BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3. Indonesia
menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai Negara dengan populasi
penderita TB terbanyak 1, 2, 4. Setidaknya hingga 20 persen penderita TB paru akan
mengalami penyebaran TB ekstraparu. TB ekstraparu dapat berupa TB otak,
gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial.
Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan kurang lebih
setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang belakang 3, 4.
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberculosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defisit
neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalah artikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti Paraplegia 4.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan
parenkim paru, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis 1, 2, 3.
b. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi penyakit3, 4, 6
1. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang
terletak dalam paru.
2. Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau
hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum 3, 4
1. Tuberkulosis paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA
positif.
2. Tuberkulosis BTA negatif: dari 3 spesimen sputum BTA negatif, foto toraks
positif.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 4, 6:
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya atau
mendapatkan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kembuh (relaps)
Pasien yang pernah mendapatkan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan sputum BTA positif.
2
3. Kasus pindahan (transfer in)
Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di kabupaten lain pindah
berobat ke kabupaten ini.
4. Kasus gagal terapi
Paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat.
5. Kasus gagal
Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih.
Penderita BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan.
6. Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategoti 2 dengan pengawasan yang baik.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yaitu 3, 4, 6:
1. Kategori I, ditujukan terhadap:
a. Kasus baru dengan sputum positif.
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat.
2. Kategori II, ditujukan terhadap:
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori III, ditujukan terhadap :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
b. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
4. Kategori IV, ditujukan terhadap:
a. TB kronik.
3
c. Etiologi
Mikobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron
dan tebal 0,3-0,6 mikron. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak
(lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat
kuman tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi 3.
d. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei
dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi menetap dalam udara bebas selama
1-2 jam. Tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk
dan kelembaban. Partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel kuman masuk ke
alveolar bila ukuran < 5 mikrometer. Kuman pertama kali akan dihadapi oleh
neutrofil, kemudian baru makrofag. Kuman akan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag 5.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang TB
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang
(fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru.
Bila menjalar sampai kepleura maka akan terjadi efusi pleura. Kuman dapat
masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit.
Maka terjadi limfadenopati regional, kemudian bakteri masuk kedalam vena
dan menjalar keseluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang 5.
Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalarna
keseluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga
4
diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).
Semua proses tersebut memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
selanjutnya akan menjadi 3:
Sembuh tanpa cacat.
Sembuh dengan bekas berupa garis-garis fibrotik.
Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Perkontinuitatum yakni menyebar kesekitarnya
b. Bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar keusus
c. Limfogen, keorgan tubuh lain-lainnya
d. Hematogen, keorgan tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB post primer = TB
pasca primer = TB sekunder). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun,
seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal
ginjal. TB sekunder dimulai dengan sarang dini yang berlokasi diregio atas
paru (bagian apikal posterior atau lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah kedaerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru 3.
Sarang dini mula-mulanya berbentuk sarang pneumonia kecil, dalam
3-10 minggu sarang ini akan membentuk tuberkel yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia-Langhans (sel besar dengan
banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen, tergantung dari jumlah
kuman, virulensinya dan imunitas pasien. Sarang dini dapat menjadi
direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa cacat dan sarang yang mula-mula
meluas, tapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis 3.
5
Kavitas dapat: a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia
baru, bila isi kavitas masuk keperedaran darah arteri maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk keparu sebelahnya atau tertelan masuk lambung
dan selanjutnya keusus jadi TB usus, bisa juga terjadi TB endobronkial dan
TB endotrakeal atau empiema bila ruptur kepleura; b. Memadat dan
membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma yang dapat mengapur dan
menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi.
Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus
dan kemudian menjadi mycetoma; c. Bersih dan menyembuh, disebut open
healed cavity. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus
menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped 3.
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang yaitu : 1) Sarang yang
sudah sembuh, tidak perlu pengobatan lagi; 2) Sarang aktif eksudatif, perlu
pengobatan lengkap dan sempurna; 3) Sarang yang berada antara aktif dan
sembuh, dapat sembuh spontan, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna
karena dikhawatirkan terjadinya eksaserbasi kembali 3.
e. Gejala Klinis
1. Gejala respiratorik 3, 4, 6, 7
- Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan.Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang pada awalnya
tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan maka batuk akan menjadi
produktif. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa.Apabila
batuk telah berlangsung lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan
adanya TB.
