Laporan Tutorial 1 Skenario a Blok 2 etika
Post on 26-Dec-2015
226 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Etika, Hukum dan Komunikasi Medik adalah blok dua pada awal
semester I dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario A yang
memaparkan kasus Ny. Kusuma yang menuntut RS A agar bertanggung jawab
terhadap penyakit yang diderita bayinya atas kesalahan dokter di RS A yang
terlambat mendiagnosis atresia ani.
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Indra Sakti Nasution, Sp.F
Moderator : M. Padhalah Ramadhani
Sekretaris papan : Lisma Ria
Sekretaris meja : Siti Istiqomah
Waktu : Senin, 11 Nopember 2013
Pukul. 13.00 - 15.30 wib.
Peraturan :
1. Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam.
2. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan argumen
3. Izin saat akan keluar ruangan
Skenario Kasus
Ny. Kusuma, 24 tahun, kondisi hamil tua datang ke RS A untuk melahirkan
anak pertamanya pada tanggal yang diinginkan. Dokter ahli kebidanan memutuskan
Ny. Kusuma melahirkan melalui proses Sectio Cecaria. Dokter anak yang
melakukan resusitasi bayi menyatakan keadaan bayi normal.
Dua hari kemudian Ny. Kusuma melaporkan pada dokter jaga, bahwa perut
bayinya kembung dan muntah-muntah, dokter jaga mengatakan hal tersebut biasa-
biasa saja. Karena kondisi semakin buruk pasien diperiksa kembali dengan teliti
oleh dokter anak, ternyata bayi Ny. Kusuma mengalami atresia ani.
Segera setelah itu bayi Ny. Kusuma dirujuk ke RS B untuk dilakukan
tindakan operasi pembuatan anus buatan dan pasien dinyatakan sehat. Sepuluh hari
2
kemudian pasien datang lagi ke RS B dengan keluhan panas dan kejang-kejang
yang didiagnosis meningitis oleh dokter Anak RS B.
Dokter anak RS B menyatakan kepada orang tua pasien bahwa meningitis
tersebut terjadi akibat kesalahan dokter di RS A yang terlambat mendiagnosis
atresia ani. Mengetahui hal tersebut orang tua pasien menuntut RS A agar
bertanggung jawab terhadap penyakit yang diderita bayinya. Walaupun berdasarkan
teori yang ada, tidak ada hubungan antara kejadian meningitis dengan atresia ani
pada bayi baru lahir, pimpinan RS A tetap minta maaf dan telah memberikan
kompensasi keringanan biaya rumah sakit kepada keluarga pasien, namun keluarga
pasien menuntut agar rumah sakit mengganti seluruh biaya perawatan bayinya.
Seven Jump Steps
2.3.1 Klarifikasi Istilah
1. Sectio Cecaria : Insisi melalui dinding abdomen ruterus untuk melahirkan
janin.
2. Resusitasi : Menghidupkan kembali seorang yang tampak meninggal.
3. Atresia ani : Kelainan berupa tidak terbukanya atau penutupan muara
pada anus.
4. Dirujuk : Keterangan lanjut mengenai suatu hal.
5. Operasi : Setiap tindakan yang dilakukan dengan alat atau dengan
tangan seorang ahli bedah.
6. Meningitis : Radang meningis.
7. Meninges : Organ yang membungkus otak dan medulla spinalis.
8. Diagnosis : Penetapan suatu penyakit dengan memeriksa.
9. Kompensasi : Ganti rugi, pemberesan piutang dan ganti rugi berupa
barang dan sebagainya.
3
Identifikasi masalah
1. Ny. Kusuma, 24 tahun, kondisi hamil tua datang ke RS A untuk melahirkan
anak pertamanya pada tanggal yang diinginkan, dan dokter ahli kebidanan
memutuskan Ny. Kusuma melahirkan melalui proses Sectio Cecario,
kemudian dokter anak yang melakukan resusitasi bayi menyatakan keadaan
bayi normal.
2. Dua hari kemudian Ny. Kusuma melaporkan pada dokter jaga, bahwa perut
bayinya kembung dan muntah-muntah, dokter jaga mengatakan hal tersebut
biasa-biasa saja. Karena kondisi semakin buruk pasien diperiksa kembali
dengan teliti oleh dokter anak, ternyata bayi Ny. Kusuma mengalami atresia
ani.
3. Segera setelah itu bayi Ny. Kusuma dirujuk ke RS B untuk dilakukan
tindakan operasi pembuatan anus buatan dan pasien dinyatakan sehat.
Sepuluh hari kemudian pasien datang lagi ke RS B dengan keluhan panas
dan kejang-kejang yang didiagnosis meningitis oleh dokter anak RS B.
4. Dokter anak RS B mengatakan kepada orang tua pasien bahwa
meningitis tersebut terjadi akibat kesalahan dokter di RS A yang
terlambat mendiagnosis atresia ani. Mengetahui hal tersebut orang tua
pasien menuntut RS A agar bertanggung jawab terhadap penyakit
yang diderita bayinya.
5. Walaupun berdasarkan teori yang ada, tidak ada hubungan antara kejadian
meningitis dengan atresia ani pada bayi baru lahir, pemimpin RS A tetap
minta maaf dan telah memberi kompensasi keringanan biaya rumah sakit
kepada keluarga pasien, namun keluarga pasien menuntut agar rumah sakit
mengganti seluruh biaya perawatan bayinya.
4
Prioritas Masalah
Identifikasi masalah nomor 4:
Dokter anak RS B mengatakan kepada orang tua pasien bahwa meningitis
tersebut terjadi akibat kesalahan dokter di RS A yang terlambat mendiagnosis
atresia ani. Mengetahui hal tersebut orang tua pasien menuntut RS A agar
bertanggung jawab terhadap penyakit yang diderita bayinya.
Alasan :
Karena dokter anak RS B menyalahkan dokter di RS A yang terlambat
mendiagnosis atresia ani. Jika dokter anak RS B bersikap profesional dan
menaati kode etik kedokteran, tentu masalah selanjutnya tidak akan terjadi.
Analisis Masalah
Masalah 1:
1. a. Apa saja hak dan kewajiban pasien ?
Hak pasien :
1) Hak untuk hidup,hak tas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati
secara wajar.
2) Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai
dengan standar profesi kedokteran.
3) Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari
dokter yang mengobatinya.
4) Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncnakan,
bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik.
5) Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan
diikuti.
6) Menolak atu menerima keikutsertaannya dalam riset
kedokteran.5
7) Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan dan
dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai
konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak
lanjut.
8) Kerahasiaan atau rekam mediknya atas hal pribadi.
9) Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
10) Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniwan, dan
lain-lain yang diperlukan
11) Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya raawat inap,
obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen, ultrasonografi,
CT-scan, magnetic resonance imaging, dan sebagainya, biaya kamar
bedah,kamar bersalin, imbalan jasa dokter, dan lain-lainnya.
Kewajiban pasien :
1) Memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter.
2) Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya.
3) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
4) Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat dirumah
sakit, danlain-lainnya.
5) Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh.
6) Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan
pengobatan serta honorarium dokter.
b. Apakah keputusan dokter ahli kebidanan untuk menyuruh Ny. Kusuma
melahirkan melalui proses sectio cecaria sudah benar ?
6
Benar, tetapi disini dokter harus memberikan informasi dalam
bentuk informed consent yang jelas misalnya mengenai resiko yang
mungkin akan timbul bila dilakukan tindakan melahirkan melalui proses
section cecaria.
c. Apa yang menjadi landasan dokter ahli kebidanan membuat keputusan
tersebut ?
Hal yang menjadi landasan dokter ahli kebidanan membuat
keputusan tersebut adalah bahwa setiap pasien berhak menentukan sendiri
tindakan medic yang akan dilakukan.
d. Apakah tindakan resusitasi bayi yang dilakukan dokter anak sudah sesuai
dengan kewajiban sebagai seorang dokter ?
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai
akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak
(Tjokronegoro, A dkk : 1998)
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dokter anak
telah memenuhi kewajibannya sebagai dokter yaitu dengan memberikan
pertolongan darurat.
e. Apakah resusitasi bayi sudah sesuai dengan SOP ?
Untuk beberapa bayi kebutuhan akan resusitasi dapat di antisipasi
dengan melihat factor resiko, bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mengalami kematian janin atau neonatal, ibu dengan penyakit kronik,
kehamilan multipara, kelainan letak, pre-eklampsia, persalinan lama,
prolaps tali pusat, kelahiran premature, ketuban pecah dini, cairan amnion
tidak bening. Walaupun demikian, pada sebagian bayi baru lahir 7
kebutuhan akan resusitasi neonatal tidak dapat di antisipasi sebelum
dilahirkan, oleh karena itu, penolong harus siap, untuk melakukan
resusitasi pada setiap kelahiran.
