LAPORAN KASUS
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN MITRAL STENOSIS BERAT
YANG MENJALANI OPERASI ISTHMOLOBECTOMY
dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn.MARS
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penderita penyakit katup jantung mencapai 2,5 % dari populasi
umum dan meningkat seiring bertambahnya usia. Angka kejadian peningkatan jumlah
ini mengakibatkan banyaknya tindakan operasi non jantung pada pasien dengan
riwayat penyakit katup jantung. Di negara Amerika Serikat (AS) angka kejadian mitral
stenosis (MS) menurun tetapi masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang
dimana prevalensi penyakit rematik masih tinggi. Seperti contoh di India, angka
kejadian demam rematik sebesar 6 : 1000, dengan hampir sepertiganya menunjukkan
gejala dan tanda penyakit jantung rematik dan MS. Di negara maju prevalensi MS yang
terdeteksi melalui ekokardiografi dengan semua penyebab sebesar 0,02- 0,2% (Frogel,
J., 2010).
Implikasi MS terhadap anestesi meliputi : pertama pengisian ventrikel kiri pada
pasien ini sangat tergantung dari kontraksi atrium. Perubahan menjadi irama sinus
harus dilakukan baik dengan obat maupun kardioversi. Takikardi dan bradikardi dapat
menyebabkan penurunan pengisian ventrikel kiri. Tetapi disisi lain pasien dengan MS
sudah terjadi peningkatan tekanan atrium kiri sehingga pemberian cairan yang agresif
dapat menyebabkan kongesti jantung dan edema pulmonum (Ycarson, 2010 dan
Sukernik, 2008). Selanjutnya adalah frekuensi jantung. Aliran darah yang melewati
katup mitral terjadi selama periode diastol ventrikel. Takikardi akan memperpendek
periode diastol, sehingga dengan meningkatkan frekuensi jantung, aliran darah yang
2
melewati katup mitral stenosis harus ditingkatkan untuk memelihara cardiac output.
Untuk meningkatkan aliran tersebut, tekanan atrium kiri juga harus ditingkatkan.
Tekanan yang tinggi di atrium kiri akan meningkatkan edema pulmonum. Pada saat
yang sama, bradikardi akan berbahaya karena stroke volume relatif menetap. Apabila
atrioventricular pacing dimulai pada pasien ini, interval PR yang panjang (0,15-0,20
msec) akan mengoptimalkan volume aliran darah yang cukup yang melewati katup
mitral stenosis setelah atrium kontraksi. Penurunan interval PR dapat menurunkan
aliran diastolik sehingga mengakibatkan penurunan cardiac output (Sukernik, 2008).
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah kontraktilitas. Aliran darah
yang adekuat akan tergantung dari kontraktilitas ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
Pengisian yang rendah dan kronis pada ventrikel kiri, akan menyebabkan
deconditioning berupa kontraktilitas ventrikel yang terdepresi walaupun sudah ada
perbaikan pengisian. Pada MS stadium terminal, depresi kontraktilitas ventrikel kiri
dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti berat. Depresi kontraktilitas ventrikel
kanan membatasi pengisian atrium kiri, dan cardiac output. Banyak pasien
memerlukan agen inotropik sebelum dan setelah cardiopulmonary bypass (Sukernik,
2008).
Pemeliharaan tekanan darah dengan cardiac output yang terbatas, pasien
dengan MS biasanya akan mengalami peningkatan SVR. Penurunan afterload tidak
akan memperbaiki aliran darah karena yang membatasi cardiac output adalah katup
mitral yang stenosis. Direkomendasikan bahwa afterload dijaga dalam batas normal
pada pasien ini (Sukernik, 2008). Pasien juga memiliki kecenderungan PVR yang
3
meningkat dan mudah mengalami vasokonstriksi pulmonal bila hipoksia. Sehingga
perlu diperhatikan untuk menghindari peningkatan tekanan arteri pulmonal karena
tidak adekuatnya anestesi atau terjadi asidosis, hiperkapnia, hipoksemia, atau
hipotermia (Sukernik, 2008).
Penatalaksanaan pasien dengan kelainan katup jantung selama periode peri
operatif membutuhkan pemahaman perubahan hemodinamik yang menyertai disfungsi
dari katup jantung. Pemilihan tehnik anestesi pada keadaan ini mempertimbangkan
perubahan status hemodinamik yang minimal. Pada laporan kasus ini mencoba
membahas tentang anestesi pada penyakit mitral srenosis.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Identitas : Ni Nyoman Mariati/ P / 55 thn /26 Mei 1963
Nomor Rekam Medik : 16036984
Status : BPJS-KIS
Ruang Rawat : Wijaya Kusuma 14
MRS : 4/9/2018 Pukul 15:21 WITA
Alamat : Tabanan
Anestesi : dr. Pontisomaya Parami, Sp. An, MARS
Bedah : dr. Ketut Widiana Sp. B (K) Onk,
Diagnosis : Solitary Nodule Thyroid Dextra
Tindakan : Isthmolobectomy Dextra
Lokasi : OK IBS
Residen : dr. Oja/ dr. Mira/ dr. Santi
Anamnesis
Keluhan utama : benjolan pada leher kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sekitar + 4 tahun SMRS pasien merasakan adanya benjolan pada leher kanan.
Pasien memeriksakan diri ke dokter dan diberikan terapi tirosol 2 mg tiap 24jam.
5
Setelah 1 tahun terapi pasien diperiksakan jantung dengna echocardiography dan
ditemukan adanya penyakit jantung rheumatik. Disarankan untuk mengkonsumsi
Warfarin 2mg tiap 24jam. Saat ini benjolan pasien tak terlihat dan tak teraba lagi. Tak
ada keluhan sesak napas, berdebar-debar, atau nyeri pada tenggorok selama 3 bulan
terakhir. BAB dan BAK masih dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu : Rheumatoid Heart Disease sejak + 3tahun SMRS,
kontrol rutin dan dalam terapi
Riwayat operasi : tidak ada
Riwayat alergi, asma, diabetes, hipertensi dan penyakit sistemik lainnya tak ada
Riwayat pengobatan :
- Warfarin 2 mg tiap 48jam PO (Terakhir 31/8/18, sudah berhenti 5hari)
- Tirosol 2 mg tiap 24jam PO (Terakhir + 3bulan SMRS)
- Spironolactone 25mg tiap 24jam PO
- Propanolol 20mg tiap 24jam PO
Riwayat Sosial :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang masih bisa menjalani kegiatan intensitas
ringan-sedang tanpa keluhan sesak nafas maupun nyeri dada.
