BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era globalisasi ini tidak hanya ilmu pengetahuan dan tehnologi saja
yang berkembang, namun juga berbagai macam penyakit. Tidak hanya
penyakit yang disebabkan oleh infeksi tetapi juga penyakit yang disebabkan
oleh bakteri.
Gangguan saluran pernafasan merupakan salah satu penyakit yang sering
di dengar, namun sebagian tidak mengetahui banyak mengenai sebab, akibat,
dan asuhan yang harus dilakukan supaya tidak menjadi penyakit yang
membahayakan.
Atelektasis, efusi pleura dan edema paru merupakan jenis penyakit
yang menyerang saluran pernafasan.ketiga penyakit tersebut disebabkan
adanya kelebihan cairan. Pada atelektasis terjadi pengkerutan sebagian atau
seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun
bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. Pada efusi pleura
terjadi akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut
mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Dan pada edema paru terjadi
penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pernapasan?
2. Apa pengertian dari atelektasis dan bagaimana proses keperawatannya?
3. Apa pengertian dari efusi pleura dan bagaimana proses keperawatannya?
4. Apa pengertian dari edema paru dan bagaimana proses keperawatannya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pernapasan.
2. Mengetahui pengertian dari atelektasis dan proses keperawatannya.
1
3. Mengetahui pengertian dari efusi pleura dan proses keperawatannya.
4. Mengetahui pengertian dari edema paru dan proses keperawatannya.
1.4 Manfaat
Penulis berharap dengan adanya makalah ini teman-teman bisa lebih
tahu dan waspada tentang atelektasis, efusi pleura, dan edema paru.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Gambar 1,
Anatomi Sistem Pernafasan
(Mayo, 2008)
Sistem pernapasan manusia terdiri dari hidung, pangkal tenggorokan,
batang tenggorokan, dan paru-paru.
1. Hidung
Hidung merupakan alat pertama yang dilalui udara dari luar. Di dalam
rongga hidung terdapat rambut dan selaput lendir. Rambut dan selaput
lendir berguna untuk menyaring udara, mengatur suhu udara yang masuk
agar sesuai dengan suhu tubuh, dan mengatur kelembapan udara.
2. Pangkal Tenggorokan (Laring)
Setelah melewati hidung, udara masuk ke pangkal tenggorokan (laring)
melalui faring. Faring adalah hulu kerongkongan. Faring merupakan
persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dan rongga hidung ke
tenggorokan (laring) udara masuk ke batang tenggorokan (trakea).
Pada daerah tekak, yaitu di langit-langit mulut bagian belakang terdapat
anak tekak. Pada pangkal tenggorokan (laring) terdapat katup yang disebut
epiglottis. Ketika kita bernapas, epiglottis terbuka dan anak tekak melipat
ke bawah bertemu epiglottis. Udara akan masuk melalui melalui pangkal
tenggorokan. Ketika kita menelan, epiglottis menutup pangkal tenggorokan
3
dan makanan akan masuk ke kerongkongan (esofagus). Tetapi jika kita
menelan dan epiglottis belum menutup, makanan dan minuman akan masuk
ke tenggorokan dan akan tersedak.
Pangkal tenggorokan (laring) terdiri atas keeping tulang rawan yang
membentuk jakun. Jakun tersusun atas tulang lidah, katup tulang rawan,
perisai tulang rawan, piala tulang rawan, dan gelang tulang rawan. Pada
pangkal tenggorokan terdapat selaput suara. Selaput suara akan bergetar
bila terhembus udara dari paru-paru.
3. Batang Tenggorokan (Trakea)
Batang tenggorokan terletak di daerah leher, di depan kerongkongan.
Batang tenggorokan merupakan pipa yang terdiri dari gelang-gelang tulang
rawan. Panjang batang tenggorokan sekitar 10 cm. Dinding dalamnya
dilapisi selaput lendir yang sel-selnya berambut getar. Rambut-rambut getar
berfungsi untuk menolak debu dan benda asing yang bersama udara. Akibat
tolakan secara paksa tersebut kita akan batuk atau bersin.
4. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)
Batang tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus
sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju ke paru-paru. Di
dalam paru-paru, bronkus bercabang menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah
kanan bercabang menjadi 3 bronkiolus, sedangkan sebelah kiri bercabang
menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam
gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler
darah. Melalui kapiler-kapiler darah di alveolus inilah oksigen dari udara di
ruang alveolus akan berdifusi ke dalam darah.
5. Paru-paru
Paru-paru terletak di rongga dada di atas sekat diafragma. Diafragma
adalah sekat rongga badan, yang membatasi rongga dada dan rongga perut.
4
Paru-paru terdiri dari dua bagian, yaitu paru-paru kiri dan kanan. Paru-
paru kanan memiliki tiga gelambir sedangkan paru-paru kiri memiliki dua
gelambir. Paru-paru dibungkus oleh selaput paru-paru yang disebut pleura.
Selaput paru-paru terdiri dari dua lapis. Selaput paru-paru membungkus
alveolus-alveolus. Jumlah alveolus kurang lebih 300 juta buah. Luas
permukaan seluruh alveolus diperkirakan 100 kali dari luas permukaan
tubuh manusia.
Volume udara di dalam paru-paru orang dewasa lebih kurang 5 liter.
Kemampuan paru-paru menampung udara diebut dengan daya tampung
paru-paru atau kapasitas paru-paru. Volume udara yang dipernapaskan oleh
tubuh tergantung besar kecilnya paru-paru, kekuatan bernapas, dan cara
bernapas. Pada pernapasan biasa orang dewasa udara yang keluar dan
masuk paru-paru sebanyak 0,5 liter. Udara sebanyak ini disebut udara
pernapasan atau udara tidal.
Apabila kalian menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan
napas sekuat-kuatnya, volume yang dan ke luar lebih kurang sebanyak 3,5-
4 liter. Volume udara ini disebut kapasitas vital paru-paru. Sebanyak 1-1,5
liter udara tetap tinggal di paru-paru walaupun kita telah menghembuskan
napas sekuat-kuatnya. Volume udara ini disebut udara residu.
PROSES PERNAPASAN
Paru-paru manusia berada di dalam rongga dada. Rongga dada dipisahkan
dari rongga perut oleh sekat diafragma. Rongga dada dilindungi oleh tulang
rusuk dan tulang dada.
Proses pernapasan terdiri dari dua kegiatan, yaitu menghirup udara atau
menarik napas dan menghembuskan udara atau mengeluarkan napas.
Menghirup udara disebut inspirasi dan menghembuskan udara disebut
ekspirasi.
Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi
dapat dibagi menjadi tiga stadium.
1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke
dalam dan ke luar paru-paru.
5
2. Stadium ke dua, transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek:
a) Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna)
dan antara darah sistemik dan sel sel jaringan;
b) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan
c) Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.
3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi.
Selama respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan
karbon dioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan
dikeluarkan oleh paru paru.
Berdasarkan bagian tubuh yang mengatur kembang kempisnya paru-paru,
pernapasan dapat dibedakan menjadi pernapasan dada (pernapasan tulang
rusuk) dan pernapasan perut (pernapasan diafragma).
1. Pernapasan Dada
Pernapasan dada terjadi karena gerakan otot-otot antar tulang rusuk. Bila
otot antar tulang rusuk berkontraksi, tulang rusuk terangkat naik. Akibatnya
volume rongga dada membesar, sehingga tekanan rongga dada turun dan
paru-paru mengembang. Pada saat paru-paru mengembang, tekanan udara
di dalam paru-paru lebih rendah daripada tekanan udara di atsmosfer.
Akibatnya udara mengalir dari luar kedalam paru-paru (inspirasi).
Sebaliknya, ketika otot-otot antartulang rusuk relaksasi, tulang rusuk turun.
Akibatnya rongga dada menyempit dan tekanan udara di dalamnya naik.
Keadaan ini membuat paru-paru mengempis. Karena paru-paru mengempis,
tekanan udara di dalam paru-paru lebih tinggi daripada tekanan atsmosfer,
sehingga udara keluar (ekspirasi).
2. Pernapasan Perut
6
Pernapasan perut terjadi akibat gerkan diafragma. Jika otot diafragma
berkontraksi, diafragma yang semula cembung ke atas bergerak turun
menjadi agak rata. Akibatnya rongga dada membesar dan paru-paru
mengembang sehingga perut menggembung, tekanan udara di dalam paru-
paru turun dan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru (inspirasi).
Ketika otot diafragma relaksasi, diafragma kembali ke keadaan semula
(cembung). Akibatnya rongga dada menyempit. Pada saat semikian paru-
paru mengempis dan mendorong udara keluar dari paru-paru (ekspirasi).
Pernapasan perut terjadi terutama pada saat tidur.
2.2 Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
2.3 Efusi pleura
Efusi pleura adalah keadaan di mana terjadi akumulasi cairan yang
abnormal dalam rongga pleura
2.4 Edema paru
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel
tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Atelektasis
2.1.1 Pengertian
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
8
2.1.2 Patofisiologi
Atelektasis dibagi menjadi dua jenis,yaitu :
1. Atelektasis Bawaan (Neonatorum)
Atelektasis bawaan adalah atelektasis yang terjadi sejak lahir, di mana
paru – paru tidak dapat berkembang sempurna. Terjadi pada bayi
(aterm/prematur) yang dilahirkan dalam kondisi telah meninggal (still
born) atau lahir dalam keadaan hidup lalu bertahan hanya beberapa hari
dengan pernafasan buruk. Paru – paru tampak padat, kempis dan tidak
berisi udara.
Atelektasis Resorbsi yaitu kondisi bayi yang mampu bernafas
dengan baik, tetapi terjadi hambatan pada jalan nafas yang mengakibatkan
udara dalam alveolus diserap sehingga alveolus mengempis kembali
(timbul pada penyakit membrane hyaline).
2. Atelektasis Didapat
a. Atelektasis Obstruksi
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus.
Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil.
9
Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau
benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat
oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran
kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam
alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut
dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan
sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi.
Atelektasis Obstruksi dapat terjadi pada pasien dengan :
1. Asma bronchial
2. Bronkhitis kronis
3. Bronkhiektasis
4. Aspirasi benda asing
5. Pasca bedah
6. Aspirasi darah beku
7. Neoplasma bronchus
Kondisi lain yang dapat menyebabkan atelektasis obstruksi antara lain : usia
(sudah tua atau usia anak – anak) dan kondisi tubuh dengan kesadaran
menurun (pengaruh anestesi) yang mengakibatkan kelemahan otot – otot
nafas sehingga tidak dapat mengeluarkan sumbatan pada jalan nafas.
Gejala klinis : dispnea, sianosis dan kolaps, bagian dada yang atelektasis
tidak bergerak, dan pernafasan terdorong ke arah yang sakit. Pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan bayangan padat serta diafragma
menonjol ke atas.
10
3. Non-obstruktif :
- pasif → pneumothorax, operasi
- cicatrix → perlekatan-perlekatan
- adhesive → RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Pneumonitis radiasi, pneumonia, uremia.
kompresi → Pneumothorax, pleural effusion, tumor
2.1.3 Pembagian Atelektasis
Menurut luasnya atelektasis dibagi :
1. Massive atelectase, mengenai satu paru
2. Satu lobus, percabangan main bronchus
Gambaran khas yaitu inverted S sign → tumor ganas bronkus dengan
atelectase lobus superior paru.
3. Satu segmen → segmental atelectase
4. Platelike atelectase, berbentuk garis
Misal : Fleischner line → oleh tumor paru
Bisa juga terjadi pada basal paru → post operatif
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
fisik. Rontgen dada akan menunjukkan adanya daerah bebas udara di paru-
paru. Untuk menentukan penyebab terjadinya penyumbatan mungkin perlu
dilakukan pemeriksaan CT - scan atau bronkoskopi serat optik. (3)
Kolaps dapat didiagnosa dengan adanya :
a. Peningkatan densitas dan menggerombolnya pembuluh darah paru
b. Perubahan letak hilus atau fisura ( keatas atau ke bawah ). Pada keadaan
normal letak hilus kanan lebih rendah dari hilus kiri
c. Pergeseran trakea, mediastinum atau fisura interlobaris ke arah bagian
paru yang kolaps
d. Sisa paru bisa amat berkembang ( over-expanded ) dan demikian menjadi
hipertranslusen
Kelainan-kelainan radiologik
11
Bilamana seluruh paru-paru mengempis, akan ada suatu bayangan
homogen pada belah itu, dengan jantung dan trakhea beranjak ke jurusan itu
dan diafragma terangkat. Bilamana hanya satu lobus yang atelaktasis
disebabkan oleh penyumbatan bronkhial, mungkin kelihatan dua kelainan
yang karakteristik. Kelainan pertama adalah suatu bayangan yang homogen
daripada lobus yang kempis itu sendiri, yang akan menempati ruangan yang
lebih kecil daripada bilamana ia berkembang sama sekali.
