Page 1
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Sdr. M.A
Umur : 20 tahun
Alamat : Karet, Bulurejo, RT 01 RW 03, Mertoyudan, Magelang
Tanggal masuk : 14 November 2014
Tanggal operasi : 14 November 2014
Diagnosis : Soft Tissue Tumor Pre-auricula Dextra
B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 14 November 2014.
Keluhan Utama : Benjolan di depan telinga kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan mengeluhkan benjolan di depan telinga kanan sejak 2 minggu
yang lalu. Benjolan tidak nyeri. Demam (-), mual (-), muntah (-). BAK (+) normal, BAB
(+) normal, keluhan lain (-). Pasien sudah berhenti makan dan minum sejak pukul 22.00
WIB (13 November 2014).
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal. riwayat asma,
gastritis, hipertensi, diabetes mellitus, dan gangguan ginjal disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan hal serupa.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : T : 110/70 mmHg
N : 80x/menit
S : 36,3 0C
R : 20x/menit
Page 2
Kepala : Conjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, benjolan di depan
telinga kanan (+)
Leher : Limfonodi Tidak Teraba
Thorax : S1 S2 Reguler, BJ (-), Ictus Cordis dbn, SDV +/+, STP -/-
Abdomen : Perut datar, Bising Usus dbn, Nyeri Tekan (-)
Ektremitas : Akral hangat +/+, edema tungkai -/-, deformitas -/-.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorim
Page 3
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15.7 g/dL 13.0 – 18.0
JUMLAH SEL DARAH
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Angka Trombosit
8.6
5.6
48.7
251
103/uL
106/uL
%
103/uL
4.00 – 11.00
4.50 – 6.50
40.0 – 54.0
150 – 450
DIFF COUNT
PERSENTASE
Netrofil Segmen
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
.
67.0
22.0
7.0
4.0
1.0
.
%
%
%
%
%
.
40 – 75
20 – 45
2 – 10
1 – 6
0 – 1
DIAMETER SEL / SIZE
RDW – CV
RDW – SD
P – LCR
14.1
45.0
17.4
%
fL
%
11.6 – 14.4
35.1 – 43.9
9.3 – 27.9
CALCULATED
MCV
MCH
MCHC
86.3
27.8
32.2
fL
pg
g/dL
76 – 96
27.5 – 32.0
30.0 – 35.0
SERO IMUNOLOGI
HBsAg Negatif Negatif
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 92 mg/dl 70-140
COAGULASI
Masa Pembekuan/ CT 5’00” Menit 1.00-10.000
Masa Perdarahan/ BT 2’30” Menit 2-7
Page 4
E. DIAGNOSIS KERJA
- Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra
- Status ASA I dengan general anestesi
F. TATALAKSANA
1. Preoperatif
Pasien telah menjalani program puasa selama 10 jam sebelum operasi dimulai.
Informed consent anestesi&bedah. Dilakukan pemasangan infus Ringer Laktat.
Keadaan pasien tenang, kooperatif, tekanan darah 121/78 mmHg, nadi 82x/menit, RR
18x/menit-spontan, suhu afebris, saturasi oksigen 100%.
2. Premedikasi
Tidak diberikan obat-obatan premedikasi.
3. Induksi
Propofol 120 mg IV
Atracurium besylate 25 mg IV
4. Intraoperatif (durasi operasi 30 menit)
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi, dan saturasinya.
Pasien diberi anestesi inhalasi berupa sevoflurane, isoflurane, N2O, dan O2. Operasi
berlangsung selama 30 menit. Anestesi berlangsung selama 60 menit.
Pukul 08.55 : drip dexketoprofen 50 mg dalam Ringer Laktat 500 cc
Injeksi granisetron 1 mg IV
5. Recovery
Pukul 09.45 : Pasien mulai sadar penuh (GCS E3V5M6), tekanan darah 103/76
mmHg, nadi 78x/menit, saturasi oksigen 99%.
Pasien dipindahkan ke recovery room, diobservasi keadaan post-operasi dan
anestesinya, dipastikan supaya infus Ringer Laktat 500 cc masuk sebagai pengganti
cairan. Post Anesthesia Disharge Scoring System berjumlah 10, pasien dapat
dipulangkan.
