HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT
Oleh: Erta Priadi Wirawijaya
132121090502
KARYA TULIS AKHIR
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG 2014
i
HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE
PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT
Oleh:
ERTA PRIADI WIRAWIJAYA 132121090502
KARYA TULIS AKHIR
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Telah disetujui pada tanggal yang tertera dibawah ini Bandung, 17 Juni 2014
Tim Pembimbing
1. Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K) .…………..…………
2. Erwan Martanto, dr., SpPD, SpJP(K) .…………..…………
3. M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) .…………..…………
Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD., SpJP(K)
NIP. 195705241988031001 Kepala Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular FK UNPAD
Dr. Hj. Augustine P, dr., SpPD., SpJP(K) NIP. 195208271978102001
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah FK UNPAD
Dr.Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., Mkes NIP. 195710021984121001
Ketua Tim Koordinasi Pelaksana Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 FK UNPAD
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister atau doktor), baik di Universitas
Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat pendapat atau karya yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas,
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Karya tulis ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan seperti yang dilampirkan dibagian belakang karya tulis ini.
5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan danketidakbenaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta sanksi lainnya sesuai
dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
Erta Priadi Wirawijaya, dr.
NPM : 132121090502
iii
ABSTRAK
Latar Belakang: Infark miokard akut (IMA) memiliki angka mortalitas dan morbiditas tinggi. Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko. Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda EKG baru yang berpotensi dapat digunakan memandu tatalaksana pasien IMA, namun informasi mengenai penggunaannya masih terbatas. Penelitian ini berusaha mencari hubungan antara fQRS sempit dengan skor GRACE pada pasien IMA yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin. Metode: Bentuk ini penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan penelitian potong lintang. Keberadaan fQRS ditentukan oleh penilai independen. Skor GRACE saat masuk rawat dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile resmi skor GRACE 2.0. Data yang terkumpul diolah menggunakan SPSS 20. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square untuk data bersifat kategorik dan t-test untuk data numerik. Hasil: Pasien IMA dengan fQRS memiliki usia (58 banding 56 tahun; p=0,016), laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit; p=0,002), ureum darah (median 31 banding 29 mg/dL; p=0,004), kreatinin (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3 ng/mL; p=<0,001), CKMB (median 103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip (p=0,44) yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS. Uji statistik t-test menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS sempit. Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata 11,7 lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS (median 112 banding 101, p=0,001). Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,3−3,8) lebih besar mendapatkan skor GRACE >120 dan risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung. Kesimpulan: Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS sempit (p=0.001). Kata Kunci: infark miokard akut, fragmentasi QRS, skor GRACE.
iv
ABSTRACT
Background: Acute myocardial infarction (AMI) mortality and morbidity are high. Electrocardiographic examination is easy, inexpensive and became standard in the diagnosis and risk stratification of Acute Coronary Syndrome (ACS). Fragmentation of QRS complex (fQRS) is a new ECG marker that could potentially be used to guide management of patients with myocardial infarction, but information on their use in risk stratification is still limited. This research tries to find the relationship between narrow fQRS and GRACE score in AMI patients who comes to the Dr. Hasan Sadikin Hospital emergency department. Methods: This study research design is retrospective with cross-sectional analysis. Existence of fQRS is determined by an independent appraiser. GRACE scores during admission was calculated using the official mobile application GRACE score of 2.0. The collected data was processed using SPSS 20. Statistical test used was chi-square for categorical nature of data and t-test for numerical data. Results: Acute Myocardial Infaction (AMI) patients with fQRS found to have higher age (58 vs 56 years, p=0.016), heart rate (median 88 vs 77 beats/min, p=0.002), blood urea (median 31 vs 29 mg/dL, p=0.004), creatinine (median 0.96 vs 0.9 mg/dL, p=0.037), troponin T (median 3 vs 1.1 ng/mL, p=<0.001), CKMB (median 103 vs 66 U/L, p=0.010) and Killip class (p=0.44). T-test statistic found a significant difference between AMI patients with and without narrow fQRS. Patient with fQRS has an average of 11.7 higher GRACE score than patients without fQRS (median 112 vs 101, p = 0.001). Patients with fQRS has a 2.2 times (95% CI 1.3 to 3.8) greater risk of getting GRACE score >120 and 1.94 times (95% CI 1.1 to 3.4) more likely to develop heart failure than patients without fQRS. Conclusion: AMI patient with narrow fQRS has higher GRACE score compared with AMI patient without narrow fQRS (p=0.001).
Keywords: acute myocardial infarction, QRS fragmentation, GRACE score.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmatnya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan
salah satu syarat Program Pendidikan Dokter Spesialis I untuk memperoleh
keahlian dalam bidang Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (UNPAD). Penulis pada kesempatan ini
melakukan penelitian mengenai hubungan antara temuan fragmentasi QRS
dengan skor GRACE pada pasien infark miokard akut yang datang ke Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, dorongan semangat,
sumbangan pikiran dan bantuan dari banyak pihak maka tugas ini tidak akan
terlaksana.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Rektor
Universitas Padjadjaran, Dekan FK UNPAD, Direktur Utama RSUP dr. Hasan
Sadikin Bandung, dan ketua Tim Koordinator Pelaksana Program Pendidikan
Dokter Spesialis-I Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, atas kesempatan
yang telah diberikan sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dan membuat karya
tulis ini.
Kepada yang terhormat Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD, SpJP(K)
selaku Kepala Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNPAD dan
Dr. Hj. Augustine Purnomowati, dr., SpPD, SpJP(K) selaku Ketua Program Studi
vi
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK UNPAD, atas dorongan, arahan,
serta bimbingan selama mengikuti pendidikan hingga penyusunan tesis ini.
Kepada yang terhormat Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K), Erwan
Martanto, dr., SpPD, SpJP(K), M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) selaku
pembimbing I, II dan III karya tulis ini, penulis menyampaikan terimakasih
setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, petunjuk dan saran yang telah
diberikan sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Kepada yang terhormat dr.
Dwi Agustian MPH selaku konsultan statistik penulis juga menyampaikan
terimakasih yang setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan petunjuk dan saran
yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih atas bimbingan dan bekal
yang berharga yang selama ini telah diberikan oleh guru-guru kami di Bagian
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/
RS Dr. Hasan Sadikin Prof. Ernijati Sjukrudin, dr., SpPD, SpJP, PhD; Eko
Antono, dr., SpPD, SpJP(K); Abidin Prawirakusumah, dr., SpJP(K); Pintoko
Tedjokusumo, dr., SpJP(K); Erwinanto dr., SpJP(K); Chaerul Achmad, dr.,
SpJP., Januar Wibawa Martha dr., SpPD-SpJP; Syarief Hidayat, dr., SpPD, SpJP;
Rien Afrianti, dr., SpJP; Badai B. Tiksnadi, dr., SpJP, MM; dan Triwedya Indra
Dewi, dr., SpJP.
Terimakasih kepada seluruh residen KOREJAT atas semua bantuannya dan
dukungannya dalam penelitian ini. Terimikasih teman-teman PPDS penyakit
dalam yang selalu memberikan kesempatan dan ruang berbagi dalam keilmuan
sehingga memperkaya ruang lingkup ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular.
Terimkasih kepada Staf administrasi Departemen Kardiologi dan Kedokteran
vii
Vaskular FK UNPAD yang banyak sekali membantu segala urusan yang tampak
sederhana tapi bernilai sangat besar.
Penulis juga mengucapkan terimasih yang tidak terhingga kepada ibunda
tercinta Hj. Mutiara Suyadi, drg., ayahanda H. Yedi Suyadi, dr., SpPD., MM,
adik-adik Dear Mochtar Wirawijaya , dr.; Riva Aradi, drg.; dan Dara Metia, dr.;
bapak mertua H. Awang Yogi Suwarto dr., SpA. dan ibu mertua Atty Suryati
Yogi yang selama ini telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis
menempuh pendidikan PPDS. Kepada istri tercinta Sri Utami Suwarto, dr. dan
anak tercinta Kiera Alisha Wirawijaya penulis mengucapkan terimakasih yang
tidak terhingga atas pengorbanan, pengertian, dorongan dan bantuan selama
penulis menjalani pendidikan.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya tulisan ini, namun
karena keterbatasan sehingga tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis
ucapkan terimakasih.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Pengasih dan Maha
Bijaksana melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua, Amiinn.
Wassalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Bandung, Juni 2014
Erta Priadi Wirawijaya, dr.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................. iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH ................................................................. 5
1.3. TUJUAN PENELITIAN ................................................................. 5
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN .......................................................... 5
1.4.1. Kegunaan Ilmiah .................................................................... 5
1.4.2. Kegunaan Praktis ................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN
HIPOTESIS ............................................................................................... 6
2.1. KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 6
2.1.1. Sindrom Koroner Akut (SKA) ............................................... 6
Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut .................................... 7
Spektrum Sindrom Koroner Akut .......................................... 7
Patogenesis Sindrom Koroner Akut ....................................... 8
Diagnosis Sindrom Koroner Akut .......................................... 8
2.1.2. Stratifikasi Risiko pada SKA ............................................... 10
Skor Risiko GRACE ............................................................ 12
ix
2.1.3. Peranan Elektrokardiografi dalam Stratifikasi Risiko ......... 15
Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST ............. 16
EKG Normal / Non Diagnostik ....................................... 16
EKG dengan Inversi Gelombang T ................................. 17
EKG dengan Depresi Segmen ST ................................... 18
Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST ............ 19
2.1.4. Fragmentasi QRS ................................................................. 20
Definisi & Batasan Fragmentasi QRS ................................. 20
Patofisiologi Fragmentasi QRS ............................................ 22
Fragmentasi QRS pada Penyakit Arteri Koroner ................. 24
Fragmentasi QRS pada Sindrom Koroner Akut .................. 27
Fragmentasi QRS pada Kelainan Jantung Lainnya .............. 30
Pengaturan EKG untuk Deteksi Fragmentasi QRS .............. 32
2.1.4. Hubungan Fragmentasi QRS dengan Skor GRACE ............ 33
2.2. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 33
2.3. BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN ........................................... 36
2.4. PREMIS-PREMIS ......................................................................... 37
2.5. HIPOTESIS ................................................................................... 37
BAB III SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................. 38
3.1. SUBJEK DAN BAHAN PENELITIAN ........................................ 38
3.1.1. Ukuran Sampel .................................................................... 38
3.1.2. Kriteria Inklusi ..................................................................... 38
3.1.3. Kriteria Eksklusi .................................................................. 39
3.2. METODE PENELITIAN .............................................................. 40
3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian ........................................ 40
3.2.2. Identifikasi Variabel ............................................................. 40
3.2.3. Definisi Operasional ............................................................ 40
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 46
3.2.5. Rancangan Analisis Statistik ................................................ 48
3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 48
3.2.7. Perkiraan Biaya .................................................................... 49
3.2.8. Struktur Organisasi .............................................................. 49
x
3.3. IMPLIKASI ETIK PENELITIAN ................................................ 50
BAB III SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................. 38
3.1. SUBJEK DAN BAHAN PENELITIAN ....................................... 38
3.1.1. Ukuran Sampel .................................................................... 38
3.1.2. Kriteria Inklusi ..................................................................... 39
3.1.3. Kriteria Eksklusi .................................................................. 39
3.2. METODE PENELITIAN .............................................................. 40
3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian ........................................ 40
3.2.2. Identifikasi Variabel ............................................................. 40
3.2.3. Definisi Operasional ............................................................ 40
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 46
3.2.5. Rancangan Analisis Statistik ................................................ 48
3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 48
3.2.7. Perkiraan Biaya .................................................................... 49
3.2.8. Struktur Organisasi .............................................................. 49
3.3. IMPLIKASI ETIK PENELITIAN ................................................. 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51
4.1. HASIL PENELITIAN ................................................................... 51
4.2. PENGUJIAN HIPOTESIS ............................................................ 55
4.3. TEMUAN TAMBAHAN .............................................................. 56
Analisis Univariat Pengaruh Fragmentasi QRS ............................ 56
4.4. PEMBAHASAN ............................................................................ 58
4.4. KETERBATASAN PENELITIAN ............................................... 66
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 67
5.1. SIMPULAN ................................................................................... 67
5.2. SARAN .......................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Spektrum sindrom koroner akut ......................................................... 8
Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat di proximal LAD ................ 19
Gambar 2.3. Gambaran EKG multivessel disease ................................................ 20
Gambar 2.4. Beragam bentuk morfologi fQRS pada EKG 12 sadapan ................ 21
Gambar 2.5. Morfologi fQRS lebar pada EKG 12 sadapan .................................. 22
Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG ................................. 26
Gambar 2.7. Gambaran angiografi pasien NSTEMI dengan fQRS ...................... 28
Gambar 2.8. Gambaran fQRS pasien STEMI posterolateral ................................ 29
Gambar 2.9. Dampak pengaturan low pass Filter pada EKG ............................... 32
Gambar 2.10. Kerangka pemikiran ....................................................................... 42
Gambar 3.1. Skema alur penelitian ....................................................................... 47
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Komposisi Skor Risiko GRACE untuk SKA ....................................... 13
Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasien SKA. ............... 14
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian. ................................................................................. 49
Tabel 3.2. Perkiraan Biaya. ................................................................................... 49
Tabel 4.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian. ................................................ 54
Tabel 4.2. Uji Beda Skor GRACE. ....................................................................... 55
Tabel 4.3. Analisis Univariat Pengaruh fQRS ...................................................... 57
Tabel 4.4. Perbandingan Faktor Risiko Kardiovaskular pada IMA ...................... 60
xiii
DAFTAR SINGKATAN ACC/AHA American College of Cardiology / American Heart Association
ALQTS Acquired Long QT-Syndrome
ARVD Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia
CFR Case Fatality Rate
CKMB Creatine Kinase-Myoglobin Binding
DCM Dilated Cardiomiopathy / Kardiomiopati Dilatasi
EKG Elektrokardiografi
ESC European Society of Cardiology
FK Fakultas Kedokteran
fQRS Fragmentasi QRS
FRISC Fast Revascularisation in Instability in Coronary disease
Ga-MRI Gadolinium-contrast Magnetic Resonance Imaging / MRI
dengan kontras gadolinium
GDS Gula darah sewaktu
GRACE Global Registry of Acute Coronary Events
GUSTO Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen
Activator for Occluded Coronary Arteries
IGD Instalasi Gawat Darurat
IKP Intervensi Koroner Perkutan
IMA Infark Miokard Akut
ISFC International Society and Federation for Cardiology
LAD Left Anterior Descending / arteri anterior desenden kiri
LBBB Left Bundle Branch Block
LCX Left Circumflex Artery / arteri sirkumflek kiri
MRI Magnetic Resonance Imaging
NQMI Non-Q wave Myocardial Infarction
NSTEMI Non ST segment deviation myocardial infarction / infark
miokard tanpa ST elevasi
NYHA New York Heart Association
PAK Penyakit Arteri Koroner
xiv
PERSUIT Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable angina: Receptor
Suppression Using Integrilin
PJB Penyakit Jantung Bawaan
PRELUDE PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE
PVC Premature Ventricular Contraction
RBBB Right Bundle Branch Block
RCA Right Coronary Artery / arteri koroner kanan
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
SKA Sindrom Koroner Akut
SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga
SPECT Single-Photon Emission Computed Tomography
SPM Sidik Perfusi Miokard
STEMI ST segment deviation myocardial infaction / infark miokard
dengan ST elevasi
TIMI Thrombolysis in Myocardial Infarction
IK Interval Kepercayaan
TMP-Grade TIMI Myocardial Perfusion Grade
TOF Tetralogy of Fallot
UA Unstable Angina
WHO World Health Organization
OR Odd ratio
SD Standar Deviasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit arteri koroner (PAK) merupakan manifestasi utama penyakit
kardiovaskular dan dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang
tinggi.1Angka kematian akibat PAK di Amerika pada tahun 2009 sebesar 386.324.
Diperkirakan setiap tahunnya kurang lebih 635.000 orang Amerika mendapatkan
serangan koroner baru, sedangkan yang mengalami serangan ulang sebanyak
kurang lebih 280.000 orang. Laporan World Health Organization (WHO)2 tahun
2008 menyebutkan bahwa PAK telah menjadi penyebab kematian utama di dunia
dan diperkirakan setiap menitnya seorang penderita PAK akan meninggal.3 Data
mengenai PAK di Indonesia masih belum banyak, berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit sirkulasi sudah menggantikan
penyakit infeksi sebagai penyebab kematian utama di Indonesia.4 Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007 ditemukan prevalensi penyakit jantung di Indonesia
berkisar antara 0,9-12,5 %.5 Data profil kesehatan Indonesia tahun 2008 yang
diambil dari sistem informasi rumah sakit seluruh Indonesia tahun 2007,
menemukan penyakit jantung iskemik menempati urutan teratas dari seluruh
kasus baru kunjungan rawat jalan dan rawat inap.6
Presentasi klinis PAK dapat berupa iskemia asimptomatik, angina pektoris
stabil, kematian mendadak, gagal jantung dan sindrom koroner akut (SKA)
berupa angina pektoris tidak stabil atau infark miokard.7 Dalam spektrum SKA
2
terdapat unstable angina (UA), ST segment deviation myocardial infaction
(STEMI) dan Non ST segment deviation myocardial infarction (NSTEMI). Secara
klinis manifestasi awal SKA seringkali serupa8 dan dapat bervariasi dari tidak
bergejala atau ringan, nyeri dada hebat, hingga kematian mendadak.9 Karena hal
tersebut pasien SKA membutuhkan terapi antitrombotik dan anti-iskemia
secepatnya, stratifikasi risiko yang kemudian dikerjakan memungkinkan klinisi
menentukan tatalaksana selanjutnya. Panduan American College of Cardiology /
American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society of Cardiology
(ESC) merekomendasikan pentingnya stratifikasi risiko dini dalam managemen
NSTEMI / UAP. Stratifikasi risiko dapat dikerjakan dengan menggunakan
beberapa skor risiko yang telah dikembangkan seperti PERSUIT, TIMI, GRACE,
FRISC, dan HEART. Diantara semua skor risiko tersebut yang paling sering
digunakan dan disarankan penggunaannya dalam panduan ESC adalah TIMI dan
GRACE.10 Berdasarkan perbandingan langsung kedua skor risiko tersebut skor
risiko GRACE ditemukan lebih akurat.11,12 Implementasi skor GRACE di
Indonesia terhambat banyaknya parameter yang harus diperiksa dan kalkulasi
yang membutuhkan bantuan komputer / smartphone.
