PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul Proposal : TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN KERJA LAUT
ATAS KESELAMATAN KERJA ANAK BUAH
KAPAL
Nama Mahasiswa : DEDI IRSAD
Nomor stambuk : 04022 0158
Program Studi : ILMU HUKUM
Bagian : HUKUM PERDATA
Dasar Penetapan
Pembimbing : SK. Dekan No. 386 / H.05 / FH.UMI / I / 2007
Telah mendapat persetujuan untuk diikutkan dalam Seminar Proposal
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
(DR. SUFIRMAN RAHMAN, SH., MH.) (Hj. DINARYATI RAHIM, SH., MH.)
Mengetahui:
a.n. Dekan Fakultas Hukum Ketua Bagian Hukum PerdataWakil Dekan I
(ILHAM ABBAS, SH., MH.) (DR.Hj. HIKMAWATI MUSTAMIN, SH., MH.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
PENDAHULUAN.............................................................................................1
1. Latar Belakang...........................................................................................1
2. Rumusan Masalah.....................................................................................7
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.............................................................7
4. Tinjauan Pustaka.......................................................................................8
4.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut......................................................8
4.2. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut...................10
4.3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Laut..............................................19
4.4. Konsep Anak Buah Kapal Sebagai Buruh......................................22
4.5. Pemutusan Hubungan Kerja Laut...................................................25
5. Metodologi Penelitian..............................................................................37
5.1. Lokasi Penelitian.............................................................................37
5.2. Jenis dan Sumber Data...................................................................37
5.3. Teknik Pengumpulan Data..............................................................38
5.4. Analisis Data...................................................................................39
6. Sistimatika Pembahasan.........................................................................39
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................41
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 dan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, sebagaimana telah
digariskan tujuan dan sasaran pembangunan nasional didasarkan pada
visi dan misi yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1999-2004, memberikan visi yang merupakan tujuan yang
ingin dicapai, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh
manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai
ilmu pengetahuan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan
berdisiplin.
Bangsa Indonesia hidup dalam dinamika yang tinggi baik dalam
ruang lingkup kehidupan nasional maupun dalam hubungan
internasional. Perkembangan berlangsung sangat cepat, berbagai
peluang baru dapat terbuka dan masalah barupun muncul secara
mendadak. Semua ini memerlukan kecepatan dan kecermatan dalam
menelaah keadaan yang telah dihadapi dalam bereaksi, maupun dalam
bertindak.
Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa pembangunan
mengandung kerawanan. Kerawanan timbul sebagai akibat dari
pembangunan, terutama jika rasa sosial tidak terpenuhi karena rasa
keadilan sosial harus diperluas melalui pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya.
Mengingat keadaan Geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan
pantai terpanjang kedua di dunia, serta Indonesia yang berada di
khatulistiwa yang di antara dua benua dan dua samudera sangat
strategis bagi hubungan antara bangsa di dunia. maka pembangunan di
bidang perhubungan laut perlu mendapat perhatian. Pemerataan
pembangunan diseluruh pelosok tanah air membutuhkan berbagai
sarana perhubungan guna membantu memperlancar aktivitas
pembangunan di segala bidang, utamanya di bidang ekonomi. Pelayaran
di laut sebagai salah satu dimensi perhubungan dan merupakan sarana
yang vital dalam lalu lintas perekonomian Indonesia. Angkutan laut
diselenggarakan atas dasar kepentingan umum dan ditujukan untuk
membina kesatuan ekonomi serta melayani dan mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Pelayaran bagi Negara Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan merupakan salah satu modal transportasi, tidak dapat
dipisahkan dari modal-modal transportasi lain yang ditata dalam sistim
transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan
di masa depan, mempunyai karakteristik mampu melakukan
pengangkutan secara masal, menghubungkan, dan menjangkau seluruh
wilayah perairan, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan
peranannya baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang,
pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan
kesejahteraan rakyat. (Menimbang huruf b Undang-Undang No. 21 tahun
1992 tentang Pelayaran)
Untuk memenuhi harapan tersebut maka perhubungan angkutan
laut makin mendapat perhatian yang besar baik kalangan pemerintah
maupun pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan
khususnya dalam bidang angkutan laut. Sejalan dengan upaya
pencapaian tujuan pembangunan di bidang ekonomi dan sosial yaitu
untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik secara material maupun
spiritual, maka diperlukan perhatian khusus terhadap faktor Sumber Daya
Manusia (SDM), khususnya dalam perlindungan dan kesejahteraan
tenaga kerja Anak Buah Kapal (disingkat ABK). Dalam kaitannya dengan
pembangunan perhubungan laut, maka upaya perlindungan dan
keselamatan tenaga kerja yang bekerja di laut, akan tentunya dalam
suatu perjanjian kerja yang disebut dengan perjanjian kerja laut. Sebagai
dasar terjadinya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan kapal, maka keberadaan perjanjian kerja laut
diharapkan mampu menjamin hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian tersebut.
Hubungan kerja ini perlu dibina dan diarahkan agar masing-
masing pihak dapat saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta
hak dan melaksanakan kewajibannya masing-masing demi terciptanya
hubungan kerja yang serasi dan selaras yang dijiwai oleh Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah
satu usaha peningkatan kesejahteraan yang dimaksudkan adalah berupa
jaminan sosial yang merupakan wujud dari peningkatan taraf hidup ABK
yang diwujudkan dalam bentuk Asuransi Sosial Tenaga Kerja (disingkat
ASTEK). Tujuan dari ASTEK itu adalah berkaitan dengan perlindungan
terhadap jaminan sosial dalam masyarakat. Mengingat pekerjaan yang
digelutinya sangat berisiko, dengan adanya jaminan sosial akan
berpengaruh terhadap ketenangan, semangat, disiplin dalam bekerja,
serta mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap tugas-tugas yang
digelutinya.
Namun peningkatan produktifitas dan kesejahteraan ABK menjadi
hal yang sangat sulit tercapai karena sering kali pengusaha/majikan
kapal kurang memperhatikan kesejateraan anak buah kapalnya bahkan
mengabaikan keselamatan mereka. Pengusaha kapal kadang membuat
kontrak kerja yang merugikan Anak Buah Kapal. Standar Gaji dalam
perjajian kerja tersebut tidak sesuai dengan standar gaji Internasional
yang sebagaimana telah ditetapkan oleh International Labour
Organization (disingkat ILO) atau yang telah ditetapkan oleh International
Transport Workers Federation (disingkat ITF). Gaji standar Anak Buah
Kapal menurut ILO US $ 871 per-bulan, dan Standar ITF minimal US $
1.400 per-bulan. Tapi kenyataan banyak ABK Indonesia yang menerima
gaji di bawah angka tersebut, dan tidak jarang pengusaha kapal
mengingkari gaji yang disepakati semula setelah ABK turun dari kapal.
