This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LAPORAN TUTORIALSKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI
RASANYA SEPERTI MAU MATI SEBAGAI MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN PSIKIATRI SERTA DIAGNOSIS
BANDINGNYA
Oleh :Kelompok 14
Arum Alfiyah Fahmi (G0010028)
Candra Aji Setiawan (G0010038)
Coraega Gena Ernestine (G0010046)
Erma Malindha (G0010074)
Gunung Mahameru (G0010088)
Namira Qisthina (G0010134)
Paksi Suryo Bawono (G0010148)
Puji Rahmawati (G0010154)
Satria Adi Putra (G0010172)
Yunita Asri Pertiwi (G0010202)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan mental/gangguan jiwa menurut PPDGJ II yang merujuk
pada DSM III adalah sindrom atau pola perilaku seseorang yang secara klinik
cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia. Gangguan mental dapat berupa gangguan psikotik
yang dapat bersifat akut dan sementara yang perbedaannya didasarkan pada
lamanya durasi simptom yang ada.
Pedoman diagnosis gangguan psikosis didasarkan pada urutan
prioritas yang dipakai yang meliputi onset yang akut, sindrom yang khas,
adanya stress akut, tidak diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung,
dan tidak ada penyebab organik. Pedoman diagnosis tersebut penting karena
macam-macam gangguan psikotik mempunyai kriteria diagnosis masing-
masing.
Berikut ini adalah permasalahan pada skenario 3.
Rasanya Seperti Mau Mati!
Seorang wanita, Ny.M, 40 tahun, dibawa ke UGD RS DR Moewardi
Surakarta karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat
dingin, dan berdebar-debar. Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati.
Kejadian seperti ini pernah dialami oleh pasien 2 minggu sebelumnya
sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Pada saat itu tekanan
darah 150/90 mmHg. Setelah kejadian hari pertama tersebut sampai saat ini
pasien merasa khawatir mengalami serangan jantung atau stroke. Badan
terasa tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Disamping itu pasien juga
menjadi tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun.
Dari pemeriksaan status mental didapatkan agoraphobia dan
preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme psikoneuroimmunology (PNI) dan jalur aksis
HPA?
2. Bagaimana pathogenesis dan patofisiologi terjadinya gejala yang dialami
pasien?
3. Bagaimana respon tubuh terhadap faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi fisik ?
4. Mengapa pasien bisa mengalami preokupasi?
5. Bagaimana proses dan efek serangan konsisi psikis pasien?
6. Bagaimana fisiologi dan gangguan psikoseksual?
7. Apa faktor risiko, penyebab, dan gejala agoraphobia?
8. Bagaimana faktor biologi yang berperan dalam menimbulkan kecemasan?
9. Apa saja faktor risiko timbulnya kelainan yang terjadi pada pasien?
10. Apakah gejala yang dialami pasien tersebut mempengaruhi tekanan
darahnya? Bagaimana mekanismenya?
11. Mengapa pasien mengalami preokupasi terhadap penyakit jantung atau
stroke?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutukan untuk menegakka
diagnosis?
13. Apa saja differential diagnosis pada pasien tersebut?
14. Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat dari pasien?
15. Apa saja terapi pendahuluan yang diberikan oleh dokter kepada pasien?
16. Apa saja tindakan preventif untuk edukasi pasien?
17. Bagaimana komplikasi dan prognosis kasus pada skenario?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi psikosomatik dan somatopsikis
gangguan psikotik.
4
2. Mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan patofisiologi dan
patogenesis keluhan pada pasien gangguan psikotik.
3. Mahasiswa dapat memahami konsep otak dan sistem neuroendokrin pada
gangguan jiwa.
4. Mahasiswa dapat memahami konsstes.ep mekanisme dan respon tubuh
terhadap
5. Mahasiswa dapat memahami prosedur penegakan diagnosis dan terapi
holistik dengan mempertimbangkan faktor bio-psiko-sosio-spiritual.
6. Mahasiswa dapat mempelajari differential diagnosis pada kasus scenario.
7. Mahasiswa dapat mempelajari pencegahan, komplikasi, dan prognosis
gangguan jiwa seperti pada kasus scenario.
D. Manfaat Penulisan
Setelah terselesaikan laporan tutorial ini, kami berharap laporan tutorial ini :
1. Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria penilaian dalam kegiatan
diskusi tutorial.
2. Dapat menjadi sebuah gambaran pengkajian sebuah skenario mengenai
psikiatri.