Elektrokardiografi (EKG) adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan telah
menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko SKA.13 Karakteristik
abnormilitas EKG dalam SKA tanpa ST elevasi adalah depresi segmen ST,
elevasi segmen ST transien dan/atau perubahan gelombang T.14,15 Temuan elevasi
segmen ST yang persisten >20 menit, dianggap sebagai sebagai STEMI dan
tatalaksananya menjadi berbeda.16,17 Salah satu penanda baru yang berpotensi
3
digunakan dalam statifikasi risiko SKA adalah fragmentasi QRS (fQRS) yang
pertama kali diteliti secara oleh Das dkk.18 pada tahun 2006. Definisi fQRS pada
studi tersebut adalah keberadaan gelombang R tambahan (R’) atau bertakik pada
titik terendah gelombang S, atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi) pada
setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner utama.18
Sejak penelitian pertama Das dkk.18 telah ada penelitian lanjutan yang
mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca
infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel
kiri,19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20-22 meningkatnya risiko kejadian
kardiovaskular mayor,23,24 dan meningkatnya risiko kematian seiring banyaknya
temuan fQRS pada sadapan jantung.25-28 Penelitian lanjutan Das dkk.25
menemukan fQRS dapat digunakan sebagai penanda infark dengan sensitivitas
sedang (55%) dan spesifitas tinggi (96%). Penelitian Guo dkk.29 menemukan
fQRS pada kasus NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh
koroner mana yang bertanggung jawab dengan sensitivitas (77.1%) dan spesifitas
(71.5%) total yang lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.
Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada STEMI dihubungkan dengan
temuan kelas killip, leukosit, Creatine Kinase-Myoglobin Binding (CKMB) &
Troponin yang lebih tinggi, waktu pain to balloon time yang lebih lama,
gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya
gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS. Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal
sehingga jaringan miokardium yang berpotensi mengalami infark lebih luas.30
4
Cetin dkk.31 enemukan keberadaaan fQRS saat masuk rawat yang menetap pasca
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) sangat berhubungan dengan rendahnya
penurunan elevasi segmen ST dan parameter reperfusi miokard. Temuan tersebut
serupa dengan temuan Erdem dkk.32 yang menemukan bahwa keberadaan fQRS
dihubungkan dengan kegagalan reperfusi pada pasien STEMI dengan TIMI
Myocardial Perfusion (TMP) grade dan fraksi ejeksi yang lebih rendah.
Beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda. Wang dkk.33 menemukan
bahwa fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam
mendeteksi gangguan perfusi miokard. Penelitian Ahn dkk.34 menemukan fQRS
tidak lebih baik dari gelombang Q dalam memprediksikan infark. Tibrewala
dkk.35 tidak menemukan hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya
jaringan parut pada pemeriksaan Single-Photon Emission Computed Tomography
(SPECT) atau tanda suatu PAK yang bermakna pada angiografi.
Berdasarkan uraian diatas maka disusunlah tema sentral penelitian sebagai
berikut; infark miokard akut (IMA) memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana IMA membutuhkan parameter yang
mudah, murah, tersedia luas dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu modalitas stratifikasi risiko. Pemeriksaan EKG rutin
dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua syarat tersebut dan fQRS menjadi
penanda baru yang berpotensi dapat digunakan untuk memandu tatalaksana IMA.
Penelitian sebelumnya menemukan pasien IMA dengan fQRS memiliki prognosis
lebih buruk karena dihubungkan dengan daerah infark yang lebih luas dan kelas
killip yang lebih tinggi. Penelitian lain menemukan semakin tinggi kelas killip
semakin tinggi skor GRACE. Berdasarkan penelitian hal tersebut kemungkinan
pasien dengan fQRS akan memilki temuan skor GRACE yang tinggi. Belum ada
penelitian yang secara khusus meneliti hal tersebut, sehingga menjadi menarik
untuk meneliti perbedaan skor GRACE diantara kedua kelompok tersebut.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
Apakah skor GRACE pada pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna
lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan, dalam hal ini
perbedaan skor GRACE pada kelompok pasien IMA dengan dan tanpa
fragmentasi QRS sempit di RSUP Dr. Hasan Sadikin.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang fragmentasi QRS pada infark miokard, hubungannya dengan skor risiko
GRACE, serta penggunaannya dalam stratifikasi risiko pasien infark miokard
akut.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini menambah bukti ilmiah bahwa temuan
fQRS pada pemeriksaan EKG rutin dapat menjadi salah satu parameter stratifikasi
risiko yang mudah, murah, tersedia luas dan memiliki kekuatan prognosis yang
kuat sehingga dapat digunakan untuk memandu klinisi dalam tatalaksana infark
miokard akut.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
PREMIS DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Sindrom Koroner Akut
Penyakit arteri koroner (PAK) merupakan penyebab utama kematian dan
kecacatan di negara maju. Meskipun angka kematian PAK telah menurun selama
empat dekade terakhir di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya
namun PAK tetap menjadi penyebab kematian untuk sekitar sepertiga dari semua
kematian pada individu di atas usia 35 tahun. Angka kematian akibat PAK di
Amerika pada tahun 2009 sebesar 386.324. Diperkirakan setiap tahunnya kurang
lebih 635.000 orang Amerika mendapatkan serangan koroner baru, sedangkan
yang mengalami serangan ulang sebanyak kurang lebih 280.000 orang.
Diperkirakan setiap menitnya seorang penderita PAK akan meninggal.3
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 penyakit sistem sirkulasi
darah merupakan penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit pada tahun
2007 maupun 2008. Penyakit kardiovaskular menyebabkan kematian sebanyak
21.830 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) 11,02% pada tahun 2007 dan
menyebabkan kematian sebanyak 23.163 orang dengan CFR 11,06% pada tahun
2008.36
7
Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
Sebuah studi yang membandingkan dua kelompok IMA dengan elevasi
segmen ST yang menjalani IKP di Indonesia dan di Belanda ditemukan bahwa
pasien infark miokard di Indonesia umumnya lebih muda (54 tahun versus 63
tahun), lebih lama datang ke rumah sakit (49 menit versus 189 menit), lebih
mungkin datang dengan gagal jantung (52% versus 8%), dan lebih mungkin
memiliki kelainan di lebih dari 1 pembuluh darah jantung atau multivessel
disease.37 Beratnya permasalahan kardiovaskular di Indonesia tersebut
kemungkinan besar berhubungan erat dengan temuan lainnya bahwa pasien infark
miokard di Indonesia lebih banyak memiliki faktor risiko PAK seperti diabetes
(36% versus 12%), dislipidemia (46% versus 19%), atau merokok (68% versus
31%) dibandingkan pasien di negara maju seperti Belanda.37
Spektrum Sindrom Koroner Akut
Sejak tahun 2005, American Heart Association (AHA) memperkenalkan
istilah sindrom koroner akut. Spektrum klinisnya berupa angina pektoris tidak
stabil, infark miokard akut, atau kematian mendadak.38 Unstable angina adalah
episode SKA tanpa nekrosis miokard.38 Infark miokard akut terbagi menjadi ST
segment elevation MI (STEMI) dan Non-ST Segment-elevation MI (NSTEMI).
8
Gambar 2.1. Spektrum Sindrom Koroner Akut1
Patogenesis Sindrom Koroner Akut
Perbedaan dari dua tipe SKA di atas terletak pada patogenesis dan
gambaran klinis, sehingga terapi dan prognosis menjadi berbeda. Persamaan
keduanya adalah terjadinya ruptur plak yang memicu pembentukan trombus yang
mengawali kejadian SKA.38 Secara praktis istilah IMA digunakan bila terjadi
nekrosis miokard akibat iskemia berkepanjangan yang disertai gejala klinik
iskemia akut. Nekrosis sel tidak langsung terjadi setelah berlangsungnya iskemia,
tapi membutuhkan waktu tertentu sekitar 20 menit (berdasarkan percobaan pada
hewan).39
Diagnosis Sindrom Koroner Akut
Infark miokard akut dapat dinilai melalui gejala klinik; temuan
elektrokardiografi; peningkatan penanda nekrosis miokard; pencitraan; atau
didefinisikan secara patologi.40 Berdasarkan World Health Organization (WHO),
Nyeri Dada
Sindrom Koroner Akut
Abnormalitas Segmen ST / Gelombang T
ST Elevasi Persisten >20 Menit
Normal / Non Diagnostik
Troponin Naik / Turun Troponin Normal
NSTEMI Unstable Angina STEMI
Diagnosis Kerja
EKG
Bio-Kimia
Diagnosis
Masuk Rawat
9
kriteria diagnosis SKA adalah setidaknya ditemukan dua dari tiga komponen
berikut: 1. Adanya nyeri dada, 2. Adanya evolusi atau perubahan
elektrokardiografi secara serial, 3. Peningkatan atau penurunan enzim jantung.41
Evaluasi pasien dengan nyeri dada adalah satu hal yang sangat sulit karena
seringkali pasien datang dengan presentasi klinis yang tidak khas (atipikal). Hal
ini umumnya terjadi pada wanita, pasien muda, pasien dengan gagal ginjal dan
pasien dengan diabetes,20 akibatnya diagnosis SKA seringkali tergantung dari
pemeriksaan elektrokardiografi dan enzim jantung. Klinisi harus memeriksakan
enzim jantung secara periodik untuk menegakkan ataupun untuk menyingkirkan
diagnosis infark miokard. Pemeriksaan ekokardiografi, ventrikulografi, EKG dan
enzim juga dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran infark secara
kuantitatif.2,42,43
Pasien dengan nyeri dada harus diperiksa EKG 12 sadapan.
Elektrokardiografi berguna untuk mendukung diagnosis akut iskemia dan
menentukan risiko. Gambaran EKG bisa normal atau tak berubah pada 50%
pasien UAP/NSTEMI. Gambaran EKG dapat menunjukkan depresi segmen ST
>0,05 mV (0,5 mm) di sadapan V2 dan V3, depresi >0,1 mV (1 mm) di sadapan
lain, elevasi sementara (<20 menit), dan atau inversi gelombang T >0,2 mV.
Beberapa penelitian menyarankan bahwa deviasi segmen ST walaupun hanya 0,05
mV, adalah spesifik dan penanda penting terjadinya iskemia. Apabila perubahan
itu terjadi pada saat pasien mempunyai gejala dan hilang ketika gejala sembuh,
maka kemungkinan adanya iskemia semakin kuat. Inversi gelombang T yang
baru cukup sensitif tetapi kurang spesifik untuk menunjukkan adanya iskemia.
10
Inversi gelombang T >0,3 mV dapat dikatakan spesifik untuk terjadinya iskemia
dan menandakan pasien risiko tinggi, bila amplitudo inversi hanya 0,1 mV
menjadi kurang bermakna.38,44
Kriteria diagnosis STEMI pada EKG ada beberapa. Elevasi segmen ST
dianggap abnormal bila lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan V2 dan V3, dan
lebih dari 0,1 mV (1mm) pada sadapan lain pada pria usia 40 tahun atau lebih.
Untuk pria dibawah 40 tahun ambang batas adalah 0,25 mV (2,5 mm) pada
sadapan V2 dan V3. Untuk wanita ambang batas adalah 0,15 mV (1,5 mm) di
sadapan V2 dan V3, lebih besar dari 0,1 mV (1 mm) di sadapan lain. Untuk
sadapan posterior (V7-V9), elevasi segmen ST 0,05 mV (0,5mm). Pada sadapan
kanan, untuk wanita dan pria di atas 30 tahun, elevasi segmen ST 0,05 mV
(0,5mm) di V3R dan V4R, sedangkan untuk pria dibawah 30 tahun elevasi segmen
ST 0,1 mV (1 mm). Elevasi segmen ST diukur dari J-point dan di dua sadapan
atau lebih yang berdekatan menunjukkan adanya IMA. Kriteria lain adalah
temuan left bundle branch block (LBBB) yang baru dapat dianggap sebagai
diagnosis STEMI pada EKG. 38,44
2.1.2. Stratifikasi Risiko pada SKA
Secara klinis manifestasi awal UA, STEMI, dan NSTEMI seringkali serupa8
dan dapat bervariasi dari tidak bergejala atau ringan, nyeri dada hebat, hingga
kematian mendadak.9 Pasien yang terdiagnosis SKA membutuhkan terapi
antitrombotik dan anti-iskemia secepatnya, stratifikasi risiko yang kemudian
dikerjakan memungkinkan klinisi menentukan tatalaksana selanjutnya. Stratifikasi
11
merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak medis pertama
hingga saat pasien dipulangkan.9 Pasien berisiko tinggi membutuhkan perawatan
untuk terapi agresif berupa revaskularisasi cepat yang dapat dicapai melalui
pemberian fibrinolitik, intervensi koroner perkutan atau pembedahan. Pasien
risiko sedang dapat menjalani terapi konservatif serta evaluasi yang lebih
terencana. Pasien berisiko rendah dapat dipulangkan dengan instruksi jelas untuk
rawat jalan / tindak lanjut.
Prognosis pasien SKA ditentukan oleh setidaknya 3 hal yaitu: 1) Luasnya
kerusakan miokard, 2) Beratnya penyakit arteri koroner, dan 3) Ketidakstabilan
penyakit dan refrakter terhadap terapi yang diberikan.45 Skor yang digunakan
dalam stratifikasi risiko bertujuan untuk mengidentifikasi pasien mana yang
memiliki risiko kematian tinggi di rumah sakit (RS) atau risiko jangka pendek.
Risiko ini terus berubah seiring evolusi faktor penyebab (berkembangnya
trombosis di arteri koroner, obstruksi, embolisasi, dll), berkembangnya
komplikasi, dan respon terhadap terapi yang diberikan. Karena beragam hal
tersebut, stratifikasi merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak
medis pertama hingga saat pasien dipulangkan.9
Metode skoring untuk membedakan pasien SKA yang akan mendapat
keuntungan terbesesar dari terapi agresif telah banyak dikembangkan. Sistem
skoring tersebut antara lain adalah Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable
angina: Receptor Suppression Using Integrilin (PERSUIT), Fast
Revascularisation in Instability in Coronary disease (FRISC), HEART Score,
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI), dan Global Registry of Acute
12
Coronary Events (GRACE). Temuan EKG berupa depresi atau deviasi segmen ST
menjadi bagian dalam semua sistem skoring tersebut. Panduan American College
of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society
of Cardiology (ESC) merekomendasikan pentingnya stratifikasi risiko dini dalam
managemen NSTEMI / UAP. Diantara semua skor risiko tersebut, yang paling
sering digunakan dan disarankan penggunaannya dalam panduan ESC adalah
TIMI dan GRACE.10 Berdasarkan perbandingan langsung kedua skor risiko
tersebut skor risiko GRACE ditemukan lebih akurat.11,12
Skor Risiko GRACE
Skor risiko GRACE (2003) diambil dari registri 11.389 pasien SKA dari 94
rumah sakit di 14 negara.46,47 Pasien yang meninggal pada 24 jam pertama tidak
dimasukkan kedalam analisis. Analisis regresi logistik multivariat berhasil
mengidentifikasi 8 faktor risiko yang memiliki peranan meningkatkan risiko
kematian saat perawatan dan 6 bulan pasca perawatan. Variabel hemodinamik,
laboratorium, EKG, dan temuan spesifik pada pasien tersebut antara lain: kelas
Killip untuk gagal jantung, tekanan darah sistolik saat masuk, laju jantung saat
masuk, usia, kadar kreatinin, henti jantung saat masuk, deviasi segmen ST, dan
meningkatnya biomarka jantung. Setiap variabel dalam skor risiko GRACE
memiliki nilai masing-masing dan hasil akhirnya bervariasi dari 1 hingga 372.
Risiko kematian meningkat seiring semakin tinggi skor GRACE, dari <0.2%
hingga >52%. Skor GRACE tidak membagi risiko pasien kedalam sistem grading
seperti sistem skoring yang lainnya.