Suatu lobus kanan atas yang kempis akan kelihatan sebagai suatu
daerah yang opak pada puncak, dengan batas tegas yang bersifat konkaf di
bawahnya di dekat klavikula yaitu yang diakibatkan oleh fisura horizontalis
yang terangkat.
Lobus kiri atas bilamana kempis biasanya mencakup lingula, dan
bayangan yang diakibatkannya adalah lebih tidak tegas tanpa batas bawah
yang tegas. Akan tetapi pada proyeksi lateral akan kelihatan suatu bayangan
berbentuk lidah dengan puncaknya dekat diafragma; di sebelah anterior, ini
mungkin sampai kepada sternum, atau mungkin dipisahkan oleh suatu daerah
yang translusen yang disebabkan oleh paru-paru kanan yang menyelip
diantaranya dan sternum di sebelah posterior bayangan itu mempunyai batas
yang tegas dengan batas konkaf yang disebabkan oleh fisura besar yang
terdesak ke depan.
Suatu lobus tengah akan menyebabkan suatu bayangan yang sangat
tidak tegas pada proyeksi anterior, akan tetapi mungkin mengaburkan batas
daripada jantung kanan, pada proyeksi lateral ia akan kelihatan sebagai suatu
bayangan berbentuk pita yang membujur dari hilus ke angulus sterno-
diafragmatikus. Batas atasnya yang tegas dibentuk oleh fisura horizontalis
yang terdekat, sedangkan batas belakangnya yang konkaf oleh fisura mayor
yang terdesak ke depan.
Lobus bawah yang kempis menyebabkan suatu bayangan berbentuk
segitiga, dengan batas lateral yang tegas yang membujur ke bawah dan keluar
dari daerah hilus ke diafragma. Oleh karena ia biasanya terletak di belakang
bayangan jantung, ia hanya dapat dilihat bilamana radiograf adalah baik. Pada
proyeksi lateral bayangan mungkin kabur sekali, akan tetapi biasanya
12
kehadirannya memberikan tiga gambar vertebrae torakalis di sebelah bawah
akan kelihatan lebih berwarna abu-abu daripada hitam daripada vertebrae di
sebelah tengah bagian posterior daripada bayangan diafragma kiri akan tidak
dapat dilihat dan akhirnya, daerah vertebrae bawah di belakang bayangan
jantung akan kurang hitam daripada daerah translusen di belakang sternum.
Gejala-gejala yang karakteristik lainnya adalah konsekuensi daripada
bayangan-bayangan vaskuler menjadi kabur di dalam opasitas umum daripada
lobus yang tidak mengandung udara, sedangkan bayangan pembuluh-
pembuluh darah di dalam lobus yang lain adalah lebih memencar oleh karena
ia mengisi suatu volume yang lebih besar. Pembuluh-pembuluh darah hilus
pada sebelah yang terkena penyakit akan menunjukkan suatu konveksitas
lateral dan bukan suatu konkafitas seperti dalam keadaan normal pada tempat
dimana grup daripada lobus atas bertemu dengan arteria basalis di samping
itu, hilus akan menjadi lebih kecil daripada di sebelah yang lain, sedangkan
pembuluh-pembuluh darah paru-paru akan lebih memencar sehingga per unit
daerah akan kelihatan lebih sedikit daripada di sebelah yang lain (normal).
Hanya akan ada sedikit atau sama sekali tidak ada translusensi yang relatif,
oleh karena aliran kapiler bertambah besar, sedangkan pendesakan trakhea
atau peninggian diafragma biasanya sedikit dan jantung beralih hanya sedikit
ke jurusan lobus yang kempis yaitu pada kolaps daripada lobus bawah, atau
yang lebih sering sama sekali tidak pada kolaps daripada lobus atas.
Gambar - gambar Atelektasis
Kolaps Lobus Atas Kanan
13
Foto PA
Densitas uniform akibat lobus kanan yang kolaps dan mengkerut (panah).
Fisura interlobaris kanan bergeser ke atas ke arah mediastinum (panah lebar)
Hilus kanan terletak sama tinggi dengan hilus kiri, berarti letaknya meninggi.
Kolaps Lobus Medius Kanan
14
Foto Lateral
Lobus yang kolaps tidak terlihat. Ini akan membedakannya dengan pneumonia. Konsolidasi akan bisa dilihat dari kedua proyeksi tetapi kolaps mungkin hanya bisa dilihat dari satu proyeksi saja.
Foto PA
Terlihat densitas didekat jantung pada lapangan tengah dekat hilus. Bentuknya mirip segitiga. Bagian paru yang lain nampak bersih.
Kolaps Lobus Bawah Kanan
Kolaps Lobus Medius dan Lobus Bawah Kanan
15
Foto Lateral
Kolaps lobus medius selalu lebih jelas terlihat pada proyeksi lateral, terutama pada anak-anak. Terlihat densitas berbentuk segitiga dibagian depan, menunjukkan kolaps lobus medius (panah).
Foto PA
Hipertranslusen pada lobus kanan atas, terjadi karena adanya peningkatan volume sebagai kompensasi.
Lobus bawah kanan kolaps ke arah jantung dan mediastinum (panah) dan menghilangkan sinus cardiophrenicus. Batas lateralnya tegas. Hilus kanan “menghilang” karena pembuluh darah paru pindah ke arah jantung sebagai akibat kolaps paru.
Foto PA
Hipertranslusen lobus atas kanan (panah lebar).
Bila dibandingkan dengan kolaps lobus bawah kanan saja, densitas pada foto ini lebih luas dan batasnya kurang tegas.
Kolaps Lobus Bawah Kiri
16
Foto PA
Terlihat pergeseran ringan jantung dan mediastinum ke kiri.
Hilus kiri turun dibawah hilus kanan (panah).
Terlihat penurunan corakan vaskular pada bagian paru kiri yang over-expanded (panah lebar). Lobus bawah yang kolaps tidak terlihat pada foto yang kurang keras ini (bandingkan dengan foto “keras” dibawah ini).
Foto “keras” PA (Penderita yang sama)
Untuk mendapatkan hasil seperti ini, dipakai teknik dasar foto thorax PA tetapi mAs ditingkatkan 2 kali lipat.
Densitas berbentuk segitiga di belakang jantung adalah lobus bawah kiri yang kolaps (panah). Biasanya sulit untuk melihat lobus bawah yang kolaps pada foto lateral.
Kolaps Lobus Atas Kiri
17
Foto PA
Lobus atas kiri kolaps ke arah mediastinum (panah lebar).
