1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes melitus (DM) saat ini merupakan penyakit yang banyak dijumpai.
Prevalensinya akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 5,4% (American Diabetes Association, 2004). Data yang didapatkan
pada tahun 2003, total prevalensi di seluruh dunia mencapai 13,8 juta jiwa
(Anonim, 2008). Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030
prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Depkes, 2009).
Tingginya tingkat insidensi DM, tentunya akan diikuti pula dengan
meningkatnya komplikasi kronik akibat hiperglikemia. Komplikasi utama yang
sering terjadi adalah makroangiopati dan mikroangiopati (Jameson, 2004).
Komplikasi makroangiopati berupa gangguan pada pembuluh darah besar
seperti pembuluh darah besar otak, jantung dan kaki. Pada komplikasi
mikroangipati, penyakit yang ditimbulkan adalah retinopati diabetik, nefropati
diabetik dan neuropati diabetik (Adam, 2005).
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai
dengan albuminuria yang menetap dalam kurun 3 sampai 6 bulan
(Hendromartono, 2007). Penderita DM tipe 1 yang menderita nefropati
sebanyak 20 sampai 40% sedangkan DM tipe 2 sebanyak 10 sampai 20%
(Zhang et al., 2006). Pada nefropati diabetik terjadi perubahan fisiologis
maupun morfologis pada ginjal yang disebabkan oleh stres oksidatif. Kelainan
2
utama pada nefropati diabetik adalah perubahan glomerulus ginjal, sehingga
dapat terjadi kehilangan sel glomerulus (Jameson, 2004). Pendekatan utama
pada tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui pengendalian kadar glukosa
darah, pengendalian tekanan darah, perbaikan fungsi ginjal dan pengendalian
faktor-faktor komorbid lain (Hendromartono, 2007).
Banyak tanaman obat yang terus diteliti meskipun penggunaannya dalam
praktek klinik masih sangat jarang (Wahyono et al., 2007; Winata, 2003).
Salah satu tanaman obat yang berkhasiat adalah Daun Sendok (Plantago major
L.). Kandungan kimia pada Daun Sendok antara lain antidiabetik, antioksidan
dan memiliki efek hipoglikemik (Sudarsono et al., 2002; Duke, 2010).
Oleh karena pada penderita nefropati diabetik terjadi kerusakan pada
glomerulus ginjal yang disebabkan karena stres oksidatif akibat hiperglikemia,
diharapkan efek antioksidan pada Daun Sendok dapat menghambat stres
oksidatif. Selain itu efek hipoglikemi dan antidiabetiknya diharapkan dapat
mencegah terjadinya hiperglikemi dan diabetesnya. Sehingga secara
keseluruhan diharapkan dapat memperbaiki glomerulus ginjal.
Oleh karena hal ini belum teruji secara ilmiah, maka peneliti tertarik untuk
membuktikan khasiat Daun Sendok dalam memperbaiki struktur histologis
glomerulus ginjal mencit yang diinduksi streptozotocin.
3
B. Rumusan Masalah
“Adakah pengaruh pemberian ekstrak Daun Sendok (Plantago major L.)
terhadap gambaran histologis glomerulus ginjal mencit induksi
streptozotocin?”.
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Daun Sendok
(Plantago major L.) terhadap gambaran histologis glomerulus ginjal mencit
induksi streptozotocin.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat membuktikan khasiat Daun Sendok (Plantago major L.)
sebagai terapi dalam perbaikan glomerulus ginjal mencit induksi
streptozotocin.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian
lebih lanjut sehubungan dengan khasiat Daun Sendok (Plantago major L.)
sebagai obat fitofarmaka untuk terapi perbaikan ginjal pada penderita
diabetes melitus dengan komplikasi nefropati diabetik.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes melitus
a. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009, Diabetes
Melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin. Insulin adalah suatu hormon yang meregulasi glukosa
dalam darah. Hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa dalam darah
adalah efek yang biasa terjadi pada diabetes yang tidak terkontrol dan lebih
lanjut akan menimbulkan kerusakan yang serius pada banyak sistem dalam
tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah.
b. Klasifikasi
1) Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM tipe 1 adalah
sebuah penyakit inflamasi autoimun pada pankreas, sehingga
menyebabkan kekurangan produksi insulin. Proses autoimun ini
mengenai sel β pada Pulau Langerhans. Munculnya gejala klinis
membutuhkan destruksi yang sangat berat yaitu lebih dari 90% sel β
yang rusak. Awal mula proses destruksi autoimun tidah diketahui, tetapi
terdapat spekulasi tentang beberapa virus dan faktor lingkungan lain
dalam pengaruh genetik individu (Cihakova, 2001).
5
2) Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tipe 2
terdapat pada individu yang mengalami resistensi insulin dan biasanya
relatif memiliki defisiensi insulin setidaknya di awal dan terkadang
sepanjang hidupnya. Kadar insulin pada diabetes tipe 2 normal atau
meningkat karena fungsi sel β pankreas normal (American Diabetes
Association, 2009).