Pemeriksaan Fisik
BB: 50kg; TB: 160cm; BMI: 20.31 kg/m2; tax: 37.1o C; NRS diam 0/10, NRS bergerak
0/10
• SSP : Compos Mentis, GCS E4V5M6
6
• Respirasi : Rate 18x/menit; simetris; vesikuler, rhonki dan
wheezing tidak ada, Saturasi O2 99% room air, Sabrazes test 25 detik
• Kardiovaskular : Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 80 x/min; S1 S2
tunggal regular, murmur (+), gallop (+) katup Mitral-trikuspid
• Gastrointestinal : distensi tidak ada, bising usus normal, nyeri tekan tak
ada
• Urogenital : Buang air kecil spontan, UO + 1.5 cc/kg/jam (Urin tampung
24jam sebanyak 1,5 botol aqua besar)
• Muskuloskeletal : Akral hangat, Capillary refill time <2detik, Fleksi
defleksi leher normal, Mallampati I, gigi utuh, gigi palsu tak ada
LARYNGOSCOPY EVALUATION
• L : Tak tampak massa pada leher
• E : Incicivus gap 3 jari, TMD 4 jari, THD 3 jari
• M : Mallampati 1
• O : Rongga mulut bebas obstruksi
• N : Mobilisasi leher bebas tanpa hambatan.
MASK VENTILATION EVALUATION
• M : Mask seal → adequate
• O : BMI 20.31
7
• A : Usia 51 th (>50th)
• N : Gigi utuh
• S : Riwayat henti napas saat tidur (-), Riwayat mendengkur (-)
Pemeriksaan Penunjang
• Darah lengkap (30/8/18) : WBC 5.6 x 103/µL (4.1-11.0); HGB 12.83 g/dL
(14.5-17.5); HCT 42.35 % (41-53); PLT 199.9 x 103/µL (150-440)
• Kimia Klinik (30/8/18) : SGOT 32.1 U/L (11-33); SGPT 27.5 U/L (11-
50); Alb 4.4 g/dL (3.4-4.8); BUN 12.4 mg/dL (8-23); SC 0.86 mg/dL (0.5-0,9);
GDS 126 mg/dL (70-140); Na 136 mmol/L (136-145); K 3.98 mmol/L (3,5-
5,1); Cl 101 mmol/L (96-108);
• Fungsi thyroid (25/5/18) : FT4 1.2 ng/dL (0.7-1.48); TSH 2.176 nIU/mL
(0.35-4.94)
• Faal Hemostasis (5/9/18) : PPT 15.8 detik (10,8-14,4); APTT 30.7 detik
(24-36); INR 1.32 (0.9-1.1)
• Thorax PA (21/8/18) : Cardiomegaly; Suspek efusi pleura kanan
8
• USG Thyroid (21/8/18) : Multipel nodul solid sebagian dengan
komponen kalsifikasi ditepinya (ukuran terbesar 1,23 x 1,13 x 1,58 cm);
Pembesaran KGB subsentimeter multipel pada regio colli kanan kiri,
mengesankan suatu atypical lymphadenopathy
• EKG (5/9/18) : AF Normo Ventricular Response, HR 75x/menit, ST-T
change tak ada, Deviasi Axis ke kanan
9
• Echo (5/9/18) : Dimensi ruang jantung LA Dilatasi; LVH concentric
remodeling; LV fungsi sistolik normal (EF biplane 58.8%); LV fungsi
diastolik undeterminate; Kontraktilitas RV menurun (TAPSE 1.56cm); LV
Wall motion global normokinetik; Katup-katup jantung: Aorta; 3cusp, tampak
kalsifikasi pada NCC dengan fusi pada katup NCC dan LCC, dengan
pergerakan minimal NCC sehingga menyebabkan AR Mild dan AS Mild.
Mitral; Tampak kalsifikasi dan penebalan katup AML dan PML dengan
pergerakan doming pada AML dan tenting pada PML sehingga menyebabkan
MS severe. Trikuspid; TR mild. Pulmonal; PR Mild. IVC eRAP 8mmHg;
Perikardium normal; Aorta normal; Tampak trombus pada LA dan LAA;
Tampak SEC di LA.
Kesimpulan: MS Severe ec RHD (dengan kalsifikasi severe); AR Mild-AS
Mild ec RHD; PR Mild, Tampak trombus di LA dan LAA, SEC (+) di LA
Permasalahan dan kesimpulan
• Permasalahan Aktual:
- KV : EKG; AF Normo Ventricular Response, HR 70x/menit,
ST-T change tak ada, Deviasi Axis ke kanan. Echo; LA Dilatasi; MS
Severe ec RHD (dengan kalsifikasi severe); AR Mild-AS Mild ec RHD;
PR Mild, Tampak trombus di LA dan LAA, SEC (+) di LA – EF 58.8%,
TAPSE 1.56cm, eRAP 8mmHg, Global normokinetik. METs 2-3
10
- Respirasi : Suspek efusi pleura kanan, Sabrazes test 25detik
- Endokrin : Nodular Thyroid Dextra saat ini dengan Euthyroid FT4 1.2
ng/dL; TSH 2.176 nIU/mL)
- Pemanjangan Faal Hemostasis (INR 1.32)
• Permasalahan potensial:
- AF → Emboli trombus → Stroke
- VT/VF, Cardiac arrest
- Parese N. Laryngeus Reccurens
- Edema laryng
• Permasalahan Pembedahan :
- Lokasi : Leher
- Posisi : Supine
- Durasi : 2-3 jam
Kesimpulan: Status Fisik ASA III
Persiapan Operasi: informed consent tindakan anestesi, puasa, STATICS, obat
anestesi dan emergency, iv line bore besar, komponen darah, arterial line, ETCO2 ,
Temperature monitor, Cold Pack, pasang NGT, Digoxin, defibrilator, Enoxaparin (post
operatif), amprah RTI
Gambar klinis pasien
11
12
Teknik Anestesi: BPSS + GA-OTT (Non Kinking)
• Premedikasi : Midazolam 1mg IV, Dexamethasone 10 mg IV,
Diphenhidramine 10mg IV, Vitamin K 10mg IM
• Analgetik : Fentanyl 150mcg IV
• Induksi : Propofol di titrasi sampai pasien hypnosis
• Fasilitasi Intubasi : Rocuronium 40 mg IV
• Maintenance : O2: Compressed Air: Sevoflurane; fentanyl
intermittent 0.5 mcg / kg BB IV tiap 45-60 menit; Rocuronium intermitten 0.15
mg / kgBB IV tiap 30-45 menit;
• Medikasi lain : Ondansetron 4mg IV
• BPSS : Bupivacaine 0,25% 10 ml tiap sisi
Durasi Operasi
Lama Operasi : 1 jam 35 menit
Lama Anestesi : 2 jam
Fluktuasi Hemodinamik
HR : 70-90 kali per menit
BP : 120-140/75-95 mmHg
RR : 16 kali per menit
SpO2 : 91-94%
Cairan Masuk
Kristaloid : 1000 ml
13
Perdarahan : 20 ml
Urin : spontan
Hasil Operasi : Solitary Nodule Thyroid Dextra
Pasca Operasi
Pasca Operasi:
Analgetik : Fentanyl 300mcg + Ketamine 20mg dalam 50c NS kecepatan 2.1
cc/jam, Parasetamol 1g tiap 8 jam intravena
Perawatan : Ruang Rawat Intensif
Hari Pertama (7 September 2018)
Klinis Penunjang Rencana
SSP : belum dapat dievaluasi
karena masih dalam pengaruh
obat
Resp. : on ventilator, SaO2 99%,
vesikular kedua paru, ronchi
- -
- -
+ +
dan wheezing tidak ada.
