REFERATSPONDILITIS TUBERKULOSIS
Diajukan untuk mencapai persyaratan Pendidikan Dokter Stase
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing : dr. Retno Setianing, Sp. KFR
Oleh :Ririh Rahadian Syaputri, S.Ked. J510145044Sri Khodijah,
S.Ked.J510145064
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA2015Referat
Spondilitis Tuberkulosa
Diajukan oleh :Ririh Rahadian Syaputri, S.Ked. J510145044Sri
Khodijah, S.Ked.J510145064
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan
Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada
hari Selasa, 7 April 2015.
Pembimbing : dr. Retno Setianing, Sp.
KFR(..........................)
Dipresentasikan di hadapan :dr. Retno Setianing, Sp.
KFR(..........................)
Disahkan Ka. Program Profesidr. Dona Dewi Nirlawati(...)
BAB IPENDAHULUAN
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan
spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang
bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa.
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari
fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793 ) yang
pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang
belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit Pott.1 Prevalensi spondilitis tuberkulosa mencapai 50%
kasus tuberkulosis muskuloskeletal, 15% dari semua kasus
tuberkulosis ekstrapulmonal. Penelitian pada 82 kasus spondilitis
tuberkulosa tidak satupun yang mengidap HIV (Human Immunodefi
ciency Virus), sedangkan penelitian lain pada kelompok pasien
tuberkulosis-HIV melaporkan beberapa pasien PD setelah pemantauan
jangka lama.2Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan
sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis
piogenik lainnya. Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada
stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang yang
berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia.3
Diagnosa dibuat melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemerikasaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologik konvensional. Pada keadaan
tertentu diperlukan pemeriksaan tambahan, untuk membuat diagnosa
yang akurat, perencanaan tindakan operatif dan menilai kemajuan
pengobatan. Patofisiologi penyakit penting untuk dipahami agar
penanganan dapat dilakukan dengan baik.4Penatalaksanaan spondiltis
tuberkulosa dapat secara konservatif atau tindakan operatif, dalam
hal mana program rehabilitasi medik diperlukan untuk mempertahankan
dan memperbaiki fungsi seoptimal mungkin, juga mencegah terjadinya
komplikasi.5
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. DefinisiSpondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium
tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis atau
yang lebih populer disebut Potts Disease (PD) juga merupakan
tuberkulosis diseminata yang mengenai tulang belakang. PD merupakan
jenis tuberkulosis muskuloskeletal paling berat karena dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan paraplegia. Vertebra
thorakal bawah adalah lokasi yang paling sering terkena, berkisar
40-50%. Spondilitis tuberkulosis memiliki perjalanan penyakit yang
relatif indolen, sehingga sulit untuk didiagnosis secara dini.
Seringkali penderita mendapatkan pengobatan pada keadaan lanjut
dimana deformitas kifosis dan kecacatan neurologis sudah relatif
ireversibel.2
B. KlasifikasiKlasifikasi spondilitis TB telah dilakukan
beberapa pihak dengan tujuan untuk menentukan deskripsi keparahan
penyakit, prognosis dan tatalaksana.3Tabel 1. Klasifikasi Potts
Paraplegia
Klasifikasi Potts paraplegia disusun untuk mempermudah
komunikasi antar klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala
klinis pasien spondilitis TB.3
Tabel 2. Klasifikasi Klinis Radiologis
Klasifikasi klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi
perjalan penyakit berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis
pasien.3Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA)
baru-baru ini telah disusun untuk menentukan terapi yang dianggap
paling baik untuk pasien yang bersangkutan. Sistem klasifikasi ini
dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain:
formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis,
angulasi sagital, instabilitas vertebra dan gejala neurologis;
membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I, II, dan III).3
Tabel 3. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk
spondilitis TB.TipeLesiPenatalaksanaan
IALesi vertebra dan degenerasidiskus 1 segmen, tanpa
kolaps,abses, ataupun defi sit neurologis.
Biopsi perkutan dankemoterapi
IBAdanya cold abscess, degenerasidiskus 1 atau lebih, tanpa
kolapsataupun defi sit neurologis.