3) Diabetes melitus tipe lain
a) Defek genetik sel β
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) yang umumnya
terjadi sebelum umur 25 tahun sebagai akibat dari kegagalan sekresi
insulin dengan minimal atau tidak ada defek kerja insulin. Defek
genetik ini diturunkan secara autosomal dominan dan terjadi pada 6
lokus pada kromosom yang berbeda.
b) Defek genetik kerja insulin
Terjadi mutasi pada gen reseptor insulin sehingga fungsi reseptor
berubah dan terjadi resistensi insulin yang ekstrim. Terdapat asumsi
bahwa lesi terjadi pada jalur transduksi sinyal postreseptor.
c) Penyakit eksokrin pankreas seperti pankreatitis, trauma, infeksi,
pakreatrektomi dan karsinoma pankreas sehingga merusak sel β
pankreas yang memproduksi insulin.
d) Endokrinopati seperti akromegali, sindrom Cushing, glucagonoma,
feokromasitoma, hipertiroidisme, somatostatinoma dan
aldosteronoma.
6
e) Obat atau kimia yang menginduksi diabetes antara lain asam
nikotinik, glukokortikoid, interferon alfa dan lain-lain. Obat-obat ini
menyebabkan kegagalan sekresi insulin.
f) Infeksi terjadi pada pasien dengan rubella kongenital, coxsackievirus
B, cytomegalovirus dan adenovirus.
g) Imunologi seperti pada sindrom Stiff-man yaitu kelainan autoimun
pada sistem saraf pusat. Pada sistemik lupus eritematosus dan
penyakit imun lainnya juga terkadang didapatkan antibodi anti
reseptor insulin.
h) Sindrom genetik lainnya yaitu sindrom Down, sindrom Klinefelter,
sindrom Turner, sindrom Wolfram dan lain-lain (American Diabetes
Association, 2009).
4) Gestational Diabetes Mellitus (GDM) adalah intoleransi glukosa atau
peningkatan kadar glukosa darah lebih dari normal yang dideteksi
pertama kali selama kehamilan. Wanita dengan GDM memiliki resiko
tinggi mendapatkan DM ketika tidak dalam masa kehamilan (Buchanan,
2005).
c. Diagnosis
Terdapat gejala klasik yaitu poliuri, polidipsi, polifagi serta penurunan
berat badan tanpa penyebab ditambah satu dari tiga keadaan :
1) kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL
2) kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL
7
3) tes toleransi glukosa sebanyak 75 gram oral dan setelah 2 jam kadar
glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL (American Association of Clinical
Endocrinologist, 2007).
d. Penatalaksanaan
1) Terapi non farmakologis
a) Terapi gizi medis
Pada prinsipnya adalah mengatur pola makan dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Manfaat dari
terapi gizi antara lain menurunkan berat badan, menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah,
memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
dan memperbaiki sistem koagulasi darah. Berdasarkan jenis bahan
makanannya, maka karbohidrat yang diberikan tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energi sehari. Jumlah protein yang
disarankan 10-15% dan sisanya adalah lemak.
b) Latihan jasmani
Kegiatan fisik untuk DM tipe 1 maupun tipe 2 akan mengurangi
resiko kardiovaskuler dan meningkatkan harapan hidup. Pada DM
tipe 1, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik,
sehingga kendali gula darah bukan tujuan utama tetapi dapat
mencegah komplikasi makro dan mikrovaskular. Pada DM tipe 2,
latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa secara
menyeluruh, dengan penurunan konsentrasi HbA1c (Soebardi, 2007).
8
2) Terapi farmakologis
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
(1) Sulfonilurea
Mekanismenya antara lain dengan pelepasan insulin dari sel
β, pengurangan kadar glukagon dalam serum dan efek
ekstrapankreas untuk memperkuat kerja insulin pada jaringan
target.
(2) Biguanida
Mekanismenya yaitu meningkatkan pengikatan insulin pada
reseptor insulin, pengurangan kadar glukagon plasma dan
mengurangi glukoneogenesis di hati (Katzung, 2007).
(3) Penghambat alfa glukosidase
Mekanisme menurunkan penyerapan glukosa dengan
menghambat enzim alfa glukosidase (Soegondo, 2007).
b) Insulin
Tujuan pemberian insulin tersebut bukan saja untuk
menormalkan glukosa darah tetapi juga memperbaiki semua aspek
metabolisme (Suherman, 2007).
2. Struktur ginjal
Ginjal merupakan organ yang berjumlah sepasang yang terletak pada
dinding posterior abdomen, diluar rongga peritoneum. Setiap ginjal orang
dewasa beratnya kira-kira 150 gram. Sisi medial setiap ginjal merupakan
9
daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis,
cairan limfatik, suplai saraf dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke
kandung kemih. Ginjal dilingkupi oleh kapsul fibrosa yang keras untuk
melindungi struktur dalamnya yang rapuh. Jika ginjal dibelah menjadi dua
maka daerah yang tampak adalah korteks dibagian luar dan medula dibagian
dalam (Guyton, 2007).