3. Dapat dijadikan sebagai sarana evaluasi dalam kegiatan tutorial
selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psikoneuroimmunology (PNI) – Jalur Aksis HPA
PNI merupakan ilmu pengetahuan yang menggabungkan obat-obatan
dan ilmu pengetahuan sosial. Suatu pandangan interdisiplin pada etiologi dan
pengobatan dari banyak penyakit yang diperkuat dengan konsep holistik
secara empiris dalam pengobatan. Penyakit adalah akibat dari kolapsnya
mekanisme pertahanan terhadap stres. Sistem saraf, hormonal dan sistem
imun adalah satu kesatuan. Lingkungan sosial dan stres mempengaruhi
kepribadian individu dan menyebabkan penyakit, terutama menyebabkan
imunosupresi (Maren et al., 2012).
PNI berkonsep stress cell adalah pandangan fundamental tentang
pokok persoalan dalam PNI yang didasari oleh pemahaman sel yang
mengalami stress.Agar tidak menimbulkan salah persepsi perihal
pemberlakuan paradigma tersebut, perlu dipahami bahwa hubungan otak
dengan sistem imun melalui hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) axis dan
autonomic nervous system (ANS) (Maren et al., 2012).
Stressor ditangkap oleh sel PVN dan sel di locus cereleus
noradrenergic center di hipotalamus, kedua sel tersebut mengalami aktivasi
atau stress tahap 1 sehingga mensekresi CRH dan APV. Kedua molekul
mengirim sinyal ke sel di hipotalamus sehingga mensekresi POMC, terutama
ACTH, sel di hipotalamus mengalami stres tahap 1 (aktivasi). Kemudian
ACTH ditangkap oleh sel di korteks adrenal, mengeluarkan glukokortikoid
dan sel di medulla adrenal mengeluarkan epinefrin (EPI)-nor epinefrin (NE);
sel di korteks dan medulla adrenal mengalami stres tahap 1 (aktivasi) dan
sudah dipahami bahwa limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid,
EPI dan NE sehingga dapat memodulasi limfosit, limfosit mengalami stres
tahap 1 (aktivasi). Sinyal stres ini kemudian memodulasi respons imun
melalui rambatan sinyal dari sel yang mengalami stress, terutama stres tahap
1 (aktivasi) dan berujung pada kejadian perubahan psikoneuroimunologis
6
atau imunitas. Dengan demikian hubungan otak dengan sistem imun terjadi
melalui sel di HPA axis, yang melibatkan hormon sitokin, dan melalui sel di
jalur ANS.Dengan demikian konsep stres yang menghubungkan otak dan
sistem imun dan terjadi oleh komunikasi antar stress cell telah sesuai dengan
Triad GAS (Maren et al., 2012).
Di samping itu terdapat bukti hubungan antara kekurangan
glukokortikoid dan aktivasi imun. Sitokin proinflamasi tampaknya
menginduksi suatu sindrom “sickness behavior”. Sindrom ini, mencakup
anhedonia, anoreksia, fatique, perubahan tidur, dan disfungsi kognitif,
mempunyai banyak ciri-ciri yang tumpang-tindih dengan gangguan fisik dan
gangguan neuropsikiatrik terkait-stres, termasuk depresi berat, chronic fatigue
syndrome, fibromyalgia, dan PTSD. Pasien dengan chronic fatigue syndrome
dan fibromyalgia juga menunjukkan aktivasi imun, seperti dibuktikan melalui
peningkatan konsentrasi plasma dari reactants fase akut dan peningkatan
konsentrasi plasma dan/atau produksi sel mononuclear darah perifer, dari
sitokin proinflamasi, termasuk IL-6, TNF-β dan IL-1. Sitokin dan reseptornya
ditemukan dalam regio otak yang secara sentral terlibat dalam mediasi emosi
dan perilaku, seperti hipotalamus dan hipokampus. Penghambatan sitokin ini
menunjukkan pengurangan atau penghilangan gejala perilaku sakit setelah
infeksi atau pemberian sitokin pada percobaan binatang. Relevan dengan
patofisiologi perubahan perilaku pada gangguan terkait-stres adalah
penemuan bahwa sitokin proinflamasi adalah stimulator CRH yang poten
pada regio otak multipel dan bahwa mereka mempengaruhi turnover
neurotransmiter monoamin di hipotalamus dan hipokampus. Sitokin
proinflamasi juga menyebabkan hiperalgesia dan secara tidak langsung
dihubungkan sebagai penyebab utama pada gejala nyeri kronik, yang
biasanya menyertai gangguan terkait-stres (Maren et al., 2012).
