakan
perjanjian pada kemudian hari.
b) Asas Persamaan Hukum
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dimata hukum. Mereka tidak boleh
dibedabedakan antara satu sama yang lainya walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama dan ras.
c) Asas Keseimbangan
Asas ini sangat menjunjung tinggi dan menghendaki kedua belah pihak
untuk mentaati perjanjian. Kreditur mempunyai kewenangan untuk
memenuhi prestasi. Bahkan kreditur mempunyai power untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan kreditur bisa menuntut pelunasan orestasi
47 Tim Naskah Akademik BPHN, “NAskah Akademik Lokakarya Hukum Perikatan,” Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.
21
melalui kekayaan debitur. Akan tetapi, debitur melakukan kewajibanya
dalam perjanjian itu dengan itikad baik.
d) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian akan menjadi simbol hukum yang mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini bisa dilihat dari kekuatan mengikarnta suatu perjanjian, yaitu
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
e) Asas Moralitas
Asas ini didasarkan pada kesukarelaan seseorang yang tidak dapat menuntut
hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Salah satu factor
yang membuat dia terketuk hatinya untuk melakukan hal tersebut adalah
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
f) Asas Kepatutan
Berkaitan dengan ketentuan yang membicarakan isi perjanjian dan
diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjianya.
g) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak
hanya mengikat pada sesuatu yang secara tegas tertulis diatur, tetapi juga
hal-hal yang menurut kebiasaan izim diikuti.
h) Asas Perlindungan
Asas ini mengandung pengertian bahwa antara pekerja dan majikan harus
sama-sama dilindungi oleh hukum. Namun, yang lebih mendapatkan
perlindungan itu pekerja karena posisi pekerja lebih lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar dalam pembuatan suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dapat dipahami untuk
membuat suatu perjanjian harus diperhatikan point diatas agar tujuan akhir dari
suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sesuai dengan keinginan masing-
masing pihak.
2.2.4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian yang menyangkut dengan melakukan jasa diatur pada pasal 1601
KUH Perdata yang berbunyi :
“Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang
mana diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang
22
diperjanjikan, jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka itu adalah dua macam
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan
suatu pekerjaan dengan pihak lain untuk mendapatkan upah.”
Dari penjelasan isi pasal tersebut, perjanjian melakukan jasa diatur oleh
ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang telah
diperjanjikan oleh para pihak. Jika para pihak tidak membuat perjanjian, maka
pelaksanaan perjanjian itu dilakukan menurut kebiasaan.
Berdasarakan pasal tersebut jelas bahwa hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan dalam ketentuan-
ketentuan khusus untuk itu jika ada peraturan khusus yang mengaturnya. Bila tidak
ada yang mengaturnya, maka hak dan kewajiban para pihak ditentukan sendiri oleh
para pihak syarat perjanjian yang dibuat. Jika dalam syarat perjanjian tidak
dicantumkan maka hal tersebut ditentukan menurut kebiasaan. Tentunya hal ini
berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
2.2.5. Subyek Perjanjian
Subyek perjanjian adalah kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak
debitur yang harus memenuhi prestasi.48 Suatu Perjanjian di dalamnya terdiri dari
dua pihak atau lebih. Para pihak dalam perjanjian antara lain yaitu manusia
(Naturlijk person) dan Badan Hukum (Recht person).
2.2.6. Obyek Perjanjian
Obyek perjanjian adalah prestasi, debitur yang berkewajiban atas suatu
orestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. 49 Pasal 1234 KUH Perdata
menjelaskan suatu prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak sama sekali berbuat sesuatu. Untuk sahnya perikatan diperlukan syarat-
syarat terntentu.50
a. Obyek harus tertentu
b. Obyek harus diperbolehkan
c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang
d. Obyeknya harus mungkin
48 M. Yahya Harahap, segi-segi hukum perjanjian, Alumni, Bandung 1986, hlm 10. 49 Purwahid patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung: 1994, hlm 13. 50 ibid, hlm 4.
23
2.2.7. Macam-Macam Perjanjian
Ada beberapa macam-macam perjanjian antara lain;51
a. Perjanjian jual beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedangkan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
Perjanjian ini terjadi jika para pihak menyetujui tentang barang dan
harganya.
b. Perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sewa menyewa adalah dengan mana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka
waktu yang diperjanjikan, sedangkan pihak lainya menyanggupi untuk
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian barang itu. Tujuan
dari perjanjian ini adalah untuk pemakaian saja bukan untuk dijadikan hak
milik atas benda itu.
c. Pemberian atau hibah
Pemberian adalah suatu perjanjian (obligator), dengan mana pihak yang
satu menyanggupi dengan cuma-cuma (Om Niet) dengan secara mutlak
(onherroepelijk) dengan memberikan suatu benda pada pihak lainya untuk
mereka miliki. Perjanjian tersebut tidak bisa dicabut oleh salah satu pihak.
d. Perjanjian Perdamaian
Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak membuat suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam
perjanjianya masing-masing pihak melepaskan tuntutanya. perjanjian ini
dibuat dengan cara tertulis dan tidak boleh secara lisan.
2.2.8. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian atau Hapusnya perjanjian tertuang dalam pasal 1381
KUH Perdata, yang menyatakan sebuah perikatan akan hapus karena :
a. Pembayaran;
Pengertian pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang yang
diberikan oleh debitor kepada kreditor. Sedangkan pengertian pembayaran
51 R Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa 1985, hlm 13.
24
dalam arti yuridis pembayaran tidak hanya dalam bentuk uang atau barang,
tapi bisa juga dilakukan dalam bentuk jasa.52
b. Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
Yang dimaksud adalah si berutang melakukan pembayaran secara tunai
kepada si berpiutang, karena si berpiutang menolak untuk menerima
pembayaran secara tunai, maka kemudian si berutang menitipkanya kepada
pengadilan.53
c. Pembaharuan utang (novasi);
Novasi lahir karena adanya persetujuan. Para pihak membuat persetujuan
dengan jalan menghapuskan perjanjian lama, pada saat bersamaan para
pihak juga akan mengganti perjanjian lama dengan perjanjian baru. Pada
hakekatnya, perjanjian lama akan sama atau serupa dengan perjanjian
baru.54
d. Perjumpaan utang atau kompensasi;
Ini adalah salah satu cara penghapusan utang dengan cara memperjumpakan
atau memperhitungkan utang piutang dengan cara timbal balik antara
kreditur dan debitur.55
e. Percampuran utang;
Percampuran utang terjadi karena kedudukan debitur dan kreditur bersatu
pada diri seorang itu.56
f. Pembebasan utangnya;
Hal seperti ini apabila kreditur melakukan pembebasan kewajiban kepada
debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian.57
g. Musnahnya barang yang terutang;
Bisa diartikan sebagai hancurnya, tidak dapat diperdagangkan, atau barang
terutang itu hilang, sehingga tidak diketahui lagi barang tersebut masih ada