Masalah 2 :
2. a. Apakah tindakan dokter jaga yang menyatakan hal tersebut biasa-biasa saja
sudah sesuai dengan kewajiban dokter ?
Tindakan yang dilakukan oleh dokter jaga tidak sesuai dengan kewajiban
dokter, sebagaimana disebutkan dalam pasal 51 butir a, UU Praktik
Kedokteran nomor 29 tahun 2004:
"memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien"
Jadi, tindakan dokter jaga yang menyatakan bahwa keluhan pasien
tersebut biasa biasa saja tidak sesuai dengan kewajiban dokter karena
tidak memberikan pelayanan medis serta kebutuhan medis kepada pasien.
b. Apa saja hak dan kewajiban dokter ?
HAK DOKTER
• Menurut pasal 50 UU No.29 Th 2004
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi medis dan standar prosedur
operasional;
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya ;
4. Menerima imbalan jasa.
8
• Diluar Undang -undang
1. Hak melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Tanda
Registrasi(STR) dan Surat Ijin Praktik(SIP)
2. Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan hukum, agama dan hati nuraninya
3. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan seorang pasien, jika
menurut penilaiannya kerjasama pasien dengannya tidak ada
gunanya lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
4. Hak menolak pasien yang bukan bidang spesialisnya, kecuali
dalam keadaan darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu
menanganinya.
5. Hak atas privasi dokter
6. Hak atas ketentraman bekerja
7. Hak menjadi anggota himpunan profesi
8. Hak mengeluarkan surat -surat keterangan dokter
9. Hak menjadi anggota himpunan profesi
10.Hak membela diri Hak untuk menolak memberi kesaksian
mengenai pasiennya dipengadilan
KUHP pasal 170 :
KEWAJIBAN -KEWAJIBAN DOKTER
• "AEGROTI SALUS LOX SUPREME " keselamatan pasien adalah
hukum yang tertinggi ( utama ) . Menurut Leenen :
9
1. Kewajiban yang timbul dari sifat perawatan medis dimana dokter
harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau
menjalankan praktek kedokterannya secara lege artis
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber
dari hak-hak asasi dalam bidang kesehatan
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan
KODEKI
Kewajiban Umum ( Pasal 1 -9)
Kewajiban Dokter terhadap teman pasien ( pasal 10 -13 )
Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat ( Pasal 14 -15 )
Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri ( Pasal 16 -17)
MENURUT UU No.29 Th 2004 pasal 51 :
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan dengan standar
profesi profesi standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien;
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien meninggal dunia;
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan,kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya;
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
10
c. Apakah sikap dokter jaga sudah sesuai dengan KODEKI ?
Tidak,Karena dokter jaga melanggar pasal KODEKI yaitu pasal 2 dan 7c
Pasal 2 : Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Pasal 7c : Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien,hak-hak
sejawatnya,dan hak tenaga kesehatan lainnya,dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
d. Apa yang dimaksud dengan KODEKI ?
Kodeki adalah seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi
dalam berhubungan dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat,
dan mitra kerja.
KODEKI adalah prinsip moral atau azaz- azaz, akhlak, dann norma-
norma yang harus dimiliki seorang dokter untuk mengatur hubungan
antar manusia baik itu dengan teman sejawat ataupun dengan pasien dan
masyarakat.
e. Apa saja undang-undang yang melandasi KODEKI ?
KODEKI sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang
mengatur hubungan antar manusia,yang asas-asasnya terdapat dalam
falsafah Pancasila sebagai landasan idiil dan uud 1945 sebagai landasan
strukturil dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan
dan keluhuran ilmu kedokteran,baik dokter yang secara fungsional terikat
dalam organisasi pelayanan,pendidikan,dan penelitian telah menerima
KODEKI.11
Masalah 3 :
3. a. Apakah tindakan dokter RS A merujuk pasien ke RS B sudah tepat ?
Tindakan dokter RS A merujuk pasien ke dokter RS B sudah
tepat,karena sebagai seorang dokter, dokter RS A juga mempunyai
kewajiban terhadap pasien yaitu merujuk pasien ke dokter atau dokter
gigi lain yang mempunyai kemampuan atau keahlian yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Dan di samping itu pasien juga mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan medic. Dan dalam hal ini dr RS A merujuk ke dr RS B karena
dr RS B mempunyai kemampuan dan keahlian yang lebih baik.
b. Bagaimana prosedur merujuk pasien dari rumah sakit satu ke rumah sakit
lainnya ?
Pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk
bertingkat ata berjenjang yaitu pelayanan kesehatan level pertama, kedua,
dan ketiga, dimana dalam pelaksanaanya tidak berdiri sendiri namun
berada di suatu sistem dan saling berhubungan
Level 1
Bila pasien hanya menderita sakit ringan, pasien tersebut dapat
ditangani di Puskesmas oleh dokter umum.
Level 2
Jika di Puskesmas pasien tidak mendapat kesembuhan dan
kondisinya bertambah buruk, pasien baru boleh dirujuk dan
ditangani di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) oleh dokter
spesialis.
12
Level 3
Jika pasien tetap tidak mendapat kesembuhan dan kondisinya
semakin parah ketika di RSUD, barulah pasien bisa dirujuk
untuk ditangani di Rumah Sakit Umum Pemerintah oleh dokter
spesialis atau subspesialis.
Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan
medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke
tingkat pelayanan diatasnya. Hal terpenting yang harus diingat adalah
pasien atau keluarga harus memiliki beberapa unsure penting yang
menjadi jaminan misalnya jamkesmas dan askes.
c. Apa syarat pasien agar dapat dirujuk ke rumah sakit lainnya ?
Syarat merujuk pasien :
Rujukan harus dibuat oleh orang yang mempunyai kompetensi dan
wewenang untuk merujuk, mengetahui kompetensi sasaran/tujuan
rujukan dan mengetahui kondisi serta kebutuhan objek yang
dirujuk.
Rujukan dan rujukan balik mengacu pada standar rujukan pelayanan
medis Daerah
Agar rujukan dapat diselenggarakan tepat dan memadai, maka suatu
rujukan hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Adanya unit yang mempunyai tanggungjawab dalam rujukan,
baik yang merujuk atau yang menerima rujukan.
Adanya Tenaga kesehatan yang kompeten dan mempunyai
kewenangan melaksanakan pelayanan medis dan rujukan
medis yang dibutuhkan.
Adanya pencatatan/kartu/dokumen tertentu berupa :
13
Formulir rujukan dan rujukan balik sesuai contoh.
Kartu Jamkesmas, Jamkesda dan kartu Assuransi lain.
Pencatatan dan dokumen hasil pemeriksaan penunjang
Adanya pengertian timbal balik antara pengirim dan penerima
rujukan.
Adanya pengertian petugas tentang sistem rujukan.
Rujukan dapat bersifat horizontal dan vertikal, dengan prinsip
mengirim ke arah fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
mampu dan lengkap.
Untuk menjamin keadaan umum pasien agar tetap dalam kondisi stabil
selama perjalanan menuju ketempat rujukan, maka :
sarana transportasi yang digunakan harus dilengkapi alat
resusitasi, cairan infus, oksigen dan dapat menjamin pasien
sampai ke tempat rujukan tepat waktu;
pasien didampingi oleh tenaga kesehatan yang mahir tindakan
kegawat daruratan;
sarana transportasi/petugas kesehatan pendamping memiliki
sistem komunikasi;
Rujukan pasien/specimen ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi dan atau lengkap hanya dapat dilakukan apabila :
dari hasil pemeriksaan medis, sudah terindikasi bahwa keadaan
pasien tidak dapat diatasi;
pasien memerlukan pelayanan medis spesialis dan atau
subspesialis yang tidak tersedia di fasilitas pelayanan
semula;
14
pasien memerlukan pelayanan penunjang medis yang lebih
lengkap yang tidak tersedia di fasilitas pelayanan semula;
pasien atau keluarganya menyadari bahwa rujukan dilaksanakan
karena alasan medis;
rujukan dilaksanakan ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
yang diketahui mempunyai tenaga dan sarana yang
dibutuhkan menurut kebutuhan medis atau penunjang medis
sesuai dengan rujukan kewilayahan;
rujukan tanpa alasan medis dapat dilakukan apabila suatu rumah
sakit kelebihan pasien ( jumlah tempat tidur tidak
mencukupi);
rujukan sebagaimana dimaksud huruf f dirujuk ke rumah sakit
yang setara atau sesuai dengan jaringan pelayanannya;
khusus untuk pasien Jamkesda dan pemegang Assuransi
Kesehatan lainnya, harus ada kejelasan tentang pembiayaan
rujukan dan pembiayaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tujuan Rujukan
khusus untuk pasien Jamkesda hanya dapat dirujuk ke rumah
sakit yang setara yaitu ke PPK1 atau PPK 2 lainnya yang
mengadakan kerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat;
Fasilitas Pelayanan Kesehatan/tenaga kesehatan dilarang
merujuk dan menentukan tujuan rujukan atas dasar
kompensasi/imbalan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Syarat merujuk pasien :
Pembuat rujukan harus :
Mempunyai kompetensi dan wewenang merujuk
15
Mengetahui kompetensi dan wewenang sasaran / tujuan
merujuk
Mengetahui kondisi serta kebutuhan objek rujukan
Surat rujukan harus mencantumkan :
Unit yang mempunyai tanggung jawab dalam rujukan, baik
yang merujuk atau yang menerima rujukan
Alasan tindakan rujukan
Pelayanan medis dan rujukan medis yang dibutuhkan
Tanda tangan persetujuan pasien atau keluarga
Surat rujukan harus dilampiri :
Formulir rujukan balik
Kartu jaminan kesehatan
Dokumen hasil pemeriksaan penunjang
Rujukan pasien harus dilakukan jika :
Dari hasil pemeriksaan medis, sudah teridentifikasi bahwa
keadaan pasien tidak dapat ditangani
Pasien memerlukan pelayanan medis spesialis dan atau
subspesialis yang tidak tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan semula
Pasien memerlukan pelayanan penunjang medis lebih
lengkap yang tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan
asal
d. Bagaimana prosedur dan syarat melakukan operasi ?