KV. : HR 95 x/menit, BP 83/57
mmHg, S1S2 tunggal, reguler,
Darah lengkap (7/9/2018,
pk16:12:
WBC 12,81x103/µL
(4,10-11,0); Neutrofil
87,83% (47-80); HGb
12,72/dL (13,5-17,50);
HCT 42,33% (41,0-53,0);
PLT 144,50 x103µL (150-
440)
SGOT 31,1 U/L (11-27)
F : RL 1500 ml tiap 24
jam, puasa
A : Fentanyl 300 mcg
dalam 200 cc NS dengan
kecepatan 2,1 cc/jam
intravena
S : tidak ada
T : tidak ada
H : Head up 30-45%
U : tidak ada
14
murmur (+), gallop (+) katup
Mitral-trikuspid
Abdomen : soepel, tidak ada
distensi
GU : BAK via DK, UOP 300
ml, BC – 56 ml
Muskuloskeletal : akral hangat,
CRT < 2 detik
SGPT 21,50 U/L (11-34)
Albumin 3,50
GDA 110 mg/dl (70-140)
Kreatinin 0,96 mg/dl
(0,50-0,90)
Kalsium 8.0 mg/dl (8,40 –
9,70)
AGD : Ph 7,42 (7,35-
7,45), pO2 130,70 mmHg
(80-100), pCO2 37,1
mmHg (35-45), HCO3
23,70 mmol/L (22-26),
BEecf -0,80 mmol/L (-2-
2), TCO2 24,80 mmol/L
(24,0-30,0), SO2c 98,7%
(95-100), Natrium 142
mmol/L (136-145),
Kalium 3,23 mmol/L
(3,50-5,10), Klorida 83
mmol/ L (96-108)
G : tidak ada
Terapi lain :
Ceftriaxone 2 gram tiap
24 jam IV
Furosemid 20 mg tiap 24
jam
Digoxin jika AF > 120
mmHg
Propanolol 20 mg tiap 24
jam
Spinorolakton 25 mg tiap
24 jam
Enoxaparin 0,5 cc tiap 12
jam SC
15
Follow up TS Cardio
S: Pasien dalam pengaruh obat
0: BP 83/57, HR 95 x/menit, RR
on ventilator, SpO2 97-99%
Mata: tidak anemis
Cor: S1S2 tunggal, reguler,
murmur (+), gallop (+) katup
Mitral-trikuspid
Pulmo: vesikular kedua paru,
ronchi
- -
- -
+ +
dan wheezing tidak ada.
Abdomen : soepel, tidak ada
distensi
EKG: AF NVR HR 86
x/menit
Echocardiography
7/9/2018 jam 13.09
WITA
IVSd 0,77 cm
IVSs 0,77 cm
LVIDd 2,94 cm
LVIDs 1,98 cm
LVPWd 0,96 cm
LVPWs 1,35 cm
EDV (Teich) 33,37 ml
ESV (Teich) 12,37 ml
EF (Teich) 62,94 %
SV (Teich) 21,01 ml
% FS 32,79 %
Thorax 7/9/2018 jam
19.26
Athrosklerosis Aorta
Dobutamin mulai 5
mcg/KgBB/ jam titrasi
sesuai hemidinamik
Furosemid bolus 60 mg
intravena (bila MAP > 65
atau BP > 90/60 mmHg)
Pantau produksi urin
dalam 1 jam bila > 1
cc/kgBB/jam lanjut drip
furosemide 5 mg/jam
Bila cukup lanjut
furosemide 20 mg tiap 8
jam
Digoxin 0,5 mg intravena
bolus bila HR >120
x/menit
Spinorolacton 2 mg
perenteral tiap 24 jam
16
Pleuropneumonia
bilateral
Terpasang ETT dengan
tip terproyeksi setinggi
CVTh3
Propanolol 2 miligram
parenteral tiap 24 jam
Foto Thorax AP
17
Foto Echocardiography
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Manajemen Anestesi pada Penyakit Katup Jantung
Jenis-jenis penyakit kelainan katup jantung dibagi menjadi tipe regurgitasi dan
stenosis. Tipe regurgitasi memiliki keluhan dispnu, edema pulmonal, murmur, dan
pada echocardiogram didapatkan pada Doppler gambaran regurgitasi. Sedangkan pada
yang stenosis didapatkan keluhan dispnu. edema pulmonal, murmur, sinkope,
hipotensi, penurunan pulsasi karotis, atrial fibrilasi, hipertropi ventrikel kiri dan pada
echocardiogram tampak pengurangan area katup. Perbaikan prognosis pasien dengan
penyakit katup jantung tampak lebih efektif pada pemantauan non infasif fungsi
ventrikel, pemakaian katup jantung prosthesis, merupakan teknik rekonstruksi katup
jantung yang lebih maju, dan memilih waktu yang tepat pada intervensi pembedahan
menjadi dasar petunjuk dalam pengembangan tehnik ini (Morgan GE, 2018, Bready
LL, 2012, dan Bongard FS, 2014).