G. KESIMPULAN
1. Diagnosis pre-operatif : Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra
2. Diagnosis Pasca Bedah : Post Ekstirpasi Soft Tissue Tumor Preauricula Dextra
Page 5
3. Status Fisik : ASA I
4. Jenis Anestesi : General Anestesi
5. Teknik Anestesi : GETA, dengan ET no.7, induksi IV, Assissted Respiratory,
Semi-closed System
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Page 6
Anestesi bedah rawat jalan dirancang untuk memenuhi kebutuhan bedah rawat
jalan sehingga pasien dapat cepat pulih dan pulang setelah pembedahan rawat jalan.
Tujuan utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih
efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah sakit
serta pihak yang membayar. Faktor utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah
penekanan biaya tetapi tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas
akibat prosedur pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar
dibandingkan dengan pasien rawat inap. Keuntungan bagi pasien dengan teknik bedah
rawat jalan ini adalah mengurangi biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu
berpisah dengan keluarga dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu
tunggu untuk pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak
bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien lebih
fleksibel dalam memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat inap,
pemeriksaan laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat pascabedah.
Pengelolaan anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan akan menghasilkan
kondisi pembedahan yang terbaik, pemulihan yang cepat, tidak ada komplikasi
pascabedah, dan tercapai kepuasan pasien yang setinggi-tingginya. Kontroversi terkini
dalam bedah rawat jalan mencakup keseluruhan aspek bedah rawat jalan pada pasien
dewasa termasuk pemilihan pasien, evaluasi dan persiapan prabedah, pemeriksaan
labaratorium sebagai skrining, pemilihan teknik anestesi, konsep fast-track, pemulihan
dan pemulangan pasien pascabedah, penanganan komplikasi pasca bedah (nyeri dan
mual muntah) serta penatalaksanaan pasien setelah keluar dari rumah sakit.
B. Pemilihan Pasien
Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat
jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang ditentukan oleh
kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration, prosedur pembedahan,
teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan ahli anestesi.
Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada
sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan. Penyelesaiannya
adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang paling pagi.
Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan peralihan
dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal ini juga
berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat jalan dan
Page 7
dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks, dimana pada masa lalu
dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu mengenai seleksi pasien makin
membesar karena hanya sedikit data dan penelitian mengenai kriteria dalam seleksi
pasien ini. Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status
ASA I dan ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang
digolongkan pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat
jalan asalkan penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.
Penelitian yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode pemilihan
pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria pemilihan pasien
untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat keparahan kondisi medis masih
berhubungan dengan opini ahli anestesi untuk menerima atau menolak prosedur bedah
rawat jalan. Dalam penelitian tersebut tidak ditentukan jenis operasi khusus yang akan
dilakukan.
University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien
yang tidak dapat dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:
- Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable.
Pasien dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi pre-operatif oleh ahli anestesi,
kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama dengan
penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan untuk operasi setelah
kondisinya stabil.
- Malignant Hyperpyrexia.
Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia ataupun suspek malignant
hyperpyrexia.
- Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO).
Karena instabilitas hemodinamik yang berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada
pasien yang sedang dalam terapi MAO, obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu
sebelum operasi.
- Morbidly Obesity (MO) – Obesitas Morbid Kompleks dan Sleep Apneu Kompleks.
Walaupun pasien dengan riwayat sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa
penyakit sistemik merupakan calon bedah rawat jalan, rawat inap dan observasi
pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese dengan disertai gangguan jantung,
paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan riwayat sleep apneu kompleks.
- Ketagihan obat-obatan akut.
Page 8
Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen anestetik diberikan pada
seseorang yang ketergantungan obat-obatan.
- Kesulitan psikososial.
Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik bedah rawat jalan tidak
dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat jalan harus dalam
pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.
C. Evaluasi Pre-operatif
Setiap fasilitas bedah rawat jalan harus mengembangkan metode skrining
prabedah sebelum hari operasi. Dalam bedah rawat jalan ahli anestesi adalah orang yang
terlibat langsung pada perawatan dan tatalaksana pasien, meyakinkan pasien diskrining
dan dievaluasi secara tepat. Juga harus mengingatkan pasien tentang jadwal datang ke
rumah sakit, restriksi makanan (puasa), pakaian yang harus dipakai, transportasi ke
rumah sakit, maupun kebutuhan perawatan anggota keluarga lain yang ditinggalkan serta
harus ada orang dewasa yang mengantar pulang ke rumah dari rumah sakit setelah
selesai operasi.