(KPI: Diperlukan SKB Menakertrans dan Menhub untuk Penempatan
Pelaut, 2005)
Seperti yang terjadi pada ABK Karena gaji perwira yang semula
disepakati US $ 1.500 per-bulan dan anak buah kapal US $ 550 per-
bulan, atau yang jika dijumlahkan dalam mata uang rupiah yang saat ini
berkisar Rp.9.300,- per-dollar yang dimana gaji perwira sama dengan
Rp.13.950.000,- per-bulan dan gaji anak buah kapal (ABK)
Rp.5.115.000,- tetapi setelah tiba di Indonesia yang ternyata dibayar
dengan uang rupiah, untuk perwira Rp.4.500.000,- dan anak buah kapal
Rp.1.500.000,- yang mana angka ini sunggu sangat jauh dari angka yang
telah disepakati. (Maritim, Tahun V 2002:12)
Demikian halnya dengan 18 orang ABK asal Indonesia yang
diperlakuan tidak manusiawi di Kapal Korea yang berada di Nelson,
Selandia Baru. Sepuluh dari mereka akhirnya melarikan diri dari kapal.
Bentuk diskriminasi mereka sangat beragam, perlakuan yang tidak
manusiawi tersebut yakni; mulai dari pemberian makan sisa ABK lain,
pemberian makan yang telah basi, hingga pemakaian air laut untuk
keperluan mandi dan cuci pakaian. Selain itu ABK asal Indonesia itu
dipaksa melaksanakan jam kerja yang berlebihan tanpa diberikan
kompensasi. Misalnya, mereka harus bekerja mulai dari pukul 06.30 pagi
hingga pukul 11.00 malam. Ironisnya, jumlah jam kerja tidak tercantum
secara terperinci dalam detail kontrak kerja yang mereka tanda tangani.
Dan juga sangat disayangkan tidak ada pengobatan yang ahli (treatment
profesional), kepada ABK yang mengalami kecelakaan kerja. Salah
seorang ABK yang sempat terluka tangannya, hanya dijahit. Dan setelah
yang bersangkutan istirahat beberapa saat, yang bersangkutan
diharuskan untuk kembali bekerja. Selanjutnya 10 ABK yang berhasil
melarikan diri tersebut, melaporkan masalahnya kepada pihak kepolisian
Selandia Baru. Kemudian, kepolisian setempat menindaklanjuti dengan
melaporkan kepada pihak Kedutaan Besar RI di Wellington, New Zealand
(NZ) Imigration Service, Labour Departemen of New Zealand dan NZ
Maritime Union. (Diperlakukan tidak manusiawi, 10 WNI Kabur dari Kapal
Korea, Ismoko Widyaya, 2005)
Ini membuktikan bahwa hak-hak dan keselamatan ABK tidak
terlindungi dengan baik, terutama bagi ABK Indonesia dan memerlukan
upaya perlindungan hukum terhadap hak-hak dan keselamatan kerja
mereka. Dengan demikian ABK selain dapat dilihat dari sudut pandang
yang sempit yakni hanya sekedar beberapa orang yang bertugas di atas
kapal sebagai pekerja/buruh pada pihak pengusaha/majikan kapal.
Namun dapat pula dilihat dari sudut pandang yang luas, yang dalam
kedudukannya tercakup peranannya sebagai salah satu komponen bagi
persyaratan keamanan dan keselamatan kapal selama dalam pelayaran.
Dari dasar inilah, penulis berkeinginan untuk membahas dalam
suatu karya ilmiah agar diperoleh suatu gambaran dari hubungan
perjanjian kerja laut dengan keselamatan kerja ABK.
2. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah di atas maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan hukum Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan
perjanjian kerja pada umumnya telah sesuai dengan Undang-
Undang Ketenagakerjaan yang berlaku ?
2. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan perjanjian kerja laut
terhadap keselamatan kerja ABK ?
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan hukum Perjanjian Kerja Laut (PKL)
dengan perjanjian kerja pada umumnya telah sesuai dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku.
2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan perjanjian kerja laut
terhadap keselamatan kerja ABK.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:1. Kegunaan Teoritis, yakni diharapkan dapat berguna bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum di
bidang perdata pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis, yakni diharapkan tulisan ini berguna bagi pihak
yang berkecimpung dalam bidang pelayaran.
4. Tinjauan Pustaka
4.1. Pengertian Perjanjian Kerja Laut
Sebelum penulis membahas perjanjian kerja laut, maka terlebih
dahulu penulis mamberi pengertian apa sesungguhnya yang diartikan
perjanjian itu.
C. T. Kansil (1985:188) memberi pengertian perjanjian sebagai
berikut “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu
berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal”.
Sedangkan menurut R. Subekti (2002) “Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
Berdasarkan kedua rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa suatu perjanjian diadakan oleh dua pihak atau lebih yang
menimbulkan hak kepada satu pihak dan memberi kewajiban kepada
pihak lain. Kedua pengertian tersebut, dapat memberi gambaran
tentang pengertian perjanjian kerja dan pengertian perjanjian kerja laut
yang akan dibicarakan selanjutnya.
Pengertian perjanjian kerja menurut Pasal 1601 (a) KUH Perdata
sebagai berikut:
“Perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak ke satu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.
Undang-undang No. 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni:
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Berdasarkan rumusan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, KUH Perdata, dan pendapat ahli hukum C. T.
Kansil dan R. Subekti mengenai perjanjian kerja, ternyata bahwa
rumusan-rumusan tersebut mengandung unsur-unsur yang sama, yaitu
dengan diadakannya perjanjian kerja maka timbullah hubungan antara
majikan dan buruh yang menunjukkan kedudukan hukum kedua belah
pihak yang pada dasarnya memberikan hak kepada buruh untuk
menerima upah atas penunaian kerja sesuai waktu yang telah
disepakati dan memberikan kewajiban kepada majikan untuk membayar
upah atas penunaian kerja oleh buruh.