Drainase abses dandebridemen anterior/ posterior
IIKolaps vertebraCold abscessKifosisDeformitas stabil, dengan/
tanpadefi sit neurologisAngulasi sagital < 20
1. debridemen dan fusianterior2. dekompresi jika terdapatdefi
sit neurologis3. tandur strut kortikal untukfusi
IIIKolaps vertebra beratCold abscessKifosis beratDeformitas
tidak stabil, dengan/tanpa defi sit neurologisAngulasi sagital
20
Penatalaksaan no II+ instrumentasi anterior/posterior
Contoh
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan
memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula
spinalis, dapat digunakan klasifi kasi American Spinal Injury
Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah pembaruan
dari sistem klasifikasi Frankel dan telah diterima secara luas.
ASIA impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe
(A, cedera medula spinalis komplit, B D, cedera medula spinalis
inkomplit, E, normal).3Tabel 4. ASIA Impairment Scale
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fl eksi siku (C5),
ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan
(C8), abduksi kelingking (T1), fl eksi tungkai (L2), ekstensi lutut
(L3), dorsofl eksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5),
plantarfl eksi kaki (S1). Pemeriksaan segmen S4 5 adalah dengan
menilai kontraksi sfi nger ani volunter dan dan sensasi
perianal.3
C. EpidemiologiPrevalensi PD berkisar 1-2% dari seluruh kejadian
tuberkulosis. Data dari Los Angeles dan New York menunjukkan
tuberkulosis muskuloskeletal menyerang penduduk Afro-Amerika,
Hispanik, Asia-Amerika, dan penduduk yang berasal dari luar
Amerika. Di Amerika Serikat dan negara berkembang lainnya, PD
sering terjadi pada anak-anak. Di negara dengan prevalensi PD
tinggi, angka kejadian paling tinggi justru pada usia remaja dan
anak.2Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8
juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang
terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus
baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan
angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB ekstrapulmonal
sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah
dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat
juga 2-3 tahun kemudian.6Sama seperti jenis tuberkulosis lain, PD
dipengaruhi faktor sosioekonomi dan paparan infeksi sebelumnya.
Beberapa penelitian tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin
tertentu, namun lebih sering ditemukan pada laki-laki (perbandingan
laki-laki dan perempuan 1,5-2:1).2
D. EtiologiTuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi
sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 95 %
disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh mikobakterium
tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama
pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga
adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius,
yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis.1
E. PatogenesisPenyebaran tuberkulosis (TB) pada tulang belakang
merupakan akibat penyebaran basil tuberkel secara hematogen dari
fokus primer atau yang mengalami reaktivasi. Mycobacterium
tuberculosis bisa tetap berada dalam kondisi dorman di dalam tulang
belakang untuk waktu panjang sebelum muncul manifestasi klinis. TB
tulang belakang jarang akibat perluasan infeksi paraspinal.
Drainase limfatik dari daerah berdekatan yang terkena seperti
pleura atau ginjal merupakan alternatif penyebaran basil
tuberkulosis.2 Setelah berada di dalam vertebra, lesi granulomatosa
berkembang menjadi nekrosis kaseosa sentral, sel-sel raksasa
multinuklear, sel epithelioid dan limfosit perifer. Reaksi
inflamasi dengan pembentukan jaringan granulasi, dapat menyebabkan
perluasan dengan destruksi trabekula bertahap, demineralisasi
progresif, destruksi tulang dan, dalam tahap selanjutnya, akhirnya
destruksi tulang rawan melibatkan celah diskus terdekat. Fokus
utama penyakit tuberkulosis adalah visera (paru, ginjal, kelenjar
getah bening), keterlibatan sistem muskuloskeletal terjadi melalui
hematogen2.Sekali terendap di suatu tempat, organisme ditangkap
oleh sel mononuklear. Sel mononuklear kemudian menyatu ke dalam sel
epitheloid, dan tuberkulum terbentuk saat limfosit membentuk cincin
di sekitar sekelompok sel epitheliod. Kemudian terbentuk pengkejuan
di pusat tuberkulum tersebut. Respons infl amasi tubuh meningkat,
mengakibatkan eksudasi dan pencairan, dan terbentuklah cold
abscess. Cold abscess terdiri dari serum, leukosit, pengkejuan,
debris tulang, dan basil. Hasilnya tergantung pada karakteristik
dan sensitivitas organisme, status sistem kekebalan tubuh host,
tahap penyakit, dan pengobatan. Hasil akhir mungkin meliputi
resolusi dengan minimal atau tanpa morbiditas, sembuh dengan
deformitas sisa, dinding lesi menghilang dengan kalsifikasi
jaringan pengkejuan, lesi granular kronis derajat ringan, dan
penyebaran lokal atau milier penyakit yang dapat menyebabkan
kematian.2Tulang belakang merupakan manifestasi tuberkulosis
muskuloskeletal yang paling sering dijumpai yaitu 50% kasus. Lokasi
predileksinya adalah perbatasan vertebrae torakalis dan lumbalis.