Mediastinum sedikit bergeser kekiri : pada kiri pembuluh darah paru lebih tersebar dibandingkan pada sisi kanan, akibat adanya overinflasi pada sisa paru kiri sebagai kompensasi.
2.1.5 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan
kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena.
Tindakan yang biasa dilakukan :
- Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
- Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur
lainnya
- Latihan menarik nafas dalam ( spirometri insentif )
- Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
- Postural drainase
- Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
- Pengobatan tumor atau keadaan lainnya
- Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang,
menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-
paru yang terkena mungkin perlu diangkat
18
Foto lateral
Lobus atas kiri yang kolaps sulit untuk diidentifikasikan karena kolapsnya ke arah mediastinum. Hanya terlihat tepi belakangnya saja (panah).
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru
yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan
jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.
2.1.6 Upaya Preventif
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya
atelektasis :
- Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas
dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin.
Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa
diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum
pembedahan.
- Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang
menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih
baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu
pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan tekanan terus-menerus ke
paru-paru, sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran
pernafasan tidak dapat menciut.
2.2 EFUSI PLEURA
2.2.1 Pengertian
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura,
cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam
jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi
peregangan paru selama inhalasi.
2.2.2 Etiologi
Penyebab paling sering efusi pleura transudatif adalah karena penyakit
gagal jantung kiri, emboli paru, dan sirosis hepatis, sedangkan penyebab
efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri, keganasan (ca
paru, ca mamma, dan lymphoma merupakan 75 % penyebab efusi pleura
oleh karena kanker), infeksi virus.
Tuberkulosis paru merupakan penyebab paling sering dari efusi
pleura di negara berkembang termasuk Indonesia. Selain TBC, keadaan
19
lain juga menyebabkan efusi pleura seperti pada penyakit autoimun
systemic lupus erythematosus (SLE), perdarahan (sering akibat trauma).
Efusi pleura jarang pada keadaan ruptur esofagus, penyakit pankreas,
anses intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (ascites, dan
efusi pleura karena adanya tumor ovarium).
2.2.3 Patogenesis
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi – kondisi :
1. Gangguan pada reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena adanya
tumor)
2. Peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada
pleura)
Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan – keadaan :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung)
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya
hipoproteinemia)
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4. Berkurangnya absorbsi limfatik
Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya :
1. Transudat
Gagal jantung, sirosis hepatis dan ascites, hipoproteinemia pada
nefrotik sindrom, obstruksi vena cava superior, pasca bedah abdomen,
dialisis peritoneal, dan atelektasis paru.
2. Eksudat
a. Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan asbes)
b. Neoplasma ( ca. paru, metastasis, limfoma, dan leukemia)
c. Emboli / infark paru
d. Penyakit kolagen (SLE dan rheumatoid arthritis)
e. Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, ruptur esophagus, dan asbes
hati)
f. Trauma (hematoraks dan khilotoraks)
20
2.2.4 Fisiologi Pleura
Pleura terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu pleura visceralis dan
pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam
beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini, yaitu :
1. Pleura Visceralis
Bagian permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotelial yang tipis
(tebalnya tidak lebih dari 30 mm), di antara celah – celah sel ini
terdapat beberapa sel lomfosit. Di bawah sel mesotelial ini terdapat
endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Di bawah endopleura
terdapat jaringan kolagen dan serat – serat elastik yang dinamakan
lapisan tengah. Lapisan adalah jaringan
2. Pleura Parietalis
Lapisan jaringan pada pleura parietalis terdiri atas sel – sel mesotelial
dan jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat – serat elastik) namun
lebih dari pleura visceralis. Dalam jaringan ikat tersebut terdapat
pembuluh kapiler (arteri interkostalis dan arteri mammaria interna),
kelenjar getah bening, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka
terhadap rasa nyeri edam perbedaan temperatur. Sistem persarafan ini
berasal dari nervus interkostalis dinding dada dan alirannya sesuai
dengan dermatom dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini
menempel tetapi juga mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya.
Cairan pleura diproduksi oleh pleura parietalis dan diabsorbsi oleh
pleura visceralis. Cairan terbentuk dari filtrasi plasma melalui endotel
kapiler, kemudian direabsorbsi oleh pembuluh limfe dan venula pleura.
Telah diketahui bahwa cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura
parietalis dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui
membran pleura visceralis via sistem limfatik dan vaskular.
Pergerakan cairan dari pleura parietal ke pleura visceralis dapat terjadi
karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik
koloid plasma. Cairan terbanyak direabsorbsi oleh sistem limfatik dan
hanya sebagian kecil yang direabsorbsi oleh sistem kapiler pulmonal.
21
Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis
adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel – sel mesotelial.
Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga kosong antara
kedua pleura tersebut karena biasanya hanya terdapat sedikit (10 -20
cc) cairan yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak
secara teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua
pleura, sehingga mereka mudah bergeser satu sama lain. Dalam kedaan
patologis, rongga antara kedua pleura ini dapat tereisi dengan beberapa
liter cairan atau udara.
2.2.5 Patofisiologi
Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma
(eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat
plasma (transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari)
peradangan atu keterlibatan neoplasma. Contoh bagi efusi pleura dengan efusi
normal yaitu payah jantung kongestif. Pasien dengan pleura yang awalnya
normal pun dapt mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung
kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal
ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang
selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada
dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan
masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembventukan cairan dari pleura
parietalis karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi
menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura
Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan pembentuka cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal
tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskuler
(tekanan osmotik yng dilakukan oleh protein).
Luas efusi pleura yang mengancam volume pru – paru, sebagian akin
tergantung ats kekakuan relatif paru – pru dan dinding dada. Dalam batas
pernafasan normal, dinding dada cenderung rekoil ke luar sementara paru –
22
paru cenderung rekoil ke dalam (paru – paru tidak dapat berkembang secara
maksimal melainkan cenderung untuk mengempis).
2.2.6 Manifestasi Klinik
Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatik, tiombul gejala sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam,
mengigil, dan nyeri dada pleuritik. Ketika sudah membesar dan menyebar,
kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan
mengakibatkan nafas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trakea menjauhi sisi
yang terkena, dullness pada perkusi dan penurunan bunyi pernafasan pada sisi
yang terkena.
2.2.7 Diagnostic Test
Diagnosa dapat ditegakkan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik saja,
tetapi kadang – kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaan tambahan
seperti sinar tembus dada. Untuk diagnosis yang pasti perlu dilakukan
tindakan torakosentesis dan pada beberapa kasus dilakukan biopsi pleura.