16
Dalam pelayanan kesehatan, dikenal hak legal pasien yang salah
satunya adalah persetujuan tindakan medik (informed consent). Informed
consent adalah salah satu syarat hukum untuk melakukan suatu tindakan
medis seperti operasi.
Prosedur dan syarat melakukan operasi adalah :
Sebelum dokter melakukan tindakan operasi medik, dokter
berkewajiban untuk memberikan informasi tentang jenis
penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik apa yang
akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta resiko-
resiko yang mungkin timbul dari tindakan medik tersebut
kepada pasien atau keluarganya (sangat diperlukan adanya
informed consent yang merupakan proses komunikasi antara
dokter dan pasien).
Setelah adanya persetujuan pasien maka akan dilakukan
keputusan medis yang berkenaan dengan tindakan medis yang
akan dilakukan pada pasien. Semua keputusan medis akan
mudah dilakukan jika segala sesuatu yang berkenaan dengan
proses komunikasi dilakukan dengan baik.
e. Apakah tindakan operasi sudah termasuk liabilitas medik ?
Tidak, karena dilihat dari prngertian liabilitas sendiri yaitu tanggung
jawab dokter apabila melakukan kesalahan, dan operasi adalah suatu
tindakan untuk mengobati pasien, tapi liabilitas medic akan terjadi
apabila tindakan operasi tersebut gagal.
f. Apa saja jenis-jenis liabilitas medik ?
` Jenis Tanggung Jawab (Liability) yang dikenal dalam pelayanan
kesehatan :
17
Personal Liability:Tanggung jawab individual.
Strict Liability :"damage based liability” / “liability without
fault” Tanggungjawab lahir karena ada kerugian terlepas
ada esalahan/tidak). Dasar hukum: Pasal 19 UU
Perlindungan Konsumen.
“based on fault liability” Tanggungjawab lahir karena ada kesalahan
Dasar Hukum Φ Pasal 1365 &1366 KUHPerdata
Vicarious Liability : Tanggung renteng.Dasar hukum Φ Pasal
1367 KUH Perdata
Respondent Liability: Asas respondeat-superior (atasan
bertanggungjawab atas perbuatan anak buahnya di
bawah wewenangnya)
Corporate Liability: tanggungjawab suatu badan hokum.
Jenis liabilitas medik :
Liabilitas medik pada Asuransi Kesehatan
Liabilitas medik pada praktek kedokteran
Liabilitas medik pada Pendidikan Dokter
g. Apa tujuan liabilitas medik pada praktek kedokteran ?
Tujuan liabilitas medik pada praktek kedokteran adalah untuk
memberikan tanggungan atau jaminan kepada pasien atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai dengan etik profesi, profesionalisme dan
standar pelayanan yang baik sesuai dengan indikasi dan kebutuhan
layanan medis untuk penyakit yang diderita pasien.
18
h. Apa pandangan islam tentang merujuk pasien ?
Dari hadist riwayat Al-Bukhary : Jika suatu perkara diserahkan
bukan pada ahlinya,tunggulah kehancurannya.
Maksudnya adalah : Dalam kasus ini yang di lakukan RS A sudah
benar yaitu merujuk pasiennya ke rumah sakit lain yang dirasa lebih ahli
dalam mengatasi permasalahan penyakit yang di alami bayi Ny.Kusuma.
Masalah 4 :
4. a. Apakah tindakan dokter RS B yang menyatakan bahwa meningitis tersebut
akibat dari dokter RS A itu sudah benar ?
Tidak, karena RS. B telah melanggar kodersi bab V mengenai
hubungan rumah sakit dengan lembaga terkait yang lebih ditekankan pada
Pasal 20 yaitu Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik antar
rumah sakit dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.
b. Apakah tindakan yang dilakukan RS B sudah sesuai dengan KODERSI ?
Belum karena, rumah sakit melanggar kodersi pasal2,13,20
Pasal 2 : Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung
jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit.
Pasal 13 : Rumah sakit harus menjamin agar pimpinan, staf, dan
karyawannya senantiasa mematuhi etika profesi masing-
masing.
Pasal 20 : Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik antar
rumah sakit dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.
19
c. Apa saja isi dari KODERSI ?
Isi dari KODERSI adalah :
BAB I Kewajiban Umum Rumah Sakit
BAB II Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Masyarakat dan
Lingkungan
BAB III Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien
BAB IV Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pimpinan, Staf, dan
Karyawan
BAB V Hubungan Rumah Sakit Dengan Lembaga Terkait
BAB VI Lain-lain
d. Apakah tindakan yang dilakukan dokter anak RS B sesuai dengan sumpah
hipokrates ?
Sesuai dengan Sumpah Hipokrates pada poin ke 9 yang berbunyi
"Apapun yang saya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang
tidak patut untuk disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya
harus merahasiakannya". Jadi tindakan dokter anak di RS B tidak sesuai
dengan Sumpah Hipokrates.
e. Apa isi dari sumpah hipokrates ?
Sumpah Hippokrates jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
berbunyi sebagai berikut.
"Saya bersumpah demi Apollo dewa penyembuh, dan Aesculapius,
dan Hygeia, dan Panacea, dan semua dewa-dewa sebagai saksi, bahwa
20
sesuai dengan kemampuan dan pikiran saya, saya akan mematuhi janji-
janji berikut.
Saya akan memperlakukan guru yang telah mengajarkan ilmu ini
dengan penuh kasih sayang sebagaimana terhadap orang tua
saya sendiri, jika perlu akan saya bagikan harta saya untuk
dinikmati bersamanya.
Saya akan memperlakukan anak-anaknya sebagi saudara kandung
saya dan saya akan mengajarkan ilmu yang telah saya peroleh
dari ayahnya, kalau mereka memang mau mempelajarinya,
tanpa imbalan apapun.
Saya akan meneruskan ilmu pengetahuan ini kepada anak-anak saya
sendiri, dan kepada anak-anak guru saya, dan kepada mereka
yang telah mengikatkan diri dengan janji dan sumpah untuk
mengabdi kepada ilmu pengobatan, dan tidak kepada hal-hal
yang lainnya.
Saya akan mengikuti cara pengobatan yang menurut pengetahuan
dan kemampuan saya akan membawa kebaikan bagi pasien, dan
tidak merugikan siapapun.
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun diminta, atau menganjurkan kepada mereka untuk
tujuan itu. Atas dasar yang sama, saya tidak akan memberikan
obat untuk menggugurkan kandungan.
Saya ingin menempuh hidup yang saya baktikan kepada ilmu saya
ini dengan tetap suci dan bersih
Saya tidak akan melakukan pembedahan terhadap seseorang,
walaupun ia menderita penyakit batu, tetapi akan
menyerahkannya kepada mereka yang berpengalaman dalam
pekerjaan ini.
21
Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya
tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk
atau mencelakakan, dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul
terhadap wanita ataupun pria, baik merdeka maupun hamba
sahaya
Apapun yang saya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang
yang tidak patut untuk disebarluaskan, tidak akan saya
ungkapkan karena saya harus merahasiakannya.
Selama saya tetap mematuhi sumpah saya ini, izinkanlah saya
menikmati hidup dalam memperaktikan ilmu saya ini, dihormati
oleh semua orang, di sepanjang waktu! Akan tetapi, jika sampai
saya mengkhianati sumpah ini, balikkanlah nasib saya.
f. Apakah yang dilakukan oleh orang tua pasien dengan menuntut RS A
sudah tepat ?