3.1.1 Prolaps Katup Mitral
Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana
menggelembungnya berlebihan lapisan katup mitral (umumnya, lapisan posterior)
kedalam atrium kiri selama systole. Insidensi dari sindroma MVP yang telah
dilaporkan sekitar 10 % (kemungkinan overestimasi; insidensi tepat sedikitnya 3 %).
Suatu proliferasi miksomatus dari lapisan, annulus, dan chordae, yang menyebabkan
19
prolaps dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan rupture chordae dan mitral
regurgitation (MR) berat (Bready LL, 2012).
1. Evaluasi Klinis
Kebanyakan keluhan dari pasien dengan MVP adalah palpitasi dan dada rasa
tidak nyaman. Nyeri dada seperti angina dengan rasa ditusuk dan diiris. Pada
MR yang jelas, dapat pula terjadi gagal jantung. Terdapat klik midsistolik, yang
diikuti dengan murmur sistolik middle-to-late: semakin berat regurgitasi,
semakin panjang pula murmur. Klik timbul pada awal dan murmur bertambah
panjang pada manuver valsava (Bready LL, 2012).
2. Premedikasi
Pasien dengan MVP seringkali tampak cemas, dan takikardia, Sangatlah
penting persiapan yang tepat secara fisiologis dan farmakologis. Pasien dengan
MR membutuhkan antibiotik profilaksis sebelum operasi. Pasien tanpa
regurgitasi dapat dengan atau tanpa antibiotic (Bready LL, 2012).
3. Monitor
Monitoring standar diperlukan terutama pada MR yang meragukan. Pasien
dengan pasti MR diamati serupa dengan pasien dengan kelainan katup (Bready
LL, 2012 dan Stoelting, 2015).
4. Manajemen Anestesi
Tehnik anestesi terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau
yang menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf
atau plexus atau saddle block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat
20
setidaknya secara tiba-tiba menurunkan preload dan afterload, yang dapat
memberatkan MVP. Menghindari obat-obatan yang melepaskan histamine, dan
pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan pertimbangan terhadap efek
kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya dihindari, dan pada keadaan
dehidrasi serta penggantian cairan dan darah hendaknya secara agresif
dilakukan. Jika takikardia timbul pada keadaan euvolemia maka pengobatan
dengan beta-bloker sesuai untuk diberikan. Jika vasopressor dibutuhkan pada
keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi) maka phenylepinefrin yang
terpilih (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
5. Pemulihan
Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan status volume intravaskular
postoperatif secara terus-menerus hingga hemodinamik stabil (Bready LL,
2012).
21
Skema 1. Manajemen anestesi pada Mitral Valve Prolapse (MVP) (Bready LL, 2012)
22
3.1.2 Mitral Stenosis
Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik dengan
gambaran klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi. Pada kasus
ini, 25% merupakan murni MS, dan 40% merupakan kombinasi MS dan mitral
regurgitasi (MR). Stenosis terjadi karena fusi komissura, kalsifikasi, dan penebalan
lapisan dan chordae tendineae (Bready LL, 2012).
1. Evaluasi Klinis
Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan gangguan hemodinamik
merupakan suatu hal yang penting dalam menilai derajat beratnya MS. Gejala
utama pada MS yaitu dyspnea yang dikarenakan berkurangnya daya komplains
dari paru. Orthopnea, paroksimal nocturnal dyspnea dan dyspnea saat istirahat
seringkali berhubungan dengan tekanan atrium kiri, sekunder karena perbedaan
gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri. Gradien ini dapat berubah
secara cepat sebagai akibat perubahan cardiac output dan waktu pengisian
diastolic (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
2. Premedikasi
Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan gagal
jantung antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial
fibrillasi, diuretika dan retriksi natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari
sebelum operasi. Terdapat beberapa obat-obatan untuk mengobati hipertensi
23
pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit oxide (Bready
LL, 2012 dan Bongard FS, 2014)
3. Monitor
Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran utama pada
EKG. Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel kanan timbul akibat
hipertensi pulmonal. Gambaran rontgen dada menunjukkan pembesaran atrium
kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat sebagai
pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna dalam menilai derajat
beratnya MS dan memperkirakan gradien transvalvular. System skoring dengan
menggunakan ekokardiografi berguna dalam menilai hasil pemakaian
percutaneus ballon valvuloplasty. Cardiac catheterization juga dapat
menentukan gradien transvalvular, area katup mitral , fungsi ventrikel kiri dan
tekanan ventrikel kanan.
Takikardi memperberat hemodinamik dengan cara menurunkan waktu
diastolik. Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya dikarenakan oleh
derajat beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler pulmonal
dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang mendadak
pada volume darah dapat mecetuskan edema, gagal jantung kanan, atau atrial
fibrillasi (Morgan GE, 2018 dan Stoelting, 2015).
4. Manajemen Anestesi
Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari
hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat
24
meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload
ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung (Bready LL, 2012 dan
Bongard FS, 2014)
5. Pemulihan
Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal jantung
kanan. Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri merupakan
penyebab meningkatnya denyut jantung atau pulmonary vascular resistence
(PVR). Pemberian antibiotik dan antikoagulan dilanjutkan (Bready LL, 2012).
25
Skema 2. Manajemen anestesi pada Mitral Stenosis (Bready LL, 2012)
26
3.1.3 MITRAL REGURGITASI
Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan
menyebabkan mitral regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps katup
mitral dapat disebabkan trauma dan endokarditis. Derajat beratnya regurgitasi dan lesi
merupakan faktor yang menentukan perjalanan penyakit. MR berat akut yang
disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki prognosis yang jelek. MR ringan
kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga beberapa tahun tanpa adanya tanda-
tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan dispnoe merupakan gejala yang timbul
sebagai konsekuensi dari disfungsi ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan
manifestasi gagal jantung kongestif yang berat dan edema paru, dan kadang terdapat
kolaps kardiovaskuler dan hipotensi (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
1. Evaluasi Klinis
Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel kiri
menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara normal,
meskipun ada peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV). Pembesaran
atrium kiri dan distensible menyebabkan tekanan atrium kiri normal walaupun
pada keadaan volume regurgitasi yang besar. Stroke volume ventrikel kiri
meningkat. Pada MR akut, complains dari atrium kiri terbatas dan secara jelas
meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang menyebabkan edema pulmonal
27
serta mencetus kontraksi dan takikardia karena kompensasi simpatis (Bready
LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
2. Premedikasi
Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan akut
dan kronik MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume. Selain
itu dengan menurunkan volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran
annulus mitral dengan demikian terhadap orifisium regurgitasi. Pasien ini
seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik, karena akan
menurunkan fraksi regurgitan.
Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan
sebelum terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien
dengan disfungsi otot papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa
balon intraortic pre operatif (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
3. Monitor
Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan tekanan
arteri pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan
afterload intraoperatif akibat vasodilator memerlukan pengawasan penuh
terhadap hemodinamik (Bongard FS, 2014).
Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan
pengisian ventrikel, curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran
regurgitan dan gelombang V tidak berkorelasi dengan derajat MR (Bongard FS,
2014 dan Stoelting, 2015).
28
4. Manajemen Anestesi
Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi
ventrikel kanan. Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari, seperti
denyut jantung yang lambat (sistolik yang panjang) dan peningkatan afterload
secara mendadak. Bradikardi dapat meningkatkan volume regurgitasi akibat
peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan annulus mitral yang
melebar secara mendadak. Denyut jantung harus dipertahankan antara 80-
100x/menit. Peningkatan afterload ventrikel kiri secara mendadak, seperti
akibat intubasi endotrakeal dan stimulasi pembedahan, harus segera ditangani
tetapi tanpa depresi miokardium yang berat. Kelebihan cairan juga dapat
memperburuk regurgitasi akibat melebarnya ventrikel kiri (Bready LL, 2012
dan Bongard FS, 2014).
Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat
menghindari terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan
tahanan vaskular sistemik (SVR), sehingga membantu aliran darah dan
mencegah kongesti paru. Pasien dengan gangguan ventrikel yang berat sering
sangat sensitif dengan efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang berbahan
dasar opioid lebih cocok digunakan, karena menghindari bradikardia.
Pemilihan pankuronium sebagai relaksan otot disertai anestetik yang berbahan
dasar opioid biasanya sangat bermanfaat (Bongard FS, 2014).
29
5. Pemulihan
Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu
meningkatkan SVR (Bready LL, 2012).
Skema 3. Manajemen anestesi pada Mitral Regurgitasi (Bready LL, 2012)
30
3.1.4 AORTA STENOSIS
Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab kongenital
meliputi katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir. Penyebab didapat
meliputi kalsifikasi senilis dan penyakit jantung rematik. Pada AS karena kalsifikasi
terjadi degenerasi dari daun katup, pembentukan kalsifikasi, diikuti obstruksi akibat
stenosis. Pada AS terjadi kelebihan tekanan ventrikel kiri. Hipertropi konsentrik
mempertahankan tekanan dinding yang normal, sehingga fraksi ejeksi dipertahankan.
Tekanan sistolik yang melampaui 50 mmHg dengan curah jantung yang normal atau
muara aorta efektif <0,75 cm2 pada rata-rata ukuran dewasa biasanya dianggap sebagai
kritis obstruksi aliran ventrikel kiri. Ventrikel kiri menghadapi peningkatan secara
bertahap untuk mengatasi ejeksi. Afterload terus meningkat sampai pada saat volume
sekuncup berkurang dan ventrikel kiri mulai membesar akibat timbunan volume
(Morgan, 2018 dan Bready LL, 2012).
1. Evaluasi klinis
Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa
tetap asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan
harapan hidup kurang dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk menilai
derajat beratnya AS. Pada pasien yang menunjukkan gejala diperlukan
kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan pengukuran aortic
valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif dengan ballon
valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis dengan fungsi
ventrikel yang buruk mungkin memerlukan pembedahan penggantian katup
31
aorta untuk dapat memperbaiki gejala klinis (Bready LL, 2012 dan Bongard FS,
2014)
2. Premedikasi
Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis
infektif. Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau
penurunan tekanan darah harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh agen
volatile. Pemilihan agen penghambat neuromuscular didasarkan pada denyut
jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang menurunkan afterload dapat
menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendocardial (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
3. Monitor
Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang bertujuan
mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular yang
normal. Hipotensi harus dihindari dan preload harus dipertahankan adekuat.
Hipotensi harus segera diatas untuk mencegah penurunan tekanan perfusi
koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis kecil (50-100 ug)
dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi sangat penting
diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi subendokardial. Bradikardi akan
meningkatkan gradient katup, yang menyebabkan hipertensi sistemik dan
iskemik subendokardial. Pada EKG, iskemia akan menunjukkan depresi
segmen-ST dan kelainan gelombang-T. Takiartimia supraventrikular harus
ditangani segera karena dapat menyebabkan kekacauan hemodinamik.
32
Hilangnya sistolik atrial dapat mengganggu pengisian ventrikel kiri dan kongesti
paru yang berat. Disritmia atrial memerlukan DC kardioversi (Bready LL, 2012
dan Stoelting, 2015).
4. Manajemen Anestesi
Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik)
umumnya anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik.
Perhatian khusus diberikan pada terjadinya hipotensi akibat penurunan preload,
afterload, atau keduanya. Anestesi epidural lebih disukai karena onset hipotensi
lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih agresif (Bready LL,
2012 dan Bongard FS, 2014).
Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi
kontraindikasi. Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi
yang berbahan dasar opioid biasanya menyebabkan depresi jantung minimal,
sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-opioid seperti etomidat dan
kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen volatile,
konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium,
vasodilatasi, dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan
penghambat beta adrenergik, lebih disukai karena waktu paruhnya pendek
(Bongard FS, 2014).
5. Pemulihan
Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan
hipotermia merupakan hal yang diperhatikan post operatif (Bready LL, 2012).
33
Skema 4. Manajemen anestesi pada Aorta Stenosis (Bready LL, 2012)
34
3.1.5 AORTA INSUFISIENSI
1. Evaluasi klinis
Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat demam
rematik, atau proses degeneratif pada akar aorta yang menyebabkan kelemahan
katup pada usia lanjut. AI biasanya berkembang secara lambat dan progresif
(kronis), tetapi juga bisa berkembang secara akut. Pada AI kronis, terjadi
kelebihan volume yang menyebabkan dilatasi ventrikel kiri, hipertrofi dinding
ventrikel, dan dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat hipertrofi
yang tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding ventrikel. Pada
AI yang akut, terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang berat, yang dapat
berlanjut menjadi kegagalan ventrikel kiri. Penurunan curah jantung
mengaktifkan refleks system saraf simpatik yang meningkatkan denyut jantung
dan SVR.
