Top Banner
PRESENTASI KASUS A. IDENTITAS Nama : Sdr. M.A Umur : 20 tahun Alamat : Karet, Bulurejo, RT 01 RW 03, Mertoyudan, Magelang Tanggal masuk : 14 November 2014 Tanggal operasi : 14 November 2014 Diagnosis : Soft Tissue Tumor Pre-auricula Dextra B. ANAMNESIS Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 14 November 2014. Keluhan Utama : Benjolan di depan telinga kanan. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan mengeluhkan benjolan di depan telinga kanan sejak 2 minggu yang lalu. Benjolan tidak nyeri. Demam (-), mual (-), muntah (-). BAK (+) normal, BAB (+) normal, keluhan lain (-). Pasien sudah berhenti makan dan minum sejak pukul 22.00 WIB (13 November 2014). Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal. riwayat asma, gastritis, hipertensi, diabetes mellitus, dan gangguan ginjal disangkal.
30

PRESENTASI KASUS ANESTESI

Dec 09, 2015

Download

Documents

binadi

aaaa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PRESENTASI KASUS ANESTESI

PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Sdr. M.A

Umur : 20 tahun

Alamat : Karet, Bulurejo, RT 01 RW 03, Mertoyudan, Magelang

Tanggal masuk : 14 November 2014

Tanggal operasi : 14 November 2014

Diagnosis : Soft Tissue Tumor Pre-auricula Dextra

B. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 14 November 2014.

Keluhan Utama : Benjolan di depan telinga kanan.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan mengeluhkan benjolan di depan telinga kanan sejak 2 minggu

yang lalu. Benjolan tidak nyeri. Demam (-), mual (-), muntah (-). BAK (+) normal, BAB

(+) normal, keluhan lain (-). Pasien sudah berhenti makan dan minum sejak pukul 22.00

WIB (13 November 2014).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal. riwayat asma,

gastritis, hipertensi, diabetes mellitus, dan gangguan ginjal disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal serupa.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign : T : 110/70 mmHg

N : 80x/menit

S : 36,3 0C

R : 20x/menit

Page 2: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Kepala : Conjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, benjolan di depan

telinga kanan (+)

Leher : Limfonodi Tidak Teraba

Thorax : S1 S2 Reguler, BJ (-), Ictus Cordis dbn, SDV +/+, STP -/-

Abdomen : Perut datar, Bising Usus dbn, Nyeri Tekan (-)

Ektremitas : Akral hangat +/+, edema tungkai -/-, deformitas -/-.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorim

Page 3: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 15.7 g/dL 13.0 – 18.0

JUMLAH SEL DARAH

Leukosit

Eritrosit

Hematokrit

Angka Trombosit

8.6

5.6

48.7

251

103/uL

106/uL

%

103/uL

4.00 – 11.00

4.50 – 6.50

40.0 – 54.0

150 – 450

DIFF COUNT

PERSENTASE

Netrofil Segmen

Limfosit

Monosit

Eosinofil

Basofil

.

67.0

22.0

7.0

4.0

1.0

.

%

%

%

%

%

.

40 – 75

20 – 45

2 – 10

1 – 6

0 – 1

DIAMETER SEL / SIZE

RDW – CV

RDW – SD

P – LCR

14.1

45.0

17.4

%

fL

%

11.6 – 14.4

35.1 – 43.9

9.3 – 27.9

CALCULATED

MCV

MCH

MCHC

86.3

27.8

32.2

fL

pg

g/dL

76 – 96

27.5 – 32.0

30.0 – 35.0

SERO IMUNOLOGI

HBsAg Negatif Negatif

KIMIA KLINIK

Gula Darah Sewaktu 92 mg/dl 70-140

COAGULASI

Masa Pembekuan/ CT 5’00” Menit 1.00-10.000

Masa Perdarahan/ BT 2’30” Menit 2-7

Page 4: PRESENTASI KASUS ANESTESI

E. DIAGNOSIS KERJA

- Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra

- Status ASA I dengan general anestesi

F. TATALAKSANA

1. Preoperatif

Pasien telah menjalani program puasa selama 10 jam sebelum operasi dimulai.

Informed consent anestesi&bedah. Dilakukan pemasangan infus Ringer Laktat.

Keadaan pasien tenang, kooperatif, tekanan darah 121/78 mmHg, nadi 82x/menit, RR

18x/menit-spontan, suhu afebris, saturasi oksigen 100%.