Disamping untuk mengurangi rasa cemas pasien, evaluasi prabedah yang
dilakukan ahli anestesi juga bertujuan untuk mengidentifikasi potensi masalah medis,
mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan demikian
dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.
D. Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang matang dalam bedah rawat jalan perlu dilakukan agar
tercapai kondisi yang optimal bagi pasien yang akan menjalani operasi. Restriksi
makanan dan minuman sebelum operasi bedah rawat jalan:
1. Untuk menurunkan risiko pneumonitis dan obstruksi jalan napas akibat aspirasi isi
lambung, pasien secara rutin diminta tidak makan makanan padat 6-8 jam sebelum
operasi. Atau puasa setelah tengah malam (bila operasi dilakukan pagi hari) yang
harus disampaikan secara lisan dan tertulis.
2. Kebutuhan untuk melarang minum cairan pada periode prabedah (sampai 2 jam
sebelum induksi anestesi) masih dievaluasi, karena:
a. Minum cairan jernih tidak meningkatkan volume cairan lambung pada saat induksi
anestesi.
b. Aman minum air sampai 150 ml pada saat minum obat.
Page 9
c. Salah satu keuntungan mengizinkan minum kopi pada peminum kopi adalah
menurunnya kejadian sakit kepala setelah operasi.
Pemberian obat-obatan yang biasa dipakai pasien sebelum operasi:
- Obat-obat anti hipertensi tetap diminum sampai hari operasi.
- Obat-obat untuk merubah perasaan seperti fluoxetin, trisiklik anti depresan, mono-
amine oxidase inhibitor, dan lithium dapat terus diberikan tetapi harus diwaspadai
untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat-obatan.
- Pemberian aspirin dapat terus dilakukan terutama bila resiko perdarahan pada
operasi minimal. Pada operasi besar/risiko perdarahan besar aspirin dihentikan
mulai 7 hari prabedah.
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada
indikasi. Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi
ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.
E. Persiapan pada Hari Operasi
Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-
perubahan yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien
melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan
menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula
intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila
diperlukan.
Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien yang
dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas, nyeri
pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila terjadi
aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi tidak
memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat. Benzodiazepin adalah
obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan kecemasan dan memberikan sedasi
untuk pasien bedah rawat jalan. Opioid mungkin digunakan prabedah untuk
menimbulkan efek sedasi, mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk
menurunkan nyeri setelah operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan
masih kontroversi. Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah
hipoventilasi, gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien
bedah rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi
anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena. Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam
Page 10
tidak menjadi masalah, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat
puasa. Pemasangan kateter intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja.
Kebutuhan untuk pemberian cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial.
Untuk operasi yang sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan
pemberian cairan dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum
segera setelah operasi selesai dan bangun penuh.
Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko
aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang dirawat.
Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasien-pasien tertentu
misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau parturien. Obat-obat profilaksis untuk
mencegah aspirasi adalah:
H2 receptor antagonist: cimetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin
Substitusi benzimidazol: omeprazol
Antasida non partikel: sodium sitrat
Obat-obat gastrokinetik: metoclopramid
F. Pemeriksaan Laboratorium Sebagai Skrining
Roizen menyarankan untuk dilakukan seminimal mungkin pemeriksaan
laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien dengan baseline
disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan pemeriksaan lanjutan
(EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak mengharuskan dilakukan
pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil penelitian Schein dan kawan-kawan pada pasien
geriatri yang akan dilakukan operasi katarak dengan lokal anestesi dan sedasi tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan terhadap safety pembedahan antara kelompok
yang dilakukan pemeriksaan prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin,
glukosa) dan kelompok yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.
Sampai saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan
pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien yang
akan dilakukan bedah rawat jalan.
G. Pemilihan Teknik Anestesi
Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien,
prosedur pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan.
Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:
Page 11
1. Anestesi umum
2. Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
3. Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi, ahli
anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
4. Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan
Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik
dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu
skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan
pasien.
Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:
1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima
2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery)
3. Tidak ada efek samping pascabedah
4. Kepuasan pasien
Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam
peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar
operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping. Belakangan,
penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak ahli anestesi
sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat jalan.
Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti
volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas
otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai
kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum.