1. Sinar Tembus Dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan lateral lebih tinggi daripada
bagian medial. Bila permukaannnya horizontal dari lateral ke medial, pasti
terdapat udara dalam rongga dada tersebut yang dapat berasal dari luar
atau dari dalam paru – paru itu sendiri.
Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
Namun, bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan,
mediastinum akan tetap pada tempatnya.
2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnosis maupun
teraupetik. Pelaksanaan dilakukan sebaiknya pada posisi duduk. Aspirasi
dilakukan pada bagian bawah paru – paru di sela iga IX garis aksila
posterior dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 – 16. Pengeluaran
cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi.
23
Aspirasi sekaligus banyak akan menimbulkan pleura shock (hipotensi)
atau edema paru. Edema paru terjadi karena terlalu cepat mengembang.
Tabel 2.2.7-1 Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat
Transudat Eksudat
1. Warna
2. Bekuan
3. Berat Jenis
4. Leukosit
5. Eritrosit
6. Hitung Jenis
7. Protein Lokal
8. LDH
9. Glukosa
10. Fibrinogen
11. Amilase
12. Bakteri
1. Kuning, pucat, dan jernih
2. (-)
3. < 1018
4. < 1000 /Ul
5. Sedikit
6. MN (limfosit /mesotel)
7. < 50% serum
8. < 60% serum
9. = plasma
10. 0,3 – 4%
11. (-)
12. (-)
1. Jernih, keruh,
porulen, dan
hemoragik
2. (-) / (+)
3. > 1018
4. Bervariasi,>
1000/uL
5. Biasanya banyak
6. Terutama PMN
7. > 50% serum
8. > 60% serum
9. = / < plasma
10. 4 – 6% atau lebih
11. > 50% serum
12. (-) / (+)
3. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologist satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 – 75% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor
pleura. Bila hasil biopsy pertama tidak memuaskan dapat dialkukan biopsy
ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, dan
penyebaran infeksi tumo pada dinding dada.
4. Pendekatan pada Efusi yang Tidak Terdiagnosis
Pemeriksaan tambahan :
a. Bronkoskopi : pada kasus – kasus neoplasma, korpus alienum, dan
asbes paru.
b. Scanning isotop : pada kasus – kasus dengan emboli paru.
c. Torakoskopi ( Fiber-optic pleroscopy ) : pada kasus dengan neoplasma
atau TBC.
2.2.8 Penatalaksanaan
24
Pengobatan trhadap pasien dengan efusi pleura adalah dengan
mengatasi penyakit yang mendasarinya, mencegah penumpukan
kembali cairan, serta untuk mengurangi ketidaknyamanan dan
dispnea.
2.2.9 Diagnosa Keperawatan
1. Pola Nafas Tidak Efektif
Hal tersebut dapat ditandai dengan :
a. Penurunan ekspansi paru ( akumulasi dari udara / cairan )
b. Proses radang.
Yang ditandai :
a. Dispnea, takipnea, dan perubahan kedalaman pernafasan.
b. Penggunaan otot bantu pernafasan dan nasal faring.
c. Sianosis dan Analysis Blood Gases abnormal
d. Perubahan pergerakan dinding dada
2. Resiko Tinggi terhadap Trauma
Hal tersebut berhubungan dengan :
a. Ketergantungan alat eksternal
b. Proses penaykit sata ini
3. Nyeri Akut yang berhubungan dengan :
a. Terangsangnya saraf intratpraks sekunder terhadap iritasi
pleura.
b. Inflamasi parenkim paru.
4. Kerusakan Pertukaran Gas
Hal tersebut berhubungan dengan penurunan kemampuan
recoil paru dan gangguan transportasi oksigen.
2.3 EDEMA PARU
2.3.1 Pengertian
Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh
atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada praktek
klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor
25
yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik
system kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta
perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.Pembengkakan jaringan
akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema.
Edema Paru
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-
paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru
ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini
adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar.
Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan
pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-
dindig ini kehilangan integritasnya. Pulmonary edema terjadi ketika alveoli
dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-
pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan
persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida),
berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru" ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang
intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke
darah atau melalui saluran limfatik.
2.3.2 Jenis Edema (berdasar penyebab)
1. Edema Paru Kardiogenik
Penyebab-penyebab cardiogenic dari pulmonary edema berakibat dari tekanan
yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh
fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi
pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias
dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan
jantung , atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi
dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari
26
paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-
pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar
2. Edema Paru Non-Kardiogenik
Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya dapat disebabkan oleh yang
berikut:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. Pada ARDS, integritas dari
alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang
mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat
dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh
darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal
ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan
kelebihan cairan tubuh.
c. High altitude pulmonary edema
Dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang
tinggi lebih dari 10,000 feet.
d. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-
seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary
edema.
e. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika
paru mengempis (pneumothorax ) atau jumlah yang besar dari cairan
sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi
yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya
pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema)
27
f. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi
yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum
tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema
g. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic
pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan
darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan
dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI),
beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
2.3.3 Faktor – faktor resiko
Faktor-faktor risiko untuk edema paru pada dasarnya adalah penyebab-
penyebab yang mendasari kondisi. Tidak ada faktor risiko spesifik apa saja untuk
pulmonary edema yang lain daripada faktor-faktor risiko untuk kondisi-kondisi
kausatif (yang menyebabkan).
2.3.4 Manifestasi Klinis
1. Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut.
2. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau
kelemahan.
3. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema.
4. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter
mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau
crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
2.3.5 Diagnosa
`Edema Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan
1. Chest X-Ray
28
X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih
terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang
paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap
sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-
ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya.
Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan
opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan
visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan
ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema,
namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab
yang mungkin mendasarinya. Untuk mengidentifikasi penyebab dari
pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah
penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali
menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.
Hasil chest X-Ray pada Edema
2. BNP (B-Type Natriuretic Peptide
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang
mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-
type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah
penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan
oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP
nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300
atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema.
29
Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya
menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya. Metode-metode
yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara
cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih
rumit dan kritis.
3. Pulmonary Artery Catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan
tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau
leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan
diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries
(cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-
paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan
dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge
pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah
konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz
dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU)
setting.
