TUGAS MATAKULIAH KEDOKTERAN ISLAM
KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM IBADAH ADAN KONSEP PENGOBATAN DALAM ISLAM1. Jelaskan konsepsi manusia dalam Islam secara lengkap dan menyeluruh2. Bagaimana bentuk kasih sayang Allah SWT kepada manusia sebagai makhluq ciptaannya?3. Jelaskan posisi/kedudukan manusia sebagai Abdillah (hamba Allah) dan sebagai Khalifatullah.
Apa peran masing-masing posisi tersebut?4. Tuliskan dan jabarkan peranan dokter sebagai khalifah5. Tuliskan efek terapi yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Kalimat Syahadatb. Wudhu dan sholatc. Puasa / shaumd. Zakat / berinfaq / sedekahe. berhaji
Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan
mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai
kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah
Swt.
Manusia menurut pandangan al-Quran, al-Quran tidak menjelaskan asal-usul kejadian manusia
secara rinci. Dalam hal ini al-Quran hanya menjelaskan mengenai prinsip-prinsipnya saja. Ayat-
ayat mengenai hal tersebut terdapat dalam surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13,
Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.
Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-
macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa
jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah.
Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak menjelaskan secara rinci.
Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah.
Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari
rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan
ovum.
Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya dipahami secara
lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari tanah, dengan
asumsi karena Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi.
Akan tetapi ada sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam bukan manusia pertama.
Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:
Ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah tidak berarti bahwa semua
unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi kimia. Hal itu seperti pernyataan
bahwa tumbuh-tumbuhan bahan makanannya dari tanah, karena tidak semua unsur kimia yang
ada dalam tanah ikut diserap oleh tumbuh-tumbuhan, tetapi sebagian saja. Oleh karena itu
bahan-bahan pembentuk manusia yang disebut dalam al-Quran hanya merupakan petunjuk
manusia yang disebut dalam al-Quran , hanya merupakan petunjuk dimana sebenarnya bahan-
bahan pembentuk manusia yaitu ammonia, menthe, dan air terdapat, yaitu pada tanah, untuk
kemudian bereaksi kimiawi. Jika dinyatakan istilah “Lumpur hitam yang diberi bentuk”
(mungkin yang dimaksud adalah bahan-bahan yang terdapat pada Lumpur hitam yang
kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia). Sedangkan kalau dikatakan sebagai tembikar yang
dibakar , maka maksudnya adalah bahwa proses kejadiannya melalui oksidasi pembakaran.
Pada zaman dahulu tenaga yang memungkinkan terjadinya sintesa cukup banyak dan terdapat
di mana-mana seperti panas dan sinar ultraviolet.
Ayat yang menyatakan ( zahir ayat ) bahwa jika Allah menghendaki sesuatu jadi maka jadilah
( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap yang dikehendaki Allah pasti akan
terwujud seketika. Dalam hal ini harus dibedakan antara kalimat kun fayakun dengan kun fa
kana. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud dan terwujudnya mungkin saja melalui suatu
proses. Hal ini dimungkinkan karena segala sesuatu yang ada didunia juga mengalami prosi
yang seperti dinyatakan antara lain dalam surat al-A’la 1-2 dan Nuh 14.
Jika diperhatikan surat Ali Imran 59 dimana Allah menyatakan bahwa penciptaan Isa seperti
proses penciptaan Isa seperti proses penciptaan Adam, maka dapat menimbulkan pemikiran
bahwa apabila isa lahir dari sesuatu yang hidup, yaitu maryam, maka Adam lahir pula dari
sesuatu yang hidup sebelumnya. Hal itu karena kata “tsumma” yang berarti kemudian, dapat
juga berarti suatu proses.
Perbedaan pendapat tentang apakah adam manusia pertama atau tidak, diciptakan langsung
atau melalui suatu proses tampaknya tidak akan ada ujungnya karena masing-masing akan
teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini senantiasa diperpanjang, jangan-jangan hanya akan
menghabiskan waktu dan tidak sempat lagi memikirkan tentang status dan tugas yang telah
ditetapkan Allah pada manusia al-Quran cukup lengkap dalam memberikan informasi tentang
itu.
Untuk memahami informasi tersebut secara mendalam, ahli-ahli kimia, biologi, dan lain-lainnya
perlu dilibatkan, agar dalam memahami ayat-ayat tersebut tidak secara harfiah. Yang perlu
diingatkan sekarang adalah bahwa manusia oleh Allah, diharapkan menjadi khalifah ( pemilih
atau penerus ajaran Allah ). Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam al-baqarah 30.
kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti
meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya
dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik
pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah.
Perlu diingat bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan Abu bakar pada waktu dipercaya untuk
memimpin umat islam. Pada waktu itu beliau mengucapkan inni khalifaur rasulillah, yang
berarti aku adalah pelanjut sunah rasulillah. Dalam pidatonya setelah diangkat oleh umat islam,
abu bakar antara lain menyatakan “selama saya menaati Allah, maka ikutilah saya, tetapi
apabila saya menyimpang , maka luruskanlah saya”. Jika demikian pengertian khalifah, maka
tidak setiap manusia mampu menerima atau melaksanakan kekhalifahannya. Hal itu karena
kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orang mau memilih ajaran Allah.
Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai kelengkapan dalam
menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad ( al-Anbiya’ : 8, Shad : 34 ). Ruh (al-Hijr
29, As-Sajadah 9, Al-anbiya’ :91 dan lain-lain); Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan lain-lain ) ;
Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal 22, al-Mulk 10 dan lain-lain); dan Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara’f
179, Shaffat 84 dan lain-lain ). Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya hidup,
Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah daya rasa. Di samping itu manusia
juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah ( an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah
( al-Ma’arif 19 ), suka bernuat zalim dan ingkar ( ibrahim 34), suka membantah ( al-kahfi 54 ),
suka melampaui batas ( al-‘Alaq 6 ) suka terburu nafsu ( al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu
semua merupakan produk dari nafs , sedang yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif
adalah aqal dan qolb. Tetapi jika hanya dengan aqal dan qolb, kecenderungan tersebut belum
sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif. Yang dapat mengendalikan adalah wahyu, yaitu
ilmu yang obyektif dari Allah. Kemampuan seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan
negatif tersebut ( karena tidak mungkin dihilangkan sama sekali ) ditentukan oleh kemauan dan
kemampuan dalam menyerap dan membudayakan wahyu.
Berdasarkan ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat suatu gambaran bahwa Adam
bukanlah manusia pertama, tetapi ia khalifah pertama. Dalam ayat tersebut, kata yang dipakai
adalah jaa’ilun dan bukan khaaliqun. Kata khalaqa mengarah pada penciptaan sesuatu yang
baru, sedang kata ja’ala mengarah pada sesuatu yang bukan baru,dengan arti kata “ memberi
bentuk baru”. Pemahaman seperti ini konsisten dengan ungkapan malaikat yang menyatakan “
apakah engkau akan menjadikan di bumi mereka yang merusak alam dan bertumpah darah?”
ungkapan malaikat tersebut memberi pengertian bahwa sebelum adam diciptakan, malaikat
melihat ada makhluk dan jenis makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu merusak alam dan
bertumpah darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena malaikat tidak tahu apa
yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan
hanya Allah.
Dengan demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia pertama. Yang
dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang tersebar adalah proses terciptanya
manusia dari tanah, saripati makanan, air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi, alaqah,
berkembang menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir ke dunia setelah berproses
dalam rahim ibu. Ayat berserak, tetapi dengan bantuan ilmu pengetahuan dapat dipahami
urutannya. Dengan demikian, pemahaman ayat akan lebih sempurna jika ditunjang dengan
ilmu pengetahuan.
Oleh karena al-Quran tidak bicara tentang manusia pertama. Biarkanlah para saintis berbicara
tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang berdasarkan penemuan fosil. Semua
itu bersifat sekedar pengayaan saint untuk menambah wawasan pendekatan diri pada Allah.
Hasil pembuktian para saintis hanya bersifat relatif dan pada suatu saat dapat disanggah
kembali, jika ada penemuan baru. Misalnya, mungkinkah penemuan baru itu dilakukan oleh
ulama islam? Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain Dibanding makhluk
lainnya manusai mempunyai kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu membedakan
manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak
dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun diudara. Sedangkan binatang
bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak didarat dan dilaut,
namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia. Mengenai
kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra’ ayat 70.
Disamping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang diturunkan
Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu berbudaya. Allah
menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya (at-Tiin : 95:4). Namun demikian, manusia
akan tetap bermartabat mulia kalau mereka sebagai khalifah ( makhluk alternatif ) tetap hidup
dengan ajaran Allah ( QS. Al-An’am : 165 ). Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa
dibedakan ) dengan makhluk lainnya.
Jika manusia hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak bermartabat lagi. Dalam
keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang, “mereka itu seperti binatang ( ulaaika
kal an’aam ), bahkan lebih buruk dari binatang ( bal hum adhal ). Dalam keadaan demikian
manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4 ).
Pembahasan.
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau
hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak
ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat
semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat
diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan
diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan
dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga
sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat
ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .
Konsep manusia
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
Pertama yaitu Teori Evolusi.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis J.B de Lamarck yang
menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari
tumbuh – tumbuhan menuju binatang dan dari binatang menuju manusia. Teori ini
merupakan perubahan atau perkembangan secara berlahan – lahan dari tidak
sempurna menjadi perubahan yang sempurna.
Kedua yaitu Teori Revolusi
Teori revolusi ini merupakan perubahan yang amat cepat bahkan mungkin dari tidak ada
menjadi ada. Teori ini sebenarnya merupakan kata lain untuk menanamkan
pandangan pencipta dengan kuasa Tuhan atas makhluk-Nya. Pandangan ini gabungan
pemikiran dari umat manusia yang berbeda keyakinan yaitu umat Kristen dan umat Islam
tentang proses kejadian manusia yang dihubungkan dengan keMaha Kuasaan Tuhan.
Dalam Ajaran Kristen dijumpai kisah kejadian manusia dalam surat Kejadian 1-11 dan 12-50
tentang kisah oleh Martinus dalam “ Bagaimana Agama Kristen Memandang teori Darwin “.
Dalam ajaran Islam terbentuk opini dan tidak berlebihan jika dikatakan sebagai
keyakinan, bahwa manusia dan juga alam semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa
Allah.Keyakinan tersebut merupakan hasil interpretasi dari ayat – ayat Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan tetntang kejadian Adam yaitu “ Adam adalah
suatu makhluk yang diciptakan dari tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian
dicampur dengan air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk
hidup”,serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakun dengan arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.
Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Teori ini adalah gabungan pemikiran dari pihak-pihak agama yang berlandaskan dengan
alasan-alasan serta pembuktian dari pihak sarjana penganut teori evolusi.
Seperti yang dikemukakan oleh FransDahler, yang mengakui bahwa tumbuh-tumbahan,
binatang, dan manusia selama ribuan atau jutaan tahun yang benar-benar mengalami
mutasi (perubahan) yang tidak sedikit.
Menurut RHA. Syahirul Alim cendekiawan Muslim ahli kimia menyatakan bahwa kita
sebagai manusia harus merasa terhormat kalau diciptakan dari keturunan kera karena
secara kimia molekul-molekul kera jauh lebih kompleks dibandingkan dengan tanah,
karena tanah molekulnya lebih rendah keteraturannya. Menurut Al-Syaibani manusia
dikelompokkan menjadi delapan definisi,antara lain :
1. Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dimuka bumi
2. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
3. Insan manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa.
4. Insan yang mempunyai tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh
5. Insan dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian
dua factor, yaitu faktor warisan dan lingkungan.
6. Manusia mempunyai motivasi, kecenderungan, dan kebutuhan permulaan baik yang
diwarisi maupun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
7. Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia Dalam pandangan islam
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram,
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang
mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada
memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah
dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.
1.Misi Manusia
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan
misi operasional.
A. Misi Utama
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang telah
ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan
ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan
alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan
Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah
menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang
ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh
Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah
shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan
kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari,
menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim
menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang
di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan
mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
• Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.
• Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika
mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,
tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
• Dzalimun linafsihi
Hamba yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak
dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,
al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa kamu. Pertama,
mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena, yang pertama akan
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata, “Akal merupakan teman setia,
dan hawa nafsu adalah musuh yang ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain berkata,“Hawa nafsu
adalah raja yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
B. Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional
sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang
ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah,
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
C.Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5) Mempunyai belas kasih (at-
Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat (Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-A’raaf: 18)
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
Pertama yaitu Teori Evolusi.
Kedua yaitu Teori Revolusi
Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Keberadaan manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada
Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan garis yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-
Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia
muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil
yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu
Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan
menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian
tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi
juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat
dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan
karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il
(Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang
Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua
pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai manusia
yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai
sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-
sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri
pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan
kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam
hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut
pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu
sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam
ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan
manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan
mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui
berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan
sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan
yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana
hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi
mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur
Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini.
Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang
memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran
secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan,
wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi
tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan
makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan
kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang
mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai
kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan
pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi;
dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van hoeve
A. Manusia Sebagai Mahluk Sempurna
Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahluk yang sempurna di antara
mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi begitu banyak keistimewaan di antaranya bentuk
fisik yang indah, kedudukan yang jauh lebih baik, dan yang paling berbeda yaitu akal pikiran.
Akal dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Manusia sebagai insan kamil haruslah mempunyai kepribadian dan ahlak yang baik. Pemuliaan
Allah SWT kepada manusia berkaitan dengan penciptaannya seperti diterangkan Allah dalam
firmanNya:
Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah adalh kondisi awal suatu ciptaan
atau kondisi manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada
kebenaran. Fitrah tidak hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti
rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan kepada kebaikan) yang
terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke muka bumi. Manusia memiliki potensi baik
sejak kelahirannya. Potensi itu meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal
(mind). Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menentukan
dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan takdirnya.
Semua itu tergantungdari bagaimana mereka memanfaatkan potensi yang melekat dalam
dirinya. Potensi rohaniah berupa akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau rasio dan rasa
bias diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang dapat menangkap segala
pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah sesuatu kekuatan yang mendorong manusia
untuk mencapai keinginannya.
Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan
apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan
tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi
tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat,
sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil
akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah
diuraikan di depan, adalah berusaha untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi,
namun untuk kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat Adz Dzariyat
ayat 56:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56) Dalam islam tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup (penciptaan) manusia. Menempatkan ibadah sebagai tujuan hidup mengandung arti bahwa kita menyerahkan penilaian semua gerak dan kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.
Tidak dapat dipungkiri misi utama hadirnya Islam adalah menebar kasih sayang. Tujuan Islam sejak awal adalah melatih setiap individu agar peka dan sadar akan kasih sayang dan rahmat Allah SWT, menyandarkan kehidupan spiritual mereka pada sifat-sifat Allah SWT ini, dan merefleksikan kualitas keagungan Allah SWT tersebut dalam bentuk kemanusiaan mereka serta dalam membina hubungan mereka dengan semua makhluk lain ciptaan Allah SWT.
Kasih sayang dan rahmat merupakan manifestasi dari kemuliaan Allah SWT, Di antara kata kasih sayang dan rahmat terdapat satu ruang di mana perintah Allah SWT untuk menyucikan semua tindakan kita sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Rahmân dan Al-Rahîm kemudian menjadi gerak dan denyut nadi dalam setiap aspek kehidupan setiap muslim yang dimanifestasikan dalam kebaikan, kemurahan, dan kasih sayang. Sifat-sifat ini berhubungan arat dengan Rahmat (Al-Rahmah). Selain itu, kata ini juga berhubungan dengan kata yang berarti rahîm. Jadi, dapat dikatakan bahwa dunia ini muncul dari rahim kemurahan dan kasih sayang Allah SWT.
