KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa penulis penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tugas dengan judul “Formulasi Teknologi Sediaan Steril Injeksi Pelarut Air ”.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Formulasi Teknologi Sediaan Steril.
Pada kesempatan kali ini penyusun ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang
berkenan membantu penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari walaupun tugas ini telah dibuat maksimal, namun mungkin masih
terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan.Penulis menerima kritik saran serta petunjuk
dari semua pihak bagi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Penulis berharap mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Tim Penulis
1 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................3
1.3 Tujuan Masalah..................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Injeksi.................................................................................................................................4
2.2 Praformulasi.......................................................................................................................14
2.3 Rancangan Formulasi.........................................................................................................17
2.4 Evaluasi Sediaan.................................................................................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
2 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Praformulasi sangat penting dilakukan dalam setiap pengembangan sediaan farmsi karena meliputi penelitian farmasetik dan analitik bahan obat untuk menunjang proses pengembangan formulasi.
Sifat suatu sediaan dapat mempengaruhi secara bermakna kecepatan onset efek terapi dari suatu obat, lamanya efek tersebut, dan bentuk pola absorbsi yang dicapai. Oleh karena itu pengembangan praformulasi dan formulasi untuk suatu produk steril harus diintregasikan secara hati – hati dengan pemberian yang dimaksud pada seorang pasien.
Sifat kimia dan fisika suatu obat harus ditentukan, interaksinya dengan tiap bahan yang diinginkan harus dikaji, dan efek dari masing - masing tahap kestabilannya harus diselidiki dan dimengerti.
Semua komponen harus memiliki kualitas yang sangat baik. Kontaminasi fisika dan kimia tidak hanya menyebabkan iritasi kejaringan tubuh, tetapi jumlah kontaminasi yang sangat kecil tersebut juga dapat menyebabkan degradasi produk sebagai hasil dari perubahan kimia, khususnya selama waktu pemanasan bila digunakan sterilisasi panas.
Formulasi suatu produk sediaan injeksi meliputi kombinasi dari satu atau lebih bahan dengan zat obat untuk menambahkan kenikmatan, kemampuan terima, atau kefektifan produk tersebut. Zat terapetis suatu senyawa kimia yang mudah mengalami karakteristik reaksi kimia dan fisika dari golongan senyawa dimana zat tersebut termasuk didalamnya. Oleh karena itu harus dibuat penilaian hati-hati untuk setiap kombinasi dua bahan atau lebih untuk memastikan apakah terjadi interaksi merugikan atau tidak dan jika terjadi, cara untuk memodifikasi formulasi sehingga reaksi dapat dihilangkan atau dikurangi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu injeksi?
1.2.2 Bagaimana cara pembuatan injeksi?
1.2.3 Bagaimana evaluasi sediaan injeksi?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Mengetahui injeksi
1.3.2 Mengetahui cara pembuatan injeksi
1.3.3 Mengetahui evaluasi sediaan injeksi
3 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan
dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi harus hati hati
untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat Yang Baik
(CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu per satu secara
fisik.Dalam pembuatan obat suntik, syarat utamanya ialah obat harus steril,
tidak terontaminasi bahan asng, dan disimpan dalam wadah yang menjamin sterilitas.
Keuntungan dan Kerugian
Pemberian obat secara parenteral memberikan beberapa keuntungan, antara lain :
1. Aksi obat biasanya lebih cepat (i.v)
2. Untuk obat-obat yang tidak efektif bila digunakan peroral atau obat-obat yang dirusak
oleh saluran cairan pencernaan
3. Untuk pasien yang tidak sadar, atau tidak bisa minum obat (non-kooperatif)
4. Untuk mendapatkan efek lokal
5. Untuk pemberian elektrolit dan cairan bila terjadi gangguan kesetimbangan yang serius
Disamping keuntungan yang diperoleh, sediaan parenteral juga mempunyai beberapa
kerugian di banding sediaan lain, yaitu :
1. Pada umumnya pasien tidak menggunakan sendiri tetapi oleh tenaga terdidik dan terlatih
2. Memerlukan perallatan khusus
3. Menimbulkan rasa sakit
4. Reletif lebih mahal
5. Pada umumnya tidak disukai pasien
Susunan Isi ( Komponen ) Obat Injeksi :
1. Bahan obat / zat berkhasiat
2. Zat pembawa / zat pelarut
3. Bahan pembantu / zat tambahan
4. Wadah dan tutup
4 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
1. Bahan obat / zat berkhasiat
b) Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam
Farmakope.
c) Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro injection )
d) Obat yang beretiket p.a ( pro analisa ) walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya,
tetapi belum tentu memenuhi syarat untuk injeksi.