Medula ginjal terbagi menjadi beberapa masa jaringan yang berbentuk
kerucut yang disebut piramida ginjal yang berakhir pada papila, yang menonjol
kedalam ruang pelvis. Batas luar pelvis terbagi menjadi ujung-ujung terbuka
yang disebut kalises mayor yang meluas kebawah dan terbagi menjadi kalises
minor. Dinding kalises, pelvis dan ureter terdiri dari elemen-elemen kontraktil
yang mendorong urin menuju kandung kemih (Guyton, 2007).
Unit fungsional ginjal adalah nefron yang mana pada setiap nefron terdiri
glomerulus dan tubulus. Di glomerulus terjadi proses filtrasi darah yang mana
jumlah darah yang mengalir ke ginjal sebesar 22% dari curah jantung. Darah
tersebut berasal dari arteri renalis (cabang langsung dari aorta abdominalis)
yang memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang-cabang
membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol
aferen. Cairan hasil dari proses filtrasi kemudian akan memasuki tubulus
proksimal yang terletak dalam korteks ginjal (Guyton, 2007).
Glomerulus tersusun dari jaringan kapiler yang dilapisi oleh sel-sel podosit.
Selain itu, kapiler glomerulus memiliki sel mesangial yang melekat pada
dinding kapiler pada lamina basal dan membentuk selubung yang dipakai
10
bersama oleh dua atau lebih kapiler. Sel mesangial memiliki juluran sitoplasma
yang menerobos diantara sel endotelial dan masuk ke dalam lumen kapiler. Sel
mesangial menghasilkan matriks amorf yang mengelilingi sel mesangial sendiri
dan ikut menunjang dinding kapiler (Junqueira et al., 2007).
Gambar 2.1. Glomerulus ginjal normal (diambil dari Junqueira et al., 2007).
3. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes melitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200
ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6
bulan (Hendromartono, 2007).
Nefropati diabetik paling sering dan paling cepat progresifitasnya penyebab
kegagalan ginjal stadium akhir pada negara berkembang. Nefropati diabetik
merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara genetik, metabolik dan
faktor hemodinamik. Albuminuria adalah penanda yang secara klinis berguna
untuk memprediksi perburukan fungsi ginjal. Selain menjadi penanda adanya
gangguan basal membran, mikroalbuminuria juga dapat memprediksi
11
progresifitas kearah nefropati klinis (Glassock, 1990; Biesenbach et al., 1994;
Roesli, 1996).
Keadaan hiperglikemia menyebabkan penurunan Nitrit Oxide (NO) yang
nantinya memacu peningkatan tekanan intrakapiler. Hal ini dimungkinkan
adanya peningkatan sensitivitas terhadap respon Angiotensin II pada pembuluh
darah sehingga meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya
albumin yang seharusnya terdapat dalam pembuluh darah masuk ke dalam
jaringan interstisial ginjal dan kemudian terbuang keluar tubuh melalui urin
sehingga timbul albuminuria (Tukiran, 2009).
Pada nefropati diabetik juga terjadi penurunan aktivitas antioksidan,
sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan stres oksidatif akibat tingginya
spesies oksogen reaktif (ROS) (Suhartono, 2005). Pada nefropati diabetik
tingkat akhir, akibat dari stres oksidatif beberapa faktor proinflamasi seperti
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), tumor necrosing factor-α (TNF-
α), intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan interleukin-18 (IL-18)
muncul. MCP-1 adalah kemokin utama yang menginduksi migrasi monosit dan
diferensiasi makrofag, yang meningkatkan produksi matriks ekstraseluler
(Zhang et al, 2006).
Lama-kelamaan terjadi peningkatan produksi mesangium, sehingga
menyebabkan terjadinya ekspansi mesangium melewati membrana basalis
perifer secara gradual sehingga menyebabkan permukaan filtrasi efektif
mengecil. Pada gangguan faal ginjal yang lanjut, permukaan filtrasi semakin
mengecil (diameter glomerulus mengecil) sehingga glomerulus tidak berfungsi
12
lagi. Akhirnya glomerulosklerosis, hyalinosis arteriolar aferen dan eferen serta
fibrosis tubulointerstisial terjadi (Bidaya, 1987).
4. Daun Sendok (Plantago major L.)
a. Klasifikasi
Dalam taksonomi tumbuhan, Daun sendok diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Asteridae
Order : Plantaginales
Family : Plantaginaceae
Genus : Plantago L
Spesies :Plantago major L.