Allah SWT merupakan sumber kasih sayang di alam semesta. Kasih sayang Allah disebut dengan rahmat. Ada dua bentuk kasih sayang Allah. Pertama kasih sayang yang ia turunkan kepada semua manusia dan kedua kasih sayang Allah yang diberikan karena Allah menghargai upaya manusia tersebut. Yang pertama datang dari sifat Ar rahmaan (Allah yang Maha Pemurah) sedang yang kedua dari sifat Allah Ar Rahiim (Yang Maha Penyayang).
Begitu banyak kasih sayang Allah SWT yang diberikan kepada kita, mulai dari bernafas dan menghirup udara, berjalan, memiliki anggota tubuh yang lengkap, nikmat mengkonsumsi makanan, berbicara, mendengar dan begitu banyak nikmat lainnya yang wajib kita syukuri sebagai penerima kasih sayang itu.
Maka dari itu wujud atau menifestasi seorang manusia yang bersyukur akan nikmat ini ialah ibadah. Dalam ibadah kita diharapkan mengucapkan kata syukur kepada Allah SWT dan menghargai nikmat tersebut dengan menjaganya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. (Hijrah)
Ayat tentang manusia sebagai kholifah di bumi
Di dalam Al Qur’an telah disebutkan ayat tentang manusia sebagai khalifah di muka
bumi, yaitu di dalam Surat Al Baqarah ayat 30:
�
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
�ف�ة� ي ل pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah :(khalifah) خ�
yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah ini dalam arti yang
menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapannya.
د �ف�س merusak (dengan kekufuran dan maksiat) : ي
فك �س� dia menumpahkan : ي
�ء� darah :الد�مآ
�ح ب س� kami bertasbih : ن
ح�م�دك dengan (senantiasa) memuji-Mu : ب
ق�د�س kami menyucikan-Mu : ن
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai hamba
Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah,
manusia adalah kecil dan tak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah
kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi
sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi memiliki
tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk
kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia.
Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan,
menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas
untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah
Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di
muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang
sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi
manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat
potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting
yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi
(al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak
manapun (ar ri’ayah).
1. Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus
mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka
sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga
kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
Memakmurkan bumi juga berarti menjaga lingkungan sekitarnya, menjaga kelestarian hutan dan
para penghuninya, karena jika semuanya terjaga benar oleh manusia, maka bencana yang
diakibatkan oleh kesalahan manusia akan sedikit kemungkinan terjadinya.
2. Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya
sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan
menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan
sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan
yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya,
manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan
petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi
dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang dibanding
yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk berbuat kerusakan, hal
ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi Muhammad SAW dimana umat para nabi
tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani
Israil, seperti yang Allah sebutkan dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4:
� �
Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu
akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri
dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4)
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi
sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang
diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:
� �
� �
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (QS AL Qashash : 77)
B. Hadis tentang manusia sebagai kholifah di bumi
Begitupun di dalam Al-Hadist juga ada riwayat yang menyatakan manusia sebagai
khalifah di muka bumi, Hadist:
Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut:
: �ق� ل خ� و� �ت ب الس% �و�م� ي �ة� ب �ر� الت و�ج�ل% ع�ز% /ه الل ل�ق� خ� ف�ق�ال� �دي� ي ب %م� ل س� و% �ه �ي ع�ل /له ال ص�ل%ى ي %ب الن �خ�ذ� أ
�و�م� ي �و�ر� الن ل�ق� خ� و� �اء �ث �ال الث �وم� ي و�ه� �ر �م�ك ال ل�ق� خ� و� �ن �ي �ن ث اإل �و�م� ي ج�ر� الش% ل�ق� �ح�دوخ� األ �و�م� ي �ال� ب �ج �ه�اال في
في� �ج م ع�ة ال �و�م ي الع�ص�رمن� �ع�د� ب م ال� الس% �ه �ي ع�ل آد�م� ل�ق� خ� و� �س �خ�مي ال �و�م� ي الد%و�اب% �ه�ا في �ث% ب و� ع�اء ب ر�� األ
. �ج م ع�ة ال اع�ات س� من� Rاع�ة س� آخر في� ل�ق �خ� آخرال
( عنهما( الله رضي أحمد و مسلم رواه
Nabi SAW. memegang tanganku, lalu bersabda, “Allah SWT. menciptakan bumi pada
hari sabtu, Dia menciptakan padanya gunung-gunung pada hari ahad, Dia menciptakan pohon-
pohonan pada hari senin, Dia menciptakan hal-hal yang tidak disukai pada hari selasa, Dia
menciptakan nur (cahaya) pada hari rabu, dan Dia menyebarkan (menciptakan) hewan-hewan
padanya pada hari kamis, dan Dia menciptakan Adam a.s. sesudah waktu asar pada hari jumat,
sebagai akhir makhluk (yang diciptakan) pada saat yang terakhir dari waktu-waktu hari jumat.”
(riwayat Muslim dan Ahmad)
Dilihat dari asal sahabat yang menceritakan yaitu Abu Hurairah r.a yang beliau tergolong
sebagai seorang yang jujur serta kuat ingatannya serta perawi hadits ini ialah Muslim dan Ahmad
sehingga dilihat dari sanad dan kedhabitannya kuat sehingga hadits ini bisa digolongkan sebagai
hadits shahih.
C. Kontek dan Maksud Hadits
�ة� �رب sama wazannya dengan lafaz al-ghurfah, artinya bumi. Dikatakan demikian, yang artinya ,الت
tanah, karena bumi terdiri atas tanah. Makna yang dimaksud ialah bumi berikut apa yang
terkandung di dalamnya, menyangkut laut dan sungai-sungai.
