Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien Salut pada Sediaan Tablet Enterik Ibuprofen
Lusi Anggraini, Effionora Anwar, Juheini Amin
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia
Abstrak
Tablet lepas tunda adalah tablet dengan sistem pelepasan tertunda yang dibuat untuk mencegah pelepasan obat di lambung. Untuk membuat tablet lepas tunda diperlukan suatu eksipien yang tidak larut dalam asam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat tablet salut enterik ibuprofen menggunakan eksipien PKSA. Protein kedelai suksinat asetat (PKSA) dimodifikasi melalui reaksi asilasi yaitu suksinilasi dan asetilasi dengan menggunakan suksinat anhidirida 125% b/b dan asetat anhidrida 125% v/b. Protein kedelai suksinat asetat yang diperoleh memiliki derajat asetilasi 75,24 ± 0,2121%, memiliki daya larut 0,007% pada pH 1,2 dan 0,01% pada pH 6,8, serta memiliki daya mengembang maksimum pada pH 1,2 sebesar 167,95% dan pada pH 6,8 sebesar 200%. Protein kedelai suksinat asetat digunakan sebagai penyalut pada tablet inti ibuprofen yang dibuat dengan metode granulasi basah. Formula larutan penyalut yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 formula, yaitu F1 menggunakan PKSA 2%, F2 menggunakan kombinasi PKSA:HPMCP (1:1) dengan konsentrasi 2%, dan F3 menggunakan HPMCP 2% dengan dua kali penyalutan. Hasil uji disolusi tablet salut, menunjukkan F2 memberikan hasil disolusi yang lebih baik dibandingkan F1 karena memberikan hasil disolusi pada pH 1,2 sebesar 1,59% dan pada pH 6,8 sebesar 84,711%, tetapi memiliki waktu hancur yang kurang dari 1 jam pada pH 1,2. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa tablet salut F1 dan F2 belum memenuhi persyaratan sebagai penyalut pada sediaan tablet salut enterik.
Preparation of Soybean Protein Succinate Acetate as Coating Excipient for Enteric Tablet Containing Ibuprofen
Abstract
Delayed release tablet is tablet with delayed release system that designed to prevent drug release in stomach. To make delayed release tablet required an excipient that not soluble in acid. The aim of this research is to make a enteric coated tablet ibuprofen use soy protein acetate succinate (SPAS). Soy protein acetate succinate was modified by succinylation and acetylation using succinic anhydride 125% b/b and acetate anhydride 125% v/b. Soybean protein succinate acetate has degree of succinylation 13.205 ± 0.3465% and degree of acetylation 75,24 ± 0,2121%, has solubility index 0.007% in pH 1,2 and 0.01% in pH 6.8, and has a maximum swelling index 167.95% in pH 1.2 and 200% in pH 6.8. Soy Protein acetate succinate was used as a coating on the core ibuprofen tablets that made by wet granulation method. Coating solution formulas that
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
used in this study consist of three formulas, F1 using SPAS 2%, F2 using combination of SPAS:HPMCP (1:1) 2%, and F3 using HPMCP 2% with twice coating process. Dissolution result of enteric coated tablet showing that F2 were better than F1 because F2 dissolved 1,59% in pH 1.2 and 84,711% in pH 6.8, but has disintegration time less than one hour in pH 1,2. Based on this result, enteric coated tablet with F2 was not qualified as a coating for enteric coated tablet.
Keyword : acetylation; soybean protein succinate acetate; succinylation; enteric coated tablet
Pendahuluan
Tablet enterik merupakan tablet dengan sistem pelepasan tertunda yang mengandung
bahan atau polimer yang tidak larut dalam pH rendah (asam), tetapi larut pada pH tinggi (basa)
(Lieberman, Lachman, & Schwartz, 1992). Tablet enterik dibuat untuk melindungi obat dari
degradasi asam lambung dan melindungi lambung dari iritasi yang disebabkan oleh obat. Contoh
obat-obatan yang dapat mengiritasi lambung adalah obat-obat golongan AINS, seperti ibuprofen,
natrium diklofenak, asetosal, dan lain-lain. Tablet enterik juga dibuat untuk untuk menghantarkan
obat pada daerah absorpsi, obat akan diabsorpsi secara optimal di usus halus atau kolon.
Polimer-polimer yang digunakan dalam pembuatan tablet enterik adalah polimer yang
sensitif basa. Polimer enterik yang telah beredar saat ini yaitu selulosa asetat ftalat, eudragit,
hidroksil propil metil selulosa ftalat, polivinil asetat ftalat, dan shellac. Jumlah polimer atau
eksipien yang ada di pasaran dan digunakan sebagai polimer enterik pada saat ini masih terbatas
dan masih impor. Untuk memperkaya jumlah eksipien sediaan enterik, perlu dilakukan
pembuatan dan modifikasi eksipien dari bahan alam yang nantinya bisa digunakan sebagai
polimer dalam pembuatan sediaan enterik.
Satu diantaranya yang berpotensi sebagai eksipien dalam sediaan farmasi adalah protein
kacang kedelai. Pemanfaatan protein kacang kedelai sebagai eksipien khususnya sebagai polimer
salut enterik dapat dilakukan dengan cara memodifikasi protein kacang kedelai. Adanya gugus
fungsional pada rantai samping asam amino protein kacang kedelai dapat dimanfaatkan untuk
dilakukannya modifikasi protein (Hettiarachchy, Sato, Marshall, & Kannan, 2012). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Caillard, Petit, & Subirade (2009), modifikasi protein kedelai
melalui reaksi suksinilasi dapat menurunkan kelarutan protein pada pH 1,2 dan meningkatkan
kelarutannya pada pH di atas 4,5. Suksinilasi juga menurunkan kemampuan mengembang protein
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
kedelai pada pH 1,2 dan meningkatkan kemampuan mengembangnya pada pH 7,5. Penelitian
yang dilakukan oleh Chatarina (2014), protein kedelai yang dimodifikasi dengan menggunakan
suksinat anhidrida 100% b/b penurunan kemampuan mengembang pada pH 1,2 sebesar 35,38 ±
2,08% dan mengalami peningkatan kemampuan mengembang pada pH 7,5 yaitu sebesar 66,36 ±
2,12%.