Setelah mendapat gambaran yang jelas tentang perjanjian kerja,
maka penulis akan masuk pada pengertian perjanjian kerja laut sebagai
suatu bentuk perjanjian kerja yang bersifat khusus. Tentang pengertian
perjanjian kerja laut telah ditentukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang Buku II, title 4 bagian pertama. Dimana pengertian
perjanjian kerja laut terdapat dalam Pasal 395 KUH Dagang yaitu:
“Yang dinamakan perjanjian kerja laut ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal disatu pihak dan seorang buruh dipihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk dibawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nakhoda atau anak- kapal”.
Jika dibandingkan dengan pengertian yang disebut dalam Pasal
1601 (a) KUH Perdata, jelas bahwa perjanjian kerja laut apabila
dihubungkan dengan perjanjian kerja pada umumnya, adalah termasuk
dalam pengertian perjanjian kerja yang bersifat khusus. Kekhususannya
ialah karena dalam perjanjian kerja laut ditegaskan macam
pekerjaannya, apakah sebagai nakhoda atau anak buah kapal.
Sedangkan pada perjanjian kerja pada umumnya yang bersumber pada
Pasal 1601 (a) KUH Perdata tidak dijumpai penunjukan atau penetapan
macam pekerjaan yang akan dilakukan oleh si buruh.
Perjanjian kerja laut menurut Pasal 1 (5) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 7 Tahun 2000 “Perjanjian Kerja Laut adalah
perjanjian kerja perorangan yang ditandatangani oleh pelaut Indonesia
dengan pengusaha angkutan di perairan”.
4.2. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut
Secara umum diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terdapat
dua orang atau dua pihak yang mengadakan hubungan hukum untuk
melaksanakan suatu prestasi, jadi dalam suatu perjanjian senantiasa
melibatkan lebih dari satu orang atau pihak yaitu pihak ketiga dengan
kedudukan tertentu pula. Demikian halnya dengan perjanjian kerja laut,
dengan melihat pengertian perjanjian laut yang telah penulis kemukakan
dapat ditentukan dua pihak yang menyelenggarakan perjanjian kerja
laut yaitu:
a. Pengusaha kapal selaku majikan di satu pihak,
b. Nakhoda dan anak buah kapal selaku buruh dipihak lain.
Sebagai mana yang telah diuraikan terlebih dahulu bahwa
perjanjian kerja laut yang dilakukan antara pengusaha kapal dengan
anak buah kapal (Kelasi) disyaratkan harus diselenggarakan dihadapan
seorang pegawai yang ditunjukkan oleh pihak yang berwenang. Yang
dimaksud dengan wakil pemerintah yang berwenang disini adalah yang
ikut terlibat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan perjanjian kerja
laut. Jadi dengan demikian pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
kerja laut adalah:
1. Pemilik selaku pengusaha kapal,
2. Nakhoda,
3. Anak buah kapal,
4. Syahbandar,
Untuk memperjelas pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
kerja laut ini maka penulis akan menguraikan satu persatu.
1. Pengusaha Kapal
Pengertian pengusaha kapal dapat dilihat dalam Pasal 320
KUH Dagang yang dirumuskan:
“Pengusaha kapal adalah dia, yang memakai sebuah kapal guna pelayaran di laut dan mengemudikannya sendiri atau suruh mengemudikannya oleh seorang nakhoda yang bekerja padannya”.
Oleh karena praktek dalam dunia perkapalan makin lama
makin banyak memperlihatkan keadaan, bahwa yang
mengusahakan pelayaran tidak lain adalah para pihak pengusaha
kapal, maka Pasal 320 KUH Dagang diubah sedemikian rupa.
Bahwa sekarang hanya diatur hal pemakai atau pengusaha kapal,
dengan tidak dipedulikan apakah si pemakai itu adalah sipemilik
kapal atau bukan, ataukah hanya seorang penyewa kapal.
Berdasarkan hal tersebut pengusaha kapal dalam mengoprasikan
sebuah kapal tidak bertindak sebagai:
a. Pemilik kapal,
b. Penyewa, atau
c. Pencarter kapal.
Bahwa usaha penyelenggaraan angkutan pelayaran hanya
terdiri atas 2 usaha pelayaran yaitu:
a. Usaha Pelayaran Dalam Negeri
b. Usaha Pelayaran Luar Negeri
Kemudian untuk menjalankan perusahaan pelayaran
ditentukan syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam
Keputusan Menteri No. 79 Tahun 1988 tentang “Tata Cara
Permohonan dan Pemberian Izin Usaha Pelayaran” yang pada
Pasal 2 menyebutkan bahwa:
a. Merupakan Badan Usaha Milik Negara termasuk Badan
Usaha Milik Daerah yang salah satu usahanya adalah
angkutan laut, atau Badan Hukum Indonesia yang berbentuk
PT. yang didirikan Khusus untuk usaha ini.
b. Memiliki atau menguasai sekurang-kurangnya sebuah kapal
yang laik laut berbendera Indonesia.
c. Bagi perusahaan pelayaran patungan antara pengusaha
pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing,
wajib memiliki sekurang-kurangnya sebuah kapal yang laik
laut berbendera Indonesia.
d. Mempunyai Nomor Pembayaran Wajib Pajak (NPWP).
Persyaratan tersebut menunjukkan bahwa dalam hal
pengoperasian kapal di laut oleh pengusaha kapal, ditegaskan
“Kapal Harus Laik Laut” karena hal ini sangat penting untuk
menjamin keselamatan kapal dalam pelayaran dan sekaligus
menjamin keamanan dan keselamatan para penumpang dan
muatan yang diangkut.
2. Nakhoda
Dalam mengoprasikan kapal untuk pelayaran selalu
mempekerjakan seorang yang bertanggung jawab terhadap kapal
dengan segala isinya kepadanya diserahkan sepenuhnya semua
tugas yang berhubungan dengan pelayaran tersebut. Orang itu
berdasarkan perjanjian kerja laut diberi kedudukan sebagai
nakhoda, kapten kapal atau pemimpin kapal.
Menurut Pasal 342 KUH Dagang:
“Sedemikian pemimpin kapal nakhoda harus mengambil sikap dan bertindak sesuai kecakapan dan kecermatan serta kebijaksanaan yang demikian sebagaimana diperlukan untuk melakukan tugasnya”.
Pengertian nakhoda menurut Pasal 55 UU No. 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran:
“Nakhoda merupakan pemimpin di atas kapal yang memiliki wewenang penagakan hukum dan bertanggung jawab atas keselamatan,keamanan dan ketertiban kapal, pelayar dan barang muatan yang menjadi kewajibannya”.