�ث% .menciptakan dan menyebarkan, yakni semua jenis hewan di muka bumi pada hari kamis ,و�ب
Dalam hadis ini terkandung pengertian bahwa hari pertama dalam satu minggu ialah hari sabtu
dan hari terakhirnya adalah hari Jumat. Hari jumat merupakan hari raya (hari libur) setiap satu
minggu, seperti yang telah disebutkan dalam bab Jumu’ah. Hal yang dimaksud ialah yang paling
akhir, karena itulah maka Adam a.s. diciptakan pada hari Jumat; dia merupakan bapak manusia
dan makhluk yang paling mulia yang diciptakan oleh Allah melalui tangan kekuasaan-Nya dan
Dia sendirilah yang meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuhnya, serta memperbolehkan
surga baginya, dan memerintahkan para malaikat agar bersujud kepadanya. Kemudian Rabb
memilihnya dan memberinya petunjuk serta mendekatkannya kepada diri-Nya, dan dapat
bermunajat langsung dengan-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam Al Qur’an telah disebutkan ayat tentang manusia sebagai khalifah di muka
bumi, yaitu di dalam Surat Al Baqarah ayat 30:
�
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Begitupun di dalam Al-Hadist juga ada riwayat yang menyatakan manusia
sebagai khalifah di muka bumi, Hadist:
Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut:
: �ق� ل خ� و� �ت ب الس% �و�م� ي �ة� ب �ر� الت و�ج�ل% ع�ز% /ه الل ل�ق� خ� ف�ق�ال� �دي� ي ب %م� ل س� و% �ه �ي ع�ل /له ال ص�ل%ى ي %ب الن �خ�ذ� أ
�و�م� ي �و�ر� الن ل�ق� خ� و� �اء �ث �ال الث �وم� ي و�ه� �ر �م�ك ال ل�ق� خ� و� �ن �ي �ن ث اإل �و�م� ي ج�ر� الش% ل�ق� �ح�دوخ� األ �و�م� ي �ال� ب �ج �ه�اال في
في� �ج م ع�ة ال �و�م ي الع�ص�رمن� �ع�د� ب م ال� الس% �ه �ي ع�ل آد�م� ل�ق� خ� و� �س �خ�مي ال �و�م� ي الد%و�اب% �ه�ا في �ث% ب و� ع�اء ب ر�� األ
. �ج م ع�ة ال اع�ات س� من� Rاع�ة س� آخر في� ل�ق �خ� آخرال
( عنهما( الله رضي أحمد و مسلم رواه
Nabi SAW. memegang tanganku, lalu bersabda, “Allah SWT. menciptakan bumi pada hari
sabtu, Dia menciptakan padanya gunung-gunung pada hari ahad, Dia menciptakan pohon-
pohonan pada hari senin, Dia menciptakan hal-hal yang tidak disukai pada hari selasa, Dia
menciptakan nur (cahaya) pada hari rabu, dan Dia menyebarkan (menciptakan) hewan-hewan
padanya pada hari kamis, dan Dia menciptakan Adam a.s. sesudah waktu asar pada hari jumat,
sebagai akhir makhluk (yang diciptakan) pada saat yang terakhir dari waktu-waktu hari jumat.”
(riwayat Muslim dan Ahmad)
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan
penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama,
memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang
datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
Manusia :Peran dan Tanggung Jawab
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja),
dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS. 23:115)
Manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat khas memiliki kesadaran akan diri sendiri, dan selalu mencari jati diri. Manusia akan selalu bertanya : - Siapakah saya ? - Dari mana saya berasal ?
- Untuk apa saya hidup? - Bagaimana saya harus menjalani hidup? - Adakah hidup ini hanya sekali? Adakah hidup yang kekal ?- Bagaimana supaya hidup bahagia? Apa itu bahagia ?
