LAPORAN KASUS
IKTERUS NEONATORUM
Oleh:
Andri A. Wijaya (H1A 003 005)
Maria Lisdiana (H1A 006 028)
Nurfathanah (H1A 006 033)
Zakiyyatun Humairah (H1A 008 030)
Pembimbing:
dr. I Wayan Gde Sugiharta, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
PRAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia
menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi
pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini
berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia.1
Pada masa transisi setelah lahir hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga
proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pada kebanyakan bayi
baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang
normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan
sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian, dan bila
bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan
apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitoring apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirunemia yang berat.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya
kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.1,2
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan
usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi
baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab yang sering terjadi
adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel
darah merah sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat
lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi.1,2,3
II.2. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi (20%) dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin
bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa
ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel
hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain
yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.1
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan
dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin.
Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.1
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun
biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan, pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh,
misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian hari.4,5
II.3. Etiologi Ikterus Neonatorum4
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :
a. Meningkatnya kadar bilirubin
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek.
b. Penurunan eksresi bilirubin
Hal ini dapat terjadi karena :
- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan
dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih
berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus,
dan penurunan bakteri flora normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering
dan bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.1
Gambar 2. Etiologi Ikterus neonatorum fisiologis
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk
early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset
diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan
eksresi bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan
asam lemak unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta
glukorunidase yang menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1
Gambar 3. Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada
bayi yang mendapat ASI dan susu formula
II.4. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :
a. Faktor maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus)
c. Faktor neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
II.5. Klasifikasi Ikterus Neonatorum4,5,6
Ada 2 macam ikterus neonatorum :
1. Ikterus fisiologis
a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Tidak mempuyai dasar patologis
c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi
menjadi kern ikterus
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari
kesepuluh
2. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;
a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam
c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD,
atau sepsis)
d. Ikterus yang disertai oleh :
Berat lahir kurang dari 2000 gram
Masa gestasi 36 minggu
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)
Infeksi
Trauma lahir pada kepala
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus
cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan
II.6. Penegakan Diagnosis
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus
untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan
itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus.7
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Berikut penyebab ikterus yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama
kehidupan :
inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain
infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
defisiensi G6PD
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus fisiologis
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain
Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam
Defisiensi enzim G6PD
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan
subkapsuler hepar)
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim eritrosit lainnya
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis)
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G6PD
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi
Hipotiroidisme
Breast milk jaundice
Infeksi
Neonatal hepatitis
Tabel 1. Gambaran Diagnostik dari Beberapa Tipe Neonatal Jaundice
Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan penyaring G6PD
Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Gambar 4. Algorithm for the management of jaundice in the newborn nursery
Gambar 5. Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice
Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak
menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
ikterus.3
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan
pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih
2 minggu.4
Gambar 6. Pembagian ikterus menurut Kramer4
Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer
Daerah
ikterusPenjelasan
Kadar bilirubin (mg/dl)
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4-8 4-8
2 Dada sampai pusat 5-12 5-12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16
4Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu
sampai pergelangan tangan9-18 11-18
5Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan
telapak tangan>10 >15
II.7. Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut :4
Minum ASI dini dan sering
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan
sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak
praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tatalaksana awal ikterus neonatorum :8
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram,
lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs
Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar
Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar
Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis
atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan
Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang
dapat dilakukan antara lain :
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini
bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin
dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :9
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar albumin lebih dari
10 mg/dl
- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :9
- Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl
- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl
- Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl
Tabel 3. Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin
serum
(mg/dl)
< 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500
<5 Tidak perlu terapi – observasi
5-9 Terapi sinar bila hemolisis
10-14 Transfusi tukar Terapi sinar
15-19 Transfusi tukar Terapi sinar
>20 Transfusi tukar
Terapi suportif, antara lain :10
Minum ASI atau pemberian ASI perah
Infus cairan dengan dosis rumatan
Monitoring yang dilakukan antara lain :10
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama
bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik,
atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS
Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :6
a. Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari
untuk beberapa hari pertama
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa
Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap
8-12 jam
II.8. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya
terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL
dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada
hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar
dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.2
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke
arah bayi 2
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar.2
Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat
diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.2
II.9 Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit
yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya
yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila
ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar
bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.10
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia
yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai
adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang
kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan
darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk
transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB. 10
Macam Transfusi Tukar:
‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb
bayi.
‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
II.10. Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang
otak. Patogenesis kern ikterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara
kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera.
Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas sawar darah otak
mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.
Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.
Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :1
a. Bentuk akut
Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang
Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus, retrocollis,
demam
Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni
b. Bentuk kronis
Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat
Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran
Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :1
Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
Penilaian berkala pendengaran
Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa
BAB III
LAPORAN KASUS
DOKTER MUDA SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PRAYA
Tanggal masuk rumah sakit/jam: 08/11/2012 10.00 wita
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : By. Ny. S
Tanggal lahir : 31-10-2012
Jenis kelamin : Perempuan
Cara persalinan : SC
A-S : 5-7
BBL : 2.800 gr
Alamat : Pengadang
Identitas Keluarga:
Ibu Bapak
Nama Ny. S Tn. A
Umur 26 tahun 28 tahun
Pendidikan SD SMP
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh tani
Alamat Pengadang Pengadang
ANAMNESA : (8-11-2012/11.00 wita)
Keluhan utama : kulit bayi berwarna kekuningan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi dikeluhkan kulit berwarna kekuningan yang muncul sejak hari ke 2. Awalnya
hanya sekitar muka namun akhirnya semakin turun ke badan. Sejak baru lahir, ibu
mengaku tidak pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-),
mual (-), muntah (-). sesak (-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum
BAB sejak 2 hari yang lalu, terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+)
sering, bisa mencapai > 7x/hari. Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien
diberikan susu formula (SGM) karena ASI ibu belum keluar, namun sejak kemarin
pasien sudah mulai mendapatkan ASI perah dari ibunya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak terdapat riwayat kuning dalam keluarga, penyakit jantung (-), tekanan darah
tinggi (-), ginjal (-), asma (-).
Riwayat Kehamilan dan persalinan :
Riwayat Kehamilan
GPA : G1P0A0
HPHT : -
Periksa hamil/ANC : Oleh bidan di Puskesmas dan saat Posyandu
Kebiasaan ibu sebelum/selama kehamilan
Minum alkohol : Tidak pernah
Merokok : Tidak pernah
Makan obat-obatan tertentu : Tidak pernah
Riwayat demam dalam kehamilan : Tidak ada
Penyakit atau komplikasi kehamilan : APB
Riwayat Persalinan
Persentasi : Kepala
Cara persalinan : SC
Riwayat ketuban kental, hijau, bau : Tidak ada
Tempat lahir : RSUD Praya, ditolong oleh Sp.OG
Keadaan bayi saat lahir
Jenis kelamin : Perempuan
Kelahiran : Tunggal
Kondisi saat lahir : Hidup
A-S : 5-7
BBL : 2.800 gram
PB : 48 cm
PEMERIKSAAN FISIK (Tgl 8 November 2012)
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : waspada
1. Tanda Vital :
Suhu : 37.1 C
DJJ : 140 x/menit
Respirasi : 32 x/menit
Tek. Darah : Tidak dievaluasi
CRT : < 2 detik
2. Menilai Pertumbuhan :
Berat Badan : 3.000 gram
Panjang Badan : 48 cm
Lingkar Kepala : 34 cm
3. Penampakan Umum :
Aktivitas : baik
Warna kulit : kekuningan
Cacat bawaan yang tampak : (-)
4. Kepala
Bentuk kepala : simetris, lecet (-), ubun-ubun besar terpisah, ubun-ubun
cembung (-), sutura melebar (-), craniosynostosis (-), caput sucendaneum (-),
dan cephalhematom (-).