Oleh karena itu seorang nakhoda dituntut untuk mempunyai
keahlian dan kecakapan khusus untuk mempunyai sebuah kapal.
Selain itu nakhoda diwajibkan pula mengikuti dengan teliti
kebiasaan dan peraturan yang ada untuk menjamin kelaikan
mengarungi laut demi keselamatan kapal, keselamatan para
penumpang dan muatan yang diangkutnya. Nakhoda tidak boleh
melakukan perjalanan, kecuali apabila kapal telah memenuhi
syarat untuk melakukan perjalanan itu, dilengkapi dengan pantas
dan dianakbuahi secukupnya.
Walaupun nakhoda berfungsi sebagai pemimpin kapal, ia
tetap merupakan buruh dan harus mengikuti perintah dan serta
instruksi dari pihak pengusaha kapal sebagai majikannya. Namun
demikian sesuai dengan Pasal 58 UU No. 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, maka nakhoda sebagai buruh berhak untuk menolak
perintah atau instruksi yang bertentangan dengan kewajibannya
untuk menunaikan tugas yang pantas. Dalam hal ini dijumpai hal
yang mungkin membahayakan keselamatan berlayar, nakhoda
dapat menyimpang dari rute dan/atau garis haluan (Track) yang
telah ditetapkan, walaupun tindakan tersebut akan menambah
biaya oprasional dan lama perjalanan.
Maka berdasarkan atas kebijakannya, nakhoda dapat
meminta agar terhadap kapal tersebut diadakan pemeriksaan alat
beban biaya pihak pengusaha kapal.
Berdasarkan uraian tersebut, nampak bahwa sebagai buruh
nakhoda mempunyai kedudukan yang istimewa, oleh karena
nakhoda dipandang sebagai orang yang paling bertanggung jawab
terhadap keselamatan kapal dan pelayaran sebagai majikan.
Untuk itu nakhoda harus memiliki keterampilan, pengetahuan dan
keahlian dalam bidang pelayaran.
Selain pemimpin di atas kapal nakhoda mempunyai tugas
khusus yaitu membuat buku harian yang di dalamnya memuat,
yakni:
a. Membuat catatan setiap kelahiran.
b. Membuat catatan setiap kematian.
c. Menyaksikan dan mencatat surat wasiat.
Hubungan kerja anak buah kapal dengan pemilik atau
operator kapal serta hak dan kewajibannya diselenggarakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nakhoda berwenang mengenakan tindakan disiplin atas
pelanggaran yang dilakukan setiap anak buah kapal yang
melakukan tindakan:
a. Meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda.
b. Tidak kembali kekapal pada waktunya.
c. Menolak perintah penugasan.
d. Tidak melaksanakan tugas dengan baik.
e. Berprilaku tidak tertib.
f.Berprilaku tidak layak pada seseorang.
Persyaratan kerja di kapal menurut Peraturan Pemerintah
No.7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yakni:
1. Memiliki sertifikat keahlian pelaut dan atau sertifikat
keterampilan pelaut,
2. Berumur sekurang-kurangnya 18 tahun,
3. Sehat jasmani maupun rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu,
4. Disijil.
Nakhoda atau pemimpin kapal wajib memenuhi persyaratan
pendidikan dan pelatihan kemampuan serta keterampilan dan
kesehatan.
3. Anak Buah Kapal
Pengertian anak buah kapal dapat dilihat pada Pasal 1 (14)
UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berbunyi “Anak
buah kapal adalah awak kapal selain nakhoda atau pemimpin
kapal”. Bertolak dari rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa untuk mengusahakan pelayaran kapal harus ada daftar
awak kapal (Monsterrol) yang dibuat dan disyahkan oleh
syahbandar. Kewajiban ini terdapat dalam Pasal 61 (1) UU No. 21
Tahun 1992 tentang Pelayaran yaitu “Dilarang mempekerjakan
seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa disijil dan tanpa
memiliki kemampuan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan”.
Harus dibuat suatu daftar dari semua orang yang melakukan dinas
sebagai anak buah kapal dan pengawas yang berwenang dalam
hal ini adalah syahbandar.
Anak buah kapal wajib mentaati nakhoda atau pemimpin
kapal secara tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan
kapalnya tanpa seizin nakhoda atau pamimpin kapal.
Hubungan hukum antara pengusaha kapal yang
berkedudukan sebagai majikan dengan anak buah kapal yang
berkedudukan sebagai buruh adalah didasarkan pada perjanjian
kerja laut yang telah disepakati bersama.
Untuk itu bagi anak buah kapal yang hendak bekerja di atas
kapal, khususnya para perwira kapal dituntut memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam bidang masing-
masing, agar dapat menjamin keamanan dan keselamatan kapal
dalam pelayaran.
Dengan demikian jelas bahwa anak buah kapal adalah
buruh pada pihak pengusaha kapal yang berkedudukan sebagai
perwira atau kelasi dan juga merupakan salah satu faktor bagi
kelaikan kapal yang berlayar.
4. Syahbandar
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
perjanjian kerja laut dibuat antara anak buah kapal (kelasi) dengan
pengusaha kapal, atas ancaman batal harus dibuat secara tertulis
dan dilaksanakan dihadapan pihak yang berwenang yaitu
Syahbandar. (Pasal 400 ayat (1) KUH Dagang.)
Kemudian sebelum anak buah kapal melaksanakan
tugasnya di atas kapal terlebih dahulu nama-nama mereka di
daftar dalam daftar anak buah kapal yang harus dibuat dihadapan
pegawai pendaftar awak kapal (Pasal 375 KUH Dagang). Pegawai
tersebut yang dalam hal ini adalah syahbandar, membuat sijil
awak kapal (Monsterrol) atas permintaan pengusaha kapal yang
biasanya diwakili oleh nakhoda atau mualim yang diserahi tugas
untuk itu. “Sijil” adalah daftar nama ABK yang bertugas di kapal,
yang disahkan oleh syahbandar. Dalam Sijil Awak Kapal
dimasukkan semua perwira kapal dan anak buah kapal bawahan
(Kelasi) yang sudah menandatangani perjanjian kerja laut (PKL)
dengan pengusaha kapal.
4.3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Laut
Secara umum apabila kita perhatikan Pasal 1320 KUH Perdata
maka untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat yang pertama yakni syarat 1 dan 2, dinamakan Syarat
Subjektif karena mengenai orang-orang atau subjek yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yakni 3 dan 4,
dinamakan Syarat Objektif kerena mengenai perjanjian sendiri oleh
objek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.
