1. Etiologi biologi dari skizofrenia Skizofrenia merupakan sindrom klinik dari berbagai psikopatologi yang melibatkan gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya. Skizofrenia terdiri dari lima gejala utama yakni gejala positif, gejala negative, gejala kognitif, gejala afektif, dan gejala agresifitas. Gambar 1. Gejala Positif dan Negatif Pada Skizofrenia
53
Embed
Tugas Ujian Jiwa-Dr. Zainie Hassan, SpKJ (K) Erizka Rivani Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Ilmu Kedokteran Jiwa
Tugas Ujian Skizofrenia Obat Anti Psikotik Mekanisme Pertahanan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. Etiologi biologi dari skizofrenia
Skizofrenia merupakan sindrom klinik dari berbagai psikopatologi yang
melibatkan gangguan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku lainnya.
Skizofrenia terdiri dari lima gejala utama yakni gejala positif, gejala negative,
gejala kognitif, gejala afektif, dan gejala agresifitas.
Gambar 1. Gejala Positif dan Negatif Pada Skizofrenia
Gambar 2. Lima gejala utama skizofrenia
Skizofrenia selama ini diduga memiliki kausa yang heterogen, namun
dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa. Etiologi skizofrenia saat ini
terbagi menjadi tiga, yakni pendekatan etiologi dengan model diathesis-stres,
etiologi neurobiology, dan etiologi factor psikososial.
Seperti gangguan jiwa yang lain, berbagai gejala dari skizofrenia
dihipotesiskan berasal dari kelainan pada regio otak yang berbeda. Gejala positif
dari skizofrenia dihipotesiskan terjadi akibat malfungsi dari sirkuit mesolimbik,
terutama melibatkan kelainan pada nucleus akumbens. Gejala negative dan gejala
afektif diduga berkaitan dengan malfungsi pada sirkuit mesokorteks dan korteks
prefrontal ventromedial. Gejala kognitif berkaitan dengan malfungsi pada korteks
prefrontal dorsolateral, dan kelainan pada korteks orbitofrontal dan amigdala
berhubungan dengan gejala agresi dan impulsivitas.
Hipotesis ini sebenarnya terlalu menyederhanakan etiologi dan mekanisme
yang sebenarnya dari gangguan skizofrenia dan gejala yang diakibatkan olehnya,
karena setiap area otak memiliki lebih dari satu fungsi dan setiap fungsi biasanya
diatur oleh lebih dari satu area otak.
Gambar 3. Lokalisasi Kelainan pada Area Otak yang Mendasari Gejala
Kausa biologis dari skizofrenia sebenarnya sampai saat ini masih berupa
berbagai hipotesis. Kelainan pada area otak yang berkaitan dengan gejala diduga
diakibatkan oleh kelainan sirkuit dan fungsi dari berbagai neurotransmitter.
Neurotransmiter utama yang berkaitan adalah dopamine, dan neurotransmitter
lain seperti serotonin, norepinefrin, GABA, dan glutamate.
Rumusan paling sederhana hipotesis dopamine tentang skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Terdapat lima jalur neuron dopaminergik pada otak, empat
diantaranya berkaitan dengan skizofrenia.
Gambar 4. Jalur Dopamin
Jalur dopamine mesolimbik membentang dari badan sel dopaminergik di
area tegmental ventral di batang otak hingga ke akson terminal di salah satu area
limbic otak yakni nucleus akumbens di striatum ventral. Jalur ini diduga memiliki
peran penting pada beberapa perilaku emosional, termasuk gejala positif dari
psikosis (halusinasi dan waham). Jalur ini juga penting dalam pengaturan
motivasi, kesenangan, dan penghargaan.
Pengamatan menemukan bahwa penyakit atau obat-obatan yang
meningkatkan dopamine akan meningkatkan atau menghasilkan gejala positif
psikosis, dan obat yang menurunkan kadar dopamine akan mengurangi dan
bahkan menghilangkan gejala positif.
Semua obat antipsikotik yang diketahui dapat mengatasi gejala positif
merupakan obat golongan blockade reseptor dopamine D2. Observasi inilah yang
diformulasikan sebagai hipotesis dopamine pada skizofrenia, atau yang lebih
tepatnya disebut sebagai “hipotesis dopamin-mesolimbik pada gejala positif
skizofrenia”, karena dipercaya bahwa hiperaktivitas dari jalur ini yang
menimbulkan gejala positif pada skizofrenia.
Gambar 5. Hipotesis Dopamin Dalam Menimbulkan Gejala Positif
Berbeda dengan mekanisme timbulnya gejala positif yang berkaitan dengan
hiperaktivitas dari neuron dopaminergik, timbulnya gejala negative, gejala
gangguan afektif, dan gejala gangguan kognitif diakibatkan oleh kekurangan
aktivasi dari neuron dopaminergik pada area otak yang bersangkutan. Keadaan
deficit dopamin yang menimbulkan gejala negative ini menunjukkan keadaan
hipoaktivitas bahkan kerusakan dari system saraf dopamine. Hal ini dapat
berkaitan dengan gangguan hiperaktifitas oksitotoksik dari system glutamate
sebelumnya yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi neuron
dopaminergik.