2. Zat pembawa / zat pelarut
Dibedakan menjadi 2 bagian :
Zat pembawa berair
Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan
injeksi NaCl, injeksi glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV,
zat pembawa mengandung air, menggunakan air untuk injeksi, sebagai zat pembawa
injeksi harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin Bakteri. NaCl dapat
ditambahkan untuk memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau
injeksi Ringer dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.
Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan cara menyuling kembali air
suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang dilengkapi dengan labu
percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah
yang cocok dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk
injeksi, harus disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C segera setelah diwadahkan.
Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar
selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara
sesempurna mungkin, didinginkan dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai
pelarut serbuk untuk injeksi , harus disterilkan dengan cara sterilisasi A, segera setelah
diwadahkan.
Zat pembawa tidak berair
Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya Ol. Sesami,
Ol. Olivarum, Ol. Arachidis. Pembawa tidak berair diperlukan apabila :
(1) Bahan obatnya sukar larut dalam air
(2) Bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air.
(3) Dikehendaki efek depo terapi.
5 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Syarat-syarat minyak untuk injeksi adalah :
(1) Harus jernih pada suhu 100 .
(2) Tidak berbau asing / tengik
(3) Bilangan asam 0,2 - 0,9
(4) Bilangan iodium 79 - 128
(5) Bilangan penyabunan 185 - 200
(6) Harus bebas minyak mineral
(7) Memenuhi syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih atau massa padat yang
menjadi jernih diatas suhu leburnya dan tidak berbau asing atau tengik
Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh disuntikkan secara i.v , hanya boleh
secara i.m.
3. Bahan pembantu / zat tambahan
Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud :
a) Untuk mendapatkan pH yang optimal
b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
c) Untuk mendapatkan larutan isoioni
d) Sebagai zat bakterisida
e) Sebagai pemati rasa setempat ( anestetika lokal )
f) Sebagai stabilisator.
Menurut FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas dan efektivitas
harus memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya dalam jumlah yang digunakan, tidak
mempengaruhi efek terapetik atau respon pada uji penetapan kadar.
Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, jika hanya mewarnai sediaan akhir.
Pemilihan dan penggunaan bahan tambahan harus hati-hati untuk injeksi yang diberikan
lebih dari 5 ml. Kecuali dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :
Zat yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak lebih dari 0,01 %
Golongan Klorbutanol, kreosol dan fenol tidak lebih dari 0,5 %
Belerang dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau Natrium Sulfit, bisulfit atau
metabisulfit , tidak lebih dari 0,2 %
a) Untuk mendapatkan pH yang optimal.
6 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut Isohidri.
Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar
pH cairan tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.
Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :
1. Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat,
menghindari kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.
2. Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan. Jika pH terlalu tinggi
(lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati),
sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit jika
disuntikkan. misalnya beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin
HCl, Vit.C, Vit.B1 .
pH dapat diatur dengan cara :
1. Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.
2. Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk
obat tetes mata.
Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah :
1. Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.
2. Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.
3. Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat
didapar pada pH yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari
pH isohidri, sebaiknya obat tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk
meniadakan kapasitas dapar.
b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis
Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :
1. Mempunyai tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah,
cairan lumbal, air mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9
% b/v.
2. Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.
Jika larutan injeksi mempunyai tekanan osmotis lebih besar dari larutan NaCl 0,9 %
b/v, disebut " hipertonis ", jika lebih kecil dari larutan NaCl 0,9 % b/v disebut " hipotonis
" . Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari
sel , sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan
7 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
menyebabkan rusaknya sel tersebut. Jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air
dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam sel, akibatnya dia akan mengembang
dan menyebabkan pecahnya sel itu dan keadaan ini bersifat tetap. Jika yang pecah itu sel
darah merah, disebut " Haemolisa ". Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat
menyumbat pembuluh darah yang kecil.
Jadi sebaiknya larutan injeksi harus isotonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis,
tetapi jangan sampai hipotonis. Cairan tubuh kita masih dapat menahan tekanan osmotis
larutan injeksi yang sama nilainya dengan larutan NaCl 0,6 - 2,0 % b/v.
Larutan injeksi dibuat isotonis terutama pada penyuntikan :
1. Subkutan : jika tidak isotonis dapat menimbulkan rasa sakit, sel-sel sekitar
penyuntikan dapat rusak, penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.
2. Intralumbal , jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan lumbal, dapat
menimbulkan perangsangan pada selaput otak.
3. Intravenus, terutama pada Infus intravena, dapat menimbulkan haemolisa.
Perhitungan Isotonis
Isotonis adalah suatu keadaan dimana tekanan osmotis larutan obat yang sama dengan
tekanan osmotis cairan tubuh kita. ( darah, air mata )
Hipotonis : tekanan osmotis larutan obat < tekanan osmotis cairan tubuh
Hipertonis : tekanan osmotis larutan obat > tekanan osmotis cairan tubuh
Cara menghitung tekanan osmose :
Banyak rumus dipakai, yang pada umumnya berdasarkan pada perhitungan terhadap
penurunan titik beku. Penurunan titik beku darah, air mata adala -0,520 C.