(Samsuhidayat dan Hutapea,1991)
b. Nama Lokal
Ki urat, ceuli, c. uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan,; Sangkabuah,
sangkuah, sembung otot,; suri pandak (Jawa). daun urat. daun urat-urat,
daun sendok,; Ekor angin, kuping menjangan (Sumatera). ; Torongoat
(Minahasa). ; Che qian cao (China), ma de, xa tien (Vietnam),; Weegbree
13
(Belanda), plantain, greater plantain, ; Broadleaf plantain, rat's tail
plantain, waybread,; White man's foot (Inggris) (Yuniarti, 2008).
c. Deskripsi
Daun sendok merupakan gulma di perkebunan teh dan karet, atau
tumbuh liar di hutan, ladang dan halaman berumput yang agak lembap,
kadang ditanam dalam pot sebagai tumbuhan obat. Tumbuhan ini berasal
dari daratan Asia dan Eropa, dapat ditemukan dari dataran rendah sampai
ketinggian 3.300 m dpl. Terna menahun, tumbuh tegak, tinggi 15 - 20 cm.
Daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar. Bentuk
daun bundar telur sampai lanset melebar, tepi rata atau bergerigi kasar
tidak teratur, permukaan licin atau sedikit berambut, pertulangan
melengkung, panjang 5 - 10 cm, lebar 4 - 9 cm, warnanya hijau.
Perbungaan majemuk tersusun dalam bulir yang panjangnya sekitar 30 cm,
kecil-kecil, warna putih. Buah lonjong atau bulat telur, berisi 2 - 4 biji
berwarna hitam dan keriput (Yuniarti, 2008).
Gambar 2.2. Daun Sendok (Plantago major, L) (diambil dari
Yuniarti, 2008).
14
d. Kandungan Kimia
Daun sendok memiliki kandungan kimia antara lain pada daunnya
terdapat 3,4-dihydroaucubin, 6'-0-beta-glicosylaucubin, apigenin,
apigenin-7-glucoside, aucubin, baicalein, benzoic-acid, catalpol, fumaric-
acid, hispidulin, hydroxycinnamic-acid, luteolin, neo-chlorogenic-acid,
nepetin, oleanolic-acid, plantagoside, scutellarin.
Dalam bijinya mengandung 9-hydroxy-cis-11-octadecanoic-acid,
ascorbic-acid, aucubin, beta-carotene, calcium, choline, chromium,
cobalt, fat, fiber, gum, iron, linoleic-acid, magnesium, manganese,
mucilage, niacin, oleic-acid, phosphorus, plantease, potassium, protein,
riboflavin, selenium, silicon, sodium, thiamine dan zinc.
Batangnya mengandung acetoside, adenine, alkaloids, allantoin,
ascorbic-acid, aucubin, baicalin, caffeic-acid, chlorogenic-acid, cinnamic-
acid, citric-acid, d-glucose, d-xylose, di-o-methylgalactose, emulsin,
ferulic-acid, geniposidic-acid, gentisic-acid, glucoraphenine, indicaine, l-
fructose, licnoceric-acid, loliolid, luteolin-7-o-beta-d-glucosidase,
luteolin-7-o-beta-d-glucuronide, mucilage, p-coumaric-acid, p-hydroxy-
benzoic-acid, phenolcarbonic-acid, plantagic-acids, plantagonine,
planteolic-acid, potassium-salts, resin, rhamnose, saccharose, salicylic-
acid, sitosterol, sorbitol, succinic-acid, sulforaphene, syringic-acid,
syringing, tannin, tyrosine, tyrosol, ursolic-acid dan vanillic-acid. Pada
bunganya terdapat asperuloside (Duke, 2010).
15
e. Efek Farmakologis
Kandungan kimia pada infusa Daun Sendok mempunyai kemampuan
dalam perbaikan sel-sel Pulau Langerhans pankreas akibat pemberian
aloksan dan dapat menurunkan kadar glukosa darah (Sudarsono et al.,
2002). Biji dapat juga berkhasiat sebagai agen hipoglikemik dan
hipokolesterolimia (Sudarsono et al., 2002).
Unsur kimia pada Daun Sendok yang memiliki antidiabetik antara lain
ascorbic-acid, chlorogenic-acid, choline, chromium, fiber, magnesium,
manganese, niacin, sorbitol, ursolic-acid dan zinc. Zat yang memiliki efek
hipoglikemik yaitu ascorbic acid, chlorogenic-acid, salicylic-acid. Selain
itu juga terdapat antioksidan yaitu allantoin, apigenin, ascorbic-acid,
aucubin, baicalin, beta-carotene, caffeic-acid, chlorogenic-acid, ferulic-
acid, fumaric-acid, geniposidic-acid, gentisic acid, hispidulin, luteolin,
manganese, oleanolic-acid, p-coumaric-acid, p-hydroxy-benzoic-acid,
riboflavin, salicylic-acid, selenium, syringic-acid, tannin, tyrosol, ursolic-
acid dan vanillic acid (Duke, 2010).