Protein kedelai yang tersuksinilasi dan terasetilasi akan digunakan sebagai polimer
penyalut pada sediaan tablet enterik. Model obat yang digunakan adalah obat golongan AINS
turunan asam propionat yaitu ibuprofen. Obat ini digunakan sebagai antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik. Efek samping dari ibuprofen yaitu dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal,
nyeri abdominal yang dapat menyebabkan pendarahan pada saluran pencernaan, serta ulkus
peptik, sehingga obat ini cocok untuk dijadikan model obat dalam sediaan tablet enterik untuk
mengurangi efek sampingnya terhadap lambung.
Tinjauan Teoritis
a. Tablet
Tablet adalah sediaan padat yang dibuat dengan mencampurkan bahan eksipien yang
cocok. Komponen suatu tablet terdiri dari zat aktif dan eksipien. Eksipien adalah zat yang
digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formula sediaan, bersifat inert, dan tidak
mempunyai efek farmakologi (Anwar, 2012). Eksipien utama yang digunakan dalam formulasi
tablet adalah bahan pengisi (filler), pengikat (binder), penghancur (disintegrant), pelincir
(lubricant), antilekat (antiadherents), dan pelicin (glidant) (Lieberman, Lachman, Schwartz,
1989; Anwar, 2012 ).
Metode yang digunakan untuk membuat tablet yaitu granulasi basah, granulasi kering,
dan kempa langsung (Lieberman, Lachman, Schwartz, 1989). Evaluasi terhadap sediaan tablet
dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan tablet sudah memenuhi persyaratan tablet secara
umum untuk dipasarkan dan dikonsumsi. Evaluasi yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu
evaluasi yang dilakukan pada saat proses pembuatan tablet atau in process control (IPC) dan
evaluasi yang dilakukan setelah tablet dicetak atau post process control (PPC).
b. Tablet salut enterik
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Tablet enterik merupakan tablet yang dibuat dengan tujuan untuk mencegah pelepasan
obat di lambung, namun melepaskan obat di usus. Tablet salut merupakan suatu teknik
farmasetika yang mengaplikasikan polimer film pada tablet yang mengandung zat aktif. Sediaan
tablet salut secara umum dibedakan menjadi tiga yaitu salut gula, film, dan enterik (Ankit, Ajay,
& Kumar, 2012). Tablet salut film adalah tablet yang disalut dengan lapisan tipis dari polimer
pembentuk film (Allen, Popovich, & Ansel, 2011). Bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan tablet salut film antara lain polimer pembentuk film, plasticizer, pewarna, dan pelarut
(Cole, Aulton, & Hogan, 1995). Metode penyalutan yang sering digunakan dalam penyalutan
tablet adalah pan coating, fluidized-bed coating, compaction coating, dan melt/dry coating.
c. Protein kedelai
Protein adalah makromolekul yang terdiri dari satu atau lebih polipeptida. Setiap
polipetida terdiri dari rantai asam amino yang terhubung oleh ikatan peptida (Walsh, 2002),
seperti ikatan amida antara gugus karboksil dan gugus amin (Koolman & Roehm, 2005). Protein
kedelai telah banyak diproduksi dalam berbagai bentuk, yaitu tepung protein kedelai, konsentrat
protein kedelai, dan isolat protein kedelai (Singh, Kumar, Sabapathy, & Bawa, 2008). Tepung
protein kedelai mengandung 40-54% protein, jumlah kandungan protein ini tergantung pada
kandungan minyak yang terdapat dalam tepung protein kedelai. Konsentrat protein kedelai
memiliki tesktur yang lebih halus dibandingkan dengan tepung protein kedelai. Kandungan
protein yang terdapat dalam konsentrat protein kedelai yaitu 65-72%. Isolat protein kedelai
mengandung protein 90% hingga 92% protein (Boerma & Specht, 2004; Singh, Kumar,
Sabapathy, & Bawa, 2008).
d. Asilasi protein kedelai
Salah satu modifikasi protein secara kimia yang sering dilakukan adalah asilasi. Asilasi
merupakan reaksi yang secara kovalen memasukkan gugus asil seperti asetil dan suksinil ke
dalam gugus amino protein dan beberapa gugus hidroksil, imidazol, dan tiol, menggunakan asam
dikarboksilat anhidrida. Contoh modifikasi melalui asilasi protein adalah suksinilasi dan asetilasi
(Hettiarachchy, Sato, Marshall, & Kannan, 2012). Suksinilasi adalah reaksi kimia yang
menambahkan asam suksinat pada gugus amino protein melalui serangan nukleofilik dan
mengganti muatan postif dari gugus ε-amino lisin dengan gugus karboksil yang bermuatan
negatif. Suksinilasi protein kedelai menurunkan kelarutan protein dan muatan protein pada pH
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
1,2 dan meningkatkan kelarutan dan potensial zeta protein pada pH di atas 4,5 (Caillard, Petit, &
Subirade, 2009).