Larutan NaCl 0,9 % b/v adalah larutan garam fisiologis yang isotonis dengan cairan
tubuh. Beberapa cara menghitung tekanan osmose :
a. Dengan cara penurunan titik beku air yang disebabkan 1% b/v zat khasiat (PTB)
b. Dengan cara Equivalensi NaCl
c. Dengan cara derajat disosiasi
d. Dengan cara grafik
8 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Cara PTB dengan rumus menurut FI.
Suatu larutan dinyatakan isotonik dengan serum atau cairan mata, jika membeku pada suhu -
0,520 C. Untuk memperoleh larutan isotonik dapat ditambahkan NaCl atau zat lain yang cocok
yang dapat dihitung dengan rumus :
Rumus : W =
0,52 – a C
B
Keterangan :
W = bobot zat tambahan ( NaCl ) dalam satuan gram untuk tiap 100 ml larutan
0,52 = titik beku cairan tubuh ( -0,520 )
A = Penurunan Titik Beku zat khasiat
C = konsentrasi dalam satuan % b/v zat khasiat
b = Pemurunan Titik Beku zat tambahan ( NaCl )
Tiga jenis keadaan tekanan osmotis larutan obat :
1 Keadaan Isotonis apabila nilai B = 0 ; maka b1 C = 0,52
2. Keadaan hipotonis apabila nilai B positip ;
maka b1 C < 0,52
3. Keadaan hipertonis apabila nilai B negatip ;
maka b1 C > 0,52
c) Untuk mendapatkan isoioni
Yang dimaksud isoioni adalah larutan injeksi tersebut mengandung ion-ion yang
sama dengan ion-ion yang terdapat dalam darah, yaitu : K+ , Na+ , Mg++ , Ca++ , Cl-.
Isoioni diperlukan pada penyuntikan dalam jumlah besar, misalnya pada infus intravena.
d)Sebagai zat bakterisida / bakteriostatik
Zat bakterisida perlu ditambahkan jika :
1. Bahan obat tidak disterilkan, larutan injeksi dibuat secara aseptik.
2. Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara penyaringan melalui penyaring bakteri steril.
3. Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara pemanasan pada suhu 980 – 1000 selama 30
menit.
4. Bila larutan injeksi diberikan dalam wadah takaran berganda.
Zat bakterisida tidak perlu ditambahkan jika :
1. sekali penyuntikan melebihi 15 ml.
9 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
2. Bila larutan injeksi tersebut sudah cukup daya bakteriostatikanya ( tetes mata Atropin
Sulfat dalam pembawa asam borat, tak perlu ditambah bakterisida, karena asam borat
dapat berfungsi pula sebagai antiseptik ).
3. Pada penyuntikan : intralumbal, intratekal, peridural, intrasisternal, intraarterium dan
intrakor.
e) Sebagai zat pemati rasa setempat / anestetika lokal
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tempat dilakukan penyuntikan , yang
disebabkan larutan injeksi tersebut terlalu asam. Misalnya Procain dalam injeksi Penicillin
dalam minyak, Novocain dalam injeksi Vit. B-compleks, Benzilalkohol dalam injeksi
Luminal-Na.
f) Sebagai Stabilisator
Digunakan untuk menjaga stabilitas larutan injeksi dalam penyimpanan. Stabilisator
digunakan untuk :
(1) Mencegah terjadinya oksidasi oleh udara, dengan cara :
(a) Mengganti udara di atas larutan injeksi dengan gas inert, misalnya gas N2 atau gas
CO2.
(b) Menambah antioksidant untuk larutan injeksi yang tidak tahan terhadap O2 dari
udara. Contohnya : penambahan Na-metabisulfit / Na-pirosulfit 0,1 % b/v pada
larutan injeksi Vit.C, Adrenalin dan Apomorfin.
(2) Mencegah terjadinya endapan alkaloid oleh sifat alkalis dari gelas. Untuk ini dapat
dengan menambah chelating agent EDTA ( Etilen Diamin Tetra Asetat ) untuk mengikat
ion logam yang lepas dari gelas / wadah kaca atau menambah HCl sehingga bersuasana
asam.
(3) Mencegah terjadinya perubahan pH dengan menambah larutan dapar.
(4) Menambah / menaikkan kelarutan bahan obat, misalnya injeksi Luminal dalam Sol.Petit,
penambahan Etilendiamin pada injeksi Thiophyllin.
4. Wadah dan tutup
Dibedakan : wadah untuk injeksi dari kaca atau plastik.