Terdapat beberapa fenomena di mana terjadi saling mengatur antara
sistem imun dan sistem saraf pusat. Interaksi antara sistem saraf aksis HPA
dan komponen innate serta sistem imun adaptif memegang peranan dalam
regulasi inflamasi dan imunitas. Selain itu sitokin dan mediator inflamasi
7
mengaktivasi reseptor nyeri perifer yang mana aksonnya berproyeksi ke
kornu dorsalis dan bersinap dengan traktus lemniskus, yang selanjutnya
membawa signal nyeri ke thalamus dan korteks somatosensorik. Aktivasi dari
jalur nosiseptif akhirnya menstimulasi aktivitas HPA. Glukokortikoid
menghambat sintesis sitokin dan mediator inflamasi, kemudian membentuk
suatu negative feedback loop. Sitokin juga bisa bekerja secara langsung di
otak untuk mengaktivasi aksis HPA. Disregulasi dari neuroendocrine loop
oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas aksis HPA menyebabkan perubahan
sistemik dalam inflamasi dan imunitas. Nyeri fisik, trauma emosional, dan
pembatasan kalori juga mengaktivasi aksis HPA dan menyebabkan
imunosupresi, sebaliknya penurunan aktivitas dari aksis tersebut dan
rendahnya level glukokortikoid meningkatkan kerentanan terhadap inflamasi
dan keparahan inflamasi (Maren et al., 2012).
Karena sitokin mempunyai peranan sentral dalam pengaturan respon
imun yang menggambarkan dua bentuk komunikasi neuro-imun,
imunomodulasi oleh stres psikologis dan pengkondisian perilaku dari respon
imun. Peranan sitokin pada endokrin dan efek perilaku fase akut, mempunyai
efek dalam fungsi sistem saraf pusat. Efek psikologis stres digambarkan
sebagai immunosuppressing dan immunoenhancing. Di antara mereka,
immunosuppressing yang relevan salah satunya adalah reduksi level dan
immunoenhancing IL-1, IL-2, dan IFN-gamma. Sebaliknya, beberapa dari
efek proinflamasi dari stres adalah dimediasi oleh peningkatan level IL-6, IL-
2, dan TNF dimediasi oleh neurotransmitter Substance P. Peranan yang
mungkin untuk IL-1 dan IFN-β sebagai messenger yang mungkin dalam
pengaturan imun melalui pengkondisian perilaku telah diusulkan. Sitokin
proinflamasi selanjutnya bisa mengaktivasi aksis HPA dan menginduksi
perilaku sakit selama respon fase akut, selama sistem saraf parasimpatis
berlaku sebagai jalur untuk deteksi mereka melalui sistem saraf pusat.
Terdapat temuan terbaru dalam pengaturan ekspresi sitokin oleh
neurotransmitter dari sistem saraf simpatis (epinefrin dan norepinefrin),
8
merupakan kunci seluruh mekanisme komunikasi otak-imun ini (Maren et
al., 2012).
PNI bermakna khususnya untuk pengobatan psikosomatik karena
mereka menjelaskan dalam suatu jalur sistemik pengamatan klinis awal dan
penelitian ilmiah mengenai pengaruh stres pada kondisi kesehatan.
Terdapat hubungan 2 arah dalam PNI, yaitu:
a. Adanya bukti perilaku sakit ( penurunan nafsu makan, kelelahan,
somnolen )
b. Adanya gangguan medis dan pengobatan, berupa gangguan regulasi
fungsi imunitas dari gejala psikiatri, yaitu sisntesis serotonin dan
dopamine terganggu yang mengakibatkan penurunan sistem imun
akibat sintesis sitokin, ex: TNF-a (Maren et al., 2012).
Konsep PNI berdasarkan Mekanisme Limbic Hypothalamus Pituitary
Adrenal (LHPA) :
Aksis Limbic-Hypotalamo-Pituitary-Adrenal (LHPA) menerima
berbagai input, termasuk stressor yang akan mempengaruhi neuron bagian
didasarkan pada depresi dan mania. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan perubahan pada struktur atau karakter kepribadian
pasien, bukan untuk hilangkan gejala.
5. Terapi keluarga. Diindikasikan jika gangguan membahayakan
perkawinan atau fungsi keluarga pasien (Dara et al., 2012).
2. ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)
ETIOLOGI
Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara
jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan
yang bersifat multi faktorial. Banyak faktor yang dianggap sebagai
peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal,
tingkat kecerdasan (IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak
teraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial dan pola pengasuhan anak
oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.