Mengenai syarat subjektif, jika syarat itu tidak terpenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan oleh satu pihak. Pihak tersebut yang
paling cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak
bebas.
Dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum, maksudnya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para
pihak untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, maka tidak
ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
Perjanjian kerjan laut mempunyai persamaan dengan perjanjian
perburuhan pada umumnya, yakni dengan diadakannya perjanjian kerja
maka timbullah hubungan hukum antara seorang buruh dengan majikan
yang memberikan hak kepada buruh untuk menerima upah atas
penunaian kerja dan penunaian kewajiban kepada majikan untuk
membayar upah atas penunaian kerja oleh buruh, sesuai waktu kerja
yang telah disepakati bersama.
Setiap pelaut yang akan disijil harus memiliki Perjanjian Kerja
Laut yang masih berlaku. Perjajian Kerja Laut itu harus memuat hak-hak
dan kewajiban dari masing-masing pihak dan memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut akan diuraikan
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak seperti tercantum dalam
Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan,
yaitu:
a. Hak pelaut yaitu menerima gaji, upah lembur, uang pengganti hari-
hari libur, uang delegasi, biaya pengangkutan dan upah saat
berakhirnya pekerjaan, pertanggungan untuk barang-barang milik
pribadi yang dibawa dan kecelakaan pribadi serta perlengkapan
untuk musim dingin, dan dimusim dingin di wilayah yang suhunya
15 derajat Celcius atau kurang yang berupa pakaian dan peralatan
musim dingin.
b. Kewajiban pelaut yaitu melaksanakan tugas sesuai dengan jam
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian, menanggung biaya yang
timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas ketentuan
yang ditetapkan oleh perusahaan, mematuhi perintah nakhoda,
meminta izin kepada nakhoda ketika ingin turun ke darat,
melakukan tugas tambahan atau lembur jika dianggap perlu oleh
nakhoda dan bekerja sesuai dengan jangka waktu perjanjian.
Dalam perbuatan perjanjian kerja laut selalu disyaratkan secara
tertulis. Jika tidak tertulis, maka perjanjian tersebut dapatlah dibatalkan.
Mengenai persyaratan tertulis ini, dibedakan antara perjanjian yang
diadakan oleh pengusaha kapal dengan nakhoda atau perwira kapal
dan perjanjian antara pengusaha kapal dan anak buah kapal.
Pelaut Indonesia dapat bekerja dikapal Indonesia dan/atau kapal
asing sesuai dengan sertifikat keahlian pelaut atau sertifikat
keterampilan pelaut yang dimilikinya.
4.4. Konsep Anak Buah Kapal Sebagai Buruh
Sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya,
awak kapal termasuk dalam hukum perburuhan, ini ditinjau dari segi
perjanjian kerja yang diadakan, yaitu antara anak buah kapal (ABK)
dengan pihak pengusaha. Istilah buruh sangat populer dalam dunia
perburuhan/ketenagakerjaan, selain dari zaman penjajahan Belanda
juga peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-
Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan
istilah buruh.
Istilah perburuhan itu adalah suatu kejadian dimana seseorang,
biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain biasanya disebut
majikan, dengan menerima upah, sekaligus mengenyampingkan
persoalan antara pekerjaan bebas dan pekerjaan yang dilakukan di
bawah pimpinan (bekerja pada orang lain) dan mengenyampingkan pula
persoalan antara pekerjaan dan pekerja.
Secara yuridis buruh adalah memang bebas, oleh karena prinsip
negara kita adalah bahwa seorang pun boleh diperbudak atau
diperhambakan. Sedangkan secara sosiologis buruh adalah tidak
bebas, sebab sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain
dari pada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain dan
majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja.
(G.Kartasapoetra, 1998:18)
Hak-hak Warga Negara untuk mendapatkan perlindungan
merupakan hak-hak positive (POSITIVE RIGHTS), yang dalam
pengertiannya wajib dipenuhi secara aktif dan maksimal oleh negara.
Kelemahan negara di dalam memenuhi hak-hak serta melindungi warga
negaranya sendiri adalah suatu Kejahatan Pembiaran (Violence by
Omission). Komitmen dan kemauan politik dari negara sangat
menentukan sekali dalam melaksanakan tiap-tiap kebijakan yang
dikeluarkan sehubungan dengan perlindungan kewarganegaraan.
Landasan hukum Perjanjian Kerja Laut yang termasuk dalam
bidang hukum perburuahan terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ketentuan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Pasal 2 BAB IV
Pembangunan Ekonomi, Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, ekonomi antara
lain dikatakan bahwa:
“Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesuai dengan UUD 1945, Pasal 27, Ayat 2 dan merupakan ciri dari sistem ekonomi kerakyatan.
Masalah yang dihadapi dalam pembangunan ketenagakerjaan, antara lain, adalah tingginya tenaga kerja yang menganggur dan setengah menganggur, masih rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan belum memadainya perlindungan terhadap tenaga kerja termasuk tenaga kerja di luar negeri.”
Bertolak dari ketentuan tersebut di atas menunjukkan betapa
pentingnya tenaga kerja bagi kehidupan bangsa dan tentunya
menentukan hidup dan matinya bangsa itu sendiri sehingga diperlukan
pengaturan tenaga kerja yang sebaik-baiknya.
Peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang
dapat dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Laut,
karena hal ini dapat dilihat adanya hubungan yang erat dengan melihat
bahwa nakhoda dan anak buah kapal adalah merupakan buruh yang
bekerja di atas kapal. Dengan demikian masalah Perjanjian Kerja Laut
tidak dapat mengesampingkan aturan perjanjian perburuhan yang pada
dasarnya mempunyai ruang lingkup berlaku juga tenaga kerja yang
bekerja di atas kapal.
Suatu perjanjian kerja yang dilakukan antara buruh dan majikan
yang melahirkan hubungan kerja antara kedua belah pihak tersebut
akan menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik terhadap
perjanjian perburuhan yang telah penulis kemukakan di atas bertujuan
untuk menghubungkannya dengan pelaksanaan perjanjian kerja laut,
karena dalam rangka perlindungan para pelaut, telah dibuat suatu
perjanjian antara Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) dengan Indonesia
Shipowner Assosiation (INSA) yang mencakup masalah makanan,
biaya bersalin, tunjangan kematian, kecelakaan, jam kerja dan cuti
tahunan.
Adanya perjanjian perburuhan antara KPI dan INSA pada
hakekatnya merupakan upaya peningkatan kesejahteraaan para pelatu
sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak,
termasuk juga pelayanan kesehatan.