5. Streptozotocin
Streptozotocin (2-deoxy -2- (3- (methyl-3-nitrosoureido) – D-
glucopyranose,C8H15N3O7 ) adalah kombinasi dari glucosamine-nitrosourea.
Streptozotocin toksik pada sel dengan merusak DNA, meskipun mekanisme
lainnya juga berperan. Struktur streptozotocin cukup mirip dengan glukosa
sehingga ditransportasikan kedalam sel melalui protein trasport glukosa
16
GLUT2, tetapi hal ini tidak terjadi pada transpor glukosa yang lain (Schnedl et
al., 1994; Wang and Gleichmann, 1998).
DNA yang rusak akibat pemberian streptozotocin akan menginduksi
aktivasi Poli-adenosine diphosphat (ADP)-ribosylation, Poli ADP-ribosylation
mengontrol deplesi seluler nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) dan
adenosine triphosphat (ATP). Kemampuan ATP dephosphorylation setelah
pemberian streptozotocin mensuplai sebuah substrat untuk menghasilkan
oksidasi xantin dalam pembentukan radikal superoksida. Akibatnya, akan
dihasilkan hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Selain itu, streptozotocin
membebaskan sejumlah nitrit oksida yang menghambat kegiatan akonitase dan
ikut serta dalam kerusakan DNA. Sebagai akibat dari aksi streptozotocin, sel β
akan mengalami kehancuran oleh karena nekrosis (Szkudelski, 2001).
Gambar 2.3. Struktur kimia streptozotocin (diambil dari Lenzen, 2008).
6. Metformin
Metformin ( C4H11N5 • HCl ) adalah obat hipoglikemik oral yang
termasuk kedalam golongan biguanida. Penggunaan utama metformin adalah
sebagai pengobatan pada DM tipe 2, terutama pada orang yang mengalami
obesitas (Katzung, 2007).
17
Kerjanya dalam menurunkan kadar gula darah tidak bergantung atas adanya
sel β pankreas yang berfungsi. Mekanisme kerjanya meliputi stimulasi
glikolisis langsung pada jaringan perifer dengan peningkatan pengeluaran
glukosa dari darah, mengurangi glukoneogenesis hati, memperlambat absorbsi
glukosa dari saluran pencernaan, pengurangan kadar glukagon plasma dan
meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor insulin (Katzung, 2007).
Metformin mempunyai waktu paruh 1,5-3 jam, tak terikat protein plasma,
tidak di metabolisme dan di ekskresi oleh ginjal sebagai senyawa aktif.
Kerjanya pada glukoneogenesis di hati dan di duga mengganggu ambilan asam
laktat oleh hati (Ediningsih, 2006).
Metformin diabsorbsi dengan lambat dan tidak mengalami metabolisme
dan dibersihkan dari tubuh dengan sekresi tubular dan di ekskresikan lewat urin
dalam bentuk yang tidak berubah. Metformin dikontraindikasikan untuk orang-
orang dengan kondisi yang dapat meningkatkan resiko asidosis laktat
(metabolik), termasuk kelainan ginjal (kadar kreatinin lebih dari 150 µmol/l,
kelainan paru-paru dan hepar. Kegagalan jantung kongestif juga meningkatkan
resiko asidosis laktat dengan metformin (Bristol, 2008; Jones et al., 2003).
Efek samping yang paling sering pada metformin yaitu kelainan pada
gastrointestinal, termasuk diare, mual, muntah dan peningkatan flatus (Bolen et
al., 2007). Potensial yang paling serius dari efek samping penggunaan
metformin adalah asidosis laktat, meskipun begitu ini sangat jarang dan
kebanyakan kasus berkaitan dengan kondisi komorbid (Khurana and Malik,
2009).
18
B. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Konsep
Keterangan : : menyebabkan
: mengandung : menghambat
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
Injeksi intraperitoneal streptozotocin
Sekresi insulin ↓
Stres oksidatif ↑
Sitokin proinflamasi
Daun Sendok
Efek hipoglikemik : ascorbic acid, chlorogenic-acid, salicylic-acid
Antioksidan: allantoin, apigenin, ascorbic-acid, aucubin, baicalin, beta-carotene, caffeic-acid, chlorogenic-acid, ferulic-acid, fumaric-acid, geniposidic-acid, gentisic acid, hispidulin, luteolin, manganese, oleanolic-acid, p-coumaric-acid, p-hydroxy-benzoic-acid, riboflavin, salicylic-acid, selenium, syringic-acid, tannin, tyrosol, ursolic-acid dan vanillic acid
Mencit
Protein Kinase C ↑
TGF β, MCP-1, TNF-α, IL-18
Antidiabetik: ascorbic-acid, chlorogenic-acid, choline, chromium, fiber,magnesium, manganese, niacin, sorbitol, ursolic-acid dan zinc
Kerusakan Sel β Pankreas
hiperglikemia
Sintesa matriks ekstraseluler ↑
Produksi kolagen meningkat, penebalan membran basal, hyalinisasi arteriol,
glomerulosklerosis, fibrosis tubulointerstisial
Reaksi protein glikosilat ↑
Rusaknya struktur glomerulus ginjal
Diabetes melitus
19
2. Kerangka Teoritis
Injeksi intraperitoneal streptozotocin (STZ) pada tubuh mencit,
menyebabkan masuknya STZ kedalam sel melalui protein transport glukosa
GLUT 2 oleh karena struktur STZ yang mirip dengan glukosa. Pada akhirnya
STZ merusak DNA (Schnedl et al., 1994; Wang and Gleichmann, 1998). DNA
yang rusak pada akhirnya akan membentuk radikal superoksida yaitu hidrogen
peroksida dan radikal hidroksil sehingga sel β akan mengalami kehancuran
oleh karena nekrosis (Szkudelski, 2001).