Induksi anestesi sering dilakukan dengan propofol. Propofol menjadi drug of
choice pada anestesi bedah rawat jalan. Setelah bolus saat induksi konsentrasi propofol
menurun secara cepat dalam plasma. Propofol juga memiliki klirens metabolik yang
cepat, sekitar 10x lebih cepat dibanding thiopental. Rasa sakit akibat suntikan dapat
dikurangi dengan pemakaian vena besar atau didahului maupun dicampur pemberiannya
dengan lidokain. Propofol juga sering dipakai untuk maintenance anestesi. Pemakaian
propofol sebagai maintenance mengurangi insidensi Prevention of Nausea and Vomitting
(PONV) bila dibandingkan dengan maintenance anestesi dengan inhalasi.
Etomidat juga sering dipakai pada induksi bedah rawat jalan dengan dosis 0,3
mg/kgbb. Masalah nyeri akibat etomidat sekarang dapat dikurangi dengan mengganti
Page 12
pelarut etomidat dengan trigliserida rantai sedang, sedangkan masalah mioklonus dapat
diatasi dengan pemberian fentanil, sufentanil sebelum induksi anestesi.
Sevofluran dengan sifat tidak iritatif terhadap saluran napas dan solubility yang
rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat dan aman. Insidensi kejadian
komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan kualitas induksinya sama baik bahkan
lebih dibandingkan halotan. Sevofluran dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi
yang baru diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua obat
ini dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery yang cepat dari anestesi.
Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih terkendali. Kekurangannya, obat ini
lebih mahal dibanding obat anestesi inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran, desfluran
tidak dapat dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif terhadap saluran
napas.
Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting non-
depolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya mialgia,
malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin memberikan
onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko aspirasi isi lambung.
Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila ada keraguan bahwa masih
ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa pemberian prostigmin dapat
meningkatkan kejadian muntah.
Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi selama
anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja yang lebih
singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif.
Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus dicapai rapid
recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat anestesi dibatasi,
kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan anestesi umum tidak
meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan tatalaksana anestesi yang sama.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman daripada anestesi
umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat jalan adalah spinal
anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi, regional anestesi intravena
dan infiltrasi. Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien
(discharge) dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual blokade
motorik, efek simpatolitik dari blok subarakhnoid, berperan dalam delayed ambulation
serta void inability. Efek samping ini dapat diminimalisasi dengan pemakaian teknik
spinal anestesi mini-dose lidocaine fentanyl, lidokain dosis lebih kecil (15-30 mg) atau
Page 13
bupivakain (3-6 mg) dikombinasi dengan opioid (fentanil 12,5-25 µg atau sufentanil 5-
10 µg) menghasilkan efek pemulihan motorik dan bladder function lebih cepat dibanding
dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan cost-
effectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan nausea
akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis kecil pada blok
subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi termasuk back pain, Post Dural
Puncture Headache (PDPH), dan transient radicular irritation karena lidokain.
Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan kualitas
terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan teknik Monitored
Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur pembedahan tersebut
dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial dan prosedur endoskopi).
Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk melengkapi anestesi lokal
infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC dalam pembedahan. Kepuasan
pasien dengan teknik MAC juga berhubungan dengan efektifitas terhadap pengendalian
nyeri dan tidak adanya efek samping pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi
spinal atau anestesi umum.
H. Konsep Fast-track Anesthesia
Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada awal
tahun 1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari rumah sakit
dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip utama pada fast-
track anesthesia adalah pasien tidak melewati Post-Anesthesia Care Unit (PACU) (fase I
recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang pemulihan fase
2 (fase II recovery). Keuntungan fast-track anesthesia:
Pemulihan cepat
Mengurangi lama tinggal di rumah sakit
Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi
Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih menyenangkan
Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan
Kerugian fast-track anesthesia:
Kehilangan pendapatan rumah sakit
Meningkatnya risiko komplikasi pascabedah
Diperlukan training perawat
Meningkatnya kerja perawat di ruang pemulihan fase 2
Page 14
Memerlukan pemulihan yang tepat dari anestesi.
Sebuah kriteria untuk menentukan apakah pasien layak untuk fast-track
anesthesia telah dibuat, karena penggunaan Modified Aldrete Score yang biasa
digunakan sebagai kriteria discharge pasien dari PACU tidak adekuat digunakan pada
pasien bedah rawat jalan terutama dengan anestesi umum karena tidak mencakup
komplikasi yang biasa terjadi di PACU (seperti: nyeri, mual, dan muntah). Didalam
sistem skoring tersebut pasien yang layak untuk fast-track adalah pasien dengan nilai
dari semua kriteria >12 dan tidak ada nilai 0. Fast-track scoring system baru ini memiliki
kelebihan dibanding modified Aldrete’s scoring system dalam penilaian kelayakan
pasien bedah rawat jalan untuk bypassing PACU setelah menjalani bedah rawat jalan
dengan anestesi umum.