2. Premedikasi

Tidak diberikan obat-obatan premedikasi.

3. Induksi

Propofol 120 mg IV

Atracurium besylate 25 mg IV

4. Intraoperatif (durasi operasi 30 menit)

Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi, dan saturasinya.

Pasien diberi anestesi inhalasi berupa sevoflurane, isoflurane, N2O, dan O2. Operasi

berlangsung selama 30 menit. Anestesi berlangsung selama 60 menit.

Pukul 08.55 : drip dexketoprofen 50 mg dalam Ringer Laktat 500 cc

Injeksi granisetron 1 mg IV

5. Recovery

Pukul 09.45 : Pasien mulai sadar penuh (GCS E3V5M6), tekanan darah 103/76

mmHg, nadi 78x/menit, saturasi oksigen 99%.

Pasien dipindahkan ke recovery room, diobservasi keadaan post-operasi dan

anestesinya, dipastikan supaya infus Ringer Laktat 500 cc masuk sebagai pengganti

cairan. Post Anesthesia Disharge Scoring System berjumlah 10, pasien dapat

dipulangkan.

G. KESIMPULAN

1. Diagnosis pre-operatif : Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra

2. Diagnosis Pasca Bedah : Post Ekstirpasi Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra

Page 5: PRESENTASI KASUS ANESTESI

3. Status Fisik : ASA I

4. Jenis Anestesi : General Anestesi

5. Teknik Anestesi : GETA, dengan ET no.7, induksi IV, Assissted Respiratory,

Semi-closed System

PEMBAHASAN

A. Pendahuluan

Page 6: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Anestesi bedah rawat jalan dirancang untuk memenuhi kebutuhan bedah rawat

jalan sehingga pasien dapat cepat pulih dan pulang setelah pembedahan rawat jalan.

Tujuan utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih

efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah sakit

serta pihak yang membayar. Faktor utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah

penekanan biaya tetapi tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas

akibat prosedur pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar

dibandingkan dengan pasien rawat inap. Keuntungan bagi pasien dengan teknik bedah

rawat jalan ini adalah mengurangi biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu

berpisah dengan keluarga dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu

tunggu untuk pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak

bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien lebih

fleksibel dalam memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat inap,

pemeriksaan laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.

Pengelolaan anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan akan menghasilkan

kondisi pembedahan yang terbaik, pemulihan yang cepat, tidak ada komplikasi

pascabedah, dan tercapai kepuasan pasien yang setinggi-tingginya. Kontroversi terkini

dalam bedah rawat jalan mencakup keseluruhan aspek bedah rawat jalan pada pasien

dewasa termasuk pemilihan pasien, evaluasi dan persiapan prabedah, pemeriksaan

labaratorium sebagai skrining, pemilihan teknik anestesi, konsep fast-track, pemulihan

dan pemulangan pasien pascabedah, penanganan komplikasi pasca bedah (nyeri dan

mual muntah) serta penatalaksanaan pasien setelah keluar dari rumah sakit.

B. Pemilihan Pasien

Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat

jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang ditentukan oleh

kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration, prosedur pembedahan,

teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan ahli anestesi.

Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada

sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan. Penyelesaiannya

adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang paling pagi.

Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan peralihan

dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal ini juga

berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat jalan dan

Page 7: PRESENTASI KASUS ANESTESI

dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks, dimana pada masa lalu

dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu mengenai seleksi pasien makin

membesar karena hanya sedikit data dan penelitian mengenai kriteria dalam seleksi

pasien ini. Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status

ASA I dan ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang

digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat

jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.

Penelitian yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode pemilihan

pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria pemilihan pasien

untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat keparahan kondisi medis masih

berhubungan dengan opini ahli anestesi untuk menerima atau menolak prosedur bedah

rawat jalan. Dalam penelitian tersebut tidak ditentukan jenis operasi khusus yang akan

dilakukan.

University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien

yang tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:

- Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable.

Pasien dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi pre-operatif oleh ahli anestesi,

kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan

penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk operasi setelah

kondisinya stabil.

- Malignant Hyperpyrexia.

Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia ataupun suspek malignant

hyperpyrexia.

- Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO).

Karena instabilitas hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada

pasien yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu

sebelum operasi.

- Morbidly Obesity (MO) – Obesitas Morbid Kompleks dan Sleep Apneu Kompleks.