- Dahak
6
Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukopurulen/ kuning atau kuning kehijauan sampai
purulent.Dahak berubah menjadi kental apabila sudah terjadi perlunakan.
- Batuk darah (hemoptysis)
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya aneurisma. Berat
ringannya batuk darah tergantung dari besar atau kecilnya pembuluh darah
yang terkena.
- Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan.Apabila
nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan
didaerah aksila, diujung scapula atau tempat-tempat lainnya).
2. Gejala sistemik 3, 4, 6, 7
- Demam
Demam merupakan gejala paling sering di jumpai pada TB paru,
biasanya timbul pada sore hari dan malam hari, disertai dengan keringat
mirip demam influenza. Demam ini hilang timbul dan makin lama
makin panjang masa serangannya sedangkan masa bebas serangan akan
semakin pendek.Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman,
serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9
bulan (multiplikasi 3 bulan). Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu
40-41°C.
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
f. Pemeriksaan Fisik
7
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin didapatkan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam, badan kurus
dan berat badan turun 3.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga
suara nafas tambahan seperti ronkhi basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat
ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas menjadi vesikuler yang melemah.
Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik 3, 6.
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada
auskultasi suara nafas yang melemah sampai tidak terdengar pada posisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran kelenjer getah bening
tersering didaerah leher kadang didaerah ketiak. Pembesaran terdebut dapat
menjadi cold abscess 6.
g. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis
baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi
dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah
normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit sudah mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit kembali
meninggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal 3, 6.
2. Sputum
Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan suatu
pilihan utama, dengan beberapa alasan antara lain, lebih murah, objektif dan
spesifik. Teknik pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen 3, 6. Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan kultur dahak.
8
dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB. Untuk
kenyamanan penderita, pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan
dengan pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa, mikroskop
fluoresens atau biakan kuman 6, 9.
Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS
BTA hasilnya positif. Apabila ketiga spesimen dahaknya negatif, diberikan
antibiotik spektrum luas selama 2 minggu 9.
Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan
TB dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS dengan kriteria sebagai
berikut 9:
- Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
- Hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk mendukung
diagnosis TB.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) 9:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
3. Tes tuberkulin
9
Dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberculosis terutama
pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberculin PDD (Prurified Protein Derivattive)
intrakutan. Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang
atau ernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobakteria pathogen lainnya.Dasar tes tuberculin adalah reaksi alergi tipe
lambat. Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibody seluler dengan antigen tuberculin 3.
Hasil tes Mantoux dibagi dalam 3:
- Indurasi 0-55 mm : mantoux negatif = golongan non sensitivity
- Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity
- Indurasi 10-15 mm : mantoux positif = golongan normal sensitivity
- Indurasi >15 mm : mantoux positif kuat = hypersensitivity.
Hal-hal yang memberikan hasil reaksi tuberculin berkurang (negatif palsu) 3:
- Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis
- Penyakit sistemik berat (sarkoidosis)
- Penyakit eksentematous dengan panas akut : morbili, cacar air, poliomyelitis
- Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikuler (Hodgkin)
- Pemberian kortikosteroid lama dan obat imunosupresi lainnya.
- Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux ± 5 mm dinilai positif 3.
h. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmensuperior lobus bawah
10
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura
i. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Pengobatan dibagi
menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan 3:
a. Tahap intensif
Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Bila pengobatan tahap
intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam 2 minggu. Sebagian besar penderita BTA positif akan menjadi
negatif pada akhir pengobatan
b. Tahap lanjutan
Paduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan obat
tambahan.
Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia menggunakan paduan
OAT10:
11
j. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi, yang terbagi atas 3:
- Kompilkasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empyema, dan laryngitis
- Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan nafas (SOPT : Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal,
sindrom gagal nafas, yang tersering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
2. Spondilitis Tuberkulosa
a. Definisi
12
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman
Micobakterium tuberkulosis yang menyerang tulang belakang. Spondilitis
tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott’s Disease 11, 12. Infeksi Mycobak-
cterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi
dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen 12.
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies
ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat 13, 14.
b. Patogenesis
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberculosis di luar tulang
belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal
dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson 6, 10.
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui
pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan
banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih
70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra 6, 10.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra.
Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam
13
korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan
dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum
longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis.
Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra
yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui
abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah
pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang
menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di
regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa10.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke
dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,
sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga
akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang
menjadi nekrosis10.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat
badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral
dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk
kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat
kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul
deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas10.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar
lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior
sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya
14
bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat
badan disalurkan melalui prosesus artikular10.
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga
akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel
chest. Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya
fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolaps. Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.
Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan
perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui
korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold
abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang
bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
aslinya10.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan
menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum
longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai
gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah
level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur
ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang
menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding
dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan
sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher10.
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada
pasiendengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi
karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena
perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang
(seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang
15
dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut
ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan
peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang
dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien
berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini10.
c. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi.
Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan
tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi
pada pasien dengan spondilitis TB. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa
kifosis, maka pathogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang
lebih tiga sampai empat bulan 17.
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita.10 Defisit yang
mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radicular dan/ atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu
dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal
spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik 17, 18.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan
sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera
ditangani. Insiden paraplegia pada spondylitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4-38 persen penderita.
Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset)
dan paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut,
biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh
16
kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia
onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda
reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut
atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya 17.
d. Penegakkan Diagnosis
1. Diagnosis
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan
sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang dan deficit neurologis. Keberhasilan melakukan diagnosis dini
menjanjikan prognosis yang lebih baik19.
k. Anamnesa dan inspeksi :
- Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam
hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya
keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang
cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam
(terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu
makan akan terlihat dengan jelas 6, 11.
- Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari
nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa 11.
- Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri
pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku 11.
17
- Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung 11.
- Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan
di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena
tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi
cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu
diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio
servikal 11.
- Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test) 11.
- Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada
spondylitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.
Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan
refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan
kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi
kandung kemih dan anorektal 11.
- Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
18
ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena
tuberkulosa11.
Palpasi :
- Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan
dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran
lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess 11.
- Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena11.
Perkusi :
- Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness11.
Auskultasi:
- Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume
paru oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB.
Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai
suara amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru 21
l. Pemeriksaan Laboratorium
- Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam5.
- Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter
10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan5.
19
- Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang
aktif) 5.
- Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif5.
- Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan
diagnosa banding5.
f. Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik
pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat
digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan),dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI)5. Pada infeksi TB spinal, terdapat penyempitan jarak antar
diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta
massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior
sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina
collapse 24.
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan
jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik
(gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang
merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan
20
cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai
angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam25.
Gambar 1: Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondylitis TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold abscess (panah putih).
2. CT Scan
21
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis.
CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis
apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan
kontras melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan
dengan CT scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna
untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI
untuk visualisasi jaringan lunak 25.
Gambar 2: Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)
3. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk
abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk
mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan
sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi
noncontiguous.MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan
jaringan. Peningkatan sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan
22
pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan
MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis 24, 26.
Gambar 3: Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus), infltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula spinalis. Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang ditekuk
m. Pencitraan lainnya
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar.
Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letak dan volume abses/massa
iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi tuberkulosis. Bone scan pada awalnya
sering digunakan, namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif pada awal
perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifik dan beresolusi
rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi, keganasan dan
trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada spondilitis TB.
23
Pencitraan dengan Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi infeksi TB
diseminata. Penggunaan pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis TB.
g. Penatalaksanaan
Sebelum ditemukannya OAT yang efektif, penganganan spondilitis TB hanya
dengan metode imobilisasi, yaitu tirah baring dan korset/bidai.
Penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan.Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi
terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien.
Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali
diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan
penatalaksanaan spondylitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah
dan mengobati defisit neurologis, serta memperbaiki kifosis17.
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya
jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih
minimal. Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB
adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB
paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi
pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten
antarahli 23.
World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6-9 bulan.
Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defisit
neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi
kemoterapi selama 9–12 bulan 19.