Dapat juga dibedakan lagi menjadi :
Wadah dosis tunggal ( single dose ), wadah untuk sekali pakai misalnya ampul.
Ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api sehingga tertutup kedap tanpa
penutup karet.
10 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Wadah dosis ganda ( multiple dose ), wadah untuk beberapa kali penyuntikan,
umumnya ditutup dengan karet dan alumunium, misalnya vial ( flakon ) , botol.
Wadah kaca
Syarat wadah kaca :
1. Tidak boleh bereaksi dengan bahan obat
2. Tidak boleh mempengaruhi khasiat obat.
3. Tidak boleh memberikan zarah / partikel kecil ke dalam larutan injeksi.
4. Harus dapat memungkinkan pemeriksaan isinya dengan mudah.
5. Dapat ditutup kedap dengan cara yang cocok.
6. Harus memenuhi syarat " Uji Wadah kaca untuk injeksi "
Wadah plastik
Wadah dari plastik ( polietilen, polipropilen ) .
Keuntungan :
netral secara kimiawi, tidak mudah pecah dan tidak terlalu berat hingga mudah
diangkut, tidak diperlukan penutup karet.
Kerugian :
dapat ditembus uap air hingga kalau disimpan akan kehilangan air, juga dapat
ditembus gas CO2.
Wadah plastik disterilkan dengan cara sterilisasi gas dengan gas etilen oksida.
Tutup karet
Digunakan pada wadah dosis ganda yang terbuat dari gelas / kaca. Tutup karet dibuat
dari karet sintetis atau bahan lain yang cocok. Untuk injeksi minyak , tutup harus dibuat
dari bahan yang tahan minyak atau dilapisi bahan pelindung yang cocok.
Syarat tutup karet yang baik adalah bila direbus dalam otoklaf, maka :
a. Karet tidak lengket / lekat, dan jika ditusuk dengan jarum suntik, tidak melepaskan
pecahannya serta segera tertutup kembali setelah jarum suntik dicabut.
b. Setelah dingin tidak boleh keruh.
c. Uapnya tidak menghitamkan kertas timbal asetat ( Pb-asetat ).
Cara mencuci :
mula-mula dicuci dengan detergen yang cocok, jangan memakai sabun Calsium /
Magnesium karena ion-ion itu akan mengendap pada dinding kaca. Bilas dengan air
dan rebus beberapa kali pendidihan, tiap kali pendidihan, air diganti.
Cara sterilisasi :
11 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
masukkan tutup karet ke dalam labu berisi larutan bakterisida, tutup, sterilkan
dengan cara sterilisasi A, biarkan selama tidak kurang dari 7 hari. Bakterisida yang
digunakan harus sama dengan bakterisida yang digunakan dalam obat suntiknya
dengan kadar 2 kalinya dengan volume untuk tiap 1 gram karet dibutuhkan 2 ml.
Tutup karet yang mengandung Na-pirosulfit, sebelum dipakai harus direndam dalam
larutan bakterisida yang mengandung Na-pirosulfit 0,1 % selama tidak kurang dari
48 jam.
Cara Pembuatan Obat Suntik.
Persiapan pembuatan obat suntik :
1. Perencanaan
Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat secara aseptik atau dilakukan
sterilisasi akhir ( nasteril ). Pada pembuatan kecil-kecilan alat yang digunakan antara
lain pinset, spatel, pengaduk kaca, kaca arloji yang disterilkan dengan cara dibakar pada
api spiritus. Ampul, Vial atau flakon beserta tutup karet, gelas piala, erlemeyer, corong
yang dapat disterilkan dalam oven 1500 selama 30 menit ( kecuali tutup karet, didihkan
selama 30 menit dalam air suling atau menurut FI.ed.III ) Kertas saring, kertas G3, gelas
ukur disterilkan dalam otoklaf. Untuk pembuatan besar-besaran di pabrik, faktor tenaga
manusia juga harus direncanakan.
2 Perhitungan dan penimbangan
Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus didapat, karena dilakukan
penyaringan, kemudian ditimbang. Larutkan masing-masing dalam Aqua p.i yang sudah
dijelaskan cara pembuatannya, kemudian dicampurkan.
3 Penyaringan
Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam
filtrat. Pada pembuatan kecil-kecilan dapat disaring dengan kertas saring biasa sebanyak
2 kali , lalu disaring lagi dengan kertas saring G3.
4 Pengisian ke dalam wadah
Cairan : Farmakope telah mengatur volume tambahan yang dianjurkan.
Bubuk kering : jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau berdasarkan
volume, diisi melalui corong.
Pengisian dengan wadah takaran tunggal dijaga supaya bagian yang akan ditutup dengan
pemijaran, harus bersih, terutama dari zat organik, karena pada penutupan zat organik
tersebut akan menjadi arang dan menghitamkan wadah sekitar ujungnya .
Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :
12 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
a. memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.
b. menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik yang dibuat dengan
pembawa berair.
5. Penutupan Wadah
Wadah dosis tunggal :
ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api hingga tertutup kedap.
Wadah dosis ganda :
ditutup dengan karet melalui proses pengurangan tekanan hingga karet tertarik ke
dalam. Tutup karet dilapisi dengan tutup alumunium.
6 Penyeterilan ( Sterilisasi )
Sterilisasi menurut Fi.ed.III dan IV.dapat dilakukan sesuai dengan persyaratan masing-
masing monografinya dan sifat dari larutan obat suntiknya.
7 Uji sterilitas pada teknik aseptik
Sediaan steril selalu dilakukan Uji Sterilitas sebelum sediaan itu diedarkan ke pasaran.
Uji Sterilitas dapat dilakukan sebagai berikut :
ke dalam salah satu wadah dimasukkan medium biakan bakteri sebagai ganti cairan
steril. Tutup wadah dan eramkan pada suhu 320 selama 7 hari. Jika terjadi pertumbuhan
kuman, menunjukkan adanya cemaran yang terjadi pada waktu pengisian bahan steril ke
dalam wadah akhir yang steril.
Pembuatan larutan injeksi :
Dalam garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :
1. Cara aseptic : Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karena akan
rusak atau mengurai.
Caranya :
Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat dari gelas untuk pembuatan, dan yang
lainnya yang diperlukan disterilkan sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat
pembawa, zat pembantu dicampur secara aseptik dalam ruang aseptik hingga
terbentuk larutan injeksi dan dikemas secara aseptik.
2. Cara non-aseptik ( NASTERIL ). Dilakukan sterilisasi akhir
Caranya : bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan dibuat
larutan injeksi. Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam
filtrat larutan. Masukkan ke dalam wadah dalam keadaan bersih dan sedapat
mungkin aseptik, setelah dikemas, hasilnya disterilkan dengan cara yang cocok.
13 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Syarat - Syarat Obat Suntik
Syarat berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :
1. Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksis. Pelarut
dan bahan penolong harus dicoba pada hewan dulu, untuk meyakinkan keamanan
pemakaian bagi manusia.
2. Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari partikel-partikel padat, kecuali yang
berbentuk suspensi.
3. Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4, agar tidak terasa sakit dan
penyerapannya optimal.
4. Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai tekanan osmose sama dengan tekanan
osmose darah / cairan tubuh, agar tidak terasa sakit dan tidak menimbulkan haemolisa.
Jika terpaksa dapat dibuat sedikit hipertonis, tetapi jangan hipotonis.
5. Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen maupun yang apatogen,
baik dalam bentuk vegetatif maupun spora.
6. Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai volume 10 ml atau lebih sekali
penyuntikan.
7. Tidak boleh berwarna kecuali memang zat berkhasiatnya berwarna.
1.2 Praformulasi
Dypenhidramin HCl
Mekanisme Kerja
Antagonis terhadap histamin AH, menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermaca-macam otot polos, selain itu AH bermanfaat untuk mengubah reaksi
hipersensivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebih dan
otot polos (usus bronkus). Bronkokontriksi akibat histamin dapat di hambat oleh AH.
Antihistamin (H. Blokers) memblokir reseptor H dengan menyaring histamin pada
reseptornya, diotot lisin dan dinding pembuluh dengan saluran cerna kandung kemih dan
rahim terhadap efek histamin pada kapiler.
14 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral. AH diabsorbsi secara baik efeknya timbul 15
– 30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1 – 2 jam lama kerja AH generasi I
setalah pemberian dosis tinggi umumnya 4 – 6 jam. Sedangkan beberapa derivat piperazin
setelah meklisir dan hidrosiklin memiliki masa kerja yang lebih panjang, seperti umumnya
antihistamin generasi II. Dypenhidramin yang diberikan secara oral dan mencapai kadar
maksimum dalam darah setelah kira-kira 2 jam menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam
berikutnya. Kemudian di eliminasi dari masa paruh kurang lebih 4 jam. Kadar tertinggi
terhadap paripan sedangkan pada limfa ginjal otot dan kulit kadarnya lebih rendah
Indikasi
Antihistamin dengan efek kolinergik antifusif, antirematik dan efek sedatif.