Walaupun pasien dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa

penyakit sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi

pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan jantung,

paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep apneu kompleks.

- Ketagihan obat-obatan akut.

Page 8: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen anestetik diberikan pada

seseorang yang ketergantungan obat-obatan.

- Kesulitan psikososial.

Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik bedah rawat jalan tidak

dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat jalan harus dalam

pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.

C. Evaluasi Pre-operatif

Setiap fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining

prabedah sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah orang yang

terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien, meyakinkan pasien diskrining

dan dievaluasi secara tepat. Juga harus mengingatkan pasien tentang jadwal datang ke

rumah sakit, restriksi makanan (puasa), pakaian yang harus dipakai, transportasi ke

rumah sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota keluarga lain yang ditinggalkan serta

harus ada orang dewasa yang mengantar pulang ke rumah dari rumah sakit setelah

selesai operasi.

Disamping untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang

dilakukan ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah medis,

mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan demikian

dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.

D. Persiapan Pasien

Persiapan pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan agar

tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi. Restriksi

makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:

1. Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat aspirasi isi

lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat 6-8 jam sebelum

operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi dilakukan pagi hari) yang

harus disampaikan secara lisan dan tertulis.

2. Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2 jam

sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:

a. Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada saat induksi

anestesi.

b. Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.

Page 9: PRESENTASI KASUS ANESTESI

c. Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi adalah

menurunnya kejadian sakit kepala setelah operasi.

Pemberian obat-obatan yang biasa dipakai pasien sebelum operasi:

- Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi.

- Obat-obat untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-

amine oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai

untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan.

- Pemberian aspirin dapat terus dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada

operasi minimal. Pada operasi besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan

mulai 7 hari prabedah.

Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada

indikasi. Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi

ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.

E. Persiapan pada Hari Operasi

Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-

perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien

melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan

menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula

intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila

diperlukan.

Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien yang

dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas, nyeri

pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila terjadi

aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi tidak

memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat. Benzodiazepin adalah

obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan kecemasan dan memberikan sedasi

untuk pasien bedah rawat jalan. Opioid mungkin digunakan prabedah untuk

menimbulkan efek sedasi, mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk

menurunkan nyeri setelah operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan

masih kontroversi. Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah

hipoventilasi, gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien

bedah rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi

anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena. Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam

Page 10: PRESENTASI KASUS ANESTESI

tidak menjadi masalah, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat

puasa. Pemasangan kateter intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja.

Kebutuhan untuk pemberian cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial.

Untuk operasi yang sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan

pemberian cairan dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum

segera setelah operasi selesai dan bangun penuh.

Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko

aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang dirawat.

Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasien-pasien tertentu

misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau parturien. Obat-obat profilaksis untuk

mencegah aspirasi adalah:

H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin

Substitusi benzimidazol: omeprazol

Antasida non partikel: sodium sitrat

Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid

F. Pemeriksaan Laboratorium Sebagai Skrining

Roizen menyarankan untuk dilakukan seminimal mungkin pemeriksaan

laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien dengan baseline

disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan pemeriksaan lanjutan

(EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak mengharuskan dilakukan

pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil penelitian Schein dan kawan-kawan pada pasien

geriatri yang akan dilakukan operasi katarak dengan lokal anestesi dan sedasi tidak

didapatkan perbedaan yang signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok

yang dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin,

glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.

Sampai saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan

pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien yang

akan dilakukan bedah rawat jalan.

G. Pemilihan Teknik Anestesi

Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien,

prosedur pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan.

Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:

Page 11: PRESENTASI KASUS ANESTESI

1. Anestesi umum

2. Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi

3. Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi, ahli

anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien

4. Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan

Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik

dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu

skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan

pasien.

Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:

1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima

2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery)

3. Tidak ada efek samping pascabedah

4. Kepuasan pasien

Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam

peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar

operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping. Belakangan,

penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak ahli anestesi

sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat jalan.

Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti

volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas

otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai

kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum.

Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of

choice pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi propofol

menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki klirens metabolik yang

cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat

dikurangi dengan pemakaian vena besar atau didahului maupun dicampur pemberiannya

dengan lidokain. Propofol juga sering dipakai untuk maintenance anestesi. Pemakaian

propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi Prevention of Nausea and Vomitting

(PONV) bila dibandingkan dengan maintenance anestesi dengan inhalasi.