Al-Quran sebagai cahaya (nur) dan petunjuk bagi manusia dari Allah SWT memberi jawaban yang pasti terhadap pertanyaan di atas.Berikut keterangan ringkas dari Al-Quran :
1. Manusia adalah makhluk/ciptaan Allah (2: 21)Manusia adalah bagian integral dari alam semesta/makhluk Allah yang lain. Masing-masing memiliki ciri khas, sekaligus saling bergantung satu sama lain.Dia menciptakan manusia, (QS. 55:3)
2. Manusia berasal dari tanah (3:59, 15:28. 33) dan mendapat tiupan roh (dari) Allah (15:39)Sebagai ciptaan Allah manusia berasal dari dua unsur, yaitu unsur tanah --bagian dari alam yang rendah--, dan ruh Allah, yang suci dan tinggi.Dan (ingatlah), ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (QS. 15:28) Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadianya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud . (QS. 15:29)
3. Struktur manusiaSehubungan dengan asal manusia, maka manusia terdiri dari 2 unsur :- Jasmani, yang berasal dari tanah. Merupakan bagian alam yang nyata- Ruhani, yang berasal dari ruh Allah. Merupakan bagian dari alam ghaib (17:85)Jadi dalam diri manusia, terdapat dua alam sekaligus yaitu alam nyata (jasmani) yang tunduk kepada hukum-hukum materi, seperti fisika, kimia, dan alam ghaib (ruhani) yang memiliki kecenderungan sendiri. Keduanya berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan dan saling memperngaruhi.Jika unsur tanah mendominasi manusia, maka manusia cenderung menjadi makhluk biologis saja, sebagaimana hewan. Bahkan Allah menyebut bisa lebih buruk dari hewan.Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu). (25 : 44)Sebaliknya jika unsur ruhani yang mengendalikan, ia bisa menjadi makhluk yang paling baik.(98:7)
4. Keistimewaan ManusiaSebagai bagian dari alam, manusia memiliki keistimewaan/ciri khas dibanding lainnya, antara lain :
- Merupakan makhluk yang mulia (17:70), bahkan malaikat disusuh bersujud kepada Adam (manusia) (2:34)- Memiliki bentuk terbaik (94:4)- memiliki akal/ilmu (2:31)
5. Tugas dan Peran ManusiaManusia hidup untuk mengemban amanah yang berat yang hanya dibebankan kepada manusia (33:172).Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72)
Amanat itu adalah tugas dan peran sebagai :- Abdullah (Hamba Allah) : yaitu tugas untuk menyembah/beribadah kepada Allah SWT (51:59), secara suka rela.- Khalifatullah fil Ardh (wakil Allah di dunia) (2:30) yaitu peran untuk memakmurkan, dan mengatur kehidupan dunia sesuai petunjuk Allah SWT
6. Tujuan hidupTugas dan peran di atas dijalankan dalam rangka mencari ridha Allah. (QS. 2:207). Dengan demikian tujuan hidup manusia yang sesungguhnya adalah mardhatillah (keridhaan Allah) Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. 2:207)
7. Bekal dan potensi manusiaDalam menjalankan tugas dan perannya manusia memperoleh bekal, antara lain:- fisik yang sempurna (94:4)- indera (16:78)- fuad/hati (16:36) Tentang Hati manusia - ilmu dan akal (21:30)- Agama ( 3:164, 4:165) (keterangan bawah)Selain itu manusia memiliki potensi/sifat positif, antara lain :- hanif (cenderung kepada kebenaran) (30:30)Di luar manusia, juga mendapat dukungan berupa :- ditundukannya alam bagi manusia, doktrin ini sering disebut taskhir, yang menjadikan manusia memahami dan menaklukkan alam- doa dan bisikan malaikat, untuk teguh dalam kebenaran (41:30-31, HR Tirmidzi ttg. bisikan malaikat dan setan)
8. Halangan dan Godaan ManusiaSelain bekal dan potensi yang mendukung manusia dalam hidup, juga terdapat halangan dan potensi negatif, yang bersifat menjauhkan atau melalaikan manusia, di antaranya :
- hawa (nafsu rendah) : adalah nafsu yang cenderung kepada kejelekan (12: 53) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku (12: 53) Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilah(tuhan)nya (25:43)- setan (2:36, 7:20-22) Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:208) - Ego negatif/sifat-sifat buruk diantaranya o tergesa-gesa ( 17:11) o suka membantah (18:59) o suka melampaui batas (10:12) o keluh kesah ( 70:20) o kikir (70:19) o suka ingkar ( 100:6) o merasa cukup (96:7) o susah payah (90:4) dan lemah ( 4:28)(Cara-cara menghilangkan sifat-sifat di atas adalah dengan ibadah yang khusu': shalat, sedekah, dll. lihat bawah)
9. Petunjuk Hidup Manusia : IslamIslam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, adalah merupakan petunjuk hidup yang paripurna, dan terang benderang (4:174), yang berisi kebenaran dan keadilan(6:116), yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya (14:1). Agar bisa menjalani hidup dengan baik, manusia harus mengikuti petunjuk agama. - agama membimbing manusia ke tujuan hidup yang benar- agama melindungi manusia dari sifat-sifat buruk, tarikan hawa nafsu, godaan setan, yang hendak menjauhkan manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya- agama membimbing potensi manusia (indera, hati, akal, fitrah) agar digunakan secara optimal, dan benar
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (QS. 4:175)
10. Macam-macam Jalan Hidup Manusia Dalam menjalani kehidupan ini, manusia diberi dua jalan (90:10), yaitu keimanan (ketaqwaan) dan kekufuran (91:8-10). Manusia diberi kebebasan untuk memilih, atas jalan yang terang dan jelas itu (2:256)
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan . (QS. 90:10), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:8-10)
Jalan Keimanan, adalah jalan mengikuti Allah, Rasul, dan orang orang yang mengikutinya. Mereka itulah orang yang diberi nikmat oleh Allah (4:69) Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin , orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)
Jalan kekufuran, adalah jalan menjauhi Allah, mengikuti jalan-jalan setan dan orang-orang yang mengikutinya. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 7:27)
Yang demikian adaah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang benar dari Rabb mereka. Demikianlah Allah membuat untuk menusia perbandingan-perbandingan bagi mereka. (QS. 47:3)
Tentang iman, kafir dan munafik (menyusul) 11. Akhir Perjalanan Hidup Manusia
Setelah menjalani hidup di dunia, manusia seluruhnya (bahkan seluruh alam) akan kembali kepada Allah SWT. Allah adalah akhir perjalanan hidup manusia dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (QS. 41:21)
Jika telah menjalankan hidup dengan benar, membawa bekal yang baik, akan menghadap dengan wajah berseri-seri. Jika sebaliknya akan menghadap dengan malu dan wajah yang hitam
pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman Karena itu rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS. 3:106) Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. (QS. 3:107)
PenutupJadi jawaban atas pertanyaan : dari mana, siapa, hendak kemana,
dengan apa ? Jawabannya cuma satu : Allah SWT...Kita berasal Allah, Sebagai ciptaan Allah, menjalankan amanah
Allah, dan akan kembali kepada Allah, melalui (jalan yang ditunjukkan) Allah ..........