[Sumber: El-Adawy, 2000]
Gambar 1. Reaksi suksinilasi protein oleh asam suksinat anhidrida
Asetilasi adalah modifikasi protein dengan mereaksikan asetat anhidrida pada gugus ε-
amino lisin. Asetilasi dari gugus ε-amino lisin menurunkan jumlah muatan positif protein dengan
cara substitusi gugus asetil pada gugus ε-amino (El-Adawy, 2000)
[Sumber: El-Adawy, 2000] Gambar 2. Reaksi asetilasi protein oleh asetat anhidrida
Metode Penelitian
a. Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kacang kedelai varietas Grobogan
(Balitro, Indonesia), ibuprofen (Indofarma, Indonesia), anhidrida suksinat (Abblis Chemicals
LLC, USA), asetat anhidrida (Merck, Jerman), asam trinitrobenzen sulfonat (Sigma Aldrich,
USA), asam klorida (Merck, Jerman), natrium dodesil sulfat (Merck, Jerman), natrium hidroksida
(Merck, Jerman), kalium klorida (Merck, Jerman), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Jerman),
gliserol (Merck, Jerman), kalium bromida (Merck, Jerman), alkohol teknis (Brataco, Indonesia),
heksan teknis (Brataco, Indonesia), Aquadest (Brataco, Indonesia). Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah alat pengayak (Retsch, Jerman), pan coating, spray gun,
spektrofotometer UV-1800 (Shimadzu, Jepang), Fourier-Transform Infrared Spectrometer 8400
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
S (Shimadzu, Jepang), pH meter (Eutech pH 510, Singapura), neraca analitik (Adam AFA – 210
LC, USA), pengaduk magnetik (Ika, Jerman), thermal analyzer DSC-60 (Shimadzu, Jepang),
scanning electrom microscope (Jeol JSM-6390 LA, Jepang), oven (Memmert, Jerman), moisture
balance analyzer (Mettler Toledo, Jerman), alat uji disolusi (Electrolab TDT-08L, India),
flowmeter (Erweka GDT, Jerman), friability tester (Erweka TAR,Jerman), bulk-density tester
(Pharmeq 245-2E, Indonesia), hardness tester (Erweka TBH 28, Jerman)mikrometer sekrup
(Tricle Brand, China), buchner funnel, desikator, termometer, dan alat–alat gelas.
b. Cara Kerja
1. Pembuatan Konsentrat Protein Kedelai
Konsentrat protein kedelai dibuat dengan cara menghaluskan biji kacang kedelai yang telah
dikeringkan sehingga menjadi tepung kedelai yang kemudian dihilangkan minyak dan
oligosakridanya. Kandungan minyak dalam tepung kedelai dihilangkan dengan cara pengadukan
menggunakan heksana, sedangkan penghilangan oligosakarida dilakukakan dengan pengadukan
menggunakan etanol 70%.
2. Penetapan Kadar Kandungan Minyak
Kandungan minyak dalam konsentrat protein kedelai ditentukan dengan menggunakan
metode ekstraksi soxhlet menggunakan pelarut heksana selama 2 jam.
3. Suksinilasi dan Asetilasi Konsentrat Protein Kedelai
Kosentrat protein kedelai didispersikan dalam aquadest 5% b/v selama 2 jam menggunakan
pengaduk magnetik, kemudian ditambahkan NaOH 5 N hingga pH 8,0-8,5. Larutan suksinat
anhidrida diteteskan ke dalam suspensi protein kedelai. Kondisi pada saat reaksi harus dijaga
pada pH 8,0-8,5 dengan penambahan NaOH 5 N. Suksinat anhidrida yang digunakan yaitu
sebanyak 125% b/b protein kedelai. Setelah penambahan larutan suksinat anhidrida selesai,
pengadukan tetap dilanjutkan selama 3-4 jam, kemudian suspensi didiamkan selama 24 jam.
Suspensi diasamkan dengan menggunakan HCl 5 N hingga pH 4,0-4,5 untuk mengendapkan
protein. Endapan protein kemudian dipisahkan dengan bantuan penyaring vakum lalu dicuci
dengan etanol 96%. Endapan yang diperoleh dinetralkan dengan NaOH 5 N hingga pH 6-7.
Setelah itu endapan yang diperoleh kemudian dipisahkan dan dikeringkan pada lempeng kaca.
Endapan yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan kembali dan diayak dengan pengayak 60
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
mesh yang memiliki ukuran lubang pengayak berdiameter ±250 µm (Mirmoghtadaie, Kadivar, &
Shahedi, 2009). Asetilasi dari konsentrat protein kedelai suksinat dilakukan dengan
menggunakan cara yang sama pada saat proses suksinilasi, perbedaannya hanya pada asetilasi
menggunakan pereaksi asetat anhidrida 125% v/b.
4. Karakterisasi Eksipien
a. Derajat substitusi
Pengukuran derajat substitusi dilakukan menggunakan metode asam trinitrobenzen sulfonat
(TNBS). Sebanyak 1 ml larutan TNBS 0,1% ditambahkan ke dalam 20 ml larutan protein
dimodifikasi (0,25% b/v). Larutan kemudian dipanaskan di waterbath dengan suhu 60°C selama
2 jam, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Selanjutnya, 1 ml natrium dodesil sulfat 10% dan
0,5 ml HCl 1 M ditambahkan ke dalam larutan protein termodifikasi. Serapan dari larutan
tersebut diukur pada panjang gelombang 335 nm dibandingkan dengan blanko (Caillard, Petit, &
Subirade, 2009). Perhitungan derajat subsitusi :
% Substitusi = 100LysCLysRLysC
×−
Keterangan : LysC = Serapan larutan protein kedelai sebelum dimodifikasi.
LysR = Serapan larutan protein kedelai setelah dimodifikasi.
b. Analisis gugus fungsi
Sebanyak dua mg dari masing-masing sampel yang telah disuksinilasi, dan yang telah
disuksinilasi dan diasetilasi digerus homogen bersama 95 mg KBr yang telah dikeringkan.
Pemeriksaan dilakukan dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) pada panjang gelombang 400
sampai 4000 cm-1. Spektrum IR yang diperoleh dari protein yang belum dan telah disuksinilasi,
serta yang telah disuksinilasi dan diasetilasi dibandingkan.
c. Uji daya mengembang
Uji daya mengembang dilakukan dengan cara menimbang eksipien 500 mg kemudian
dimasukkan ke dalam dua gelas ukur, kemudian pada masing-masing gelas ukur ditambahkan
medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 10 ml. Volume awal eksipien(V1) sebelum
(2)
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
ditambah medium dicatat, kemudian perubahan volumenya (V2) diamati setelah penambahan
medium pada menit 0, 15, 30, 45, 60, dan 120.