Etomidat juga sering dipakai pada induksi bedah rawat jalan dengan dosis 0,3

mg/kgbb. Masalah nyeri akibat etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti

Page 12: PRESENTASI KASUS ANESTESI

pelarut etomidat dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat

diatasi dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi.

Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility yang

rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan aman. Insidensi kejadian

komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan kualitas induksinya sama baik bahkan

lebih dibandingkan halotan. Sevofluran dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi

yang baru diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua obat

ini dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery yang cepat dari anestesi.

Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih terkendali. Kekurangannya, obat ini

lebih mahal dibanding obat anestesi inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran, desfluran

tidak dapat dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif terhadap saluran

napas.

Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-

depolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya mialgia,

malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin memberikan

onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko aspirasi isi lambung.

Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila ada keraguan bahwa masih

ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa pemberian prostigmin dapat

meningkatkan kejadian muntah.

Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama

anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja yang lebih

singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif.

Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid

recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi,

kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak

meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang sama.

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada anestesi

umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat jalan adalah spinal

anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi, regional anestesi intravena

dan infiltrasi. Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien

(discharge) dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual blokade

motorik, efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan dalam delayed ambulation

serta void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik

spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl, lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg) atau

Page 13: PRESENTASI KASUS ANESTESI

bupivakain (3-6 mg) dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 µg atau sufentanil 5-

10 µg) menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function lebih cepat dibanding

dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan cost-

effectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan nausea

akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis kecil pada blok

subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi termasuk back pain, Post Dural

Puncture Headache (PDPH), dan transient radicular irritation karena lidokain.

Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas

terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored

Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut

dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi).

Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi lokal

infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam pembedahan. Kepuasan

pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan efektifitas terhadap pengendalian

nyeri dan tidak adanya efek samping pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi

spinal atau anestesi umum.

H. Konsep Fast-track Anesthesia

Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal

tahun 1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah sakit

dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip utama pada fast-

track anesthesia adalah pasien tidak melewati Post-Anesthesia Care Unit (PACU) (fase I

recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan fase

2 (fase II recovery). Keuntungan fast-track anesthesia:

Pemulihan cepat

Mengurangi lama tinggal di rumah sakit

Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi

Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih menyenangkan

Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan

Kerugian fast-track anesthesia:

Kehilangan pendapatan rumah sakit

Meningkatnya risiko komplikasi pascabedah

Diperlukan training perawat

Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2

Page 14: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.

Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track

anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa

digunakan sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada

pasien bedah rawat jalan terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup

komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam

sistem skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai

dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru ini memiliki

kelebihan dibanding modified Aldrete’s scoring system dalam penilaian kelayakan

pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat jalan

dengan anestesi umum.

Tabel 1. Fast Track Criteria

Kesadaran Nilai

Sadar penuh 2

Respon terhadap rangsang minimal 1

Respon hanya bila dirangsang fisik 0

Aktifitas fisik

Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah 2

Ada kelemahan pada bagian anggota gerak 1

Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak 0

Stabilitas hemodinamik

Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal 2

Tekanan darah, 15%–30% dari nilai MAP awal 1

Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal 0

Stabilitas respirasi

Mampu bernafas dalam 2

Takipneu tapi mampu batuk 1

Dispneu dan tidak mampu batuk 0

Saturasi oksigen

Saturasi > 90% dengan udara bebas 2

Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul 1

Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan 0

Nyeri pascabedah

Tidak ada atau minimal 2

Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV 1

Page 15: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Nyeri berat yang menetap 0

Muntah pascabedah

Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah 2

Muntah kadang-kadang 1

Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat 0

Nilai total 14

Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek

durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil) membuka jalan

untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum, penggunaan analgetik preemtif

non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitors, ibuprofen, dan

parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol, metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan

deksametason) akan mengurangi efek samping pascabedah serta akan mempercepat

pemulihan pada early dan late recovery pada bedah rawat jalan.

I. Pemulihan (Recovery)

Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang

saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late recovery.

Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun,

kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate

recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery

mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum

pembedahan.

Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk

keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi,

sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse

oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu

modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan

SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.

Table 2. Modified Aldrete Scoring System

Page 16: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-

track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase I recovery.