Mata:
Pupil: reflex cahaya (+/+), isokor (+), miosis (-), midriasis (-)
Sekret mata: (-/-), sclera: ikterus (+/+)
Konjungtiva: anemis (-/-), edema palpebra (-/-)
Telinga: dbn
Hidung: dbn
Tenggorok: sde
Mulut: sianosis (-)
5. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), hematoma pada musculus SCM (-),
pembesaran kelenjar Tiroid (-), leher pendek (-), Rooting refleks (+).
6. Thoraks
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-), kekeuningan
(+)
Palpasi : Gerakan diding dada simetris
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Cor: S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-),
Paru: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
7. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), massa (-), kelainan congenital (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Massa (-), soepel (+), hepar-lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+) diseluruh lapang abdomen
8. Umbilicus
Umbilicus mengering, tanda-tanda radang (-)
9. Anggota Gerak :
Tungkai atas Tungkai bawah
Kelainan bentuk (-/-) (-/-)
Tonus otot normal normal
Edema
Ikterus
(-/-)
(+/+)
(-/-)
(+/+)
Refleks fisiologis (+/+) (+/+)
Refleks patolosis (-/-) (-/-)
10. Kulit :
Ikterus (+) pada seluruh tubuh dan ekstremitas (derajat kramer V), pustula (-),
ruam (-), petechie (-)
Turgor kulit : normal
kelainan kulit lainnya (-)
11. Uro-genital
Kelainan bawaan : (-)
RESUME
Bayi perempuan usia 8 hari dari Pengadang datang dengan badan kekuningan. Pasien
dikeluhkan kulit berwarna kekuningan muncul sejak lahir. Awalnya hanya sekitar muka
namun akhirnya semakin turun ke seluruh badan. Sejak baru lahir, ibu mengaku tidak
pernah menjemur bayinya di bawah sinar matahari. Riwayat demam (-), muntah (-).
sesak (-), kebiruan (-), kejang (-). Pasien juga dikeluhkan belum BAB sejak 2 hari yang
lalu, terakhir BAB warna kuning konsistensi lunak. BAK (+) sering, bisa mencapai >
7x/hari. Pasien kuat menyusu, namun sejak lahir pasien diberikan susu formula (SGM)
karena ASI ibu belum keluar, namun sejak kemarin pasien sudah mulai mendapatkan
ASI perah dari ibunya.
Saat hamil ibu bayi mengaku tidak pernah menderita penyakit berat. Riwayat minum
jamu-jamuan atau obat-obatan yang dijual bebas selama hamil (-). Pasien dilahirkan di
RSUD Praya dengan SC karena riwayat APB, langsung menangis dengan AS:5-7 dan
berat badan lahir 2.800 gr, panjang badan 48 cm, anus (+), caput (-), tanda-tanda trauma
(-), kelainan congenital (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap tanggal 8 November 2012:
Hemoglobin : 13 gr%
Leukosit : 11,3/mm3
Trombosit : 579.000/mm3
Hematokrit : 39,3%
Gol darah/Rh : O/+
Bilirubin tanggal 9 November 2012
Bilirubin Total: 16,4
Bilirubin Direk: 0,56
DIAGNOSIS
Ikterus Neonatorum (Kramer V)
RENCANA TINDAKAN
Observasi KU dan TTV serta berat badan setiap hari.
Fototerapi
Cek lab : DL, GDS, Bilirubin total, Bilirubin direk, HbsAg, albumin total,
urinalisis.
KIE ibu untuk menyusui lebih sering minimal 2 jam sekali
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada neonatus bila kadar
bilirubin darah lebih dari 5 mg/dl.1 Pada pasien ini nampak kekuningan hampir
diseluruh tubuh, yaitu wajah, dada, perut, ekstremitas atas maupun bawah,
hingga bagian tangan dan kaki. Pemeriksaan fisik secara khusus yaitu dengan
metode Kramer.2 Pasien ini didapatkan sesuai dengan pembagian derajat Kramer
V.