13
Tabel 2.1. Komposisi Skor Risiko GRACE untuk SKA
Kelas Killip Nilai Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
Nilai Laju Jantung (x/menit)
Nilai
I II III IV
0 20 39 59
< 80 80-99 100-119 120-139 140-159 160-199 > 200
58 53 43 34 24 10 0
< 50 50-69 70-89 90-109 110-149 150-199 >200
0 3 9
15 24 38 46
Usia (tahun) Nilai Kadar Kreatinin (md/dL)
Nilai Faktor Risiko Lain Nilai
< 30 30-39 40-49 50-59 50-69 70-79 80-89 > 90
0 8
25 41 58 75 91
100
0-0,39 0,40-0,79 0,80-1,19 1,20-1,59 1,60-1,99 2,00-3,99 >4.00
1 4 7
10 13 21 28
Henti Jantung Saat masuk rawat
39
Deviasi Segmen ST 28
Biomarka Jantung Meningkat
14
Fox dkk.47 mempelajari 43.810 pasien dalam registri GRACE antara april
1999 hingga september 2005 menemukan risiko kematian selama perawatan lebih
tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >140. Penelitian oleh Mehta dkk.
membagi 3.031 pasien SKA kedalam 2 kelompok yaitu yang menjalani strategi
invasif dini (dikerjakan <24 jam, median 14 jam) dan elektif (dikerjakan >24 jam,
median 50 jam). Strategi intervensi dini berhasil menurunkan risiko kematian,
infark miokard, atau stroke hingga 35% (IK95%;p=0.006) pada kelompok pasien
dengan skor risiko GRACE lebih dari 140.48 Berdasarkan temuan tersebut
panduan ESC menyarankan bahwa pada pasien SKA tanpa ST elevasi dengan
skor risiko GRACE > 140 sebaiknya menjalani strategi invasif dini (<24 jam).1
14
Angka kematian pasien SKA dengan ST elevasi masih tetap tinggi, 12%
diantaranya akan meninggal dalam 6 bulan.47 Skor GRACE tidak memiliki
peranan dalam memandu tatalaksana akut pasien SKA dengan ST elevasi,49
namun skor GRACE dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang
memiliki risiko tinggi mengalami kematian dalam 6 bulan pasca infark miokard.50
Hal tersebut memungkinkan klinisi untuk terus memperbaiki kualitas terapi yang
diberikan pada pasien STEMI dengan skor GRACE yang tinggi.49 Hubungan skor
risiko GRACE dan risiko kematian selama perawatan dan dalam 6 bulan pasca
rawat pada pasien SKA dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasein SKA47
Sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST
Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian di RS (%)
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)
Rendah 1-108 <1 1-88 <3
Sedang 109-140 1-3 89-118 3-8
Tinggi 141-372 >3 119-263 >8
Sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST
Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian di RS (%)
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)
Rendah 49-125 <2 27-99 <4.4
Sedang 126-154 2-5 100-127 4.5
Tinggi 155-319 >5 128-263 >11
15
Penelitian Khan dkk.51 yang melibatkan 1.033 pasien dengan infark miokard
(STEMI & NSTEMI) menemukan bahwa risiko kematian saat perawatan
ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >149, risiko kematian
dalam 6 bulan ternyata ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor
GRACE > 120. Temuan tersebut didukung oleh penelitian Stavileci dkk.52 yang
menemukan salah satu prediktor mortalitas yang bermakna kuat pada 296 pasien
STEMI adalah skor GRACE >120 dengan OR=4,765.
2.1.3. Peranan Elektrokardiografi dalam Stratifikasi Risiko
Elektrokardiografi adalah pemeriksaan standar baku yang cepat, mudah,
murah yang untuk evaluasi pasien dengan SKA. Sindrom koroner akut disebabkan
oleh terganggunya aliran darah koroner akibat plak atherosklerosis dan trombosis
atau embolisasi distal yang terjadi. Sumbatan yang transien atau inkomplit akan
menyebabkan angina tidak stabil atau non-Q wave myocardial infarction (NQMI).
Karena patogenesis dan presentasi klinis yang sama, pasien dengan UA dan
NQMI juga diklasifikasikan sebagai SKA tanpa elevasi segmen ST.53 Arteri
koroner yang tersumbat total lebih dari 30 menit biasanya akan mengakibatkan ST
elevasi yang terbentuk berujung pada terbentuknya gelombang Q.54,55
Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST
Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi
standar baku dalam diagnosis SKA. Pemeriksaan EKG istirahat 12 sadapan harus
diambil dalam 10 menit pertama setelah bertemu tenaga kesehatan dan secepatnya
diinterpretasikan oleh dokter yang kompeten.13 Elektrokardiografi juga menjadi
16
bagian yang tidak terpisahkan dalam stratifikasi risiko. Karakteristik abnormilitas
EKG dalam SKA tanpa ST elevasi adalah depresi segmen ST, elevasi segmen ST
transien dan/atau perubahan gelombang T.14,15 Temuan elevasi segmen ST yang
persisten >20 menit, dianggap sebagai sebagai STEMI dan tatalaksananya
menjadi berbeda.16,17
Pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki gambaran klinis yang sangat
heterogen. Kelompok ini berdasarkan temuan EKG dapat distratifikasikan
kedalam risiko tinggi, sedang atau rendah. Pasien berisiko tinggi adalah pasien
dengan deviasi segmen ST, pasien berisiko sedang dengan inversi segmen ST, dan
pasien risiko rendah umumnya memiliki temuan EKG yang normal atau
nonspesifik. Kriteria non EKG yang masuk kriteria risiko tinggi adalah usia
diatas 65 tahun, riwayat memiliki PAK sebelumnya, nyeri dada pada 24 jam
sebelumnya dan meningkatnya biomarka jantung.54,56
EKG Normal / Non Diagnostik
Gambaran EKG yang awalnya normal atau non diagnostik dapat ditemukan
pada pasien dengan daerah iskemia yang kecil, oklusi pada salah satu cabang
arteri koroner atau oklusi pada arteri sirkumflek kiri.57,58 Selain itu gambaran
EKG normal dapat diakibatkan oleh tertundanya evolusi segmen ST/gelombang
T. Mayoritas pasien dengan gambaran EKG normal atau nondiagnostik memiliki
prognosis jangka pendek dan jangka panjang yang baik.59,60 Menurut Cannon
dkk.59 sebanyak 60% pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki EKG yang
normal dan angka kematian setahun pertama sekitar 8,2%. Temuan EKG yang
17
normal tidak menyingkirkan kemungkinan PAK, Kantos dkk.57 melalui
penelitiannya menggunakan pencitraan perfusi miokard dengan sestamibi
menemukan bahwa pasien dengan EKG non diagnostik memiliki keterlibatan
miokardium yang tidak jauh berbeda dengan yang memiliki EKG abnormal.
EKG dengan Inversi Gelombang T
Kelompok pasien ini ditemukan memiliki inversi gelombang T sedalam 1-2
mm atau mengalami normalisasi gelombang T. Prognosis temuan EKG ini belum
jelas. Cannon dkk.59 menemukan inversi gelombang T dialami pada 20,5% pasien
dengan SKA dan mortalitasnya pada tahun pertama 6,8%, tidak jauh berbeda
dengan temuan EKG yang normal. Holmvang dkk.61 menemukan bahwa inversi
gelombang T pada >5 sadapan lebih memiliki keluaran yang sama dengan pasien
dengan depresi segmen ST. Nyman dkk.60 menemukan inversi gelombang T
dialami pada 31% pasien SKA dan angka kematian atau infark miokard non fatal
pada setahun pertama hampir dua kali pasien dengan temuan EKG normal.
Savonitto dkk.14 membandingkan prognosis pasien dengan inversi
gelombang T, depresi segmen ST, dan elevasi segmen ST pada penelitian kohort
yang melibatkan 12.142 orang dalam Global Utilization of Streptokinase and
Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries (GUSTO) II.
Mereka menemukan pasien dengan inversi gelombang T memiliki insidensi PAK
non obstruktif dan multivessel disease yang terendah. Pasien dengan inversi
gelombang T saja, memiliki angka kematian dan reinfark yang paling rendah pada
30 dan 180 hari pasca infark.
18
EKG dengan Depresi Segmen ST
Pasien dengan depresi segmen ST memiliki insidensi kematian, kejadian re-
infark dan terulangnya iskemia miokard yang paling tinggi.14,59,60 Deviasi segmen
ST pada SKA diukur 60-80 ms setelah J point dan insidensinya pada SKA
bervariasi dari 12,4% hingga 46% tergantung kriteria yang digunakan (0,5 atau 1
mm).59,62 Tingkat kematian infark miokard non-fatal dalam 30 hari pertama
bervariasi antara 3,6% hingga 16%, angka kematian tersebut meningkat hingga
9,8-22% dalam setahun pertama.62 Hyde dkk.62 juga menemukan bahwa semakin
dalam depresi yang terjadi (0,5 mm, 1 mm, dan > 2 mm), semakin tinggi angka
kematiannya (12%, 15%, dan 41%). Holvfang dkk.61 juga menemukan korelasi
serupa antara depresi segmen ST dan keluaran klinis. Prognosis pasien juga
ditemukan semakin buruk jika terdapat kombinasi depresi segmen ST dan inversi
gelombang T.
Savonitto dkk.14 menemukan sebanyak 50% pasien dengan depresi segmen
ST mengalami elevasi biomarka jantung. Savonitto dkk.14 juga menemukan angka
kematian dan kejadian reinfark dalam 30 hari pada pasien dengan depresi segmen
ST dan CKMB normal sebesar 9,7%, sedangkan mereka yang mengalami
peningkatan CKMB meningkat menjadi 16,7%. Perbedaan serupa ditemukan 6
bulan sesudahnya yaitu sebesar 14,6% dan 21,7%.14
Elektrokardiografi juga berguna untuk mengidentifikasi pasien berisiko
tinggi dengan left main atau three-vessel disease.63 Depresi segmen ST yang difus
dan elevasi segmen ST di sadapan AVR seperti gambar dibawah dapat terjadi
pada pasien three vessel disease yang ektensif. Pasien dengan temuan EKG
19
seperti ini adalah kandidat untuk angiografi koroner dan revaskularisasi dini.64
Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat proximal LAD pada three vessel disease
Keterangan : Depresi segmen ST dapat ditemukan disemua sadapan kecuali V1, V2 dan elevasi di aVR.64
Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST
Pasien elevasi segmen ST dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah pasien dengan elevasi segmen ST transien yang tidak berkembang
menjadi gelombang Q patologis. Kelompok ini dapat diklasifikasikan menjadi
unstable angina (UA) atau Non-Q-Wave Myocardial Infarction (NQMI)
berdasarkan temuan meningkat tidaknya biomarka jantung. Insidensi elevasi
segmen ST transien pada pasien SKA sekitar 10%.64 Prognosis kelompok tersebut
serupa dengan pasien SKA dengan depresi segmen ST. Pasien dengan kombinasi
berupa elevasi dan depresi segmen ST memiliki prognosis terburuk.60 Kelompok
yang penting untuk diketahui adalah pasien dengan nyeri dada khas iskemia,
elevasi segmen ST ringan, dan inversi gelombang T yang dalam di V2-4 yang
biasanya diakibatkan obstruksi berat di arteri anterior desenden kiri.65 Gelombang
Q patologis akan timbul pada mayoritas pasien dengan elevasi segmen ST.
20
Gambar 2.3. Gambaran EKG Multivessel disease Keterangan : EKG diambil saat nyeri dada, terdapat ST elevasi ringan di V1-3 dan inversi gelombang T dalam di sadapan V2-5. Angiografi menunjukkan adanya stenosis 90% di proksimal LAD dan stenosis 85% di RCA & 90% di LCF.64
2.1.4. Fragmentasi QRS
Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda elektrokardiogram baru yang
menggambarkan terganggunya konduksi ventrikel saat melalui daerah
miokardium yang perfusinya terganggu.32 Fragmentasi QRS diduga timbul akibat
terbentuknya jaringan parut atau nekrotik pada miokard, beberapa studi telah
menemukan keberadaan fQRS dihubungkan dengan meningkatnya kejadian
kardiovaskular dan kematian.26,70,71,80
Definisi & Batasan Fragmentasi QRS
Penelitian Das dkk.21 tahun 2006 adalah penelitian besar pertama yang
mempelajari fQRS pada pasien PAK. Definisi fQRS pada penelitian tersebut
adalah keberadaan gelombang R tambahan (R’) atau bertakik pada nadir
gelombang S atau gelombang R, atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi)
pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner yang
pemperdarahinya. Pola bundle branch block yang umum (QRS > 120 ms) dan
21
juga incomplete right bundle branch block tidak dianggap sebagai fragmentasi
QRS.
RSR’ rSr’ rSR’ S bertakik R bertakik fQRS
Gambar 2.4. Beragam bentuk morfologi fQRS pada EKG 12 sadapan18
Sejak penelitian pertama tersebut, Das dkk. telah menambahkan definisi
wide complexes fQRS yaitu gelombang R’ >2 atau bertakik dalam gelombang R
atau S pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan dengan komplek QRS yang
lebar (>120 ms) akibat bundle branch block (BBB), pacing, atau premature
ventricular contraction (PVC). Fragmentasi QRS pada premature ventricular
contraction dianggap ada jika takik / fragmentasinya terpisah >40 ms dan terjadi
pada 2 sadapan yang berhubungan.74
22
fQRS pada RBBB
fQRS pada LBBB
fQRS pada irama pacing
fQRS pada PVC
Gambar 2.5. Morfologi fQRS lebar pada EKG 12 sadapan74
Patofisiologi Fragmentasi QRS
Proses depolarisasi normal terdiri dari 3 fase yaitu aktivasi septum
interventrikular (fase 1), dinding bebas ventrikel kanan (fase 2) dan dinding bebas
ventrikel kiri (fase 3).66 Fase 2 dan 3 normalnya terjadi secara simultan dan
berjalan hampir berlawanan arah menghasilkan vektor akhir yang terlihat pada
EKG permukaan. Fase 2 akan tertunda dan timbul setelah fase 3 pada Right
Bundle Branch Block (RBBB) sehingga terjadi pemanjangan durasi QRS.
Depolarisasi ventrikel kanan akan menghasilkan potensial listrik yang lebih tinggi
pada EKG permukaan karena tidak ada aktivitas listrik berlawanan akibat
depolarisasi ventrikel kiri yang simultan. Aktivasi ventrikel kanan dengan vektor
tanpa lawan inilah yang akan mengakibatkan hilangnya gelombang S pada V1
23
yang dapat hilang sepenuhnya tergantung beratnya gangguan konduksi yang
terjadi. Karena hal tersebut perubahan EKG pada RBBB terutama adalah
pemanjangan gelombang QRS dan depolarisasi terminal yang tertunda yang
dimanifestasikan dengan adanya gelombang R’ tambahan dengan berkurangnya
gelombang S di V1 dan V2 dan juga gelombang S bertakik yang dominan di I, V5
dan V6.66 Fenomena yang serupa tapi dengan vektor yang berlawanan terjadi pada
left bundle branch block (LBBB) dan dimanifestasikan sebagai gelombang
berpola RSR’ pada sadapan prekordial kiri.
Mekanisme yang terjadi pada fQRS masih spekulatif, namun diduga
berbeda dengan mekanisme terjadinya RBBB atau LBBB. Fase 2 dan fase 3
depolarisasi ventrikel pada pasien dengan fQRS tetap berlangsung secara
bersamaan, namun salah satunya akan terganggu akibat adanya daerah ventrikel
yang mengalami fibrosis / iskemia sehingga timbul aktivasi ventrikel yang
inhomogen. Hal tersebut meningkatkan risiko timbulnya aritmia dan juga
kematian. Penelitian sebelumnya menganggap fragmentasi QRS sebagai blok
konduksi peri-infark.67 Mekanisme tersebut didukung oleh temuan post mortem
pasien infark miokard dengan fQRS yang ditemukan mengalami nekrosis miokard
yang berat (fibrous) diantara jaringan miokard yang masih baik.67 Pemetaan
endokardial dan epikardial pada pasien PAK dan kardiomiopati dilatasi dengan
aritmia ventrikel menemukan gambaran EKG yang terfragmentasi disekitar
jaringan parut miokard.68,69 Hal serupa juga ditemukan pasien PAK dan
kardiomiopati dilatasi yang telah menjalani transplantasi jantung dan memiliki
kelompok otot dengan fibrosis intersitial dimana konduksi mengalami
24
perlambatan sehingga timbul bentuk “zig-zag” pada EKG yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya reentry.70,71 Keberadaan jaringan parut pada miokard
seperti beberapa penelitian diatas dianggap sebagai substrat patologis yang
menyebabkan terganggunya proses depolarisasi sehingga timbul gelombang R
tambahan atau gelombang S atau R yang bertakik.18
Fragmentasi QRS pada Penyakit Arteri Koroner
Penelitian penelitian sebelumnya menemukan salah satu penanda aneurisma
ventrikel adalah pola rsR’ atau fragmentasi QRS pada EKG.19,72 Reddy dkk.19
menemukan fQRS tidak hanya ditemukan pada sadapan prekordial, namun dapat
juga ditemukan pada sadapan ekstremitas. Lokasi timbulnya fQRS ditemukan
berhubungan dengan abnormalitas gerakan dinding regional pada ekokardiografi.
Dugaan bahwa fQRS merupakan penanda adanya jaringan parut pada miokard
menjadi dasar penelitian Das dkk.18 pada tahun 2006 yang menemukan bahwa
fQRS adalah penanda infark yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih
tinggi dari gelombang Q sebagaimana dibuktikan pada pemeriksaan sidik perfusi
miokard (SPM) menggunakan SPECT. Lokasi fQRS pada penelitian tersebut
ditemukan berhubungan dengan lokasi lesi arteri koroner. Fragmentasi QRS pada
>2 sadapan anterior (V1-V5) timbul akibat rusaknya miokard karena lesi di arteri
anterior desenden kiri (LAD). Fragmentasi QRS pada >2 sadapan lateral (I, aVL,
dan V6) diakibatkan lesi pada arteri sirkumflek kiri (LCX). Fragmentasi QRS
pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF) diakibatkan rusaknya miokard akibat
lesi pada segmen inferior atau arteri koroner kanan (RCA).18
25
Penelitian Das dkk.73 selanjutnya melibatkan 998 orang pasien yang
dievaluasi PAK. Kematian akibat semua sebab lebih tinggi (34% banding 26%)
dan kejadian kardiovaskular (infark miokard, kematian jantung, kebutuhan
revaskularisasi) ditemukan lebih tinggi (50% banding 28%) pada pasien dengan
fQRS dibandingkan pasien tanpa fQRS selama periode follow up 57 minggu.