Selain itu pula perjanjian antara Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)
dengan Foreign Shipowner Assosiation (FSEA) yang mencakup
pengupahan, pemeriksaan kesehatan para buruh yang bekerja di laut.
Perjanjian kerja laut mencakup juga mereka yang melaksanakan:
a. Perjanjian Kerja Laut bagi anak kapal yang bekerja pada kapal
milik perusahaan dalam negeri (berbendara Indonesia);
b. Perjanjian Kerja Laut bagi anak kapal yang bekerja pada kapal
perusahaan asing (berbendara asing). (Poerwosujipto, H. M. N.,
1993:183).
4.5. Pemutusan Hubungan Kerja Laut
Seperti halnya dengan hubungan kerja pada perusahaan pada
umumnya, maka pemutusan hubungan kerja di perusahaan pelayaran
dapat terjadi dengan beberapa alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu berdasarkan KUH
Perdata dan KUH Dagang.
Dengan demikian pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan
oleh siapa saja yang berkerja di kapal. Kemudian hal yang sangat
penting yang harus dilakukan oleh perusahaan perlayaran adalah
memenuhi ketentuan Pasal 1638 (a) KUH Perdata. Pasal tersebut
menentukan perusahaan pelayaran pada tiap akhir perjanjian kerja laut
wajib memberikan “Surat Keterangan Berhenti”. Dimana surat itu dapat
dipergunakan sebagai pelangkap persyaratan bila mereka mencari
pekerjaan lagi.
Djoko Triyanto (2005:189) menerangkan tentang isi surat
keterangan berhenti tersebut mencantumkan dengan sebenarnya
mengenai:
a. Macam dan jenis pekerjaan yang telah dilakukan;
b. Lamanya bekerja;
c. Bukti diri kepelautan;
d. Konduite (Perilaku);
e. Alasan pemutusan hubungan kerja; dan
f. Tanggal dan tanda tangan.
Secara umum pemutusan hubungan kerja berdasarkan parjanian
kerja laut dapat dibedakan dalam 4 (empat) kelompok yang nanti akan
dipaparkan, namun ketentuan-ketentuan pokok yang harus dipahami
dan diperhatikan oleh para pihak dalam hal ini pelaut dan pengusaha
pelayaran sebagai mana terdapat dalam Pasal 26 dan Pasal 27
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yang
menyebutkan:
(1) Awak kapal yang habis masa kontrak kerjanya harus dikembalikan
ke tempat domisilinya atau ke pelabuhan di tempat perjanjian kerja
laut ditandatangani;
(2) Jika awak kapal memutuskan hubungan kerja atas kehendak
sendiri, pengusaha angkutan di perairan dibebaskan dari
kewajiban pembiayaan untuk pemulangan yang bersangkutan;
(3) Apabila masa kontrak dari awak kapal habis masa berlakunya
pada saat kapal dalam pelayaran, awak kapal yang bersangkutan
diwajibkan meneruskan pelayaran sampai di pelabuhan pertama
yang disinggahi dengan mendapat imbalan upah dan
kesejahteraan sejumlah hari kelabihan dari masa kontrak;
(4) Biaya-biaya sebagai mana dimaksud dalam angka (1) dan angka
(3), merupakan tanggungan pengusaha angkutan di perairan, yang
meliputi biaya-biaya pemulangan, penginapan, dan makanan sejak
diturunkan dari kapal sampai tiba di tempat domisilinya;
(5) Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
angkutan di perairan karena kapal musnah atau tenggelam,
pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon
kepada awak kapal yang bersangkutan sebesar 2 (dua) kali
penghasilah bulan terakhir dan hak lainnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
(6) Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
angkutan di perairan karena kapal diangsurkan, atau dijual,
pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon
kepada awak kapal sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Pemutusan hubungan kerja laut dapat dibedakan dalam 4
(empat) kelompok, yaitu;
1. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Umum
Pemutusan hubungan kerja karena alasan umum (wajar)
yang dimaksudkan ialah alasan yang sering terjadi atau digunakan
untuk melakukan permutusan hubungan kerja pada umumnya.
Adapun alasan itu antara lain:
a. Waktu perjanjian kerja berakhir/habis;
b. Tenaga kerja di kapal meninggal dunia (Pasal 1603 (j) KUH
Perdata);
c. Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 1603 KUH Perdata);
d. Jika perjanjian kerja yang dilakukan tidak sah. Tidak sah
disini berarti tidak dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana
diatur Pasal 1320 KUH Perdata.
e. Jika salah satu pihak tidak setuju dalam jangka waktu
percobaan, yaitu selama tiga bulan;
f. Perusahaan pelayaran terkena likuidasi.
2. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Mendesak
Ketantuan yang mengatur alasan mendesak tersebut
terdapat pada Pasal 1630 KUH Perdata dan Pasal 418 KUH
Dagang.
Bagi perusahaan pelayaran dengan alasan mendesak
sebelum masa kontrak dari awak kapal habis masa berlakunya
dan diatur pada Pasal 1630 KUH Perdata, yaitu:
1. Jika Buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui
majikan dengan memperlihatkan surat-surat yang palsu atau
dipalsukan, atau segaja memberi penjelasan-penjelasan
palsu pada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan
kerja lama;
2. Jika ia ternyata, tidak mempunyai kemampuan atau
kesanggupan sedikit-pun untuk pekerjaan yang telah
dijanjikannya;
3. Jika ia telah diperingatkan, masih mengikuti kesukaannya
minum sampai mabuk, mengisap madat di luar atau suka
melakukan perbuatan buruk lain;
4. Jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau
kejahatan lainnya yang mengakibatkan ia tidak lagi
mendapatkan kepercayaan dari majikan;
5. Jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan
ancaman yang membahayakan majikan, anggota keluarga
atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya;
6. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota
keluarga atau anggota rumah tangga majikan, atau teman
sekerjanya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang atau kesusilaan;
7. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan,
dengan semberono merusak milik majikan atau menimbulkan
bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan
itu;
8. Jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan
dengan semberono menempatkan dirinya sendiri atau orang
lain dalam keadaan terancam bahaya besar;
9. Jika mengumumkan seluk-beluk rumah tangga atau
perusahaan majikan, yang seharusnya ia rahasiakan;
10. Jika ia bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar
yang diberikan oleh atau atas nama majikan;
11. Jika ia dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;
12. Jika ia karena sengaja atau semberono menjadi tidak mampu
melakukan pekerjaan yang dijanjikan.