% Pengembangan = 100V
)V(V
1
12 ×−
d. Uji daya larut
Sampel didispersikan dalam medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8 dengan konsentrasi
2% b/v. Sampel dilarutkan selama 30 menit dengan pengadukan terus menerus. Suspensi sampel
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3700 rpm selama 20 menit. Supernatan jernih yang
terbentuk diambil lalu dikeringkan di oven 105°C. Setelah kering, timbang beratnya sampai
didapat berat konstan (Daramola & Osanyinlusi, 2006).
Perbandingan daya larut = !"#$% !!"#$%&'&% !"#$%&!"#$%& !"#$%&'('&
e. Viskositas
Viskositas sampel diukur dengan menggunakan viskometer Brookfield. Larutan protein
dibuat dengan konsentrasi 2% (b/v) dalam larutan NH4OH. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan
pada konsentrasi larutan penyalut yang digunakan pada proses penyalutan tablet. Kecepatan
spindle yang digunakan yaitu 5; 10; 20; 50; 100. Hasil pembacaan skala dicatat dan viskositas
dihitung dengan menggunakan faktor koreksi.
5. Formulasi dan Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen
Tabel 1.Formulasi tablet inti ibuprofen
Bahan Jumlah (mg) Ibuprofen 200 Laktosa 245
Amilum 5% 20 Primogel 20
Talk 10 Mg stearat 5
Total masa tablet 500
Tablet inti ibuprofen dengan dosis 200 mg per tablet dibuat dengan metode granulasi basah.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan tablet inti ibuprofen yaitu ibuprofen sebagai
model obat, laktosa sebagai pengisi, amilum sebagai pengikat, primogel sebagai disintegran, talk
sebagai antiadherent dan glidan, serta magnesium stearat sebagai lubrikan.
(3)
(4)
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
a. Evaluasi tablet inti ibuprofen
Evaluasi massa tablet inti ibuprofen terdiri dari pengujian sifat alir yaitu laju alir, sudut
reposa, indeks kompresibilitas, dan rasio hausner. Evaluasi untuk tablet inti iburpofen terdiri dari
organoleptis, keseragaman bobot, kesergaman ukuran, kekerasan tablet, keregasan tablet, uji
waktu hancur, dan penetapan kadar.
6. Penyalutan Tablet Inti Ibuprofen dengan Konsentrat Protein Kedelai Suksinat Asetat
Tabel 2.Formulasi larutan penyalut
Bahan F1 F2 F3
Konsentrat protein suskinat asetat (gr) 2 1 - HPMCP (gr) - 1 2 Gliserol (gr) 0,6 0,6 0,6
Larutan amonium 0,03% ad 100 100 Aseton ad - - 100
Keterangan: F1 = penyalut dengan protein kedelai suksinat asetat 2% b/v
F2 = penyalut dengan protein kedelai suksinat asetat : HPMCP (1:1) 2% b/v
F3 = penyalut dengan HPMCP 2% b/v
Gliserol yang digunakan yaitu 30% dari total polimer yang digunakan.
Tablet salut enterik dibuat dengan menggunakan metode pan coating dengan spray gun.
Sebelum memulai proses penyalutan, pan coating terlebih dahulu dibersihkan menggunakan
alkohol 95%. Tablet inti ibuprofen dimasukkan ke dalam pan coating dan dipanaskan pada suhu
40 - 50°C selama 5-10 menit. Selama proses penyalutan, udara panas dialirkan ke dalam pan
coating hingga suhu mencapai 50-55°C. Sementara itu, polimer penyalut didispersikan dalam
pelarut NH4OH lalu dihomogenkan menggunakan homogenizer. Gliserol kemudian ditambahkan
ke dalam larutan penyalut dan dicukupkan volumenya hingga 100 ml. Alat spray gun diisi
dengan larutan penyalut. Pan coating kemudian dinyalakan dan diputar dengan kecepatan 5-20
rpm/menit. Larutan penyalut disemprotkan pada tablet inti pada tekanan udara 87,0-116,0 psi.
Tablet inti ibuprofen yang telah disalut kemudian dikeringkan di dalam panci salut selama 20-25
menit (Zaid & Qaddomi, 2012; Rathore, Sharma, Garag, & Sisodiya, 2013).
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Evaluasi yang dilakukan pada tablet salut enterik meliputi evaluasi organoleptis atau
penampilan umum, keseragaman ukuran, ketebalan salut, kenaikan bobot, keseragaman bobot, uji
waktu hancur, dan uji disolusi salut enterik.
a. Organoleptis atau penampilan umum
Evaluasi penampilan umum tablet meliputi evaluasi terhadap bentuk, warna, bau, dan
permukaan tablet salut enterik.
b. Keseragaman ukuran
Sebanyak 20 tablet salut enterik diambil secara acak, kemudian diukur diameter dan
ketebalan tablet menggunakan jangka sorong. Uji keseragaman ukuran memenuhi persyaratan
jika diameter tablet salut enterik tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1/3 kali tebal
tablet (Departemen Kesehatan RI, 1995).
c. Keseragaman bobot
Sebanyak 10 tablet dari formula tablet salut enterik ibuprofen diambil, kemudian
ditimbang satu per satu dan dihitung bobot rata-ratanya. Tablet dinyatakan memenuhi
persyaratan keseragaman bobot jika jumlah zat aktif dari masing-masing tablet terletak antara
85-115% dan nilai SDR kurang atau sama dengan 6% (Departemen Kesehatan RI, 1995).
d. Kenaikan bobot
Kenaikan bobot pada tablet salut dinyatakan sebagai perbedaan bobot tablet setelah
disalut (Wta) dan bobot tablet sebelum disalut (Wtb) dibagi dengan bobot tablet sebelum
disalut. Uji kenaikan bobot dilakukan dengan cara menimbang sebanyak 20 tablet salut,
kemudian dihitung bobot rata-rata tablet salut (Rathore, Sharma, Garag, & Sisodiya, 2013).