2.3.6 Perawatan
Edema Perawatan dari pulmonary edema sebagian besar tergantung pada
penyebabnya dan keparahannya. Kebanyakan kasus-kasus dari cardiac pulmonary
edema dirawat dengan menggunakan diuretics (pil-pil air) bersamaan dengan
obat-obat lain untuk gagal jantung. Pada mayoritas dari situasi-situasi, perawatan
yang tepat dapat dicapai sebagai pasien rawat jalan dengan mengkonsumsi obat-
obat oral. Jika pulmonary edemanya lebih parah atau ia tidak merespon pada obat-
obat oral, maka rawat inap dirumah sakit dan penggunaan obat-obat diuretic
secara intravena mungkin diperlukan. Perawatan untuk noncardiac causes of
pulmonary edema bervariasi tergantung pada penyebabnya. Contohnya, infeksi
yang parah (sepsis ) perlu dirawat dengan antibiotik-antibiotik dan tindakan-
tindakan dukungan lain, atau gagal ginjal perlu dievaluasi dan dikendalikan
dengan baik. Pemberian suplemen oksigen adakalanya perlu jika tingkat oksigen
30
yang diukur dalam darah terlalu rendah. Pada kondisi-kondisi yang serius, seperti
ARDS, menempatkan pasien pada mesin pernapasan buatan adalah perlu untuk
mendukung pernapasan mereka ketika tindakan-tindakan lain diambil untuk
merawat pulmonary edema dan penyebab yang mendasarinya
2.3.7 Komplikasi
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin
timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang
mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan
pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru.
Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada
pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti
otak
2.3.8 Upaya Preventif
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari
pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka
panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung , kenaikan yang
perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis
obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-
sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS
yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan
2.3.9 Penatalaksanaan
a. Edema Paru Kardiogenik
Pengobatan edema paru tergantung etiologi. Karena kondisi yang akut dan
mengancam kehidupan perlu segera dilakukan tindakan untuk membantu
pernafasan dan sirkulasi. Komplikasi pada edema paru yang sering terjadi seperti
infeksi, asidosis, anemia dan gagal ginjal perlu segera dikoreksi.
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya menunjukkan beberapa gejala
dari gagal jantung kiri seperti Aritmia ,Iskemi atau Infark Miokard Akut yang
dapat segera diterapi sehingga dapat memperbaiki oksigenasi paru. Sebaliknya
pada edema paru non kardiogenik revolusi lebih lambat dan sulit, seringkali
pasien memerlukan ventilasi mekanik.
31
Pemberian oksigen yang adekuat akan menjamin pengiriman O2 ke jaringan
perifer dan jantung.Pada pasien dengan oksigenasi inadekuat meskipun telah
diberikan O2 membutuhkan ventilasi dengan sungkup nasal atau wajah atau
pemasangan ETT.Pada kasus yang refrakter, ventilasi mekanik dapat membantu
mengurangi sesak nafas.Ventilasi mekanik dengan Positive EN Expiratory
Pressure(PEEp) mempunyai beberapa keuntungan pada edema paru yaitu dapat
mengurangi preload dan afterload sehingga memperbaiki fungsi jantung,
mendistribusikan cairan dari intraalveolar dan meningkatkan volume paru untuk
menghindari atelektasis
Diuretik
Furosemide, bumetanide dan torasemide efektif untuk penyakit edema
paru, walaupun disertai dengan adanya hipoalbumin, hiponatremi dan hipoksemi.
Furosemid juga dapat berfungsi sebagai venodilatorsehingga dapat menurangi
preloaddengan cepat merupakan deuritik pilihan.
Dosis awal furosemide0.5mg/KgBB,tetapi bias lebih tinggi sampai 1 mg/KgBB
jika diperlukan seperti pada pasien yang renal insufisiensi, pada penggunaan
diuretic kronik, hipervolemia atau gagal dengan dosis yang lebih rendah.
Nitrat
Nitrogliserin dan isosorbid dinitrate, mempunyai fungsi utama sebagai
venodilator selain juga untuk vasodilator pembuluh darah koroner.Pemberian
preparat nitrai sublingual setiap 5 menit adalah terapi lini pertama untuk edema
paru kardiogenik.Jika edema paru menetap tanpa hipotensi, pemberian sublingual
bisa diikuti dengan pemberian nitrogliserin?nitrat IV, mulai dengan dosis 5-10
ug/men it.Nitropruside IV (0,1-5 ug/KgBB per menit) adalah vasodilator
arteri dan vena yang kuat.Digunakan pada pasien edema paru dan hipertensi,
tetapi tidak direkomendasikan pada keadaan perfusi arteri koroner yang kurang.
Diperlukan pemantauan ketat dan titrasi dosis termasuk penggunaan cateter arteri
untuk pemantauan tekanan darah secara kontinu di ICU.
Morphine
Diberikan 2 sampai 4 mg IV bolus. Morphine adalah venodilator yang
dapat mengurangi preload, menghilangkan sesak anxietas. Efek tersebut dapat
32
mengurangi stress, menurunkan tingkat katekolamine, takikardi dan affterload
ventrikel pada pasien edema paru dengan hipertensi sitemik
ACE Inhibitor
Ace inhibitor mengurangi preload dan afterload dan direkomendasikan
pada pasien edema paru dengan hipertensi. Diawali dengan Ace inhibitor dosisi
rendah dan masa kerja pendek, diikuti dengan peningkatan dosis secara bertahap.
Pada infark Miokard Akut, dengan gagal jantung, Ace mengurangi angka
mortalitas pada jangka pendek dan panjang.
Obat-obatan lain yang mengurangi preload
Recombinant BNP (nesiritide) IV sebagai vasodilator kuat yang juga
mempunyai efek diuretic efektif dalam pengobatan edema paru kardiogenik. Obat
tersebut hanya dipakai pada pasien yang refrakter dan tidak direkomendasikan
pada keadaan ischemi atau miokard infark
Obat inotropic dan inodilator
Obat golongan simpatomimetik amine seperti Dopamin (2-5 ug/kgBB) dan
Dobutamin (2-10 ug/kgBB) adalah inotropik kuat, diberikan untuk edema paru
kardiogenik untuk memperbaiki kontraktilitas miokard, meningkatkan kardiak
output dan tekanan darah. Obat inodilator seperti milrinon merangsang kontraksi
miokard dan menurunkan tekanan perifer dan pulmonal. Obat ini hanya
diindikasinkan pada pasien edema paru kardiogenik dengan disfungsi ventrikel
kiri yang berat.
Digitalis
Digitalis bukan lagi merupakan obat utama pada edema paru dan jarang
digunakan. Digitalis hanya digunakan pasien dengan rapid atrial fibrilasi atau
atrial flutter untuk mengontrol ventricular rate.