Tabel 1. Fast Track Criteria
Kesadaran Nilai
Sadar penuh 2
Respon terhadap rangsang minimal 1
Respon hanya bila dirangsang fisik 0
Aktifitas fisik
Mampu menggerakan semua anggota gerak sesuai perintah 2
Ada kelemahan pada bagian anggota gerak 1
Tidak mampu menggerakkan semua anggota gerak 0
Stabilitas hemodinamik
Tekanan darah, ± 15% dari nilai MAP awal 2
Tekanan darah, 15%–30% dari nilai MAP awal 1
Tekanan darah, > 30% dari nilai MAP awal 0
Stabilitas respirasi
Mampu bernafas dalam 2
Takipneu tapi mampu batuk 1
Dispneu dan tidak mampu batuk 0
Saturasi oksigen
Saturasi > 90% dengan udara bebas 2
Saturasi > 90% dengan bantuan oksigen via nasal canul 1
Saturasi < 90% dengan oksigen tambahan 0
Nyeri pascabedah
Tidak ada atau minimal 2
Nyeri sedang sampai berat dengan tambahan analgetik IV 1
Page 15
Nyeri berat yang menetap 0
Muntah pascabedah
Tidak ada atau mual minimal tanpa muntah 2
Muntah kadang-kadang 1
Muntah sering dengan derajat sedang sampai berat 0
Nilai total 14
Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih pendek
durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil) membuka jalan
untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum, penggunaan analgetik preemtif
non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin, NSAID, COX-2 inhibitors, ibuprofen, dan
parasetamol) serta antiemetik (seperti droperidol, metoklopramid, 5-HT3 antagonist, dan
deksametason) akan mengurangi efek samping pascabedah serta akan mempercepat
pemulihan pada early dan late recovery pada bedah rawat jalan.
I. Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang
saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late recovery.
Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun,
kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate
recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery
mulai dari dipulangkan sampai pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum
pembedahan.
Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk
keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi,
sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse
oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu
modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan
SpO2 pada modifikasi sistem skoring Aldrete.
Table 2. Modified Aldrete Scoring System
Page 16
Kemajuan teknik bedah rawat jalan telah melahirkan suatu konsep baru yaitu fast-
track yang menyebabkan pasien tidak harus melewati PACU untuk menjalani fase I recovery.
Dengan teknik fast-track pasien dari kamar bedah langsung di pindahkan ke ruang pemulihan
fase II tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan
biaya sehingga akan menguntungkan pasien. Kriteria yang dipakai untuk fast-track ini
berbeda dengan modifikasi sistem Aldrete (tabel 2). Sistem skoring ini mempertimbangkan
faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terjadi di PACU.
J. Pemulangan (Discharge)
Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang
tepat waktu setelah anestesi. Beberapa kriteria yang telah dibuat untuk menentukan
kesiapan pasien untuk dipulangkan seperti Guidelines for Safe Discharge After
Ambulatory Surgery dan PADSS (Post Anesthesia Disharge Scoring System). PADSS
merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk
dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
4 ekstremitas 2
2 ekstremitias 1
0 ekstremitias 0
Respirasi
Mampu nafas dalam dan batuk 2
Dispneu atau nafas terbats 1
Apneu 0
Sirkulasi
BP 6 ± 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi 2
BP 6 ± 20–50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 1
BP 6 ± 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Respon bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas 2
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0
Page 17
mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan
kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu.
Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:
1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)
2. Ambulasi
3. Mual/muntah
4. Nyeri
5. Perdarahan akibat pembedahan
Bila skor mencapai ≥ 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan ke rumah.
Tabel 3. Modified Post-Anesthesia Discharge Scoring System (PADSS)
Tanda vital
2 = sekitar 20% dari nilai prabedah
1 = 20 – 40% dari nilai prabedah
0 = 40% dari nilai prabedah
Pergerakan
2 = mampu berdiri/tidak ada pusing
1 = dengan bantuan
0 = tidak ada pergerakan/pusing
Mual/muntah
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
Nyeri
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
Perdarahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
*Total nilai 10. Bila nilai ≥ 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan.