Dypenhidramin HCl
Nama Resmi : DYPENHIDRAMIN HYDROCHLORIDUM
Nama Lain : Dypenhidramin HCl
Rumus Molekul : C17H21NO. HCl
Berat Molekul : 291,82
Pemerian : Serbuk hablur putih, berbau, jika terkena cahaya perlahan-lahan warnya
menjadi gelap. Larutannya praktis Netral terhadap kertas lakmus P.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform P, agak sukar
larut dalam Bezen dan dalam eter
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
K/P : Antihistamin
Dosis : Sekali 100 mg / Sehari 250 mg
Dosis Injeksi : 10 – 50 mg
Incomp. ` : Dypenhidramin HCl (Ben edryl HCl) lambat laun menjadi gelap mudah
larut dalam air, dalam alkohol dan dalam larutan netral. Akan mengendap
dengan alkali dan incom dengan ion clorida.
Telah dilaporkan incom dengan ampotenisin, Na. Cepalotin, Na. Hidrokartison
suksinar, sedikit laruatan barbiturat, beberapa tempat yang tidak cocok dalam laruatan asam
dan basa.
Na. Benzoat
Monografi
15 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Nama Resmi : NATRII BENZOAT
Nama Lain : sodium benzoat, benzoat fo soda, sodium benzoat acid
Rumus Molekul : C7H5NO2
Pemerian : Granul putih, atau cristalme, bersifat higroskopik dalam bentuk
serbuknya, tidak berbau atau memiliki bau seperti benzoatnya,
memiliki rasa yang tidak manis dan rasa saile
Sifat Fisika Kimia
Stabilitas : Larutan berairnya mungkin harus disterilisasi dengan autoclaf atau
filtrasi
pH : 8,0
Osmolalitas : 2,25% w/v aquadest solukan 150 – osmotik
Kelarutan : Larut dalam 18 bagian air, larut dalam 1,4 bagaian air pada suhu 100
oC
K/P : Antimikroba presevativ (Excipient, Hal. 603)
Incomp. : Incomp dengan komponen guarter, gelatin, garam feri, garam
kalsium dan garam dari heavy metalis termasuk silver, leab dan
menty. Activitas preservative mungkin jarang jika berinteraksi
dengan kaolin ataupun sufaktan non ionik.
Aqua pro injection
Nama Resmi : AQUA PRO INJECTION
Nama Lain : Aqua pro injeksi
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
Wadah : Dalam wadah tertutup kedap, disimpan dalam wadah tertutup kapas
berlemak, harus digunakan dalam waktu 30 hari setalah pembuatan
Kestabilan : Stabil secara kimia dalam bentuk fisika bagian dingan cairan uap
16 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Incomp : Bereaksi dengan obat dan bahan tambahan yang mudah terhidrolisis
(terurai karena adanya air) atau kelembaban pada suhu tinggi, bereaksi
kuat dengan logam alkali
Khasiat : Sebagai pelarut
1.3 Rancangan formulasi
R/ Tiap ml mengandung :
Diphenhydramini Hidrochloridum 10 mg
Zat tambahan yang cocok qs
Aqua Pro Injection ad 2 ml
Bahan :
1. Diphenhydramini Hidrochloridum
2. Natrinum Benzoat
3. Aqua pro injection
Perhitungan dan Penimbangan
Isotonis
Gram / 100 ml = [ F - % b/v . K ] . M’
M F’
Diketahui :
F = 0,031
% b/v = 3 %
BM HCl = 291,82
Fraksi disosiai dypen. = 2
BM NaCl = 58,5
Dypenhidramin HCl
Gram/100 ml = [ (0,031 – 3% . 2) ] . 58,5
291,82 2
= [ 0,031 – 0,034 ] . 29,25 = - 0,08775
17 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Natrium Benzoat
Gram/100 ml = [ (0,031 – 0,5% . 2) ] . 58,5
144,5 2
= [ 0,031 – 0,00694 ] . 29,25 = 0,703
Jadi, Dypenhidramin HCl + Natrium Benzoat
= - 0,08775 + 0,703 = 0,61525 (Hipertonis)
Penimbangan bahan
Volume yang akan dibuat 10 ml
1. Dypenhidramin
Per vial (10 ml) = 50 mg
= 5 % x 0,5 ml
= 5%/100 x 0,5
= 0,025 gram
= 25 mg
Jadi, 50 mg + 25 mg = 75 mg
2. Na. Benzoat 0,5 %
Per vial = 0,5/100 x 10,5 ml = 0,0525 gram
= 52,5 mg
3. Aqua Pro Injeksi
Per vial ad 10 ml = 10,5 ml
Karena volume penambahannya 0,5 ml
Alasan pemilihan bahan :
1. Dypenhidramin HCl
Dypenhidramin HCl diberikan pada alergi keras lewat intramuscular atau intravena
lambat injeksi dalam dosis 10 – 50 mg (Martindalle, Hal. 45) Injeksi dypenhidramin HCl
adalah larutan steril dypenhidramin HCl dalam air untuk injeksi. Mengandung
dypenhidramin HCl (C17H2NO.HCl) tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari jumlah
yang tertera pada etiket.