Sedangkan khusus untuk nakhoda menurut ketentuan
Pasal 411 KUH Dagang harus ditambah dengan alasan-alasan
yang mendesak dapat pula dianggap ada:
1. Apabila nakhoda menganiaya seorang penumpang kapal
yang dipimpinnya, menghina secara kasar, atau
mengancamnya dengan sungguh-sungguh atau
membujuknya maupun mencoba membujuknya unuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik;
2. Apabila nakhoda menolak untuk mentaati suatu perintah
yangdiberikan kepadanya menurut ketentuan Pasal 408
(KUHD);
3. Apabila nakhoda, baik sementara, baik untuk selamanya
dipecat dan kekuasaannya untuk bekerja sebagai demikian
disebuah kapal;
4. Apabila nakhoda, diluar pengetahuan pengusaha telah
membawa barang selundupan kekapal atau telah
mengizinkan dibawanya barang-barang itu kekapal.
Alasan-alasan yang mendesak tersebut, selain dapat
digunakan untuk memutuskan hubungan kerja anak buah kapal,
juga dapat digunakan sebagai alasan yang mendesak untuk
memutuskan hubungan kerja dengan nakhoda.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
berdasarkan alasan yang mendesak, si buruh dapat pula
mengakhiri perjanjian kerja laut yang telah dibuatnya sebelum
habis masa kontrak kerja lautnya. Hal ini merupakan pertimbangan
dari pada hak pengusaha kapal untuk menghentikan hubungan
kerja dengan buruh tersebut. Adapun alasan-alasan yang
mendesak yang dapat dipakai oleh si buruh untuk mebatalkan atau
mengakhiri hubungan kerja dengan pengusaha kapal tercantum
dalam Pasal 1603p KUH Perdata dan Pasal 419 KUH Dagang.
Adapun alasan-alasan mendesak bagi nakhoda atau anak buah
kapal itu antara lain:
1. Jika majikan menganiaya, menghina secara kasar atau
melakukan ancaman yang membahayakan buruh, anggota
keluarga atau anggota rumah tangga buruh, atau
membiarkan perbuatan semacan itu dilakukan oleh anggota
rumah tangga atau buruh lain bawahannya;
2. Jika ia membujuk atau mencoba membujuk buruh, anggota
keluarga atau anggota rumah tangga buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau
kesusilaan atau membiarkan pembujukan atau percobaan
pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota rumah
tangga atau buruh lain bawahannya;
3. Jika ia tidak membayar upah pada waktunya;
4. Jika, dalam hal makan dan pemondokan dijanjikan, ia tidak
memenuhinya secara layak;
5. Jika ia tidak memberikan cukup pekerjaan kepada buruh
yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang
dilakukan;
6. Jika ia tidak memberikan atau tidak cukup memberikan
bantuan, yang dijanjikan kepada buruh yang upahnya
ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukannya;
7. Jika ia dengan jalan lain terlalu melalaikan kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;
8. Jika ia, dalam hal yang tidak diwajibkan oleh sifat hubungan
kerja, menyuruh buruh, meskipun buruh menolak, untuk
melakukan pekerjaan di perusahaan seseorang majikan lain;
9. Jika hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya besar yang
mengancam jiwa, kesehatan, kesusilaan atau nama baik
buruh, yang tidak melihat pada waktu pembuatan perjanjian;
10. Jika buruh, karena sakit atau karena alasan-alasan lain di
luar salahnya menjadi tidak mampu malakukan pekerjaan
yang dijanjikan itu;
11. Apabila pengusaha menetapkan supaya kapalnya berlayar
kesuatu pelabuhan dari suatu negara yang sedang terlibat
dalam suatu perang-laut, atau kesuatu pelabuhan yang
dikepung, kecuali apabila itu dengan tegas disebutkan di
dalam perjanjian-kerjanya dan perjanjian itu ditutup setelah
pecahnya perang atau setelah diumumkannya pengepungan
tersebut;
12. Apabila, dalam halnya Pasal 367 (KUHD), pengusaha
memberikan perintah-perintah untuk berangkat kesuatu
pelabuhan musuh;
13. Apabila pengusaha memakai atau suruh memakai kapalnya
untuk melakukan perdagangan budak-belian, pembajakan-
laut, pelayaran yang terlarang atau pengangkutan barang-
barang yang pemasukannya dilarang dalam negeri yang
dituju;
14. Apabila pengusaha menetapkan supaya kapalnya dipakai
untuk pengangkutan barang-barang larangan, kecuali apabila
itu dengan tegas telah diatur dalam perjanjian ini telah ditutup
setelah pecahnya perang;
15. Apabila baginya dikapal ada bahaya bahwa ia akan dianiaya
oleh nakhoda atau seorang penumpang;
16. Apabila penginapan dikapal demikian keadaannya, hingga
merugikan kesehatan para buruh;
17. Apabila kepadanya makanan yang menjadi haknya, tidak
diberikan atau tidak diberikan dalam keadan baik;
18. Apabila kapalnya kehilangan hak memakai bendera
Indonesia;
19. Apabila perjanjian-kerjanya dibuat untuk satu atau beberapa
perjalanan, sedangkan pengusaha menyuruh melakukan lain-
lain perjalanan.
Pada dasarnya sama dengan pihak perusahaan pelayaran,
maka seorang nakhoda atau awak buah kapal mempunyai hak
untuk penuntutan pemutuskan hubungan kerja melalui Pengadilan
atau Konsulat Jenderal. Sedangkan untuk pemutusan hubungan
kerja sepihak oleh mereka menurut Pasal 420 KUH Dagang dan
Pasal 1803v KUH Perdata harus ada penambahan syarat, yaitu
mereka harus tidak melalaikan kewajiban mengenai operasional
kapal.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Penting
Pemutusan hubungan kerja karena alasan penting juga
diatur dalam Pasal 420 KUH Dagang dan Pasal 1603v KUH
Perdata. Yang dimaksudkan dengan alasan penting tersebut
adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan adanya
putusan pengadilan berdasarkan pengaduan salah satu pihak.