Proses fisiologis terjadinya hiperbilirubinemia antara lain karena
tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90
hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi
pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 – 7, kemudian akan
menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubinpun biasanya tidak > 10
mg/dL (171 μmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 μmol/L) pada
bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu
berlebihan atau konjungasi hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam
darah. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis.1 Bayi baru lahir dapat mengalami
hiperbilirubinemia pada minggu pertama kehidupannya berkaitan dengan: (1)
meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis) (2), kurangnya albumin sebagai
alat pengangkut (3) penurunan uptake oleh hati, (4) penurunan konjugasi
bilirubin oleh hati, (5) penurunan ekskresi bilirubin, dan, (6) peningkatan
sirkulasi enterohepatik.3
Untuk mengantisipasi kompilkasi yang mungkin timbul, maka perlu
diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat.
Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan
waktu, pada saat bayi pulang
Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan > 35 mg dibagi
menjadi :4
a. Faktor resiko mayor
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah resiko tinggi (gambar 1)
- Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
- Inkompabilitas golongan darah atau penyakit hemolitik lainnya
- Umur kehamilan 35-36 minggu
- Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
- Sefal hematom atau memar yang bermakna
- ASI ekslusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat
badan yang berlebihan
- Ras Asia Timur
b. Faktor resiko minor
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah resiko sedang (gambar 1)
- Umur kehamilan 37-38 minggu
- Sebelum pulang, bayi tampak kuning
- Bayi makrosomia dari ibu DM
- Umur ibu ≥ 25 tahun
- Jenis kelamin laki-laki
c. Faktor resiko kurang (besar resiko sesuai dengan urutan yang tertulis, makin
ke bawah resiko makin rendah)
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus
terletak pada daerah resiko rendah (gambar 1)
- Umur kehamilan ≥ 41 minggu
- Bayi mendapat susu formula penuh
- Kulit hitam
- Bayi dipulangkan setelah 72 jam
Pada pasien ini, didapatkan kadar bilirubin sebesar 16,4 pada usia 8 hari, namun
menurut pengakuan ibu pasien, pasien sudah mulai tampak kuning sejak lahir.
Pada pasien ini juga terdapat beberapa faktor resiko terjadinya
hiperbilirubinemia, yaitu kadar bilirubin yang terletak pada zone resiko tinggi
intermediet, pasien tidak langsung mendapatkan ASI ketika lahir dimana pasien
baru mendapatkan ASI pada hari ke 3 dan produksi ASI ibu pasien masih sedikit
sehingga intake pada pasien berkurang, saat lahir A-S : 5-7 (asfiksia sedang).
Berdasarkan hal di atas, maka pada bayi ini merupakan ikterus non fisiologis
karena masih didapatkan suatu keadaan yang patologis, muncul dalam 24 jam
pertama kehidupan dan berlanjut hingga memasuki usia 8 hari.
Berbagai cara digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek, strategi tersebut meliputi pencegahan, farmakoterapi,
fototerapi, dan transfusi tukar.4 Pada pasien ini dilakukan fototerapi dengan hasil
warna kekuningan pada badan pasien mulai menghilang, walaupun sebenarnya
harus dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin setelah fototerapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. Philadelpia :
WB Saunders Company
2. Etika Risa, dkk. 2007. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo-Surabaya
3. Kosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi. Ed.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Mansjoer, A. Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
5. Arianti R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes
6. Sudigdo, dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA Indonesia
7. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And
Midwives. Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World
Organization Health.
8. Suraatmaja, S. Soettjiningsih 2000. Ikterus Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis
dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar ; Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah
9. Kosim, M.S dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
10. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.
Pediatrics 114:297-316