The Medical Research Council Committee for Research for Tuberculosis in
the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu diberikan
24
selama masa pengobatan. Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat
tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin
sebagai obat lini pertama. Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten
pengobatan. Yang termasuk sebagai OAT lini kedua antara lain: levofloksasin,
moksifloksasin, etionamid, tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin,
sikloserin, klaritomisin dan lain-lain17
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau
defisit neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT
yang sesuai, dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring17
2. Pembedahan
Dengan berkembangnya penggunaan OAT yang efektif, terapi pembedahan
relatif ditinggalkan sebagai penatalaksanaan utama pada spondilitis TB. Pilihan
teknik bedah tulang belakang pada spondilitis sangat bervariasi, namun
pendekatan tindakan bedah yang baku dan empiris masih belum ada. Setiap
kasus harus dinilai keadaanya secara individual. Pada pasien yang direncanakan
dioperasi, kemoterapi tetap harus diberikan, minimal 10 hari sebelum operasi
OAT harus sudah diberikan. Kategori regimen OAT yang diberikan disesuaikan
jenis kasus yang ada dan dilanjutkan sesuai kategori masing-masing. Tindakan
bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis TB meliputi drainase abses;
debridemen radikal; penyisipan tandur tulang; artrodesis/fusi; penyisipan tandur
tulang; dengan atau tanpa instrumentasi/ fiksasi, baik secara anterior maupun
posterior; dan osteotomi8.
h. Komplikasi
25
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia-prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh: menigomyelitis-prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis 22.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal kedalam
pleura 22.
i. Diagnosa Banding
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra
yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa dari pada
infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma). Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior
dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal 22
BAB III
26
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn.T
Alamat : Koto bangun 03/02 Salo
Umur : 59 tahun
Pekerjaan : Petani
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk : 07 September 2015
No.RM : 11.90.94
ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis
KELUHAN UTAMA
Bengkak pada kedua tangan, lutut, dan kaki sejak 3 hari yang lalu
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
- Bengkak pada kedua tangan, lutut, dan kaki sejak 3 hari yang lalu. Pada
daerah yang bengkak dirasakan panas.
- Nyeri pinggang sejak 3 hari yang lalu, nyeri dirasakan ketika ingin berdiri.
- Tenggorokan sakit sejak 1 hari yang lalu.
- Nyeri pada kuadran kiri bawah sejak 3 hari yang lalu, pada saat ditekan
terasa nyeri, nyeri dirasakan hilang timbul
- Batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih dan kental.
Batuk hilang timbul.
- Batuk berdarah (-)
- Gatal sejak 3 bulan yang lalu, gatal dirasakan pada kaki dan tangan dan
sekarang sudah berkurang.
27
- Demam sejak 3 bulan yang lalu, pada saat demam terasa dingin pada siang
hari dan panas pada malam hari.
- Nafsu makan menurun sejak 3 bulan yang lalu, sehingga berat badan pun
turun dari 40 kg menjadi 35 kg.
- Keringat malam kadang ada kadang tidak ada, biasanya keringat pada jam 3
pagi.
- Sesak tidak ada
- Nyeri dada tidak ada
- Mual tidak ada
- Muntah tidak ada
- Buang air kecil normal
- Susah buang air besar sejak 3 hari yang lalu
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Bengkak di kedua tangan, kaki dan lutut 4 bulan yang lalu sudah diobati dan
sudah sembuh
- Riwayat penyakit TB paru tidak ada
- Riwayat penyakit diabetes mellitus tidak ada
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat penyakit jantung tidak ada
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Adik Tn. T pernah mengalami hal yang sama yaitu bengkak pada tangan dan
kaki sudah pernah diobati dan sudah meninggal.
RIWAYAT PENGOBATAN
- Pasien sudah pernah mendapatkan pengobatan di RS Awal Bross, di RS
tersebut sudah diberikan pengobatan, tapi belum sembuh.