Kenaikan bobot dihitung dengan rumus:
Kenaikan bobot (%) = !"#!!"#
!"# x 100%
kenaikan bobot yang dipersyaratkan untuk tablet salut selaput adalah 2-5%.
e. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur dari tablet salut enterik dilakukan berdasarkan prosedur menurut
Farmakope Indonesia edisi IV. Sebanyak 6 tablet salut enterik dimasukkan ke dalam medium
HCl pH 1,2 selama 1 pada suhu 37ºC±2ºC. Persyaratan uji waktu hancur adalah tidak boleh
(6)
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
satu pun tablet salut yang hancur, retak, atau melunak. Uji dilanjutkan pada medium dapar
fosfat pH 6,8 selama 45 menit. Setelah 45 menit semua tablet harus hancur sempurna.
(Departemen Kesehatan RI, 1995).
f. Uji pelepasan obat salut enterik
1. Pembuatan kurva kalibrasi
Larutan ibuprofen ditimbang sebanyak 107,1 mg dan dilarutkan di dalam 100 ml larutan
dapar fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi sekitar 1071 ppm.
Larutan induk kemudian dipipet 3,0 ml, 5,0 ml, 10,0 ml, 10,0 ml dan 12,0 ml, kemudian di
cukupkan volumenya dalam labu ukur berturut-turut 10,0 ml, 10,0 ml, 25,0 ml, 50,0 ml, dan
50,0 ml sehingga diperoleh konsentrasi 321,3 ppm, 535,5 ppm, 428,4 ppm, 214,2 dan 257,04
ppm. Larutan uji 535,5 ppm kemudian dipipet 3,0 ml dan dicukupukan volumenya dalam
labu ukur 10 ml sehingga diperoleh konsentrasi 160,65 ppm. Setiap konsentrasi larutan uji
diukur serapannya dengan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang maksimum
yaitu 272,4 nm. Data–data yang diperoleh kemudian dibuat persamaan kurva kalibrasi: y = bx
+ a.
2. Uji pelepasan in vitro obat (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Uji pelepasan obat dilakukan dengan menggunakan dua medium yakni medium HCl pH
1,2 dan larutan dapar fosfat pH 6,8. Uji pelepasan in vitro dilakukan dengan menggunakan
metode B dengan apparatus 1 yakni disolusi basket dengan kecepatan 150 rpm. Uji pelepasan
obat mula-mula dilakukan pada medium HCl pH 1,2 selama 2 jam. Sampel sebanyak 10 ml
diambil dari dalam media, kemudian larutan yang diambil diganti dengan medium HCl pH
1,2. Uji pelepasan pada medium dapar fosfat pH 6,8 dilakukan dengan cara memindahkan
tablet tersebut ke dalam medium dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 900 ml dengan suhu 37o ± 0,5o
C dengan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 45 menit. Sampel diambil sebanyak 10 ml
dengan interval waktu 5, 10, 15, 20, 30 dan 45 menit kemudian larutan yang diambil diganti
dengan medium dapar fosfat pH 6,8. Sampel yang diambil dari medium dapar fosfat pH 6,8
dengan interval waktu tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 272,4 nm dengan
Spektrofotometer UV-Vis.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Hasil Penelitian dan Pembahasan
a. Pembuatan dan penetapan kadar minyak konsentrat protein kedelai
Konsentrat protein kedelai dibuat dari tepung kedelai yang telah dihilangkan minyaknya,
kandungan oligosakarida dan komponen minor lainnya. Hasil yang diperoleh yaitu kandungan
protein yang terdapat pada konsentrat protein kedelai sebesar 67,91% dan kadar minyak yang
terdapat pada konsentrat protein kedelai sebesar 1,527%. Hasil ini memenuhi persyaratan dimana
kandungan protein yang terdapat pada konsentrat protein kedelai yaitu 65-72% (Boerma &
Specht, 2004).
b. Karakterisasi Eksipien
1. Derajat substitusi dan analisis gugus fungsi
Pengukuran derajat substitusi dilakukan dengan menggunakan metode asam trinitrobenzen
sulfonat (TNBS). Metode ini dipilih karena TNBS dapat bereaksi dengan amin primer di dalam
reaksi nukleofilik menghasilkan trinitrofenil (Grotzky, Manaka, Fornera, Willeke, Walde, 2010).
Prinsip pengujian ini adalah TNBS akan berikatan dengan asam amino lisin yang akan
memberikan serapan pada panjang gelombang 335 nm. Nilai serapan yang diberikan pada PK
akan lebih besar dibandingkan dengan PKS, dan PKSA. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus
amin primer bebas yang berikatan dengan TNBS lebih banyak, sedangkan TNBS yang berikatan
dengan asam amino lisin pada PKS dan PKSA lebih sedikit karena sebagian besar lisin telah
tersubsitusi dengan suksinat dan asetat. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh hasil bahwa
PKS yaitu protein kedelai yang disubtitusi dengan suksinat anhidrida memiliki derajat substitusi
sebesar 13,21% ± 0,35, dan PKSA memiliki derajat substitusi sebesar 75,25% ± 0,21. PKS
memiliki derajat substitusi yang rendah disebabkan karena adanya kesalahan pada saat
penambahan suksinat anhidrida sehingga tidak semua asam amino lisin yang dapat tersubstitusi.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya derajat substitusi pada PKS yaitu struktur dari
suksinat anhidrida yang lebih besar dibandingkan asetat. PKSA memiliki derajat substitusi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan PKSA, karena gugus asetat memiliki rumus struktur yang lebih
kecil dibandingkan dengan suksinat sehingga asetat lebih mudah untuk tersubstitusikan pada
gugus lisin.
Pengukuran derajat substitusi pada PKS dan PKSA seharusnya dilakukan pada panjang
gelombang yang berbeda dengan panjang gelombang pada PK. Pengukuran derajat substitusi
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
PKS dan PKSA seharusnya dilakukan pada panjang gelombang 340 nm dan 390 nm, akan tetapi
pada penelitian ini hanya dilakukan pada panjang gelombang 335 nm yang merupakan panjang
gelombang maksimum untuk PK sehingga mempengaruhi nilai serapan yang dihasilkan.
Gambar 3. Spektrum inframerah PK, PKS, dan PKSA
Spektrum IR dari protein kedelai (PK) menunjukkan adanya peak pada bilangan gelombang
3375 cm-1 dengan intensitas sedang yang menandakan adanya gugus NH2 dari asam amino lisin.