Penelitian Mahenthiran dkk.22 melibatkan 155 pasien dengan fQRS yang
menjalani pemeriksaan SPM. Pasien dengan fQRS ditemukan memiliki gangguan
fungsi (fraksi ejeksi) lebih rendah, gangguan perfusi lebih berat, dan jaringan
parut regional yang sesuai dengan lokasi fQRS pada EKG (sensitivitas 75%,
spesifitas 94%). Penelitian Ozdemir dkk.74 yang melibatkan 261 pasien yang
menjalani pemeriksaan SPM juga menemukan kelompok fQRS memiliki
prevalensi iskemia (defek reversible) dan infark (defek menetap) sebanyak 4,38
kali dan 5,95 kali lebih tinggi dibandingkan group kontrol tanpa fQRS. Penelitian
Tangcharoen dkk.75 dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) jantung
menemukan pasien dengan fQRS memiliki prevalensi lesi miokard yang lebih
tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS (24,5% banding 12,2%). Setelah
disesuaikan dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya, analisis regresi
multivariabel keberadaan fQRS pada EKG ditemukan sebagai prediktor kuat
adanya jaringan parut pada miokard (OR 4,26, P=0,026).
26
Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG, pada SPM ditemukan defek di inferior.18
Studi Retrospektif Wang dkk.33 melibatkan 1.151 pasien yang menjalani
SPM memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian Das.18 Wang dkk.33
menemukan fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam
mendeteksi gangguan perfusi miokard. Tibrewela dkk.35 juga tidak menemukan
hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya jaringan parut pada pemeriksaan
SPECT ataupun stenosis bermakna pada angiografi. Penelitian Ahn dkk. 34 juga
menemukan bahwa fQRS tidak lebih baik dari gelombang Q dalam
memprediksikan infark (defek menetap) pada pemeriksaan Ga-MRI.
27
Fragmentasi QRS pada Sindrom Koroner Akut
Sejak penelitian pertama oleh Das dkk.18 telah ada banyak penelitian yang
mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca
infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel kiri
(sensitivitas 50%, spesifitas 94,5%),19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20,21
meningkatnya risiko kejadian kardiovaskular mayor.23,24,27 dan kematian pada
pasien SKA.25-27 Risiko kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung
pada pasien pasca infark juga semakin tinggi seiring banyaknya temuan fQRS
pada sadapan jantung.28
Penelitian lanjutan Das dkk.25 melibatkan 896 pasien SKA menemukan
fQRS pada 224 pasien (51%) dengan infark miokard dan hanya pada 17 pasien
(3.7%) pasien angina tidak stabil. Gelombang Q baru timbul pada 122 (28%)
pasien dengan infark miokard (23% pada pasien NSTEMI) dan 2 (0.4%) pada
pasien angina tidak stabil. Fragmentasi QRS ditemukan sebagai penanda infark
dengan sensitivitas sebesar 55% pada kasus infark miokard (50% pada NSTEMI)
dengan spesifitas sebesar 96%.25 Studi Guo dkk.29 menemukan fQRS pada kasus
NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh koroner mana yang
bertanggung jawab dengan sensitivitas (77,1%) dan spesifitas (71,5%) total yang
lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.
28
Gambar 2.7. Gambaran angiografi dengan aterosklerosis difus pada pasien NSTEMI dengan fQRS pada V2-V4.29
Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada pasien STEMI dihubungkan
dengan temuan hitung jenis leukosit, kadar CKMB dan Troponin yang lebih
tinggi, waktu pain to ballon time yang lebih lama, skor killip yang lebih tinggi,
gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya
gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS.30 Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal
sehingga jaringan miokardium yang mengalami infark lebih luas.30
29
Gambar 2.8. Gambaran fQRS pada pasien STEMI posterolateral
Penelitian Cetin dkk.31 menemukan bahwa pasien dengan fQRS yang timbul
saat masuk rawat atau timbul setelah tindakan IKP primer memiliki marka
inflamasi dan biomarka jantung yang lebih tinggi, pain to ballon time yang lebih
lama, durasi QRS lebih panjang, keterlibatan arteri koroner lebih banyak, dan
gelombang Q abnormal yang lebih sering dibandingkan pasien yang tidak
memiliki fQRS atau yang fQRS-nya menghilang. Fragmentasi QRS yang menetap
pasca IKP primer sangat berhubungan dengan rendahnya penurunan elevasi
segmen ST dan parameter reperfusi miokard.31 Temuan tersebut serupa dengan
temuan Erdem dkk. yang menemukan bahwa keberadaan fQRS berhubungan
dengan kegagalan reperfusi pada pasien IMA dengan ST elevasi. Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan memiliki grade TIMI Myocardial Perfusion (TMP) dan
fraksi ejeksi yang lebih rendah.32
Sheng dkk.24 pada sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 300
pasien IMA menemukan insidensi aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan kematian
pada pasien yang memiliki fQRS sebesar 13,6%, 29,2% dan 23,7%. Nilai tersebut
secara bermakna lebih besar (nilai p <0,05) dibandingkan pasien yang tidak
30
memiliki fQRS. Angka kejadiannya secara bermakna lebih tinggi (nilai p <0,01)
pasien STEMI dengan fQRS dibandingkan NSTEMI. Pasien IMA dengan fQRS
yang menjalani IKP tidak mengalami penurunan kejadian aritmia yang bermakna,
sedangkan gagal jantung dan kematian ditemukan lebih rendah secara bermakna
(nilai p 0,031 dan <0,001).24 Berdasarkan penelitian tersebut, temuan fQRS pada
pasien NSTEMI dapat digunakan sebagai salah satu indikasi tindakan
revaskularisasi segera.
Fragmentasi QRS pada Kelainan Jantung Lainnya
Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien dengan kardiomiopati
dilatasi (DCM), temuan ini meningkatkan kemungkinan timbulnya kontraksi
prematur ventrikel (PVC) dan kematian mendadak.76 Temuan fQRS juga
menandakan keberadaan jaringan parut miokard yang dibuktikan melalui Ga-MRI
pada pasien bukan PAK.77 Homsi dkk. menemukan fQRS dapat ditemukan pada
sarkoidosis jantung dengan sensitivitas sebesar 100% dan spesifitas 80% yang
dibuktikan melalui MRI dengan kontras gadolinium (Ga-MRI).78 Peters dkk.
menemukan bahwa fQRS pada > 2 sadapan dapat ditemukan pada 190 dari 360
orang pasien dengan Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD),
sedangkan gelombang epsilon pada amplifikasi sadapan prekodial kanan dan
ekstremitas ditemukan pada 159 kasus.79 Sehingga keberadaan fQRS dapat
dijadikan salah satu penanda EKG pada pasien dengan kecurigaan klinis ARVD.
Fragmentasi QRS sering ditemukan pada pasien dengan sindrom Brugada,
terutama pada kelompok yang pernah mengalami ventrikular fibrilasi.80 Uji klinis
31
acak PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE (PRELUDE)
menemukan fQRS bermanfaat untuk mengidentifikasi kandidat implantasi ICD
pada pasien sindrom Brugada.81 Pasien dengan Acquired Long QT-Syndrome
(ALQTS) yang rentan mengalami torsade de pointes memiliki gangguan
repolarisasi yang ditandai dengan pemanjangan interval QT dan pemanjangan
puncak hingga akhir gelombang T yang menandakan dispersi transmural atau
intraventrikular.82 Fragmentasi QRS ditemukan pada sebagian besar (81%) pasien
ALQTS dengan riwayat sinkope atau torsade de pointes. Walau onset torsade de
pointes adalah triggered activity akibat early after depolarization, jaringan parut
pada miokard yang muncul sebagai fQRS dapat menjadi subtrat yang
menyebabkan aritmia reentrant pada kelompok pasien tersebut.83
Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien pasca koreksi kelainan
jantung bawaan. Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien Tetralogy of
Fallot (TOF) post koreksi dan dihubungkan dengan adanya jaringan parut pasca
operasi yang lebih luas, fraksi ejeksi yang lebih rendah dan ukuran ventrikel
kanan yang lebih besar.84 Fragmentasi QRS dapat juga ditemukan pada stenosis
katup mitral akibat penyakit jantung rematik dan dihubungkan dengan temuan
ejeksi fraksi yang lebih rendah, hipertensi pulmonal, kelas fungsional New York
Heart Association (NYHA) yang lebih rendah dan mitral valve area yang lebih
rendah.85 Proses inflamasi dan degenerasi pada katup jantung diduga
mengakibatkan kerusakan miokardium sehingga timbul fQRS.
32
Pengaturan EKG untuk Deteksi Fragmentasi QRS
Pengaturan pemeriksaan elektrokardiografi untuk mendeteksi fQRS pada
beberapa penelitian adalah dengan rentang high-pass filter 0.05-20 Hz (biasanya
0.15Hz), low pass filter 100-150 Hz dan AC Filter 50-60Hz dengan kecepatan 25
mm/s dan amplitudo 10 mm/mV tetap.18,73,77 Low pass filter digunakan untuk
mengurangi bising yang timbul akibat aktivitas listrik dan otot saat perekaman
EKG. Ambang frekwensi yang umum digunakan dapat menyaring spike kecil
yang timbul sehingga fQRS tidak terdeteksi, untuk menghindari hal tersebut Das
menyarankan penggunaan low pass filter dengan frekuensi 100-150 Hz.
Gambar 2.9. Dampak pengaturan low pass filter pada EKG
Keterangan : EKG dengan low pass filter 35Hz hanya menunjukkan 2 spike dalam kompleks QRS
(kiri). Dengan merubah ambang frekwensi dari 35 menjadi 150 Hz, dapat ditemukan 3 spike baru
dalam komplek QRS (kanan).
33
2.1.4. Hubungan Fragmentasi QRS dengan Skor GRACE
Pasien IMA dengan fragmentasi QRS pada pemaparan sebelumnya
ditemukan memiliki daerah infark lebih luas,30 hitung jenis leukosit serta
biomarka jantung lebih tinggi,30 kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka
kematian lebih tinggi.25-28 Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS semakin
tinggi angka perawatan kembali yang terjadi karena gagal jantung jantung dan
kematian pada pasien pasca IMA.28 Beratnya komplikasi gagal jantung yang
terjadi pada SKA tergambarkan dalam klasifikasi killip yang menjadi salah satu
variabel skor GRACE. Penelitian El-Menyar dkk.86 mempelajari klasifikasi killip
pada 6.704 pasien SKA mendapatkan semakin tinggi kelas killip, fraksi ejeksi dan
tekanan darah sistolik ditemukan lebih rendah sedangkan laju jantung, kadar
serum kreatinin, dan nilai GRACE ditemukan lebih tinggi (p<0,001). Berdasarkan
hal tersebut kemungkinan besar terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok pasien IMA dengan fQRS dibandingkan tanpa fQRS, pasien IMA
dengan fQRS akan memiliki temuan skor GRACE yang lebih tinggi.
Kemungkinan tersebut diperkuat temuan Stavileci dkk.52 yang mempelajari
makna fQRS pada 296 pasien dengan STEMI dan menemukan pasien dengan
fQRS berisiko 2 kali lebih besar memiliki skor GRACE yang tinggi (>120).
2.2. Kerangka Pikiran
Sindrom koroner akut adalah manifestasi akut penyakit kardiovaskular
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien
infark miokard dengan ST elevasi sudah jelas. Stratifikasi risiko menjadi bagian
34
yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana pasien NSTEMI atau unstable angina.10
Skor GRACE disarankan penggunaannya dalam panduan ESC10 karena terbukti
lebih akurat13,14 dibandingkan skor risiko lainnya. Namun penggunaan skor
GRACE terbentur kompleksitas sistem skoring tersebut sehingga membutuhkan
bantuan komputer atau smartphone dan serangkaian pemeriksaan yang jarang bisa
dikerjakan di Indonesia. Dibutuhkan parameter yang mudah, murah, tersedia luas
dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu modalitas stratifikasi risiko untuk memandu tatalaksana SKA yang optimal.
Pemeriksaan EKG yang rutin dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua
syarat tersebut dan fQRS menjadi salah satu penanda baru yang berpotensi dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana SKA.
Fragmentasi QRS timbul akibat gangguan konduksi karena adanya jaringan
miokard yang mengalami fibrosis. Pasca infark keberadaan fQRS ditemukan lebih
sensitif dan spesifik sebagai penanda infark miokard dibandingkan gelombang
Q.18 Depresi segmen ST atau inversi gelombang T adalah penanda iskemia yang
selama ini digunakan untuk diagnosis pasien NSTEMI atau UA.16 Penelitian Das
dkk.25 menemukan bahwa fQRS dapat menjadi penanda infark yang dapat
membedakan pasien NSTEMI dari pasien UA dengan sensitivitas sedang (50%)
dan spesifitas yang tinggi (96%). Guo dkk. bahkan menemukan sensitivitas dan
spesifitas fQRS lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T untuk
memprediksi arteri koroner yang menjadi penyebab SKA.29 Penelitian lainnya
menemukan pasien SKA dengan fQRS memiliki daerah infark yang lebih luas,30
hitung jenis leukosit serta biomarka jantung yang lebih tinggi,30 kejadian aritmia
35
yang lebih sering,23,24 dan angka kematian yang lebih tinggi25-28 dibandingkan
pasien SKA tanpa fQRS. Studi terbaru oleh Shen dkk. bahkan menyimpulkan
fQRS dapat digunakan sebagai indikasi perlunya intervensi cepat pada kasus
NSTEMI.24
Fragmentasi QRS telah banyak dihubungkan dengan prognosis yang lebih
buruk pada pasien SKA, walau demikian hingga kini belum ada sistem stratifikasi
risiko yang menggunakan fQRS sebagai salah satu variabel yang bermakna.
Penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fragmentasi QRS dengan
sistem skoring, khususnya GRACE belum ada. Penelitian retrospektif Stavileci
dkk.52 mencari hubungan temuan fQRS yang sempit pada pasien STEMI dengan
keluaran klinis menemukan fQRS yang sempit meningkatkan risiko mendapatkan
skor GRACE yang tinggi (>120) hingga 2 kali lipat. Penelitian yang menemukan
bahwa pasein IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa fQRS dapat memperluas khasanah pengetahuan di bidang
tatalaksana SKA dan memungkinkan penggunaan fQRS sebagai parameter EKG
yang mudah dan murah untuk membantu identifikasi pasien infark miokard
berisiko tinggi yang dapat diuntungkan dari terapi yang lebih agresif.
36
2.3. Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 2.10. Kerangka Pemikiran
Sindrom Koroner Akut
Unstable Angina STEMI NSTEMI
fQRS (-) fQRS (+)
Leukosit & biomarka jantung lebih tinggi30
Daerah infark lebih luas30,31
Gagal Jantung lebih berat, fraksi ejeksi lebih rendah20,21,23
Kelas Killip yang tinggi89
Laju jantung é
Kadar kreatinin é
Tekanan darah sistolik ê
Risiko terjadinya henti jantung é
Skor GRACE é
STEMI : prognosis
NSTEMI : memandu
tatalaksana dan prognosis1
Hubungan antara
fQRS(+) dan skor GRACE?
FOKUS PENELITIAN
37
2.4. Premis-premis
Berdasarkan fakta-fakta empiris objektif yang telah dijabarkan diatas, maka
disusun premis-premis sebagai berikut :
Premis 1 :
Fragmentasi QRS adalah penanda EKG baru akibat proses depolarisasi ventrikel
inhomogen pada daerah infark29 atau fibrosis.18,76
Premis 2 :
Pasien IMA dengan fQRS memiliki daerah infark lebih luas, biomarka jantung
lebih tinggi,30 fraksi ejeksi lebih rendah,21 komplikasi gagal jantung lebih sering
dan berat, kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka kematian lebih tinggi.25-28
Premis 3 :
Panduan ESC10 menyarankan penggunaan skor GRACE karena lebih akurat.13,14
Premis 4 :
Risiko mendapatkan skor GRACE yang tinggi (>120) dua kali lebih besar pada
pasien STEMI dengan fQRS.52
Premis 5 :
Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS (> 3) pada pasien IMA, semakin
tinggi angka kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung.28
2.5. Hipotesis
Berdasarkan premis-premis diatas dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna akan lebih tinggi
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
38
BAB III
SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Subjek dan Bahan Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien yang terdiagnosis infark miokard akut
(STEMI dan NSTEMI) berdasarkan kriteria European Society of Cardiology /
American Heart Association yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr.
Hasan Sadikin yang memenuhi kriteria inklusi.
3.1.1. Ukuran Sampel
Penetapan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan
formula estimasi besar sampel untuk uji beda dan rata-rata sebagai berikut:
𝑛 = 𝜎!! + 𝜎!! 𝑍!!!/! + 𝑍!!!
!
𝜇2− 𝜇1
Keterangan : n = jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, σ1= Standar deviasi grup 1, σ2= Standar deviasi grup 2, µ1 = rata - rata grup 1, µ2 = rata - rata grup 2
Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan 95% (𝑍!!!/! = 1,96) dan
kekuatan uji 80% (𝑍!!! = 0,84), µ1 = 115, SD1=22,7, µ2= 103, SD1=25,36.