Gambar 6. Jalur Dopamin Dalam Menimbulkan Gejala Negatif, Gejala Gangguan
Afektif, dan Gejala Gangguan Kognitif
Secara teori, meningkatkan dopamine pada jalur mesokortikal dapat
memperbaiki gejala negative, gejala gangguan afektif, dan gejala gangguan
kognitif. Namun karena pada jalur mesolimbik terjadi hiperaktifitas dari
dopamine, maka meningkatkan dopamine justru akan memperparah gejala positif.
Tantangan penatalaksanaan skizofrenia terletak pada dilema ini, yakni bagaimana
cara mengurangi aktivitas dopamine pada jalur mesolimbik sehingga gejala positif
dapat dihilangkan, dengan tetap meningkatkan aktivitas dopamine di jalur
mesokorteks. Solusi untuk masalah ini adalah dengan penemuan obat antipsikotik
atipikal yang selain bekerja pada neuron dopaminergik, juga memengaruhi kerja
neuron serotonergik.
Jalur dopamine lain yang penting dan berkaitan dengan skizofrenia adalah
jalur nigrostriatal yang merupakan bagian dari system saraf ekstrapiramidal yang
mengatur gerakan motorik. Defisiensi dari dopamine pada jalur ini menyebabkan
gangguan gerakan seperti pada penyakit Parkinson (gejala: tremor, kekakuan, dan
akinesia/bradikinesia). Defisiensi dopamine pada ganglia basalis juga
menimbulkan gangguan seperti akatisia dan diskinesia. Hiperaktivitas dari jalur
nigrostriatal menyebabkan gangguan hiperkinetik seperti korea, diskinesia, dan
tik. Blokade kronik terhadap reseptor dopamine D2 pada jalur ini menyebabkan
gangguan yang dikenal sebagai tardive diskinesia diinduksi neuroleptik. Pada
seseorang dengan skizofrenia yang belum mendapat medikasi, aktivitas
dopaminergik pada jalur nigrostriatal berada pada batas normal.
Gambar 7. Jalur Dopamin Nigrostriatal- Berkaitan Dengan Efek Samping obat
Anti Psikotik
Meskipun neurotransmiter dopamine telah menjadi pusat perhatian sebagian
besar penelitian skizofrenia, terdapat peningkatan perhatian yang ditujukan pada
neurotransmitter lain.
Serotonin telah banyak mendapat perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak
dinyatakan bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) seperti klozapin,
risperidon, sertindol, memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara
spesifik, antagonism pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan sebagai sesuatu
yang penting dalam mengurangi gejala psikotik sekaligus mengatasi gejala
negative.
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergic di lokus sereleus dan bahwa
efek terapetik beberapa antipsikotik melibatkan aktivitasnya pada reseptor
adrenergic-α dan adrenergic-α2. Terdapat peningkatan jumlah data yang
menyatakan bahwa system noradrenergic memodulasi system dopaminergik
dalam suatu cara sehingga abnormalitas system noradrenergic yang
mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering.
Neurotransmiter asam amino inhibitorik, asam γ-aminobutirat (GABA) juga
dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan
dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan
neuron GABAnergik di hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergikk secara
teoritis dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergic.
Hipotesis lain diajukan tentang glutamate, yang mencakup hiperaktivitas,
hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi glutamate. Glutamat dilibatkan
karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamate, menimbulkan sindrom
yang menyerupai skizofrenia.
Dua neuropeptida, kolesistokinin dan neurotensin, ditemukan di sejumlah
regio otak yang terlibat dalam skizofrenia. Konsentrasinya mengalami perubahan
pada keadaan psikotik.
Kelainan dan perubahan aktivitas berbagai system neurotransmitter di
berbagai area otak terkait skizofrenia sampai saat ini masih diduga diakibatkan
oleh dua hipotesis, yakni hipotesis neurodegenerative dan hipotesis
neurodevelopmental.
2. Mekanisme terjadi halusinasi dengar
Halusinasi merupakan persepsi sensoris yang palsu dan tidak disertai
stimulus eksternal yang nyata. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Berbeda dengan
ilusi dimana pasien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi.
Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata oleh pasien.
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Faktor Predisposisi
Faktor Biologis
Halusinasi timbul akibat kelainan di area otak yang dinamakan system
limbic. Terdapat berbagai malfungsi dari system neurotransmitter di
daerah tersebut, yang paling lama diketahui adalah adanya
hiperaktivitas dari neuron dopaminergik.