Adapun alasan-alasan untuk pengaduan tersebut antara
lain, yakni:
1. Setelah menandatangani perjanjian kerja laut ada
perubahan-perubahan keadaan pribadi atau kekayaan si
pengadu atau pihak lawannya, dimana perubahan tersebut
sedemikian sigatnya sehingga sudah sewajarnya bila
hubungan kerja berakhir atau berlangsung dalam waktu
pendek;
2. setelah ditandatanganinya perjanjian kerja laut diketahui
bahwa, meneruskan hubungan kerja akan menimbulkan hal-
hal yang membahayakan jiwa si pengadu, kecuali bila hal
tersebut atas perintah Presiden;
3. Semua alasan mendesak yang diatur dalam ketentuan Pasal
1603 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
4. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Lain Yang Sah
Di samping ketiga alasan seperti tersebut di atas, masih
ada satu alasan yang sah dan dibenarkan untuk melakuan
pemutusan hubungan kerja, yaitu:
1. Salah satu pihak melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan memberikan ganti rugi, ganti biaya yang ditambah
dengan bunga semua uang yang telah dikeluarkan (Pasal
1267 KUH Perdata);
2. Nakhoda atau anak buah kapal mendapatkan pekerjaan yang
lebih tinggi gaji atau upahnya atau jaminannya, asalkan ia
dapat mencarikan penggantinya, akan tetapi dengan syarat
bahwa perjanjian kerja laut yang telah ditandatanganinya
jangka waktunya kurang dari satu tahun.
Pemutusan hubungan kerja di perusahaan pelayaran pada
umumnya tidak mengenal adanya uang pesangon dan
penghargaan masa kerja seperti halnya diperusahaan yang
berada di darat, karena hunbungan kerja selalu dilakukan dengan
sistem kontrak kerja dalam bentuk perjanjian kerja laut.
5. Metodologi Penelitian
5.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kantor PT. Pelayaran Nasional
Indonesia (PELNI) Cabang Makassar, Kantor Serikat Pekerja Pelindo IV
Cabang Makassar dan pada Kantor Administrasi Pelabuhan Makassar
IV Cabang Makassar, guna mengetahui secara langsung sejauh mana
upaya-upaya dan proses pelaksanaan Perjanjian Kerja, telah efektif dan
bertanggungjawab atas keselamatan anak buah kapal.
5.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai
berikut :
a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber data,
yakni melakukan pengamatan langsung kelapangan agar data
yang kita dapatkan lebih relevan dan akurat, serta melakukan
wawancara terhadap staf-staf yang berkepentingan dan/atau
berhubungan dengan karya ilmiah ini.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung
dari sumbernya, yakni data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, membaca dan menelaah buku-buku atau literatur,
referensi dokumen, serta peraturan perundang-undagan yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas untuk memperoleh
landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang akan
dibahas.
5.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk merampungkan penelitan ini, penulis menggunakan dua
metode penelitian untuk mengumpulkan data, yaitu:
1. Penelitian Lapangan (Field Research)
Metode ini mengadakan wawancara, wawancara ini penulis
lakukan bukanlah suatu model wawancara yang berstruktur,
melainkan suatu wawancara yang non struktural. Karena tidak
didasarkan pada suatu daftar pertanyaan yang tersusun dan
konsep tersendiri.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Dengan metode ini, penulis membaca sejumlah buku-buku, karya
ilmiah, ataupun tentang pengetahuan umum demi menambah
bahan baik dalam masa penelitian maupun pada saat penyusunan
laporan ini, tak luput pula membuka-buka materi perkuliahan
selama menjadi mahasiswa. Serta pengumpulan data dokumen
perusahaan kerja laut yang dilakukan pada syahbandar.
5.4. Analisis Data
Laporan akan dianalisis secara kualitatif dengan data yang
diperoleh dari kepustakaan akan dianalisis secara kualitatif untuk
selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriptif.
6. Sistimatika Pembahasan
Sistimatikan pembahasan ini hanya merupakan uraian singkat isi
dari Skripsi yang akan dibahas nanti, dan adapun uraiannya sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi
Penelitian serta Sistimatika Pembahasan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan tinjauan umum tentang Pengertian
Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Laut, Pihak-Pihak yang
Terkait dalam Perjanjian Kerja Laut, Syarat Syahnya
Perjanjian Kerja Laut, dan Konsep Anak Buah Kapal
Sebagai Buruh.
Bab III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini membahas tentang hasil penelitian berupa hubungan
hukum perjanjian kerja laut dengan perjanjian kerja pada
umumnya talah sesuai dengan Undang-Undang Ketenaga-
kerjaan yang berlaku, dan efektivitas pelaksanaan perjanjian
kerja laut terhadap keselamatan kerja Anak Buah Kapal.
Bab IV : Penutup
Bab ini merupakan Bab terakhir, terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran dari penulis berdasarkan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2006. Pokok-Pokok Pengetahuan
Hukum Dagang Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Dahlan. M. Y. Al-Barry dan L. Lya Sofyan Yacub, 2003, Kamus Induk Istilah
Ilmiah seri Intelektual, Target Press, Surabaya.
Djoko Triyanto. 2005. Bekerja Di Kapal. Mandar Maju, Bandung.
Djumadi. 2006. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Hadi. 2007. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Harvarindo, Jakarta.
Kadir, A.M. 2002. Hukum Pengangkutan Niaga. PT Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Kartini, M. 2003. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Kartosapoetra, G. 1998. Hukum Perburuan di Indonesia Berdasarkan
Pancasila. Sinar Grafika, Jakarta.
Niniek Suparni. 2000. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta,
Jakarta.
Poerwosutjipto, H.M.N. 1993. Pengertia Pokok Hukum Dagang Indonesia
(Jilid 5 Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat). Djambatan,
Jakarta.
Redaksi Sinar Grafika, 2001, Propenas 2000-2004, Sinar Grafika, Jakarta.
_________, 2007, Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025, Sinar Grafika, Jakarta.
Soedjono Wiwoho. 1982. Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut. Bina
Aksara, Jakarta.
Subekti, R., 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
Sudarsono. 2005. Kamus Hukum (Edisi Baru). Rineka Cipta, Jakarta.
Tim Redaksi “Permata Press”, 2007, Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi
Terlangkap, Permata Press, Jakarta.
Tim Redaksi “Citra Umbara”, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
Citra Umbara, Bandung.
Zaeni Asyhadie. 2007. Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja). PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Sumber Elektronik :
http://www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/marit.pdf
http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/09/tgl/19/
time/012705/idnews/443840/idkanal/10
Penunjang lainnya :
Undang-Undang No. 21, Tahun 1992, Tentang Pelayaran.
Peraturan Pemerintah No. 7, Tahun 2000, Tentang Kepelautan.
Peraturan Pemerintah No. 51, Tahun 2002, Tentang Perkapalan.