Pada (PKS) terlihat adanya pergeseran pada bilangan gelombang 3437,5 cm-1, yang menunjukkan
adanya gugus –NH sebagai hasil reaksi suksinat asam amino lisin. Pada protein kedelai suksinat
asetat (PKSA) juga terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang pada 3500 cm-1 yang
menandakan semakin banyaknya gugus NH- yang terbentuk maka semakin banyak gugus
suksinat dan asetat yang tersubstitusi. Akan tetapi pada bilangan gelombang ini tidak terlihat
perubahan yang signifikan antara spektrum IR PK, PKS, dan PKSA. Hal ini mungkin disebabkan
karena derajat substitusi suksinat yang kecil pada PKS dan PKSA.
Perbedaan spektrum pada PK, PKS, dan PKSA juga terlihat pada bilangan gelombang 1750
cm-1. Bilangan gelombang ini menunjukkan adanya gugus karbonil yang terdapat pada ikatan
antara asam amino lisin dan suksinat. Munculnya spektrum pada bilangan gelombang 1750 cm-1
pada PK disebabkan karena adanya ikatan peptida dalam protein, sedangkan pada PKS dan
PKSA disebabkan karena telah terjadinya reaksi antara suksinat dan gugus amin yang
menghasilkan karbonil amida. Hal ini menyebabkan spektrum pada PKS dan PKSA lebih tajam
dibandingkan dengan PK karena jumlah gugus karbonil amida pada PKS dan PKSA lebih
banyak.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Tabel 3. Karakterisasi Eksipien Kriteria PK PKS PKSA
Derajat substitusi (%) 13,21 ± 0,35 75,25 ± 0,21
Analisis gugus fungsi 3375 (-NH2) 3437,5 (-NH)
1750 (karbonil) 3500 (-NH) 1750(Karbonil)
2. Uji daya mengembang
Gambar 5. Grafik daya mengembang PK (-♦-),PKS (--■--), dan PKSA (-▲-) pada medium dapar HCl pH 1,2dan dapar fosfat
pH 6,8
Uji daya mengembang PK, PKS, dan PKSA dilakukan dalam dua medium yaitu medium HCl
pH 1,2 dan medium dapar fosfat pH 6,8 sebagai simulasi keadaan pH pada lambung dan usus.
PKS memiliki daya mengembang yang lebih kecil dibandingkan PK, dan PKSA pada medium
asam. Penurunan daya mengembang pada PKS disebabkan karena adanya substitusi gugus
suksinat pada gugus amin dari asam amino lisin pada PK. Gugus suksinat akan membentuk
molekul COOH yang bersifat nonpolar pada suasana asam sehingga tidak bisa menarik air ke
dalam rongga-rongga struktur eksipien dan menyebabkan daya mengembangnya rendah. PKSA
memiliki daya mengembang yang lebih besar dibandingkan PKS. Hal ini bertolak belakang
dengan teori, yaitu seharusnya PKSA memiliki daya mengembang yang lebih kecil pada pH 1,2.
Hal ini mungkin disebabkan karena tidak semua gugus lisin tersubstitusi, selain itu pada protein
terdapat asam amino lain yang bersifat hidrofilik sehingga pada PKSA memiliki daya
mengembang yang lebih besar dibandingkan PKS.
Daya mengembang paling besar pada medium basa ditunjukkan oleh PKSA yang mencapai
200%, sedangkan PKS mencapai 166,6% dan PK mencapai 100%. Reaksi suksinilasi dan
asetilasi menghasilkan gugus karboksilat yang bersifat hidrofilik. Gugus karboksilat (-COOH)
pada kondisi basa akan terionisasi menjadi –COO- sehingga akan menarik air. Meskipun daya
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
mengembang PKSA cukup tinggi pada medium basa, namun hal ini belum terlihat signifikan jika
dibandingkan dengan daya mengembang PKSA pada medium asam.
3. Uji daya larut
Tabel 4.Persentase Daya Larut PK, PKS, dan PKSA
Sampel Daya Larut (g/100 ml)
pH 1,2 pH 6,8 PK 0,005 0,010
PKS 0,006 0,012 PKSA 0,007 0,011
Daya larut suatu protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino dan sekuensnya, bobot
molekul, konformasi dan kandungan gugus polar dan non polar di dalam asam amino
(Miedzianka et al., 2012). Penurunan kelarutan protein yang telah disuksinilasi disebabkan
karena adanya substitusi gugus suksinat pada gugus –NH2 dari protein kedelai. Pada suasana
asam, gugus suksinat yang tersubstitusi pada lisin akan berubah menjadi molekul yang tidak
larut. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji diperoleh bahwa PKS dan PKSA memiliki daya larut
pada pH 1,2 yang lebih besar dibandingkan dengan PK. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak
semua gugus ε-amino lisin yang tersubstitusi oleh suksinat. Data ini didukung oleh hasil derajat
substitusi suksinat yang hanya 13% sehingga kelarutan PKS dalam asam masih tinggi.
Pada medium dapar fosfat pH 6,8, daya larut PKS lebih besar dibandingkan dengan PK dan
PKSA. Substitusi suksinat pada gugus amino lisin akan menghasilkan gugus karboksilat yang
meningkatkan kelarutan PKS pada pH 6,8 karena pada suasana basa gugus karboksilat akan
terionisasi menjadi –COO-. Semakin banyak substitusi yang dilakukan maka semakin banyak
gugus karboksilat yang terbentuk dan akan meningkatkan daya larut PKSA pada medium basa.