Berdasarkan rumus diatas maka diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 75
subjek penelitian untuk masing-masing kelompok.
39
3.1.2. Kriteria Inklusi
Subjek pada penelitian ini adalah pasien RSUP Dr. Hasan Sadikin yang
terdiagnosis infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI) berdasarkan kriteria
ESC/AHA dengan rekam medis lengkap yang memungkinkan dilakukannya
analisis skor risiko GRACE dan hasil pemeriksaan EKG berkualitas yang
memungkinkan identifikasi fragmentasi QRS.
3.1.3. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah faktor perancu yang diduga
dapat mempengaruhi temuan skor GRACE skor atau fQRS29,31 yaitu pasien
dengan :
- Riwayat infark miokard lama.
- Kelainan jantung valvular organik (penyakit jantung rematik).
- Kelainan konduksi jantung bundle branch block (LBBB & RBBB).
- Gangguan irama : atrial fibrilasi, total AV block atau irama junctional,
penggunaan alat pacu jantung dengan pacing ventrikular.
- Pasien wolff-parkinson-white syndrome, kardiomiopati, miokarditis, dan
penyakit jantung kongenital.
- Pasien yang meninggal dalam 24 jam pertama (tidak menjadi bagian dalam
register GRACE).46,47
- Komorbiditas lain yang dapat mempengaruhi laju jantung, tekanan darah
sistolik dan kerenanya mempengaruhi temuan skor GRACE (proses infeksi,
pendarahan, gagal ginjal kronis, keganasan, stroke, dsb.)
40
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan
penelitian potong lintang.
3.2.2. Identifikasi Variabel
Variabel pada penelitian ini terdiri atas variabel bebas dan variabel
tergantung :
- Variabel bebas (independen) pada penelitian ini adalah temuan fragmentaasi
QRS pada elektrokardiografi 12 sadapan.
- Variabel terikat (tergantung) pada penelitian ini adalah skor risiko GRACE.
3.2.3. Definisi Operasional
Definisi Operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
- Fragmentasi QRS sempit (<120 ms) adalah keberadaan gelombang R
tambahan (R’) atau bertakik pada nadir gelombang S atau gelombang R,
atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi) pada setidaknya 2 sadapan
yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner yang pemperdarahi.18
- Fragmentasi QRS dinilai ada jika ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan sesuai lokasi arteri koroner yang mempedarahinya. Lokasi
tersebut disamakan dengan penelitian awal Das dkk. yaitu : Temuan fQRS
pada >2 sadapan anterior (V1-V5) karena lesi di arteri anterior desenden kiri
(LAD), fQRS pada >2 sadapan lateral (I, aVL, dan V6) karena lesi arteri
41
sirkumflek kiri (LCX), dan fQRS pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF)
karena lesi arteri koroner kanan (RCA).18
- Kriteria tambahan yang digunakan untuk memastikan ada tidaknya fQRS
jika meragukan adalah fQRS ditemukan pada >60% kompleks QRS pada
sadapan yang sama.
- Keberadaan fQRS dalam penelitian ini tentukan oleh penilai independen
yang tidak mengetahui diagnosis ataupun nilai dari Skor Risiko GRACE.
Parameter fQRS yang diperhitungkan dalam penelitian ini yaitu ada atau
tidaknya fQRS dan jumlah sadapan dengan fQRS apakah 2 sadapan atau
lebih dari >3 sadapan.
Skor Risiko GRACE dihitung dengan menggunakan aplikasi resmi untuk
smartphone bernama GRACE ACS Risk Model dari www.outcomes.org saat
pasien masuk rawat berdasarkan 8 variabel dibawah ini :
- Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan saat
jantung berkontraksi. Variablel tekanan darah sistolik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tekanan darah sistolik saat masuk rawat yang
tercantum dalam rekam medik pasien.
- Laju jantung yang dijadikan variabel dalam penelitian ini adalah laju
jantung saat masuk rawat yang tercantum dalam rekam medik pasien.87
- Variabel usia yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia pasien yang
tercantum dalam rekam medik pasien saat masuk rawat.
- Variabel kadar kreatinin yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar
kreatinin yang tercantum dalam rekam medik pasien.
42
- Kelas killip adalah parameter klinis yang umum digunakan untuk
menggambarkan beratnya gagal jantung dalam SKA. Pasien dengan kelas
killip I tidak mengalami gagal jantung. Pasien dengan kelas killip II
memiliki temuan klinis gagal jantung ringan-sedang (terdengar S3, dan
ronkhi di basal <½lapang paru). Kelas killip III memiliki temuan edema
paru akut / gagal jantung berat (ronkhi > ½ lapang paru). Kelas killip IV
adalah edema paru disertai syok kardiogenik.88
- Henti jantung pada penelitian ini henti jantung adalah adanya riwayat
ventrikular fibrilasi atau ventrikular takikardia yang mengakibatkan
gangguan sirkulasi mendadak saat pasien datang atau selama perawatan di
IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin.
- Deviasi segmen ST dalam skor risiko GRACE adalah elevasi atau depresi
segmen ST yang terjadi pada pasien SKA.89 Variabel ada tidaknya deviasi
segmen ST pada penelitian ini ditemukan pada rekam medis EKG pasien
yang terdiagnosis SKA.
- Biomarka jantung pada penelitian ini adalah pemeriksaan troponin-T dan
CKMB yang dikerjakan saat pasien datang ke IGD RSUP Dr. Hasan
Sadkin. Nilai normalnya mengacu pada nilai normal yang telah ditetapkan
laboratorium patologi klinik RSUP Dr. Hasan Sadikin.
Definisi operasional yang digunakan dalam kriteria eksklusi penelitian ini
antara lain :
- Fragmentasi QRS lebar adalah gelombang R’ >2 atau bertakik dalam
gelombang R atau S pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan dengan
43
komplek QRS yang lebar dengan durasi >120 ms akibat Bundle Branch
Block (BBB), pacing, atau premature ventricular contraction (PVC).
Fragmentasi QRS pada PVC dianggap ada jika takik / fragmentasinya
terpisah >40 ms dan terjadi pada 2 sadapan yang berhubungan.76
- Infark miokard lama dalam penelitian ini adalah pasien yang memiliki
riwayat perawatan karena infark miokard dengan pengantar pulang yang
jelau, atau temuan defek irreversible pada sidik perfusi miokard, atau
temuan ekokardiografi sebelumnya dengan gerakan regional dinding
jantung akinetik / diskinetik, atau temuan EKG sebelumnya yang
menunjukkan adanya gelombang Q yang bermakna pada 2 sadapan yang
berhubungan, atau tim dokter yang menangani mendiagnosis infark miokard
lama / old myocardial infaction.
- Kelainan jantung valvular organik, khususnya penyakit jantung rematik
dapat memiliki temuan fragmentasi QRS pada EKG.85 Pasien yang diduga
memiliki kelainan jantung valvular organik dikeluarkan dari penelitian ini
jika ada temuan ekokardiografi yang menunjang atau tim dokter yang
menangani mendiagnosis adanya suatu kelainan valvular.
- Kelainan konduksi jantung berupa bundle branch block yang disingkirkan
dalam penelitian ini adalah left bundle branch block (LBBB) dan right
bundle branch block (RBBB) baik komplit atau inkomplit. Dengan definisi
dibawah ini :
- Definisi LBBB komplit yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada definisi yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO)
44
bersama International Society and Federation for Cardiology (ISFC)
yaitu : 1) Durasi QRS >120 ms, 2) Sadapan V5, V6 dan aVL
menunjukkan gambaran gelombang R yang lebar dan bertakik atau
slurred, 3) Kecuali aVL, gelombang Q tidak ditemukan pada sadapan
sebelah kiri, 4) Puncak gelombang R memanjang hingga lebih dari 60 ms
di sadapan V5 dan V6 tapi normal di sadapan V1 dan V2.90
- Definisi RBBB komplit pada penelitian ini mengacu pada definisi WHO
dan ISFC yaitu 1) Durasi QRS >120 ms, 2) Gelombang dengan pola rsr’,
rsR’, atau rSR’ di sadapan V1 atau V2 dan kadang disertai gelombang R
yang lebar dan bertakik, 3) Gelombang S lebih lama dari 40 ms atau
lebih dibandingkan durasi gelombang R di sadapan V6 dan I, dan 4)
waktu puncak gelombang R normal di sadapan V5 dan V6 namun
memanjang > 50 ms di sadapan V1.
- Definisi LBBB inkomplit pada penelitian ini mengacu pada definisi
WHO dan ISFC yaitu : 1) Durasi QRS lebih dari > 100 ms tapi <120 ms,
2) Pemanjangan puncak gelombang R hingga 60 ms atau lebih pada
sadapan prekordial kiri, 3) Tidak adanya gelombang Q pada sadapan V5,
V6, dan I.90
- Definisi RBBB inkomplit pada penelitian ini adalah adanya temuan EKG
dengan pola rSr’ di sadapan V1 yang disertai dengan inversi gelombang
T dan durasi QRS < 120 ms.91
- Pasien dengan kelainan irama jantung tidak dimasukkan kedalam penelitian
karena ada kekhawatiran kelainan yang terjadi dapat mengganggu proses
45
depolarisasi ventrikel. Pasien dengan temuan EKG atrial fibrilasi, total AV
blok, dan irama junctional tidak dimasukkan kedalam penelitian ini.
- Pasien dengan alat pacu jantung yang dikeluarkan dalam penelitian ini
adalah pasien yang memiliki riwayat pernah dipasang alat pacu jantung
sebelumnya.
- Pasien yang dimaksud memiliki sindrom WPW pada penelitian ini adalah
pasien yang pernah terdiagnosis WPW atau memiliki gambaran EKG
dengan pola sebagai berikut : 1) Interval PR <120 ms dengan gelombang P
yang normal, 2) Gelombang QRS lebar dengan durasi lebih dari 110 ms
atau lebih, 3) Ada slurring pada permulaan gelombang QRS atau ada
gelombang delta, 4) Perubahan sekunder pada segmen ST dan gelombang
T.91
- Pasien kardiomiopati pada penelitian ini adalah pasien yang sebelumnya
terdiagnosis kardiomiopati dilatasi pada rekam medis / pengantar rawat
jalan, atau ada temuan ekokardiografi berupa dilatasi ruang-ruang jantung
dan kontraktilitas jantung yang menurun (hipokinetik global) atau
didiagnosis kardiomiopati dilatasi saat masuk rawat.
- Pasien miokarditis yang dikeluarkan dari penelitian ini adalah pasien
dengan diagnosis kerja atau diagnosis banding miokarditis.
- Pasien dengan kelainan bawaan yang kompleks dapat memiliki fQRS, hal
ini ditemukan pada pasien tetralogy of fallot pasca koreksi.84 Data yang
tersedia mengenai fQRS pada populasi PJB masih sangat terbatas,
karenanya diambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh populasi PJB dari
46
penelitian ini. Pasien yang diduga memiliki PJB pada ekokardiografi atau
tercatat memiliki PJB sebelumnya, atau didiagnosis PJB saat masuk rawat.
- Pasien dengan komorbiditas lain seperti gagal ginjal, pneumonia, asma,
sepsis, stroke, dsb dinilai dapat mempengaruhi skor GRACE dengan
mempengaruhi tekanan darah sistolik, laju jantung, ureum, kreatinin, dan
biomarka jantung sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
- Faktor risiko kardiovaskular adalah faktor risiko yang tercatat dalam rekam
medik pasien.
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
Pasien yang terdiagnosis infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI) di
Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin dicari rekam mediknya. Pasien
dengan catatan rekam medik yang lengkap, dan pemeriksaan EKG yang
berkualitas dimasukkan kedalam penelitian. Rekam medik lengkap yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah rekam medik dengan identitas yang jelas
(nama, jenis kelamin, umur) dan mengandung data yang dibutuhkan penelitian ini,
yaitu anamnesa (riwayat henti jantung), tanda vital (tekanan darah sistolik dan laju
jantung), pemeriksaan fisik (tanda gagal jantung), pemeriksaan penunjang (hitung
jenis leukosit, kreatinin, troponin, CKMB, ekokardiografi). Pemeriksaan EKG
yang berkualitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah EKG dengan
identitas, waktu, dan gambar yang jelas. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak memiliki kriteria eksklusi akan diikut sertakan dalam penelitian.
47
Skor GRACE dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile resmi skor
GRACE (www.outcomes.org) yang dapat di unduh dari apple application store.
Pembacaan EKG dilakukan oleh dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh
darah yang ditunjuk departemen kardiologi dan kedokteran vaskular. Data yang
diperoleh akan dianalisis menggunakan program Microsoft Excel 2011 dan IBM
SPSS Ver 20 untuk Mac.
Gambar 3.1. Skema Alur Penelitian
Memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memenuhi kriteria eksklusi
Pasien IMA di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin
Pengumpulan Data
Kelompok fQRS (-) Dihitung skor GRACE
Analisis Data
Kelompok fQRS (+) Dihitung skor GRACE
Laporan Hasil Penelitian
48
3.2.5. Rancangan Analisis Statistik
Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistik. Analisis
deskriptif akan dilakukan pada jenis data kategorik untuk menghitung besaran
jumlah dan persentase. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov akan dikerjakan
terhadap data numerik mengingat jumlah subjek penelitian lebih dari 50 orang.
Data numerik berdistribusi normal akan ditampilkan dalam bentuk rata-rata dan
simpangan baku, sedangkan data yang tidak berdistribusi normal akan
ditampilkan dalam bentuk median dan rentang. Variabel yang bersifat kategori
(jenis kelamin, waktu kedatangan, faktor risiko, kelas killip) akan dianalisis
menggunakan tabel kontingensi dan uji statistik chi-square. Variabel yang bersifat
numerik atau kontinyu akan dianalisis menggunakan uji rata-rata independent
samples t-test.
3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian
Pemilihan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dilaksanakan di
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Variabel yang dianalisis didapat dalam rekam
medik pasien dengan IMA. Pemeriksaan EKG akan diperiksa adalah pemeriksaan
EKG yang telah dikerjakan di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan
tersimpan didalam rekam medik / arsip digital. Penelitian ini direncanakan pada
bulan Maret sampai dengan Juni 2014.
49
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian
September 2013 -
Februari 2014
Maret
2014
April - Juni
2014
Persiapan
Pengambilan sampel dan data
Pengolahan data dan analisis statistik
Presentasi Hasil
3.2.7. Perkiraan Biaya
Perkiraan biaya dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.2. Perkiraan Biaya
Perkiraan Biaya
Percetakan, Foto Kopi, Alat Tulis dan lain-lain Rp. 3.000.000,00
Konsultasi statistik dan analisis statistik Rp. 2.000.000,00
Total : Rp. 5.000.000,00
3.2.8. Struktur Organisasi
Penelitian ini merupakan karya tulis akhir pendidikan spesialis I Program
Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran RSUP Dr. Hasan Sadikin yang dilaksanakan dengan
bimbingan dari :
1. dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K)
2. dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)
3. dr. M. Rizki Akbar, SpJP(K)
50
3.3. Implikasi Etik Penelitian
Implikasi etik penggunaan rekam medik dalam penelitian ini terkait
kerahasiaan pasien yang harus dijaga. Penelitian ini akan menyamarkan nama
pasien kedalam kode berupa inisial dan nomor sehingga hasil penelitian yang
akan dipaparkan nanti tidak dapat dihubungkan dengan rekam medik pasien yang
dijadikan subjek penelitian. Pasien tidak akan terganggu karena pemeriksaan
variabel yang dibutuhkan untuk menghitung skor risiko GRACE dan pemeriksaan
EKG merupakan hal rutin yang biasa dikerjakan pada semua pasien dengan
keluhan nyeri dada dan diduga SKA. Penelitian ini akan dikerjakan setelah
mendapatkan persetujuan komite etik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret hingga Mei 2014.
Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. Hasan Sadikin dari akhir 2011 hingga
awal 2014 ditemukan 425 IMA. Sebanyak 40 pasien datanya ditemukan tidak
lengkap sehingga tidak memenuhi kriteria inklusi dan tidak dimasukkan kedalam
penelitian. Sebanyak 129 pasien memenuhi kriteria eksklusi sehingga dikeluarkan
dari penelitian. Akhirnya didapat 256 pasien yang menjadi subjek penelitian.
Berikut alur proses mendapatkan sampel penelitian.
Gambar 4.1. Alur proses mendapatkan subjek penelitian
425 pasien IMA 40 pasien dengan data tidak lengkap
385 memenuhi kriteria inklusi
Subjek Penelitian 256 pasien
129 pasien memenuhi kriteria eksklusi : - 59 pasien dengan infark miokard lama - 26 pasien dengan bundle branch block - 33 pasien dengan gangguan irama (26
pasein TAVB, 2 pasien atrial fibrilasi, 5 pasien dengan irama junctional)
- 8 pasien dengan komorbitas berat lain (6 pasien gagal ginjal kronis, 1 haematemesis melena pada sirosis hepatis, 1 pasien PPOK eksersebasi akut, dan 1 pasien asma eksersebasi akut)
- 3 pasien meninggal dalam 24 jam pertama
52
Data rekam medik pasien seperti usia, jenis kelamin, kedatangan sejak onset
nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin, faktor risiko yang dimiliki, tekanan darah
sistolik, laju jantung, nilai leukosit, gula darah sewaktu, nilai ureum, kreatinin,
troponin T, CKMB, kelas killip dan riwayat henti jantung dicatat. Data mengenai
ada tidaknya fQRS dalam EKG dibaca oleh penilai independen. Skor GRACE dan
risiko kematian selama perawatan di RS dan dalam 6 bulan kedepan dihitung
menggunakan aplikasi resmi GRACE 2.0. Seluruh data yang diperoleh kemudian
diolah dengan menggunakan program SPSS ver 20.