Gambar 8. Kelainan pada Jaras Mesolimbik yang Dipengaruhi Dopamin dan
Neurotransmiter Lainnya- Menghasilkan Halusinasi Sebagai Salah Satu
Gejala Positif
Faktor Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon
dan kondisi psikologis pasien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup pasien.
Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stres.
b. Faktor Presipitasi
Factor Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stresor.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika
individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya
stimulus tersebut tidak ada.
Gambar 9. Rentang Respon Terhadap Stimulus (Stressor)- Respon Maladaptif
Berupa Halusinasi
Jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan/atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
Halusinasi dapat terjadi pada pasien dengan gangguan jiwa seperti
skizofrenia, depresi atau keadaan delirium, demensia, dan k o n d i s i
y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n p e n g g u n a a n a l k o h o l d a n s u b s t a n s i
l a i n n y a . H a l u s i n a s i d a p a t j u g a t e r j a d i d e n g a n e p i l e p s i ,
k o n d i s i i n f e k s i s i s t e m i k d e n g a n gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat
dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi,
anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik,sedangkan obat-obatan
halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian
obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu n o r m a l y a i t u p a d a
i n d i v i d u y a n g m e n g a l a m i i s o l a s i , p e r u b a h a n s e n s o r i k s e p e r t i
kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada
pembicaraan.Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak
faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial
budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan, biologi,
pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang
diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan
lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak
dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh
ataupun dari luar tubuh. Input ini akan m e n g i n h i b i s i p e r s e p s i
y a n g l e b i h d a r i m u n c u l n y a k e a l a m s a d a r . B i l a i n p u t
i n i dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan
normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau
preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa
halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious
dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya
menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus
eksterna.
3. Mekanisme delusional perception
Delusional perception merupakan salah satu gejala yang termasuk dalam
criteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III. Dalam PPDGJ-III dijelaskan
bahwa delusional perception merupakan pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukzizat.
Delusional perception juga merupakan gejala urutan pertama dari criteria
diagnosis skizofrenia oleh Kurt Schneider. Arti yang aneh, tidak sesuai, dan
mengacu kepada diri sendiri diberikan kepada situasi atau benda yang biasa, tanpa
alasan yang jelas. Contohnya saat lampu merah berubah menjadi hijau itu berarti
istrinya akan pergi dari rumah, saat laptop dihidupkan ia akan menjadi hamil, dan
lain sebagainya. Karena persepsi terhadap objek itu sendiri tetap sesuai, Schneider
menggolongkan persepsi waham ini kedalam gangguan pikiran, bukan gangguan
persepsi. Delusional perception ini merupakan suatu waham.
Kadang objek tidak hanya diartikan secara benar-benar ‘aneh’, namun
kehilangan jarak dan bergabung dengan persepsi subjek atau tubuh yang
bersangkutan. Seorang pasien dengan skizofrenia misalnya berkata saat melihat
mobil melintasi jalan, ia merasa ‘suatu besi, keras, tajam, dan dingin’ memasuki
tubuhnya, persis seperti mobil yang dilihatnya tadi. Pasien lain mengatakan
bahwa ia merasa suatu ‘energi roh orang lain’ menembus dirinya melalui kening
saat ia bertatapan mata dengan orang lain.
Pada delusional perception, obyek (benda, orang, situasi) mendapatkan
ekspresi fisiognomik yang berlebihan dan kadang digabungkan dengan tubuhnya
sendiri. Perubahan ini dijelaskan dengan konsep persepsi intensional Husserl dan
konsep persepsi bersamaan Merleau-Ponty.
Walaupun patogenesis waham tidak diketahui dengan pasti, namun ada
beberapa teori yang sudah dikembangkan. Pada hipotesis pembentukan waham,
kiranya perlu dipertimbangkan beberapa hal yang berikut ini, yaitu :
a. Waham terdapat pada penyakit-penyakit umum dan psikiatrik.
b. Tidak semua orang dengan gangguan tersebut mengalami waham.
c. Isi waham menentukan tipe-tipe waham.
d. Waham dapat hilang bila diberi pengobatan terhadap gangguan yang
mendasar.
e. Waham dapat menetap atau menjadi sistematik.
f. Waham dapat menyertai perubahan persepsi seperti halusinasi dan
gangguan sensorik.
g. Keberadaan waham dapat dikaburkan bila fungsi sosial, intelektual dan
emosional tidak terganggu.
Ada tiga kategori dari teori pembentukan waham :
a. Waham yang timbul pada sistem kognitif muncul karena adanya pola yang
berbeda dari motivasi yang ada (mekanisme psikodinamika dan teori fungsi
sosial).
b. Waham timbul sebagai akibat dari defek kognitif fundamental yang
mengakibatkan kapasitas pasien untuk membuat kesimpulan dari bukti-
bukti (gangguan hubungan sebab akibat).
c. Waham yang timbul dari proses kognitif yang normal menunjukkan adanya