2. Na. Benzoat
18 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Sebagai Zat anti bakteri dalam konsentrasi bakteriostatik harus dimasukkan dalam
formulasi produk yang dikemas vial dosis ganda seringkali dimasukkan dalam formulasi
yang akan disterilkan dengan proses mengenal atau dibuat secara aseptis.
USP menginginkan zat-zat yang sesuai dalam sediaan resmi yang digunakan sebagai
obat suntik untuk tujuan meningkatkan kestabilan atau kegunaan, asalkan tidak dikurang
sesuai yang tercantum dalam manografi masing-masing tidak berbahaya dalam jumlah
yang diberikan dan tidak menggangu efek terapi sediaan senyawa penambahan adalah
pengawat antimikroba, dapar, penambah kelarutan, antioksidan dan zat-zat pembantu
farmasi lainnya.
Persyaratan USP adalah suatu atau lebih senyawa sesuai yang ditambahkan
keproduk parenteral yang dikemas dalam wadah dosis ganda untuk mecegah
pertambahan mikroba tanpa mengindahkan cara sterilisasi yang digunakan.
3. Aqua Pro Injection
Paling sering digunakan untuk produk steril adalah air karena air merupakan
pembawa untuk semua cairan tubuh keunggulan kualitas yang disyaratkan untuk
penggunaan tersebut diuraikan dalam monografi tentang air (water fro injection, USP)
dan kerena sediaan ini diberikan secara intravena.
Cara kerja :
1. Dypenhidramin HCl dan Na. Benzoat masing-masing digerus halus
2. Ditimbang dypenhidramin HCl dan Na. Benzoat
3. Dilarutkan Na. Benzoat dengan air ad 2 ml
4. Dypenhidramin HCl dilarutkan dalam aqua pro injeksi 5 ml lalu ditambahkan Na.
Benzoat ad 7,4 (pHnya)
5. Volumenya dicukupkan dengan aqua pro injeksi ad 10 ml dalam erlenmeyer
6. Larutkan injeksi dimasukkan dalam vial menggunakan broot sebanyal 10,5 ml
7. Sediaan steril dimasukkan kedalam autoclaf pada suhu 121 oC salam 15 menit
8. Vial diberi etiket dan dimasukkan kedalam kemasan dan diberi etiket.
ETIKET
19 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Apotik Farmasi MudaJalan UMP no 5 Purwokerto
No Batch Tgl ________Vial 10 ml
Komposisi Dypenhidramin HCl
Natrium Benzoat
Aqua pro injection
Pemakaian i.vExp. Date __________________
LABEL
1.4 Evaluasi Sediaan
1. Pemeriksaan kebocoran
Untuk mengetahui kebocoran wadah, dilakukan sebagai berikut :
a. Untuk injeksi yang disterilkan dengan pemanasan.
(i) Ampul :
disterilkannya dalam posisi terbalik dengan ujung yang dilebur disebelah bawah.
Wadah yang bocor, isinya akan kosong / habis atau berkurang setelah selesai
sterilisasi .
(ii) Vial :
setelah disterilkan , masih dalam keadaan panas, masukkan ke dalam larutan metilen
biru 0,1 % yang dingin. Wadah yang bocor akan berwarna biru, karena larutan
metilen biru akan masuk ke dalam larutan injeksi tersebut.
b. Untuk injeksi yang disterilkan tanpa pemanasan atau secara aseptik / injeksi
berwarna. Diperiksa dengan memasukkan ke dalam eksikator dan divakumkan.
Wadah yang bocor, isinya akan terisap keluar.
2. Pemeriksaan sterilitas
Digunakan untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur dan ragi yang hidup
dalam sediaan yang diperiksa. Dilakukan dengan teknik aseptik yang cocok. Sebelum
dilakukan uji sterilitas, untuk zat-zat :
a. Pengawet : larutan diencerkan dahulu, sehingga daya pengawetnya sudah tidak
bekerja lagi.
20 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
b. Antibiotik : daya bakterisidanya diinaktifkan dulu, misalnya pada Penicillin ditambah
enzym Penicillinase.
3. Pemeriksaan Pirogen
Pirogen : Berasal dari kata Pyro dan Gen artinya pembentuk demam / panas.
Pirogen adalah Zat yang terbentuk dari hasil metabolisme mikroorganisme ( bangkai
mikroorganisme ) berupa zat eksotoksin dari kompleks Polisacharida yang terikat pada
suatu radikal yang mengandung unsur Nitrogen dan Posfor, yang dalam kadar 0,001 –
0,01 gram per kg berat badan, dapat larut dalam air, tahan pemanasan, dapat menimbulkan
demam jika disuntikkan. (reaksi demam setelah 15 menit sampai 8 jam). Pirogen bersifat
termolabil. Larutan injeksi yang pemakaiannya lebih dari 10 ml satu kali pakai, harus
bebas pirogen.