28
RIWAYAT PEKERJAAN, SOSIAL EKONOMI, DAN KEBIASAAN
- Riwayat bekerja sebagai seorang petani dan sekarang sudah tidak bekerja lagi
- Tn. T kurang suka mengkonsumsi sayur-sayuran dan suka minum jamu
- Riwayat minum alkohol tidak ada
- Riwayat merokok ada : merokok sejak usia 17 tahun dan mulai berhenti
merokok sudah 1 minggu ini, 20 batang rokok dalam sehari, lama merokok 42
tahun
Indeks Brinkman : 20 batang rokok x 42 lama merokok dalam tahun
: 840 (derajat berat)
- Sosial ekonomi : menengah
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,50C
Pernafasan : 20 kali/menit
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 35 kg
IMT : 35/1,52 = 15,5% (berat badan kurang)
PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala
a. Mata
- Konjungtiva anemis
- Sklera tidak ikterik
b. Hidung
- Tidak ada deviasi septum nasi
c. Telinga
- Telinga normal namun pendengarannya sudah berkurang
29
d. Mulut
- Mulut tidak sianosis dan bibir tidak kering
e. Leher
- Tidak ada nyeri
- Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
- JVP: 5-2 cmH2O2
2. Thorax
a. Paru
- Inspeksi
Statis : simetris kanan dan kiri
Dinamis : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : fokal fremitus kanan kiri sama
- Perkusi : kanan: redup, kiri: sonor
- Auskultasi :
Kanan : suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-),
ekspirasi memanjang (-)
Kiri : suara nafas vesikuler, rhonki (+), wheezing (-),
ekspirasi memanjang (-)
b. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba 2 jari medial di linea
midclavicularis sinistra di SIC V
- Perkusi :
Batas atas : SIC II
Batas kanan : Linea parasternalis dextra
Batas kiri : 2 jari medial di linea midclavicularis sinistra
Batas bawah : SIC V
- Auskultasi : suara jantung reguler, gallop (-), murmur (-)
30
c. Abdomen
- Inspeksi : bentuk perut datar
- Auskultasi : bising usus normal, 11 kali/menit
- Palpasi : nyeri tekan (+) kuadran kiri bawah , hepar dan lien
tidak membesar
- Perkusi : Timpani di 4 kuadran
d. Ekstremitas
- Superior : edema (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik
- Inferior : edema (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Hasil Nilai rujukan
Hb 11,9 gr% 13-18 gr%
Leukosit 6,2 103/mm3 5-11 103/mm3
Hematokrit 34,7% 37-47%
Trombosit 565 103/mm3 150-450 103/mm3
Eosinofil 14 % 1-3 %
Basofil 0 % 0-1 %
Netrofil Stab 3 % 2-6 %
Netrofil Seg 60 % 50-70 %
Limfosit 15 % 20-40 %
Monosit 8 % 2-8 %
GDS 114 mg/dl <=150 mg/dl
IgE total > 1000 µ/ml <45
Kesan :
- Hb menurun: Anemia - IgE meningkat: Infeksi/alergi
- Hematokrit menurun: Hemodilusi - Eosinofil meningkat : Alergi
- Trombosit meningkat : Peradangan kronis
31
Rontgen thoraks:
Rontgen thorakolumbal: Lateral dan AP
RESUME
32
Interprestasi:
Paru: corakan bronkovesikuler meningkat, cavitas, fibrotik dan kalsifikasi
Jantung: tidak ada pembeseran, CTR <50 % (47%)
Diafragma: sudut costofrenicus lancip kanan kiri
Kesan: TB paru
Interprestasi:
Alignment : tidak sejajar
Bone : terjadi destruksi pada lumbal 2, bentuk tulang kifosis
Cartilage : celah sendi mengalami penyempitan L1 dan L2
Soft tissue : tidak terdapat soft tissue swelling
Kesan : Spondilitis tuberkulosa
RESUME
Tn T datang ke IGD RS bangkinang dengan keluhan bengkak pada kedua tangan,
lutut, dan kaki sejak 3 hari yang lalu. Pada daerah yang bengkak dirasakan panas.
Nyeri pinggang sejak 3 hari yang lalu, nyeri dirasakan ketika ingin berdiri.
Tenggorokan sakit sejak 1 hari yang lalu. Nyeri pada kuadran kiri bawah sejak 3 hari
yang lalu, pada saat ditekan terasa nyeri, nyeri dirasakan hilang timbul.
Batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih dan kental. Batuk
hilang timbul. Gatal sejak 3 bulan yang lalu, gatal dirasakan pada kaki dan tangan dan
sekarang sudah berkurang. Demam sejak 3 bulan yang lalu, pada saat demam terasa
dingin pada siang hari dan panas pada malam hari. Nafsu makan menurun sejak 3
bulan yang lalu, sehingga berat badan pun turun dari 40 kg menjadi 35 kg. Keringat
malam kadang ada kadang tidak ada, biasanya keringat pada jam 3 pagi. Sesak, nyeri
dada, mual, muntah tidak ada, buang air kecil normal, buang air besar tidak normal
sejak 3 hari yang lalu.