Sebagian besar dimulai di area subkondral bagian anterior korpus
vertebra yang melekat dengan diskus intervertebralis. Penyebaran ke
diskus intervertebralis akibat perluasan secara perkontinuitatum
melewati subligamen menuju perluasan infeksi hingga ke jaringan
lunak dan membentuk abses. Abses ini akan menyebar pada lokasi
sesuai aliran limfe seperti lipat paha, bokong, atau dada. Penyakit
ini melibatkan muskulus iliopsoas pada rantai
penyebarannya.2Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari
satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB
non-contiguous, atau skipping lesion. Peristiwa ini dianggap
merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus
venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens
spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus
spondilitis TB.3Kolaps beberapa vertebrae karena proses destruksi
tulang akan membentuk formasi gibus. Komplikasi neurologis terjadi
karena kompresi medulla spinalis dan meningitis. Struktur posterior
jarang sekali menjadi lokasi penyebaran PD, pelebaran diskus
intervertebralis, perluasan ke struktur vertebrae yang berjauhan
ditandai dengan gambaran sklerosis reakitf. Kasus ini memiliki
angka morbiditas tinggi.2Reaksi tubuh setelah terserang kuman
tuberkulosis dibagi menjadi lima stadium, yaitu:21. Stadium I
(Implantasi)Stadium ini terjadi awal, bila keganasan kuman lebih
kuat dari daya tahan tubuh. Pada umumnya terjadi pada daerah
torakal atau torakolumbal soliter atau beberapa level.2. Stadium II
(Destruksi awal)Terjadi 3-6 minggu setelah implantasi. Mengenai
diskus intervertebralis.3. Stadium III (Destruksi lanjut dan
kolaps)Terjadi 8-12 minggu setelah stadium II. Bila stadium ini
tidak diterapi maka akan terjadi destruksi hebat dan kolaps dengan
pembentukan bahan pengejuan dan pus (cold abscess).4. Stadium IV
(Gangguan Neurologis)Terdapat komplikasi neurologis, dapat berupa
gangguan motoris, sensoris dan otonom.5. Stadium V (Deformitas dan
Akibat)Biasanya terjadi 3-5 tahun setelah stadium I. Kifosis atau
gibus tetap ada, bahkan setelah terapi.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan
radiks terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis
spinalis oleh abses paravertebral, 2) subluksasio sendi faset
patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi
duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat
juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata
sebagai space occupying lesion.3
Gambar 1. Gibbus. Tampak penonjolan bagian posterior tulang
belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik vertebra.