Cara menghilangkan pirogen
1. Untuk alat / zat yang tahan terhadap pemanasan ( jarum suntik, alat suntik dll.)
dipanaskan pada suhu 2500 selama 30 menit
2. Untuk aqua p.i ( air untuk injeksi ) bebas pirogen :
a. Dilakukan oksidasi :
Didihkan dengan larutan H2O2 1 % selama 1 jam.
1 liter air yang dapat diminum, ditambah 10 ml larutan KMnO4 0,1 N dan 5
ml larutan 1 N, disuling dengan wadah gelas, selanjutnya kerjakan seperti
pembuatan Air untuk injeksi.
b. Dilakukan dengan cara absorpsi :
Saring dengan penyaring bakteri dari asbes. Lewatkan dalam kolom Al2O3
Panaskan dalam Arang Pengabsorpsi 0,1 % ( Carbo adsorbens 0,1% pada suhu
600 selama 5 – 10 menit ( literatur lain 15 menit ) sambil sekali-sekali diaduk,
kemudian disaring dengan kertas saring rangkap 2 atau dengan filter asbes.
Cara mencegah terjadinya pirogen :
1. Air suling segar yang akan digunakan untuk pembuatan air untuk injeksi harus
segera digunakan setelah disuling.
2. Pada waktu disuling jangan ada air yang memercik
3. Alat penampung dan cara menampung air suling harus seaseptis mungkin
Sumber pirogen :
1. Air suling yang telah dibiarkan lama dan telah tercemar bakteri dari udara.
2. Wadah larutan injeksi dan bahan-bahan seperti glukosa, NaCl dan Na-sitrat.
21 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
Uji pirogenitas :
dengan mengukur peningkatan suhu badan kelinci percobaan yang disebabkan
penyuntikan i.v sediaan uji pirogenitas. Jumlah kelinci percobaan bisa 3, 6, 9, 12 ( secara
detailnya lihat FI.ed.II )
4. Pemeriksaan kejernihan dan warna
Diperiksa dengan melihat wadah pada latar belakang hitam-putih, disinari dari
samping. Kotoran berwarna akan kelihatan pada latar belakang putih, kotoran tidak
berwarna akan kelihatan pada latar belakang hitam.
5. Pemeriksaan keseragaman bobot
Hilangkan etiket 10 wadah; Cuci bagian luar wadah dengan air; Keringkan pada
suhu 1050; Timbang satu per satu dalam keadaan terbuka ; Keluarkan isi wadah; Cuci
wadah dengan air, kemudian dengan etanol 95 % ; keringkan lagi pada suhu 1050 sampai
bobot tetap; Dinginkan dan kemudian timbang satu per satu. Bobot isi wadah tidak boleh
menyimpang lebih dari batas yang tertera , kecuali satu wadah yang boleh menyimpang
tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.
Syarat keseragam bobot seperti pada tabel berikut ini.
Bobot yang tertera pada etiket Batas penyimpangan ( % )
Tidak lebih dari 120 mg
Antara 120 mg dan 300 mg
300 mg atau lebih
10,0
7,5
5,0
6. Pemeriksaan keseragaman volume
Untuk injeksi dalam bentuk cairan, volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih dari
volume yang ditetapkan. Kelebihan volume yang dianjurkan tertera dalam daftar berikut
ini.
22 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
BAB IIIKESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Susunan Isi ( Komponen ) Obat Injeksi :
1. Bahan obat / zat berkhasiat
Dypenhidramin HClZat pembawa / zat pelarut
2. Bahan pembantu / zat tambahan
Natrium benzoat : Antibakteri
2. Pelarut Air
Aqua Pro Injeksi
4. Wadah dan tutup : Karet dan Vial
pH :7,4
Setelah sediaan dibuat setesai di buat, perlu dilakukan :
1. Pemeriksaan kebocoran.
2. Pemeriksaan sterilitas.
3. Pemeriksaan pirogenitas
4. Pemeriksaan kejernihan dan warna..
5. Pemeriksaan keseragaman bobot.
6. Pemeriksaan keseragaman volume.
23 | I n j e k s i P e l a r u t A i r
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2004.Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta : UI-
Press.
Department of Pharmaceutical Sciences. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia,
twenty-eight edition. London : The Pharmaceutical Press.
Depkes RI. 1979.Farmakope Indonesia Ed III. Jakarta.
Depkes RI. 1979.Farmakope Indonesia Ed III. Jakarta.
Depkes RI. 1978.Formularium Nasional, Ed II. Jakarta.
Wade, Ainley and Paul J Weller.Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed II.1994.London;
The Pharmaceutical Press
24 | I n j e k s i P e l a r u t A i r