Gejala yang dapat ditemui antara lain takikardi dan dispnoe akibat
kongesti vena pulmonal, serta angina akibat berkurangnya tekanan perfusi
koroner. Sedangkan pada AI yang akut dengan onset kegagalan ventrikel kiri
yang cepat tanpa kompensasi, menimbulkan gejala kolaps kardiovaskular
(kelelahan, dispnoe, dan hipotensi) (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
2. Premedikasi
Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko tinggi
untuk terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena menurunkan
SVR dengan depresi miokardium minimal. Pankuronium merupakan pilihan
35
yang baik sebagai relaksan otot karena dapat mencegah bradikardi (Bready LL,
2012 dan Bongard FS, 2014).
3. Monitor
Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100 x/menit).
Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel dapat
menghasilkan bradikardi yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi
kenaikan denyut jantung yang moderat.
Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan
perfusi sistolik, khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri.
Sebagai vasopressor untuk mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan
efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat digunakan jika terjadi hipotensi
akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif dengan
nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada
hemodinamik (Bready LL, 2012 dan Bongard FS, 2014).
4. Manajemen Anestesi
Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi umum atau regional.
Sebagian besar penderita mentoleransi dengan baik anestesi spinal dan
epidural. Anestesi umum sebaiknya menggunakan isoflurane dan desflurane
karena adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin tidak dapat
mentoleransi depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis berbahan dasar
opioid lebih sesuai (Bongard FS, 2014).
36
Skema 5. Manajemen anestesi pada Aorta Insufisiensi (Bready LL, 2012)
37
2.1.6 TRIKUSPID REGURGITASI
1. Evaluasi klinis
Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang
ditandai dilatasi dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal.
Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi pada hipertensi pulmonal dan overload
volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan
regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi
endokarditis yang sering menyertai penderita penyalahgunaan obat secara
intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya dikarenakan stenosis dari katup
tricuspid yang merupakan komplikasi dari demam rheumatic (Gurkowski,
2017).
2. Monitor
Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan dalam
batas maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume
ventrikel kanan dan pengisian dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang
tinggi pada tekanan positif ventilasi paru atau venodilatasi oleh obat dapat
menurunkan tekanan balik vena dan lambat laun akan mempengaruhi stroke
volume ventrikel kiri. Hindari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler
pulmonal seperti hypoxemia arterial dan hiperkarbia (Gurkowski, 2017).
38
Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium
kanan akan sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan
menditeksi efek yang lebih lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah
regurgitasi tricuspid (Stoelting, 2015 dan Gurkowski, 2017).
3. Manajemen anestesi
Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik
dengan satu kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup
aorta atau mitral.
Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan
dalam menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi
volatile yang dapat menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat
dipertimbangkan untuk digunakan, dan ketamin dapat digunakan karena
efeknya dalam mempertahankan aliran balik vena. Nitro-oksida adalah
vasokonstriktor yang lemahapabila dikombinasikan dengan opioid dan dapat
memperparah regurgitasi tricuspid dengan mekanisme ini. Penggunaan
nitro-oksida akan membantu mengontrol aliran darah balik vena sentral dan
kemungkinan dapat membantu meningkatkan tekanan atrium kanan
(Gurkowski, 2017).
3.2 Manajemen Anestesi pada Operasi Isthmolobectomy
3.2.1 Anatomi dan fisiologi dari kelenjar tiroid
Kata “thyroid” berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar ini
merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus
39
oleh capsula yang berasal dari lamina pretracheal fascia profunda. Capsula ini
melekatkan thyroid ke larynx dan trachea (Richard, 2017).
Kelenjar thyroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5
sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh
isthmus. Setiap lobus berbentuk seperti buah pear, dengan apex di atas sejauh
linea oblique lamina cartilage thyroidea, dengan basis di bawah pada cincin
trachea 5 atau 6 (Richard, 2017).
Gambar 1. Kelenjar thyroid (tampak depan)
Berat kelenjar thyroid bervariasi antara 20-30 gr, rata-rata 25 gr (Richard, 2017).
Dengan adanya ligamentum suspensorium Berry kelenjar thyroidea ditambatkan ke
cartilage cricoidea dari facies posteromedial kelenjar. Jumlah ligamentum ini 1 di kiri
dan kanan. Fungsinya sebagai ayunan/ gendongan kelenjar ke larynx dan mencegah
40
jatuh/ turunnya kelenjar dari larynx, terutama bila terjadi pembesaran kelenjar
(Richard, 2017).
Lapisan sel-sel folikel mempunyai kemampuan yang sangat besar dalam
mengekstrasi iodin dari dalam darah dan menggabungkannya dengan tirosin asam
amino, untuk membentuk suatu hormon tri-iodotironin (T3) aktif. Sebagian tiroksin
yang kurang aktif juga dibentuk. Tiroksin (T4) diiubah menjadi tri-iodotironin (T3) di
dalama tubuh. Senyawa ini dan intermediat tertentu disimpan dalam koloid dari folikel.
Penyimpanan ini penting, karena iodin mungkin tidak terdapat didalam diet. Dimana
dalam keadaan ini kelenjar tiroid akan membesar yang disebut Goiter (Richard, 2017).
Mekanisme pembentukan hormon Tiroid dimulai dari aktivitas hipotalamus
yang menghasilkan Thyroid Releasing Hormone (TRH). TRH akan menstimulasi
Hipofisis anterior untuk menghasilkan Thyroid Stimulating Hormon (TSH). TSH akan
menstimulasi pembentukan T3 dan T4 dalam folikel dengan menggabungkan iodin
dalam darah dan tirosin asam amino (Richard, 2017).
Pembentukan TSH dihambat oleh tingginya kadar hormon tiroid. Hormon
tiroid meningkatkan laju metabolik dari semua jaringan, mungkin dengan
meningkatkan sintesa enzim pernafasan dalam sel. Iodium merupakan semua bahan
utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang
mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap
paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk
yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan
menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk
41
dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif
meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tyroid (Richard, 2017).
Skema 6 Pembentukan Hormon Thyroid (Richard, 2017).
42
3.2.2 Isthmus
Isthmus adalah bagian kelenjar yang terletak di garis tengah dan
menghubungkan bagian bawah lobus dextra dan sinistra (isthmus mungkin juga tidak
ditemukan). Diameter transversa dan vertical ± 1,25 cm.