Uji normalitas data numerik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
mengingat data yang digunakan berjumlah >50. Hasil uji normalitas menunjukkan
seluruh variabel numerik dalam penelitian ini tidak terdistribusi normal, sehingga
data numerik disajikan menggunakan nilai median dan rentang (minimum-
maksimum). Data kategorik disajikan menggunakan nilai frekuensi dan
persentase. Karakteristik dasar 256 subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1.
Setelah dilakukan analisis data didapatkan median usia 56 (31 – 86) tahun,
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan (200 (78,1%) banding 56
(21,9%)). Median waktu kedatangan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin adalah 8 (1-
168) jam. Sebanyak 112 (43,8%) orang datang <6 jam setelah timbul keluhan
nyeri dada. Faktor risiko utama PAK yang dimiliki subjek penelitian adalah
merokok 76,2% diikuti oleh hipertensi 55,5%, diabetes 12,1%, dan riwayat
keluarga memiliki penyakit jantung atau meninggal mendadak 10,2%. Faktor
risiko dislipidemia tidak bisa dihitung karena data yang tidak lengkap. Sebanyak
52% subjek penelitian memiliki 2 faktor risiko atau lebih (multipel).
53
Median tekanan darah sistolik 130 (70-230) mmHg, median laju jantung 80
(42-128) kali/menit. Median nilai leukosit sebesar 12.100 (4.080-27.300)/mcL,
median gula darah sewaktu (GDS) sebesar 135 (74-633) mg/dL, median ureum 29
(4-197) mg/dL, median kreatinin 0,92 (0,1-19,3) mg/dL, troponin-T 0,5 (0,01 – 2)
ng/mL, CKMB 72 (12-989) U/L. Riwayat henti jantung didapatkan pada 9 (3,5%)
subjek penelitian. Sebanyak 189 (73,8%) orang memiliki kelas killip I, 49
(19,1%) memiliki kelas killip II, dan 9 (3,5%) memiliki kelas killip III dan IV.
Median skor GRACE 106 (48-194), median risiko kematian selama di RS 2%
(0,2-44%) dan median risiko kematian dalam 6 bulan pertama 4,85% (0,8-116).
Subjek penelitian dengan skor GRACE >120 ditemukan sebanyak 74 (28,9%)
orang, sedangkan fQRS ditemukan pada 105(41%) orang.
Pasien NSTEMI datang lebih lama ke RS dibandingkan pasien STEMI
(11,5 banding 7 jam; p=0,010%). Faktor risiko hipertensi (70,6% banding 50%,
p=0,003) dan faktor risiko multipel (64,7% banding 47,3%; p=0,014) lebih sering
ditemukan pada NSTEMI dibanding STEMI. Tekanan darah sistolik (138,5
banding 122,5 mmHg; p=0,007) ditemukan lebih tinggi pada NSTEMI. Nilai
leukosit (10.550 banding 12.650/μL, p=0,000), GDS (122 banding 141 mg/dL,
p=0,001), troponin-T (0,4 banding 0,6 ng/mL; p=0,016) dan CKMB (53 banding
86,5 U/L; p=<0,001) ditemukan lebih tinggi pada kelompok STEMI. Pasien
STEMI lebih banyak yang mengalami gagal jantung dan memiliki kelas Killip
yang lebih tinggi dibandingkan pasien NSTEMI (Kelas killip I: 67,6% pada
NSTEMI banding 75,5% pada STEMI; p=0,001).
54
Tabel 4.1. Karakteristik dasar penelitian
Variabel Kelompok Infark Miokard
Total N = 256(100%) NSTEMI
N=68 (26,6%) STEMI
N=188 (73,4%) Usia (tahun) 58 (37-80) 56 (31-86) 56 (31 – 86) Jenis Kelamin
Laki-laki 48 (70,6%) 152 (80,9%) 200 (78,1%) Perempuan 20 (29,4%) 36 (19,1%) 56 (21,9%)
Kedatangan sejak onset nyeri 11.5 (1 - 168) 7 (1 - 144) 8 (1 - 168) 1-6 jam 23 (33,8%) 89 (47,3%) 112 (43,8%) 7-12 jam 19 (27,9%) 32 (17%) 51 (19,9%) >12 jam 26 (38,2%) 67 (35%) 93 (36,3%)
Faktor Risiko Merokok 37 (69,1%) 148 (78,7%) 195 (76,2%) Diabetes 11 ( 16,2%) 20 (10,6%) 31 (12,1%) Hipertensi 48 (70,6%) 94 (50%) 142 (55,5%) Riwayat Keluarga 9 (13,2%) 17 (9%) 26 (10,2%) Faktor Risiko Multipel 44 (64,7%) 89 (47,3%) 133 (52%)
Tekanan darah sistolik 138,5 (70-190) 122,5 (70-230) 130 (70 -230) Laju jantung 86,5 (45-128) 78,5 (42 -127) 80 (42 – 128)
Nilai leukosit 10.550
(4080-24.600) 12.650
(4800-27.300) 12.100
(4080 – 27.300) GDS 122 (77 - 480) 141 (74-633) 135 (74-633) Ureum 31,5 (15-192) 29 (4 – 197) 29 (4 – 197) Kadar kreatitinin 0,92 (0,17–10.85) 0,98 (0,10–19) 0.92 (0,10-19,3) Kadar troponin T 0,4 (0,01-2) 0,6 (0,01-2) 0.5 (0,01 – 2) Kadar CKMB 53 (12 – 348) 86,5 (15 – 989) 72 (12 - 989) Kelas killip
I 46 (67,6%) 142 (75,5%) 188 (73,4%) II 19 (27,9%) 30 (16%) 49 (19,1%) III 1 (1,5%) 9 (4,8%) 10 (3,9%) IV 2 (2,2%) 7 (3,7%) 9 (3,5%)
Riwayat henti jantung 1 (1,5%) 8 (4,3%) 9 (3,5%) Skor GRACE 108,5 (66 – 178) 104,5 (48 – 194) 106 (48-194) Risiko Kematian di RS 2,1% (0,6 -37%) 2 (0,2-44%) 2 (0,2-44) Risiko Kematian / 6 bulan 5,3% (1,4-44%) 4,4%(0,8-62%) 4,85(0,8-116) Skor GRACE > 120 23 (33,8)%) 51 (27,1%) 75 (29,3%) Fragmentasi QRS
Tidak 39 (57,4%) 112 (59,6%) 145 (56,6%) Ada 29 (42,6%) 76 (40,4%) 105 (41%)
fQRS >3 sadapan 18 (26,6%) 54 (28,7%) 72 (28,1%) Keterangan : n = jumlah sampel
55
4.2. Pengujian Hipotesis
Pemeriksaan hubungan antara fragmentasi QRS dengan skor GRACE
dilakukan dengan menggunakan uji komparasi independent samples t-test karena
yang dicari hubungannya adalah data kategorik berupa ada / tidaknya fQRS
dengan data numerik skor GRACE yang tidak terdistribusi normal. Hasil yang
didapatkan dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah.
Tabel 4.2. Uji Beda Skor GRACE
N Rata-rata Standar Deviasi
Nilai p (2 arah)
IK 95% Rentang
fQRS Tidak Ada 151 103,85 22,65
0,001 5 – 18,5 Ada 105 115,59 29,36
Keterangan: uji beda menggunakan independent t-test, p bermakna bila <0,05
Analisis statistik independent t-test menemukan pasien IMA tanpa fQRS
memiliki skor GRACE rata-rata 103,8 dengan standar deviasi (SD) 22,6
sedangkan pasien IMA dengan fQRS memiliki rata-rata skor GRACE 115,6
dengan SD 29,4. Diantara kedua kelompok tersebut terdapat perbedaan rata-rata
11,7 dengan t-hitung -3,446 dan p=0,001. Null hipotesis (H0) bahwa populasi
kedua kelompok tersebut sama ditolak karena nilai p<0,05; artinya terdapat
perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hipotesis penelitian
bahwa pasien IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE rata-rata lebih tinggi
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS berhasil dibuktikan.
56
4.3. Temuan Tambahan
Analisis Univariat Pengaruh Fragmentasi QRS
Fragmentasi QRS ditemukan memiliki hubungan bermakna dengan
beberapa variabel lainnya. Pasien IMA dengan fQRS ditemukan memiliki usia (58
banding 56 tahun; p=0,016), laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit;
p=0,002), ureum (median 31 banding 29 mg/dL; p=0,004), kadar kreatinin
(median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3
ng/mL; p=<0,001), CKMB (median 103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip
(p=0,044), skor GRACE (median 112 banding 101; p=0,001), risiko kematian di
RS (median 2,5 banding 1,8%; p=0,002), dan risiko kematian dalam 6 bulan
(median 5,95 banding 4,3; p=<0,001) yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan dengan adanya
fragmentasi QRS semakin besar usia, nilai laju jantung, kadar ureum, kreatinin,
troponin T, CKMB, kelas killip, risiko kematian selama perawatan di RS dan
dalam 6 bulan pertama. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.3. yang menyajikan data
analisis univariat pengaruh fragmentasi QRS.
57
Tabel 4.3. Analisis Univariat Pengaruh fQRS
Variabel Kelompok
Nilai P fQRS(-) n=151(59%)
fQRS(+) n=105 (41%)
Usia (tahun) 56 (31-82) 58 (34-86) 0,016 Jenis Kelamin
Laki-laki 121 (81,1%) 79 (75,9%) 0,351
Perempuan 30 (19,9%) 26 (24,8%) Kedatangan sejak onset nyeri 8 (1-168) 8 (1-168) 0,337
1-6 jam 68 (45%) 44 (41,9%) 0,578 7-12 jam 32 (21,2%) 19 (18,1%)
>12 jam 51 (33,8%) 42 (40%) Faktor Risiko
Merokok 118 (78,1%) 77 (73,3%) 0,374 Diabetes 19 (12,6%) 12 (11,4%) 0,781 Hipertensi 82 (54,3%) 60 (57,1%) 0,653 Riwayat Keluarga 15 (9,9%) 11 (10,5%) 0,888 Faktor Risiko Multipel 81 (53,6%) 52 (49,5%) 0,517
Tekanan darah sistolik 130 (70-230) 130 (70-200) 0,587 Laju jantung 77 (44-127) 88 (42-128) 0,002
Nilai leukosit 11.800
(4080-27.300) 12.900
(4800-21.400) 0,074
GDS 134 (74-633) 136 (81-594) 0,795 Ureum 29 (4-102) 31 (14-197) 0,004 Kadar kreatitinin 0,9 (0,1-3,99) 0,96 (0,44-19) 0,037 Kadar troponin T 0,3 (0,1-2) 1,1 (0,1-2) <0,001 Kadar CKMB 66 (15-786) 103 (12-989) 0,010 Riwayat Henti Jantung 5 (3,3%) 4 (3,8%) 0,831 Komplikasi Gagal Jantung (Kelas Killip II-IV)
32 (21,2%) 36 (34,3%) 0,02
Skor GRACE 101 (48-162) 112 (67-194) 0,001 Risiko Kematian di RS (%) 1,8 (0,2-23) 2,5 (0,6-44) 0,002 Risiko Kematian/6 bulan (%) 4,3 (0,8-23) 5,95 (1,4-62) <0,001 Skor GRACE > 120 34 (22,5%) 41 (39%) 0,004 Keterangan : Analisis statistik menggunakan chi-square untuk data kategorik dan t-test untuk data numerik, p bermakna bila nilainya < 0,05
Pasien IMA dengan fQRS berjumlah 105 (41%) orang, mereka yang
memiliki skor GRACE >120 ditemukan lebih banyak dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS (39% banding 22,5%; p=0,004). Setelah dilakukan perhitungan
estimasi risiko pasien IMA dengan fQRS memiliki risiko lebih besar (OR 2,2 kali;
58
IK 95% 1,3−3,8) mendapatkan skor GRACE >120 dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS. Kejadian gagal jantung ditemukan tebih tinggi pada pasien IMA
dengan fQRS (34,3% banding 21,2%; p=0,02). Pasien IMA dengan fQRS
memiliki risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
4.4. Pembahasan
Rata-rata usia pasien IMA dalam penelitian ini adalah 56 tahun, lebih tinggi
dibandingkan usia rata-rata pasien STEMI dalam penelitian Juwana dkk.37 di RS
Puri Cinere Jakarta yaitu 54 tahun. Usia rata-rata tersebut lebih rendah
dibandingkan pasien STEMI di klinik Isala Belanda (mean 63 tahun) dan juga
pasien IMA di perancis dalam penelitian Montalescot dkk.92 (mean 61 tahun).
Rata-rata usia pasien STEMI ditemukan lebih muda dibandingkan pasien
NSTEMI (mean 60 banding 65 tahun; p=<0,0001) pada penelitian Montaleskot
dkk.92 Usia rata-rata pasien STEMI pada penelitian ini juga ditemukan lebih muda
dibandingkan pasien NSTEMI.
Mayoritas pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin pria (78,1%),
temuan ini serupa dengan proporsi di Belanda (75%)37 dan Perancis (76%).92
Secara tradisional PAK dianggap sebagai penyakit yang terutama dialami laki-
laki, risiko laki-laki mendapatkan PAK di usia 40 tahun lebih besar dibandingkan
wanita (50% banding 33%).93 Hal tersebut mengakibatkan wanita lebih jarang
menjalani pemeriksaan atau terapi untuk SKA dibandingkan laki-laki.94,95 Pasien
wanita dengan infark miokard memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
laki-laki.96,97 Penelitian terbaru yang dikerjakan oleh Shacham dkk.98 menemukan
59
pasien wanita dengan infark miokard mengalami gangguan fungsi sistolik dan
diastolik yang lebih berat dibandingkan laki-laki walau telah mendapat perlakuan
yang sama.
Pasien IMA yang merokok dalam penelitian ini jauh lebih banyak (76,2%)
dibandingkan pasien IMA di Belanda (31%)37 atau Perancis (36,6%).92 Salah satu
alasan yang menyebabkan tingginya hal tersebut adalah regulasi anti-terbakau
yang buruk dan cukai rokok yang relatif murah di Indonesia, akibatnya konsumsi
rokok di Indonesia terus meningkat dari 173 milyar rokok di 2004 menjadi 265
milyar rokok di 2010. Prevalensi perokok di Indonesia merupakan yang tertinggi
di dunia dimana 67,4% pria dan 4,5% wanita merokok.99
Profil faktor risiko kardiovaskular pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin
yang memiliki kemiripan dengan pasien IMA di RS Puri Cinere dalam penelitian
Juwana dkk.37 adalah merokok (76,2% dan 68%) dan tekanan darah tinggi (55,5%
dan 46%), faktor risiko lainnya seperti diabetes (12,1% dan 36%) dan riwayat
keluarga (10,2% dan 32,%) berbeda cukup jauh. Faktor yang dapat menjelaskan
adanya perbedaan tersebut adalah kelas sosioekonomi yang dimiliki pasien. RSUP
Dr. Hasan Sadikin adalah RS pemerintah yang banyak mengelola pasien tidak
mampu, sedangkan pasien RS Puri Cinere adalah RS Swasta yang kebanyakan
pasiennya memiliki status sosioekonomi menengah keatas. Penelitian Adedoyin
dkk.100 di Nigeria menemukan semakin tinggi kelas sosial ekonomi semakin
tinggi tekanan darah sistolik (r=0,255; p<0,01) dan gula darah puasa (r=0,270;
p<0,01). Penelitian tersebut memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang
dikerjakan di negara maju dimana kelas sosial ekonomi justru berbanding terbalik
60
dengan kejadian sindroma metabolik101 dan timbulnya beragam faktor risiko
kardiovaskular.102 Faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah akses
terhadap pendidikan dan informasi yang lebih baik di negara maju. Minnesota
heart study103 menemukan pendidikan memiliki hubungan terbalik dengan
tekanan darah, merokok, indek massa tubuh dan berhubungan positif dengan
kebiasaan berolah raga dan pengetahuan kesehatan.
Pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin dan RS Puri Cinere umumnya
memiliki faktor risiko lebih banyak jika dibandingkan dengan pasien IMA dalam
penelitian Montalescot dkk.92 dimana faktor risiko utamanya adalah dislipidemia
(49%) diikuti oleh tekanan darah tinggi (47,1%), merokok (36,6%), diabetes
(15,6%), dan riwayat keluarga (11,1%). Faktor risiko kardiovaskular yang lebih
banyak tersebut mungkin menjadi penyebab mengapa pasien IMA di RSUP Dr.
Hasan Sadikin dan RS. Puri Cinere dalam penitian Juwana dkk.37 memiliki usia
lebih muda dibandingkan penelitian serupa di negara maju.
Tabel 4.4. Perbandingan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Pasien IMA
RS Dr. Hasan Sadikin
RS Puri Cinere
Klinik Isala Belanda
Perancis (OPERA)
Merokok 76,2% 68% 31% 36,6%
Tekanan Darah Tinggi 55,5% 46% 42% 47,1%
Diabetes 12,1% 36% 12% 15,6%
Dislipidemia - 46% 19% 49%
Faktor Risiko Keluarga 10,2% 32% 37% 11,1%
Faktor Risiko >2 52% - - - Sumber: 1) Juwana dkk. Primary coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction in
Indonesia and the Netherlands: a comparison. Netherlands heart journal. 2) Montalescot dkk. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year outcomes in acute
myocardial infarction as defined by the ESC/ACC definition (the OPERA registry). European heart journal.