Namun hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PKSA memiliki daya larut yang lebih kecil
dibandingkan PKS. Hal ini mungkin disebabkan karena proses substitusi asetat tidak berlangsung
dengan baik, selain itu dipengaruhi juga oleh adanya konformasi dan gugus lain dari asam amino
yang terdapat pada protein.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
4. Viskositas
Tabel 5.Viskositas PKSA
Sampel Viskositas Maksimal (cps) PKSA 2% 11300
PKSA:HPMCP (1:1) 2% 13900
Uji viskositas PKSA dilakukan dengan menggunakan alat Viscometer Brookfield. PKSA
dilarutkan dalam larutan amonium 0,03% dengan konsentrasi 2%. Pemilihan konsentrasi
pengujian ini didasarkan pada konsentrasi larutan penyalut yang dibuat. Pengukuran
viskositas ini dilakukan untuk mengetahui apakah PKSA bisa digunakan sebagai larutan
penyalut pada pembuatan sediaan tablet enterik ibuprofen. Semakin besar konsentrasi PKSA
yang digunakan maka semakin besar viskositas larutan tersebut dan akan semakin susah
larutan penyalut untuk disemprotkan. Hasil uji viskositas larutan PKSA 2% dalam amomium
yaitu sebesar 11300 cps.
c. Formulasi dan Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen
Tablet inti ibuprofen dibuat dengan metode granulasi basah. Metode ini dipilih karena
ibuprofen memiliki sifat laju alir yang buruk sehingga metode kempa langsung dan granulasi
kering tidak bisa digunakan. Tablet inti yang dibuat dengan metode granulasi basah bersifat lebih
kuat terhadap gesekan pada saat proses penyalutan. Tablet inti ibuprofen memiliki bentuk
cembung, berwarna putih, dan permukaan tablet yang licin, sehingga memenuhi persyaratan
tablet inti untuk dijadikan tablet salut. Permukaan tablet yang licin akan mempermudah tablet
berputar dalam pan coating pada saat proses penyalutan. Faktor lain yang harus diperhatikan
adalah kekerasan dan keregasan tablet. Tablet inti harus mempunyai kekerasan yang cukup untuk
menahan gesekan antara tablet selama proses penyalutan. Tablet yang memiliki kekerasan yang
rendah akan mudah hancur pada saat proses penyalutan. Keregasan tablet juga merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan, tablet yang regas akan mengalami pengurangan bobot karena
terkikis selama penyalutan dan akan menyebabkan hasil tablet salut tidak bagus. Hasil evaluasi
tablet inti ibuprofen dapat dilihat pada tabel 6.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Tabel 6.Data Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen
Parameter Hasil Organoleptis
Keseragaman bobot (mg) Bulat bikonveks, putih, permukaan licin dan mengkilat
504,71 ± 2,36 RSD = 0,53%
Diameter (mm) 9,52 ± 0,05 Tebal (mm) 4,72 ± 0,08
Kekerasan (kP) 8,15 ± 0,32 Keregasan (%) 0,0854%
Waktu hancur (menit) 7,67 ± 1,34 Kadar (%) 100,75 ± 2,73
d. Penyalutan dan Evaluasi Tablet Salut Enterik Ibuprofen
Penyalutan tablet inti ibuprofen dilakukan dengan menggunakan 3 formula larutan penyalut
yaitu PKSA 2%, PKSA:HPMCP (1:1) 2%, dan HPMCP 2%. Proses penyalutan tablet inti
dilakukan sebanyak dua kali dan kemudian hasil tablet salut dievaluasi organoleptis,
keseragaman bobot dan ukuran, kenaikan bobot, waktu hancur, serta profil disolusinya.
Organoleptis dari tablet salut enterik F1 berupa tablet salut yang berwarna kuning kecoklatan
dengan permukaan yang tidak mengkilat, dan hasil salut yang tidak homogen. Perubahan warna
pada tablet salut ini disebabkan karena eksipien yang digunakan berwarna kuning kecoklatan.
Tablet yang disalut menggunakan F2 berwarna putih kecoklatan dengan permukaan yang tidak
mengkilat. Hasil penyalutan yang tidak homogen disebabkan oleh faktor tekanan dan
pengeringan pada saat proses penyalutan.
Bobot semua tablet salut F1 berada pada rentang 515-520 mg, sedangkan bobot tablet salut
F2 berada pada rentang 510-518. Perbedaan bobot pada tablet salut F1 dan F2 disebabkan karena
kenaikan bobot pada tablet F1 lebih besar dibandingkan dengan F2. Kenaikan bobot yang
berbeda ini disebabkan karena penyemprotan larutan yang tidak homogen dan kekuatan pada saat
penyemprotan yang tidak sama. Kenaikan bobot tablet setelah disalut dengan PKSA 2% dan
PKSA:HPMCP (1:1) 2% sangat kecil. Kenaikan bobot yang kecil pada kedua formula ini
disebabkan karena viskositas dari larutan penyalut yang kecil. Tablet salut F2 memiliki waktu
hancur yang lebih lama dibandingkan tablet salut F2 pada medium asam, namun formula ini tidak
memenuhi persyaratan waktu hancur tablet enterik karena memiliki waktu hancur kurang dari 1
jam. Hal ini mungkin disebabkan karena PKSA masih memiliki daya larut yang cukup besar
dalam medium pH 1,2. Profil disolusi tablet salut ibuprofen dalam medium asam pada tablet salut
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
F1 sebesar 3,46±0,94%, tablet salut F2 sebesar 1,80±0,55%, dan tablet salut F3 sebesar 1,58 ±
1,47. Persen kadar zat aktif yang dilepaskan pada medium asam dari tablet salut F3 dan F2 lebih
kecil dibandingkan dengan tablet salut F1. Perbedaan hasil disolusi pada tablet F1 dan tablet salut
F2 dan F3 disebabkan karena pada tablet salut F2 menggunakan penyalut kombinasi PKSA dan
HPMCP dengan perbandingan 1:1, dan pada F3 menggunakan HPMCP. HPMCP merupakan
polimer enterik yang mampu menahan pelepasan zat aktif dalam asam. Pada tablet salut F1, zat
aktif yang dilepaskan lebih banyak karena PKSA masih memiliki kelarutan yang tinggi di asam
yang tinggi. Persentase pelepasan zat aktif tablet F1 di medium dapar fosfat pH 6,8 mencapai
kadar puncak sebesar 83,71±0,55%, pada tablet salut F2 mencapai 84,71±0,781%, dan pada
tablet salut F3 mencapai 98,55 ± 0,89%.