Sengketa medik dapat terjadi karena adanya hubungan hukum
pelayanan medik yang menimbulkan akibat yang tidak sesuai dengan
ekspektasi pasien. Hubungan-hubungan pelayanan medik yang
menunjukkan kesederajatan, setidak-tidaknya pada saat para pihak akan
memasuki hubungan hukum tersebut, selalu merupakan hubungan
keperdataan.
Berdasarkan artikel penyelesaian sengketa medik dirumah sakit oleh
H. M. Faiz Mufidi, Sri Pursetyowati ( VOL 8, NO 1, 2009) diatas, apa
yang dilakukan orangtua pasien bisa saja benar, karena tidak sesuai
dengan ekspektasinya.
g. Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa medik ?
22
Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama
ini ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. penyelesaian
sengketa medik melalui pengadilan / secara litigasi berarti
mempertaruhkan reputasi yang telah dicapainya dengan susah payah, dan
dapat menyebabkan kehilangan nama baik. Meskipun belum diputus
bersalah atau bahkan putusan akhir dinyatakan tidak bersalah, nama baik
dokter atau sarana pelayanan kesehatan sudah terkesan jelek karena sudah
secara terbuka di media diberitakan telah diduga melakukan kesalahan
dan akan menjadi stigma yang jelek pula dalam masyarakat yang pada
gilirannya menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dokter
atau sarana pelayanan kesehatan tersebut akan turun.
Penyelesaian sengketa yang dianggap ideal bagi para pihak adalah
penyelesaian yang melibatkan para pihak secara langsung sehingga
memungkinkan dialog terbuka, dengan demikian keputusan bersama
kemungkinan besar dapat tercapai. Disamping itu karena pertemuan para
pihak bersifat tertutup maka akan memberikan perasaan nyaman, aman
kapada para pihak yang terlibat sehingga kekhawatiran terbukanya rahasia
dan nama baik yang sangat dibutuhkan oleh dokter maupun sarana
pelayanan kesehatan dapat dihindari.
Masalah 5 :
5. a. Mengapa pimpinan RS A tidak mengatakan kondisi yang sebenarnya
mengenai meningitis dan atresia ani ?
Karena tidak terjadinya komunikasi efektif antara dokter dan pasien
b. Apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif antara dokter dan pasien ?
Komunikasi efektif dokter-pasien adalah Pengembangan hubungan
dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan 23
tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang
diperlukan dalam rangka membangun kerja sama antara dokter dengan
pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan non-verbal
menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya,
peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari
alternatif untuk mengatasi permasalahannya.
c. Bagaimana komunikasi efektif antara dokter dan pasien ?
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang
ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan
bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita
waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat
membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak
hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik
kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya
kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan
pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter
sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena
yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya.
Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan
masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak
memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih
sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak
hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang
diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan
masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan
komunikasi yang digunakan:
24
Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha
menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik
mengenai tanda dan gejala-gejala.
Illness centered communication style atau patient centered
communication style.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang
penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Di
sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa
yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan,
serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya
tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered
communication style.
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan
melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu
sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan
mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
d. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi efektif antara
dokter dan pasien ?
Faktor yang mempengaruhi :
1. Percaya
2. Sikap suportif
3. Sikap terbuka
25
e. Apa saja hambatan komunikasi efektif antara dokter dan pasien ?
Dokter mengacuhkan pendapat pasien
Dokter membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien
Dokter hanya memandang pasiennya sesekali lalu melakukan hal-hal
lain
Pasien tidak mengerti penjelasan dokter
Pasien merasa tidak di beri kesempatan bicara
f. Apa pandangan islam tentang komunikasi ?
QS. Ali-Imran ayat 159 :
"dan berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka, dan sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu."
g. Apa tindakan yang seharusnya dilakukan rumah sakit untuk mengatasi
sengketa medik ?
Sengketa medik dapat diselesaikan melalui proses litigasi di
pengadilan baik berupa hukum perdata maupun hukum pidana atau bisa
melalui alternatif penyelesaian sengketa. Tindakan yang dapat dilakukan
rumah sakit untuk mengatasi sengketa medik ada 2 yaitu :
Metode negosiasi
Metode mediasi
Metode yang sering digunakan untuk mengatasi sengketa medik
adalah metode mediasi karena metode mediasi merupakan proses
26
penyelesaian sengketa medik dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
penghubung (mediator) untuk mencapai kesepakatan penyelesaian
diantara para pihak atas sengketa medik yang terjadi.
(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik)
Sintesis Masalah
Hukum dan Etika Rumah Sakit (KODERSI)
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Hal ini meyangkut hak dan kewajiban segenap lapisan masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, saranan, pedoman standar pelayanan
medik , ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lainnya.
Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum
kedokteran/ kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum
apotik, hukum kesehatan masyarakat, hukum perobatan, hukum rumah sakit,
hukum kesehatan lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).
Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:
159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah "Sarana upaya kesehatan
yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan
untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian".
Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum
kedokteran yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
atau pemeliharaan kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter
gigi, apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-
lain.27
Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang
menyediakan pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek
dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan
rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau
melahirkan dan menyediakan pelayanan berobat jalan.
Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang
harus diamalkan anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam
pelayanan kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun
dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).
Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing
profesi harus berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika
profesi disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah
sakit) agar tidak saling berbenturan.
Etik dan Hukum
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti "yang baik, yang layak".
Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi
terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuaaan, dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib
dan tentramnya pergaulan hidup dalam masyarakat.
Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:
Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.
Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak
saling merugikan.
Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
28
Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota
senior.
Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:
Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.
Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh
badan pemerintah.
Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang dan lembaran/berita negara.
Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap
pelanggaran hukum berupa tuntutan.
Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau
perlu diteruskan kepada Panitia Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK),
yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DEPKES). Pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan. Penyelesaian pelanggaran etik
tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian pelanggaran hukum
memerlukan bukti fisik.
Etika Rumah Sakit
Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis
(practical ethics), yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu
praktis, seperti perlakuan terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum
perempuan, penggunaan hewan untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian
lingkungan hidup, aborsi, etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk membantu
yang tidak mampu, dan sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang
diterapkan pada (pengoperasian) rumah sakit.
29
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang
pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau
kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral,
dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf
kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena
itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari
lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan
terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan
tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan
staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir
walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk
diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk
Rumah Sakit sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan
dengan kehadiran etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional
rumah sakit adalah pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena
masalah-masalah atau dilema etika yang baru sama sekali sebagai dampak atau
akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di
30
rumah sakit. Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan reproduksi dibantu
transplantasi organ.
Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :
Etika administratif
Etika biomedis
Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:
Rekam medis
Keperawatan
Pelayanan laboratorium
Pelayanan pasien dewasa
Pelayanan kesehatan anak
Pelayanan klinik medik
Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia
Pelayanan radiologi
Pelayanan kamar operasi
Pelayanan rehabilitasi medik
Pelayanan gawat darurat
Pelayanan medikolegal dan lain-lain
31
Isu-isu etika administratif
Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan
dan manajemen di rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan
menentukan obyektif, menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi.
kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini paling sensitif secara etis.
Artinya dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang manajer puncak sangat
mudah disadari atau tidak melanggar asas-asas etika beneficence, nonmaleficence,
menghormati manusia dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur Rumah Sakit
berprilaku diskrimatif dan menerapkan standar ganda. Ia menuntut orang lain
mematuhi standar-standar yang ditetapkan. Sedangkan ia sendiri tidak mau
memberi teladan sesuai dengan standar-standar itu
Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi
menyangkut hal-hal konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan
atau penyakit yang diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari
gangguan terhadap ketersendirian yang menjadi haknya. Adalah kewajiban etis
rumah sakit untuk menjaga dan melindungi privasi dan kerahasiaan pasiennya.
Harus di akui, hal itu tidak selalu mudah. Misalnya kerahasiaan rekam medis pasien
sukar dijaga, karena rumah sakit modern data dan informasi yang terdapat di
dalamnya terbuka bagi begitu banyak petugas yang karena kewajibannya memang
berhak punya akses terhadap dokumen tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika
administratif, jika terjadi keterpaksaan membuka kerahasiaan karena suatu sebab di
satu pihak lain kewajiban moral untuk menjaganya
Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif
dapat terjadi, jika informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya,
yaitu persetujuan yang diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten
kepada dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia
diberi informasi yang lengkap dan dimengerti olehnya tentang semua dampak dan
resiko yang mungkin terjadi sebagai akibat tindakan itu atau sebagai akibat sebagai
tidak dilakukan tindakan itu. Dalam banyak hal, memang tidak terjadi banyak
masalah etika, jika intervensi medis berjalan aman dan outcome klinis sesuai
dengan apa yang diharapkan semua pihak.
32
Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin
dikerjakan sehari-hari misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat
menjadi penyesalan berkepanjangan. Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter
dirumah sakit, yang tega mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada
pasien, karena ia tahu jika itu dilakukan pasien akan jadi bingung, panik, dan takut
sehingga ia minta dipulangkan saja untuk mencari pengobatan alternatif. padahal
dokter percaya bahwa tindakan medik yang direncanakan masih besar
kemungkinannya untuk menyelamatkan pasien.
Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi
berhubung dengan faktor-faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi
sehari-hari.
1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang
mutlak bagi rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya.
karena pertimbangan tertentu, pemilik atau manajeman rumah sakit
mengalokasikan dana yang terbatas untuk proyek tertentu,dan dengan
demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak,
lebih besar manfaatnya, dan lebih efektif biaya.
2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif
jasanya. Jika ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang
kerumah sakit lain. padahal ia patient getter yang merupakan ‘telur emas’
bagi rumah sakit.
3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi
piutang periodiknya, padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus
lanjutan.
4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada
konflik kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan
pemegang saham yang melihat sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.
33
5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan
para klinis yang akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan.
Bagaimana sikap manajemen terhadap dokter tertentu yang dapat diduga
melakukan moral hazard dengan berkolusi dengan PBF.
6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak
diperlukan untuk meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain
potensi moral hazard juga tinggi demi untuk membayar cicilan kredit
atau/ easing.
Isu-isu Etika Biomedis
Isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku
profesional dan instutisional terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak
sebelum kelahiran, pada saat-saat sejak lahir, selama pertumbuhan, jika terjadi
penyakit atau cidera, menjadi tua, sampai saat-saat menjelang akhir hidup,
kematian dan malah beberapa waktu setelah itu.
Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi
dalam isu-isu etika biomedis atau bioetika yang lahir sebagai dampak revolusi
biomedis sejak tahun 1960-an, yang antara lain berakibat masalah dan dilema baru
sama sekali bagi para dokter dalam menjalankan propesinya. Etika biomedis dalam
arti ini didefinisikan oleh International association of bioethics sebagai berikut;
Bioetika adalah studi tentang isu-isu etis,sosial,hukum,dan isu-isu lainyang timbul
dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi (terjemahan oleh penulis).
Pengertian etika biomedis juga masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika
medis'tradisional' yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak
menyangkuthubungan individual dalam interaksi terapeutik antara dokter dan
pasien. Kemungkinan adanya masalah etika medis demikianlah yang dalam
pelayanan di rumah sakit sekarang cepat oleh masyarakat (dan media masa)
ditunding sebagai malpraktek.
34
Isu-isu Bioetika
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam
arti pertama (bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa
genetik,teknologi reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ,
penggantian kelamin, eutanasia, isu-isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan
kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas tentang bioetika oleh
International Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan
kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi juga
isu-isu sosial, hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi, kependudukan,
lingkungan hidup, dan mungikin juga isu-isu di bidang lain.
Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam
arti tidak hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite
Etika Rumah Sakit dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah
etika medis ‘tradisional'- melainkan kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti-
dan inter-displiner tentang masalah-masalah yang timbul karena perkembangan
bidang biomedis pada skala mikro dan makro,dan tentang dampaknya atas
masyarakat luas dan sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan
K.Bertens).
Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika
yang sekarang sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan
demikian,identifikasi dan pemecahan masalah etika biomedis dalam arti pertama
tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini. yang perlu diketahui dan diikuti
perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang ‘fatwa' pusat-pusat
kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti PBB,
WHO, Amnesty International, atau'fatwa' Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai
institusi tidak melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-
lembaga nasional atau supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah
35
bioetika dirumah sakit yang belum diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga
demikian tentu dapat diminta.
Isu-isu Etika Medis
Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam
pelayanan medis dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan
terjadinya malpraktek, terutama oleh dokter. Padahal, etika disini terutama
diartikan kewajiban dan tanggung jawab institusional rumah sakit. Kewajiban dan
tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata, Pidana, atau
Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.
Hukum Rumah Sakit
Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam
perkembangannya di Indonesia, semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan
Almarhum Prof. Oetama dalam bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan
kehidupan yang pesat di bidang kesehatan dalam bentuk sistem kesehatan nasional
mengakibatkan di perlukannya pengaturan yang lebih luas, dari hukum kedokteran
ke hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (hukum kesehatan).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian
dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi
penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya
perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap
kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang
terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang
terkait.
Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat
disebut sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban
segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
36
pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek
organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien
dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :
a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit
dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan
di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.
b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah
sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya
secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis
Inspannings Verbintenis.
Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga
kesehatan agar tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien,
sekaligus pasien mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab
rumah sakit dan dokter/ tenaga kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya
rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata.
Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991:
71).
Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan
kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur,
yaitu yang terdiri dari :
1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;
2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan;
dan
37
3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan
atau medik khususnya
Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya
landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-
terapetik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan
kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan
pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).
Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter
rumah sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik
Rumah Sakit (KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504
tentang Pedoman Hak & Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.
2. Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)
Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah
sakit, kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap
pasien, kewajiban rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.
Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah
badan yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit
besar di Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika
Rumah Sakit (PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee
dimana anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan, administratif dan pihak lain
yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.
Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit :
Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi
atau berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.
38
Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :
1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah
etik di rumah sakit.
2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan
memberikan pendapat untuk penyelesaian.
3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau
tidak, perkara pelanggaran etik ke MKEK.
Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim
kesehatan di rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik
maupun pemantapan pengalaman kode etik masing-masing profesi.
Informed Consent
Informed consent terdiri atas kata informed artinya telah mendapatkan
informasi dan consent berati persetujuan (izin). Dalam Pendahuluan Permenkes
tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa informed consent dalam
profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau izin dari seseorang
(pasien) yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien sesudah mendapatkan
informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.
Secara hukum informed consent merupakan perjanjian sepihak, karena
hanya berisi pernyataan kehendak dari pihak pasien saja dan tidak dari petugas
medis. Informed consent tidak mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak,
sehingga informed consent sangat efektif untuk membatalkan, atau menggugurkan
berbagai gugatan atau tuntutan.
Informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsur sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
39
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan
Sebelum memberikan persetujuan tindakan medik, pasien seharusnya
menerima informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan namun
mengandung risiko. Persetujuan tindakan medik harus ditandatangani oleh pasien
atau keluarga terdekatnya dan disaksikan minimum satu orang saksi dari pihak
pasien. Informasi dan penjelasan yang perlu diberikan dalam persetujuan tindakan
medik meliputi hal-hal berikut :
Informasi harus diberikan baik diminta maupun tidak.
Informasi tidak diberikan dengan mempergunakan istilah kedokteran yang
tidak dimengerti oleh orang awam.
Informasi diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan situasi
pasien.
Informasi diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali jika dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien, atau
pasien menolak untuk diberikan informasi. Dalam hal ini informasi
dapat diberikan kepada keluarga terdekat.
Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan
medis yang akan dilakukan.
Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan
dilakukan.
Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang
tersedia serta risikonya masing-masing.
Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis
tersebut dilakukan.
40
Untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lain, informasi harus diberikan
oleh dokter yang melakukan operasi, atau dokter lain dengan
sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan
sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Maksud dan tujuan persetujuan tindakan medik, berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/MenKes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik antara lain :
Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat (1)).
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat (2)).
Persetujuian diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang
dapat ditimbulkannya (Pasal 2 ayat (3)).
Bagi tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan
persetujuan (Pasal 3 ayat (1)).
Persetujuan lisan berlaku bagi tindakan medik yang tidak termasuk dalam
tindakan medik yang mengandung risiko tinggi (Pasal 3 ayat (2)).
Informasi tentang tindakan medik harus diberikan oleh dokter, dengan
informasi yang selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi yang diberikan dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi (Pasal 4 ayat
(1) dan (2)).
Dalam hal informasi tidak bisa diberikan kepada pasien maka dengan
persetujuan pasien dokter dapat memberikan informasi tersebut kepada 41
keluarga terdekat dengan didampingi seorang perawat/paramedis
sebagai saksi (Pasal 4 ayat (3)).
Labilitas Medik
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah:
"keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) ". Menurut black's Law
Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain:
kewajiban terikat dalam hukum atau keadilan untuk melakukan sesuatu
keadaan untuk bertanggung jawab atas kemungkinan atau kerugian yang
sebenarnya
keadaan yang menciptakan kewajiban untuk melakukan tindakan segera
atau di masa depan.
Berdasarkan UU Rumah sakit, rumah sakit bertanggung jawab terhadap
semua kerugian yang menimpa seseorang sebagai akibat dari kelalaian tenaga
kesehatan di rumah sakit, sebagaimana ditentukan pada Pasal 46 Undang-Undang
No. 44 tahun 2009. Ketentuan Pasal 46 menjadi dasar yuridis bagi seseorang untuk
meminta tanggung jawab kepada pihak rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga
kesehatan yang menimbulkan kerugian. Berdasarkan rumusan Pasal 46 tersebut,
dapat ditafsirkan beberapa hal.