Pada permukaan anterior isthmus dijumpai (dari superficial ke profunda) :
- Kulit dan fascia superficialis
- V. Jugularis anterior
- Lamina superficialis fascia cervicalis profunda
- Otot-otot : M. Sternohyoideus danM. Sternothyroideus.
Permukaan posterior berhubungan dengan cincin trachea ke 3 dan 4. Pada margo
superiornya dijumpai anastomose kedua A. Thyroidea superior, lobus pyramidalis dan
Levator glandulae. Di margo inferior didapati V. Thyroidea inferior dan A. Thyroidea
ima.
Gambar 3. Topografi kelenjar thyroid (tampak belakang)
43
3.2.3 Pengobatan dan pertimbangan anastesi
- Kombinasi propofol dan potassium iodide sebelum pmeberian panastesi dan
pembedahan
- Esmolol dapat diberikan terus menerus secara intravena
- Isoflurin dan sevofluran (penanganan intaroperatif adalah pencapaina anastesi
yang dalam)
- Ketamin dan Pankuronium tidak dianjurkan karena dapat mengaktivasi
system saraf simpatis
- Tidak menambahkan epinefrin pada anastesi regional (persiapan operatif tidak
aadekuat → komplikasi bedah (Sukhminder dan Vishal, 2013).
3.2.4 Preoperatif Anastesia
- Tunda tindakan sampai klinis dan lab eutiroid baik
- Preoperatif tes
- Fungsi tiroid normal
- HR <85X/menit (saat istirahat)
- Benzodiazepin pilihan yang baik dalam penatalaksaan preoperatif sedasi
- Obat antitiroid dan β- adrenergik antagonis lanjut sampai hari operasi
- Pada bedah darurat, sirkulasi hipodinamik dapat control dengan titrasi esmolol
(Sukhminder dan Vishal, 2013).
3.3.5 Intaroperatif Anastesi
- Monitor fungsi kardiovaskular dan temperatur
- Proteksi mata
44
- Elevasi meja operasi 15-20 derajat
- Intubasi
- Hindari: Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergic
- Induksi thiopental dosis tinggi
- Anatesi dalam
- Pelumpuhan otot digunakan secara hati-hati (Sukhminder dan Vishal, 2013).
3.3.6 Pasca operasi bedah
Badai tiroid (Thyroid Storm)
- Hiperpireksia
- Takhikardia
- Hipotensi
- Perubahan kesadaran sering terjadi pada operasi pasien hipertiroid akut yang
terjadi 6-24 jam pasca bedah dan saat intraoperatif
- Bedakan dari keadaan hyperthermia maligna, feokromisotoma, anastesi yang
tidak adekuat (Sukhminder dan Vishal, 2013).
45
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pada pasien ini didapatkan beberapa masalah yang mempengaruhi manajemen
anestesi yaitu Solitary Nodule Thyroid Dextra yang diderita pasien, prediksi kesulitan
intubasi, mitral stenosis dengan berbagai komplikasinya.
Pasien ini telah menderita Solitary Nodule Thyroid Dextra sejak 4 tahun
sebelum hari dilakukan operasi sehingga kondisi yang mempengaruhi manajemen
Anestesi adalah kadar hormon tiroid harus dalam batas normal untuk mengurangi
residko dari angka kejadian badai thyroid. Pada pasien ini telah mendapatkan
pengobatan tirosol 2 mg tiap 24jam peroral dan terakhir + 3bulan SMRS sehingaa
didapatkan hasil fungsi thyroid FT4 1.2 ng/dL (0.7-1.48); TSH 2.176 nIU/mL (0.35-
4.94), sehingga dapat dilakukan anastesi general (Sukhminder, 2013).
Diagnosis mitral stenosis didapatkan dari pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis tidak didapatkan gejala-gejala kongesti paru yang diketahui
saat pemeriksaan 1 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik jantung didapatkan tekanan
darah 120/70 mmHg, Nadi 80 x/min; S1 S2 tunggal regular, murmur (+), gallop (+)
katup Mitral-trikuspid. Diagnosis banding untuk bising diastolik adalah trikuspid
stenosis,dan flow murmurs (disebabkan karena aliran darahyang meningkat yang
melewati katup mitral atau trikuspid, yaitu pada mitral regurgitasi, trikuspid
regurgitasi, ASD, VSD, dan PDA) (Vahanian, 2017).
46
Pasien mendapatkan terapi Warfarin 2 mg tiap 48jam PO (Terakhir 31/8/18,
sudah berhenti 5hari), Spironolactone 25mg tiap 24jam PO, Propanolol 20mg tiap
24jam PO. Dari obat-obatan yang diberikan tersebut, hanya warfarin yang merupakan
antikoagulan yang dihentikan 5 hari sebelum operasi sedangkan obat- obatan lainnya
diteruskan sampai hari dilakukan operasi.
Pada pemeriksaan EKG didaptakan hasil AF Normo Ventricular Response, HR
75x/menit, ST-T change tak ada, Deviasi Axis ke kanan. Pada pasien MS, atrial fibrilasi
dapat terjadi bila pada pasien ini sudah terjadi penebalan atrium kiri. Atrial fibrilasi
pada pasien ini dapat terkontrol dengan Spironolactone 25mg tiap 24 jam PO dan
Propanolol 20 mg tiap 24jam PO. Penurunan kecepatan aliran darah di atrium akan
meningkatkan resiko pembentukan trombus intra-atrial, dan emboli sistemik (Frogel,
2010 dan Ycarson 2010).
Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan MS berat dengan trombus di LA
dan LAA, sehingga pasien ini diterapi antikoagulan. Oleh karena itu, anestesiologis
harus mengetahui fungsi faktor koagulasi pada pasien ini sebelum operasi yaitu dengan
memeriksa PTT, aPTT, dan INR. Pada pasien ini didapatkan hasil PPT 15.8 detik (10,8-
14,4); APTT 30.7 detik (24-36); INR 1.32 (0.9-1.1). Seperti yang telah disebutkan
diatas, tujuan manajemen perioperatif anestesi pada pasien ini adalah mencegah
penurunan preload, mencegah terjadinya takikardi, menjaga kontraktilitas ventrikel
kanan dan kiri, menjaga SVR dalam batas normal, dan menghindari peningkatan PVR.