Intra aortic balloon pulsation
IABP diindikasikan untuk edema paru kardiogenik yang refrakter, yang
disebabkan oleh Mitral regurgitasi akut atau rupture sentrum ventrikel, yang
dipersiapkan untuk operasi.
Cardiac resynchronization therapy
Pemasangan CRT diindikasikan pada kasus edema paru kardiogenik yang
refrakter, disebabkan adanya disinkronisasi denyut atrial dan ventrikel seperti
33
pada kasus LBBB, atrial fibrilasi.Dengan sinkronisasi denyut atrial dan ventrikel
diharapkan ada perbaikan cardiac output dan perfusi perifer.
Edema paru dapat juga terjadi karena pengeluaran cairan pleura yang
terlalu cepat pada penderita pleural effusion atau pengeluaran udara dengan
tekanan negative pada penderita pneumotoraks.Penurunan tekanan yang cepat
menyebabkan transudasi cairan kedalam paru sehingga terjadi hipotensi dan
oliguri.Pada kondisi ini diuretic dan obat vasodilator merupakan kontraindikasi,
sebaliknya diperlukan penambahan cairan intravaskuler dan bantuan respirasi
mekanik.
b. Edema Paru Non-Kardiogenik
1. High Attitude Pulmonary Edema (HAPE)
Adalah edema paru non-kardiogenik yang sering terjadi pada usia muda
yang mendaki dengan ketinggian lebih dari 2500 metertanpa adaptasi
terlebih dahulu. HAPE terjadi karena peningkatan tekanan arteri paru dan
resistensi vaskuler paru sebagai respon terhadap hipoksia.
Terapi HAPE adalah membawa pasien ke tempat yang lebih rendah
secepatnya (kurang dari 48 jam dan lebih rendah dari 2500 meter),
pemberian oksigen konsentrasi tinggi, bedrest serta membatasi asupan
cairan. Nifedipin dapat digunakan untuk pengobatan HAPE dan juga
profiklasis, tetapi hanya dipakai ketika O2 tidak tersedia atau membawa
pasien ke tempat yang lebih rendah tidak memungkinkan. HAPE
seringkali dapat dicegah dengan inhalasi salmaterol (beta adrenergik
agonist) terutama pada individu yang rentan. Penggunaan inhalasi nitric
oxide tersendiri atau kombinasi dengan O2 dapat mengurangi resistensi
paru dan memperbaiki oksigenasi pada penderita HAPE
2. Edema Paru Neurogenik
Manifestasi Klinis Edema Paru Kardiogenik
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan per- ubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 sta- dium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini.
1. Stadium 1.
34
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena ter-
bukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter- sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
3. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Per- tukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru
yang lain turun dengan nyata. Terjadi /right-to-left intrapulmonary shunt. /
Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan /acute respiratory / /acidemia. /Pada keadaan
ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald,
1988). Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya
akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang
dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan
kapiler paru normal, yang dapat dicegah de- ngan pemberian indomethacin
sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat /cyclooxygenase
/atau /cyclic nucleotide / /phosphodiesterase /akan mengurangi edema'
paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-
35
nusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita
dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak
parunya normal; hal ini mungkin dise- babkan lambatnya pembersihan
cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun
atau kemungkinat lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada /cardiogenic shock lung /(Ingram and
Brauhwald, 1986).
2.3.10 Patofisiologi
Aliran Cairan Paru
Gaya Starling mengatur aliran cairan paru dari ruang intravaskuler ke
akstravaskuler.gerakan cairan melintasi pembuluh darah ditentukan oleh
konduktansi pembuluh darah (Kf) dan gradient tekanan hidrostatik (Pmv-Pis) dan
osmotic (πmv-πis). Kecenderungan tekanan hidrostatik dalam vaskularisasi paru
(Pmv) untuk menyebabkan keluarnya aliran cairan dari pembuluh paru ke dalam
intertisium paru dilawan oleh tekanan hidrostatik ekstravaskuler (Pis) dan oleh
suatu fraksi perbedaan (σ) antara tekanan koloid osmotic (COP) di dalam
pembuluh darah (πmv) dan interstisium (πis). Tekanan akhir yang mendorong
cairan keluar dari paru adalah suatu nilai positif yang kecil dalam kondisi normal,
yang menyebabkan pergerakan cairan ke dalam intertisium paru dan dikeluarkan
oleh saluran limfatik paru lalu kembali ke sirkulasi. Jika aliran cairan paru
meningkat, akumulasi edema di dalam paru diatasi oleh peningkatan drainasi
limfatik, dengan peningkatan Pis sekecil peningkatan volume edema interstisial
dalam kompartemen interstisial yang kaku disekeliling pembuluh darah septal
meningkatkan tekanan hidrostatik dari -10mmHg menjadi nol (0), dengan
penurunan πis melalui pengenceran konsentrasi protein interstisial, sebaiknya
menggunakan cairab kristaloid. Walaupun factor – factor tersebut cenderung
menjaga paru tetap kering, factor – factor tersebut belum merupakan subjek
manipulasi terapi. Untuk Kf dan σ tertentu, determinan aliran edema yang menjadi
sasaran terapi adalah Pmv.
36
Interaksi Aliran Edema dan Mekanika Ventrikel
Tanpa adanya obstruksi vena pulmonalis atau katup mitral, tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri menentukan tekanan vena pulmonalis dan atrium kiri serta
menetukan Pmv. Tekanan ini diperkirakan secara klinis dari tekanan anyaman
kapiler pulmonalis (PEWP;pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang diukur
selama kateterisasi arteri pulmonalis.
Gangguan gaya Starling yang timbul pada edema paru pada gangguan
fungsi ventrikel kiri dapat dimengerti dengan mempelajari hubungan tekanan dan
volume. Jantung normal terisi selama fase diastolic da terdapat sedikit sedikit
peningkatan tekanan selama akomodasi volume yang besar karena kelenturan
ventrikel yang tinggi. Pada akhir diastolic ventrikel berkontraksi secara
isovolumetrik, dan tekanan intraventrikular naik, jika tekanan aortic terlewati,
terjadi pembukaan katup aortic, dan ejeksi dimulai. Ventrikel terus berkontraksi
sampai volume akhir sistolik, dan ditentukan oleh hubungan tekanan-volume
akhir sistolik, yang diduga sebagai fungsi status kontraktil miokardium.