Rumah sakit bertanggung jawab terhadap kerugian, akibat sebatas dari
kelalaian sebuah tenaga kesehatan di rumah sakit
Rumah sakit tidak bertanggung jawab atas semua kerugian seseorang, jika
ternyata tidak terbukti ada tindakan kelalaian dari tenaga kesehatan di
rumah sakit
Rumah sakit tidak bertanggung jawab terhadap tindakan kesengajaan tenaga
kesehatan yang menimbulkan kerugian seseorang bukan menjadi
tanggung jawab rumah Sakit, 42
Rumah sakit bertanggung jawab terhadap tindakan kelalain tenaga
kesehatan, jika kelalaian tersebut dilakukan dan terjadi di rumah sakit.
Medik: hal-hal yang berhubungan dengan pengobatan (medis) atau
pelayanan kesehatan.
Liabilitas medik: Pertanggungjawaban yang timbul akibat kelalaian yang
menyebabkan kerugian dalam pelayanan kesehatan.
Unsur tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan :
Beban kewajiban.
Kecakapan bertindak.
Perbuatan yang menimbulkan akibat.
Kewajiban yang diatur dalam norma etika maupun norma hukum kewajiban
yang diatur dalam norma etika maupun norma hukum
Subyek hukum (orang maupun badan hukum)yang mampu bertanggung
jawab: dewasa; tidak dibawah pengampuan
Adanya hubungan antara perbuatan yang dilakukan dan akibat yang
merugikan
Jenis Tanggung Jawab (Liability) yang dikenal dalam pelayanan kesehatan :
Personal Liability:Tanggung jawab individual.
Strict Liability :"damage based liability" / "liability without fault"
Tanggungjawab lahir karena ada kerugian terlepas ada kesalahan/tidak).
Dasar hukum: Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen.
"based on fault liability"
Tanggungjawab lahir karena ada kesalahan
Dasar Hukum Pasal 1365 &1366 KUHPerdata
43
Vicarious Liability : Tanggung renteng.Dasar hukum Φ Pasal
1367 KUHPerdata
Respondent Liability: Asas respondeat-superior (atasan
bertanggungjawab atas perbuatan anak buahnya di bawah
wewenangnya)
Corporate Liability: tanggungjawab suatu badan hukum.
Untuk menentukan sejauh mana tanggung jawab rumah sakit terhadap
tindakan kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit, secara teoritik dilihat dari
pelbagai aspek, seperti:
Pola hubungan terapeutik;
Pola hubungan kerja tenaga kesehatan di rumah sakit
Rumah sakit sebagai korporasi
Dasar pembenaran / relevansi rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian
tenaga kesehatan (khususnya dokter), dapat pula dilihat dari aspek kondisi
hubungan terapetiknya (Hubung suatu kepentingan medis) antara pasien dengan
rumah sakit. Pola hubungan terapetiknya di rumah sakit, dapat dalam bentuk
hubungan pasien dan rumah sakit, pola hubungan pasien dokter.
Dokter sebagai Employee
Jika pola hubungan terapetiknya antara pasien dan rumah sakit, maka
kedudukan rumah sakit sebagai pihak yang memberikan prestasi, sementara dokter
hanya berfungsi sebagai employee (sub-ordinate dari rumah sakit) yang bertugas
melaksanakan kewajiban rumah sakit. Dalam bahasa lain, kedudukan Rumah Sakit
adalah sebagai principal dan dokter sebagai agent. Sedangkan pasien
berkedudukan adalah sebagai pihak yang wajib memberi kontraprestasi. Hubungan 44
seperti biasanya berlaku bagi rumah sakit milik pemerintah dimana dokter-
dokternya digaji secara tetap dan penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang
telah ditangani ataupun kualitas serta kuantitas tindakan medik yang dilakukan
dokter. Dengan adanya pola hubungan terapeti (hubungan pasien - Rumah sakit),
maka jika terdapat kerugian yang diderita oleh pasien karena kelalaian dokter
(tenaga kesehatan), maka dalam hal ini rumah sakit yang bertanggung jawab.
Dokter sebagai Attending Physician
Pola hubungan pasien - dokter terjadi jika pasien sudah Dalam, keadaan
berkompeten dan dirawat di rumah sakit yang dokter-dokternya bekerja bukan
sebagai employee, tetapi sebagai mitra (attending physician). Pola seperti ini
menempatkan dokter dan rumah sakit dalam kedudukan yang sama derajat. Dokter
sebagai pihak yang wajib memberikan prestasi, sedangkan fungsi rumah sakit
hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas (tempat tidur, makan minum,
perawat / bidan serta sarana medis dan non-medik). Konsepnya seolah-olah rumah
sakit menyewakan fasilitasnya kepada dokter yang memerlukannya. Pola seperti ini
banyak dianut oleh rumah sakit swasta di mana dokternya mendapatkan
penghasilan berdasarkan jumlah pasien, kuantitas dan kealitas tindakan yang
dilakukan petugas medis. Jika dalam satu bulan tidak ada pasienpun yang dirawat
maka bulan itu dokter tidak menghasilan apa-apa. dengan pola hubungan pasien-
dokter , jika ada kelalaian dokter (tenaga Kesehatan) yang menyebabkan kerugian
pada pasien, maka dokter (tenaga Kesehatan) yang bertanggung jawab, dan bukan
tanggung jawab menjadi rumah sakit.
Ada beberapa macam pola yang berkembang dalam kaitannya dengan
hubungan kerja antara tenaga kesehatan (dokter) dan rumah sakit antara lain: dokter
sebagai tenaga kerja ( employee) dan dokter sebagai mitra ( attending physician).
Masing-masing dari pola hubungan tersebut akan sangat menentukan apakah rumah
sakit harus bertanggung jawab atau tidak terhadap kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan dokter serta sejauh mana tanggung jawab / gugatan yang harus dipikul.
Tampak jelas rumah sakit pemerintah bahwa yang semua tenaga medik maupun
non medik bekerja sebagai employee maka tanggung gugat sepenuhnya menjadi
tanggung gugat institusi tersebut, dengan catatan untuk rumah sakit pemerintah
45
program yang melaksanakan swadana masih diperlukan klarifikasi konsep sehingga
implikasi hukumnya menjadi jelas. Persoalannya bukan Saja tidak adil tetapi juga
tidak logis membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada
pihak rumah sakit, sementara dokter juga menikmati jasa medik berdasarkan
presentase dapat bebas dari tanggung gugat atas kesalahanna sendiri.
Rumah Sakit sebagai badan Hukum (korporasi) dapat dituntut dan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan malpraktik tenaga kesehatan di
rumah sakit, berdasarkan ajaran-ajaran atau doktrin pembenaran korporasi dibebani
pertanggungjawaban sebagai berikut:
Doctrine of strict liability.
Menurut ajaran ini, pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang
bersangkutan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau
kelalaian) pada pelakunya. Ajaran ini disebut absolute liability
(pertanggungjawaban mutlak). Ajaran ini diterapkan terhadap perbuatan-
perbuatan yang sangat merugikan kepentingan publik ( masyarakat pada
umumnya).
Doctrine of vicarious liability.
Ajaran ini diambil dari hukum perdata dalam konteks
pertanggungjawaban melawan hukum yang diterapkan pada hukum
pidana. Ajaran ini disebut pula sebagai ajaran pertanggungjawaban
pengganti. Seorang majikan bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka
pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak Yang
dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum dari mereka
menggugat majikannya agar membayar ganti rugi. Dengan ajaran ini,
maka korporasi dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau
siapa yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Penerapan
doktrin inisial dilakukan setelah dapat dibuktikan terdapat subordinasi
antara majikan dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut, dan
46
perbuatan yang dilakukan dalam, lingkup tugas pegawai Yang
bersangkutan.
Doctrine of delegation
Pendelegasian wewenang oleh majikan kepada bawahannya merupakan
alasan pembenar bagi dapat di bebankannya pertanggungjawaban pidana
kepada majikannya Atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
bawahannya yang memperoleh pendelegasian wewenang itu.
Doctrine of identification
Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan
pidana kepada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang
melakukan tindak pidana tersebut. jika tindak pidana dilakukan personil
yang memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai directing mind dari
korporasi tersebut, maka pertanggungjawaban dibebankan kepada
korporasi.
Doctrine of aggregation.
Doktrin ini mengajarkan bahwa seseorang dianggap mengagregsian
(mengkombinasikan) semua perbuatan dan semua unsur jiwa / sikap dari
berbagai orang yang terkait secara relevan dalam, lingkungan perusahaan
untuk dapat memastikan bahwa semua perbuatan dan unsur mental
tersebut adalah suatu tindak pidana seperti seakan-akan semua perbuatan
dan unsurmental itu telah dilakukan oleh Satu orang saja.