DAFTAR MASALAH
- Bengkak pada kedua tangan, kaki dan lutut
- Nyeri pinggang
- Tenggorokan sakit
- Nyeri pada kuadran kiri bawah
- Batuk berdahak
- Gatal
- Demam
- Nasfu makan menurun
- Keringat malam
- BAB tidak normal
DIAGNOSIS KERJA
- TB Paru
- Spondilitis Tuberkulosa
33
PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- Imobilisasi, yaitu tirah baring dan korset/bidai
- Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi. Pemberian gips ini ditujukan untuk
mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.
Farmakologi
- IVFD 5% 16 tpm
- Propepsa syr : 3x1 sendok makan
- Curcuma 200 mg : 3x1 tab
- Ethambutol 500 mg : 1x1 tab
- B6 10 mg : 1x1 tab
- INH 300 mg : 1x1 tab
- Cetirizine 10 mg : 1x1 tab
- Metil prednisolone injeksi IV 125 mg: 2x1 ampul
PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan BTA sputum
- CT Scan atau MRI
34
FOLLOW UP
Tanggal S O
07.09.2015 Bengkak dikedua tangan, kaki dan lutut
Nyeri dibagian yang bengkak
Tidak nafsu makan
TD: 120/80 mmHg
R: 20x/menit
Nadi: 80x/menit
T: 36,5°C
08.09.2015 Bengkak dikedua tangan, kaki dan lutut
Nyeri dibagian yang bengkak
Tidak nafsu makan
Badan lemas
TD: 100/60 mmHg
R: 20x/menit
Nadi: 72x/menit
T: 36,4°C
09.09.2015 Bengkak dikedua tangan, kaki dan lutut
Nyeri dibagian yang bengkak
Tidak nafsu makan
TD: 110/70 mmHg
R: 20x/menit
Nadi: 80x/menit
T: 35,3°C
10.09.2015 Bengkak pada kaki (+), bengkak pada
tangan (-)
Gatal seluruh tubuh
Tenggorokan kering
Lidah bercak putih
Susah tidur
TD: 100/60 mmHg
R: 20x/menit
Nadi: 98x/menit
T: 35,4°C
35
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. 2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Indonesia
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Indonesia
3. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5th ed). Jakarta: Interna Publishing
4. Rani, A. A., Sidartawan, S., Anna, U., Ika, P., Nafrialdi., Arif, M. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Indonesia: PB PAPDI
5. Zuwanda., Raka, J. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. 40(9): 661-673
6. Isbaniyah, F., dkk. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
7. Raviglion MC, O’brien RJ. Tuberculosis. In: Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th edition.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia
9. Dinkes Provinsi Riau. 2008. Laporan Evaluasi Pertriwulan Tuberkulosis Elektronik Kota Pekanbaru. Pekanbaru: Indonesia
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2: cetkan II. Jakarta: Indonesia
11. Martini F.H., Welch K. 2001. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River
12. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm.
13. Miller F, Horne N, Crofton SJ. 1999. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd
14. Utji R, Harun H. 1994. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara
15. Batra V. Tuberculosis. Didapat dari http:// www.emedicine.com/ped/topic2321.htm.
16. Paramarta, G.E., Purniti., Subanda. 2008. Spondylitis Tuberkulosa. Jurnal Sari Pediatri. 10(3): 177-183
17. Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. 2000. Infectious and noninfectious infl ammatory disease aff ecting the spine. Oxford University Press Inc.
18. Li, Y.W., Fung, Y.W. 2007. A case of cervical tuberculous spondilitis: an uncommon cause of neck pain. Hong Kong j. emerg. med. 14(2)
19. Cormican, L., Hammal, R., Messenger, J., Milburn, H.J. 2006. Current difficulties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J. 82: 46-51
36
20. Ahn, J.S., Lee, J.K. 2007. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal. 1(2):75-79
21. Karraeminogullari, O., Aydinli, U., Ozerdemoglu, R., Ozturk, C. 2007. Tuberculosis of the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery. Orthopedics. 30(1)
22. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. 2001. In:Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York: Thieme
23. Nataprawira, H.M., Rahim, A.H., Dewi, M.M., Ismail, Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt Indon. 60(7)
24. Teo EL, Peh WC.2004. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 45(9):439.
25. Moesbar, N. 2006. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. 39(3)
26. Harada, Y., Osamu. Matsunaga, N. 2008. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging. 32:303 –309.
27. Camillo, F.X. 2008. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative Orthopaedics.
37