F. Manifestasi KlinisGejala UmumPenderita memperlihatkan
gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam subfebris
terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun,
berkeringat pada malam hari, takikardi dan anemia.4
Gejala LokalNyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang
pertama kali muncul. Nyeri dapat dirakan terlokalisir disekitar
lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang
terangsang.4Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu
mekanisme pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat
penderita tidur, spasme otot hilang dan memungkinkan terjadinya
pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini dikenal
sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak.4Gejala lokal sesuai
dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada vertebra
servikal. dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra yang
menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila
kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi deformitas,
lordosis-normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan
lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti
oleh paralisa tungkai.4Gejala neurologik dapat terjadi karena,
subluksasi antar vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks
saraf serta diskus oleh tulang, terbentuknya abses, reaksi terhadap
infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa. Pada vertebra
servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya
kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus
brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal
jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan
saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher.4Pada
daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai
gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas
bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses
iliaka atau abses psoas.4Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai
gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke
ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi
panggul.4Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit
aktif atau yang dikenal dengan istilah Potts paraplegi, terdapat 2
tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit
yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang
telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah
penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.6
G. Diagnosis BandingDiagnosis tuberkulosis penting terutama pada
stadium awal. Tidak ada penemuan khusus pada PD, dan secara
radiologi diagnosis bandingnya meliputi infeksi piogenik dan
infeksi jamur. Secara klinis pasien lebih toksik pada infeksi
piogenik. PD bersifat kronis dengan progresifi tas lambat,
dibandingkan spondilitis piogenik, tercermin secara radiologi
dengan ditemukannya peningkatan area sklerotik. Abses jaringan
lunak dan perluasan ke paravertebral pada PD biasanya lebih luas
dibandingkan spondilitis piogenik. PD lebih sering mengenai lebih
dari satu vertebrae. Metastasis seperti limfoma dan multipel
myeloma menyebar melalui subligamen dan diskus tidak terlihat
jelas. Jaringan sekitar yang mengalami inflamasi juga tidak
ditemukan pada infiltrasi tumor. Semua kasus harus dipastikan
menggunakan metode diagnosis definitif dan biopsi spinal di bawah
panduan CT.2
H. Penegakan DiagnosisKriteria Diagnosis2Mayor:a. Riwayat nyeri
punggung kronis lebih dari 3 bulanb. Gejala konstitusi; demam tidak
terlalu tinggi, keringat malam, kehilangan selera makan dan
kehilangan berat badanc. Peningkatan laju endap darahMinor:a.
Riwayat tuberkulosis sebelumnya/kontak dengan pasien tuberkulosisb.
Deformitas gibbusc. Defisit neurologisd. Cold abscesse. Mantoux
test positifGambaran radiologisa. Lesi paradiskal (hilangnya tepi
paradiskal dari corpus vertebra)b. Hilangnya vertebra anteriorc.
Penyempitan celah sendid. Bayangan paravertebra (para vertebral
shadow)Anamnesis dan Pemeriksaan FisikNyeri punggung belakang
adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan membuat
diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB
paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap
spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari
anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat
gejalagejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama,
penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya.
Demam lama merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun
cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati secara
adekuat. Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan
utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala
neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal, gangguan
defekasi dan miksi3.Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya
fokus infeksi TB di paru atau di tempat lain, meskipun pernah
dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi TB ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh
hambatan pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis
atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar
sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau
bronkial dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment)
tulang belakang harus diperiksa secara seksama.3Infeksi TB spinal
dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan
kulit juga harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/
fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal (trigonum
femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior
rongga dada atau abdomen.3Terjadinya gangguan neurologis menandakan
bahwa penyakit telah lanjut, meski masih dapat ditangani.
Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan
neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan
autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN),
namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru
setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang
positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin
saja terjadi jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika
kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi , yang biasanya bilateral.
Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis
(raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk
proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik).
Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi
saraf autonom.3Pemeriksaan Laboratorium Polymerase Chain Reaction
(PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. Lain
halnya dengan kultur yang memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini
sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan biaya yang lebih
mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR adalah
memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000
kuman). PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 98 persen dan spesifi
sitas 98 persen.3 Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen
excretory-secretory ES-31 mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB,
IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa dikatakan dapat berguna, namun
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.3 Laju endap darah (LED)
biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi
granulomatosa TB. Studi di Malaysia mengemukakan bahwa kelainan
hematologis yang paling sering ditemukan pada pasien spondilitis TB
adalah anemia normositik normokrom, trombositosis dengan/tanpa
peningkatan LED dan leukositosis. Peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses.3 Uji Mantoux
positif pada sebagian besar pasien (8495 persen)32 namun hanya
memberi petunjuk tentang paparan kuman TB sebelumnya atau saat
ini.3 Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya jika proses
infeksi paru sedang aktif. 3Neddle biopsi / operasi eksplorasi
(costotransversectomi) Neddle biopsi / operasi eksplorasi
(costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan pada
kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan
histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)
(berhasil pada 50% kasus)Pemeriksaan RadiologiRadiologi hingga saat
ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosis
dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik
pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang
dapat digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan),
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).31. Sinar-X : Sinar-X
merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya
dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak
lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan
osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis
menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak
sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat
terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X
tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik (gambar 2). Dengan
proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur
dengan metode Konstam (gambar 3)
Gambar 2. Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB.
Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian
dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat
massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold abscess (panah
putih).
Gambar 3 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Pertama,
tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang
sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang
ke anterior sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut
Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung.
Pada contoh gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30.2.
CT-ScanCT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang,
destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan
penyempitan kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai
dengan akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan
dengan CT scan. Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat
juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan
luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya
diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.3.
MRIMRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.
Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum
tulang, termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan
pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh
vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.MRI juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan
sinyal- T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis. Bagaimana membedakan spondilitis
TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian
diagnosis diferensial setelah ini.
Gambar 4. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB.
Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang
menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak
(panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula
spinalis. Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang
ditekuk.4. Pencitraan LainnyaUltrasonografi dapat digunakan untuk
mencari massa pada daerah lumbar. Dengan pemeriksaan ini dapat
dievaluasi letak dan volume abses/massa iliopsoas yang mencurigakan
suatu lesi tuberkulosis.Bone scan pada awalnya sering digunakan,
namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif pada awal perjalanan
penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifik dan
ber-resolusi rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi,
infeksi, keganasan dan trauma dapat memberikan hasil positif yang
sama seperti pada spondilitis TB.Pencitraan dengan Gadolinium
diketahui berguna untuk mendeteksi infeksi TB diseminata.
Penggunaan pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis TB.I.
Komplikasi1. Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat.
Hal ini terjadi oleh karena kerusakan tulang yang terjadi sangat
hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar.62.
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena
adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa,
sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh :
Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga langsung karena
keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena
tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis6.3. Empyema
tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke
dalam pleura6.
J. Penatalaksanaan1. MedikamentosaSpondilitis TB dapat diobati
secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis
ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih
minimal. Seperti pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi
spondilitis TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT
yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB
ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB
ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antarahli. World
Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council
menyarankan bahwa spondilitis TB torakolumbal harus diberikan
kemoterapi OAT selama 6 9 bulan. Untuk pasien dengan lesi vertebra
multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit neurologis belum
dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi
selama 912 bulan. The Medical Research Council Committee for
Research for Tuberculosis in the Tropicsmenyatakan bahwa isoniazid
dan rifampisin harus selalu diberikan selama masa pengobatan.
Selama dua bulan pertama (fase inisial), obat-obat tersebut dapat
dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin
sebagai obat lini pertama.3 Obat lini kedua diberikan hanya pada
kasus resisten pengobatan. Yang termasuk sebagai OAT lini kedua
antara lain: levofl oksasin, moksifl oksasin, etionamid,
tiasetazon, kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin,
klaritomisin dan lain-lain. Adakalanya kuman TB kebal terhadap
berbagai macam OAT. Multidrug resistance TB (MDR-TB) didefi nisikan
sebagai basil TB yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin.
Spondilitis MDR-TB adalah penyakit yang agresif karena tidak dapat
hanya diterapi dengan pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB
harus disesuaikan dengan hasil kultur abses. Perbaikan klinis
umumnya bisa didapatkan dalam 3 bulan jika terapi berhasil. Adapula
rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-TB, yaitu dengan
kombinasi 5 obat, antara lain: 1) salah satu dari OAT lini pertama
yang diketahui sensitif melalui hasil kultur resistensi, 2) OAT
injeksi untuk periode minimal selama 6 bulan, 3) kuinolon, 4)
sikloserin atau etionamid, 5) antibiotik lainnya seperti
amoksisilin klavulanat dan klofazimin. Durasi pemberian OAT
setidaknya selama 1824 bulan. The United States Centers for Disease
Control merekomendasikan pengobatan spondilitis TB pada bayi dan
anak-anak setidaknya harus selama 12 bulan. Durasi kemoterapi pada
pasien imunodefisiensi sama pada pasien tanpa imunodefi siensi.
Namun, adapula sumber yang mengatakan durasinya harus
diperpanjang3. Kemoterapi pada pasien dengan HIV positif harus
disesuaikan dan memerhatikan interaksi OAT dan obat antiretroviral.
Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik OAT. Didanosin harus
diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat penyanggah
antasida3.Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen
terapi OAT untuk pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB
paru kasus baru dengan TB ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan
2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan, atau
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan, atau
2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian
regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita.
Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps,
drop-out, diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase
lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan 5H3R3E3 fase
lanjutan3.Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus
dengan defisit neurologis yang akut untuk mencegah syok spinal.
Namun, belum ada studi yang menguji efektivitasnya pada kasus
spondilitis TB3.Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 34
minggu, nyeri dan atau defisit neurologis masih belum menunjukkan
perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa
imobilisasi atau tirah baring3.2. Non-medikamentosa Pemberian
nutrisi yang bergizi Istirahat tirah baring (resting)3 Terapi
pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame/plaster bed atau continous bed rest disertai dengan
pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit
yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan
fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal
anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk
melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada
keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan
untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas
lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4
minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat
tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis
ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot
paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan
normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah,
Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak
dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal
dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra
torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body
cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan
sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari
gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak
penderita diperbolehkan berobat jalan. Terapi untuk Potts
paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang
mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam
posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan
regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan
membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena
terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan
dekompresi. Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan
penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak
didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti
adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi
kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
Dekompresi2 Indikasi pembedahan adalah PD dengan defisit
neurologis, paling sering paraplegia. Tindakan yang dilakukan
adalah dekompresi medula spinalis untuk menunjang stabiliasi tulang
belakang. Indikasi yang jelas untuk tindakan dekompresi adalah pada
kompresi ekstradural karena jaringan granulasi dengan komponen
cairan yang menekan medula spinalis, dan dengan gambaran edema
medula, myelitis atau myelomalasia. Instrumentasi Stabilisator2
Stabilisasi dengan instrumen dapat menjadi cara aman apabila
terjadi infeksi trabekula. Pada sebagian besar kasus pasien dengan
kifosis 30o-35o bertujuan mencegah deteriorasi. Indikasi tindakan
ini adalah penyakit panvertebral, yang mengenai segmen panjang yang
mana cangkok tulang setelah dekompresi anterior lebih dari dua
korpus vertebrae. Instrumentasi posterior seperti implant Hartshill
mengambil lokasi satu segmen di atas dan bawah. Fiksasi dengan
pedicle screw juga dapat digunakan. Koreksi Kifosis2 Indikasi
adalah kifosis berat dengan sudut 60o atau bila kifosis memicu
deformitas dan gangguan fungsional. Hal ini terjadi jika tiga atau
lebih vertebrae mengalami kerusakan struktur. Anak usia kurang dari
7 tahun dengan kelainan lebih dari 3 vertebrae pada sisi dorsal
atau sisi dorsolumbal harus segera dikoreksi. Pada saat operasi
dilakukan dekompresi anterior, pemendekan kolumna posterior,
stabilisasi instrument posterior, cangkok untuk menyambung segmen
anterior dan posterior korpus vertebrae.
K. PrognosisPrognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1)
usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak lesi, 4) defisit neurologis,
5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid, 9)
tingkat edukasi dan sosioekonomi.3Usia muda dikaitkan dengan
prognosis yang lebih baik. Kifosis berat, selain memperburuk
estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas. Diagnosis dini
sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi
dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna
pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk
prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan
dengan prognosis yang buruk. Penelitian lain di Nigeria mengatakan
bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk
datang berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung
malas datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti
paraplegia.3
BAB IIIKESIMPULAN
Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi Mycobacterium
tuberculosis pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis atau
yang lebih populer disebut Potts Disease (PD) juga merupakan
tuberkulosis diseminata yang mengenai tulang belakang. Klasifikasi
spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat
kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas
spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara
agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja
sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia).
2012. Tuberkulosis Tulang. Available at : www.ppti.info.com (April,
2015)2. Jacobus, D.J. 2014. Potts Disease. CDK-220/ vol. 41 no. 9
th. 20143. Zuandra dan Janitra, R. 2013. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9,
th. 2013 6614. Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang
Belakang. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3
September 20065. Paramarta, I.G.E; Purniti, P.S; Subanada, I.B; dan
Astawa, P. 2008. Spondilitis Tuberkulosa. Sari Pediatri, Vol. 10,
No. 3, Oktober 2008