Tabel 7. Evaluasi tablet salut enterik
Parameter F1 F2
Organoleptis kuning kecoklatan, permukaan
tidak mengkilap, hasil salut tidak homogeny
putih kecoklatan, permukaan tidak mengkilat
Bobot (mg) 517,20 ± 1,36 514,23 ± 2,03 Diameter (mm) 9,77 ± 0,11 9,68 ± 0,04
Tebal (mm) 4,99 ± 0,04 4,97 ± 0, 05 Kenaikan bobot (%) 2,21 2,06
Waktu hancur (menit) 28,96 (pH 1,2) 30,375 (pH 1,2) 19,19 (pH 6,8) 23,54 (pH 6,8)
Gambar 7. Profil pelepasan Ibuprofen pada tablet salut enterik F1( -♦- ) F2 (--x--), dan F3 (▲-)
Kesimpulan
Konsentrat protein kedelai telah berhasil dimodifikasi melalui reaksi asilasi yaitu suksinilasi
dan asetilasi menghasilkan eksipien konsentrat protein kedelai suksinat asetat dengan derajat
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
substitusi suksinilasi 13,205 ± 0.3465% dan derajat subtitusi suksinilasi dan asetilasi
75,24±0,2121%. Eksipien PKSA menunjukkan daya larut pada medium dapar fosfat sebesar
0,0112 g/100 ml dan 0,00740 g/100 ml dalam medium HCl, namun daya larut PKSA pada
medium asam lebih besar dibandingkan PK. Kosentrat protein kedelai suksinat asetat digunakan
sebagai penyalut pada tablet salut ibuprofen dengan dua kali penyalutan. Tablet yang disalut
dengan F2 memiliki hasil disolusi yang lebih baik dibandingkan F1 namun belum memenuhi
persyaratan uji waktu hancur sehingga disimpulkan bahwa eksipien PKSA belum memenuhi
persyaratan sebagai penyalut pada sediaan enterik dengan kondisi dua kali penyalutan.
Saran
Pada penelitian selanjtunya, perlu dilakukan optimasi mengenai proses reaksi dan konsentrasi
pereaksi yang digunakan agar didapatkan eksipien yang memiliki daya larut yang kecil pada
medium asam dan frekuensi penyalutan pada proses penyalutan tablet perlu ditingkatkan.
Daftar Referensi
Anwar, Effionora.(2012). Eksipien dalam Sediaan Farmasi: Karakterisasi dan Aplikasi. Jakarta: Dian Rakyat.
Allen, L. V., Popovich, N. G., & Ansel, H. C. (2011). Ansel's Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery System (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ankit, G., Ajay, B., & Kumar, K. M. (2012). Tablet coating techniques: concepts and recent trends. International Research Journal of Pharmacy, 3 (9), 50-58.
Boerma, H. R., & Specht, J. E. (2004). SOYBEANS: Improvement, Production, and Uses (3rd ed.). (R. M. Shibles, J. E. Harper, R. F. Wilson, & R. C. Shoemaker, Eds.) Madison: Wisconsin.
Caillard, R., Petit, A., & Subirade, M. (2009). Design and evaluation of succinylated soy protein tablets as delayed. International Journal of Biological Macromolecules .
Chatarina, Cinthya P. (2014). Preparasi dan karakterisasi protein kedelai tersuksinilasi sebagai matriks pada sediaan lepas lambat. Skripsi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
Cole, G., Aulton, M., & Hogan, J. (1995). Pharmaceuitical Coating Technology. London: Taylor & Francis Ltd.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015
Daramola, B., & Osanyinlusi, S. (2006). Investigation on modification of cassava starch using active components of ginger roots. African Journal of Biotechnology, 5(10), 917-920.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.
El-Adawy, T. A. (2000). Functional properties and nutritional quality of acetylated and succinylated Mung Bean protein isolate. Food Chemistry (70), 83-91.
Grotzky, Andrea, Manaka, Yuichi, Fornera, Sara, Willeke, Martin, Walde, P. (2010). Quantification of alpha polylysine: a comparison of four UV/Vis spectrophotometric method (pp. 1448–1455). doi:10.1039/C0AY00116C
Hettiarachchy, N. S., Sato, K., Marshall, M. R., & Kannan, A. (2012). Food Protein dan Peptides: Functionality, Interactions, and Commercialization. USA: CRC Press.
Koolman, J., & Roehm, K. H. (2005). Color Atlas of Biochemistry (2nd ed.). New York: Thieme Stuttgart.
Lachman, L., Lieberman, H., & Kanig, J. L. (1986). The Theory and Practice of Industrial Pharmacy (3rd Edition ed.). Philadelphia: Lea dan Febiger.
Lieberman, A., Lachman, L., & Schwartz, J. B. (1992). Pharmaceutical Dosage Forms Tablets (Vol. 2). New York: Marcel Dekker.
Miedzianka, J., Peksa, A., & Aniolowska, M. (2012). Properties of acetylated potato protein preparations. Food Chemistry, 133, 1283-1291.
Mirmoghtadaie, L., Kadivar, M., & Shahedi, M. (2009). Effects of succinylation and deamidation on functional properties of oat protein isolate. Food Chemistry, 114, 127-131.
Rathore, S. B., Sharma, A., Garag, A., & Sisodiya, D. S. (2013). Formulation and evaluation of enteric coated tablet of Ilaprazole. International Current Pharmaceutical Journal, 2 (7), 126-130.
Singh, P., Kumar, R., Sabapathy, S., & Bawa, A. (2008). Functional and edible uses of soy protein products. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 7, 14-28.
Walsh, G. (2002). Protein: Biochemsitry and Biotechnology. England: John Wiley & Sons Ltd.
Zaid, A. N., & Qaddomi, A. (2012). Development and stability evaluation of enteric coated Diclofenac sodium tablets using Sureteric. Pakistan Journal Pharmacy Science, 25 (1), 59-64.
Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015