Dengan teknik fast-track pasien dari kamar bedah langsung di pindahkan ke ruang pemulihan

fase II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan

biaya sehingga akan menguntungkan pasien. Kriteria yang dipakai untuk fast-track ini

berbeda dengan modifikasi sistem Aldrete (tabel 2). Sistem skoring ini mempertimbangkan

faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.

J. Pemulangan (Discharge)

Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang

tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan

kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After

Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System). PADSS

merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk

dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan

Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas

4 ekstremitas 2

2 ekstremitias 1

0 ekstremitias 0

Respirasi

Mampu nafas dalam dan batuk 2

Dispneu atau nafas terbats 1

Apneu 0

Sirkulasi

BP 6 ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi 2

BP 6 ± 20–50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 1

BP 6 ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 0

Kesadaran

Sadar penuh 2

Respon bila dipanggil 1

Tidak ada respon 0

Saturasi oksigen

Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas 2

Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1

Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0

Page 17: PRESENTASI KASUS ANESTESI

mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan

kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu.

Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:

1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)

2. Ambulasi

3. Mual/muntah

4. Nyeri

5. Perdarahan akibat pembedahan

Bila skor mencapai ≥ 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.

Tabel 3. Modified Post-Anesthesia Discharge Scoring System (PADSS)

Tanda vital

2 = sekitar 20% dari nilai prabedah

1 = 20 – 40% dari nilai prabedah

0 = 40% dari nilai prabedah

Pergerakan

2 = mampu berdiri/tidak ada pusing

1 = dengan bantuan

0 = tidak ada pergerakan/pusing

Mual/muntah

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

Nyeri

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

Perdarahan

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

*Total nilai 10. Bila nilai ≥ 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan.

Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan pasien.

Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman untuk

dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya retensi urin

Page 18: PRESENTASI KASUS ANESTESI

pascabedah termasuk: (1)Riwayat retensi urin pascabedah (2) Anestesi spinal/epidural

(3) Pembedahan pelvis/urologi (4) Kateterisasi perioperatif. Retensi urin pascabedah

dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan

yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek

sisa dari anestesi spinal atau epidural.

Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat

pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak terdapat

pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang telah memiliki

toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien dipulangkan.

K. Penanganan Komplikasi Pasca-operatif

Penanganan yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan

PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan.

1. Pengelolaan nyeri

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan

antara lain jenis pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi,

faktor demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon

emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Pengelolaan nyeri pascabedah

harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat prabedah untuk menjamin pemulihan

yang bebas nyeri.

Analgesi multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan

penggunaan lebih dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis

analgetik dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan

penggunaan opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan

pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar

dalam pelaksanaan prosedur fast-track.

2. Pengelolaan PONV

Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) masih merupakan masalah

yang umum pada bedah rawat jalan. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:

Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi regional.

Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.

Menghindari pemakaian N2O.

Menghindari pemakaian obat anestesi volatil

Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.

Page 19: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Meminimalkan pemakaian prostigmin

Pemberian cairan yang adekuat.

Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa

termasuk :

5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron, dolasetron,

granisetron, dan tropisetron)

Steroid (seperti deksametason)

Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)

Penylethylamine (efedrin)

Butyrophenones (droperidol, haloperidol)

Antihistamin (dimenhidrinat)

Antikolinergik (skopolamin transdermal)

Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus

dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah diberikan,

antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3. Dosis antagonis 5-HT3

yang digunakan untuk terapi lebih kecil dibanding dosis profilaksis. Alternatif terapi

lain adalah dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-12,5

mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien

yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.

L. Kesimpulan

1. Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah

rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga terus mengalami

peningkatan.

Page 20: PRESENTASI KASUS ANESTESI

2. Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam tim bedah

rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.

3. Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi

prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek pada

outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara keseluruhan

terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka mencari

strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih cost-

effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga menjamin

kepuasan pasien.

4. Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non farmakologi yang

lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam pengelolaan komplikasi

pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan memaksimalkan keuntungan teknik bedah

rawat jalan serta outcome pasien yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.

Page 21: PRESENTASI KASUS ANESTESI

Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey

of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.

White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the

anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical

care. Anesth Analg 2007; 104: 1380-96.

White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison

with the modified aldrete’s scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.

Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery. Anesth

Analg 1999; 88: 508-17.

Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS, et al. Society for ambulatory

anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth

Analg 2007; 105: 1615–28.