Obat premedikasi yaitu analgetik yaitu Fentanyl 150mcg IV, kemudian dilakukan
induksi dengan propofol di titrasi sampai pasien hypnosis.
47
Pasien dilakukan intubasi dengan Rocuronium 40 mg IV dan pemeliharaan
anestesi pada pasien ini menggunakan O2; Compressed Air; Sevoflurane; fentanyl
intermittent 0.5 mcg / kg BB IV tiap 45-60 menit; Rocuronium intermitten 0.15 mg /
kgBB IV tiap 30-45 menit. Anestesi inhalasi yang ideal untuk pasien dengan MS adalah
sevoflurane karena mempunyai efek yang minimal terhadap kardiovaskular (Morgan
GE, 2018). Selain itu pasien juga dilakukan BPSS dengan Bupivacaine 0,25% 10 ml
tiap sisi. Yang harus diperhatikan adalah kedalaman anestesi harus cukup untuk
menumpulkan respon simpatis, dan menghindari vasodilatasi dan depresi miokard
sistemik (Frogel, 2010).
Tidak digunakannya N2O untuk pemeliharaan anestesi pada pasien ini karena
N2O dapat menstimulasi sistem syaraf simpatis melalui peningkatan katekolamin
endogen, bersifat mendepresi miokard, dan mengurangi FiO2 (Morgan GE, 2018).
Fentanil kontinyu diberikan untuk mendapatkan analgetik yang adekuat pada pasien
ini. Pasien ini akan direncanakan ekstubasi karena pada pemeriksaan preoperasi
menunjukkan fungsi respirasi pasien ini masih baik walaupun didapatkan edema
pulmonum, tetapi pada pemeriksaan AGD menunjukkan oksigenasi, ventilasi, dan
perfusi pasien masih cukup baik.
Kemudian pada saat akhir operasi, SpO2 menunjukkan 99-100%, balance
cairan cukup, nilai CVP 11, hemodinamik stabil, dan ventilasi adekuat sehingga
diputuskan untuk di ekstubasi. Pada pasien ini dilakukan ekstubasi dalam. Sebenarnya
proses ekstubasi pada pasien ini mempunyai permasalahan tersendiri. Karena pasien
harus terhindar dari peningkatan hemodinamik akibat ekstubasi maka sebaiknya
48
ekstubasi dalam. Tetapi ekstubasi dalam kontradiktif dengan pasien ini karena pasien
ini termasuk sulit intubasi, sehingga apabila ventilasi tidak adekuat pasca ekstubasi
dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapni yang dapat mengakibatkan hipertensi
pulmonal yang akhirnya bisa terjadi gagal ventrikel kanan akut. Ekstubasi dalam
dilakukan pada pasien ini, dengan pertimbangan ventilasi sebelum ekstubasi sudah
adekuat (frekuensi nafas > 8 x/mnt, volume tidal > 6 cc/kgBB) dan pada saat induksi
pasien ini dapat diventilasi dengan face mask secara adekuat. Sehingga bila ventilasi
tidak adekuat pasca ekstubasi, masih dapat dibantu dengan face mask.
Perawatan pascaoperasi pasien ini adalah di Ruang intesif Terpadu untuk
mendapatkan perawatan dan monitoring intensif, serta untuk memastikan tercapainya
tujuan hemodinamik yang telah disampaikan diawal. Analgetik pascaoperasi yang
diberikan adalah Fentanyl 300mcg + Ketamine 20mg dalam 50c NS kecepatan 2.1
cc/jam, Parasetamol 1g tiap 8 jam intravena menyesuaikan dengan kebutuhan pasien.
49
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit katup jantung, khususnya mitral stenosis dan komplikasi yang
menyertainya seperti gagal jantung dan atrial fibrilasi dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas perioperatif. Penilaian preoperatif yang baik, monitoring perioperatif
yang adekuat, dan penanganan dini dari komplikasi yang timbul dapat mencegah efek
samping yang akan terjadi dan meningkatkan keluaran pasien. Manajemen anestesi
pada pasien dengan mitral stenosis meliputi memelihara irama sinus dan frekuensi
jantung normal, volume cairan intravaskular normal, dan menghindari peningkatan
PVR.
50
DAFTAR PUSTAKA
Bongard FS, Sue DY. 2014. Critical care diagnosis and treatment. 4st ed. The United
States of America. Appleton and lange. Pp: 463-77
Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. 2012, Decision making in
anesthesiology an algorithmic approach. 4rd ed. Mosby. St Louis Missouri.
Pp: 122-34
Frogel, J., dan Galusca, D. 2010. Anesthetic Considerations for Patient with Advanced
Valvular Heart Disease Undergoing Noncardiac Surgery. Anesthesiology clin;
28. Hal 67-85.
Gurkowski MA, Bracken CA. 2017. Specialty Anesthesia. 5nd ed. Mosby.
Pennsylvania.Pp: 279-89.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2018. Clinical anesthesiology. Valvular heart
disease. 5th ed. The United States of America. Appleton and lange, pp: 463-78.
Richard S. Snell, MD, PhD. 2017. Clinical Anatomy for Medical Students, Sevent
edition, New York. Page 652-653, 796.
Stoelting RK, Dierdorf SF. 2015. Anesthesia and co-existing disease. 5th ed. Churchill
livingstone. Philadelphia. Pp: 25-43
Sukernik, MR., dan Martin, DE. 2008. Anesthetic Management for the Surgical
Treatment of Valvular Heart Disease. In Hensley FA, Martin DE, and Gravlee
DP; Cardiac Anesthesia 4th edition. Lippincot Williams and Wilkins. Hal 317-
347.
Sukhminder Jit Sighn Bajwa and Vishal Sehgel. 2013. Anasthesia and Thyroid
Surgery: the Never Ending Challenges. Indian Journal Anasteshia. Doi:
10.4103/2230-8210.109671.
Vahanian, A., Baumgartner, H., Bax, J., Butchart, E., Dion, R., Filippatos, G.,
Flachskampf, F., Hall, R., Iung, R., Kasprzak, J., Nataf, P., Tornos, P.,
Torracca, L., dan Wenink, A. 2017. Guidelines on the management of valvular
heart disease; The Task Force on the Management of Valvular Heart Disease
of the European Society of Cardiology. European Heart Journal; 28. Hal 230–
268.
Ycarson. 2010. Mitral Stenosis- Etiology, Mechanics, Implication and Anes.
Management. The University of Texas Southwestern Medical Center.
Available at: www.southwestern.co.id