Kerusakan sel β dapat menyebabkan kegagalan fungsi sel β dalam
memproduksi dan melepaskan insulin sehingga dapat terjadi defisiensi insulin.
Defisiensi insulin mengurangi efisiensi penggunaan glukosa di perifer oleh
karena fungsi insulin meregulasi glukosa ke dalam sel terganggu. Sehingga
terjadilah DM dan terjadi kondisi hiperglikemia (World Health Organization,
2009; Guyton, 2007).
Hiperglikemia kemudian menginduksi stres oksidatif sehingga terjadi
peningkatan protein kinase-C dan peningkatan reaksi protein glikosilat. Pada
reaksi protein glikosilat merupakan reaksi yang terjadi antara molekul glukosa
dan protein yang pada akhirnya akan membentuk molekul AGEs (advances
glycosylated end products). Molekul protein glikosilat (AGEs) yang terbentuk,
terdapat baik intra maupun ekstraseluler serta akan menganggu fungsi normal
sel. Modifikasi molekul AGEs dalam plasma, akan berikatan dengan reseptor
AGEs pada membaran sel dan mengakibatkan perubahan ekspresi genetik sel
endotel, sel mesangial, dan sel makrofag. Ikatan molekul AGEs dengan sel
20
endotel, menimbulkan stres oksidatif intraseluler (Setiawan dan Suhartono,
2005).
Selanjutnya akibat dari stres oksidatif maka akan memanggil sitokin
proinflamasi seperti transforming growth factor β (TGF β), monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1), tumor necrosing factor-α (TNF-α),
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan interleukin-18 (IL-18).
Akibat adanya sitokin ini maka menimbulkan proses inflamasi dan juga
peningkatan sintesa matriks ekstraseluler yang pada akhirnya akan
menimbulkan peningkatan produksi kolagen, penebalan membran basal,
hyalinisasi arteriol, glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial
(Hendromartono, 2007). Sehingga secara keseluruhan proses ini menimbulkan
kerusakan pada struktur histologis ginjal terutama glomerulus. Daun Sendok
(Plantago major L.) memiliki kandungan kimia yang mempunyai antidiabetik,
efek hipoglikemik dan antioksidan. Sehingga diharapkan ketiga khasiat
tersebut dapat menurunkan kadar glukosa darah dan memperbaiki kerusakan
ginjal akibat nefropati diabetik.
C. Hipotesis
Ekstrak Daun Sendok (Plantago major L.) mencegah kerusakan glomerulus
ginjal pada mencit yang diinduksi streptozotocin.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only control
group design.
B. Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 32 ekor mencit Balb/C jantan (Mus musculus L.),
dengan berat badan ± 20-30 gram dan berumur 6-8 minggu. Mencit diperoleh dari
UD Wistar, Dadapan, Jl Parangtritis Km 8, Yogyakarta. Bahan makanan mencit
digunakan pakan broiler I (BR I).
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling yang
dilanjutkan dengan simple random sampling. Penentuan besar sampel dengan
menggunakan rumus, yaitu:
n1 = n2 = 2
s = d (karena insidensinya belum diketahui)
22
n1 = n2 = 2
= 2 [1,96]2
= ± 8
Keterangan:
n = jumlah kelompok Z = nilai pada distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat
kemaknaan ( = 5%, Z = 1,96) s = simpangan baku pada dua kelompok d = tingkat ketepatan absolut dari beda rerata (Arief, 2004).
Jadi, jumlah keseluruhan sampel yaitu 32 ekor mencit jantan.
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Ekstrak Daun Sendok (Plantago major L.)
2. Variabel terikat : Kerusakan glomerulus dan diameter glomerulus
3. Variabel luar
a. Dapat dikendalikan : Genetik, berat badan, makanan, umur, jenis
kelamin
b. Tidak dapat dikendalikan : Variasi kepekaan mencit terhadap pemberian
suatu zat, stres, hormonal
F. Skala Variabel
1. Pemberian ekstrak Daun Sendok : skala nominal
2. Kerusakan glomerulus : skala numerik
3. Diameter glomerulus : skala numerik
23
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Pemberian ekstrak Daun Sendok (Plantago major L.)