Faktor genetik tampaknya memegang peranan terbesar terjadinya
gangguan perilaku ADHD. B eberapa penelitian yang dilakukan
23
ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada seorang anak selalu
disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga setidaknya
satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah
penderita hiperaktif juga menderita gangguan yang sama pada masa
kanak mereka. Orang tua dan saudara penderita ADHD mengalami
resiko 2-8 kali lebih mudah terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih
mudah terjadi ADHD dibandingkan kembar dizygotic juga menunjukkan
keterlibatan fator genetik di dalam gangguan ADHD. Keterlibatan
genetik dan kromosom memang masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine dan
produksi serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-
HTR1B, banyak dikaitkan dengan ADHD.
Penelitian neuropsikologi menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit
yang menghubungkan fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin
adalah fungsi neurotransmitter utama yang berkaitan dengan fungsi otak
lobus frontalis. Sehingga dopaminergic dan noradrenergic
neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam
pengobatan ADHD.
Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya disfungsi sirkuit
neuron di otak yang dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter
pencetus gerakan dan sebagai kontrol aktifitas diri. Akibat gangguan
otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan pada sistem
kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di
daerah mesial kanan prefrontal dan striae subcortical yang
mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon-respon yang
tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu. Pada penderita ADHD terdapat
kelemahan aktifitas otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan
kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh keterlambatan waktu
terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris (Widodo, 2009).
KRITERIA DIAGNOSIS
24
Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga
digunakan, harus terdapat 3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan
masalah konduksi.
HIPERAKTIFITAS
2. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat
dalam tempat duduk
3. Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain
yang mengharuskan tetap duduk.
4. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam
situasi yang tidak seharusnya
5. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya
dengan tenang.
6. Sering berperilaku seperti mengendarai motor
7. Sering berbicara berlebihan
IMPULSIF
1. Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab
pertanyaan sebelum pertanyaannya selesai.
2. Sering sulit menunggu giliran atau antrian
3. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya
dalam percakapan atau permainan) (APA, 1994; David et al.,
2012).
PENATALAKSANAAN
Program penatalaksanaan terdiri dari : farmakoterapi, terapi
perilaku, kombinasi keduanya, perhatian sosial dari komunitas secara
berkala dan terapi nutrisi. Psikososial meliputi intervensi individu anak,
orang tua, sekolah baik guru maupun fasilitas tempat sekolah dan sosial.
Melakukan pelatihan orang tua maupun guru dalam hal gejala maupun
penatalaksanaan ADHD. Untuk melakukan penatalaksanaan ADHD
perlu dilakukan identifikasi apakah di samping gejala pokok ADHD
didapatkan komorbiditas. Pengobatan tahap pertama dilakukan selama
14 bulan kemudian dilakukan evaluasi tingkah laku oleh orang tua, guru
25
dan lingkungan. Tujuan dari pengobatan pada anak dengan ADHD yaitu
meningkatkan hubungan anak dengan lingkungan, menurunkan tingkah
laku yang terlalu aktif dan tidak menyenangkan, memperbaiki
kemampuan akademis dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik,
meningkatkan perawatan diri dan percaya diri dalam pergaulan di
lingkungannya (David et al., 2012).
Pemakaian medikamentosa dapat mengontrol ADHD sekitar 70%.
Obat yang digunakan jenis stimulan (methylphenidate) dan
amphetamine. Obat ini mempunyai pengaruh pada sistem dopaminergik
atau noradrenergik sirkuit korteks lobus frontalis-subkortikal,
meningkatkan kontrol inhibisi dan memperlambat potensiasi antara
stimulasi dan respon, sehingga mengurangi gejala impulsif dan tidak
dapat mengerjakan tugas (David et al., 2012).
PROGNOSIS
Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence,
sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak
dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala
agresif dan menjadi pencandu minuman keras/alcoholism) (Hartanto,
Fitri, 2011).
Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi,
dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di
kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau
lebih komorbid gangguan psikiatri(Hartanto, Fitri, 2011).
PENYULIT
Anak yang menderita ADHD biasanya dihubungkan dengan prestasi belajar yang rendah, kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal dan mempunyai rasa percaya diri yang rendah (Hartanto, Fitri, 2011).
26
3. Gangguan Somatoform
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang
memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di
mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan
keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau
persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami
cacat.
Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna
dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk
gangguan somatoform:
Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang
tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan
atau lebih (Hirsch et al., 2012).
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
1. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang terjadi selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi,
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
27
2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak,
dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual,
atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual, kembung,
muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi
terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual
atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak
teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu
gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis
yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di