Tuntutan bahwa pasien harus kencing/voiding memperlambat pemulangan pasien.
Pasien bedah rawat jalan yang tidak berisiko terhadap retensi urin aman untuk
dipulangkan sebelum mereka mampu untuk kencing. Faktor resiko terjadinya retensi urin
Page 18
pascabedah termasuk: (1)Riwayat retensi urin pascabedah (2) Anestesi spinal/epidural
(3) Pembedahan pelvis/urologi (4) Kateterisasi perioperatif. Retensi urin pascabedah
dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah, pemberian cairan
yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek
sisa dari anestesi spinal atau epidural.
Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat
pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak terdapat
pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang telah memiliki
toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien dipulangkan.
K. Penanganan Komplikasi Pasca-operatif
Penanganan yang tidak adekuat terhadap komplikasi pascabedah seperti nyeri dan
PONV akan memperlambat waktu pemulangan pasien pada bedah rawat jalan.
1. Pengelolaan nyeri
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pada bedah rawat jalan
antara lain jenis pembedahan dan anestesi, analgetik yang diberikan saat anestesi,
faktor demografi pasien, riwayat analgetik (toleransi analgetik), serta respon
emosional dan fisiologi terhadap nyeri itu sendiri. Pengelolaan nyeri pascabedah
harus dimulai intraoperatif atau idealnya saat prabedah untuk menjamin pemulihan
yang bebas nyeri.
Analgesi multimodal yang dikembangkan sekarang ini melibatkan
penggunaan lebih dari satu macam penanganan nyeri guna mendapatkan efek sinergis
analgetik dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan
penggunaan opioid. Teknik multimodal analgesi ini terbukti mampu meningkatkan
pemulihan serta outcome pasien setelah bedah rawat jalan dan telah menjadi standar
dalam pelaksanaan prosedur fast-track.
2. Pengelolaan PONV
Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) masih merupakan masalah
yang umum pada bedah rawat jalan. Strategi untuk mengurangi resiko PONV adalah:
Menghindari pemakaian anestesi umum, dengan menggunakan anestesi regional.
Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.
Menghindari pemakaian N2O.
Menghindari pemakaian obat anestesi volatil
Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.
Page 19
Meminimalkan pemakaian prostigmin
Pemberian cairan yang adekuat.
Antiemetik yang digunakan sebagai profilaksis PONV pada pasien dewasa
termasuk :
5-hydroxytryptamine (5-HT3) antagonist (seperti ondansetron, dolasetron,
granisetron, dan tropisetron)
Steroid (seperti deksametason)
Phenothiazines (prometazin dan proklorperazin)
Penylethylamine (efedrin)
Butyrophenones (droperidol, haloperidol)
Antihistamin (dimenhidrinat)
Antikolinergik (skopolamin transdermal)
Jika PONV terjadi pascabedah, antiemetik yang diberikan sebagai terapi harus
dengan farmakologi yang berbeda dari antiemetik profilaksis yang telah diberikan,
antiemetik yang direkomendasikan adalah antagonis 5-HT3. Dosis antagonis 5-HT3
yang digunakan untuk terapi lebih kecil dibanding dosis profilaksis. Alternatif terapi
lain adalah dexametason 2-4 mg, droperidol 0,625 mg IV, atau prometazin 6,25-12,5
mg IV. Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien
yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.
L. Kesimpulan
1. Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan teknik bedah
rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga terus mengalami
peningkatan.
Page 20
2. Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam tim bedah
rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.
3. Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan (evaluasi
prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi, efek pada
outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara keseluruhan
terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam rangka mencari
strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan agar lebih cost-
effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan sehingga menjamin
kepuasan pasien.
4. Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non farmakologi yang
lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam pengelolaan komplikasi
pascabedah (nyeri dan mual muntah) akan memaksimalkan keuntungan teknik bedah
rawat jalan serta outcome pasien yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.
Page 21
Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey
of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.
White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the
anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical
care. Anesth Analg 2007; 104: 1380-96.
White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison
with the modified aldrete’s scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.
Marshall SI, Chung F. Discharge criteria and complications after ambulatory surgery. Anesth
Analg 1999; 88: 508-17.
Gan TJ, Meyer TA, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Habib AS, et al. Society for ambulatory
anesthesia guidelines for the management of postoperative nausea and vomiting. Anesth
Analg 2007; 105: 1615–28.