Muhasabah:
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(QS. 57:16)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,
dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan
orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, ) dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabb nya.
Karena sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu
, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.)
Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.
(QS. 70:20-35)
INSAN, ABDULLAH atau KHALIFATULLAHDitulis oleh Mustaqiem Eska
Sebagai manusia pada umumnya, kita harus tahu jelas dimana letak posisi kehambaan. Dalam islam ada tiga tingkatan; yang pertama adalah cukup sebagai ‘insan’, kedua yang lumayan sebagai ‘Abdullah’, dan ketiga yang mulia adalah sebagai ‘Khalifatullah’.Menjadi ‘Insan’, itu ibarat ‘orang-orangan’ di tengah sawah. Maka ia akan bersikap sangat pasif. Ia sangat tidak mengerti apa itu fungsi akal sebagai anugerah super dahsyat dari Allah. Jika burungburung manyar itu tidak jadi mencuri padi di sawah, sesungguhnya bukan karena takut dengan orang-orangan. Tapi adalah karena sesungguhnya burung manyar itu juga tidak punya akal. Sehingga tidak tahu kalau ‘orang-orangan’ itu bukan orang beneran. Bahkan ironisnya, ‘insan’ memang ia tidak pernah punya keinginan untuk tahu itu. Prinsipnya sederhana, yang penting bisa hidup, bisa makan dan minum. Padahal jika ditelaah lebih dalam, proses mereka bisa hidup, bisa makan dan bisa minum adalah sesungguhnya mereka sudah menggunakan akal. Tapi tingkat kesadaran akan peran akal seperti tidak terpikirkan. Intinya sama sekali tidak ada kesadaran atau peran akal ditinggalkan. Jangankan melakukan hubungan vertical dengan Tuhan, hubungan secara horizontal – antar kemanusiaan – saja hanya berlangsung secara fi’li, maknawinya kosong.Dan menjadi Abdullah artinya hamba Allah atau sebut saja Abdi Allah. Seorang abdi ia akan melakukan setiap perintah majikannya. Di pabrik sebuah konveksi misalnya, majikannya menyuruh pegawainya untuk melakukan pemotongan pola, maka ia akan melakukan pemotongan pola. Jika abdi yang lainnya disuruh melakukan pelobangan kancing, maka tentu hanya tugas itu yang ia kerjakan. Seorang abdi sangat memahami bahwa ia harus taat perintah. Karena ada kesadaran konsekwensi. Dimana kalau ia mengikuti perintah majikan maka ia akan mendapatkan ‘pahala gajian’. Ini adalah kesadaran. Dan kesadaran sebagai seorang abdi memang penting, sebab ia mejadi tahu letak posisi kedudukannya. Akhirnya ia akan menjadi patuh , taat, dan setia dengan kesadaran bahwa majikannya akan merasa senang. Begitu dengan hamba Allah, seorang hamba akan cukup jika mengikuti dan mematuhi hukum dan aturan Tuhannya. Perhitungan akalnya adalah menyenangkan Tuhan.Sebagai Abdullah saja sebenarnya tidak cukup. Sebab bagi Tuhan, tidak ada pengaruhnya apakah Abdullah beribadah kepadaNya atau tidak. Allah tidak pernah dirugikan jika hambanya tidak beribadah kepadaNya. Atau Tuhan juga sama sekali tidak pernah merasa diuntungkan ketika hamba-hambaNya setia dan khusyuk melakukan pengabdian atas-Nya. Allah sudah sangat Maha Besar sendirinya, Maha Pencipta, Maha Cukup dan Maha Kun Fayakun. Yang harus dipahami, jika seorang hamba itu melakukan pengabdian kepada Tuhan sesungguhnya nilai dan manfaat pengabdian itu sesungguhnya adalah untuk abdi itu sendiri, tidak untuk Tuhan. Karenanya Tuhan tidak memilih hambanya yang ‘insan’ dan ‘ Abdullah’ ini untuk dijadikan wakil-Nya dalam urusan pengelolaan bumi. Allah terlalu berkali-kali merangsang kesadaran hamba-Nya untuk berfikir, merenungkan jati diri diri makhluknya yang bernama manusia itu. Ini pesan sangat fokus. Sasarannya kemana ?, ketika kalimat-kalimat seperti “afala yatafakkaruun, afala yatadabbaruun, afala ya’qiluun itu disuguhkan terang-terangan oleh Allah di dalam Al-quran ? Jawabannya adalah urusan pemberdayaan ‘akal’. Lantas, kalau manusia yang sejatinya berakal