61
Profil faktor risiko pasien NSTEMI ditemukan berbeda dibandingkan pasien
STEMI. Faktor risiko tekanan darah tinggi ditemukan lebih banyak pada pasien
NSTEMI dibandingkan STEMI (70,6 banding 50%; p=0,003). Pasien NSTEMI
juga ditemukan memiliki faktor risiko kardiovaskular >2 lebih banyak
dibandingkan STEMI (64,7 banding 47,3%; p=0,014). Temuan ini serupa dengan
penelitian di perancis92 yang menemukan pasien NSTEMI memiliki faktor risiko
hipertensi (54,3 banding 44%; p=<0,0001) dan diabetes (19,7 banding
13,8%;p=<0,001) yang lebih banyak dibandingkan STEMI. Faktor yang diduga
mempengaruhi profil faktor risiko yang berbeda tersebut adalah usia pasien
NSTEMI yang umumnya lebih tua dibandingkan pasien STEMI sehingga faktor
risiko yang dimilikinya pun menjadi lebih banyak.
Median waktu kedatangan ke RS setelah timbul keluhan nyeri pada
penelitian ini sekitar 8 jam, lebih lama dibandingkan median waktu kedatangan
pasien IMA ke RS di perancis yaitu 5,9 jam.92 Temuan tersebut serupa dengan
temuan Juwana dkk.37 yang menemukan pasien STEMI yang datang ke RS Puri
Cinere lebih lama dibandingkan ke klinik Isala Belanda (6,9 banding 3,6 jam).
Sebanyak 36% pasien IMA datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin lebih 12 jam,
hanya 43% pasien yang datang dibawah 6 jam. Faktor yang diduga dapat
menyebabkan faktor kedatangan ke RS yang lebih lama di Indonesia
dibandingkan negara maju adalah sarana dan infrastruktur transportasi yang masih
terbatas serta pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai sindrom
koroner akut.37
62
Waktu kedatangan pasien ke RS sejak timbul keluhan nyeri ditemukan lebih
cepat pada pasien STEMI dibandingkan NSTEMI (median 7 banding 11,5 jam;
p=0,010). Temuan itu serupa dengan waktu kedatangan pasien STEMI di perancis
yang lebih cepat dibandingkan pasien NSTEMI (median 4 banding 6,5 jam;
p=<0,0001). Waktu kedatangan pasien STEMI yang lebih cepat dibandingkan
pasien NSTEMI diduga akibat presentasi klinis pasien STEMI yang lebih buruk
dibandingkan pasien NSTEMI. Gagal jantung lebih banyak terjadi pada pasien
STEMI dibandingkan NSTEMI (32,4 banding 24,5%; p=0,001). Kelas killip pada
penelitian ini secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada pasien STEMI
dibandingkan NSTEMI (p=0,001). Temuan tersebut diikuti oleh temuan leukosit
(median 10.550 banding 12.650; p=0,000), troponin-T (median 0,4 banding 0,6
ng/mL; p=0,016), CKMB (median 53 banding 86,5 U/L; p=0,000) yang lebih
tinggi dan tekanan darah yang cenderung lebih rendah (mean 136 banding 126
mmHg; p=0,007) pada pasien STEMI dibandingkan NSTEMI. Semua temuan
tersebut diduga berhubungan dengan proses patofisiologi atherothrombotik yang
mengakibatkan oklusi total pada pasien STEMI sehingga proses infark yang
terjadi lebih luas dibandingkan pasien NSTEMI.
Skor GRACE pada STEMI ditemukan lebih tinggi dibandingkan NSTEMI
namun secara statistik tidak bermakna (median 108,5 banding 104,5; p=0,225).
Prevalensi fragmentasi QRS pada STEMI ditemukan lebih tinggi dibandingkan
NSTEMI namun secara statistik tidak bermakna (42,6 banding 40%; p=0,926).
Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalensi fQRS pada
IMA cukup tinggi dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan diagnosa STEMI atau
63
NSTEMI. Prevalensi fQRS pada IMA dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan temuan oleh Das dkk.25 yang menemukan prevalensi fQRS pada
IMA sebesar 51%, namun lebih tinggi dibandingkan temuan Stavileci dkk.52 yang
menemukan prevalensi sebesar 27% pada pasien STEMI. Faktor yang dapat
menyebabkan hal tersebut diduga adalah metodologi penelitian yang berbeda.
Penelitian Das dkk.25 melakukan pemeriksaan EKG sesuai pengaturan yang
direkomendasikan Das dkk.18 dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini dan
penelitian Stavileci dkk.52 menggunakan data retrospektif sehingga ada
kemungkinan fQRS tidak terdeteksi karena pemeriksaan EKG yang dilakukan
tidak sesuai rekomendasi Das dkk.18
Penelitian ini menemukan bahwa pasien IMA dengan fQRS memiliki usia
yang lebih tua dibandingkan pasien tanpa fQRS (p=0,016). Temuan ini serupa
dengan temuan Guo dkk.29 yang menemukan bahwa pasien NSTEMI berusia
lanjut (>65 tahun) memiliki frekuensi fQRS yang lebih tinggi (p=0,005). Literatur
lain yang mendukung pernyataan bahwa fQRS memiliki hubungan dengan usia
tidak ada. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara faktor risiko
kardiovaskular dengan fQRS, sedangkan Guo dkk.29 menemukan pasien dengan
fQRS memiliki faktor risiko diabetes yang lebih banyak (p=0,033). Literatur lain
yang menemukan hubungan antara fQRS dengan faktor risiko yang dimilikinya
tidak ditemukan.
Penelitian ini menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara
kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS, pasien IMA dengan fQRS sempit
64
memiliki rata-rata skor GRACE yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa
fQRS sempit. Temuan ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian.
Penelitian mengenai peranan fQRS dalam SKA masih terbatas, belum ada
penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fQRS dengan skor
GRACE pada pasien IMA. Stavileci dkk.52 meneliti kegunaan fQRS untuk
memprediksi prognosis jangka pendek pasien STEMI menemukan bahwa pasien
STEMI dengan skor GRACE >120 memiliki keluaran klinis yang lebih buruk
(OR = 4,765). Pasien STEMI dengan fQRS pada penelitian tersebut memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar untuk memiliki skor GRACE >120 dibandingkan
pasien STEMI tanpa fQRS. Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini
memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,3−3,8) lebih besar untuk mendapatkan skor
GRACE >120 sehingga dapat disimpulkan terdapat konsistensi antara penelitian
ini dan pelelitian Stavileci dkk.52
Faktor yang dapat menyebabkan adanya hubungan antara fQRS dengan skor
GRACE diduga berhubungan dengan daerah infark yang lebih luas pada pasien
IMA dengan fQRS. Biomarka jantung (troponin-T dan CKMB) secara bermakna
ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS. Pasien IMA dengan fQRS
memiliki infark yang lebih luas sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
ventrikel yang lebih berat dibandingkan dengan pasien IMA tanpa fQRS. Pasien
IMA dengan fQRS ditemukan memiliki risiko 1,94 (IK 95% 1,1−3,4) kali lebih
besar mengalami gagal jantung.
Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini umumnya memiliki kelas
killip yang lebih tinggi (p=0,011), laju jantung yang lebih cepat (median 88
65
banding 77 kali/menit; p=0,000), ureum yang lebih tinggi (median 31 banding 29;
p=0,004), kreatinin yang lebih tinggi (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037),
troponin-T yang lebih tinggi (median 1,1 banding 0,3 ng/mL; p=<0,001), CKMB
yang lebih tinggi (median 103 banding 66 U/L; p=0,01) dan skor GRACE yang
lebih tinggi (112 banding 101; p=0,001) dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
Temuan ini serupa dengan temuan oleh Kocaman dkk.30 yang menemukan bahwa
pasien STEMI dengan fQRS yang menjalani IKP primer memiliki nilai leukosit
(p=0,001), CKMB (p=0,001), troponin-T (p=0,005), dan kelas killip (p=0,001)
yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS. Nilai leukosit pada penelitian
ini ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS namun secara statistik
tidak bermakna (12.900 banding 11.800; p=0,074). Pasien IMA dengan fQRS
pada penelitian Kocaman dkk.30 ditemukan memiliki laju jantung (mean 82
banding 86 kali/menit) dan kreatinin (mean 1 banding 1,1 mg/dL) yang lebih
tinggi namun secara statistik tidak bermakna (p=0,16 dan p=0,26). Berdasarkan
temuan yang konsisten pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa keberadaan fQRS pada pasien IMA berhubungan erat dengan
luasnya infark, hal tersebut dapat meningkatkan beragam parameter yang pada
akhirnya meningkatkan skor GRACE.
66
4.4. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan data sekunder berupa
hasil EKG yang dikerjakan di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin sehingga terdapat
beberapa keterbatasan sebagai berikut :
1) Pembacaan EKG pada penelitian ini dikerjakan oleh satu orang kardiologis
penilai independen sehingga interobserver variability tidak diketahui.
2) Pemeriksaan EKG dilakukan dengan menggunakan beberapa mesin EKG
dengan standard dan pengaturan yang berbeda sehingga hasil dan kualitas
EKG menjadi beragam. Das dkk.18 merekomendasikan pemeriksaan yang
ideal untuk mendeteksi fQRS dengan pengaturan high pass filter 0,15 Hz
dan low pass filter dengan frekuensi 100-150 Hz.
3) Pemeriksaan EKG yang dikerjakan umumnya adalah pemeriksan EKG 12
sadapan, pada beberapa kasus terdapat kemungkinan infark miokard yang
terjadi di anterior / lateral dapat disertai temuan fQRS di posterior atau
kanan.
Keterbatasan diatas dapat menyebabkan tidak terdeteksinya fQRS dan dapat
mengurangi kekuatan penelitian.
67
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna ditemukan
lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
5.2. Saran
Penelitian mengenai fQRS masih terbatas sehingga masih diperlukan
penelitian lanjutan di bidang ini. Kualitas EKG dalam penelitian ini dapat
diperbaiki melalui penelitian yang bersifat prospektif dengan mesin EKG yang
sama dengan pengaturan sesuai rekomendasi Das dkk.
Temuan tambahan penelitian ini adalah pasien IMA di RSUP Dr. Hasan
Sadikin memiliki faktor risiko kardiovaskular yang lebih banyak, lebih muda,
datang lebih lama ke RS dengan presentasi klinis yang lebih buruk dibandingkan
pasien IMA di negara maju. Pemerintah khususnya kementrian kesehatan
karenanya perlu menjadikan upaya penanggulangan penyakit kardiovaskular
sebagai salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Upaya prevensi primer harus
lebih intensif dikerjakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit kardiovaskular dan mengendalikan faktor risikonya.
68
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2011;32(23):2999-3054.
2. World Health Organization (WHO), Factsheet 310 : The top 10 causes of
death. 2008.
3. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et
al. Heart disease and stroke statistics--2013 update: a report from the
American Heart Association. Circulation. 2013;127(1):e6-e245.
4. Tim Survey Kesehatan Nasional. Laporan Studi Mortalitas 2001 : Pola
Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta2001.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2007.
6. Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW.
Acute myocardial infarction system of care in the third world. Neth Heart J.
2012;20(6):254-9.
7. Antman EM. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction : Pathology,
Pathophysiology, and Clinical Features. In: Bonow RO, Mann DL, Zipes
DP, Libby P, editors. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine Ninth ed. Philadelphia: Elsevies Saunders; 2012.
p. 1178-90.
8. Achar SA, Kundu S, Norcross WA. Diagnosis of acute coronary syndrome.
Am Fam Physician. 2005;72(1):119-26.
9. Brener SJ, Weisz G, Maehara A, Mehran R, McPherson J, Farhat N, et al.
Does clinical presentation affect outcome among patients with acute
coronary syndromes undergoing percutaneous coronary intervention?
69
Insights from the Providing Regional Observations to Study Predictors of
Events in the Coronary Tree study. Am Heart J. 2012;164(4):561-7.
10. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J.32(23):2999-3054.
11. Aragam KG, Tamhane UU, Kline-Rogers E, Li J, Fox KA, Goodman SG, et
al. Does simplicity compromise accuracy in ACS risk prediction? A
retrospective analysis of the TIMI and GRACE risk scores. PLoS One.
2009;4(11):e7947.
12. de Araujo Goncalves P, Ferreira J, Aguiar C, Seabra-Gomes R. TIMI,
PURSUIT, and GRACE risk scores: sustained prognostic value and
interaction with revascularization in NSTE-ACS. Eur Heart J.
2005;26(9):865-72.
13. Diercks DB, Peacock WF, Hiestand BC, Chen AY, Pollack CV, Jr., Kirk
JD, et al. Frequency and consequences of recording an electrocardiogram
>10 minutes after arrival in an emergency room in non-ST-segment
elevation acute coronary syndromes (from the CRUSADE Initiative). Am J
Cardiol. 2006;97(4):437-42.
14. Savonitto S, Ardissino D, Granger CB, Morando G, Prando MD, Mafrici A,
et al. Prognostic value of the admission electrocardiogram in acute coronary
syndromes. JAMA. 1999;281(8):707-13.
15. Thygesen K, Alpert JS, White HD, Jaffe AS, Apple FS, Galvani M, et al.
Universal definition of myocardial infarction. Circulation.
2007;116(22):2634-53.
16. Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, et
al. ESC guidelines on management of acute myocardial infarction in
patients presenting with persistent ST-segment elevation. Rev Esp Cardiol.
2009;62(3):293, e1-47.
70
17. Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, et
al. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with
persistent ST-segment elevation: the Task Force on the Management of ST-
Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J. 2008;29(23):2909-45.
18. Das MK, Khan B, Jacob S, Kumar A, Mahenthiran J. Significance of a
fragmented QRS complex versus a Q wave in patients with coronary artery
disease. Circulation. 2006;113(21):2495-501.
19. Reddy CV, Cheriparambill K, Saul B, Makan M, Kassotis J, Kumar A, et al.
Fragmented left sided QRS in absence of bundle branch block: sign of left
ventricular aneurysm. Ann Noninvasive Electrocardiol. 2006;11(2):132-8.
20. Akbarzadeh F, Pourafkari L, Ghaffari S, Hashemi M, Sadeghi-Bazargani H.
Predictive value of the fragmented QRS complex in 6-month mortality and
morbidity following acute coronary syndrome. Int J Gen Med. 2013;6:399-
404.
21. Canga A, Kocaman SA, Durakoglugil ME, Cetin M, Erdogan T, Kiris T, et
al. Relationship between fragmented QRS complexes and left ventricular
systolic and diastolic functions. Herz. 2013;38(6):665-70.
22. Mahenthiran J, Khan BR, Sawada SG, Das MK. Fragmented QRS
complexes not typical of a bundle branch block: a marker of greater
myocardial perfusion tomography abnormalities in coronary artery disease.
J Nucl Cardiol. 2007;14(3):347-53.
23. Pietrasik G, Goldenberg I, Zdzienicka J, Moss AJ, Zareba W. Prognostic
significance of fragmented QRS complex for predicting the risk of recurrent
cardiac events in patients with Q-wave myocardial infarction. Am J Cardiol.
2007;100(4):583-6.
24. Sheng QH, Hsu CC, Li JP, Hong T, Huo Y. Correlation between
fragmented QRS and the short-term prognosis of patients with acute
myocardial infarction. J Zhejiang Univ Sci B. 2014;15(1):67-74.
71
25. Das MK, Michael MA, Suradi H, Peng J, Sinha A, Shen C, et al. Usefulness
of fragmented QRS on a 12-lead electrocardiogram in acute coronary
syndrome for predicting mortality. Am J Cardiol. 2009;104(12):1631-7.
26. Guo R, Zhang J, Li Y, Xu Y, Tang K, Li W. Prognostic significance of
fragmented QRS in patients with non-ST elevation myocardial infarction:
results of a 1-year, single-center follow-up. Herz. 2012;37(7):789-95.
27. Lorgis L, Jourda F, Hachet O, Zeller M, Gudjoncik A, Dentan G, et al.
Prognostic value of fragmented QRS on a 12-lead ECG in patients with
acute myocardial infarction. Heart Lung. 2013;42(5):326-31.
28. Torigoe K, Tamura A, Kawano Y, Shinozaki K, Kotoku M, Kadota J. The
number of leads with fragmented QRS is independently associated with
cardiac death or hospitalization for heart failure in patients with prior
myocardial infarction. J Cardiol. 2012;59(1):36-41.
29. Guo R, Li Y, Xu Y, Tang K, Li W. Significance of fragmented QRS
complexes for identifying culprit lesions in patients with non-ST-elevation
myocardial infarction: a single-center, retrospective analysis of 183 cases.
BMC Cardiovasc Disord. 2012;12:44.
30. Kocaman SA, Cetin M, Kiris T, Erdogan T, Canga A, Durakoglugil E, et al.
The importance of fragmented QRS complexes in prediction of myocardial
infarction and reperfusion parameters in patients undergoing primary
percutaneous coronary intervention. Turk Kardiyol Dern Ars.
2012;40(3):213-22.
31. Cetin M, Kocaman SA, Kiris T, Erdogan T, Canga A, Durakoglugil ME, et
al. Absence and Resolution of Fragmented QRS Predict Reversible
Myocardial Ischemia With Higher Probability of ST Segment Resolution in
Patients With ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Korean Circ J.
2012;42(10):674-83.