Ekstrak Daun Sendok didapatkan dengan menggunakan metode perkolasi
yaitu dengan cara dikeringkan, dihaluskan, dan diekstraksi dengan
menggunakan cairan penyari ethanol 70%. Daun Sendok yang digunakan
berasal dari Merapi Farma, Jl. Kaliurang KM 20 Pakem, Sleman. Ekstraksi
dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Pengujian Terpadu (LPPT)
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Dosis ekstrak yang digunakan pada penelitian ini adalah 1000 mg/kgBB.
Bila setiap mencit mempunyai berat 30 gram, maka:
Dosis 1 ekor mencit =
Pengenceran ekstrak =
= 200 mg ekstrak dalam 1 ml larutan
Dengan kata lain 1 ml larutan mengandung 200 mg ekstrak. Bila dosis
tiap mencit adalah 30 mg maka volume ekstrak yang diberikan adalah 0,15
ml tiap mencit.
2. Gambaran histologis glomerulus ginjal
Gambaran histologis ginjal diperoleh pada hari ke-14 atau pada akhir
percobaan, dengan mengorbankan mencit dengan cara cervical dislocation,
kemudian diambil ginjalnya dengan melakukan irisan dengan ketebalan 5
mikron, dipilih secara random, untuk homogenitas sampel. Lalu dibuat
preparat histologisnya dengan metode blok parafin dan pengecatan
24
Hematoxylin Eosin (HE). Irisan dilakukan dengan ketebalan irisan 5 mikron,
dipilih secara random, untuk homogenitas sampel. Lalu dilakukan
pengamatan gambaran histologis glomerulus pada tiap preparat dengan
parameter yang diamati yaitu diameter glomerulus dan kerusakan glomerulus
menggunakan mikroskop cahaya dengan optilab yang diproduksi oleh CV.
Micronos Transdata Nusantara. Pada pengamatan digunakan perbesaran
100x.
3. Dosis metformin pada mencit
Dosis metformin untuk manusia dengan berat badan 70 kg adalah 500
mg. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ± 70 kg) ke mencit
(dengan berat badan ± 20 gr) adalah 0,0026 (Suhardjono, 1995).
0,0026 x 500 mg = 1,3 mg/ 20 gr BB
Karena pemberian metformin dilakukan secara peroral, maka perlu
dilakukan pelarutan dalam aquades dengan rincian 26 mg metformin
dilarutkan dalam 2 ml aquades. Bila dosis tiap mencit adalah 1,3 mg maka
volume metformin yang diberikan adalah 0,1 ml.
4. Pembuatan mencit model DM induksi streptozotocin
Untuk menjadikan mencit model DM, maka dilakukan induksi dengan
Streptozotocin (STZ). Mencit diadaptasikan selama satu minggu. Dosis STZ
yang digunakan yaitu 65 mg/kgBB yang diberikan dua kali dengan selang
waktu 5 hari. Hanya mencit dengan kadar glukosa darah ≥200 mg/dL yang
digunakan dalam penelitian ini.
25
Pembuatan larutan STZ: 50 ml buffer sitrat 0,02 M + 500 mg STZ
1 ml larutan ≈ 10 mg STZ → 1 mg STZ ≈ 0,1 cc larutan
Dosis STZ : 65 mg/kgBB = 0,065 mg/grBB
Mencit 30 gr → (30 x 0,065) mg/30 grBB
→ 1,95 mg/30 grBB/ → (1,95 x 0,1) cc larutan → 0,195cc larutan
H. Rancangan penelitian
Keterangan : S = jumlah sampel K1 = Kelompok kontrol K2 = Kelompok DM K3 = Kelompok DM+ekstrak Daun Sendok dosis 1.000 mg/kgBB/hari K4 = Kelompok DM+metformin dosis 1,3 mg/20 grBB/hari H1 = Gambaran histologis glomerulus ginjal K1 H2 = Gambaran histologis glomerulus ginjal K2 H3 = Gambaran histologis glomerulus ginjal K3 H4 = Gambaran histologis glomerulus ginjal K4
I. Instrumentasi Penelitian
1. Alat penelitian
a. kandang mencit
b. timbangan elektrik Mettler Toledo
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian
Uji one way ANOVA
dilanjutkan dengan Post Hoc Test
K4
K3
K2
K1
S
H1
H2
H3
H4
26
c. spuit injeksi tuberculin/spuit 1 cc
d. sonde
e. pipet ukur
f. gelas ukur 100 cc
g. beaker glass 100 cc
h. GlucoDr Blood Glucose Test Meter
i. mikroskop cahaya Olympus
j. optilab
k. timbangan obat
l. alat-alat pembuatan preparat histologis, antara lain gelas objek, deck glass
dan microtom
2. Bahan penelitian
a. ekstrak ethanol Daun Sendok (Plantago major L.)
b. Streptozotocin
c. hewan uji (32 ekor mencit jantan)
d. makanan standar hewan uji (pakan Broiler I)
e. minuman standar (akuades)
f. chlorethyl spray
g. hematoxylin eosin
27
J. Cara Kerja
1. Sebelum perlakuan
a. Kandang mencit disiapkan. Satu kandang 1 kelompok mencit.
b. Mencit diadaptasikan dengan lingkungan selama 7 hari.
c. Mencit sebanyak 32 ekor dikelompokkan secara acak menjadi 4 kelompok,
masing-masing 8 ekor.