lantas tidak menggunakan akalnya, apakah akan tercapai titik kesadarannya ? Atau apakah bedanya manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan hewan yang tidak berakal? Benar sinyalemen Allah jika itu terjadi maka posisinya ada pada ‘bal-adulluhum’.Tingkatan manusia dalam islam yang sangat dikehendaki Allah adalah ‘Khalifatullah’. Disebut sebagai khalifah ini artinya adalah utusan atau wakil. Dari segi bahasa dapat ditangkap betapa dalam kaidah ‘khalifatullah’ itu mengandung unsur-unsur Koneksi baik yang bersifat vertical – hubungan hamba dengan Tuhan- atau yang bersifat horizontal – hubungan antar sosial kemasyarakatan- lebih jelas dan lebih dialogis. Keterlibatan manusia dalam islam sebagai khalifatullah di muka bumi begitu menekankan bahwa makhluk-Nya yang bernama manusia jika pandai menggunakan akalnya, tentu akan bisa lebih mengungkap rahasia-rahasia kebesaran Allah yang dilimpahkan di muka bumi. Sebagai wakil Allah, Khalifatullah akan ikut andil lebih aktif dalam proses pengelolaan bumi menjadi lebih subur dan makmur.“Innallaha la yughoiyiruu mabiqoumin hatta yughoiyiruu ma bianfusihim – (Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehigga kaumnya itu tidak merubah dirinya sendiri)”. Ayat di atas sangat kental dengan tugas dan tanggung jawab sebagai khalifatullah. Maksud Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaumnya itu tidak merubah dirinya sendiri tentu saja bukan berarti peran Aallah hanya ada pada ketika kaum itu sudah merubah dirinya sendiri. Maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan peran Allah ? bukankah itu yang merubah dirinya sendiri adalah kaum itu sendiri ? Apakah Allah dalam hal ini bersifat ‘menang-menangan’ sehingga menunggu dari hasil kerja manusia saja ? Ini ayat sangat rentan tafsir. Harus hati-hati.Ya, jauh sebelum mengupas tentang ayat ‘perubahan’ di atas, harus jelas dulu posisi siapa Allah dan siapa kaum. Allah adalah Tuhan pencipta alam semesta dan seisinya, termasuk makhluknya yang bernama manusia dan dianugerahkan kepadanya akal. Lantas dengan akal, manusia dituntun oleh Allah dengan wahyuNya – sebagai kitab suci- yang bisa dipahami makhluknya bernama manusia secara akal. Lantas dengan pemahaman secara akal dan wahyu manusia dituntun untuk bisa menjalankan tugas, utusan, fungsi wakil, dalam menjalankan kemakmuran di muka bumi.Sementara “kaum” adalah makhluk Allah, yang segala dan semua kekuatan yang dimiliknya dalam menjalankan tugas kemakmuran dan kesejahteran di muka bumi adalah bersumber dari Allah. Intinya KAUM- dalam istilah hamba Allah dalam ayat di atas- sama sekali tidak mempunyai kekuatan dan daya apapun.Jadi memahami ayat ‘perubahan’ di atas, “Jan-jane menungso iku ora iso ngerubah tenan ( sebenarnya manusia itu tidak bisa merubah)” kata Cak Nun dalam penjelasan maiyah Gambang Syafaat Semarang (25/6/2011) di masjid Baiturrakhman Simpang Lima Semarang. Jadi jelas, ‘perubahan’ itu bukan perubahan suatu ‘kaum’ tapi adalah ‘PERUBAHAN ALLAH’.Untuk itu, tingkatan manusia sebagai ‘Khalifah’ sangat ditinggikan oleh Allah. Khalifatullah diberikan penghargaan yang super. Ketika khalifatullah sudah melakukan proses produktifitas, maka khalifatullah akan diberikan konsekwensi hasil-hasil dari kerja kerasnya sebagai pahala. Pahala adalah, kalau kita tekun mengolah tanah dengan bercocok tanam, menjaga dan merawatnya dengan sungguh-sungguh, maka pahalanya adalah rizki panen yang berlimpah. Atau seorang pegawai kantor bekerja dengan tekun, dan rajin sesuai dengan target-target instansi atau perusahaan, sehinga profit, lantas ia dapat bonus dan kenaikan gaji, itu adalah pahala.Sebagai khalifatullah, kita sangat bersyukur karena Allah selalu menawarkan perubahan. Intinya adalah kerja keras terus menerus tanpa berhitung hasil. Khalifatullah tugasnya adalah ‘ikhtiar’ tapi segala ketentuan adalah Allah.“Kalau kita melakukan sesuatu, tidak perlu harus sampai berhasil, sebab yang melakukan
perubahan hanya Allah, lakukan apa yang bisa Anda lakukan, setor sama Allah, biar Allah yang punya urusan” (Emha Ainun Nadjib/maiyah Gambang Syafaat Semarang).Seorang Khalifah – disebut Allah sebagai wakil- di muka bumi tentu begitu mulia. Utusan adalah pelaksana tugas dan tanggung jawab yang harus diemban dan dikerjakan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin dalam pengelolaan bumi. Tentu saja, akal-sebagai sarana- yang dimiliki manusia harus difungsikan. Dituntun dengan wahyu-Nya, terjadilah interaksi koneksitas yang islam. Bumi tergarap dengan sempurna oleh tangan-tangan khalifatullah. Lahan menjadi subur makmur, persaudaraan bisnis khalifatullah saling rangkul dan tidak saling pukul. Cinta kasih dan kebersamaan melahirkan kesejahteraan. Mereka berbagi bersama.Sekarang tinggal kita sebagai makhluk Allah yang berakal, bahwa Allah sudah berkali-kali mengetuk kesadaran hambaNya dengan “Nikmat Tuhan yang manakah yang telah kamu dustakan?”, mau pilih dan menempati posisi hamba yang mana, sebagai Insan, Abdullah atau khalifatullah? *** (mustaqiem Eska, Simpang lima , Gambang Syafaat Semarang, 26 Juni 2011)
Pengirim : Mustaqiem Eska