32. Erdem FH, Tavil Y, Yazici H, Aygul N, Abaci A, Boyaci B. Association of
fragmented QRS complex with myocardial reperfusion in acute ST-elevated
myocardial infarction. Ann Noninvasive Electrocardiol. 2013;18(1):69-74.
72
33. Wang DD, Buerkel DM, Corbett JR, Gurm HS. Fragmented QRS complex
has poor sensitivity in detecting myocardial scar. Ann Noninvasive
Electrocardiol. 2010;15(4):308-14.
34. Ahn MS, Kim JB, Yoo BS, Lee JW, Lee JH, Youn YJ, et al. Fragmented
QRS complexes are not hallmarks of myocardial injury as detected by
cardiac magnetic resonance imaging in patients with acute myocardial
infarction. Int J Cardiol. 2013;168(3):2008-13.
35. Tibrewala AV, Khan A, Ananthsubramaniam K. Is Fragmented QRS on
Surface Electrocardiogram a Reliable Correlate for Myocardial Scar on
SPECT or Anatomic Disease on Coronary Angiography? JACC Cardiovasc
Interv. 2011;57(14).
36. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2008.
37. Juwana YB, Wirianta J, Ottervanger JP, Dambrink JH, van 't Hof AW,
Gosselink AT, et al. Primary coronary intervention for ST-elevation
myocardial infarction in Indonesia and the Netherlands: a comparison. Neth
Heart J. 2009;17(11):418-21.
38. Cannon CP. Contemporary Diagnosis and management of the Acuter
Coronary Syndrome. Newtown, Pennsylvania, USA: Handbook in Health
Care Co.; 2007.
39. Jennings RB, Ganote CE. Structural changes in myocardium during acute
ischemia. Circ Res. 1974;35 Suppl 3:156-72.
40. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et
al. Third universal definition of myocardial infarction. Eur Heart J. 2012.
41. Tunstall-Pedoe H, Kuulasmaa K, Amouyel P, Arveiler D, Rajakangas AM,
Pajak A. Myocardial infarction and coronary deaths in the World Health
Organization MONICA Project. Registration procedures, event rates, and
case-fatality rates in 38 populations from 21 countries in four continents.
Circulation. 1994;90(1):583-612.
42. Panteghini M, Cuccia C, Bonetti G, Giubbini R, Pagani F, Bonini E. Single-
point cardiac troponin T at coronary care unit discharge after myocardial
73
infarction correlates with infarct size and ejection fraction. Clin Chem.
2002;48(9):1432-6.
43. Licka M, Zimmermann R, Zehelein J, Dengler TJ, Katus HA, Kubler W.
Troponin T concentrations 72 hours after myocardial infarction as a
serological estimate of infarct size. Heart. 2002;87(6):520-4.
44. Wagner GS, Macfarlane P, Wellens H, Josephson M, Gorgels A, Mirvis
DM, et al. AHA/ACCF/HRS recommendations for the standardization and
interpretation of the electrocardiogram: part VI: acute ischemia/infarction: a
scientific statement from the American Heart Association
Electrocardiography and Arrhythmias Committee, Council on Clinical
Cardiology; the American College of Cardiology Foundation; and the Heart
Rhythm Society: endorsed by the International Society for Computerized
Electrocardiology. Circulation. 2009;119(10):e262-70.
45. Khalill R, Han L, Jing C, Quan H. The use of risk scores for stratification of
non-ST elevation acute coronary syndrome patients. Exp Clin Cardiol.
2009;14(2):e25-30.
46. Granger CB, Goldberg RJ, Dabbous O, Pieper KS, Eagle KA, Cannon CP,
et al. Predictors of hospital mortality in the global registry of acute coronary
events. Arch Intern Med. 2003;163(19):2345-53.
47. Fox KA, Dabbous OH, Goldberg RJ, Pieper KS, Eagle KA, Van de Werf F,
et al. Prediction of risk of death and myocardial infarction in the six months
after presentation with acute coronary syndrome: prospective multinational
observational study (GRACE). BMJ. 2006;333(7578):1091.
48. Mehta SR, Granger CB, Boden WE, Steg PG, Bassand JP, Faxon DP, et al.
Early versus delayed invasive intervention in acute coronary syndromes. N
Engl J Med. 2009;360(21):2165-75.
49. Task Force on the management of STseamiotESoC, Steg PG, James SK,
Atar D, Badano LP, Blomstrom-Lundqvist C, et al. ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation. Eur Heart J. 2012;33(20):2569-619.
74
50. Fox KA, Carruthers KF, Dunbar DR, Graham C, Manning JR, De Raedt H,
et al. Underestimated and under-recognized: the late consequences of acute
coronary syndrome (GRACE UK-Belgian Study). Eur Heart J.
2010;31(22):2755-64.
51. Khan SQ, Narayan H, Ng KH, Dhillon OS, Kelly D, Quinn P, et al. N-
terminal pro-B-type natriuretic peptide complements the GRACE risk score
in predicting early and late mortality following acute coronary syndrome.
Clin Sci (Lond). 2009;117(1):31-9.
52. Stavileci B, Cimci M, Ikitimur B, Barman HA, Ozcan S, Ataoglu E, et al.
Significance and Usefulness of Narrow Fragmented QRS Complex on 12-
Lead Electrocardiogram in Acute ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction for Prediction of Early Mortality and Morbidity. Ann
Noninvasive Electrocardiol. 2014.
53. O'Rourke RA, Hochman JS, Cohen MC, Lucore CL, Popma JJ, Cannon CP.
New approaches to diagnosis and management of unstable angina and non-
ST-segment elevation myocardial infarction. Arch Intern Med.
2001;161(5):674-82.
54. Savonitto S, Fusco R, Granger CB, Cohen MG, Thompson TD, Ardissino
D, et al. Clinical, electrocardiographic, and biochemical data for immediate
risk stratification in acute coronary syndromes. Ann Noninvasive
Electrocardiol. 2001;6(1):64-77.
55. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction:
collaborative overview of early mortality and major morbidity results from
all randomised trials of more than 1000 patients. Fibrinolytic Therapy
Trialists' (FTT) Collaborative Group. Lancet. 1994;343(8893):311-22.
56. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ, McCabe CH, Horacek T, Papuchis G,
et al. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST elevation MI: A
method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA.
2000;284(7):835-42.
57. Kontos MC, Kurdziel KA, Ornato JP, Schmidt KL, Jesse RL, Tatum JL. A
nonischemic electrocardiogram does not always predict a small myocardial
75
infarction: results with acute myocardial perfusion imaging. Am Heart J.
2001;141(3):360-6.
58. Caceres L, Cooke D, Zalenski R, Rydman R, Lakier JB. Myocardial
infarction with an initially normal electrocardiogram--angiographic
findings. Clin Cardiol. 1995;18(10):563-8.
59. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, Rogers WJ, Schactman M, Thompson
BW, et al. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients
with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: results of the
TIMI III Registry ECG Ancillary Study. Thrombolysis in Myocardial
Ischemia. J Am Coll Cardiol. 1997;30(1):133-40.
60. Nyman I, Areskog M, Areskog NH, Swahn E, Wallentin L. Very early risk
stratification by electrocardiogram at rest in men with suspected unstable
coronary heart disease. The RISC Study Group. J Intern Med.
1993;234(3):293-301.
61. Holmvang L, Luscher MS, Clemmensen P, Thygesen K, Grande P. Very
early risk stratification using combined ECG and biochemical assessment in
patients with unstable coronary artery disease (A thrombin inhibition in
myocardial ischemia [TRIM] substudy). The TRIM Study Group.
Circulation. 1998;98(19):2004-9.
62. Hyde TA, French JK, Wong CK, Straznicky IT, Whitlock RM, White HD.
Four-year survival of patients with acute coronary syndromes without ST-
segment elevation and prognostic significance of 0.5-mm ST-segment
depression. Am J Cardiol. 1999;84(4):379-85.
63. Gorgels AP, Vos MA, Mulleneers R, de Zwaan C, Bar FW, Wellens HJ.
Value of the electrocardiogram in diagnosing the number of severely
narrowed coronary arteries in rest angina pectoris. Am J Cardiol.
1993;72(14):999-1003.
64. Schweitzer P, Keller S. The role of the initial 12-lead ECG in risk
stratification of patients with acute coronary syndrome. Bratisl Lek Listy.
2001;102(9):406-11.
76
65. de Zwaan C, Bar FW, Janssen JH, Cheriex EC, Dassen WR, Brugada P, et
al. Angiographic and clinical characteristics of patients with unstable angina
showing an ECG pattern indicating critical narrowing of the proximal LAD
coronary artery. Am Heart J. 1989;117(3):657-65.
66. Agarwal AK, Venugopalan P. Right bundle branch block: varying
electrocardiographic patterns. Aetiological correlation, mechanisms and
electrophysiology. Int J Cardiol. 1999;71(1):33-9.
67. Flowers NC, Horan LG, Wylds AC, Crawford W, Sridharan MR, Horan CP,
et al. Relation of peri-infarction block to ventricular late potentials in
patients with inferior wall myocardial infarction. Am J Cardiol.
1990;66(5):568-74.
68. Wiener I, Mindich B, Pitchon R. Fragmented endocardial electrical activity
in patients with ventricular tachycardia: a new guide to surgical therapy. Am
Heart J. 1984;107(1):86-90.
69. Stevenson WG, Soejima K. Catheter ablation for ventricular tachycardia.
Circulation. 2007;115(21):2750-60.
70. de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de
Jonge N, et al. Slow conduction in the infarcted human heart. 'Zigzag'
course of activation. Circulation. 1993;88(3):915-26.
71. de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de
Jonge N, et al. Fractionated electrograms in dilated cardiomyopathy: origin
and relation to abnormal conduction. J Am Coll Cardiol. 1996;27(5):1071-8.
72. el-Sherif N. The rsR' pattern in left surface leads in ventricular aneurysm. Br
Heart J. 1970;32(4):440-8.
73. Das MK, Saha C, El Masry H, Peng J, Dandamudi G, Mahenthiran J, et al.
Fragmented QRS on a 12-lead ECG: a predictor of mortality and cardiac
events in patients with coronary artery disease. Heart Rhythm.
2007;4(11):1385-92.
74. Ozdemir S, Tan YZ, Colkesen Y, Temiz A, Turker F, Akgoz S. Comparison
of fragmented QRS and myocardial perfusion-gated SPECT findings. Nucl
Med Commun. 2013;34(11):1107-15.
77
75. Tangcharoen T, Wiwatworapan W, Praserkulchai W, Apiyasawat S,
Yamwong S, Sritara P. Fragmented QRS on 12-lead EKG is an independent
predictor for myocardial scar: a cardiovascular magnetic resonance imaging
study. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance. 2013;15(1):192.
76. Das MK, Suradi H, Maskoun W, Michael MA, Shen C, Peng J, et al.
Fragmented wide QRS on a 12-lead ECG: a sign of myocardial scar and
poor prognosis. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2008;1(4):258-68.
77. Das MK, Maskoun W, Shen C, Michael MA, Suradi H, Desai M, et al.
Fragmented QRS on twelve-lead electrocardiogram predicts arrhythmic
events in patients with ischemic and nonischemic cardiomyopathy. Heart
Rhythm. 2010;7(1):74-80.
78. Homsi M, Alsayed L, Safadi B, Mahenthiran J, Das MK. Fragmented QRS
complexes on 12-lead ECG: a marker of cardiac sarcoidosis as detected by
gadolinium cardiac magnetic resonance imaging. Ann Noninvasive
Electrocardiol. 2009;14(4):319-26.
79. Peters S, Trummel M, Koehler B. QRS fragmentation in standard ECG as a
diagnostic marker of arrhythmogenic right ventricular dysplasia-
cardiomyopathy. Heart Rhythm. 2008;5(10):1417-21.
80. Takagi M, Yokoyama Y, Aonuma K, Aihara N, Hiraoka M. Clinical
characteristics and risk stratification in symptomatic and asymptomatic
patients with brugada syndrome: multicenter study in Japan. J Cardiovasc
Electrophysiol. 2007;18(12):1244-51.
81. Priori SG, Gasparini M, Napolitano C, Della Bella P, Ottonelli AG, Sassone
B, et al. Risk stratification in Brugada syndrome: results of the PRELUDE
(PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE) registry. J Am Coll
Cardiol. 2012;59(1):37-45.
82. Antzelevitch C. Role of transmural dispersion of repolarization in the
genesis of drug-induced torsades de pointes. Heart Rhythm. 2005;2(2
Suppl):S9-15.
78
83. Haraoka K, Morita H, Saito Y, Toh N, Miyoshi T, Nishii N, et al.
Fragmented QRS is associated with torsades de pointes in patients with
acquired long QT syndrome. Heart Rhythm. 2010;7(12):1808-14.
84. Park SJ, On YK, Kim JS, Park SW, Yang JH, Jun TG, et al. Relation of
fragmented QRS complex to right ventricular fibrosis detected by late
gadolinium enhancement cardiac magnetic resonance in adults with repaired
tetralogy of fallot. Am J Cardiol. 2012;109(1):110-5.
85. Yuce M, Davutoglu V, Ozbala B, Ercan S, Kizilkan N, Akcay M, et al.
Fragmented QRS is predictive of myocardial dysfunction, pulmonary
hypertension and severity in mitral stenosis. Tohoku J Exp Med.
2010;220(4):279-83.
86. El-Menyar A, Zubaid M, AlMahmeed W, Sulaiman K, AlNabti A, Singh R,
et al. Killip classification in patients with acute coronary syndrome: insight
from a multicenter registry. Am J Emerg Med. 2012;30(1):97-103.
87. Akasheva DU. [Heart rate and acute coronary syndrome: crosslink
mechanisms and possibilities of drug intervention]. Kardiologiia.
2009;49(9):82-9.
88. Katsuki T, Saito M. [Killip and Forrester classifications of patients with
acute myocardial infarction]. Nihon Rinsho. 1994;52 Suppl(Pt 2):705-9.
89. Eagle KA, Lim MJ, Dabbous OH, Pieper KS, Goldberg RJ, Van de Werf F,
et al. A validated prediction model for all forms of acute coronary
syndrome: estimating the risk of 6-month postdischarge death in an
international registry. JAMA. 2004;291(22):2727-33.
90. Willems JL, Robles de Medina EO, Bernard R, Coumel P, Fisch C, Krikler
D, et al. Criteria for intraventricular conduction disturbances and pre-
excitation. World Health Organizational/International Society and
Federation for Cardiology Task Force Ad Hoc. J Am Coll Cardiol.
1985;5(6):1261-75.
91. Surawicz B, Gering LE, Knilans TK, Tavel ME. Chou’s
electrocardiography in clinical practice. 6'th ed. Philadelphia: Sounders
Elsevier; 2008.
79
92. Montalescot G, Dallongeville J, Van Belle E, Rouanet S, Baulac C,
Degrandsart A, et al. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year
outcomes in acute myocardial infarction as defined by the ESC/ACC
definition (the OPERA registry). Eur Heart J. 2007;28(12):1409-17.
93. Lloyd-Jones DM, Larson MG, Beiser A, Levy D. Lifetime risk of
developing coronary heart disease. Lancet. 1999;353(9147):89-92.
94. Steingart RM, Packer M, Hamm P, Coglianese ME, Gersh B, Geltman EM,
et al. Sex differences in the management of coronary artery disease.
Survival and Ventricular Enlargement Investigators. N Engl J Med.
1991;325(4):226-30.
95. Ayanian JZ, Epstein AM. Differences in the use of procedures between
women and men hospitalized for coronary heart disease. N Engl J Med.
1991;325(4):221-5.
96. Nettleman MD, Banitt L, Barry W, Awan I, Gordon EE. Predictors of
survival and the role of gender in postoperative myocardial infarction. Am J
Med. 1997;103(5):357-62.
97. Marrugat J, Sala J, Masia R, Pavesi M, Sanz G, Valle V, et al. Mortality
differences between men and women following first myocardial infarction.
RESCATE Investigators. Recursos Empleados en el Sindrome Coronario
Agudo y Tiempo de Espera. JAMA. 1998;280(16):1405-9.
98. Shacham Y, Topilsky Y, Leshem-Rubinow E, Laufer-Perl M, Keren G,
Roth A, et al. Comparison of Left Ventricular Function Following First ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction Treated With Primary
Percutaneous Coronary Intervention in Men Versus Women. Am J Cardiol.
2014;113(12):1941-6.
99. Kosen S, Hardjo H, Kadarmanto, Sinha DN, Palipudi KM, Wibisana W, et
al. Global Adult Tobacco Survey : Indonesia Report 2011. In: National
Institute of Health Research and Development MoH, editor. Jakarta2011.
100. Adedoyin RA, Afolabi A, Adegoke OO, Akintomide AO, Awotidebe TO.
Relationship between socioeconomic status and metabolic syndrome among
Nigerian adults. Diabetes Metab Syndr. 2013;7(2):91-4.
80
101. Ramsay SE, Whincup PH, Morris R, Lennon L, Wannamethee SG. Is
socioeconomic position related to the prevalence of metabolic syndrome?:
influence of social class across the life course in a population-based study of
older men. Diabetes Care. 2008;31(12):2380-2.
102. Kaplan GA, Keil JE. Socioeconomic factors and cardiovascular disease: a
review of the literature. Circulation. 1993;88(4 Pt 1):1973-98.
103. Luepker RV, Rosamond WD, Murphy R, Sprafka JM, Folsom AR,
McGovern PG, et al. Socioeconomic status and coronary heart disease risk
factor trends. The Minnesota Heart Survey. Circulation. 1993;88(5 Pt
1):2172-9.