2. Perlakuan
a. Kelompok 1 hanya diberi diet standar dan air minum selama penelitian
berjalan sebagai kontrol negatif.
b. Kelompok 2 diberi diet standar dan diinduksi STZ.
c. Kelompok 3 diberi diet standar, diinduksi STZ dan diberikan ekstrak Daun
Sendok (Plantago major L.) dengan dosis 1000 mg/kgBB.
d. Kelompok 4 diberi diet standar, diinduksi STZ dan OHO metformin.
3. Setelah perlakuan
Mencit dikorbankan dengan cara cervical dislocation, kemudian diambil
ginjalnya. Lalu dibuat preparat histologisnya dengan metode blok parafin.
Langkah-langkah pembuatan preparat antara lain :
a. Fiksasi yang dilakukan antara lain dengan cara Bouin yang bertujuan untuk
mencegah otolisis oleh enzim dan bakteri dan melindungi bentuk fisik.
b. Setelah itu dilanjutkan dengan proses embedding yang bertujuan untuk
memperkeras jaringan sehingga dapat dipotong tipis. Prosedur dalam
embedding antara lain mengeluarkan air jaringan dengan alkohol bertingkat
28
70-100 % (dehidrasi), penjernihan dengan menggunakan pelarut lemak
seperti benzene atau xilen.
c. Pembuatan blok parafin dengan memasukan jaringan kedalam parafin cair
lalu diinkubator 58-60oC.
d. Selanjutnya adalah proses pemotongan dengan mikrotom dengan ketebalan
irisan 5 mikron.
e. Pewarnaan dengan Hematoxilyn Eosin (HE).
f. Lalu dilanjutkan dengan proses mounting yang dilakukan dengan perekat
dan penutup (deck glass) yang dilekatkan pada irisan jaringan yang telah
diwarnai pada objek glass.
Dari setiap mencit dibuat 3 preparat kemudian diambil 1 preparat lalu
dihitung rata-rata glomerulus, jumlah glomerulus dan kerusakan glomerulus
tiap preparat. Preparat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dan
optilab dengan perbesaran 100x.
29
K. Alur penelitian
Gambar 3.2. Alur Penelitian
Analisis statistik
Mencit jantan (Mus musculus L.) dengan berat badan + 20 gram,
berumur 6-8 minggu.
Streptozotocin dosis 65 mg/kgBB
2 hari
Kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl < 200 mg/dl excluded
Kelompok DM (8 ekor)
Ekstrak Daun Sendok Dosis 1.000 mg/kgBB/hari (8 ekor)
Metformin Dosis 1,3 mg/20grBB (8 ekor)
Kelompok kontrol (8 ekor)
Gambaran histologis ginjal
30
L. Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan statistik parametrik dengan syarat variabel
diambil secara random yang pada penelitian ini menggunakan purposive random
sampling, data terdistribusi normal dan skala pengukuran numerik (skala interval
atau rasio) (Bhisma, 2006).
Jenis uji statistik parametrik yang digunakan adalah uji ANOVA karena pada
penelitian menggunakan lebih dari dua kelompok yang berguna untuk menguji
kemampuan generalisasi sehingga data sampel dianggap mewakili populasi.
Syarat untuk uji ANOVA yaitu data dipilih secara acak (random), berdistribusi
normal dan variannya homogen. Kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test
Least Significant Difference (LSD) bila hipotesis nol (H0) ditolak dan untuk
mengatahui variabel mana yang mempunyai perbedaan secara signifikan (Lababa,
2004).
Jika tidak memenuhi syarat untuk uji ANOVA, maka dilakukan transformasi
data. Apabila tetap tidak memenuhi syarat, maka digunakan metode statistik
nonparametrik yaitu uji Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis harus memenuhi
asumsi berikut ini:
1. Sampel ditarik dari populasi secara acak
2. Kasus masing-masing kelompok independen
3. Skala pengukurannya biasanya ordinal (Ariyoso, 2009a).
31
Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Asumsi yang berlaku dalam
uji Mann-Whitney adalah:
1. Sampel berasal dari populasi secara acak
2. Pada uji Mann-Whitney sampel bersifat independen
3. Skala pengukuran yang digunakan adalah ordinal (Ariyoso, 2009b).
Analisa statistik pada penelitian ini menggunakan program SPSS for Window
Release 17.0 dan p < 0,05 dipilih sebagai tingkat minimal signifikansinya.
32