Kemudian terkadi relaksasi, disertai penurunan tekanan, dan pengisian sistolik
diulangi. Peningkatan volume sirkulasi, seperti pada gagal ginjal akut atau infuse
intravena yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan
diastolic pada pasien dengan jantung yang nirmal. Seringkali gangguan fungsi
diastolikdari ventrikel kiri menyertai gangguan fungsi sistolik, seperti apa yang
ditemukan selama iskemia, infark, atau afterload yang berlebihan (hipertensi
malignan), atau pada kardiomiopati. Kemudian hubungan tekanan volume
bergeser ke kiri, dan diperlukan tekanan yang lebih tinggi untuk mencapai volume
diastolik tertentu.
Karena itu, patofisiologi edema kardiogenik adalah gangguan fungsi
diastolic yang menimbulkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel,
peningkatan Pmv, dan peningkatan aliran cairaan paru yang menyebabkan edema
paru jika jika kapasitas limfatik dilampaui. Sedah tentu, πmv dapat juga
mempengaruhi aliran cairan, terutama jika lambat, seperti pada sindroma nefrotik,
kegagalan hati, atau malnutrisi parah lainnya; tetapi perubahan πmv mempunyai
pengaruh kecil pada kejadiaan dan terapi edema “tekanan tinggi” karena koefisien
refleksi normal, σ, adalah 0,6 sampai 0,7. Depresi fungsi sistolik menimbulkan
37
penurunan isi sekuncup, penurunan curah jantung, dan aliran darah yang tidak
adekuat ke jaringan perifer. Edema “tekanan tinggi” ini terlihat pada iskemia dan
infark miokardium, hipertensi malignan, regurgitasi mitral (kendatipun pada
gangguan fungsi katup ini, tekanan sistolik ventrikel ditransmisikan ke
vaskularisasi paru), dan kardiomiopati. Kejadian lain adalah obstruksi saluran
pernapasan bagian atas seperti pada epiglottis, benda asing, atau gantung diri.
Pada kasus ini, penurunan nyata dari tekanan pleura selama usahainspirasi
menyebabkan peningkatan tekanan transmural ventrikel kiri dan secara efektif
menimbulkan afterloading ventrikel untuk meningkatkan volume akhir sistolik
ventrikel kiri yang pada gilirannya diikuti peningkatan volume dan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri yang serupa dengan perubahan pada hipertensi malignan.
Kontraksi isovolume kembali berlangsung, tetapi jika fungsi ventrikel kiri
mengalami depresi, seperti seringkali terjadi pada edema paru kardiogenik, ejeksi
sekarang berlangsung ke kurva volume tekanan akhir sistolik yang mengalami
depresi, dengan akibat penurunan isi sekuncup (stroke volume)
Edema Paru Non-Kardiogenik
Sebaliknya, edema “tekanan rendah”. atau sering disebut sebagai
kebocoran kapiler paru atau fase eksudatif dari sindroma gawat pernapasan,
timbul jika kerusakan alveolar difus berkaitan dengan peningkatan permeabilitas
terhadap air (Kf) dan rusaknya integritas kapiler sebagai suatu membrane
semipermeabel terhadap bahan osmotic serum (sebagian besar protein). Σ
cenderung kearah nol (yaitu makromolekul yang secara bebas melintas ke dalam
interstisium. Jika tidak diimbangi, maka gradient tekanan hidrostatik interstisial
intravascular normal dapat mendorong aliran cairan yang cukup untuk
menimbulkan edema yang parah. Situasi terjadinya proses ini adalah aspirasi
asam, sepsis, trauma dengan syok, cedera inhalasi, pneumonia, reinflasi paru
setelah atelektasis yang lama, dan pancreatitis. Harus diingat bahwa sebagian
besar penelitian terhadap pasien dengan edema paru tekanan rendah mencakup
banyak pasien tanpa proses pencetus yang dapat diidentifikasi.
38
Kelompok pasien yang tiidak begitu karakteristik adalah pasien dengan
edema paru setelah cedera system saraf pusat, yang disebut sebagai edema paru
neurogenik (NPE.Neurogebic Pulmonary Edema). Walaupun sejumlah observasi
klinis dan hewan menunjukan adanya kelainan sirkulasi dini yang menimbulkan
peningkatan tekanan hidrostatik sementara yang dapat merusak vaskularisasi
pulmonal sedemikian rupa sehingga menimbulkan defek permeabilitas, observasi
lain menunjukan bahwa sindroma kebocoran kapiler dapat timbul tanpa perubahan
vascular terkait, kendatipun perantara proses ini tidak jelas.
Pertimbangan mekanisme patofisiologis dalam NPE menekankan
pemikiran artificial edema tekanan tinggi atatu rendah yang “murni”. Kami
menganggap bahwa bahwa faktor utama yang dapat diatur untuk mengubah aliran
cairan paru pada semua jenis edema Pmv; tujuan terapi adalah menghindari
intervensi yang meningkatkan Pmv dan menerapkan terapi untuk menurunkan
Pmv tanpa mengorbankan transport oksigen sistemik.
Mekanika Pernapasan dan Shunt pada Edema
Tanpa memandang penyebabnya, pengaruh dari edema interstisial dan
alveolar adalah menurunkan volume dan elastisitas paru. Serentak dengan efek
mekanis ini, shunt intrapulmonal dengan hipoksemia timbul sebagai akibat darah
vena campuran yang melintasi unit paru yang dibanjiri tanpa terjadinya pertukaran
gas. Tekanan saluran pernapasan proksimal (pawo) dipetakan terhadap volume
paru yang dinyatakan sebagai persen kapasitas paru total (TLC). Pada system
mekanik pernapasan yang normal, inflasi paru terjadi dengan dinaikkannya Pawo
di sepanjang kurva tekanan-volume representative, elastisitas ditunjukan oleh
kecuraman kurva ΔV/ΔP. Pembanjiran dan kolap unit paru pada edema
menurunkan volume gas toraks pada Pawo=0 (penurunan kapasitas residual), dan
dengan berlangsungnya inflasi paru, Pawo harus lebih besar untuk setiap volume
tertentu karena lebih sedikit ruang udara yang ada untuk akomodasi volume
inflasi. Dengan demikian, elastisitas sangat menurun.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. http : // www.emedicine.com/ped/topic 158.htm
2. Simon, G. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum.
Edisi kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1981 : 275
3. http : // www.medicastore.com/med/detail
4. SEMA FK-UNAIR, SIE BURSA. KUMPULAN KULIAH RADIOLOGI I.
Surabaya : LAB/UPF Radiologi RSUD dr. Soetomo : 20-21.
5. Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 : 1287
6. Palmer, P.E.S. Petunjuk Membaca Foto Untuk Doker Umum. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 : 45-50
40
41