Reactive corporate fault
Doktrin ini mengajarkan bahwa korporasi yang menjadi terdakwa diberi
kesempatan Oleh pengadilan untuk melakukan pemeriksaan SENDIRI,
siapa yang dianggap bersalah. Jika laporan perusahaan atau korporasi
cukup memadai, maka korporasi dibebaskan dari pertanggungjawaban. 47
Namun apabila laporan korporasi dianggap tidak memadai oleh
pengadilan, maka baik kororasi maupun para pimpinan puncak akan
dibebani pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi
perintah pengadilan itu.
KODEKI
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam
melaksanakan praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no
221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969
dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia dan sebagai bahan rujukan
yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang
telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke
22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.
KEWAJIBAN UMUM
Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard
profesi yang tertinggi.
Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
48
Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan
dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan tehnik atau pengobatan
baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya..
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan
atas martabat manusia.
Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dansejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau
yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.
49
Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal9
setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus
saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
50
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan
prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
kedokteran/kesehatan.
PENJELASAN
KODE ETIK KEDOKTERAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus
disempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal protesi
kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan dilakukan
pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan dan
51
Pembelaan Anggota (MP2A), Tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik
Kedokteran III, tahun 2001.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir,
yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang/ pelayanan kesehatan, serta kondisi
dan situasi setempat.
Pasal 3
Perbuatan berikut dipandangan bertentangan dengan etik:
Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan
kedokteran dalam segala bentuk.
Menerima imbalan selain daripada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan
keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien.
Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat
kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter.
Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat
atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter.
Pasal 4
Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan keterampilan profesi yang dimilikinya
adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata. Dengan demikian
imbalan jasa yang diminta harus didalam batas-batas yang wajar.
Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan etik:
Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya.
Mengiklankan kemampuan, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan
maupun dalam tulisan.52
Pasal 5
Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi
kepentingan pasien.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara lisan, tulisan
maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat.
Pasal 7
Cukup Jelas.
Pasal 7a
Cukup Jelas.
Pasal 7b
Cukup Jelas.
Pasal 7c
Cukup Jelas.
Pasal 7d
Cukup Jelas.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
53
Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang mempunyai
kompetensi keahlian di bidang tertentu menurut dokter yang waktu itu sedang menangani
pasien.
Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 12
Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang
mempunyai aspek hukum dan tidak bersifat mutlak.
Pasal 13
Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam jiwanya.
Pasal 14
Cukup Jelas.
Pasal 15
Secara etik seharusnya bila seorang dokter didatangi oleh seorang pasien yang diketahui
telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu dokter yang telah terlebih
dahulu melayani psien tersebut.
Hubungan dokter-pasien terputus bila pasien memutuskan hubungan tersebut. Dalam hal
ini dokter yang bersangkutan seyogyanya tetap memperhatikan kesehatan pasien yang
bersangkutan sampai dengan saat pasien telah ditangani oleh dokter lain.
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
54
Sumpah Hipokrates
Sumpah Hippokrates jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
berbunyi sebagai berikut.
"Saya bersumpah demi Apollo dewa penyembuh, dan Aesculapius, dan
Hygeia, dan Panacea, dan semua dewa-dewa sebagai saksi, bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pikiran saya, saya akan mematuhi janji-janji berikut.
1. Saya akan memperlakukan guru yang telah mengajarkan ilmu ini
dengan penuh kasih sayang sebagaimana terhadap orang tua saya
sendiri, jika perlu akan saya bagikan harta saya untuk dinikmati
bersamanya.
2. Saya akan memperlakukan anak-anaknya sebagi saudara kandung saya
dan saya akan mengajarkan ilmu yang telah saya peroleh dari ayahnya,
kalau mereka memang mau mempelajarinya, tanpa imbalan apapun.
3. Saya akan meneruskan ilmu pengetahuan ini kepada anak-anak saya
sendiri, dan kepada anak-anak guru saya, dan kepada mereka yang
telah mengikatkan diri dengan janji dan sumpah untuk mengabdi
kepada ilmu pengobatan, dan tidak kepada hal-hal yang lainnya.
4. Saya akan mengikuti cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan
kemampuan saya akan membawa kebaikan bagi pasien, dan tidak
merugikan siapapun.
5. Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun diminta, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.
Atas dasar yang sama, saya tidak akan memberikan obat untuk
menggugurkan kandungan.
6. Saya ingin menempuh hidup yang saya baktikan kepada ilmu saya ini
dengan tetap suci dan bersih
55
7. Saya tidak akan melakukan pembedahan terhadap seseorang, walaupun
ia menderita penyakit batu, tetapi akan menyerahkannya kepada
mereka yang berpengalaman dalam pekerjaan ini.
8. Rumah siapapun yang saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan
untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat buruk atau
mencelakakan, dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap
wanita ataupun pria, baik merdeka maupun hamba sahaya
9. Apapun yang saya dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang
tidak patut untuk disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena
saya harus merahasiakannya.
10. Selama saya tetap mematuhi sumpah saya ini, izinkanlah saya
menikmati hidup dalam memperaktikan ilmu saya ini, dihormati oleh
semua orang, di sepanjang waktu! Akan tetapi, jika sampai saya
mengkhianati sumpah ini, balikkanlah nasib saya.
Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
1. Hak dan Kewajiban Dokter
a. Hak Dokter
Menurut pasal 50 UU No.29 Th 2004 :
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi medis dan standar prosedur
operasional;
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya ;
4. Menerima imbalan jasa 56
Diluar Undang -undang
1. Hak melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Tanda
Registrasi(STR) dan Surat Ijin Praktik(SIP)
2. Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan
hukum, agama dan hati nuraninya
3. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan seorang pasien, jika
menurut penilaiannya kerjasama pasien dengannya tidak ada
gunanya lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
4. Hak menolak pasien yang bukan bidang spesialisnya, kecuali dalam
keadaan darurat atau tidak ada dokter lain yang mampu
menanganinya.
5. Hak atas privasi dokter.
6. Hak atas ketentraman bekerja.
7. Hak menjadi anggota himpunan profesi.
8. Hak mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.
9. Hak menjadi anggota himpunan profesi.
10. Hak membela diri .
11. Hak untuk menolak memberi kesaksian mengenai pasiennya
dipengadilan.
b. Kewajiban Dokter
"AEGROTI SALUS LOX SUPREME " keselamatan pasien adalah hukum
yang tertinggi ( utama ). Menurut Leenen :
57
1. Kewajiban yang timbul dari sifat perawatan medis dimana dokter
harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau
menjalankan praktek kedokterannya secara lege artis
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari
hak-hak asasi dalam bidang kesehatan
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan
KODEKI
Kewajiban Umum ( Pasal 1 -9)
Kewajiban Dokter terhadap teman pasien ( pasal 10 -13 )
Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat ( Pasal 14 -15 )
Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri ( Pasal 16 -17)
MENURUT UU No.29 Th 2004 pasal 51
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan dengan standar
profesi profesi standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien;
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan ;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien meninggal dunia;
58
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan,kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melakukannya; dan ;
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
2. Hak dan Kewajiban Pasien
a. Hak Pasien
HAK PASIEN UU No. 23 Th 1992 tentang Kesehatan pasal 53 (2)
1. Hak atas informasi
2. Hak memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat ke 2 ( second opinion)
UU Pradoks psl 52
1. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
2. Meminta pendapat dr/drg lain
3. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
4. Mendapat isi rekam medis
Fred Ameln
1. Menerima pengobatan dan perawatan
2. Menghentikan pengobatan dan perawatan
3. Menolak pengobatan dan perawatan
4. Memilih dokter dan sarana pelayanan kesehatan
59
5. Mendapat informasi tentang penyakitnya
6. Atas rahasia kedokteran
7. Hak bantuan medis
8. Mendapat perawatan terbaik & berlanjut
9. Menerima pelayanan/perhatian atas suatu pengobatan
Veronica komalawati
1. Hak atas informasi
2. Memberikan informed consent
3. Dirahasiakan penyakit
4. Hak atas itikat baik dari dokter
5. Hak mendapat pelayanan medis yang terbaik
b. Kewajiban Pasien
Fred
1. Memberi informasi selengkapnya perihal penyakitnya
2. Mematuhi nasihat dokter
3. Menghormati privasi dokter yang merawat (menyimpan rahasia
dokter)
4. Memberi imbalan jasa
UU No.29 Th 2004 (PRADOKS) •Pasal 53
1. Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter/dokter gigi
60
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan
4. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Sengketa Medik
Sengketa medik dapat terjadi karena adanya hubungan hukum pelayanan
medik yang menimbulkan akibat yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasien.
Hubungan-hubungan pelayanan medik yang menunjukkan kesederajatan, setidak-
tidaknya pada saat para pihak akan memasuki hubungan hukum tersebut, selalu
merupakan hubungan keperdataan.
Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama ini
ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan pihak pasien. penyelesaian sengketa medik melalui
pengadilan / secara litigasi berarti mempertaruhkan reputasi yang telah dicapainya
dengan susah payah, dan dapat menyebabkan kehilangan nama baik. Meskipun
belum diputus bersalah atau bahkan putusan akhir dinyatakan tidak bersalah, nama
baik dokter atau sarana pelayanan kesehatan sudah terkesan jelek karena sudah
secara terbuka di media diberitakan telah diduga melakukan kesalahan dan akan
menjadi stigma yang jelek pula dalam masyarakat yang pada gilirannya
menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dokter atau sarana
pelayanan kesehatan tersebut akan turun.
Penyelesaian sengketa yang dianggap ideal bagi para pihak adalah
penyelesaian yang melibatkan para pihak secara langsung sehingga
memungkinkan dialog terbuka, dengan demikian keputusan bersama kemungkinan
besar dapat tercapai. Disamping itu karena pertemuan para pihak bersifat tertutup
maka akan memberikan perasaan nyaman, aman kapada para pihak yang terlibat
sehingga kekhawatiran terbukanya rahasia dan nama baik yang sangat dibutuhkan
oleh dokter maupun sarana pelayanan kesehatan dapat dihindari.
Sengketa medik dapat diselesaikan melalui proses litigasi di pengadilan baik
berupa hukum perdata maupun hukum pidana atau bisa melalui alternatif
61
penyelesaian sengketa. Tindakan yang dapat dilakukan rumah sakit untuk
mengatasi sengketa medik ada 2 yaitu :
Metode negosiasi
Metode mediasi
Metode yang sering digunakan untuk mengatasi sengketa medik adalah
metode mediasi karena metode mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa
medik dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penghubung (mediator) untuk
mencapai kesepakatan penyelesaian diantara para pihak atas sengketa medik yang
terjadi.
Komunikasi Efektif Dokter Pasien
Komunikasi dokter-pasien yang efektif adalah terciptanya rasa nyaman
dengan terapi medis yang diberikan dokter pada pasien. Faktor perilaku dokter
terhadap pasiennya, kemampuan dokter untuk mendapatkan dan menghormati
perhatian pasien, tersedianya informasi yang tepat dan timbulnya empati serta
mem¬bangun kepercayaan pasien ternyata merupakan kunci yang menentu¬kan
dalam kenyamanan yang baik dengan terapi medis pada pasien. Sikap empati yang
ditunjukkan oleh dokter kepada pasien akan menumbuhkan rasa kepercayaan
pasien kepada dokter¬nya yang kemudian dapat menimbulkan kepuasan dan
kepatuhan pasien pada pengobatan (Kim et al., 2004).
Komunikasi dokter-pasien yang efektif ditandai dengan adanya proses yang
interaktif antara dokter dan pasien, dimana terjadi penyampaian informasi yang
timbal balik antara dokter dan pasien secara efektif baik secara verbal maupun non
verbal (Ali MM et al., 2006b). Komunikasi yang kolaboratif, proaktif dan
menghargai pendapat pasien dalam pengambilan keputusan medis serta ternyata
dapat membawa efek yang baik bagi outcome pengobatan (Naik et al., 2008).
Sebuah penelitian di Korea menyimpulkan bahwa pasien akan mempunyai
pandangan negatif terhadap dokternya jika dokter mempunyai gaya komunikasi 62
yang dominan terhadap pasien dan tidak memberi kesempatan bagi pasien untuk
mengemukakan pandangannya tentang suatu rencana terapi (Kim et al, 2008).
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan
oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa
mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter,
tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan
komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari.
Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien
pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh
dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin
bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya
bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak
memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit
waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin
sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif
antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat
melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien.
Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan
komunikasi yang digunakan:
Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha
menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik
mengenai tanda dan gejala-gejala.
Illness centered communication style atau patient centered communication style.
Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang
penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Di
63
sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa
yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan,
serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak
memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style.
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan
melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat
dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang
keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
Pandangan Islam
Pandangan Islam mengenai merujuk pasien
Dari hadist riwayat Al-Bukhary :
" Jika suatu perkara diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah
kehancurannya."
Maksud dari hadist di atas adalah dalam kasus ini yang tindakan yang
dilakukan RS A sudah tepat yaitu merujuk pasiennya ke rumah sakit lain yang
memiliki dokter lebih ahli dalam mengatasi permasalahan penyakit yang di
alami bayi Ny. Kusuma.
Pandangan Islam mengenai komunikasi yang baik antara dokter dan pasien
maupun dokter dan dokter.
" Dan berkat rahmat Allah engkau ( muhammad ) berlaku lemah lembut
terhadap mereka sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekitar mu." ( Qs. Ali Imran : 159 )
" Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik "
( Qs. Al-baqarah : 83 )
64
Maksud dari firman allah di atas dalam kasus ini adalah seorang
dokter harus mampu menjaga komunikasi yang baik dengan pasien agar terjadi
hubungan yang baik dan terjalin rasa saling percaya. Selain itu seorang dokter
juga harus menjalin komunkasi yang baik dengan sesama dokter, saling
berbagi dan saling memahami . Hubungan yang baik sesama dokter secara
tidak lansung akan membuat tenaga kerja kesehatan menjadi lebih baik.
" Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang, yaitu mereka yang
memutar balikan fakta dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-
ngunyah rumput dengan lidahnya."
" Dan jauhilah perkataan - perkataan dusta." ( Qs. Al-Hajj : 30 )
" Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran ( shidiq ) karena sesungguhnya
kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke
surga." (HR. Ibnu Muttafaq ‘Alaih)
" Katakanlah Kebenaran walaupun pahit rasanya." ( HR. Ibnu Hibban )
Maksud dari hadist dan firman Allah diatas adalah sebagai seorang dokter
harus selalu bersikap jujur kepada pasien., Berbicara terus terang tetapi tetap
menjaga perasaan pasien dan memiliki etika dalam menyampaikan informasi.
Kerangka Konsep
65
Prosedur RS A yang buruk Komunikasi medik dokter-pasien tidak efektif
RS A terlambat mendiagnosis bayi Ny. Kusuma mengalami atresia ani
Dirujuk dan dioperasi di RS B
Kesimpulan
Keluarga Ny. Kusuma menuntut RS A (sengketa medik) agar bertanggung
jawab terhadap penyakit yang diderita bayinya karena prosedur RS A dan
komunikasi medik dokter-pasien yang tidak efektif serta pelanggaran etika
kedokteran (komunikasi) sesama dokter yang dilakukan oleh dokter RS B.
66
Sembuh dengan skuelea Dokter RS B menyalahkan dokter RS A
Pelanggaran etika kedokteran (komunikasi) sesama dokter
Ny. Kusuma menuntut RS A
DAFTAR PUSTAKA
Adonara,F., (2010). Aspek Hukum Informed Consent dalam Pelaksanaan Tindakan
Operasi Medik. Website : http://library.unej.ac.id
Amelia, Rina., (2012). Konsultasi dan Rujukan dalam Praktek Dokter Keluarga. Website :
http://ocw.usu.ac.id
Amir,A.,& Hanafiah,J., (2008). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
Basbeth,F., (2011). Pelatihan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik.
Website : http://fk.yarsi.ac.id
D. Veronika Komalawati., (1989). Hukum dan Etika Dalam Praktik Kedokteran. Jakarta :
PT.Pustaka Sinar Harapan
67
Faiz, Muhammad., (2005). 1001 Hadist Terpilih. Jakarta : Gema Insani
Guwandi, J., (2005). Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hadianto, Tridjoko., (2000). Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI). Website:
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/kodersi2000.pdf
Konsil Kedokteran Indonesia., (2006). Komunikasi efektif dokter-pasien. Website:
http://inamc.or.id/download/Manual%20Komunikasi%20Efektif.pdf.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia., (2004). Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Fakultas Kedokteran
USU : Kode Etik Kedokteran, Website:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/652?mode=full
Mufidi, Faiz & Pursetyowati, Sri., (2009). Penyelesaian Sengketa Medik di Rumah Sakit,
Website : http://jurnal.fhunla.ac.id/index.php/WP/article/view/79/72
Nasser,M., (2011). Sengketa Medis dalam Pelayanan Kesehatan. Website:
http://kebijakankesehatanindonesia.net
Pemerintah Daerah Jawa Barat., (2011). Peraturan Gubernur Jawa Barat. Website:
http://diskes.jabarprov.go.id
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
Setya, Wahyudi., (2011). Tanggungjawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat
Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Website:
http://www.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/178/126
Tim adaptasi Indonesia., (2009). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:
WHO Indonesia
Tjokronegoro, A dkk., (1998). Panduan Gawat Darurat, Jilid I Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
68
Wardhani,R.,K., (2010). Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent) di RSUP DR. Kariadi Semarang. Website : http://eprints.undip.ac.id
69
top related